Mahdi
E-mail: fadillamm@umm.ac.id
ABSTRACT
This study aims to identify the determinants of non-performing financing
(NPF) in Islamic banks in Indonesia. The study objects are the Islamic
banking industry during the first quarter of 2008 until the third quarter of
2019. The variables in this study are inflation, growth of Gross Domestic
Product (PDB), and Bank Indonesia rate. The statistic method used is the
Vector Error Correction Model (VECM). The result shows that inflation
shock significantly affects the trend of NPF, while others do not give
significant effect to NPF of Islamic Banking.
Kata Kunci: Macroeconomics, BI Rate, Inflation, Growth PDB, Non-
Performing Financing, Islamic Banking
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu
Non Performance Financing (NPF) bank syariah di Indonesia. Objek
penelitian adalah industri perbankan syariah selama kuartal pertama
periode tahun 2008 hingga kuartal ketiga tahun 2019. Variabel dalam
penelitian ini adalah inflasi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB), dan suku bunga Bank Indonesia. Metode statistik yang digunakan
adalah Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa guncangan inflasi secara signifikan mempengaruhi
tren NPF, sementara faktor lain tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap NPF perbankan syariah Indonesia.
Kata Kunci: Ekonomi Makro, Bunga BI, Inflasi, PDB Pertumbuhan,
Pembiayaan Bermasalah, Perbankan Syariah.
Vol. 4, No.2, Agustus 2019
Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 215
1. Pendahuluan
Hadirnya bank syariah didorong dari keinginan umat muslim agar setiap
kebutuhan jasa transkasi perbankannya terhindar dari riba dan transaksi terlarang
lainnya. Kemudian, kesesuaian transaksi dengan akad yang diperkenankan dalam
syariat Islam juga menjadi pembeda utama antara bank syariah dengan bank
konvensional (Antonio, 2013).
Dalam melakukan aktivitas operasionalnya, bank dihadapkan pada berbagai
risiko. Menurut al Jarrah (2012), sumber dari risiko yang dihadapi perbankan dapat
dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistemik dan non-sistemik. Salah satu
dampak negatif dari risiko-risiko yang dihadapi bank adalah menurunnya kualitas
pembiayaan yang diberikan oleh bank. Hal ini dapat menyebabkan bank kehilangan
potensi keuntungan dari pembiayaan yang diberikan sekaligus meningkatkan
potensi kerugian.
Untuk menjaga kualitas pembiayaan di industri perbankan, termasuk bank
syariah, regulator mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/2/PBI/2013. Salah satu variabel yang digunakan dalam penilaiannya adalah
rasio pembiayaan berkualitas rendah atau bermasalah terhadap total pembiayaan,
atau dikenal dengan non-performing financing (NPF) gross. Bank Indonesia
memberikan rambu-rambu bahwa kualitas pembiayaan bank dinilai baik apabila
nilai NPF nett-nya kurang dari 5%.
Menurut laporan otoritas jasa keuangan, kondisi NPF nett perbankan syariah
di Indonesia tergolong sesuai dengan kriteria, karena masih berada dibawah 5%.
Namun, apabila dilihat NPF gross-nya dapat diketahui bahwa nilai rasio ini
beberapa kali pernah melewati nilai 5%.
Dari Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa selama periode 2008 hingga kwartal
ketiga 2019 NPF perbankan syariah mencapai nilai di atas 5% pada kwartal ke-3
2009 dan kwartal ketiga 2016. Dari sudut pandang perbankan, pembiayaan
bermasalah dapat terjadi dipicu oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terjadi akibat kesalahan bank dalam mengambil strategi atau
menetapkan kebijakan. Faktor eksternal terjadi terkait dengan kegiatan usaha
debitur dan iklim usaha (Siamat, 2005). Penelitian ini menitikberatkan pada faktor
eksternal saja, yaitu berupa faktor-faktor ekonomi secara makro berupa inflasi,
tingkat suku bunga Bank Indonesia, dan pertumbuhan PDB.
2. Tinjauan Pustaka
Untuk mengukur kualitas kredit yang diberikan bank dapat digunakan rasio
non-performing loans (NPL), yaitu persentase kredit dengan kualitas Kurang
Lancar, Diragukan, dan Macet terhadap total kredit bank. Hampir seluruh penelitian
mengenai kegagalan bank menemukan bahwa sebelum mengalami kegagalan, bank
memiliki tingkat NPL yang tinggi. Oleh karena itu, NPL menjadi parameter yang
penting untuk mengukur kesehatan bank (Berger & DeYoung, 1997). Pendekatan
yang sama diberlakukan juga di bank syariah dalam kegiatan pembiayaannya. Untuk
mengukur kualitas pembiayaan, rasio yang digunakan adalah non-performing
financing (NPF).
Menurut Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan
dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan
jasa yang diproduksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan
pada suatu periode waktu tertentu. PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran
atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang, 2001).
Berbagai studi dilakukan untuk meneliti lebih lanjut pengaruh PDB terhadap
kondisi NPF perbankan. Pada saat kondisi ekonomi membaik, atau terjadi
peningkatan pertumbuhan PDB, tingkat NPF diperkirakan akan turun karena adanya
perbaikan kemampuan debitur untuk membayar pembiayaannya. Peningkatan
pertumbuhan PDB juga memicu masyarakat untuk lebih konsumtif sekaligus lebih
produktif. Sehingga, permintaan terhadap jasa keuangan termasuk pembiayaan juga
meningkat (Mirakhor dan Iqbal, 2011).
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau
dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain
(Boediono,2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan
persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan
kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008).
Inflasi menyebabkan pengembalian pembiayaan yang diterima bank dari
debitur mengalami penurunan nilai. Apabila bank memiliki ekspektasi bahwa inflasi
akan terus meningkat, bank akan menaikkan margin pembiayaan untuk
mengkompensasi potensi kerugian yang akan dialami di masa depan. Akibatnya,
beban yang harus ditanggung oleh debitur semakin tinggi (Boyd & Champ, 2006).
Peningkatan suku bunga Bank Indonesia akan menyebabkan margin dan
nisbah bagi hasil bank syariah juga meningkat. Hal ini menyebabkan debitur
dihadapkan pada cost of fund yang cukup tinggi. Kondisi ini pada akhirnya membuat
debitur mengalami permasalahan dalam pembayaran pembiayaannya (Fofack, 2005;
Das & Ghosh, 2007). Dengan demikian, suku bunga Bank Indonesia dapat
mempengaruhi NPF bank syariah.
Beberapa peneliti telah melakukan analisis terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi NPF atau NPL serta rasio keuangan lain di perbankan, baik syariah
maupun konvensional. Penelitian Ahmad dan Ariff (2007) menemukan bahwa
earning asset/total aset, loan loss provision/total pinjaman, loan to deposit ratio,
liquidity ratio, spread emerged, dan regulasi permodalan yang terdapat pada setiap
negara yang diuji memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat NPL. Temuan
Aver (2008) dalam penelitiannya yaitu suku bunga riil kredit konsumsi,
peningkatan indeks harga saham, peningkatan pengangguran, dan peningkatan suku
bunga riil kredit perumahan memiliki dampak signifikan terhadap risiko sistemik
pada kredit perbankan di Slovenia.
Penelitian Barajas et al. (2008) mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga
dan PDB memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Kemudian,
Sanrego dan Poetry (2011) menemukan bahwa NPL bank konvensional dan NPF
bank syariah dipengaruhi signifikan oleh nilai tukar, indeks produksi, inflasi, SBI,
LDR, dan CAR. Peneliti selanjutnya, Simon (2010) mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan jangka pendek antara BI rate, inflasi, dan nilai tukar terhadap
rasio NPL.
Ali dan Daly (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa PDB dan
tingkat suku bunga memiliki pengaruh signifikan terhadap risiko kredit. Penelitian
Louzis, Vouldis, dan Metaxas (2010) menyimpulkan bahwa pertumbuhan PDB,
tingkat pengangguran, suku bunga kredit, kinerja, dan efisiensi bank mempengaruhi
tingkat NPL perbankan. Kemudian, Al Jarah (2012) mengungkapkan bahwa
simpangan baku dari ROA, rasio modal terhadap aset, dan koefisien korelasi dari
nasabah dan DPK jangka pendek berpengaruh signifikan terhadap risiko sistemik
dan total aset.
Temuan lain menyebutkan PDB riil menjadi variabel utama yang
mempengaruhi NPL selama periode penelitian (Beck, 2015). Curak, Pepur, dan
Poposki (2013) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat
suku bunga, ukuran bank, ROA, serta rasio modal terhadap aset mempengaruhi
NPL pada perbankan. Selanjutnya dalam penelitian Messai dan Jouini (2013)
ditemukan bahwa pertumbuhan PDB berpengaruh negatif terhadap NPL sementara
tingkat pengangguran berpengaruh positif. Terakhir, peneletian Ekanayake dan
Azeez (2015) menyimpulkan bahwa variabel internal bank yang berpengaruh
positif terhadap NPL adalah rasio kredit terhadap aset serta rasio pencadangan atas
kerugian, sedangkan pertumbuhan kredit berpengaruh negatif. Di sisi lain, variabel
makroekonomi yang berpengaruh positif terhadap NPL adalah suku bunga bank
sentral, sementara pertumbuhan PDB dan inflasi memiliki pengaruh negatif
terhadap NPL.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah
Vector Error Correction Model (VECM). Untuk mendukung analisis juga
digunakan perangkat lunak berupa Eviews versi 7. Sebelum dilakukan analisis
dengan menggunakan VAR terlebih dahulu data akan digambarkan secara umum
melalui statistik deskriptif dan kemudian melakukan analisis VECM.
Secara garis besar, proses analisis VAR/VECM dapat diuraikan sebagai
berikut (Tanjung & Devi, 2013):
a. Uji stasioneritas data
b. Penentuan lag optimum
c. Uji stabilitas model VAR
d. Uji Kointegrasi
e. Uji Granger – Causality
f. Analisis Impulse Response Function
g. Analisis Variance Decomposition
Dalam penelitian ini, variabel independen yang digunakan adalah indikator
makroekonomi berupa berupa inflasi, pertumbuhan PDB, dan suku bunga Bank
Indonesia. Sementara itu, variabel dependen yang digunakan adalah NPF. Secara
ringkas operasionalisasi variabel dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1.
Simbol
Indikator
Variabel
Variabel Dependen
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 (𝐾𝐿, 𝐷, 𝑀)
NPF 𝑁𝑃𝐹 =
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑘𝑎𝑛
Variabel Independen
𝐶𝑃𝐼𝑡 − 𝐶𝑃𝐼𝑡−1
INFLASI 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 =
𝐶𝑃𝐼𝑡−1
GR_YOY_PDB 𝑃𝐷𝐵
Langkah selanjutnya adalah menentukan panjang lag optimal dari model yang
digunakan. Lag yang digunakan dalam uji ini adalah tiga lag. Dengan mengacu pada
kriteria uji yang digunakan pada Tabel 3, terlihat bahwa lag optimum yang
direkomendasikan dalam model ini adalah pada lag 1, sehingga model VAR yang
digunakan adalah model VAR pada lag 1.
Setelah uji stabilitas model, selanjutnya dilakukan uji kointegrasi. Uji ini
berguna untuk mengetahui berapa banyak variabel yang terkointegrasi pada data
level. Berdasarkan uji ini diketahui bahwa terdapat empat variabel yang
terkointegrasi dalam model ini.
Pada Gambar 1.2 dapat diketahui respon Non Performing Finance (NPF)
terhadap guncangan variabel makroekonomi dan dirinya sendiri dengan rentang
waktu sebanyak 15 kwartal. Respon NPF terhadap dirinya sendiri adalah positif,
namun tidak disertai dengan lonjakan yang tinggi. Respon NPF terhadap guncangan
pertumbuhan PDB adalah negatif dengan perubahan nilai yng tidak signifikan.
Temuan ini berbeda dengan temuan peneliti sebelumya (Barajas et al., 2008; Ali
dan Daly, 2010; Louzis, Vouldis, dan Metaxas, 2010; Beck, 2015; Messai dan
Jouini, 2013; Ekanayake dan Azeez, 2015) dimana kesimpulannya yaitu PDB atau
pertumbuhan PDB berpengaruh signifikan terhadap NPL atau NPF. Namun, arah
pengaruhnya sama yaitu negatif, sehingga peningkatan PDB dapat menurunkan
NPF perbankan syariah. Perbedaan terjadi dengan penelitian sebelumnya karena
selama periode penelitian, pertumbuhan PDB cenderung stabil.
5. Kesimpulan
Temuan dari penelitian ini mengungkapkan pengaruh variabel-variabel
makroekonomi terhadap NPF perbankan syariah selama priode kwartal pertama
2008 hingga kwartal ke-tiga 2019. Berdasarkan analisis Impulse Response Function
ditemukan bahwa guncangan variabel inflasi memiliki dampak signifikan positif
terhadap NPF perbankan syariah. Secara keseluruhan, guncangan makroekonomi
menjadi stabil pada kwartal ke-tujuh. Berdasarkan analisis Variance
Decomposition, variabel NPF dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebayak 53,94%. Di
sisi lain, variabel makroekonomi yang memiliki komposisi pengaruh terbesar
terhadap NPF adalah inflasi dengan komposisi pengaruh sebesar 40,8%. Sementara
itu, variabel-variabel makroekonomi lainnya menjelaskan pengaruhnya terhadap
NPF dengan persentase di bawah 5%.
Daftar Pustaka
Curak, Marijana, et. al. (2013). Banks and Bank Systems, Vol. 8, Issue 1, 2013
“Determinants of Non-Performing Loans – Evidence from Southeastern
European Banking Systems” Croatia.
Das, A., & Ghosh, S. (2007). Determinants of Credit Risk in Indian State-owned
Banks: An Empirical Investigation. Economic Issues Vol.12 Issue 2.
Dash, M.K., & Kabra, G. (2010). The Determinants of Non-Performing Assets in
Indian Commercial Bank: An Econometric Study. Middle Eastern Finance
and Economics Issue 7.
Fofack, H. (2005). Non-Performing Loans in Sub-Saharan Africa: Causal Analysis
and Macroeconomic Implications. World Bank Policy Research Working
Paper No. 3769.
