Anda di halaman 1dari 14

Ada 8 golongan orang yang berhak menerima zakat atau istilah lainnya mustahiq zakat. 1. Faqir.

Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta ataupun pekerjaan atau mempunyai harta/pekerjaan namun hartanya atau hasil kerjanya tidak bisa mencukupi keperluan hidup sehari-hari bahkan jika dinominalkan, harta yang dihasilkan kurang dari setengahnya dari kebutuhan harian. Misalnya dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari, kita membutuhkan Rp. 10000. Orang dikatakan faqir jika dalam sehari hanya bisa mendapatkan uang kurang dari Rp. 5000 saja. 2. Miskin. Sedangkan miskin sedikit lebih tinggi derajatnya dari faqir. Orang miskin bisa mendapatkan penghasilan dari kerjanya lebih dari setengah kebutuhan harian, namun tetap tidak bisa mencapai kebutuhan standar. Jika kebutuhan standar Rp. 10000, maka orang miskin bisa menghasilkan uang lebih dari Rp. 5000 dari mata pencahariannya, namun masih di bawah Rp. 10000. Adapun ayah/ibu atau kakek/nenek kita yang tidak punya harta/penghasilan maka kebutuhannya merupakan tanggung jawab kita dan mereka tidak bisa disebut faqir miskin. Artinya jika kita ditaqdirkan punya harta, sedangkan kakek kita sendiri tidak punya harta, maka kita tidak boleh berzakat kepadanya, karena memberikan penghidupan untuk sekedar kebutuhan sehari-hari merupakan tanggung jawab kita. Begitu juga jika ada orang yang lebih mengutamakan ibadah sunat atau mempelajari ilmu-ilmu yang sunat sehingga terhalang untuk melakukan kasab, maka mereka tidak bisa disebut faqir miskin, kecuali jika mereka mengejar ilmu yang wajib hukumnya sehingga tidak bisa melakukan kasab, maka mereka bisa disebut faqir miskin. 3. Amil. Amil terbagi 4 bagian, yakni : o Amil Kisa'i, yakni orang yang bertugas memungut harta zakat dari pemberi zakat/muzakki.

Amil Hasyir, adalah orang yang bertugas mengumpulkan orang-orang yang akan berzakat. 4. Muallaf. Ada beberapa klasifikasi yang termasuk ke dalam golongan muallaf : o orang yang baru masuk Islam dan masih lemah keyakinannya.

o o o

Amil Katib, yaitu orang yang bertugas sebagai pencatat masuk keluar harta zakat. Amil Qosim, yaitu orang yang bertugas membagikan harta zakat kepada mustahiqnya.

o o o

orang yang masuk Islam dan mempunyai keyakinan yang kuat namun masih mempunyai posisi yang mulia di kalangan kaum kafir. orang yang dekat dengan kaum kafir dan dikhawatirkan terpengaruh kejahatan mereka. orang yang dekat dengan mereka yang anti zakat dan dikhawatirkan akan terpengaruh

faham mereka. 5. Riqob. Hamba yang Disuruh Menebus Dirinya (Riqab)

Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahiq lain menurut pendapat mayoritas ulama fikih (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.
6. Ghorim. Yang termasuk golongan ghorim adalah : o mereka yang mempunyai utang dengan syarat utang tersebut tidak dipakai untuk hal-hal

o o

yang haram dan mereka tak mampu membayarnya dengan cara apapun. orang yang berutang demi membereskan suatu masalah di antara 2 golongan yang bertikai dengan tujuan agar tidak terjadi fitnah. orang yang berutang karena menjaminkan sesuatu/menggadaikan.

7. Sabilillah adalah orang yang berperang di jalan Allah dan mereka tidak punya bekal ketika berjihad. 8. Ibnu Sabil adalah mereka yang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal, maka mereka berhak mendapat zakat dengan syarat perjalanannya tidak untuk maksiat.

KOREKSI TERHADAP MAKNA MUSTAHIQ ZAKAT (Gharim, Fi Sabilillah dan Amil) Oleh ; Arif ZM, M.Ag


Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS al-Taubah : 60) Zakat sebenarnya diharapkan mampu mengurangi kuantitas dan kualitas kemiskinan umat Islam dan lembaga zakat seharusnya menjadi lembaga penguatan ekonomi umat Islam, tetapi realitasnya saat ini ternyata zakat umat Islam belum mampu berfungsi sebagai media pengentasan kemiskinan tersebut. Di antara factor penyebabnya adalah kurang tepatnya pemahaman umat Islam tentang zakat dan mustahiq zakat. Di antara realitas kesalahan itu adalah, zakat yang dibayarkan umat Islam sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan fisik, seperti masjid, mushalla, sekolah, dan sarana-sarana lainnya. Pengalokasian tersebut didasari oleh pemahaman bahwa sarana-sarana tersebut termasuk ke dalam kategori fi sabilillah, atau pengurus sengaja membuat hutang, lalu kemudian mengaku sebagai gharim (orang yang berutang) sehingga berhak untuk menerima zakat. Kalaupun ada zakat yang disalurkan kepada masyarakat miskin, zakat tersebut disalurkan secara individual, konservatif dan tidak profesional, sehingga zakat tersebut tidak mampu membuat mereka keluar dari kemiskinan. Kondisi ini juga disebabkan oleh kurang tapatnya pemahaman tentang mustahiq zakat seperti amil zakat (wal amilina alaiha). Untuk mengevaluasi hal tersebut, maka perlu kembali rasanya kita memahami makna mstahiq zakat, terutama gharim (orang yang berutang), fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), dan amil zakat. 1. Gharim (Orang yang Berutang)

