Anda di halaman 1dari 10

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya

(mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di
jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.[1]
Ayat ini turun ketika orang-orang munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang
pembagian zakat , kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan
tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.

maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas
diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.[2]
Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi
semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :

Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-SyafiI dan sekelompok ulama.
Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat
kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf dan khalaf, di antaranya,
Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, Ini
adalah pendapat sebagian besar ulama.

Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena
keharusan memenuhi semuanya.[3]
Masharif Zakat

Pertama dan kedua,
Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih
memprihatinkan dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Taala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada
miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan
miskin.
Imam Abu Jafar berkata : Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin.
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :

Waqi, Ibnu Jarir, Asas dan Hasan berpendapat, Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang
tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang
yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya.
Mujahid, Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak
punya dan ia meminta-minta.[4]
Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia
tidak berhijrah.[5]
Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari
kebutuhannya.
Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun
tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan
sebagai orang yang kaya.[6].

Ketiga, .
Masharif zakat yang ketiga adalah amil zakat, yaitu orang bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-
orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula.[7] Mereka
berhak mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Abdul Muthalib bin Rabiah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam agar dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab,
Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan keluarganya.
Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.[8]
Para ulama berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat :

Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.


Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan
kadar apa yang dikerjakannya.
Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jamiul Bayan
adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.
Keempat,
Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada
Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya
agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya.[9] Diantara mereka yang
dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Sufyan bin Harb, Uyainah bin Badr
dan Aqra bin Habis.[10]
Mereka ada tiga golongan :

1. Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.


2. Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
3. Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.[11]

Kelima,

Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya.
Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri ,Muqatil bin Hayyan, Umar
bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-NakhaI, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah al-
Mukatib yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.[12]
Keenam,
Yaitu orang yang terlilit utang tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Taala, kemudian ia tidak
bisa melunasi hutangnya tersebut. Mujahid berkata, AlGharimin ialah orang yang terbakar rumahnya, kemudian ia
berhutang untuk membangun kembali rumahnya. Wajib bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul
Mal.[13]
Dalam keadaan ini ada dua golongan :

1. Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
2. Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.[14]
3. Orang yang mempunyai tanggungan denda atu hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk
memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau
berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari bu Said Al-Khudri ia berkata, Pada zaman
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena buah-buahan yang
barui saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, Bersedekahlah kepadanya, maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi
untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada para piutang tersebut,
Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).[15]
Ketujuh,


Para ulama berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut :

Abu Yusuf berkata, Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di dalam peperangan (mujahidin)
yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.
Muhammad, Orang yang berhaji.
Sebagian ulama berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan
orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Wallahu alam bi Shawab.[16]

Kedelapan,
Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia
orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang
ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan
pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.[17]

Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah Subhanahu wa Taala yang diwajibkan
kepada orang yang mempunyai harta dari orang muslimin. Allah Maha Mengetahui kemaslahatan mahluknya
terhadapa apa saja yang diwajibkan kepada mereka, tidak ada sesuatu apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin
Allah Subhanahu wa Taala mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya. Dialah
Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.[18]


Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :

1. Orang yang diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya.


2. Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin.[19]

REFERENSI

1. Alquranul Karim.

1. Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sadi, Muasasah
Risalah. Cetakan pertama.
2. Ruhul Maani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6. Maktabah Taufiqiyah, Kaero Mesir.
3. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafii.
4. Jami Al-Bayan an Tawiliil Ayil Quran Tafsir Tobari oleh Abu Jafar Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid
5.Cetakan kedua Dar As-Salam.
5. Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4. Dar Al-Fikr. Cetakan
tahun 1414 H/ 1993 M.
6. Ensiklopedi Islam Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri. Darus Sunnah.
Cetakan kedua.

[1] . At-Taubah 60.


