Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI,

INFLASI, EKSPOR DAN JUMLAH UANG BEREDAR


TERHADAP RISIKO KREDIT DI WILAYAH ASIA
TENGGARA (ASEAN)
(STUDI PADA NEGARA THAILAND, FILIPINA,
MALAYSIA DAN INDONESIA PERIODE 1998-2014)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Fitria Wulandari
125020400111002

PROGRAM STUDI KEUANGAN DAN PERBANKAN


JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

1
2
ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI,
EKSPOR DAN JUMLAH UANG BEREDAR TERHADAP RISIKO
KREDIT DI WILAYAH ASIA TENGGARA (ASEAN)
(STUDI PADA NEGARA THAILAND, FILIPINA, MALAYSIA DAN
INDONESIA PERIODE 1998-2014)

Fitria Wulandari
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email :fitriaa.wulandari@yahoo.com

ABSTRACT

This study aimed to examine the effect of economic growth, inflation, exports
and the money supply on credit risk in the region of Southeast Asia (ASEAN). The author
uses nonperforming loans as the dependent variable and include variables of economic
growth, inflation, exports and money supply as an independent variable. The author uses
quantitative research methods and using panel data analysis that the merger between the
data time series and cross section data.
The results showed that the variable economics growth (GDP) and export
significant and negative influential on credit risk in ASEAN, while the inflation influence
significantly and positive on credit risk in ASEAN and variable money supply does not
significantly influence the credit risk in ASEAN

Keywords: Credit Risk, Non Performing Loan, GDP, Inflation, Export, Money Supply

A. PENDAHULUAN

Pada era globalisasi ini persaingan sektor perbankan semakin ketat. Khususnya di
kawasan Asia Tenggara (ASEAN) yang pada tahun 2015 menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) dalam bentuk pasar tunggal atau pasar bebas dan berbasis
produksi regional. MEA ini merupakan tantangan yang baru bagi perbankan di kawasan
tersebut sehingga diharapkan sektor perbankan untuk menyalurkan kredit untuk
perusahaan-perusahaan yang membutuhkan modal. Kawasan ASEAN sebagian besar juga
sebagai negara berkembang yang membutuhkan modal untuk pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Semakin besar kredit yang disalurkan maka semakin besar pula risiko kredit
yang akan dihadapi.
Secara umum, risiko kredit diproyeksikan dalam rasio NPL (Non Performing
Loan) yaitu rasio perbandingan total kredit bermasalah terhadap total kredit yang
disalurkan oleh kreditur. Meningkatnya rasio NPL menunjukkan sinyal penurunan kinerja
sektor perbankan dan penurunan kualitas portofolio kredit (Festic & Beko ,2008).
Menurut (Boyd & Champ) Risiko kredit yang terjadi pada negara berkembang lebih besar
daripada risiko kredit di negara maju dikarenakan di negara berkembang penyaluran
kredit lebih besar selain itu juga dilihat dari tingkat kemakmuran suatu negara. Tingkat
kemakmuran bisa dilihat dari GDP Percapita Terdapat 6 negara di kawasan ASEAN
yang mempunyai GDP Percapita yang tinggi dbandingkan negara di wilayah ASEAN
yang lain. Negara yang memiliki GDP PerCapita paling tinggi adalah negara Singapura,
Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina.

3
Grafik 1.1 Rata-rata GDP Per Capita Negara di Asia Tenggara

Rata-rata GDP Per Capita (US) ASEAN Tahun 2009-2014

60000
40000
20000
0

Sumber: World Bank, Data diolah

Grafik diatas merupakan rata-rata PDB percapita negara di ASEAN. Enam


negara ASEAN yang memilki PDB percapita tertinggi yaitu Singapura Brunei
Darussalam, Malaysia, Thailand, Indonesia dan Filipina. Hal itu berarti bahwa tingkat
produktivitas enam negara tersebut lebih baik daripada Vietnam, Laos, Myanmar dan
Kamboja. Produktivitas juga mempengaruhi risiko kredit. Ketika produktivitas tinggi
maka pendapatan rata-rata masyarakat di suatu negara akan meningkat dan kemampuan
untuk membayar kewajiban akan meningkat sehingga bisa mempengaruhi tingkat
NonPerforming Loan (NPL).