Gharim (orang yang berutang) adalah orang-orang yang berutang untuk kebaikan dan tidak sanggup membayarnya. Adapun pendapat empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Ahmad ibn Hanbal) tentang orang-orang yang masuk ke dalam kategori gharim dapat diformulasikan sebagai berikut : a. Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan dengan syaratsyarat sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) b. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan. Utang itu melilit pelakunya. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.

Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya. Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain sementara yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan. Dari berbagai pendapat ulama tersebut tidak terdapat penjelasan bahwa gharim itu adalah orang yang berutang untuk membangun fisik masjid atau sarana lainnya, kalau pun ada yang memasukkan untuk kepentingan social tetapi juga masih menyangkut kemaslahatan dan kesjahteraan manusia secara langsung.

c.

2.

Fi Sabilillah Menurut Hanafiyah (pengikut Imam Hanafi), fi sabilillah adalah orang-orang fakir yang terlantar dalam perperangan di jalan Allah sedangkan menurut pengikut Imam Syafii dan Hanbali adalah aorang yang berjihad di jalan Allah namun dia tidak mendapatkan gaji atau penghasilan dari negara. Dalam konteks hari ini pada negara-negara damai makna fi sabilillah dikembangkan dengan orang yang berjihad membela agama Allah melalui jalur pendidikan dan misi dakwah. Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa makna fi sabilillah masih terkait dengan manusia tidak dengan benda atau infrastruktur. Oleh sebab itu, pemahaman fi sabilillah sebagai mustahiq zakat selama ini tidak tepat ketika dikatakan bahwa fi sabilillah itu untuk pembanguan fisik mesjid,mushalla sekolah dan sarana sarana umum lainnya. Namun inilah realitas yang terjadi sehingga harta zakat yang seharusnya dinikmati orang-orang miskin dimanfaat untuk pembangunan infrastruktur.

3.

Amilin Alaiha (Amil Zakat) Makna amil sebagai mustahiq zakat tidak banyak dikenal dan difahami oleh umat Islam akhir-akhir ini, padahal ini adalah komponen yang sangat penting dalam menjadikan zakat sebagai sarana penguatan ekonomi umat Islam. Menurut Imam Hanafiy dan SyafiI, amil adalah orang yang diangkat oleh imam (pemimpin negara) untuk mengelola zakat, dan kemudian dia diberikan hak dari zakat yang dikelola sesuai dengan kualitas kerjanya, Namun ada juga ulama yang berpendapat bahwa

amil boleh mengambil haknya dari zakat maksimal seperdelapan atau 12,5 % dari total zakat yang dikumpulkan. Di antara makna yang terkandung dengan ditetapkannya amil sebagai mustahiq dalam surat al-Taubah ayat 60 adalah bahwa sebenarnya Allah Swt memerintah kepada kita bahwa zakat tersebut harus dikelola secara profesional, bukan dibagi secara sendiri-sendiri. Sehingga di dalam surat al-Taubah ayat 103, Allah memerintahkan pemerintah atau pemipin untuk mengambil zakat dari para orang kaya umat Islam. Inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah pada zamannya, dengan menunjuk pejabatpejabat yang bertugas mengumpulkan zakat dari umat Islam dan dikelola oleh lembaga amil yang dibentuk oleh negara. Bahkan pada zaman Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah, belaiu malah memerangi orang-orang yang tidak mau menyerkan zakat ke negara. Dengan melaksanakan tuntutan syariat dan sunnah rasul dengan mengelola zakat melalui amil, maka zakat barulah akan dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk mengurangi tingkat kemiskinan umat Islam dengan alasan,pertama, Ketika semua umat Islam sudah mematuhi tuntutan berzakat melalui amil maka zakat akan terkumpul dalam jumlah yang besar, yang untuk Indonesia setelah diteliti mencapai 200 trilyun pertahun, dan untuk Kabupaten Tanah Datar diperkirakan mencapai 30 Milyar pertahun, kedua, ketika dana zakat itu terkumpul pada amil zakat, dan amil zakat mampu megelola secara profesional, seperti dengan memberikan modal usaha kepada fakir miskin, maka tentu secara perlahan tingkat kemisknan umat Islam akan bisa dukrangi. Berdasarkan hal di atas, maka hal yang penting dan harus dilakukan umat Islam hari ini adalah bagaimana membangun lembaga zakat dan menyalurkan zakat kepada lembaga-lembaga tersebut, dan lembaga amil zakat mengembalikan zakat itu kepada manusia, terutama fakir miskin dengan cara produktif dan profesional, sehingga dengan demikian barulah tujuan zakat sebagai media pemberantasan kemiskinan umat Islam dapat terwujud.