[2] . Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sadi, hal 341 Muasasah
Risalah
[3] . Terjemahan Tafsir Ibnu Katrsir jilid 4 hal 150-151. Pustaka Imam Asy-Syafii.
[4] .Jami Al-Bayan an Tawiliil Ayil Quran Tafsir Tobari oleh Abu Jafar Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari jilid 5 hal
4021. Dar As-Salam.
[5] .Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur oleh Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi jilid 4 hal 222. Dar Al-Fikr.
[6] . Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sadi, hal 341 Muasasah
Risalah.
[7] . Ensiklopedi Islam Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri hal 776. Darus Sunnah.
[8] . Terjemahan Tafsir Ibnu Katrsir jilid 4 hal 151. Pustaka Imam Asy-Syafii.
[9] . Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, hal 341.
[10] . Tafsir At-Tobari jilid 5 hal 4026.
[11] .Ruhul Maani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6 hal 169. Maktabah Taufiqiyah.
[12] . Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 152.
[13] . Tafsir At-Tobari jilid 5 hal 4029.
[14] . Ensiklopedi Islam Al-Kamil hal 776.
[15] . Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 153-254.
[16] . Ruhul Maani Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6 hal 171. Maktabah Taufiqiyah.
[17] . Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 154.
[18] . Tafisr At-Tobari jilid 5 hal 4031.
[19] .Taisir Karim Ar-Rahman hal 341.
MAKALAH PENAFSIRAN AYAT-AYAT
TENTANG ZAKAT
PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG ZAKAT
Oleh: Abdul Rouf dan Mohammad Abdul Fatah
I. PENDAHULUAN
Untuk memahami ketetapan hukum atas suatu perkara dalam nash al-Quran, ketika ayat-ayat
yang dijadikan hujjah masih bersifat mujml(umum) maka diperlukan suatu kajian yang disebut tafsir.
Di dalam al-quran terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang perintah wajibnya zakat, baik
yang di ungkapkan secara tegas dan langsung dengan shight amar, atau dengan ungkapan berbentuk
ancaman bagi yang tidak menunaikannya, maupun dengan bentuk ungkapan lain. Zakat sendiri dalam al-
quran maupun hadits sering juga diistilahkan dengan lafadz , atau yang disertai qarinah, dan
yang dimaksud adalah shadaqah wjibah, haqq wjib dan nafaqah wjibah yang khusus diberikan
kepada ashnf delapan.
Akan tetapi pada umumnya ayat-ayat tersebut masih bersifat mujml. Dengan demikian, perlu
adanya penjelasan dari sumber lain yang menjelaskannya. Dalam hal ini, peran nabi sebagai mubayyin
al-Quran dan para ulama tafsir sangatlah dibutuhkan.
Secara khusus makalah ini akan membahas tentang beberapa ayat penting yang bisa dijadikan
dasar atas wajibnya zakat dalam islam dan juga pentasharufannya, dengan tafsir dan asbab an-
nuzl yang dijadikan dasar pertimbangan dalam mengambil istimbth hukum dalam nash, serta
penjelasanyya berdasarkan perbedaan pendapat para ulama, yang penulis kutip dari beberapa kitab
tafsir dan kitab-kitab fiqih baik kitab salaf maupun kontemporer.
II. PERINTAH MEMBAYAR ZAKAT
Surat At-Taubah Ayat: 103;
]:[




Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

1. Sebab-Sebab Turunnya Ayat


Diantara penduduk Madinah, terdapat segolongan orang-orang munafik dan kemunafikan mereka
sudah keterlaluan sehingga Nabi SAW tidak mengetahuinya, karena kepandaian mereka
menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keihlasan. Tetapi Allah Maha mengetahui segala yang
mereka tampakkan maupun yang mereka rahasiakan dalam hati, Allah membongkar rahasia itu. Mereka
diancam dengan siksaan dua kali lipat oleh Allah SWT. Ketika tiba perintah saatnya perang mereka
selalu beralasan dan bahkan tidak ikut dalam satuan perang.
Setelah peristiwa perang tabuk ada segolongan diantara mereka (penduduk Madinah)
seperti Abdullah bin Ubay, Abu Lubab Marwan bin Abi Mundzir, Aus bin Tsalabah, dan Wadiah bin
Hazam sadar dan mengakui segala dosa-dosanya, mereka menyatakan penyesalan sebab kesalahan
yang telah mereka perbuat, mencampur baurkan yang baik dan buruk dalam tiap-tiap perang bersama
Rasulullah SAW, dan terakhir karena penyelewengan mereka tidak ikut perang Tabuk.[1]
Dalam sebuah kisah yang driwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa ketika orang-orang yang
mengakui dosa-dosanya itu diterima taubatnya oleh Allah mereka mendatangi Nabi dengan membawa
harta-harta yang mereka miliki dan berkata ; Wahai Rasul Allah, harta-harta kami ini yang menjadikan
kami berpaling, maka sedekahkanlah harta ini dan mohonkanlah kami ampunan. Rasulullah SAW
menjawab : Aku sama sekali tidak diperintah untuk mengambil harta-harta kalian itu. Maka turunlah
Ayat diatas. Kemudian Rasulullah SAW mengambil 1/3 dari harta mereka.[2]
2. Tafsir mufrodat & Analisis Bahasa
a) ; ambillah (wahai Muhammad) sebagian dari harta mereka (orang-orang yang
mengakui dosa-doasanya dan bertaubat dari padanya) sebagai shadaqah. Khitb dari amar di
sini adalah Rasulullah. Huruf ) ( berfungsi littabdl, karena shadaqah yang difardlukan tidaklah semua
harta. Kata ) (disebutkan dalam bentuk jama, mencakup semua jenis harta, dan dlamr ) (bersifat
umum, kembali kepada seluruh kaum muslimin. Sedangkan ) (yang diperintahkan itu ialah shadaqah
fardlu ; yakni zakat.[3] Jadi, ayat ini menunjukkan wajibnya diambil zakat sebagian dari harta-harta kaum
muslimin secara keseluruhan karena kesamaan mereka dalam hukum agama.
Bagi Mufassir yang berkelit dengan asbb al-nuzl, maka dlamr ) ( diberlakukan khusus untuk
orang-orang yang bertaubat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk seperti dalam peristiwa di atas, dan
yang dimaksud dari ) (dalam ayat tersebut adalah hak sebagai kaffrah (tebusan) setelah mereka
bertaubat, bukan sebagai zakat fardlu.[4]
b) ; dibaca rafa, menerangkan sifat dari lafadz ( ). huruf ( )t tanist ghaibah dan dlamr
mustatr-nya lafadz (), jadi artinya; yang membersihkan mereka. Atau jika tatersebut
untuk khitb dan id yang terbuang menunjuk pada lafadz sebelumnya, kalau di nampakkan berbunyi ;
() , artinya; yang dengan shadaqah itu engkau membersihkan mereka. Atau bisa pula kalimat
tersebut sebagai hl dari dlamr mukhatab.
c) ; mensucikan diri atau harta mereka. dalam artian bertambah keberkahnya. Dengan kata
lain, adanya shadaqah itu harta mereka menjadi bersih dan merupakan hak Allah terhadap orang-orang
fakir yakni berupa zakat. Jika jumlah ini athf pada lafadz sebelumnya maka huruf ( )adalah t tanist
ghaibah atau bisa mukhtab. Jika berdasarkan bacaan jazm pada lafadz ( )maka huruf ( )di sini
sebagai permulaan kalimat (istinfiyah), maksudnya:
d) ; berdoalah dan mohonlah ampunan untuk mereka (dari segala dosa-dosa). Secara
bahasa ( )berarti doa, Orang yang menerima zakat dalam hal ini Rasulullah diperintah untuk
mendoakan mereka yang memberikannya.
e) ; sesungguhnya doamu (Muhammad). Dibaca dalam bentuk mufrd,[5] ada sebagian
yang membaca () , dalam shight jam.
f) ; ketenangan, kasih sayang dan kemulyaan bagi mereka. ( )bisa berarti apa saja yang
dapat membuat perasaan menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram. Ayat ini menunjukkan anjuran
mendoakan mereka.
g) ; Allah Maha mendengar atas doa-doa mu, Maha mengetahui siapa yang berhak dan
pantas menerima shadaqah (zakat) dari mu.[6]
3. Munasabah Ayat
Ayat 103 dari surat At-Taubah di atas merupakan rentetan peristiwa yang dijelaskan oleh Allah
SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dari ayat sebelumnya yaitu QS. At-Taubah : 101-102;