Gujarati, D.N., & Porter, D.C. (2009). Basic Econometrics. Singapore: Mc-Graw
Hill
Haroen, Nasrun. (2000). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hu, J., Li, Y., & Chiu, Y. (2006). Ownership and Non-Performing Loans: Evidence
from Taiwan’s Banks. The Developing Countries, XLII-3.
Huda, Nurul, dkk. (2014). EKONOMI MAKRO ISLAM: Pendekatan Teoretis.
Jakarta: Kencana.
Iqbal, Zamir., & Mirakhor, Abbas. (2008). Pengantar Keuangan Islam: Teori dan
Praktik. Jakarta: Kencana.
Jimenez, G., & Saurina, J. (2006). Credit Cycles, Credit Risk and Prudential
Regulation. International Journal of Central Banking.
Jimenez, G., Lopez, J.A., & Saurina, J. (2007). How Does Competition Impact Bank
Risk-Taking? Federal Reserve Bank of San Francisco Working Paper No.23.
Karim, Adiwarman. (2011). Bank Islam “Analsisis Fikih dan Keuangan”. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Keeton, W.R. (1999). Does Faster Loan Growth Lead to Higher Loan Losses?
Federal Reserve Bank of Kansas City Economic Review (QII).
Keeton, W.R., Morris, C.S. (1987). Federal Reserve Bank of Kansas City Economic
Review “Why Do Banks' Loan Losses Differ?”
Khan, F.M., & Ghifari, N.M. (1992). Shabiti’s Objectives of Shariah and Some
Implications for Consumer Theory. In A. Ghazali, & M.S. Abu Hassan (Eds.).
Kuala Lumpur: Quill.
Mileris, Ricardas. (2014). Ekonomika 2014 Vol. 93 “Macroeconomic Factors of
Non-Performing Loans in Commercial Banks”. Lithuania: Kaunas
University of Technology.
Nachrowi, D.N., & Usman, H. (2002). Penggunaan Teknik Ekonometrika. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Naf’an. (2014). Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Ghara
Ilmu.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. (2006). Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
Jakarta: Kencana.
Nopirin. (2000). Ekonomi Moneter Buku I. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Oldfield, G.S., & Santomero, A.M. (1997). The Wharton Financial Institutions
Center Working Paper “The Place of Risk Management in Financial
Institutions”.
Rahardja, Prathama., & Manurung, Mandala. (2004). Teori Ekonomi Makro Suatu
Pengantar, edisi kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FEUI).
Ranjan, R., & Dhal, S.C. (2003). Non-Performing Loans and Terms of Credit of
Public Sector Banks in India: An Empirical Assessment. Reserve Bank of
India Occasional Papers Vol.24, No.3.
Saeed, Abdullah. (2004). Islam dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba dan
Interpretasi Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salas, V., & Saurina, J. (2002). Credit Risk in Two Institutional Regimes: Spanish
Commercial and Savings Banks. Journal of Financial Services Research.
Samuelson, Paul A. (2002). Macroeconomics Seventeenth Edition. McGraw-Hill
Higher Education.
Santomero, A.M. (1997). Journal of Financial Services Research “Commercial
Bank Risk Management: An Analysis of the Process.”
Suhendi, Hendi. (2010). Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tanjung, Hendri dan Abrista Dewi. (2013). Metodologi Penelitian Ekonomi Islam.
Jakarta: Gramata Publishing.
Wahyudi, Imam, dkk. (2013). Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Wiroso. (2011). Produk Perbankan Syariah. Jakarta: Penerbit LPFE Usakti
Mohammad Ghozali
Program Pasca Sarjana Ekonomi Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Ponorogo
Email: ghozali.unida@gmail.com
Abstract
As a natural situation, the Islamic banking industry not only have a chance,
but also the various problems such as problem on products giro and saving syariah
based on wadi’ah. In wadi’ah saving, bank syariah receive trustful saving from the
client and distributing it to use it optimally. Actually, the use of trustful saving
(wadi’ah) is forbidden, but what is applied in the banking industry is wadi’ah used to
any project of business. From this point of view, this kind of application more relevant
to qard contract than wadi’ah. The purpose of Islamic law (maqasid al-shari’ah) is to
ensure the wealth (hifz al-mal) embodied in the product save deposit box. In save
deposit box, wealth entrusted in bank, stored in a special place, that are guarded by the
bank. At the level of primary (al-daruriyah), safeguarding the wealth is a basic need
for Muslim. So that, the sustainability of safeguarding of wealth should be championed.
1. Pendahuluan
slam adalah agama yang sempurna, karena memiliki syariat
I ya n g s an ga t i s ti m e w a ya n g b e r si f at u n i ve r s al d an
komprehensif. Universal berarti agama yang sesuai untuk
1
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 5
2
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009), 3. Adiwarwan Azwar Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan
Keuangan (Jakarta: Rajawali Press, 2006), 203
3
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Genta Press,
2008), 11
2. Definisi Wadi’ah
Wadi’ah berasal dari akar kata wada’a, yang berarti
meninggalkan dan meletakkan atau titipan. Sesuatu yang dititipkan
4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 14
5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), 456.
6
Ibid., 457.
7
http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Documents/UU_21_08_Syariah.pdf,
diakses Sabtu 16 April 2016, jam 16.30 WIB.
8
Hulwati, Ekonomi Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2006), 106.
9
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer
tentang Riba dan Bunga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 72.
10
Muslich, Fiqh Muamalat, 459
11
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah (Jakarta: Pustaka Alvabet, 1999), 48
12
Ibid.
13
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru, 1994), 330
14
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 42
15
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, 43
16
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani, 2007), 148
17
Ascarya, Akad & Produk, 44.
18
Karnaen dan Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf, 1992), 104
19
http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News, cntnt01, detail, 0&cntnt01
articleid=2&cntnt01origid= 59&cntnt01detailtemplate=Fatwa& cntnt01 returnid=61, diakses
Sabtu 16 April 2016, jam 17.00 WIB.
20
http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News, cntnt01, detail, 0&cntnt01
articleid=3&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01 returnid=61, diakses
Sabtu 16 April 2016, jam 17.00 WIB.
21
Karim, Bank Islam, 297-298
22
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 17
23
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep Al-Istiqra’
Al-Ma’nawi Asy-Syatibi (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2008), 98
6. Kesimpulan
Wadi’ah secara etimologi berasal dari akar kata wada’a, yang
artinya meninggalkan atau meletakkan atau titipan. Sedangkan
menurut istilah wadi’ah adalah suatu akad antara dua orang (pihak)
di mana pihak yang pertama menyerahkan tugas dan wewenang
untuk menjaga barang yang dimilikinya kepada pihak lain tanpa
imbalan. Wadi’ah juga dapat dipahami sebagai titipan murni dari
satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip meng-
hendakinya. Sementara itu menurut menurut UU No. 21 tentang
Perbankan Syariah yang dimaksud dengan akad wadi’ah adalah
akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai
barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang
atau uang.
Berdasarkan fatwa DSN No: 01/DSN MUI/IV/2000, me-
netapkan bahwa giro yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro
yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Demikian juga
tabungan dengan produk wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan
fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa
tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan
prinsip mudharabah dan wadi’ah. Penerapan akad wadi’ah dan
upaya bank untuk menjaga barang titipan dalam bentuk save
deposit box, sudah merupakan bagian dari pemeliharaan harta (hifz
al-mal) untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Pada level primer
(al-daruriyah), dapat dipahami bahwa memelihara harta merupa-
kan sesuatu yang pokok, sehingga harus diperjuangkan keber-
langsungan pemeliharaan untuk keterjagaan harta-harta tersebut.
Sedangkan pada level sekunder (al-hajjiyah), save deposit box
merupakan salah satu sarana dari bank yang memfasilitasi untuk
menjaga pemeliharaan terhadap harta (hifz al-mal).
Daftar Pustaka
Aibak, Kutbuddin. 2008.Metodologi Pembaharuan Hukum Islam.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Antonio, Muhammad Syafii. 2007. Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktik. Jakarta. Gema Insani.
Antonio, Syafii dan Karnaen. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam.
Yogyakarta. Dana Bakti Wakaf.
Arifin, Zainul. 1999. Memahami Bank Syariah. Jakarta. Pustaka
Alvabet.
Ascarya. 2013. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta. Rajawali Pers.
Dewi, Gemala. 2007. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta. Kencana.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Mu’amalah. Gaya Media Pratama.
Jakarta.
Hirsanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia.
Yogyakarta. Genta Press.
Hulwati. 2006. Ekonomi Islam. Jakarta. Ciputat Press.
Ibrahim, Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar
Konsep Al-Istiqra’ Al-Ma’nawi Asy-Syatibi. Jogjakarta. Ar-
Ruzzmedia.
Karim, Adiwarman Azwar. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta. Rajawali Press.
. 2006. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta.
Rajawali Press.
Ana Santika
Email: anasantika50@gmail.com
ABSTRACT
ABSTRAK
1. Pendahuluan
Dibalik perkembangnya perbankan syariah di Indonesia yang cukup pesat
tersebut, ternyata masih terjadi perdebatan dikalangan masyarakat tentang
kesyariahaan dari bank syariah. Selama ini masyarakat menilai bahwa bank
syariah masih sama dengan dengan konvensional. Mu’alim dalam noven
mengungkapkan bahwa beberapa ilmuan muslim ada yang mengencam bank
syariah, mereka berpendapat bahwa bank-bank Islam dalam penyelenggarakan
transaksi-transaksinya justru bertentangan dengan konsepnya, dengan kata lain
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal tersebut disebabkan karena
adanya ketidak sesuaian antara konsep dan praktik yang terjadi di bank syariah
(Asmaul, 2015).
Isu lingkungan di Indonesia sedang hangat dibicarakan masyarakat pada
akhir dekade ini, khususnya dampak yang disebabkan oleh kegiatan dari
perusahaan. (Umiyati, 2018). Anggapan terhadap akuntansi Islam saat ini tentu
masih banyak yang dipertanyakan orang, Hal ini sebenarnya merupakan hal yang
wajar bila dikaitkan dengan batasan atau definisi yang dipakai serta pengetahuan
ilmiah dari masing-masing pencetusnya. Namun lambat laun semua yang
didahulunya masih dalam taraf konsep akhirnya muncul juga sebagai fenomena
empiris seperti munculnya sebuah konsep akuntabilitas bebasis syariah, yaitu
Islamic Social Reporting (ISR). ISR merupakan slah satu cara pengungkapan
terhadap kondisi sebuah entitas perusahaan secara penuh dalam konteks Islam
(Othman, 2009).
Transaksi syariah didasarkan pada paradigma bahwa Allah SWT
menciptakan alam semesta sebagai amanah dan sarana kehidupan bagi seluruh
umat manusia dalam mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritualc
(al-falah) (kerangka Dasar Penyususnan dan Penyajian ± Laporan Keuangan
Syariah). Paradigma dasar ini menekankan setiap aktivitas umat manusia memiliki
akuntabilitas dan nilai illahiah yang menepatkan perangkat Syariah dan akhlak
sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha. Paradigma
ini akan membentuk integritas yang membantu terbentuknya karakter tata kelola
yang baik (good corporate) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik
(PSAK Syariah, 2017).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dilihat dari segi indikator
perkembangan aset bahwa aset perbankan syariah menunjukkan kecenderungan
yang terus meningkat, dari Rp 7,9 triliun pada akhir Desember tahun 2003
meningkat menjadi Rp 14,2 triliun pada November tahun 2004 atau meningkat
sebesar 339%. Asset perbankan nasional hanya mengalami peningkatan sebesar
13,4% dari 1062 triliun menjadi Rp. 1204 triliun pada periode yang sama.
Perkembangan aset yang besar ini juga tidak lepas dari peningkatan jumlah kantor
cabang bank syariah yang pesat pula seperti yang telah diuraikan di atas.
Kontribusi aset perbankan syariah terhadap perbankan nasional masih sangat
kecil. Namun, kontribusinya dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan
yang semakin meningkat. Sampai dengan posisi Oktober 2004 kontribusi
perbankan syariah terhadap perbankan nasional telah mencapai 1.11% (Sartika,
2016).
Promosi yang terlalu cepat menjadi proses pematangan karyawan yang tidak
sebanding dengan pengalaman, kemampuan, keterampilan. Sebagai imbalannya,
para pemilik bank menuntut prestasi kerja yang tinggi untuk memberikan
keuntungan atas biaya besar yang telah dikeluarkannya. Hal ini menimbulkan
tekanan kerja yang tinggi bagi karyawan perbankan sehingga sikap agresif dan
terburu-buru yang cenderung mengabaikan aspek ketelitian dan kehati-hatian
(Ikhsan, 2016).
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah
dan UUS dapat menajalankan fungsi sosial, yaitu menerima dana yang berasal
dari zakat, infak, sedekah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi peranan perbankan syariah
dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi umat. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai Islamic social reporting diantaranya Rosiana et.al (2015),
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Legitimacy Theory
Teori legitimasi sebagai suatu kondisi yang ada ketika suatu sistem nilai
perusahaan yang sejalan dengan sistem nilai yang berlaku. Perusahaan
menjalankan kegiatan sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Menurut
Suchman, menyebutkan (In’airat, 2015), “Legitimacy is a generalized
perceptioner assumption that the actions o an entity are desirable, proper, or
appropriate within some socially constructed system o norms, values, belies,
anddeinitions”.
Berdasarkan pengertian teori legitimasi di atas terdapat beberapa pengertian
menurut para ilmuan lainnya, yaitu seperti Menurut Deegan, teori legitimacy
mengungkapkan bahwa perusahaan secara continue berusaha untuk bertindak
sesuai dengan batas-batas dan norma-norma dalam masyarakat. Atas usahanya
tersebut perusahaan berusaha agar aktivitasnya diterima menurut persepsi pihak
kesternal (Deegan, 2000). Menurut Rokhlinasari, Teori legitimasi menepatkan
persepsi dan pengakuan publik sebagai dorongan utama dalam melakukan
pengungkapan suatu informasi di dalam laoran keuangan (Rokhlinasari, 2015).