Mendamba Amil Profesional, Amanah dan Beretika

Cyber Sabili-Jakarta. Dalam sebuah hadits disebutkan, Nabi Muhammad saw mengecam keras seseorang yang ditunjuk sebagai amil kemudian melakukan tindakan tidak amanah dengan menggelapkan dana zakat yang ia terima, meski hanya sepotong kain. Cerita soal amil atau istilah kerennya sekarang adalah relawan zakat atau pekerja zakat dari lembagalembaga zakat profesional yang berjalan kaki, naik angkot, naik bis kota, atau paling banter naik motor untuk menawarkan proposal dan menjalankan tugas lainnya, nyaris tak terdengar lagi. Venomena ini memang terjadi pada perjalanan awal berdirinya lembaga zakat kontemporer di tanah air pada awal 1990-an. Pada era itu, para relawan dan pekerja zakat hingga pimpinan lembaga zakat sangat idealis. Dari dana yang terkumpul dimanfaatkan untuk operasional sehemat mungkin agar jatah untuk musthahik (penerima

zakat) jauh lebih besar. Intinya, beban dalam mengelola dana zakatyang di dalamnya terdapat ganjaran bagi yang lurus dan ancaman dari Allah SWT bagi yang berkhianat terasa sangat berat. Sehingga, mereka pun melakukan keprihatinan yang luar biasa. Tapi ketika lembaga zakat itu membesar dan kebanjiran dana zakat karena kemampuannya menghimpun cukup profesional, tantangan lembaga zakat berubah drastis. Di antaranya adalah tarikmenarik antara tetap istiqamah(konsisten) dengan kesederhanaanya atau mengikuti perkembangan arus membesarnya dana zakat (termasuk di dalamnya infak, sedekah, dan wakaf) yang bisa dihimpun tiap tahun. Perubahan-perubahan itu, menurut sumber Sabili terlihat pada meningkatnya gaji, tunjangan dan kesejahteraan, termasuk jaminan kesehatan serta asuransi bagi diri dan keluarganya. Tak hanya itu, berbagai fasilitas yang diklaim akan memperlancar pekerjaan juga disediakan lembaga, mulai dari mobil operasional dan fasilitas untuk pribadi, hingga biaya perjalanan dinas luar kota lengkap dengan akomodasinya. Untuk manajer dan direksi ada yang mendapat fasilitas hotel bintang lima dan tiket pesawat Garuda PP. Soal penampilan pribadi juga tak kalah nyentrik. Tak cukup hanya dengan hem lengan panjang berbalut dasi di lehernya, tapi juga dilengkapi dengan setelah jas lengkap. Khususnya bagi mereka yang bertugas sebagai fundrishing yang harus bertemu dengan manajer atau direksi berbagai perusahaan nasional bahkan asing. Alasannya sederhana, untuk menghormati tamu atau tuan rumah yang bakal menjadi donator kakap, khususnya dana CSR dari perusahaan yang bersangkutan. Menurut sumber Sabili itu, tren seperti ini, umumnya menimpa pada amil atau pekerja zakat yang masuk ke lembaga zakat ketika lembaga itu sudah besar. Sehingga ia tak mengetahui secara persis bagaimana perjuangan tatkala merintis dan mengawali berdirinya lembaga ini. Karenanya, amil yang dulu ikut merintis dan berjuang, insya Allah tidak akan seperti ini karena mereka tau betul kondisi keuangan lembaganya. Terkumpul berapa, buat musthahik berapa, buat operasional berapa, sehingga diusahakan selalu menghemat, agar porsi terbesar benar-benar untuk musthahik, tandasnya. Lebih lanjut, sumber Sabili ini mengaku malu jika dirinya disebut pejuang zakat. Karena ia merasa hanya sebagai buruhnya orang miskin, paling-paling disebut pekerja social atau pekerja zakat. Apalagi jika dipanggil aktivis zakat, aduh malu sekali, itu terlalu keren, karena yang namanya aktivis adalah orang yang dengan potensinya berbuat untuk masyarakat tanpa pamrih, bahkan bisa jadi ia membiayayi sendiri aktivitasnya itu. Karenanya, aktivis zakat idealnya disematkan pada orang kaya yang luar biasa peduli pada kaum dhuafa, menegakkan nilai-nilai zakat, bahkan mengeluarkan dana pribadi untuk membiayai aktivitasnya itu, katanya. Karena itu, ia sepakat jika mereka disebut sebagai pekerja sosial atau pekerja zakat. Pasalnya, mereka bekerja secara professional dan digaji secara profesional ditambah dengan tunjangan serta fasilitas yang juga profesional. Sebenarnya ini hal biasa, karena amil di lembaga zaka t digaji secara profesional untuk memikirkan orang miskin, maka sangat tidak tepat jika disebut aktivis zakat. Sebutan yang tepat adalah pekerja zakat atau pekerja sosial, tandasnya. Yang justru harus dipertayakan oleh masyarakat, lanjut sumber Sabili, ketika pekerja zakat sudah menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas yang luar biasa adalah, kenapa program pemberdayaan zakatnya hanya biasa-biasa saja? Harusnya, ketika sudah digaji besar, pekerja, manajer dan direksi lembaga zakat harus bisa membuat program yang benar-benar mengakar ke masyarakat, bukan hanya sebatas program santunan atau musiman saja. Hari ini di-launching besok tutup gak ada lagi programnya. Jika hanya program santunan, semua orang bisa melakukannya asal punya uang, ngapain melalui lembaga zakat. Karenanya, jika ada lembaga