]:[
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara
penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian
mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
]:[




Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan
pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.
Karena ayat di atas bersifat umum (mujml), maka mengundang beberapa penafsiran yang
berbeda di kalangan ulama. Seperti dalam memaknai lafadz ( )atau kembalinya dhamr misalnya.
Bagi ulama yang menggunakan prinsip; ( ) , maka ayat
konteks shadaqah tersebut khusus dalam peristiwa yang melatar belakanginya, bukan dimaksudkan
sebagai zakat yang difardlukan untuk kaum muslimin secara umum. Bagi golongan ini sabb an-
nuzl menjadi pengikat untuk memahami hukum yang dikandungnya.
Sedangkan yang memegangi prinsip;( ) bagi sejumlah Ulama ushul,
menyatakan bahwa kewajiban itu tidaklah khusus pada mereka yang telah bertaubat dari dosa
sebagaimana dalam dalam sabb an-nuzl, karena zakat merupakan kewajiban dalam Islam. Pendapat
ini didukung oleh Imam Ath-Thabari, dan beliau menuqilnya dari sejumlah ahli Takwil. Hal ini juga
diperkuat oleh banyak Mufassir yang memegangi pendapat pertama, bahwa yang dimaksudkan
shadaqah dalam ayat itu adalah zakat. Demikian pula Jumhr Salaf maupun Khalaf, dengan ayat
tersebut mereka gunakan sebagai dasar atas sejumlah permasalahan hukum dalam bab-bab zakat.
Hubungan ayat sesudah dan sebelumnya tidaklah tetap kecuali berdasarkan dalil. Meski
demikian, menurut para ulama ushul khususnya, dengan adanya sebab bukan berarti harus menafikan
umumnya lafadz.[7] Secara zahir ayat di atas memang menghendaki diambilnya bagian dari tiap-tiap
harta. Untuk memahaminya perlu ada korelasi dengan ayat-ayat lain yang sepadan, juga perlu adanya
penjelasan hadits-hadits maupun sunnah Rasulullah SAW. Ini penting untuk megetahui secara pasti
mengenai rincian berapa kadarnya yang ditentukan, batasan nishb, waktu pelaksanaan dan jenis harta
apa saja yang wajib dikeluarkan sebagai shadaqah wajib (zakat) atasnya.
4. Penjelasan
Surat At-Taubah ayat : 103 dengan munasabah sekian banyak ayat di atas menunjukkan bahwa
setiap kaum Muslimin wajib menunaikan zakat. Dikhususkannya khitb kepada Rasul dalam hal ini
bukanlah berarti menunjukkan kekhususan hukum bahwa zakat hanya terhadap Rasul (yang
menariknya), karena banyak hukum-hukum syara berlaku yang mana khithb-nya kepada Rasul. Hal ini
karena Rasul adalah orang yang menyerukan risalah Allah dan sebagai penjelas apa yang
dimaksudkannya, maka didahulukan penyebutannya supaya jalan bagi umat dalam syariat agama
sesuai dengan jalan yang ditempuhnya.[8]
Kepastian wajibnya zakat ini juga didasarkan pada ayat-ayat lain dalam AlQuran yang
menyebutkannya dengan shigt yang beragam. Diantaranya, zakat sering diistilahkan juga dengan
kata , atau . tetapi yang dimaksud adalah shadaqah wjibah, haqq wjib dan nafaqah
wjibah yang khusus diberikan kepada ashnf delapan.
Dan shigt sendiri disebutkan tidak kurang dari 32 kali dalam Al-Qurn, seperti diantaranya
dalam ayat ;
]:[
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
Zakat merupakan salah satu dari Rukun Islam yang lima, Hukumnya fadlu ain, wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. Secara kronologis yang pertama-tama
diwajibkan adalam shalat, kemudian datang perintah puasa di Madinah tahun kedua Hijriah, bersamaan
dengan itu datang perintah zakat fitrah, dan menyusul kemudian zakat mal.
Demikian Rasulullah telah menjelaskan bahwa, Islam dibangun di atas lima pondasi; Syahadat,
Shalat, zakat, Puasa, dan Haji. Sebagaimana sabda beliau :