Berdasarkan pengertian diatas mengenai teori legitimasi menurut para ilmuan,
maka terdapat beberapa kesimpulan bahwasanya teori legitimasi merupakan suatu
kegiatan komunikasi atau berdialog dengan publik terkait dengan nilai sosial
kemasyarakatan harus sesuai dengan persepsi sistem norma, nilai kepercayaan dan
juga harus ada keselarasan dari nilai-nilai sosial untuk mendorong adanya
pengungkapan suatu informasi didalam laporan keuangan.
2.3. Profitabilitas
Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam
mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah
ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diharapkan.
Standar perilaku dapat berupa kebajikan manajemen atau rencana formal yang
dituangkan dalam anggaran (Febryani & Zulfadin, 2003).
Profitabilitas adalah rasio yang paling kompehensif dari keseluruhan rasio yang
ada dan rasio ini menggambarkan kemampuan bank untuk bertahan dan stabil
dalam melanjutkan opeasionalnya di kemudian hari (Ferly et al, 2014). Sedangkan
menurut Syafri, bahwa rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan
kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan
sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah
cabang dan sebagainya (Syafri, 2008). Menurut Jorenza, profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Jorenza, 2015). Berbeda dengan
Janggu yang berpendapat bahwa perusahaan dengan profitabilitas yang lebih
tinggi kemungkinan akan mengungkapkan informasi yang lebih dibandingkan
perusahaan dengan profitabilitas yang kurang (Janggu, 2004).
Profit dapat dihitung dangan menggunakan beberapa rasio, diantaranya Return
On Equity dan Return On Asset. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat
3. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh Bank Umum Syariah yang ada di Indonesia. Data
statistik per Desember menunjukkan bahwa Bank Umum Syariah di Indonesia
berjumlah 13 BUS. Sampel yang diperleh berjumlah 9 bank umum syariah.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling dengan
kriteria bank umum syariah yang mempublikasikan annual-report pada tahun
2013 sampai dengan 2017. Unit analisis dalam penelitian ini berjumlah 45 laporan
tahunan Bank Umum Syariah. Metode pengumpulan data yang dilakukan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dan metode
studi pustaka.
Variabel dependen pada penelitian ini profitabilitas yang mana diukur
menggunakan Return On Asset dan Return On Equity, Profit dapat dihitung
dangan menggunakan beberapa rasio, diantaranya Return On Equity dan Return
On Asset. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu
perusahaan. Indikator pengukuran profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan
ROE dan ROA. Variabel Independen yang dieksplorasi dalam analisis adalah
Pendanaan dan Investasi, Produk dan Jasa, Karyawan, Masyarakat/Sosial,
Lingkungan Hidup, dan Tatakelola Perusahaan. Untuk menunjang analisis isi
tersebut adalah Melakukan scoring. Scoring dilakukan untuk mencari poin
pengungkapan yang dinilai dengan 1 jika diungkapkan dan 0 jika tidak
diungkapkan dari item pengungkapan yang telah dijabarkan dalam tabel indikator
penelitian. Kemudian dari hasil uji checklist tersebut dilakukan perhitungan
indeks. Indeks pengungkapan Islamic Social Reporting dihitung berdasarkan
Berikut rumus untuk menghitung pengungkapan ISR, setelah pemberian nilai
dilakukan
Tabel 1.1
Hasil Pengujian Simultan (Uji f)
ANOVAa
Sum of Mean
Model Df F Sig.
Squares Square
1 Regression 164.250 5 32.850 4.237 .004b
Residual 302.367 39 7.753
Total 466.617 44
Sumber: Data diolah, 2019
Berdasarkan tabel 1.2 dapat diketahui bahwa variabel independen yaitu Islamic
Social Reporting berpengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas (ROA).
Tabel 1.2
Hasil Uji Parsial (Uji t)
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std.
B Beta
Error
1 (Constant) 4.41
9.726 2.204 .000
4
PENDANAANDAN 1.93
46.757 24.190 .275 .061
INVESTASI 3
PRODUKDANJAS - -
30.155 -.566 .001
A 110.580 3.667
KARYAWAN -
-6.288 8.415 -.115 .459
.747
MASYARAKAT 9.852 11.998 .126 .821 .417
TATAKELOLAPER -
-2.034 14.834 -.023 .892
USAHAAN .137
Sumber: Data diolah, 2019
Tabel 1.3
Hasil Koefisien Determinasi (R²)
Model Summaryb
Berdasarkan tabel 1.3 diperoleh R-Square sebesar 0,352 yang berarti sebesar
35,2% nilai profitabilitas (ROA) dapat dijelaskan oleh komposisi variabel
independen yaitu Islamic Social Reporting. Sedangkan 64,8% dijelaskan oleh
variabel diluar model penelitian.
Tabel 1.4
Hasil Uji Simultan (Uji f)
ANOVAa
Sum of Mean
Model df F Sig.
Squares Square
Regression 388.029 5 77.606 .944 .464b
1 Residual 3207.773 39 82.251
Total 3595.802 44
Sumber: Data diolah, 2019
Berdasarkan tabel 1.4 di atas, diperoleh nilai signifikan sebesar 0,464 > 0,05,
sehingga HO ditolak atau HA diterima, maka dapat disimpulkan bahwa model
regresi fit sehingga secara semultan islamic social reporting secara bersama-sama
tidak berpengaruh terhadap profitabilitas (ROE) bank umum syariah di indonesia.
Karena pengungkapan Islamic Social Reporting pada suatu perusahaan perbankan
syariah belum mengungkapkan secara keseluruhan terhadap kepatuhan tanggung
jawab sosial terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan syariah.
Tabel 1.5
Hasil Uji Persial (Uji t)
Coefficientsa
Standard
Unstandardized ized
Model Coefficients Coefficie t Sig.
nts
B Std. Error Beta
1 (Constant) 14.280 7.178 1.990 .054
Pendanaandaninvestasi 130.214 78.790 .276 1.653 .106
Produkdanjasa -64.633 98.220 -.119 -.658 .514
Karyawan -
-36.772 27.409 -.242 .187
1.342
Masyarakat -6.318 39.079 -.029 -.162 .872
Tatakelolaperusahaan 32.152 48.318 .131 .665 .510
Sumber: Data diolah, 2019
Tabel 1.6
Hasil Koefisien Determinasi (R²)
Model Summaryb
R Adjusted Std. Error of the Durbin-
Model R
Square R Square Estimate Watson
.328
1 a .108 -.006 9.06921 1.639
Sumber: Data diolah, 2019
5. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah Islamic Social Reporting
memiliki pengaruh baik secara persial maupun secara simultan terhadap
profitabilitas pada bank umum syariah tahun 2013-2017. Dari hasil pembahsan
dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut: pertama, Islamic Social
Reporting yang terdiri dari pendanaan dan investasi, produk dan jasa, karyawan,
Masyarakat/ sosial, Lingkungan Hidup, dan Tatakelola perusahaan secara persial
terdapat satu indikator produk dan jasa yang berpengaruh secara signifikan
terhadap profitabilitas (ROA) bank umum syariah di Indonesia. Berdasarkan
indikator yang berpengaruh tersebut dalam kepatuhan pihak bank bagus dalam
memasarkan produk-produknya kepada stakeholder sehingga profit perbankan
meningkat dengan baik. Kedua, secara simultan Islamic social reporting tidak
Daftar Pustaka
Anita Febryani Dan Rahadian Zulfadin (2003). Analisis Kinerja Bank Devisa Dan
Bank Non Devisa Di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan. 7(4),
2003.
B. Maali, P. Cassonand C Napier, 2006. “Social Reporting By Islamic Banks”,
Abacus, 42(2).
Deegan, C. (2000). Financial Accounting Theory. NSW: Mc Graw-Hill Australia.
Suwiknyo, Dwi. Analisis Laporan Keuangan Perbankan Syariah. Yogyakara:
Pustaka.
Eden, C. & Ackermann, F. (1998). Making Strategy: The Journey of Strategic
Management. Sage Publications, London.
Ferly Ferdyant, Ratna Anggraini Zr, Erika Takidah. “Pengaruh Kualitas
Penerapan Good Corporate Governance Dan Risiko Pembiayaan Terhadap
Profitabilitas Perbankan Syariah”. Jurnal Dinamika Akuntansi Dan Bisnis.
1(2), September 2014.
Freeman, R. E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Pitman
Publishing, Boston.
Gray, R, Kouhy, R. and Lavers, S. (1995), “Corporate Social And Environmental
Reporting: A Review Of The Literature And A Longitudinal Study Of Uk
Disclosure”, Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 8(2), 47-
77.
Haniffa, R.M. and Hudaib, M.A. (2002), “A Conceptual Framework for Islamic
Accounting: The Shari‟a Paradigm”, paper presented at the Accounting,
Commerce & Finance: The Islamic Perspective International Conference IV,
New Zealand
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburiy. 1995.
Shahih Muslim. J.5. Beirut: Dar al-Kitab al- Imaniyah.
In'airat, M. 2015. The Role of Corporate Governance in Fraud Reduction- A
Perception Study in the Saudi Arabia Business Environment. Journal of
Accounting and Finance, 15 (2), 119.
Irham Fahmi, Pengantar Pasar Modal (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 98.
J. E., Post, L. E. Preston, Dan S. Sach, “Managing The Extended Entreprise: The
New Stakeholder View”, California Management Review, Vol. 45, (2002).
Janggu, T., (2004). Corporate Social Disclosure of Construction Companies In
Malaysia, Master Thesis. Universiti Teknologi Mara.
Jorenza Chiquita Sumanti (2015) meneliti Analisis Kepemilikan manajerial,
Kebijakan hutang dan Profitabilitas terhadap Kebijakan dividen dan nilai
perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI
M.Ikhsan P. “Pengaruh Islamic Social Reporting Terhadap Nilai Perusahaan
Bank Syariah Di Indonesia”. Tesis.
Mila Sartika, Hendri Hermawan A, “Implementasi Ijarah Dan Imbt Pada Bank Bri
Syariah Cabang Yogyakarta”. Vol.Vii(1). Mei 2016
R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston:
Pitman Press,1984.
Rohana Othman, A. Md. Thani, dan dan E.K. Ghani, “Determinants of Islamic
Social Reporting Among Top Shariah-Approved Companies in Bursa
Malaysia”, Research Journal of International Studies, Vol. 12, 2009.
Rokhlinasari, Sri (2015). Teori–Teori Dalam Pengungkapan Informasi Corporate
Social Responbility Perbankan. Al-Amwal: JurnalKajian Ekonomi Dan
Perbankan Syariah,7(1), 1-11.
Septi Widiawati, Raharja, Surya. (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Islamic Social Reporting Perusahaan-Perusahaan Yang
Terdapat Pada Daftar Efek Syariah Tahun 2009-2011. Journal Of
Accounting. 1(2), 1-15.
Siti Amaroh. “Tanggung Jawab Sosial Bank syariah terhadap stakeholder dalam
perspekti maqashid syariah”. Ahkam: Vol. Xvi(1), Januari 2016.
Siti Asmaul Usnah, Noven Suprayogi. “Pandangan Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Air langga Tentang Kepatuhan Syariah Di
Bank Syariah”. Jurnal JESTT. 2(2) Februari 2015.
Soyan syarif Harahap. 2007. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta:
Raja Graindo Persaja.
Syamsuddin, Lukman. 2007. Manajemen Keuangan Perusahaan. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.
Email: rudyhartanto05@gmail.com
ABSTRACT
ABSTRAK
1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia turut berperan dalam
perkembangan industri keuangan syariah di tingkat global. Hal tersebut dalam
terlihat dari masuknya Indonesia sebagai salah satu dari 10 besar negara yang
memiliki aset industri keuangan syariah terbesar di tingkat dunia (Thomson
Reuters, 2016). Industri keuangan syariah Indonesia di klasifikasikan dalam
beberapa jenis, dimana perbankan syariah memiliki peningkatan aset yang paling
signifikan dibandingkan dengan industri keuangan syariah lainnya.
Tabel 1.1
Perkembangan Aset Industri Keuangan Syariah di Indonesia
Syariah
Lembaga
Pembiayaan 24.64 31.67 22.35 35.74 34.48 29.51
Syariah
Lembaga Non-
Bank Syariah 8.25 12.25 16.03 19.69 24.14 26.98
Lainnya
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2018
juga dapat dimaknai sebagai suatu sikap dari perbankan Syariah untuk menjaga
dan memelihara kepercayaan stakeholders (Ali, 2012; Meutia, 2010; Harkaneri
dan Reflisa, 2018).
Penelitian mengenai pengungkapan dana kebajikan pernah dilakukan oleh
Harahap (2003) yang menunjukkan hasil bahwa Bank Muamalat Indonesia (BMI)
belum memenuhi disclosure secara rinci mengenai PSAK 101, dana kebajikan
dapat digunakan untuk dana kebajikan produktif, sumbangan, dan penggunaan
lainnya untuk kepentingan umum. Hal tersebut juga senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Balangger et al. (2017) pada Bank BRI Syariah
Cabang Manado, dimana masih terdapat ketidaksesuai dalam penyaluran zakat
dan dana kebajikan.
Roziq dan Yanti (2011) yang melakukan penelitian mengenai penyajian dan
pengungkapan dana non halal pada Lembaga Amil Zakat menunjukkan hasil
bawah Lembaga Amil Zakat masih belum sesuai dengan ketentuan perlakuan
akuntansi dana non halal yang meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan. Sementara itu, Hisamudin dan Sholikha (2014) yang melakukan
penelitian pada Badan Amil Zakat (BAZNAS) dan Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU) menemukan hasil bahwa BAZNAS dan PKPU telah melakukan
pengungkapan penggunaan dana non halal tersebut.
Penelitian mengenai pendapatan non halal di perbankan Syariah Indonesia
menunjukkan bahwa pendapatan non halal telah disajikan sesuai dengan PSAK
101 tentang pendapatan non halal oleh (Lenap, 2019). Solehodin et al. (2014) dan
Zubaidah (2018) yang melakukan penelitian terhadap Lembaga keuangan Syariah
menunjukkan hasil bahwa Lembaga keuangan Syariah masih menggunakan
pendapatan non halal sebagai sumber dan penggunaan dalam qardhul hasan.