zakat yang programnya hanya begitu-begitu saja, masyarakat sebaiknya jangan menyalurkan ke lembaga zakat yang seperti itu. Masyarakat harus dididik untuk berani mengeluarkan sanksi bagi lembaga zakat seperti ini, tegasnya. Gaji Amil Ahmad Juwaini (Ketua Forum Zakat) dalam artikelnya yang berjudul Gaji Amil menulis, pemberian gaji pada amil diberikan dalam rangka memberikan balas jasa atas pengerahan tenaga, waktu, pikiran dan kompetensi seseorang dalam rangka mengurus zakat. Pemberian balas jasa juga bertujuan untuk menumbuhkan semangat berkarya, kesungguhan dan kerja keras dalam melaksanakan tugas sebagai amil. Pemberian gaji pada amil diharapkan dapat mewujudkan pengelola zakat yang serius dan berkonsentrasi penuh dalam melayani masyarakat dan mengembangkan zakat dengan sebaik-baiknya. Berikut kutipan sepenuhnya artikel ini: Banyak orang kini terlibat dalam pekerjaan sebagai amil zakat. Diperkirakan lebih dari 10.000 orang di Indonesia telah menjadi amil zakat. Ada yang menjadi amil karena alasan ideologis, yaitu untuk memperjuangkan nasib sekaligus melayani umat. Ada yang menjadi amil karena alasan profesional, yaitu bahwa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, kecakapan dan pengalaman dalam mengelola zakat. Ada juga karena alasan pragmatis, yaitu bahwa saat ini pekerjaan yang mampu menampung yang bersangkutan adalah sebagai amil. Dilihat dari waktu yang digunakan setiap amil untuk mengurusi zakat, maka kita bisa membagi menjadi: 1) Amil Penuh Waktu. 2) Amil Paruh Waktu. Dan, 3) Amil Sementara. Amil Penuh Waktu adalah amil yang terlibat mengelola zakat dalam rata-rata delapan jam sehari, lima hari dalam seminggu dan terus bekerja sepanjang tahun. Amil Penuh Waktu relatif menjadikan pekerjaannya sebagai amil sebagai pekerjaan utama. Amil Paruh Waktu adalah amil yang melakukan pekerjaan mengelola zakat dalam jumlah jam kerja yang berbagi dengan pekerjaan atau profesi lain. Umumnya jam kerja rata-rata yang digunakan Amil Paruh Waktu untuk mengelola zakat adalah kurang dari empat jam dalam sehari. Sedangkan Amil Sementara adalah orang yang terlibat mengelola zakat dalam waktu yang sangat pendek, misalnya dalam sebuah kepanitiaan Ramadhan yang waktunya hanya tiga hari dalam setahun (menjelang Idul Fitri). Terkait pekerjaan atau profesi sebagai amil, banyak orang telah mendapatkan gaji atau upah secara tetap. Gaji ini tentu saja diberikan pada Amil Penuh Waktu atau sekurang-kurangnya yang menjadi Amil Paruh Waktu. Sedangkan Amil Sementara, umumnya tidak mendapat gaji atau upah. Gaji bisa bersumber dari penyisihan atas hak amil (mustahik) yang didapat dari akumulasi dana zakat yang dihimpun oleh lembaga zakat. Bisa juga berasal dari dana lain (non zakat) yang dimiliki oleh organisasi yang menjadi induk lembaga zakat itu. Pemberian gaji pada amil diberikan dalam rangka memberikan balas jasa atas pengerahan tenaga, waktu, pikiran dan kompetensi seseorang dalam rangka mengurusi zakat. Pemberian balas jasa juga bertujuan untuk menumbuhkan semangat berkarya, kesungguhan dan kerja keras dalam melaksanakan tugas sebagai amil. Pemberian gaji amil diharapkan dapat mewujudkan pengelola zakat yang serius dan berkonsentrasi penuh dalam melayani masyarakat dan mengembangkan zakat dengan sebaik-baiknya. Terkait besaran gaji amil, pernah sebuah media nasional memuat pernyataan seorang birokrat bahwa ada pimpinan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang gajinya Rp 45 juta per bulan. Pernyataan ini tentu saja tidak benar, karena sampai saat ini gaji pimpinan OPZ belum ada yang sampai pada angka tersebut. Meskipun sesungguhnya, sebagai sebuah kemungkinan, boleh saja suatu hari seorang pimpinan OPZ bergaji Rp 45 juta atau lebih apabila pencapaian penghimpunan zakatnya sudah sangat besar (sesuai panduan fiqih zakat).