:

) ( .
Islam dibangun atas lima perkara : Persaksian bahwa sesungguhnya tiada Tuhan Selain Allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan
dan hajji ke Baitullah bagi yang mampu jalannya. (HR. Bukhari Muslim)
III. PENTASHARUFAN ZAKAT
Surat At-Taubah Ayat : 60 ;







]:[
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
1. Tafsir Mufrodat & Analisis Bahasa
a) ; kata ) (menunjukan batasan atau cakupan khusus (hashr), artinya
jenis shadaqah itu ditasarufkan hanya kepada delapan ashnf yang disebutkan bukan yang
lain.[9] ) (bentuknya jamak dan umum artinya bisa meliputi shadaqah wjibah (zakat) dan shadaqah
mandbah (sedekah biasa).
b) ; berarti sebagai ketetapan yang diwajibkan Allah; sudah menjadi ketentuan Allah
bahwa zakat harus diberikan kepada ashnf delapan bukan pada yang lain.
2. Munasabah Ayat & Sebab-Sebab Turunnya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafadz pada ayat diatas
adalah zakat, dengan alasan bahwa yang ada pada awal lafadz tersebut adalah lil-ahdiyah, yakni
menunjuk sesuatu yang telah maklum, dan yang telah maklum itu adalah shadaqah wjibah (zakat),
pernyataan itu benar berdasarkan korelasi dengan ayat sebelumnya, sebagaimana yang diisyaratkan
pada ayat 58-59 surat At-Taubah ;
]:[

Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi
sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya,
dengan serta merta mereka menjadi marah.