Adiono dan Sholihin (2014) dan Anam (2017) mengungkapkan bahwa perbankan
syariah masih belum memiliki komitmen untuk mengungkapan pendapatan non
halal mererka dari tahun ke tahun dalam laporan tahunan. Hasil penelitian di luar
negeri mengenai perbankan Syariah pernah dilakukan oleh Maali et al (2006)
yang menunjukkan hasil bahwa hanya 12 dari 29 sampel perbankan yang
mengungkapan secara jelas jumlah pendapatan non halal. Al Haneef et al. (2017)
melakukan penelitian di perbankan Syariah di Malaysia menunjukkan hasil bahwa
perbankan Syariah Malaysia menyalurkan pendapatan non halal melalui badan
amal.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perbankan diwajibkan
mengungkapan sumber dan penggunaan pendapatan non halal tersebut sebagai
bagian dari laporan keuangan. Penggunaan dana pendapatan non halal yang
diperoleh perbankan syariah juga harus digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah. Selain itu, sampai dengan saat ini penelitian mengenai pendapatan non
halal perbankan Syariah masih terbatas pada pengungkapan pendapatan non halal.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis lebih dalam yaitu
bukan hanya dari penyajian dan pengungkapan saja akan tetapi juga menganalisis
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Legitimasi
Teori legitimasi menyatakan bahwa perusahaan akan terus menerus
meyakinkan bahwa kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya telah sesuai dengan
batasan dan norma-norma yang berlaku dimasyakarat (Suchman, 1995). Jika
terjadi ketidaksesuaian antara nilai perusahaan dengan nilai atau norma
masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya yang pada akhirnya
akan mengancam keberlangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994).
Implikasi teori legitimasi dalam perbankan syariah adalah keberadaan dewan
direksi dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) (Muchlis dan Utomo, 2018). DPS
memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam keputusan dewan syariah
nasional No. 3 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota
Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah. Tugas DPS adalah
mendiskusikan masalah dan transaksi usaha mengenai kesesuaian dengan prinsip
syariah. Sedangkan wewenang DPS syariah adalah memberikan pedoman syariah
kepada bank dalam rangka menjalankan aktivitas syariah di perbankan syariah
serta memberikan perbaikan jika terdapat aktivitas yang tidak sesuai dengan
prinsip syariah (Misbach, 2005).
Penerimaan non halal menurut Sahroni (2014) dapat berupa: a) bunga atas
transaksi pinjaman; b) Pendapatan dari usaha yang aktifitas pinjaman berbunga
lebih dominan; c) Pendapatan dari usaha perjudian, minuman keras, barang
merusak moral dan mudharat. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI juga
menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip
syariah antara lain: pertama, usaha Lembaga keuangan konvensional, seperti
usaha perbankan konvensional dan asuransi konvensional. Kedua, melakukan
investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi, porsi
(nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari
pada modalnya. Ketiga, perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang terlarang. Keempat, produsen, distiributor, serta pedagang
makanan dan minuman yang haram. Kelima, produsen, distributor dan atau
penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral atau bersifat mudarat.
Berkaitan dengan penerimaan non halal perbankan syariah, para ulama sepakat
bahwa dana non halal tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, akan tetapi harus
disedekahkan kepada pihak lain. Bentuk penyerahan kepada pihak lain berbeda
pendapat diantara para ulama, mayoritas ulama berpendapat, bahwa dana non-
halal hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum (al-mashlalih al-ammah),
seperti pembangunan jalan raya, MCK. Sedangkan sebagian ulama, seperti al-
Qardhawi dan al-Qurrah Dagi berpendapat, bahwa dana non-halal boleh
disalurkan untuk seluruh kebutuhan sosial (aujuh al-khair), baik fasilitas umum
(al-mashalih al-ammah), ataupun selain fasilitas umum, seperti hajat konsumtif
faqir, miskin, termasuk program-program pemberdayaan masyarakat (Sahroni,
2016).
sumber dan penggunaan dana non halal yang diperoleh BUS dan UUS. Oleh
karena itu, kerangka pikir dalam hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Ho = Tidak terdapat perbedaan pengungkapan sumber dan penggunaan
dana non halal antara Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ha =
Terdapat perbedaan pengungkapan sumber dan penggunaan dana non halal antara
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan data sekunder yang telah
disediakan dan dipublikasikan oleh pihak lain berupa laporan tahunan maupun
laporan keuangan perbankan syariah. Penelitian ini menggunakan pengujian uji t
untuk menguji apakah terdapat perbedaan pengungkapan, sumber dan penggunaan
dana non halal antara BUS dengan UUS.
Populasi dalam penelitian ini adalah perbankan syariah di Seluruh Indonesia
dengan jumlah perbankan per tahun adalah 34 perbankan syariah dengan rincian
13 BUS dan 21 UUS. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan kelengkapan data yang
diperoleh untuk digunakan dalam pengujian. Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan jenis data sekunder yang berupa laporan tahunan
perbankan syariah tahun 2014-2017. Penelitian ini bersifat unbalanced panel
dikarenakan adanya sifat times series dan cross section dari data yang
dikumpulkan. Laporan perbankan syariah diperoleh dari website masing-masing
perbankan. Kelengkapan data dalam laporan perbankan yang dapat diperoleh
selama tahun 2015-2017 adalah sebanyak 102 perbankan. Tabel 3.1 menunjukkan
bahwa terdapat laporan tata kelola perbankan yang diperoleh sebanyak sampel
sebanyak 102 perusahan selama 3 tahun yaitu dengan rincian masing-masing tiap
tahun sebanyak 34 laporan. Sehingga sampel akhir dalam penelitian ini adalah
102 perbankan.
Tabel 1.2
Kriteria Pengambilan Sampel
Tidak
Memenuhi
No Kriteria Memenuhi
Syarat
Syarat
Laporan Tahunan
Perbankan syariah
1 0 102
yang dipublikasikan
di website
Tidak
2 mempublikasikan 0 0
laporan tahunan
3 Terdapat data outlier 0 0
Total Sampel (2015-2017) 102
Sumber: Data diolah, 2018
Tabel 1.3
Analisis Deskriptif Dana Non-Halal di Bank Unit Usaha Syariah
dan Bank Umum Syariah
Pada tabel di atas juga dapat dilihat juga nilai minimum dana non halal yang
dimiliki oleh sampel unit usaha syariah adalah Rp. 0 dan nilai maksimum adalah
sebesar Rp. 245.000.000 serta nilai rata-rata dana non halal yang dimiliki unit
usaha syariah adalah Rp. 10.045.958. Dana non halal yang dimiliki oleh BUS
jika dilihat berdasarkan nilai minimul adalah sebesar Rp. 0 dan nilai maksimum
sebesar Rp. 5,6 miliar serta nilai rata-rata adalah sebesar Rp. 383 juta.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa unit usaha
syariah memiliki jumlah dana non halal lebih sedikit daripada bank umum
syariah.
Berdasarkan analisis uji T, hasil pengujian menunjukkan bahwa berdasarkan
output table 4.2 diperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,003 < 0,05, maka sesuai
dengan pengambilan keputusan dalam uji Independent sample t-tes, maka dapat
disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya terdapat perbedaaan
antara rata-rata dana non halal UUS dengan BUS. Selain dengan menggunakan
Tabel 1.4
Hasil Uji T
Tabel 1.5
Sumber dan Penggunaan Dana Non Halal Perbankan Syariah
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sumber dana non halal Bank
Umum Syariah selama tahun 2015-2017 dapat diklasifikasikan menjadi tiga
sumber yaitu: 1) Pendapatan Bunga Bank; 2) Jasa Giro; 3) penutupan rekening
jatuh tempo dan pada Unit Usaha Syariah sumber danan non halal didominasi
oleh pendapatan bunga. Jika dilihat dari segi penggunaan dana non halal, Bank
Tabel 1.6
Pengungkapan Informasi Pendapatan Non Halal dalam
Laporan Keuangan Perbankan
Pengungkapan Informasi
Penggunaan Dana Non
Jenis Bank Sumber Dana Non Halal
Halal
2015 2016 2017 2015 2016 2017
Bank Umum
100% 100% 100% 58% 67% 58%
Syariah
Unit Usaha
100% 100% 100% 100% 100% 67%
Syariah
Sumber: Data diolah, 2019
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut: pertama, terdapat perbedaan rata-rata antara dana non halal yang
diperoleh Bank Umum Syariah dengan Unit Usaha syariah. Perbedaan tersebut
juga dapat dilihat dari adanya dominasi penerimaan dana non halal yang lebih
banyak di Bank Umum Syariah. Dimana, sumber dana non halal di Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah didominasi oleh pendapatan bunga bank dan jasa
giro. Sedangkan penggunaan dana non halal didominasi oleh kegiatan sosial.
Penggunaan dana non halal tersebut telah sesuai dengan pendapat Sahroni (2016)
yang menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa dana non halal tidak
dimanfaatkan oleh pemiliknya, akan tetapi harus disedekahkan kepada pihak lain.
Sementara itu, pengungkapan informasi sumber dana non halal sudah baik sekali
dimana 100% seluruh perbankan telah mengungkap informasi sumber dana non
halal. Sedangkan pengungkapan informasi penggunaan dana non halal sudah
cukup baik dimana hal tersebut dapat dilihat dari diatas 50% jumlah perbankan
sudah mengungkapan informasi penggunaan dana non halal dari tahun 2015-2017.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan berikut Bank Umum Syariah yang
memiliki dana non halal lebih banyak daripada Unit Usaha Syariah perlu
mengurangi aktivitas penerimaan dana non halal yang diperoleh. Pengurangi
penerimaan dana non halal menjadi penting karena semakin besar dana non halal
yang dimiliki oleh perbankan syariah maka semakin besar potensi penurunan
kepercayaan nasabah terhadap perbankan syariah (Muchlis dan Utomo, 2018).
Selain itu, perbankan syariah yang memiliki pendapatan non halal yang rendah
cenderung diminati oleh investor yang pada akhirnya juga akan berdampak pada
meningkatnya nilai perusahaan (Adlan dan Mawardi, 2018). Selain itu, bank
syariah di Indonesia dipandang perlu untuk melakukan peningkatan
pengungkapan informasi yang lebih baik dan detail mengenai sumber dan
penggunaan dana non halal.
Implikasi dari penelitian ini adalah, perlunya perhatian yang lebih dari setiap
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan merupakan unsur utama
sebagai kelangsungan dan keberadaan usaha bank Syariah (Ilhami, 2009; Minarni,
2013) untuk mengawasi kepatuhan prinsip-prinsip Syariah termasuk pendapatan
non halal perbankan (Yusof et al, 2019).
Daftar Pustaka
Adlan dan Mawardi. 2018. Analisis Pengaruh Utang Berbasis Bunga dan
Pendapatan Non-Halal Terhadap Nilai Perusahaan Emiten Saham Syariah.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 4(2),103-128.
Adiono, C. L., & Sholihin, M. 2014. Analisis pengungkapan tata kelola bank
syariah di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 18(2), 268-377.
Al Haneef, S. S., Kamaruddin, Z., & Mahmud, M. W. 2017. Purification of Non-
Halal Income in Malaysian Islamic Banks: An Overview (Penyucian
Pendapatan Tidak-Halal Di Bank-Bank Islam Malaysia: Satu Tinjauan).
Journal of Islam in Asia, 14(2), 305-326.
Ali, I. M. A. 2012. Memaknai Disclosure Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan (Qardhul Hasan) Bank Syariah. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, 3(2), 187-209.
Anam, M. K. (2017). Penerapan Psak 101 Pada Laporan Dana Zakat Dan Dana
Kebajikan. Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat, 28(2), 1-
14.
Balangger RF., H.Karamoy dan H.Gamaliel. 2017. Evaluasi Pengungkapan
Dana Zakat dan Dana Kebajikan pada Laporan Keuangan Bank BRI
Syariah Cabang Manado. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 5(2) 1956-
1964.
Ghozali, Mohammad. Azmi, Muhammad Ulul. & Nugroho, Wahyu. 2019.
Perkembangan Bank Syariah Di Asia Tenggara: Sebuah Kajian Historis.
Falah: Jurnal Ekonomi Syariah, (4)1, 44-55
Abstract: Zakâh, Infâq, and Shadaqah: The Capital and Ideal Model of
Modern Finance and Economic Development. Zakat is the designation for a
particular property that intentionally released to be channeled to mustahiq.
Other financial types that always accompanies or included with it are zakat,
infak and sedekah. ZIS funds can be considered as a triad of economic re-
sources and short-term Islamic finance in synergy with other funding sour-
ces, such as grants, wills, and endowments-oriented for long-term interests.
In addition to its management structure and mechanism is relatively simple
and efficient, zakâh can be said always completely ready to cope with
urgent needs. ZIS funds in enforceability of all peoples and Muslim nations
showed that zakâh system appropriate to be used as capital and financial
economic model and the most modern of all time.
Abstrak: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal Pembangunan
Ekonomi dan Keuangan Modern. Zakat adalah sebutan bagi harta tertentu
yang sengaja dikeluarkan untuk disalurkan kepada mustahiq. Jenis ke-
uangan lainnya yang selalu menyertai zakat atau disertakan dengannya
adalah infak dan sedekah. Dana zakat, infak, dan sedekah dapat dikatakan
sebagai tiga serangkai sumber ekonomi dan keuangan Islam jangka pen-
dek yang bersinergi dengan sumber-sumber dana lainnya, seperti: hibah,
wasiat, dan wakaf yang berorientasikan jangka panjang. Selain bentuk dan
mekanisme pengelolaannya yang relatif sederhana dan efisien, dana ZIS
dapat dikatakan selalu serbasiap. Keberlakuan dana ZIS di semua bangsa
dan negara Islam/Muslim menunjukkan kelebihan sistem dana ZIS yang
tepat untuk dijadikan modal dan model ekonomi dan keuangan yang paling
modern sepanjang zaman.