Tabel 1.1 Rata-rata Nonperforming Loans (NPL) 6 Negara di Asia


Tenggara Tahun 2009-2014

Tahun Rata-rata
Negara
2009 2010 2011 2012 2013 2014 NPL
Brunei 6.86703 6.0320 5.37616 4.5253 3.67443 3.6744 5.024893
Thailand 5.22061 3.8878 2.93262 2.4301 2.43019 2.5104 3.235324
Filipina 3.48947 3.3807 2.55546 2.2228 2.44086 2.4408 2.75505
Malaysia 3.62656 3.3540 2.68139 2.0158 1.84915 1.6457 2.528792
Indonesia 3.28838 2.5318 2.14413 1.7733 1.68677 2.0668 2.248559
Singapura 2.03438 1.4063 1.06046 1.0426 0.86694 0.7565 1.194549
Sumber: Sumber: World Bank, Data diolah

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa Brunei merupakan Negara yang
mempunyai risiko kredit yang paling besar. Di Asia Tenggara (ASEAN) khususnya enam
negara di kawasan tersebut, rata-rata risiko kredit yang paling besar yaitu Brunei
Darussalam. namun negara Brunei Darussalam dan Singapura merupakan negara yang
sudah memilki pendapatan perkapita tinggi sehingga keadaan makroekonomi akan
berbeda dengan negara Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia yang merupakan
negara berkembang. Risiko kredit pada sektor perbankan memiliki keterkaitan dengan
kondisi makro yang terjadi pada setiap negara. Perubahan kondisi makroekonomi akan
menyebabkan perekonomian sangat sensitif terhadap guncangan atau fluktuasi yang
terjadi. Perubahan kondisi makro akan membuat kondisi perbankan juga mengalami
perubahan. Perbedaan keadaan makro terhadap risiko kredit bisa dilihat pada fase
sebelum resesi tahun 2008 dengan pasca resesi tahun 2008.
Pada fase setelah resesi yaitu setelah tahun 2008 keadaan makroekonomi mulai
mengalami perubahan. Berubahnya keadaan makro dapat mempengaruhi risiko kredit.
Pertumbuhan ekonomi, inflasi, ekspor dan Jumlah Uang Beredar merupakan variabel

4
makroekonomi yang memiliki keterkaitan terhadap risiko kredit. Dari latar belakang
maka peneliti mengangkat judul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan ekonomi, Inflasi,
Ekspor dan Jumlah Uang Beredar Terhadap Risiko Kredit di Wilayah Asia Tenggara
(ASEAN) (Studi pada Negara Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Malaysia,
Indonesia Periode 1998-2014)”.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Risiko Kredit
Kredit merupakan suatu pengdaan suatu pinjaman dengan perjanjian pembayarannya
dilakukan pada waktu yang telah disepakati. Penyaluran kredit yang dilakukan oleh pihak
debitur akan memperoleh keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang diperoleh yaitu
memperoleh tambahan nilai dari pokok pinjaman yang berupa bunga sebagai pendapatan
bank.
Kerugian pemberian kredit dari perbankan kepada nasabah yaitu adanya risiko kredit.
Menurut Gereuning (2009) Risiko kredit adalah suatu keadaan dimana debitur ataupun
penerbit instrumen keuangan baik individu, perusahaan maupun negara tidak akan
membayar kembali kas pokok yang telah ditetapkan sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati dalam penjanjian kredit. Dalam hal ini berarti pembayaran akan tertunda atau
tidak sama sekali, yang dapat menyebabkan masalah arus kas dan mempengaruhi
likuiditas bank.
Risiko kredit diproyeksikan dalam NonPerforming Loans (NPL) yaitu perbandingan
antara kredit yang bermasalah terhadap kredit yang disalurkan.