Pemberian gaji yang memadai pada amil zakat, sesungguhnya saat ini diperlukan. Selain dalam rangka menghargai jerih payah, kinerja dan dedikasinya dalam mengurusi zakat yang telah dicapai, juga untuk menumbuhkan rasa kebanggaan dan membangunkan perasaan senang terhadap pekerjaan sebagai amil zakat. Mengurus zakat tidak boleh menimbulkan kesan minder atau tidak percaya diri di kalangan sebagian masyarakat karena pekerjaan sebagai amil zakat dianggap hina atau rendah. Untuk membangunkan kegemilangan zakat kita memerlukan orang-orang yang bangga dan penuh gairah dalam mengelola zakat. Alasan lain, perlunya memberi gaji amil zakat yang memadai adalah dalam rangka menjaga agar setiap OPZ tetap diisi oleh orang-orang berkualitas dan kompeten. Setiap OPZ seharusnya dikelola oleh orangorang yang cerdas, visioner, terampil, berintegritas, pekerja keras dan karyanya dapat dibanggakan masyarakat. Dengan balas jasa yang memadai akan dimungkinkan bagi OPZ untuk merekrut orang-orang terbaik dan merawatnya untuk terus berkarya penuh pengabdian dalam melayani dan mengembangkan zakat. Ketika OPZ tak mampu memberikan gaji memadai, pada suatu titik orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi dan pengalaman memadai satu persatu akan meninggalkan OPZ dan mencari tempat beraktivitas atau bekerja di tempat lain yang menyediakan balas jasa yang lebih baik. Sebagian yang lain, mungkin akan keluar dari OPZ dan berubah haluan dengan menjadi wirausahawan. Sementara sebagiannya lagi akan bekerja sebagai amil dengan nyambi pekerjaan lain untuk menutupi kebutuhan hidupnya yang tidak tercukupi dari penghasilannya sebagai amil. Dampaknya, akan menurunkan konsentrasi, komitmen, loyalitas dan kejuangannya dalam mengurus dan mengembangkan zakat. Karena saat ini sudah sedemikian banyak orang yang terlibat sebagai amil, maka perhatian kita tentang gaji amil perlu ditingkatkan. Kita perlu memberikan penghargaan dan balas jasa yang memadai, sekaligus tetap menjaga kemuliaan dan martabat sebagai amil. Tentu saja semua perhatian dan penataan ini harus tetap dirangkai dalam bingkai panduan fiqih zakat serta komitmen menjaga amanah untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Etika Amil Menjadi amil, ibarat jembatan penghubung antara muzaki (orang yang wajib mengeluarkan zakat karena telah melampui syarat tertentu) dengan mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Dalam melaksanakan tugas, amil harus mengikuti adab-adab amil serta menjaga etika baik terhadap muzaki terlebih kepada mustahik. Untuk itu, perlu dicatat bahwa bekerja sebagai amil bukan semata-mata menyenangkan, tapi merupakan pekerjaan berat, penuh amanah dan tanggung jawab. Dalam sebuah hadits disebutkan, Nabi Muhammad saw mengecam keras seseorang yang telah ditunjuk sebagai amil kemudian melakukan tindakan tidak amanah dengan menggelapkan dana zakat yang ia terima, meski hanya sepotong kain. Karenanya, lembaga zakat sangat memerlukan sosok amil yang jujur dan amanah. Dalam bukunya, Dr Yusuf al-Qardhawy menambahkan perlunya kriteria faqih (mengetahui hukum secara mendalam dalam masalah zakat) sebagai salah satu syarat menjadi seorang amil. Di antara etika menjadi amil adalah bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya serta tidak mengambil selain haknya. Jika mengikuti Mazhab Syafii, jumlah 1/8 dari dana zakat sebagai hak amil menuntut adanya dua kemungkinan. Pertama,jumlah itu bisa jadi terlalu kecil. Bagi lembaga zakat yang hanya bisa menghimpun dana zakat tak seberapa, boleh jadi lembaga itu tidak bisa mencukupi standar hidup layak bagi pekerjanya. Karenanya, lembaga zakat seperti ini dituntut kreatif (misalnya di luar aktivitas zakat) untuk memenuhi kebutuhannya menggaji pekerja agar tidak mengambil yang bukan haknya dari dana zakat.

Kedua, disisi lain, 1/8 dana zakat adalah jumlah yang sangat besar, khususnya bagi lembaga zakat besar yang mampu menghimpun dana zakat ratusan miliar bahkan triliunan rupiah tiap tahun. Sehingga, jika bersikeras menuruti pendapat Mazhab Syafii, tentulah para amil pada lembaga zakat sekelas ini merupakan pekerja zakat atau pekerja sosial yang mempunyai penghasilan cukup besar. Tak heran, jika lembaga ini menjadi incaran pencari kerja melebihi perusahaan bonafit. Karenanya, persoalan ini harus disikapi secara cerdas dan bijak. Kita tidak ingin kerja keras para amil dihargai hanya dengan pendapatan pas-pasan atau bahkan di bawah standar hidup layak, apalagi hanya ucapan terima kasih. Di sisi lain, seorang amil juga tak pantas memiliki penghasilan yang sangat besar karena akan berhadapan dengan kemiskinan yang menjadi problem klasik negeri ini bahkan dunia. Jika kecenderungan kedua dibiarkan, akan muncul kesenjangan baru. Tidak lagi antara the have dengan the havent, tapi antara amil dengan mustahik yang lain. Yang jauh lebih penting, seorang amil harus takut akan kondisinya yang makmur justru akan melukai perasaan mustahik lain, terutama mereka yang fakir dan miskin. Etika beriktunya, amil harus mengupayakan sistem distribusi secara sentralistik. Lembaga zakat mestinya memiliki wilayah yang jelas, di mana zakat dipungut di situlah zakat didistribusikan. Dengan sistem ini, akselerasi zakat yakni pemerataan pendapatan kemungkinan overlapping sangat terbuka. Di DKI akan cepat tercapai. Kondisi saat ini, saja terdapat banyak LAZ dan BAZ.