Naskah diterima: 23 Febrari 2013, direvisi: 8 Juni 2013, disetujui: 13 Juni 2013
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Ir. H. Juanda 95, Ciputat,
Jakarta. E-mail: aminsuma@yahoo.com
254 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
Pendahuluan
Di antara tujuan utama dan pertama dalam suatu masyarakat di dunia ini
ialah menghendaki kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Dalam tradisi masya-
rakat Muslim, kebahagiaan hidup yang dimaksud lazim diistilahkan dengan
kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‘âdah al-dârayn), sebagaimana terlegendakan
dalam doa, ‚Rabbânâ âtinâ fi al-dunyâ hasanah wa fi al-âkhrah hasanah wa qinâ
‘adzâb al-nâr‛, (Wahai Tuhan kami, beri kami kebahagiaan di dunia dan keba-
hagiaan di akhirat, serta jauhkan kami dari siksaan api neraka).1
Untuk mencapai kehidupan yang sa‘âdah al-dârayn, Islam—di bawah
kepe-mimpinan Muhammad Saw. berdasarkan wahyu Allah Swt.—telah mele-
takkan kerangka dasar bangunan perekonomian dan sistem keuangan yang be-
nar-benar standar, sistemik, baku, serta abadi. Bangunan kokoh ekonomi dan
keuangan yang dimaksud salah satunya adalah melalui institusi zakat, yang di-
syariatkan sejak tahun kedua Hijrah, berdekatan waktunya sebelum pewajiban
ibadah puasa.2 ZIS (zakat, infak, dan sedekah) ini dijalankan oleh komunitas
Muslim di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia yang potensi dana ZIS-
nya benar-benar menjadi primadona dunia Islam disebabkan jumlah penduduk
Muslimnya yang terbesar di seluruh dunia.
Risalah ini mencoba mengungkap perihal dana ZIS dengan pendekatan
yang lebih utuh dan menyeluruh sebagai salah satu bangunan ekonomi dan ke-
uangan yang benar-benar bisa dijadikan contoh modal dan sekaligus model eko-
nomi dan keuangan yang mengedepankan asas ekonomi dan keuangan yang
benar-benar makmur, adil, dan merata.
1
Baca, Q.s. al-Baqarah [2]: 201.
2
Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bugha, dan ‘Alî al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab
al-Imâm al-Syâfi‘î, (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1432 H/2011 M.), Jilid I, h. 271; Ibn ‘Âbidîn (Muhammad
Amîn), Hasyiyah Radd al-Mukhtâr ‘ala al-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr, (Bayrût-Lubnân: Dâr
al-Fikr, 1425-1426 H/2005 M), Juz II, h. 278.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 255
3
Yûsuf al-Qaradhawî, Fiqh al-Zakâh, Bayrût, (Lubnân: Mu’assasah al-Risâlah, 1418 H/1997 M)
Jilid I, h. 64.
4
Baca beberapa kamus dan kitab-kitab fikih terkait dengan makna harfiah maupun istilah
zakat/al-zakâh ini.
5
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Bayrût, Lubnân: Dâr al-Jayl, 1973), Jilid I, h. 327.
6
Yûsuf al-Qaradhawî, Fiqh al-Zakâh, Jilid I, h. h. 37-38.
7
‘Abd al-Rahmân al-Juzayrî, al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, Jilid I, h. 590.
8
Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bughâ, dan ‘Alî al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzâhib
al-Imâm al-Syâfi‘î, Jilid I, h. 271.
9
Perhatikan Q.s. al-Syams [91]: 9.
10
UU RI No. 39 tahun 1998 sebagaimana sudah ditambah dengan UU RI No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1, Angka 2.
256 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
11
Muhammad ibn Isâ‘îl al-Kahlanî, Subul al-Salâm, (Bandung, Indonesia, Maktabah Dahlan,
t.th.), Juz II, h. 120.
12
Muhammad Amin Suma, Lima Pilar Islam, (Tangerang: Kholam Publishing, 2007), h. 106.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 257
13
UU-RI No. 23 th. 2013, Pasal 1, Angka 3.
14
UU-RI No. 23 th. 2013, Pasal 1, Angka 4.
15
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût-Lubnân: t.tp: t.p., t.th), h. 249.
16
Mohammad Zuhdi Hj. Ab. Majid, ‘ Peranan Zakat dalam Pembangunan Ummah’, dalam Nik
Mustapha Nik Hassan [Penyunting], Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia, h. 207.
17
Perhatikan dan renungkan Alquran terutama surah al-An‘âm [6]: 160 dan surah al-Baqarah
[2]: 261.
258 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
pembayaran zakat yang minimal itu dilebihkan barang sedikit dengan penge-
luaran infak atau sedekah yang selalu menyertai zakat, maka kelipatannya tentu
akan semakin bertambah banyak/besar lagi. Apalagi bagi muzakkî yang memiliki
kekayaan milyaran hingga terilyunan rupiah, tentu akan menjadi sulit menghi-
tungnya, bahkan tidak terhitung lagi. Maha benar Allah dalam kalam-Nya, yang
pada itinya menyatakan bahwa mustahil bisa menghitung-hitung nikmat Allah.18
Mengapa harus dipahami demikian? Karena, uang yang dizakatkan itu pa-
da hakikatnya sama sekali tidak habis dimakan apalagi dibuang percuma, meng-
ingat uang zakat itu ibaratnya justru dengan secara sadar diniatkan untuk dijadi-
kan deposito jangka panjang sampai akhirat di mana uang zakat itu diterima,
dikelola, dan disalurkan oleh lembaga keuangan yang paling andal dan jujur,
dalam hal ini penulis istilahkan dengan ‚Bank Pahala Allah Swt.,‛ yang kelak di
akhirat deposio itu akan dikembalikan kepada deposan (muzakkî) berikut uang
bagi hasilnya yang sebesar 10 hingga 700 kali lipat dari uang pokoknya. Pertanya-
an besar dan mendasarnya, adakah di dunia ini lembaga keuangan yang mem-
berikan laba atau bunga sekalipun yang maksimalnya hingga 700% kepada de-
posan (muzakkî)?
Adapun secara maknawi-hissiyyah (batiniah-ruhaniah), dana zakat, infak,
dan sedekah dipastikan akan dapat menyucikan harta kekayaan muzakkî, di
samping juga menyucikan diri/jiwanya dari rasa was-was, rasa takut, rasa tidak
aman, kurang nyaman, bahkan bisa membersihkan lingkungan hidupnya sehing-
ga menjadi lebih aman dan lebih nyaman. Dengan dana zakat yang dibayarkan,
para pembayar zakat (muzakkî) menjadi orang-orang yang secara kejiwaan akan
lebih merasa terlindungi dari kemungkinan pengurangan atau penurunan harta
dengan cara paksa, seperti tindakan kekerasan dalam pelbagai bentuk, misal-
nya: pencurian, penipuan, perampokan, pemerasan dan/atau bentuk-bentuk tin-
dakan kekerasan lainnya yang bisa saja terjadi di luar kesadaran orang-orang
yang enggan membayar zakat.
Pada sisi lain, pengeluaran zakat juga diduga kuat akan dapat menghalau
kecemburuan sosial. Dengan dana zakat pula, muzakkî akan terbebaskan dari
ancaman azab neraka, sebagaimana diinformasikan Alquran, misalnya dalam
surah al-Tawbah [9] ayat 34. Demikian pula dengan sejumlah Hadis Nabi yang
menyinggung soal siksaan orang-orang enggan membayar zakat19 semata-mata
18
Perhatikan Alquran surah Ibrâhîm [14]: 34 dan al-Nahl [16]: 18.
19
Di antaranya, Hadis riwayat Imam Ahmad dan lain-lain dari Abû Hurayrah R.a., yang pada
intinya menyatakan sabda Rasulullah bahwa tidak seorang pun penimbun harta yang tidak mau
(enggan) mengeluarkan zakatnya, kecuali dia (kelak di alam akhirat) akan disetrika di neraka jaha-
nam, kemudian ia akan dijadikan alas setrikaan di mana kening dan mukanya akan disetrika bolak-
balik sampai Allah memutuskan di antara hamba-hamba-Nya itu satu waktu yang ukuran satu harinya
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 259
karena takut mengurangi hartanya atau bahkan merasa khawatir jatuh miskin.
Padahal, sejauh ini zakat sudah teruji dan terbukti tidak pernah ada orang kaya
yang jatuh miskin disebabkan membayar zakat. Dengan kalimat lain, tidak ada
muzakkî yang jatuh miskin lantaran membayar zakat yang besarannya hanya
berkisar 2,5—20% dari keseluruhan harta kekayaan produktif yang dimiliki mu-
zakkî. Lagi pula, zakat pada dasarnya tidak membebankan pembayaran pada
jenis-jenis harta kekayaan tertentu yang nyata-nyata tidak produktif.20
Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
sepadan dengan dengan 50.000 tahun. Kemudian sesudah itu dia akan dievaluasi ulang amal-perbua-
tannya, dan lalu dia bisa dimasukkan ke syurga atau kembali dimasukkan ke neraka.
20
Kekayaan yang tidak produktif, seperti rumah tinggal, kendaraan operasional, perhiasan-
perhiasan dan/atau beberapa lainnya yang sama sekali tidak produktif dan apalagi yang notabene
harus dibiayai perawatannya, maka sama sekali tidak harus dizakati. Benar ada jenis harta tertentu
yang kalau sudah satu nishab dan haul (satu tahun) harus dizakati seperti emas non perhiasan dan/
atau lainnya, namun itu selain ketentuan hukumnya yang masih tetap debatebel, juga pada umum-
nya disarankan agar harta kekayaan itu diproduktifkan supaya tidak habs dimakan zakat. Kecuali itu,
kemungkinan terjadinya juga kecil mengingat orang-orang yang memiliki banyak harta pada umum-
nya cerdas untuk memproduktifkan harta yang dia miliki. Berbeda dengan orang-orang miskin,
dalam hal ini para mustahiq, yang kebanyakan tidak mampu mengelola dengan baik harta kekayaan
karena memang tidak terbiasa apalagi terlatih dengan manajemen kehartabendaan.
260 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
(dalam perut) bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-
buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri tidak
mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah itu Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Q.s. al-Baqarah
[2]: 267).
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu mem-
21
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tafsîr al-Qayyim, (Bayrût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-‘Il-miyyah, t.th.),
h. 166.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 261
22
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 244; Abd al-Mun‘im
Ahmad Tu’aylib, Fath al-Rahmân fî Tafsîr al-Qur’ân, Jilid III, h. 1366.
23
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 244.
262 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
Para ulama juga berbeda dalam memahami kata ‚al-amwâl‛ pada ayat di
atas. Sebagian ada yang membatasinya dengan pakaian, alat-alat rumah tangga,
dan hiasan aksesoris (al-tsiyâb, wa al-matâ‘ wa al-‘urudh), sementara sebagian
yang lain memahaminya dengan onta pada khususnya dan/atau hewan-hewan
ternak lain (al-mawasyi) pada umumnya. Di samping ada pula yang memasuk-
kannya ke dalam lingkup al-amwâl adalah harta dalam bentuk emas, perak, dan
mata uang, termasuk mata uang kertas. Pengertian dan ruang lingkup jangkauan
al-mâl yang sangat luas dan luwes, justru dikemukakan oleh Abû ‘Umar yang
menyatakan, ‚Yang paling umum dikenal di kalangan bangsa dan bahasa Arab
tentang pengertian al-mâl ialah meliputi semua dan setiap sesuatu yang digan-
drungi manusia untuk dimiliki. Itulah dia yang namanya mâl (anna kulla mâ
tumuwwil wa tumullik huwa mâl)‛, katanya. Al-Qurthubî juga menyimpulkan hal
yang sama dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan meliputkan dan
bahasa juga menyaksikan bahwasanya apa saja yang bisa dimiliki manusia, itu
dinamakan harta (al-mâl).‛24
Yang jelas, umumnya ulama Islam (mufassirîn, muhadditsîn, fuqahâ’, dan
lain-lain) tidak ada yang keberatan untuk menggunakan ayat di atas sebagai ayat
hukum bagi pensyariatan zakat yang hukumnya wajib itu. Demikian pula dengan
khithâb ayat yang tidak semata-mata untuk Nabi selagi beliau masih hidup, akan
tetapi juga berlaku seterusnya sepeninggal Nabi untuk para pemangku urusan
umat Islam kapan dan di manapun mereka berada. Pewajiban zakat yang demi-
kian telah mentradisi secara berkesinambungan dengan berurat-berakar dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat sejak masa-masa kekhalifahan Abâ
Bakr al-Shiddîq R.a. sampai pemerintahan nasionalisme Islam/Muslim dewasa
ini. Itulah pula yang menyebabkan Khalifah Abû Bakr bersikukuh melawan dan
bahkan ‚memerangi‛ para penentang zakat (mani’ al-zakah) di zamannya seraya
Abu Bakar bersumpah: ‚Demi Allah, aku akan perangi siapapun yang [coba-coba
berusaha] memisahkan pertalian erat dan mengikat antara salat dan zakat.‛25 O-
rang-orang yang mengkhususkan perintah ayat di atas hanya untuk Nabi Muham-
mad Saw. dan tidak bagi para pemegang otoritas keislaman berikutnya, oleh ba-
nyak ulama dipandang sebagai orang-orang yang bodoh pengetahuannya ten-
tang Alquran (jâhil bi al-Qur’ân), melupakan sumber-pengambilan syariah (ghâfil
‘an ma’khadz al-syarî‘ah) dan termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang
bermain-main dengan agama (mutalâ’ib bi al-dîn).26 Pasalnya, terlalu banyak
ayat Alquran lainnya yang menggunakan redaksi tunggal (mufrad), bahkan khu-
24
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 247.
25
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, (Bayrût, Lubnân: Bayt al-Afkâr al-Dawliyyah, 2004), h. 492.
26
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 247.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 263
sus untuk Nabi, namun maksud dari sasarannya juga diperuntukkan bagi umat-
nya;27 kecuali yang benar-benar khusus untuk Nabi sendiri.28
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (tapi
tidak mau meminta) (Q.s. al-Ma‘ârij [70]: 24-25).
Senafas dengan ayat di atas, secara gamblang Hadis Nabi menyebutkan li-
ma rangkaian rukun Islam, salah satunya adalah zakat di samping dua kalimat
syahadat, salat, puasa, dan haji sebagaimana termaktub dalam Hadis berikut:
Agama Islam itu dibangun (didirikan) di ata lima pilar (utama), yakni: (1)
kesakisian tiada tuhan selain Allah dan kesaksian bahwa Muhammad
adalah utusan Allah, (2) penegakan salat, (3) pembayaran zakat, (4) puasa
Ramadan, (5) haji ke Baitullah bagi yang memiliki kemampuan. (H.r. al-
Bukhârî, Muslim, dan lain-lain).