]:[


Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka,
dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian
(pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka).
Ayat ini menyinggung tentang segolongan munafik yang mencerca Nabi SAW dalam pembagian
zakat, mereka menyangka bahwa Nabi membagi-bagikannya pada orang sekehendaknya dari kalangan
kerabat dan orang-orang yang ia sukai, demikian mereka menganggap bahwa Nabi tidak berlaku adil,
mereka berkata demi Allah Muhammad tidak memberikan zakat itu kecuali kepada orang-orang yang ia
sukainya, ia hanya menuruti hawa nafsunya, maka turunlah ayat diatas.[10] Dan pada kelanjutannya
dinjelaskan tentang orang-orang yang berhak atas pembagian zakat. Ini
membicarakan tentang shadaqah wjibah (zakat),maka pada ayat kelanjutannya juga masih berkenaan
dengan shadaqah wjibah (zakat).[11]
3. Penjelasan
Pada ayat 60 surat At-Taubah di atas terdapat dua bentuk jama; jama dengan huruf waw );(
dan jama dengan shigat. Imam Syafii menetapkan berdasarkan zahirnya pada dua bentuk jama secara
bersamaan. Dengan demikian maka, semua jenis shadaqah wjibah (zakat) baik itu zakat fithrah maupun
zakat mal wajib ditasharufkan kepada delapan ashnf yang ada, karena ayat menyandarkan shadaqah
kepada mereka dengan lm at-tamlk, dan antara mereka berserikat dengan waw at-tasyrk. Ini
menunjukkan bahwa zakat semuanya milik mereka secara berserikat. Jika zakat diberikan sendiri oleh
pemilik harta tanpa melalui miln atau wakilnya maka gugurlah bagian miln , dan zakat wajib
dibagikan kepada tujuh ashnf dengan adil, tidak ada yang lebih kuat antara mustahiq yang satu atas
yang lain. Jika tidak ditemukan semuanya maka diberikan kepada ashnf yang ada, tetapi tidak boleh
kurang dari tiga orang dari tiap-tiap golongan, karena jumlah jama minimal adalah tiga. Jika yang
memberikan zakat itu Imam atau wakilnya maka harus diratakan kepada tiap-tiap ashnf. Ini yang
dipegangi oleh Ikrimah, Umar bin Abdul Aziz, Az-Zuhri dan Daud Adh-Dhahiri.
Imam Abu Hanifa, Malik dan Ahmad, mengatakan bolehnya mensaharufkan zakat kepada satu
golongan (shinf) mustahiq. Bahkan Abu Hanifah dan Malik membolehkan mentasharufkannya kepada
satu orang diantara salah satu ashnf tersebut. Imam Malik menganjurkan untuk memberikannya kepada
yang paling mendesak hajatnya diantara mereka. Ibrahim An-Nakhai berkata ; boleh jika zakat itu sedikit
ditasharufkan kepada satu golongan mustahiq, jika banyak maka harus diratakan kepada ashnf yang
ada.
Keterangan yang dinuqil dari tiga Imam itu adalah riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Hudzaifah,
Hasan Al-Bashri, Atho, Sad bin Jabir, Adl-Dlahak, Asy-Syabiy, Ats-Tsaury, dan merupakan qaul yang
dipilih oleh segolongan Ashhab Asy-Syafii, bahwa boleh membayarkan zakat fithrah kepada tiga orang
fakir atau orang miskin. Bahkan Ar-Rubbani dari Syfiyah berpendapat bolehnya membeyar zakat mal
kepada tiga orang ahli sahman, beliau berkata : ini merupakan pilihan karena pekerjaan yang mendesak
pada madzhab kami, dan sekiranya Imam Syafii hidup pasti ia akan menfatwakan itu. [12]
Tiga Imam di atas didalam memahami ayat lebih cenderung pada alternatif / pilihan pada
delapan ashnf, artinya tidak boleh mentasharufkan zakat kepada selain ashnf ini, dan mengenai siapa
diantara ashnf itu boleh memilih. Ayat menjelaskan tentang ashnf yang boleh dikasih bagian zakat,
bukan untuk menentukan pembayaran kepada mereka. Yang dijadikan dalil oleh mereka adalah
Dan sabda Rasulullahh SAW ;