Kredit Bermasalah
NPL = Total Kredit
X 100%

Rasio ini digunakan oleh pihak perbankan untuk mengukur kemampuan bank dalam
menangani risiko kredit. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa semakin buruk
kualitas dari kredit yang disalurkan oleh bank yang menyebabkan semakin banyak debitur
yang tidak dapat membayar kewajibannya kepada bank.

Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Risiko Kredit


Pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan jumlah barang dan jasa yang
diproduksi dalam negeri dan dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yang
ditunjukkan oleh GDP menunjukkan adanya peningkatan income suatu perusahaan atau
individu. Jika terjadi resesi, pertumbuhan ekonomi pastinya akan menurun sehingga akan
mempengaruhi income suatu perusahaan dan akan kesulitan membayar (gagal bayar).
Apabila terjadi resesi maka suatu pertumbuhan ekonomi akan mengalami kelesuan
dan kelambanan hal ini akan menunjukkan bahwa harga-harga, output dan tingkat
pengangguran tidak dapat dipertahankan (Badar dan Javid, 2013). Pertumbuhan ekonomi
yang dilihat dari GDP menunjukan pertumbuhan pendapatan suatu perusahaan.
Kemampuan para debitur untuk membayar hutangnya juga akan meningkat seingga
risiko kredit yang ditunjukkan oleh NPL akan menurun. Sebaliknya apabila terjadi
penurunan GDP maka kemampuan debitur untuk membayar hutang akan semakin rendah
karena pendapatan perusahaan atau individu tersebut menurun dan akan menaikkan
risiko kredit (NPL).

Hubungan Inflasi dengan Risiko Kredit


Inflasi merupakan kenaikkan harga-harga barang yang menyebabkan harga barang
yang lain juga akan meningkat. Teori mengatakan bahwa saat harga meningkat secara
umum atau terjadi inflasi maka akan menyebabkan daya beli masyarakat akan berubah
karena saat inflasi pendapatan riilnya akan menurun (Putong,2002).
Saat terjadi inflasi daya beli masyarakat akan menurun karena harga barang-barang
secara umum akan mengalami peningkatan. Daya beli masyarakat yang menurun
menyebabkan pendapatan para produsen juga akan menurun sehingga kemampuan
membayar kewajibannya tidak tepat waktu dan risiko kredit akan meningkat. Dilain

5
pihak, pendapatan masyarakan secara riil juga akan menurun karena harga yang
meningkat sehingga menyebabkan masyarakat sebagai debitur kesulitan untuk membayar
pijaman kepada pihak kreditur sehingga risiko kredit akan meningkat.

Hubungan Ekspor dengan Risiko Kredit


Ekspor merupakan kegiatan penjualan barang dan jasa keluar negeri yang dijual
secara luar keluar negeri. Ekspor merupakan perekonomian terbuka dalam perekonomian
suatu negara. Dalam system perekonomian terbuka sebagian output akan dijual didalam
negeri dan sebagian akan diekspor keluar negeri (Mankiw, 2000). Apabila ekspor
mengalami penurunan maka kinerja keuangan eksportir juga akan menurun karena
pendapatannya juga menurun. Kemampuan eksportir untuk membayar kewajibannya juga
akan menurun yang pada akhirnya mempengaruhi NPL.
Sebaliknya apabila ekspor mengalami peningkatan maka kinerja keuangan eksprtir
tersebut meningkat. Kemampuan eksportir untuk membayar kewajibannya akan
meningkat sehingga akan menurunkan risiko kredit.