Sehingga, muzaki boleh jadi didatangi beberapa lembaga zakat sekaligus. Demikian juga mustahik,mendapat bantuan lebih dari sebuah lembaga. Pada titik ini peran pemerintah dibutuhkan seperti tercantum pada UU 38 Tahun 1999. Selanjutnya, amil zakat jangan sampai bersikap congkak seolah hanya merekalah dewa penyelamat kaum miskin. Amil seharusnya juga menjadi sosok teladan kesederhanaan dan kesahajaan, bukan sebaliknya konsumtif, hedonis, dan glamaor. Dalam konteks manusiawi, amil sebaiknya jangan cepat naik pitam jika diingatkan, baik oleh rekan sesame amil apalagi oleh masyarakat. Pasalnya, selain ancaman sanksi bagi amil yang menyimpang dari ketentuan UU No 38 Tahun 1999, amil juga mempunyai potensi menyimpang terhadap syariat Allah SWT yang tentu saja memiliki sanksi yang jauh lebih berat di akhirat kelak. Wallahu alam bisshawab. (Dwi Hardianto).

Zakat: Definisi dan Tujuannya


Fiqih Ahkam 8/9/2008 | 07 Ramadhan 1429 H Please wait Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.com Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (At-Taubah: 03) Definisi Zakat Zakat adalah bagian tertentu dari kekayaah yang Allah perintahkan untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak (mustahiq). Disebut pula shadaqah seperti dalam firman Allah di surat At-Taubah ayat 60. Yang dimaksudkan shadaqah dalam ayat itu adalah zakat wajib, bukan shadaqah sunnah. Al-Mawardi berkata, Shadaqah adalah zakat, dan zakat adalah shadaqah. Beda nama tapi satu makna. Sejarah Zakat menjadi kewajiban secara utuh di Madinah dengan ditentukan nishab, ukuran, jenis kekayaan, dan distribusinya. Negara Madinah juga telah mengatur dan menata sistem zakat dengan mengirim para petugas untuk memungut dan mendistribusiannya. Sebenarnya, prinsip zakat sudah diwajibkan sejak fase Makkah dengan banyaknya ayat-ayat yang menerangkan sifatsifat orang beriman dan menyertakan membayar zakat sebagai salah satunya. Misalnya seperti ayat yang menjadi dalil kewajiban zakat tanaman, Makanlah dari buahnya ketika berbuah, dan berikan haknya pada hari panennya; Dan jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan. (Al-Anam: 141). Ayat ini adalah ayat Makkiyah Antara Zakat dan Riba

Kewajiban zakat sudah ditetapkan sejak fase Makkiyah, kemudian dikukuhkan dengan aturan praktisnya di Madinah. Demikian juga hukum riba telah ditetapkan sejak di Makkah dan secara praktis ditetapkan di Madinah. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Ar Rum: 39) Dari ayat di atas jelaslah bahwa riba yang secara zahir adalah penambahan harta, namun sesungguhnya pengurangan. Sedangkan zakat yang secara zahir pengurangan harta, tapi pada hakikatnya adalah penambahan harta di sisi Allah swt. Hukum Zakat Zakat adalah kewajiban dan satu dari rukun Islam yang lima rukun seperti dalam hadits Rasulullah saw., Islam didirikan di atas lima hal, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika mampu. (muttafaq alaih) Dalam hadits Ibnu Abbas diterangkan bahwa Rasulullah saw. ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman berpesan kepadanya, Sesungguhnya kamu akan menemui kaum Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku utusan Allah. Jika mereka sudah menerima hal ini, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menerimanya, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat hartanya, diambil dari yang lebih kaya dan dibagikan kepada yang fakir di antara mereka. Jika mereka menerima hal ini, maka hati-hati dengan harta mereka yang bagus. Dan waspadailah doanya orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada sekat antara dia dengan Allah. (riwayat al-jamaah) Motivasi Zakat Allah swt. mendorong kaum muslimin untuk membayar zakat dengan menjelaskan manfaat zakat bagi kebersihan jiwanya. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (At-Taubah: 103) Membayar zakat adalah salah satu sifat orang bertakwa. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz Dzariyat: 19)