Berdasarkan ayat Alquran dan Hadis Nabi di atas serta ayat-ayat dan Hadis-
hadis lain yang semakna dengannya, semua ulama Islam dan umat Islam sejak
dahulu sampai sekarang insya Allah juga hingga di masa-masa yang akan datang,
tetap sepakat untuk menyimpulkan dan meyakinkan bahwa penunaian zakat
bagi umat Islam yang memenuhi persyaratan hukumnya wajib/fardh ayn. Sama
dengan kewajiban untuk menjalani rukun-rukun Islam yang lainnya yakni meng-
ikrarkan dua kalimat syahadat, menegakan salat, melaksanakan puasa Rama-
dan, dan pergi haji. Tanpa zakat, penegakan rukun-rukun Islam yang lain akan
mengalami ketimpangan atau bahkan oleng dan sangat mungkin terjatuh lan-
taran tidak memiliki daya dan stamina untuk melakukan semuanya. Seperti di-
27
Baca dan renungkan misalnya: al-Baqarah 92): 231; surah al-Isra (17): 78; al-Nisa (4): 102; al-
Nahl (16): 98.
28
Perhatikan surah al-Ahzâb [33]: 50.
264 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
29
Râfiq Yûnus al-Mashrî, Fiqh al-Mu‘âmalah al-Mâliyah, (Jiddah: Dâr al-Basyir, 1426 H/2005 M.),
h. 77; Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bughâ, dan ‘Alî al-al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab
al-Imâm al-Syâfi‘î, Jilid I, h. 273.
30
‘Abd al-Rahmân al-Juzayrî, al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, Jilid I, h. 596.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 265
Yang jelas, dengan mengacu kepada Alquran surah al-Baqarah [2]: 167
maupun al-Tawbah (9): ayat 107 yang masing-masing menggunakan kata-kata
‚min thayyibât mâ kasabtum‛ dan ‚wa min mâ akhrajnâ lakum min al-ardh‛ di
satu sisi serta kata-kata ‚khudz min amwalihim‛ pada sisi yang lain, penulis tam-
pak lebih condong untuk mewajibkan zakat kepada semua jenis usaha apa saja
yang menghasilkan ‚keuntungan‛ secara ekonomi dan keuangan. Keculai terha-
dap jenis-jenis pertanian yang terkait dengan makanan pokok yang sudah memi-
liki kadar tertentu tentang zakatnya, maka yang lain-lain sangat bisa dikiaskan
kepada jenis zakat perniagaan/perdagangan. Terutama terkait dengan jenis-jenis
aktivitas yang bernilai ekonomi dan keuangan seperti rumput hias, peternakan
ayam, burung puyuh, dan lain-lain yang pada masa-masa modern sekarang ini
benar-benar bervariasi bentuk/jenisnya, tapi semuanya menghasilkan uang yang
tidak kecil. Terhadap jenis-jenis usaha semacam ini, insya Allah mudah-mu-
dahan tidaklah salah jika penentuaan kadar zakatnya didasarkan pada zakat per-
tanian di satu sisi dan zakat perdagangan di sisi yang lain.
Kehadiran peraturan perundang-undangan yang dimiliki bangsa Indonesia
dalam hal ini Undang-Undang Nomor 38 tahun 1998 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2013
tentang Pengelolaan Zakat, bagaimanapun telah memberikan kemajuan tersen-
diri terkait dengan jenis-jenis harta dan/atau usaha dan jasa yang wajib dizakati.
Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa: ‚Zakat meliputi zakat mal dan
zakat fitrah. Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (a) emas;
perak dan logam mulia lainnya; (b) uang dan surah berharga lainnya; (c) per-
niagaan; (d) pertanian, peternakan, dan kehutanan; (e) peternakan dan per-
ikanan; (f) pertembangan; (g) perindustrian; (h) pendapatan dan jasa; dan (i)
rikâz.31
Penyebutan barang, dan/atau dunia usaha, kerja dan jasa yang penye-
butannya dalam Undang-Undang ini lebih rinci, wajib kita syukuri dan apresiasi
mengingat bagaimanapun telah membuka jalan dan memberi kesempatan se-
luas-luasnya kepada masyarakat Msulim Indonesia untuk pengembangan dana
ZIS di satu sisi dan pembiasaan kesadaran masyarakat luas tentang pengeluaran
dana ZIS pada sisi yang lain. Terutama dalam konteks pemakmuran kesejahte-
raan sosial ekonomi umat dan masyarakat Indonesia yang berasaskan keadilan
dan pemerataan. Satu hal lain yang penting digarisbawahi di sini ialah pewajiban
zakat bagi badan usaha di samping terutama kepada perorangan. 32
Perhatikan dan renungkan UU RI No. 23 tahun 2013 yang menyatakan: ‚Muzakkî adalah
32
seorang Muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat‛ (Pasal 1 angka 5). ‚Zakat
266 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
Sayangnya, dalam praktik masih tetap dijumpai sebagian pelaku bisnis sya-
riah sekalipun yang belum sependapat untuk membebankan kewajiban zakat
terhadap badan usaha seperti bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah,
dan lain-lain.
mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh muzakkî perseorangan
atau badan usaha (Pasal 4 ayat (3)).
33
Rafiq Yunus al-Mashri, Fiqh al-Mu’amalat al-maliyyah, h. 77.
34
Karena satu dan lain hal terutama pertimbangan teknis, tidak disebutkan secara rinci di
dalam tulisan ini.
35
Selain dapat meringankan beban psikis muzakkî dengan cara mencicil pembayaran dana
zakatnya, cara pembayaran zakat yang demikian tentu akan turut membantu kelancaran biaya-biaya
mendesak para mustahiq. Petunjuk teknis Alquran (Q.s. al-An‘âm [6]: 141) yang menetapkan waktu
panen sebagai waktu penunaian zakat pertanian, sedikit-banyak turut memberikan inspirasi bagi
penyegeraan penunaian zakat di saat-saat muzakkî menerima pembayaran penjualan barang dan/
atau pembayaran gaji/honorarirum. Demikian pula dengan kemajuan teknologi yang memudahkan
para muzakkî melakukan penghitungan zakat dan penunaiannya. Tanpa menutup kemungkinan ada
rahasia lain mengapa hawl dijadikan standar dalam hal pembayaran zakat, boleh jadi penetapan
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 267
hawl lebih didasarkan pada toleransi kesulitan waktu menghitung untuk kalangan peniaga/pebisnis
di zaman-zaman silam.Wallahu a’lam.
36
Muhammad Husain al-Thaba’-thaba’I, al-Mizan fi-Tafsir al-Qur’an, jil. 6, h. 322-323.
37
Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih, h. jil. 1, hlm 896-897.
268 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
mîn dan ibn al-sabîl ke dalam kelompok fî yang bermaksud institusional itu. Da-
lam pandangan al-Thabathaba’i, empat kelompok pertama mustahiq mengguna-
kan huruf lam (li al-milk), yakni: li al-fuqarâ’, wa li al-masâkin, wa li al-‘amilîn wa
li al-ghârimîn. Sedangkan empat kelompok yang disebutkan terakhir mengguna-
kan redaksi fi dan karenanya maka perlu ditakdirkan dengan redaksi wa fi al-
riqâb, wa fi al-ghârimîn, wa fi sabil Allâh, wa fî ibn al-sabîl.
Dalam pada itu, hampir semua ulama tafsir dan fikih sepakat bahwa dana
zakat itu penyalurannya benar-benar terbatas dan bahkan harus dibatasi, yakni
hanya kepada delapan ashnâf mustahiq yang disebutkan di atas. Penyaluran da-
na zakat kepada orang/pihak di luar delapan ashnâf tersebut, hukumnya dila-
rang. Ayat 60 surah al-Tawbah ini menurut sebagian mufassir diturunkan dalam
rangka antisipasi atau bahkan menutup rapat kemungkinan penyalahgunaan da-
na zakat oleh oknum-oknum tertentu misalnya jatuh ke tangan orang-orang mu-
nafik yang demikian tamak (rakus) dengan sifat buruknya yang suka mencela
nabi ketika tidak kebagian zakat meski terkadang memujinya sedemikian rupa
tatkala diberi bagian zakat sebagaimana dilansir dalam surah yang sama (al-
Tawbah) ayat 58 dan ayat 61. Pembatasan penyaluran dana zakat kepada para
mustahiq di atas, diperkuat oleh penggalan ayat ‚farîdhah min Allâh wa Allâh
‘alîm hakîm‛= sebagai kewajiban dari Allah, dan Allah itu Mahatahu lagi Mahabi-
jaksana. Perhatikan hubungan harmonis (kesetiakawanan sosial) antara muzak-
kî dan mustahiqqîn dalam diagram di bawah ini:
Catatan:
1. Penyandang dana (donatur) tetap adalah: muzakkîn, munfiqîn, dan muta-
shaddiqîn;
2. Penerima dana (mustahiqîn), meliputi: fuqarâ’, masâkin, ‘âmilîn, mu’allafah
qulûbuhum, riqâb, ghârimin, sabîl Allâh, dan ibn sabîl. Dua sampai empat
kelompok bersifat personal (perorangan) yaitu: terutama fuqarâ’ dan masâkin
(menurut kebanyakan ulama) di samping ‘âmilîn dan ghârimîn (menurut
sebagian ulama yang lain).
3. Penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian dana ZIS dilakukan oleh
‘âmilîn yang berasaskan tiga pro: professional, prosedural, dan proporsional;
4. Pemerintah bertindak selaku regulator yang adil, arif, dan bijaksana;
5. Masyarakat luas turut mendukung dan mengawasi dengan penuh rasa senang
dan tanggung jawab.
Mutifungsi Zakat
Zakat, di samping juga infak dan sedekah, dipastikan memiliki banyak
fungsi. Yang terpenting daripadanya ialah fungsi internal-material dan kejiwaan
di samping juga memiliki fungsi eksternal-material dan spiritual. Secara material,
harta zakat seperti pernah disinggung panjang lebar sebelum ini, jelas membuat
harta muzakkî, munfiq, dan mutashaddiq menjadi semakin bertambah dan ber-
kah. Sementara secara kejiwaan, ZIS membuat penunainya merasa tenang, ten-
tram dan nyaman. Sedangkan secara eksternal-material, dana ZIS memiliki multi
manfaat bagi para mustahiq, dan secara kejiwaan para mustahiq niscaya sangat
hormat dan mencintai para donator dana ZIS mengingat sama-sama aktif, saling
memberi dan menerima, serta saling berharap dan mendoa. Sungguh benar apa
yang dikalamkan Allah dalam wahyu-Nya, dan sungguh benar juga apa yang di-
sabdakan Rasul-Nya, di samping masih lebih banyak lagi yang tidak mungkin di-
tuliskan di sini. Sebagian kecil di antaranya adalah:
Dari Ibn ‘Abbas R.a., sesungguhnya Nabi Saw. pernah mengutus Mu‘âdz ibn
Jabal R.a. ke Yaman, yang ringkasannya sebagaimana disebutkan Ha-dis,
‚Sesungguhnya Allah telah memfardukan kepada mereka (penduduk
Yaman) supaya membayar sedekah terhadap sebagian harta kekayaan
mereka, tepatnya diambilkan dari kekayaan orang-orang kaya yang ada di
antara mereka, untuk kemudian disalurkan kepada kalangan fuqarâ’ yang
ada di tengah-tengah mereka. (H.r. Muttafaq ‘alayh).
Dari Ibn ‘Abbâs R.a., dia berkata, ‚Rasulullah Saw. telah memfardukan za-
kat fitrah (dengan fungsi utama) sebagai penyuci bagi orang yang puasa dari
seloroh-seloroh murahan dan/atau seloroh berbau seksual (thuhrah li al-shâ’im
270 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
Muatan Positif
Senafas dengan pengertian zakat (harfiah maupun syar‘iyyah), zakat dipas-
tikan memiliki hikmah (nilai-nilai positif) dari pemungutan, pengelolaan, dan
pendistrbusian dana zakat itu sendiri. Terutama terkait dengan program jangka
pendek dan menengah yang sering kali tantangannya datang setiap saat dan se-
panjang zaman. Katakanlah seperti kebutuhan makan-minum (konsumsi), pa-
kaian dan tempat tinggal. Demikian pula dengan kebutuhan pendidikan dan
kesehatan yang harus dinikmati oleh semua dan setiap warga-negara dalam kon-
teks kebangsan dan kenegaraan, atau kesejahteraan umat Islam dalam konteks
kehidupan keagamaan dalam hal ini agama Islam. Di antara hikmah zakat ialah
sebagai berikut:
Pertama, dalam jangka pendek—terutama dalam bidang pangan—zakat
minimal dapat mengatasi kelaparan dan kasus-kasus gizi buruk yang sering kali
melanda kalangan masyarakat miskin tertentu di daerah-daerah perdesaan/ter-
pencil yang jauh dari keramaian kota dan berkumpulnya kelompok orang-orang
kaya (aghniya’). Kedua, dalam hal sandang, zakat dapat membantu meringankan
fuqarâ’-masâkin untuk membeli pakaian yang relatif lebih berkualitas atau
sekurang-kurangnya bisa mengatasi kesulitan mereka dalam hal pakaian. Ketiga,
dalam bidang pendidikan, zakat dapat mencerdaskan kehidupan anak bangsa
dan bisa membebaskan para mustahiq dari kebodohan dan ketertinggalan.
Keempat, zakat dapat menjadi modal dana kaesehatan masyarakat miskin dan
golongan mustahiq lainnya. Kelima, dana zakat dapat meng-cover semua la-
pisan masyarakat yang sangat membutuhkannya, bahkan dalam kasus-kasus ter-
tentu bisa juga memberikan kesejahteraan yang lebih pada orang/pihak tertentu.
Keenam, dana zakat jelas harus merata ke seluruh penjuru tempat kediaman
para mustahiq zakat. Ketujuh, zakat dapat mengurangi atau bahkan menghilang-
kan kesenjangan sosial ekonomi. Kedelapan, zakat juga dapat mengatasi krisis
pangan terutama di saat-saat terjadi bencana alam maupun bencana lain-lainnya
seperti bencana kekisruhan dan kersuhan atau bahkan peperangan sekalipun.