Aku diperintahkan mengambil shadaqah (zakat) dari orang-orang kaya kalian, dan memberikannya
kepada orang-orang fakir kalian
Secara dhahir dasar di atas menunjukkan bolehnya memberikan semua shadaqah
kepada Fuqar tidak kepada yang lain, bahkan dhahirnya lafadz menghendaki wajib dengan lafadz
, ini menunjukkan bolehnya mencukupkan pada satu golongan saja. Adapun dasar bolehnya pada
satu urang saja adalah, bahwa bentuk jama yang dimarifatkan dengan al itu secara hakikat ada
kalanya lil ahdiyah, istighrq dan majz mengenai jenis orang yang shadaqah dengan satu.
Jika digunakan istighrq, tidak mungkin satu sedekah diperuntukkan untuk tiap-tiap orang fakir,
yang demikian itu pemahaman dhahir yang rancu. Tidak bisa pula jika dimaknai sebagaiahdiyah, tidak
ketemu nisbahnya. Dengan demikian dikembalikan pada fungsi sebagai majs, maka artinya pada ayat
itu bahwa satu jenis shadaqah untuk satu jenis orang fakir, dan satu jenis fakir tidaklah menjadi nyata
kecuali dengan adanya satu orang, maka boleh mentasharufkannya kepada satu orang.[13]
Berdasarkan ayat 60 surat At-Taubah di atas, golongan yang berhak menerima zakat hanya
mereka yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qurn tersebut, tidak boleh kepada yang lain,
yaitu Fuqar, Maskn, Amiln, Muallaf, Riqb, Ghrimin, Fi Sablillah, Ibnu Sabl.
Ulama Fiqih mentafsirkan sablillah berpokok pada bala tentara. Tafsiran itu mengacu pada
pada salah satu makna umum diantara makna yang banyak, karena makna itu yang terpenting menurut
mereka, bukan karena hanya maknanya menurut logat Arab. Ibnu Katsir berkata, bahwa makna
sablillah adalah semua amal kebajikan yang dimaksudkan berhampir diri kepada Allah, bukan tertentu
pada peperangan, bukan pula lebih terang maknanya pada peperangan. Tidak seorangpun dapat
memberikan makna sablillah hanya berarti belanja untuk peperangan saja, pendapat yang demikian itu
hanyalah diambil dari kata-kata ulama salaf yang tidak dapat dijadikan dallil.
Dalam ilmu Ushl Fiqh bahwa kata yang umum itu wajib diartikan sebagaimana umumnya selama
tidak ada dalil untuk mengkhususkannya, dan dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan
maknanya. Jadi yang dimaksud sablillah disini berarti umum meliputi semua yang diridlai oleh Allah
SWT, seperti membangun madrasah, masjid dan lain sebagainya yang bersifat dlahiri untuk kepentingan
dan kemashlahatan Islam. Menurut Al-Ghulayain, memberikan sedekah pada Sablillah meliputi semua
usaha kebaikan untuk kemaslahatan umum atau untuk menghindarkan segala kejahatan, kesulitan
umum, seperti persediaan perlengkapan pertahanan, membengun madrasah dan semua yang
bermanfaat dan kebaikannya berguna untuk umat.
Menurut Muhammad Rasyid Ridlo, bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan sablillah di sini
adalah beberapa kemaslahatan kaum Muslimin umumnya yang menambah kekuatan agama Islam dan
negaranya, bukan untuk perseorangan. Yang terpenting di masa kini ialah persediaan untuk propaganda
penyiaran Islam, untuk membiayai pengiriman para Muballigh ke negri-negri non Muslim, organisasi-
organisasi yang teratur untuk memperjuangkan Islam dan lain sebagainya. [14]
Zakat tidak boleh dipindahkan dari satu negeri ke negeri yang lain. Ini pendapat Asy-Syafii yang
dianggap paling shahh. Menurut Abu Hanifah hal itu dimakruhkan, terkecuali memang diberikan untuk
kerabat yang sungguh-sungguh memerlukan. Imam Malik berpendapat bahwa hal itu tidak boleh, kecuali
penduduk suatu negeri sangat membutuhkannya, maka boleh memindhkannya menurut kemashlahatan.
Sedangkan Imam Ahmad tidak membolehkan memindahkan zakat ke daerah lain sejauh jarak yang
boleh mengqashar shalat, sekalipun di negerinya sendiri tidak ada mustahiq zakat.[15]
IV. KESIMPULAN
dari pemaparan diatas dapat disimpulkan beberapa penjelasan mengenai hal-hal zakat bahwa:
Setiap muslim wajib menunaikan zakat. Zakat merupakan salah satu dari Rukun Islam yang lima,
Hukumnya fadlu ain, wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. Secara kronologis
yang pertama-tama diwajibkan adalah shalat, kemudian datang perintah puasa di Madinah tahun kedua
Hijriah, bersamaan dengan itu datang perintah zakat fitrah, dan menyusul kemudian zakat mal.
semua jenis shadaqah wjibah (zakat) baik itu zakat fithrah maupun zakat mal wajib ditasharufkan kepada
delapan ashnf yang ada. Jika zakat diberikan sendiri oleh pemilik harta tanpa melalui miln atau
wakilnya maka gugurlah bagian miln , dan zakat wajib dibagikan kepada tujuh ashnf dengan adil,
tidak ada yang lebih kuat antara mustahiq yang satu atas yang lain. Jika tidak ditemukan semuanya
maka diberikan kepada ashnf yang ada, tetapi tidak boleh kurang dari tiga orang dari tiap-tiap golongan,
karena jumlah jama minimal adalah tiga. Jika yang memberikan zakat itu Imam atau wakilnya maka
harus diratakan kepada tiap-tiap ashnf.
Berdasarkan ayat 60 surat At-Taubah di atas, golongan yang berhak menerima zakat hanya mereka
yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qurn tersebut, tidak boleh kepada yang lain,
yaitu Fuqar, Maskn, Amiln, Muallaf, Riqb, Ghrimin, Fi Sablillah, Ibnu Sabl.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bantani, Nawawi, Syehk, Marh Labd li kasyfi Man Al-Qurn Al-Majd, Juz I, cet III, Beirut,
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006.
Al-Jaziri, Abdul Rahman, Al-Fiqh Al Madzhib Al-Arbaah, Juz I, Beirut, Dar Al-Fikr, 2004.
Al-Qathn, Mann, Tafsr yt Al-Ahkm, juz II, cet. II, Kairo, Mathbaah Al-Madaniy, 1964.
Al-Wahidi, Ali bin Ahmad, Asbb An-Nuzul, Beirut, Dar al-Fikri, 1991.
Ash-Shiddiqi, Hasbi, Prof., Dr., Hukum-hukum Fiqih Islam, Cet. V, Jakarta : Bulan Bintang, 1978
As-Syis, Muhammad Ali, Syekh, Kulliyat As-Syariah : Tafsr yt Al-Ahkm, Kairo, Mathbaah
Muhammad Ali Sabih, 1985.
As-Syis, Muhammad Ali, Syekh, Kulliyat As-Syariah Tafsr yt Al-Ahkm (Muqarrarah As-
Sanah Ats-Tslitsah), Kairo, Mathbaah Muhammad Ali Shabih, 1953.
As-Syirazi, Abu Ishaq, Al-Muhadzdzab fi Fiqh Imm As-Syfii, Juz I, Kairo, Dar Al-Fikri, 1994.
Ibnu, Rusd, Bidyah Al-Mujtahid wa Nihyah Al-Mustafd, edisi Indonesia, Jilid I, Cet. I, Jakarta,
Pustaka Azzam, 2006
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islm, Cet. XVII, Jakarta, Penerbit Attahiriyah, 1976.