Rasulullah saw. bersabda, Ada tiga hal yang aku bersumpah, maka hafalkanlah: 1. Tidak akan berkurang harta karena bersedekah; 2. tidak ada seorang hamba pun yang dizalimi kemudian ia bersabar, pasti Allah akan menambahkan kemuliaan; 3. tidak ada seorang hamba pun yang membuka pintu meminta-minta, kecuali Allah akan bukakan baginya pintu kefakiran. (AtTirmidzi) Ancaman Bagi Yang Menolak Zakat Allah swt. memperingatkan orang yang menolak membayar zakat dengan berfirman, Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu. (At-Taubah: 34-35) Rasulullah saw. bersabda, Tidak seorangpun yang memiliki simpanan, kemudian ia tidak mengeluarkan zakatnya, pasti akan dipanaskan simpanannya itu di atas jahanam, dijadikan cairan panas yang diguyurkan di lambung dan dahinya, sehingga Allah berikan keputusan di antara para hamba-Nya di hari yang lama seharinya sekitar lima puluh ribu tahun, sampai diketahui ke mana perjalanannya, ke surga atau neraka. (Asy-Syaikhani) Menolak Zakat Hukumnya Kafir Para ulama bersepakat bahwa orang yang menolak/mengingkari kewajiban zakat adalah kafir, dan keluar dari Islam. Imam An-Nawawi berkata tentang seorang muslim yang mengetahui kewajiban zakat kemudian mengingkarinya, maka dengan pengingkarannya itu ia menjadi kafir, berlaku atasnya hukum orang murtad, berupa disuruh taubat dan diperangi. Karena kewajiban zakat adalah sesuatu yang secara aksiomatik diketahui kewajibannya dalam agama. Orang yang mengingkari zakat dipandang sangat hina. Bahkan dikatakan: sudah tidak zamannya lagi ada orang yang menolak zakat. Hukuman Orang yang Menolak zakat Orang yang menolak membayar zakat diganjar dengan tiga jenis hukuman, yaitu: a. Hukuman akhirat, seperti hadits yang telah disebutkan di atas.

b. Hukuman duniawi yang telah Allah tetapkan, seperti dalam hadits Nabi, Tidak ada suatu kaum yang menolak zakat, pasti Allah akan uji mereka dengan paceklik (kelaparan dan kekeringan). (Al-Hakim, Baihaqi, dan Thabrani). Dalam hadits yang lain, dan mereka menolak zakat hartanya kecuali para malaikat akan mencegah hujan dari langit, dan jika tidak karena hewan ternak mereka tidak akan diberi hujan. (Al-Hakim, Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Baihaqi) c. Hukuman duniawi yang diberikan oleh pemerintahan muslim. Rasulullah saw. bersabda tentang zakat, Barangsiapa yang memberikannya untuk memperoleh pahala dari Allah, maka ia akan memperoleh pahala. Dan barangsiapa yang menolaknya, maka kami akan mengambil separuh hartanya, dengan kesungguhan sebagaimana kesungguhan Rabb kami. Tidak halal bagi keluarga Muhammad sedikitpun darinya. (Ahmad, An-Nasai, Abu Daud, dan Baihaqi) Sedangkan jika penolakan dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin, maka negara wajib memeranginya dan mengambil zakat mereka dengan paksa. Inilah yang dilakukan Abu Bakar r.a. ketika ada kabilah-kabilah yang menolak membayar zakat. Kata Abu Bakar, Demi Allah, aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat adan zakat. Karena sesungguhnya zakat itu adalah hak harta kekayaan. Demi Allah jika mereka menolak memberikan seekor hewan kepadaku, yang pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw., pasti akan aku perangi karena penolakannya itu. (Al-jamaah, kecuali Ibnu Majah) Tujuan dan Pengaruh Zakat Zakat adalah salah satu ibadah terpenting dalam Islam. Al-Quran menyebutkannya dalam dua puluh delapan ayat. Zakat dalam Islam sangat berbeda dengan sistem zakat di manapun. Pada saat pajak hanya bertujuan pada pengumpulan dana untuk menggerakkan proyek dan policy Negara, kita dapati zakat dilakukan dengan sasaran yang bermacam-macam, di sudut kehidupan yang membentang dari pribadi sampai masyarakat. Pertama kali zakat merupakan ibadah seorang muslim yang dilakukan untuk menggapai ridha Allah, dengan niat yang ikhlas agar diterima. Dengan itu, maka terealisasi tujuan utama keberadaan manusia di muka bumi ini, yaitu beribadah kepada Allah. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz Dzariyat: 56). Dengan menunaikan zakat akan terelisasi juga tujuan-tujuan berikutnya, yaitu: a. Berkaitan dengan Muzakki

Zakat membersihkan muzakki dari penyakit pelit, dan membebaskannya dari penyembahan harta. Keduanya adalah penyakit jiwa yang sangat berbahaya, yang membuat manusia jatuh dan celaka. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al Hasyr: 9). Rasulullah saw. bersabda, Celaka hamba dirham, celaka hamba pakaian dagangan. (Bukhari) Zakat adalah latihan berinfaq fii sabilillah. Dan Allah swt. menyebutkan infaq fii sabilillah sebagai sifat wajib orang muttaqin dalam lapang maupun sempit dan menyertakannya sebagai sifat terpenting. Menyertakannya dengan iman kepada yang ghaib, istighfar di waktu fajar, sabar, benar, taat. Seseorang tidak akan pernah berinfak secara luas di jalan Allah kecuali setelah terbiasa membayar zakat, yang merupakan batas wajib minimal yang harus diinfakkan. Zakat adalah aktualisasi syukuri nikmat yang Allah berikan, terapi hati dan membersihkannya dari cinta dunia. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zak at itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (At-Taubah: 103). Dan sesungguhnya zakat adalah mekanisme membersihkan dan memperbanyak harta itu sendiri. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaikbaiknya. (Saba: 39)