Kesembilan, dampak positif zakat lainnya adalah dapat menciptakan harmoni-
sasi hubungan sosial-kemasyarakatan dalam konteksnya yang sangat luas, ter-
utama antara masyarakat berada (kaya) dengan masyarakat miskin. Kesepuluh,
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 271
zakat minimal bisa mengurangi atau bahkan menangkal pelbagai macam tindak
kriminal yang disebabkan oleh rasa kecemburuan sosial yang sangat mungkin
muncul secara tiba-tiba. Kesebelas, dilihat dari isinya yang manapun, zakat relatif
jauh lebih ringan/kecil nilainya.
Terkait perbedaan kadar pewajiban antara jenis zakat yang satu dengan
jenis zakat yang lain, misalnya antara zakat pertanian, perdagangan, dan yang
sejenis dengannya, para ulama mengurainya dengan panjang lebar. Di antara
mereka adalah Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang mengemukakan sebagai berikut:
Mengapa kadar zakat untuk uang emas dan perak serta perniagaan itu
sebesar 1/4% (4/10), sedangkan tanam-tanaman (pertanian) dan buah-
buahan itu kadar zakatnya 1/5 atau (10%)? Sementara pertambangan
(ma’din) zakatnya 1/5 juga, sementara rikâz hingga mencapai 20%, itu
semua menunjukkan keutamaan dan keprimaan syariat terkait dengan
penyejahteraan kaum fuqarâ’ dan penyucian harta di samping terutama
dalam rangka ber-taqarrub ila Allâh (mendekatkan diri kepada Allah). De-
mikian pula halnya dengan yang lain-lain yang acap kali manusia boleh jadi
salah persepsi terhadap ketentuan-ketentuan syariat yang sarat dengan
nilai-nilai positif (hikmah) dan rahasisa dari pelbagai hikmah itu sendiri.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dana ZIS Indonesia masih ‚ter-
timbun rapat‛ sebagaimana hal yang sama sesungguhnya juga dialami oleh se-
bagian bangsa-bangsa Muslim yang lainnya. Beberapa faktor yang dimaksudkan
sesungguhnya tergambarkan dalam sikap masyarakat Muslim sendiri terhadap
zakat di samping pajak yaitu sebagai berikut: (1) Ada Kalangan Muslim yang taat
pajak dan sekaligu taat zakat; (2) Boleh jadi ada golongan yang setia pajak tetapi
ingkar zakat; (3) Boleh jadi ada kelompok yang taat zakat tidak setia pajak; (4)
Tidak mustahil ada kelompok yang inkar zakat dan sekaligus tolak pajak.
Terkait dengan gambaran sikap masyarakat Muslim di satu pihak dan ken-
dala yang dihadapi para pegiat zakat secara makro dan dalam garis besar pernah
dikemukakan para pemerhati ZIS, di antaranya M. Djamal Doa, yang menyimpul-
kannya sebagai berikut:38
Pertama, problem muzakkî, yang antara lain masih sering diselubungi de-
ngan sikap riya, meskipun Alquran telah lama mewanti-wanti siapapun (para
muzakkî, munfik dan mutashadik) untuk tidak terjebak dengan sikap dan apalagi
perilaku riyâ.39
Kedua, problem mustahiq, antara lain masih tercemari oleh sebagian ok-
num masyarakat yang pura-pura miskin (munafik) di satu pihak dan pembagian
dana zakat yang belum merata mengingat masih ada yang bersifat tumpang-
tindih dan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu.
Ketiga, problem khilâfiyah masalah-masalah kontemporer yang sedikit ba-
nyak menimbulkan perbedaan atau bahkan perdebatan pendapat yang boleh
jadi berujung pada kehadiran fatwa hukum fikih, terutama secara lisan, yang
berbau fenomenal.
Keempat, problem normatif peraturan perundang-undangan seputar pe-
ngelolaan zakat, terutama di masa-masa lalu dan belakangan juga terkait dengan
korelasi pengurangan zakat atas pembayaran pajak yang secara teoretis masih
tetap mengundang beberapa penafsiran sementara secara praksis baik kebija-
kan maupun teknisi administratif masih tetap memiliki banyak kendala di lapa-
ngan. Apalagi terkait sosialisasinya yang nyaris tidak pernah tertangani apalagi
ada yang menangani.
Kelima, problem internal lembaga amil zakat sendiri yang dalam banyak
hal dan praktiknya masih tetap mengalami beberapa kendala, termasuk dunia
‘âmilîn sendiri yang hingga kini masih belum memiliki rambu-rambu peng-
gajian/upah/fee/ujrah yang benar-benar standar. Belum lagi terkait dengan ke-
38
M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, h. 59-97.
39
Baca dan renungkan Alquran, antara lain surah al-Baqarah [2]: 264 dan surah al-Nisâ’ [4]:
38.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 273
Penutup
Zakat, infak, dan sedekah (ZIS) bisa dijadikan modal dan sekaligus model
pembangunan sistem ekonomi dan keuangan sepanjang zaman. Termasuk di
era modern sekarang di mana kehidupan ekonomi dan keuangan semakin kom-
pleks dan bahkan problemtik. Alasannya, selain dana ZIS pernah teruji dan diuji
kelangsungannya sepanjang perjalanan sejarah umat Islam, dana ZIS juga memi-
liki potensi luar biasa untuk dijadikan sebgai dana cadangan yang selalu siap di-
kucurkan dalam pelbagai situasi dan kondisi apa dan bagaimanapun. Terutama
untuk mengatasi pelbagai persoalan ekonomi dan keuangan jangka pendek,
atau bahkan datang secara tiba-tiba.
Demikian pula dengan potensi dana ZIS yang tidak pernah mengurang,
apalagi mengering di semua dan setiap negara yang dihuni oleh penduduk ma-
yoritas Muslim, terutama Indonesia sebagai negara Muslim raksasa di seluruh
penjuru dunia. Potensi dana ZIS umat Islam Indonesia demikian fantastis ketika
diperkirkan mampu menyumbangkan ‚devisa‛ sebesar 217 trilyun rupiah dalam
satu tahun terakhir, dan ke depan insya Allah akan terus bertambah lebih besar
lagi. Potensi ini sejatinya bisa diwujudkan pada waktunya manakala benar-benar
dituju dan diburu secara bersama-sama melalui kerja-kerja simultan dan berba-
siskan prinsip-prinsip profesional, prosedural, dan proporsional.
Dengan modal utama masyarakat muzakkî yang demikian melimpah dan
dimotori oleh ‘âmilîn yang jujur dan trampil. Di-support oleh pemerintah selaku
regulator dan diawasi oleh semua unsure masyarakat yang berakhlak, baik sang-
ka, dan kontrol setia, insya Allah dan sungguh tidak berlebihan kita mengido-
lakan ‚dana ZIS sebagai modal dan model ideal pembangunan ekonomi dan
keuangan modern sepanjang zaman‛ demi kesejahteraan bersama rakyat Indo-
nesia yang makmur, adil, dan merata.
Pustaka Acuan
Al-Qur’ân al-Karîm.
‘Asqalanî, al-, Ibn Hajar Bulûgh al-Marâm min Adillah al-Ahkâm, Bandung,
40
M. Djamil Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, h. 59-97.
274 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal
Indone-sia, t.th.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999.
Doa, M. Djamal, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, Jakarta: Nuansa
Mada-ni, 2001.
Hassan, Nik Musthapa Nik [Penyunting], Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di
Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia: Institut Kepahaman Islam Malaysia,
2002.
Hijâzî, Muhammad Mahmûd, al-Tafsîr al-Wâdhih, Bayrût, Dâr al-Jayl, 1413 H/1993
M.
Ibn ‘Âbidîn (Muhammad Amîn), Hasyiyah Radd al-Mukhtâr ‘ala al-Durr al-Mukhtâr
Syarh Tanwîr al-Abshâr, Bayrût-Lubnân: Dâr al-Fikr, 1425 – 1426 H/2005 M.
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Bayrût, Lubnân: Bayt al-Afkâr al-Dawliyyah, 2004.
Jawziyyah, al-, Ibn Qayyim, Tafsîr al-Qayyim, Bayrût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-‘Il-
miyyah, [t.t.].
Kahlanî, al-, Muhammad ibn Isâ‘îl, Subul al-Salâm, Bandung, Indonesia,
Maktabah Dahlan, t.th.
Khinn, al-, Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bugha, dan ‘Alî al-Syarbajî, al-Fiqh
al-Manhajî ‘alâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi‘î, Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1432
H/2011 M.
Mashrî, al-, Râfiq Yûnus, Fiqh al-Mu‘âmalah al-Mâliyah, Jiddah: Dâr al-Basyir, 1426
H/2005 M.
Qaradhawî, al-, Yûsuf, Fiqh al-Zakâh, Bayrût, Lubnân: Mu’assasah al-Risâlah, 1418
H/1997 M.
Qurthubî, al-, Abî ‘Abd Allâh, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Bayrût-Lubnân: t.tp: t.p.,
t.th.
Sâbiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bayrût, Lubnân: Dâr al-Jayl, 1973.
Suma, Muhammad Amin, Lima Pilar Islam, Tangerang: Kholam Publishing, 2007.
Thabathaba’i, al-, Muhammad Husayn, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Bayrût,
Lubnân: Mu’assasah al-A’lam li-al-Mathbu’ah, 1411 H/1991 M.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat.
44 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho
E-mail: mohammadghozali@unida.gontor.ac.id
ABSTRACT
ABSTRAK
Pendahuluan
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang operasional dan produknya
dikembangkan berlandaskan Al-Qur’an dan hadist, khususnya yang menyangkut
tata cara bermuamalat secara islam (Antonio & Perwataatmaja, 2001; Umam,
2013: 15). Pertumbuhan perbankan syariah di dunia diawali dengan berdirinya
Mit Gamr Bank di Mesir pada tahun 1963. Selanjutnya Dubai Islamic Bank
menjadi bank komersial pertama yang membuka layanan syariah pada tahun
1975. Berdasarkan wilayah ekonominya, perbankan syariah pertama di Asia
Tenggara adalah Bank Islam Malaysia Berhad yang berdiri di Malaysia pada
tahun 1983 (Ketell, 2011: 24).
Pertumbuhan industri keuangan syariah yang pesat dan stabil juga menjadikan
Asia Tenggara sebagai bagian penting dalam keuangan Islam global. Negara-
negara di Asean memiliki variasi yang beragam dalam pengembangan perbankan
Syariah. Malaysia merupakan Negara yang paling cepat dalam pengembangan
perbankan syariah diantara Negara-negara di Asean, lalu Indonesia juga gencar
dalam usahanya mengembangkan perbankan syariah, walaupun perkembangannya
lambat jika dibandingkan dengan Malaysia, karena pendekatan yang digunakan
berbeda. Pendekatan yang digunakan di Malaysia adalah pendekatan (state
driven), sedangkan perbankan syariah di Indonesia lebih banyak digerakkan oleh
masyarakat (market driven).
Selain di kedua Negara tersebut, Brunei Darussalam juga intens dalam
mengembangkan industri perbankan syariah. Selanjutnya Singapura yang
merupakan Negara minoritas muslim juga berambisi untuk mengembangkan
industri ini. Dan juga ambisi ini diikuti Negara-negara minoritas muslim lainnya
seperti Filipina, dan Thailand dengan mengakomodir keberadaan bank syariah di
negaranya. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan
ekonomi syariah di Asia Tenggara dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan
perbankan syariah.
Ikhtiar yang lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru
dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990,
yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
Islam di Indonesia. Berbeda dengan tujuan bank konvensional yang hanya
mencanangkan pencapaian keuntungan yang setinggi-tingginya (profit
maximization). Perbankan Syariah bertujuan untuk menggalakkan, memelihara
serta mengembangkan jasa serta produk perbankan yang berdasarkan syariah (Tim
Pengembangan Perbankan Syariah, 2001: 23).
Bank syariah di Indonesia sendiri sebenarnya telah mendapatkan dasar
legitimasi yang kuat dengan ketentuan deregulasi sektor perbankan pada tahun
1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku
bunga hingga nol persen (peniadaan bunga sekaligus). Akan tetapi kesempatan ini
belum bisa dimanfaatkan karena tidak diperkenankan untuk membuka lembaga
baru. Kondisi ini berlangsung hingga pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru (Umam,
2013: 22).
Selanjutnya posisi perbankan syariah semakin kokoh setelah disahkan UU
Perbankan Nomor 7 Tahun 1992, dimana bank diberikan kebebasan untuk
menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya, baik bunga
ataupun keuntungan bagi hasil. Dengan terbitnya peraturan tersebut tentang bank
bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak
boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(bunga), sebaliknya bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil, maka jalan bagi perkembangan perbankan syariah semakin luas
(Muhammad, 2004: 21). Dengan demikian kegiatan operasional perbankan di
Indonesia didasarkan pada dua sistem yaitu: sistem bunga dan sistem syariah,
sedangkan bank umum konvensional dapat menganut dual banking system.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan bank syariah pertama yang
berdiri pada tahun 1991, berdirinya bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Akte pendiriannya
ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen
pembelian saham sebanyak Rp84 miliar (Antonio, 2001: 25).
Menurut Wirdyaningsih dkk (2005: 3), bahwa hingga terbitnya undang-
undang Nomor 10 tahun 1998, Indonesia telah melewati dua tahapan pembinaan,
yaitu “tahapan perkenalan” (introduction) yang ditandai dengan diberlakukanya
undang-undang Nomor 7 tahun 1992, dan tahapan pengakuan (recognition) yang
ditandai diberlakukanya UU Nomor 10 tahun 1998. Tahapan berikutnya adalah
Developmant Bank (1980), Baiduri Bank (1992), Tabung Amanah Islamic Brunei
(1992), dan Development Bank of Brunei (1995). Dan pada pertengahan tahun
1980-an, Bank National of Brunei menggabungkan diri dengan Island
Development Bank (IDB) dengan nama International Bank of Brunei. Bank ini
merupakan satu-satunya bank local yang berdiri di Brunei pada saat itu (Ebrahim,
2001: 327)
Sultan Brunei selanjutnya memulai pembentukan bank Islam di Brunei.