[1] Syehk Nawawi al-Bantani, Marh Labd li kasyfi Mana Al-Qurn Al-Majd (Tafsir Surat At-Taubah ayat 101-
102) Juz I, cet III (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006), hlm. 466
[2]
Syekh Muhammad Ali As-Syis, Kulliyat al-Syarah Tafsr yt Al-Ahkm, (Kairo : Mathbaah Muhammad Ali
Sabih), hlm. 46.

[3] Mann al-Qathn, Tafsr yt Al-Ahkm, juz II, cet. II, (Kairo : Matbaah al-Madaniy, 1964), hlm. 388
[4] Muhammad Ali As-Syis, Kulliyat al-Syarah Tafsr yt Al-Ahkm, hlm. 46
[5] Seperti bacaan Imam Hamzah, Al-Kisi dan Hafs dari shim. Adapun Imam-Imam yang lain membacanya
dalam bentuk jama. Lihat, Syehk Nawawi al-Bantani, Marh Labd li kasyfi Mana Al-Qurn Al-Majd, Juz I, cet
III (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006), hlm. 466
[6] Mann al-Qathn, Tafsr yt Al-Ahkm, hlm. 388-389
[7] ibid, hlm. 392-393
[8] ibid, hlm. 395
[9]
Muhammad Ali As-Syis, Kulliyat al-Syarah : Tafsr yt Al-Ahkm (Muqarrart as-sanah ats-tslitsah),
(Kairo : Mathbaah Ali Shobih, 1953), hlm. 30

[10] Syehk Nawawi Al-Bantani, Marh Labd li kasyfi Mana Al-Qurn Al-Majid, Juz I, hlm. 454
[11]
Muhammad Ali As-Syis, Kulliyat al-Syarah : Tafsr yt Al-Ahkm (Muqarrart as-sanah ats-tslitsah), hlm.
31
[12]
ibid, hlm. 32

[13]
ibid, hlm. 32-33

[14] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, hlm. 203-204


[15] Hasbi Ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqih Islam, Cet. V, hlm.177

Anda mungkin juga menyukai