b. Berkaitan dengan Penerima

Zakat akan membebaskan penerimanya dari tekanan kebutuhan, baik materi (seperti makan, pakaian, dan papan), kebutuhan psikis (seperti pernikahan), atau kebutuhan maknawiyah fikriyah (seperti buku-buku ilmiah). Karena zakat didistribusikan dalam semua kebutuhan di atas. Dengan itu, seorang fakir akan dapat mengikuti kewajiban sosialnya. Ia akan merasa sebagai anggota masyarakat yang utuh karena tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk berusaha memperoleh sesuap makanan guna penyambung hidup. Zakat membersihkan jiwa penerimanya dari penyakit hasad (iri) dan benci. Karena orang miskin yang sangat membutuhkan itu ketika melihat orang di sekitarnya hidup dengan mewah dan berlebih, tetapi tidak mengulurkan bantuannya, akan sakit hati (iri, dendam, dan benci) kepada orang kaya dan bahkan kepada masyarakat secara umum. Hal ini akan memutuskan tali persaudaraan, menghilangkan rasa cinta, dan mencabik-cabik kesatuan sosial. Sesungguhnya iri dan benci adalah penyakit yang melukai jiwa dan fisik, serta menyebabkan banyak penyakit seperti infeksi usus besar dan tekanan darah. Yang namanya penyakit, tentu akan menggerogoti eksistensi masyarakat secara keseluruhan. Karena itu Rasulullah saw. memperingatkan, Telah menjalar di tengah-tengah kalian penyakit umat sebelum kalian, yaitu iri dan benci. Kebencian adalah pisau penyukur. Aku tidak mengatakan penyukur rambut, tetapi pencukur agama. (AlBazzar dan Baihaqi)

Pengaruh Zakat Bagi Masyarakat Di antara kelebihan zakat dalam Islam adalah ibadah fardiyah (individual) sekaligus sosial. Sebagai sebuah sistem, pengelolaan zakat membutuhkan karyawan yang mengambilnya dari para

orang kaya dan membagikannya kepada yang berhak. Mereka ini akan bekerja dan memperoleh imbalan dari pekerjaannya. Zakat sebagai sebuah tatanan sosial dalam Islam yang memiliki manfaat banyak sekali, di antaranya:

Zakat adalah hukum pertama yang menjamin hak sosial secara utuh dan menyeluruh. Imam Az-Zuhriy menulis tentang zakat kepada Umar bin Abdul Aziz: Bahwa di sana terdapat bagian bagi orang-orang yang terkena bencana, sakit, orang-orang miskin yang tidak mampu berusaha di muka bumi, orang-orang miskin yang meminta-minta, bagi muslim yang dipenjara sedang mereka tidak punya keluarga, bagian bagi orang miskin yang datang ke masjid tidak memiliki gaji dan pendapatan, tidak meminta-minta, ada bagian bagi orang yang mengalami kefakiran dan berhutang, bagian untuk para musafir yang tidak memiliki tempat menginap dan keluarga yang menampungnya. Zakat berperan penting dalam menggerakkan ekonomi. Karena seorang muslim yang menyimpan harta, berkewajiban mengeluarkan zakatnya minimal 2,5% setiap tahun. Hal ini akan mendorongnya untuk bersemangat mengusahakannya agar zakat itu bisa dikeluarkan dari labanya. Inilah yang membuat uang itu keluar dari simpanan dan berputar dalam sektor riil. Ekonomi bergerak dan masyarakat akan memperoleh keuntangan dari putaran itu. Zakat memperkecil kesenjangan. Islam mengakui adanya perbedaan rezeki sebagai akibat dari perbedaan kemampuan, keahlian, dan potensi. Pada saat bersamaan Islam menolak kelas sosial timpang, satu sisi hidup penuh kenikmatan dan sisi lain dalam kemelaratan. Islam menghendaki orang-orang miskin juga berkesempatan menikmati kesenangannya orang kaya, memberinya apa yang dapat menutup hajatnya. Dan zakat adalah satu dari banyak sarana yang dipergunakan Islam untuk menggapai tujuan di atas. Zakat berperan besar dalam menghapus peminta-minta, dan mendoroang perbaikan antara sesama. Maka ketika untuk membangun hubungan baik itu memerlukan dana, zakat dapat menjadi salah satu sumbernya. Zakat dapat menjadi alternatif asuransi. Asuransi adalah mengambil sedikit dari orang kaya kemudian memberikan lebih banyak lagi kepada orang kaya. Sedang zakat mengambil dari orang kaya untuk diberikan kepada fuqara yang terkena musibah. Zakat memberanikan para pemuda untuk menikah, lewat bantuan biaya pernikahannya. Para ulama menetapkan bahwa orang yang tidak mampu menikah karena kemiskinannya diberikan dari zakat yang membuatnya berani menikah.

Anda mungkin juga menyukai