Hubungan Jumlah Uang Beredar (JUB) dengan Risiko Kredit


Jumlah Uang Beredar (JUB) ditunjukkan dalam M2. M2 adalah jumlah mata uang
yang beredar ditambah dengan uang giral dan uang kuasi (deposito berjangka, tabungan,
dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik). Jumlah uang yang beredar
menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi menyebabkan bank sentral di setiap negara akan
menaikkan suku bunga mereka agar uang yang beredar di masyarakat semakin sedikit.
Namun di sisi lain, para debitur juga akan mengalami.kesulitan akibat tingginya suku
bunga yang diberikan oleh pihak perbankan. Tinggiya suku bunga mengakibatkan para
debitur akan mengembalikan kewajiban lebih tinggi dari sebelumnya sehingga
kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya akan menurun. Kemampuan
debitur yang menurun mengakibatkan risiko kredit (NPL) akan meningkat. Sebaliknya,
apabila Jumlah Uang yang bereedar sedikit dan tingkat suku bunga turun maka para
debitur memiliki kemampuan untuk membayar kewajibanya tepat waktu sehingga risiko
kredit akan menurun.

C. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013) “Metode


kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data
menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik, dengan
tujuan untuk menguji hipotesis yang ditetapkan. Penelitian ini menggunakan analisis data
panel untuk mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh variabel makroekonomi yaitu
pertumbuhan GDP, inflasi, ekspor, dan jumlah uang yang beredar terhadap risiko kredit
dengan 4 negara anggota ASEAN yang merupakan yang memiliki angka NPL paling
tinggi yaitu Thailand, Filipina. Malaysia dan Indonesia menggunakan data pada tahun
1998-2014. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.:
NPLit = α + β1 GDPt + β2 Infit + β3 EXit + β3 M2it ɛit

Keterangan:
NPL : NonPerforming Loans (Risiko Kredit)
GDP : Pertumbuhan Ekonomi
Inf : Inflasi
EX : Ekspor
M2 : Jumlah Uang beredar
α : Konstanta
β : Koefisien/elastisitas
I : Negara ke I (Thailand, Filipina, Malaysia, Indonesia)
t : Tahun pengamatan 1998,…….,2014)
ɛ : error

6
Dalam regresi data panel ada tiga macam pendekatan yaitu pendekatan Common
Effect Method (CEM), pendekatan Fixed Effect method (FEM) dan pendektan Random
Effect Method (REM). Untuk menentukan model terbaik yang akan digunakan dengan
meggunakan uji Chow.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Model Estimasi

Tabel 2. Hasil Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests


Pool: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 10.027829 (5,26) 0.0000


Berdasarkan hasil uji chow nilai probabilitas yang lebih kecil dari 0,05 menunjukkan
kondisi H0 ditolak. Dalam hal ini H0 nya adalah model common effect lebih baik
dibandingkan model fixed effect. Sehingga dengan tingkat keyakinan 95% dapat
disimpulkan bahwa untuk data yang dimiliki model fixed effect lebih sesuai
digunakan.

Tabel 4.2 Hasil Regresi Data Panel dengan Fixed Effect Method (FEM)

Variable Koefisien t-statistik Probabilitas Keputusan


C 23.94236* 8.863552 0.0000 Signifikan
GDPit? -0.594550* -2.008953 0.0490 Signifikan
INFLit? 0.397453*** 1.648848 0.1044 Signifikan
EXPit? -0.172510* -6.746137 0.0000 Signifikan
M2it? 0.006619 0.037157 0.9705 Tidak Signifikan
R-squared 0.626592
Prob (F-statistic) 0.000000

*signifikan pada α =1% **signifikan pada α= 5% *** signifikan pada α = 10%. Keterangan
:GDPit (Pertumbuhan Ekonomi 4 Negara ASEAN), INFLit (Inflasi 4 negara ASEAN), EXPit
(Ekspor 4 Negara ASEAN), M2it (Jumlah Uang Beredar Inflasi 4 negara ASEAN)

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Risiko Kredit di Asia Tenggara


(ASEAN)

Pengaruh Pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari total GDP terhadap risiko
kredit di wilayah Asia Tenggara (ASEAN) berpengaruh negative dengan signifikan level
(tingkat kesalahan) sebesar 5% dan dengan nilai koefisien sebesar -0.594550 Dari hasil
regresi tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1%
maka pengaruhnya terhadap risiko kredit di Asia Tenggara (ASEAN) adalah sebesar -
0.594550 %. hal ini berarti bahwa ketika pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan oleh
GDP mengalami kenaikan sebesar 1% maka risiko kredit di masing-masing negara
wilayah Asia Tenggara mengalami penurunan sebesar 0.594550 %.
Hal ini sesuai dengan teori secara umum saat tingkat pertumbuhan GDP
meningkat maka akan meningkatkan aktivitas ekonomi (Samuelson, 2001). Ketika
aktivitas ekonomi meningkat maka akan membuat pendapatan masyarakat akan
meningkat juga sehingga masyarakat bisa memenuhi kewajibannya dan risiko kredit atau
NPL akan menurun.

7
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Louis (2012)
bahwa rasio NonPerforming Loan mempunyai hubungan yang negative dengan
pertumbuhan ekonomi dari semua jenis kredit yang disalurkan. Pertumbuhan ekonomi
paling besar mempengaruhi risiko kredit yang berasal dari perusahaan sehingga ketika
pertumbuhan ekonomi suatu negara tersebut naik maka perusahaan akan memiliki
kemampuan untuk membayar kredit yang diberikan oleh pihak kreditur. Adanya
kemampuan untuk membayar kewajiban akan mempengaruhi rasio NonPerforming Loan
yang menyebabkan adanya penurunan risiko kredit.

Pengaruh Inflasi Terhadap Risiko Kredit di Asia Tenggara (ASEAN)

Pengaruh inflasi terhadap risiko kredit di wilayah Asia Tenggara (ASEAN)


berpengaruh positif dengan signifikan level (tingkat kesalahan) sebesar 10% dan dengan
nilai koefisien sebesar 0.397453. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jika inflasi
di masing-masing negara di ASEAN meningkat sebanyak 1% maka pengaruhnya
terhadap risiko kredit di wilayah tersebut adalah sebesar 0.397453%. Hal ini menjelaskan
bahwa ketika inflasi mengalami kenaikan sebesar 1% maka risiko kredit di wilayah Asia
Tenggara (ASEAN) mengalami kenaikan sebesar 0.397453%.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Subagio (2005) yang
menunjukkan adanya hubungan positif antara inflasi dengan risiko kredit. Inflasi adalah
kenaikan harga secara umum dan terus menerus yang menyebabkan sektor perbankan
juga sangat terpengaruh oleh adanya inflasi yang terjadi pada setiap negara.
Secara teori menunjukkan adanya hubungan positif antara inflasi dengan risiko
kredit bahwa saat harga meningkat secara umum atau terjadi inflasi maka akan
menyebabkan daya beli masyarakat akan berubah karena saat inflasi pendapatan riilnya
akan menurun (Putong,2002). Saat terjadi inflasi daya beli masyarakat akan menurun
karena harga barang-barang secara umum akan mengalami peningkatan. Daya beli
masyarakat yang menurun menyebabkan pendapatan para produsen juga akan menurun
sehingga kemampuan membayar kewajibannya tidak tepat waktu dan risiko kredit akan
meningkat.
Menurut Sukirno (2006) inflasi akan menyebabkan pembagian kekayaan akan
memburuk yang ditunjukkan oleh masyarakat yang memiliki pendapatan tetap akan
mengurangi pendapatan riilnya sedangkan untuk masyarakat yang memiliki harta yang
tetap akan dapat mempertahankan ataupun dapat menambah pendapatan riilnya. Ketika
terjadi inflasi, masyarakat yang memilki pendapatan tetap akan memiliki pendapatan riil
yang menurun sehingga kemampuan untuk membayar kewajiban kepada kreditur akan
menurun sehingga risiko kredit akan meningkat.
Pengaruh Ekspor Terhadap Risiko Kredit di Asia Tenggara (ASEAN)

Ekspor merupakan jumlah barang dan jasa yang diproduksi didalam negeri dan
dijual secara luas keluar negeri. Ekspor memiliki hubungan yang negatif dengan risikio
kredit di wilayah Asia Tenggara (ASEAN). Pengaruhnya negatif dengan significant level
(tingkat keselahan) sebesar 1% dan dengan nilai koefisien sebesar -0.172510. Hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa apabila jumlah ekspor suatu negara terhadap risiko kredit
mengalami penurunan sebesar 1% maka risiko kredit mengalami peningkatan sebesar
0.172510%. demikian pula sebaliknya, jika jumlah ekspor mengalami kenaikan sebesar
1% maka risiko kredit di wilayah Asia Tenggara juga akan mengalami penurunan sebesar
0.172510%.
Penelitian ini sama dengan penelitian yang digunakan oleh Ahmad (2013) yang
berjudul “Explanatory of Macroeconomics Variables as Determinant of Non-Performing
Loans: Evidence from Pakistan” bahwa ekspor berpengaruh negatif terhadap
NonPerforming Loan. Menurut penelitian Ahmad (2003) Ketika ekspor menurun maka
aktivitas ekonomi menurun dan menyebabkan risiko kredit juga akan meningkat .
Sebaliknya, ketika ekspor meningkat maka aktivitas ekonomi akan meningkat sehingga
risiko kredit akan menurun.
Ketika ekspor menurun maka pendapatan produsen barang dan jasa juga akan
mengalami penurunan karena produksi yang menurun. ketika pendapatan menurun

8
menyebabkan pertumbuhan ekonomi suatu negara tersebut juga akan menurun karena
faktor dari pertumbuhan ekonomi salah satunya yaitu dari hasil ekspor dan impor
sehingga kemampuan untuk membayar kewajiban akan menurun sehingga risiko kredit
akan meningkat.

Pengaruh Jumlah Uang Beredar Terhadap Risiko Kredit di Asia Tenggara


(ASEAN)

Variabel M2it mencerminkan jumlah uang beredar ditambah uang giral dan uang
kuasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jumlah Uang Beredar tidak berpengaruh
terhadap risiko kredit di negara ASEAN, dengan nilai koefisien sebesar 0.006619. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jika Jumlah Uang Beredar meningkat sebanyak
1% maka tidak ada perubahan terhadap risiko kredit di negara kawasan Asia Tenggara.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Poudel
(2013) yang berjudul “Macroeconomic Determinants of Credit Risk in Nepalese Banking
Industry” yang menyatakan bahwa Jumlah Uang Beredar (M2) tidak berpengaruh secara
langsung terhadap risiko kredit. Jumlah Uang Beredar yang tidak signifikan terhadap
risiko kredit juga didukung oleh teori netralitas uang. Menurut Lucas (1972) netralitas
uang merupakan sebuah situasi apabila jumlah uang beredar berubah akan menyebabkan
perubahan dalam variabel nominal tetapi variabel riil seperti output, konsumsi, investasi
dan kesempatan kerja tidak ada perubahan. Selain itu menurut ahli ekonomi klasik yaitu
Hume (1752) menyatakan bahwa jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap
kesempatan kerja maupun investasi serta tingkat atau pertumbuhan output.
Apabila jumlah uang beredar meningkat yang disebabkan oleh kredit perbankan
yang meningkat untuk sektor-sektor usaha dalam jangka panjang misalnya satu tahun,
maka pengaruhnya hanya berupa kenaikan harga tetapi output tidak berubah. Perubahan
dalam jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap jumlah output dari sektor-sektor
usaha yang modalnya berasal dari kredit yang disalurkan oleh perbankan. Ketika output
tidak berubah maka perdapatan para produsen yang diterima juga tidak akan berubah.
Pendapatan yang tetap karena output yang tidak mengalami kenaikan ataupun penurunan
juga menyebabkan kemampuan membayar kewajiban pada pihak perbankan juga tetap
seperti awal sehingga risiko kredit tetap dan tidak akan dipengaruhi oleh jumlah uang
yang beredar.
E. PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil estimasi regresi pada bagian analisis dan pembahasan,
maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan antara lain yaitu:
1. Variabel-variabel GDP dan ekspor diketahui memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap risiko redit di wilayah ASEAN. Sehingga apabila variable-
variabel tersebut mengalami peningkatan, risiko kredit di wilayah tersebut akan
menurun.
2. Diantara variable-variabel yang diteliti variable inflasi memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap risiko kredit di wilayah ASEAN. Sehingga apabila variable-
variabel tersebut mengalami peningkatan, maka dapat meningkatkan risiko kredit
yang ada di wialayah ASEAN.
3. Diantara seluruh variable yang diteliti hanya variable Jumlah Uang Beredar yang
tidak signifikan terhadap risiko kredit di wilayah ASEAN. Sehingga adanya nilai
perubahan pada Jumlah Uang Beredar maka tidak akan mempengaruhi risiko kredit
di wilayah ASEAN.

Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran-saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut:
1. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti maka diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi perbankan di Asia khususnya di
wilayah Asia Tenggara (ASEAN) untuk lebih berhati-hati terhadap dampak dari

9
variabel makroekonomi khususnya untuk variabel pertumbuhan ekonomi ini sangat
berperan penting dan berpengaruh besar terhadap risiko kredit.
2. Bagi pemerintah di semua negara di ASEAN diharapkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, menstabilkan inflasi dan mengurangi ekspor yang berisiko
adanya risiko kredit sehingga diharapkan risiko kredit akan menurun.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat memperluas wilayah yang diteliti selain di wilayah
Asia Tenggara misalnya di wilayah Asia ataupun negara yang tergabung dalam
negara yang sebagian besar negara maju seperti EEC (European Economic
Community) sehingga dapat mengetahui perbedaan dari pengaruh variabel
makroekonomi terhadap risiko kredit di negara berkembang dan di negara maju.
4. Bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih dalam lagi pengaruh variabel
makroekonomi diharap dapat mengupas lebih dalam lagi dan menambah variabel
selain variabel yang digunakan oleh peneliti misalnya variabel jumlah penduduk
karena setiap negara memilki jumlah penduduk yang sangat berbeda dengan
pendapatan yang berbeda

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
sehingga panduan ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Asosiasi Desen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya khususnya kepada Bapak Al
Muizzudin SE., ME selaku dosen pembimbing penulis atas bimbingan yang
diberikan dan Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya yang memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad F, Bashir T. 2013. Explanatory Power of Macroeconomic Variables as


Determinants of Non-Performing Loans: Evidence form Pakistan. World
Applied Sciences Journal 22 (2): 243-255

Ali A., Daly K. 2010. Macroeconomic determinants of credit risk: Recent evidence
from a cross country study. International Review of Financial Analysis
19,165-171

Arintoko. 2011. Pengujian Netralitas Uang Dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 79-117

Badar, M., & Javid, A. Y. 2013, Januari. Impact of Macroeconomic Forces on


Nonperforming Loans: An Empirical Study of Commercial Banks in
Pakistan. WSEAS Transactions on Business and Economics, 10, 40-48.

Boyd, John H., & Champ, Bruce. 2006. Inflation, banking, and economic growth.
Federal Reserve Bank of Cleveland.

Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi
No.4, BPFE, Yogyakarta

Case, Karl E. dan Ray C. Fair, 2004. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Edisi Kelima,
Cetakan Kesatu. Jakarta: PT. Indeks.

Castro V. 2013. Macroeconomic and bank-spesific determinants of the credit risk


in the banking system: The case of GIPSI. Economic Modelling 31, 672-683

10
Greuning, Hennie van dan Bratanovis, Sonja Brajovic. 2009. Analisis Risiko
Perbankan. Jakarta : Salemba Empat

Gujarati, Damodar. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta : Erlangga

Hume, D. 1752. Of Money, Of Interest, and Of the Balance of Trade,In Essays,


Moral, Political, and Literary, Reprinted in Hume Economics Journals,
Eugene Rotwein ed. Diakses pada tanggal 2 Maret 2016

Indriantoro. 2002. Metodelogi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen.


Cetakan 2. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta.

Kasmir, Dr. 2008. Manajemen Perbankan. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada

Kuncoro. M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta : Erlangga

Kuznets, P. S. 1971. Contributions to Economics. The Swedish Journal of Economics.


73, 444 - 459.

Lipsey, Richard G. Courant, Paul N. Purvis, Douglas D. Steiner, Peter O. 1995.


Pengantar Makroekonomi. Edisi Kesepuluh. Jakarta : Binarupa Aksara

Louis D.P., Vouldis A.T., Metaxas V.L..2012. Macroeconomic and bank-spesific


determinants of non-performing loans in Greece : A comparative study of
mortgage, business and consumer loan portofolios. Journal of Banking &
Finance 36,1012-1027

Lucas, R.E. 1972. Expectations and the Neutrality of Money. Economic Theory
journals, 4(2): 103-124.

Mankiw, N. Geregory. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta : Erlangga

Mankiw, N. Gregory. 2004. Principles of Macroeconomics. Third Edition. Thomson


South Western

Marcuci J, Quagliariello M. 2009. Asymmetric effects of the Business Cycle on Bank


Credit Risk. Journal of Banking & Finance 33. 1624–1635

Masyhud, Ali. 2006. Manajemen Risiko: strategi perbankan dan dunia usaha
menghadapi tantangan globalisasi bisnis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Miskhin, Frederic S. 2008. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Jakarta:
Salemba Empat

Poetry, Zakiyah D. & Sanrego, Yulizar D. 2011. Pengaruh Variabel Makro dan Mikro
Terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah.
Perbankan Syariah. Islamic Finance & Business ReviewJournal, Vol. 6,
No.2.

Poudel Sharma. 2013. Macroeconomic Determinants of Credit Risk in Nepalese


Banking Industry. Ryerson University, Toronto, Canada, ISBN: 978-1-922069-
25-2

Putong, Iskandar. 2002. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia.

11
Rahardja, P dan Manurung, M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi
dan Makroekonomi). Edisi Ketiga. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia

Samuel, Paul dan W.D Nordhaus. 2005. Ilmu Makroekonomi. Jakarta : PT. Media
Global Edukasi

Soebagio H. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Non


Performing Loan (NPL) pada Bank Umum Komersial. Semarang: Universitas
Diponegoro

Siamat, Dahlan. 1993. Manajemen Bank Umum. Edisi Kedelapan. Jakarta : Intermedia

Sugiyono, Dr. 2014. Cara Mudah Menyusun : SKRIPSI, TESIS dan DISERTASI.
Bandung : Alfabeta

Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Edisi Kedua. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada

World Bank. 2014 GDP Per Capita Tahun 1998-2014. http://www.worldbank.org.


Diakses pada tanggal 30 Oktober 2015

World Bank. 2014. Money and Quasi Money (M2) Tahun 1998-2014.
http://www.worldbank.org. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2015

World Bank. 2014. Inflation Tahun 1998-2014. http://www.worldbank.org. Diakses


pada tanggal 30 Oktober 2015

World Bank. 2014. NonPerforming Loan Tahun 1998-2014.


http://www.worldbank.org. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2015

Zeman J, Jurca P. 2008. Macro Stress Testing of the Slovak Banking Sector. National
Bank of Slovakia.

12

Anda mungkin juga menyukai