Dalam pidato kerajaan di Pertemuan Dewan Agama Islam yang diselenggarakan
pada bulan September 1990, ia menekankan bahwa pendirian bank Islam adalah
penting karena ini kewajiban 'fard kifayah' untuk setiap negara Muslim dan
Negara Brunei Darussalam. Perintah ini memprakarsai awal dari lebih banyak
pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Agama Islam yang menghasilkan
pembentukan komite yang dikenal sebagai Pembentukan Komite Bank Islam
(Latiffin Ali & Ahmad, (n.d): 277-278). Pada tahun 1993, Bank Internasional
Brunei menggati nama menjadi Bank Islam Brunei untuk mengelola urusan
keuangan masyarakat sesuai dengan cita-cita luhur Islam.
Bank-bank di Brunei Darussalam dipantau oleh Undang-Undang Perbankan
dan Keuangan dan Undang-undang Perusahaan melalui Departemen Keuangan.
Tidak ada bank nasional di Brunei tetapi tugas pemantauan berada di bawah
yurisdiksi Moneter Keuangan melalui Dewan Mata Uang Brunei, Departemen
Layanan Keuangan dan Badan Investasi Brunei. Dari semua bank Brunei, hanya
Bank Islam Brunei (IBB) dan Tabung Amanah Islam Brunei (Islamic Trust Fund
of Brunei) yang menawarkan layanan perbankan Islam, sementara yang lain
menawarkan jasa keuangan berdasarkan praktik perbankan konvensional
(Mohammad, et.al, 2013: 7).
Komitmen pertama Brunei yang signifikan untuk mengembangkan sistem
Islam yang lengkap dimulai pada bulan September 1992, hal ini dinyatakan
dengan pembukaan resmi Tabung Amanah Islam Brunei (TAIB) yang
menggantikan International Bank Of Brunei (IBB) (Sjahdeini, 2014:83)
Islamic Development Bank Berhad (IDBB) pada awalnya didirikan sebagai
bank konvensional pada Maret 1995, kemudian dikenal sebagai Bank
Pembangunan Brunei (DBB), sebuah lembaga perbankan yang sepenuhnya milik
pemerintah. Pada tanggal 4 April 2000, Sultan menginstruksikan bank untuk
beroperasi sesuai prinsip-prinsip Islam (Latiffin Ali& Ahmad,(n.d): 282).
Hingga kini, terdapat tiga belas tahun sejak lembaga keuangan Islam pertama
didirikan di Brunei. Selama periode ini dapat disaksikan pertumbuhan yang pesat
sebagaimana terbukti dengan jumlah cabang yang telah dibuka di seluruh penjuru
Brunei (Latiffin Ali& Ahmad,(n.d): 284)
tertarik dengan Foreign Direct Invesment (FDI), Sovereign Wealth Fund (SWF),
dan Petrodolar. Hal ini lah yang kemudian menjadi faktor yang menyebabkan
keseriusan yang lebih bagi pemerintah Singapura untuk memantau perkembangan
sistem ekonomi Islam (Mardiah, 2016: 4-5).
Dukungan terhadap sistem perbankan dan keuangan syariah di Singapura
datang dari Menteri Senior Goh Chok Tong pada November 2004. Ia berjanji
untuk meningkatkan status Singapura sebagai Pusat Jasa Keuangan Syariah
(center for Islamic Financial Services). Selanjutnya pada bulan Maret 2005,
Perdana Menteri Singapura mengemumkan rencana perubahan undang-undang
(amandemen) untuk mempermudah setiap bank untuk menawarkan produk dan
jasa keuangan syariah. Pemerintah juga akan merivisi peraturan yang
menghambat suatu bank untuk menawarkan produk syariah (Mohammad, et.al.,
(n.d): 10)
beberapa langkah yang dilakukan untuk mendukung adalah dengan
memasukkan penghapusan pengenaan bea materai ganda transaksi-transaksi
syariah yang melibatkan real estate dan juga akan terjadi pada penyelesaian
pembayaran obligasi syariah yang perlakuannya sama dengan pajak yang
diberikan untuk bunga yang timbul dari keuangan konvensional. Selain itu,
pemerintah telah memulai serangkaian penandatanganan perjanjian perdagangan
bebas dengan sejumlah Negara timur tengah dan Negara-negara teluk (Venardoz,
2005: 216).
Secara umum kerangka regulasi yang dikembangkan di Singapura terkait
dengan industri perbankan dan keuangan syariah adalah memperlakukan secara
sama dengan industri perbankan dan keuangan secara umum. Kerangka regulasi
yang bersifat fleksibel ini disebabkan jumlah penduduk muslim dan perbankan
syariah yang belum terlalu dominan, semua aktivitas bisnis perbankan di
Singapura, baik konvensional maupun syariah, diatur oleh undang-undang
perbankan (Banking Act) di bawah pengawasan Monetary Authority of Singapore
(MAS). Seiring dengan perkembangan sistem keuangan syariah di Singapura
maka dibutuhkan regulasi yang mengaturnya selain dari undang-undang yang
sudah ada. Pada tahun 2008, MAS menerbitkan sebuah garis perunjuk (guidlines)
dengan nama Guidelines on the Application of Banking Regulation to Islamic
Banking .Guidelines ini bertujuan untuk menyediakan petunjuk bagi bank tentang
peraturan bank syariah di Singapura, terutama tentang kerangka petunjuk bagi
lembaga keuangan yang berkeinginan untuk membuka produk dan jasa keuangan
syariah (Sjahdeini, 2014:74)
Sistem ekonomi Islam terbukti cukup berhasil di terapkan oleh Singapura, hal
ini dibuktikan dengan didirikannya Islamic Bank of Asia pada tahun 2007
(Sjahdeini, 2014:74). Selanjutnya perbankan syariah memang semakin
berkembang, hal ini ditandai dengan kemunculan bank syariah internasional
maupun bank konvensional yang mendirikan cabang khusus syariah maupun
layanan perbankan syariah seperti bank DBS, Maybank, HSBC Amanah, OCBC
Bank dan Noor Islamic Bank (Mardiah, (n.d): 6). Lembaga keuangan syariah
lainnya yang telah membuka kantor di Singapura adalah Arcapita dan Al-Salam
Bank-Bahrain.
Kesimpulan
Asia Tenggara dengan sejumlah Negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam memang menjadi perhatian internasional mengenai kaitannya
dengan perkembangan keuangan Islam. Kemampuan industri keuangan Islam di
wilayah ini dalam menghadapi krisis mata uang Asia pada akhir 1990-an dan
krisis keuangan global ini setidaknya memunculkan pengakuan akan pentingnya
posisi wilayah ini dalam percaturan industri yang berkembang ini. Pertumbuhan
yang pesat dan stabil juga menjadikan Asia Tenggara sebagai bagian penting
dalam keuangan Islam global.
Negara di Kawasan Asia Tenggara yang telah mengoperasikan Perbankan
syariah adalah Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Philipina dan
Singapura. Walaupun fase yang dialami berbeda-beda, pertumbuhan dan
perkembangan perbankan syariah sangat menggembirakan dan cukup
menjanjikan. Secara global, perbankan syariah di Asia Tenggara menduduki
peringkat kedua di dunia dalam hal asset terbesarnya. Dan kedudukan perbankan
syariah di Asia Tenggara sangat diperhitungkan di seluruh dunia.
Tantangan yang terbesar yang akan dihadapi oleh Negara-negara Asia
Tenggara dalam mengembangkan sistem keuangan syariah yang terintegrasi yaitu
adanya kesenjangan pada kualitas perkembangan keuangan syariah pada setiap
Negara-negara yang menerapkannya. Dan demi membangun kawasan keuangan
berbasis syariah yang kuat dan terintegrasi maka diperlukan adanya kerjasama
diantara pihak-pihak yang terkait. Dan yang menjadi syarat terpenting adanya
integrasi keuangan syariah adalah terjadinya harmonisasi regulasi diantara Negara
yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Ketell, Brian, (2011), The Islamic Banking and Finance Workbook, United
Kingdom: John Wiley & Sons.
Kunhibava, Sherin, (2012), Islamic Banking in Malaysia, International Journal of
Legal Information, Spring-Summer.
Latiff, Salma Hj Abdul, Islamic Banking in Brunei and The Future Role of Centre
For Islamic Banking, Finance and Management (CIBFM), Islamic Banking
and Finance Fundamentals and Contemporary Issues by Syed Ali dan
Ausaf Ahmad.
Mannan, M. A., (1997), Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastngin,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mardiah, Nur Hilda, (2016), Kepentingan Ekonomi Politik Singapura Dalam
Menerapkan Sistem Ekonomi Islam, JOM FISIP, Vol. 3, No. 2, Oktober.
Mohammad, Muhammad Taqiuddin, et.al, (2013), The Historical Development of
Modern Islamic Banking: A study in South-East Asia Country, Academic
Journals, 1 November.
Muhammad, (2004), Bank Syariah, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia.
Nugroho, Any, (2015), Hukum Perbankan Syariah, Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Pooprasert, Ruengrit, Chaiyasri, Anaknong, (2012), Islamic Finance in Thailand:
Prospects and Challenges, IFN Islamic Finance, January.
Prasetyo, Luhur, (2010), Undang-undang Perbankan Syariah, Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press.
Rama, Ali, (2015), Analisis Deskriptif Perkembangan Perbankan Syariah Di Asia
Tenggara, The Journal of Tauhidinomics, Vol. 1, No. 2.
Sjahdeini, Sutan Remy, (2014), Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-
Aspek Hukumnya, Jakarta: Prenadamedia Group.
Sukirno, Sadono, (1996), Pengantar Teori Makroekonomi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,.
Thani, Nik Norzul, et.al, (2010), Law and Practice of Islamic Banking and
Finance, 2nded, Petaling Jaya: Sweet & Maxwell Asia.
Umam, Khaerul, (2013), Manajemen Perbankan Syariah, Bandung: Pustaka Setia.
Venardoz, M. Angelo, (2005), Islamic Banking and Finance in South-East Asia:
Its Development and Future, Singapore: World Scientific Publishing,.
Wirdyaningsih, (2005), Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Media Group.
http://documents.worldbank.org/curated/en/748841468087856489/pdf/106382-
WP-P153163-PUBLIC.pdf hal 4 diakses pada tanggal 17 November 2018
http://www.bnm.gov.my/guidelines/05_shariah/02_Shariah_Governance_Framew
ork_20101026.pdf diakses pada tanggal 5 Januari 2019.
http://www.amanahbank.gov.ph/about-the-bank/history, diakses pada tanggal 11
November 2018
http://www.ibank.co.th/2010/en/about/about_detail.aspx?ID=1 diakses pada
tanggal 11 November 2018
Jielend Ariandhini
Email: jielend1995@gmail.com
ABSTRACT
ABSTRAK
1. Pendahuluan
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan sistem
perbankan Indonesia mengakui keberadaan bank syariah dan memberikan
kesempatan untuk beroperasi, hal ini dilihat dari disetujuinya UU No.10 Tahun
1998. Undang-undang inilah secara tegas membedakan bank berdasarkan prinsip
konvensional serta bank berdasarkan prinsip syariah (Maradita, 2014: 192).
Pendirian bank syariah telah mendorong sektor industri keuangan syariah lainnya
seperti lembaga akademik, rumah sakit dan komunitas masyarakat yang peduli
dengan perkembangan industri keuangan syariah. Dukungan pemerintah semakin
terlihat yaitu telah diterbitkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah. Pemerintah juga mendirikan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS)
pada tahun 2015 langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, ini menunjukkan
pemihakan yang jelas pemerintah terhadap bank syariah. KNKS ini diharapkan
2. Tinjauan Pustaka
Sutedi, (2012); Erfiza (2014); Adestian (2015), menyatakan bahwa komposisi
anggota dewan komisaris yang banyak maka pengawasan terhadap dewan direksi
menjadi jauh lebih baik, nasihat dan masukan untuk dewan direksi pun menjadi
lebih banyak, sehingga dapat meningkatkan kinerja perbankan. Sementara
menurut Addiyah (2014), menyatakan bahwa kebijakan dewan direksi dapat
mempengaruhi keuangan BUS secara signifikan dan memiliki dampak terhadap
anggaran, sumber daya manusia serta struktur organisasi (Usman, 2012: 273). Hal
senada juga dinyatakan oleh Kartika (2014) dan Adestian (2015). Sementara
Kartika dan Erfina (2014) menyatakan baha Komposisi Dewan Pengawas Syariah
(DPS) tidak berpengaruh terhadap profitabilitas BUS yang diukur menggunakan
ROA. Artinya setiap peningkatan atau penurunan DPS tidak akan berpengaruh
terhadap ROA pada BUS.
3. Metode Penelitian
Objek penelitian ini mengenai pengaruh corporate governance terhadap
profitabilitas bank umum syariah di Indonesia periode 2011-2016. Jenis penelitian
dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seluruh bank umum syariah yang terdapat di Indonesia pada
tahun 2011-2016. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Penelitian ini menggunakan data sekunder. Teknik ini
menggunakan teknik dokumentasi yaitu teknik untuk memperoleh data dengan
cara mengumpulkan, mempelajari dan mengolah data. Teknik analisis data
penelitian ini adalah data panel dari tahun 2011-2016 serta perbandingannya antar
bank. Data panel adalah data yang mempunyai dua dimensi yaitu individu (cross-
section) dan waktu (time series), dimana setiap unit cross-section (individu)
diulang dalam beberapa periode waktu.
4. Pembahasan
4.1. Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Profitabilitas BUS
Berdasarkan hasil pengujian data, bahwa komposisi dewan komisaris
berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas BUS yang diukur
menggunakan ROA. Artinya setiap peningkatan atau penurunan dewan komisaris
akan berpengaruh terhadap ROA pada BUS, dewan komisaris memegang peranan
penting dalam implementasi CG, serta merupakan inti dari corporate governance
yang bertugas untuk menjamin pelaksanaan strategi, mengawasi manajemen
dalam mengelola bank serta mewajibkan terlaksananya akuntanbilitas.
Tabel 1.1
Nilai Hasil Uji F
Uji F
Variabel F-Stat Prob Keputusan
(x1,x2,x3,x4) 3.48915 0.021410 Signifikan
Hal ini berarti bahwa Ha diterima dan H0 ditolak, berarti dapat disimpulkan
bahwa variabel independen meliputi: komposisi dewan komisaris, komposisi
dewan direksi, komposisi komite audit dan komposisi dewan pengawas syariah
secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas
bank umum syariah yang diukur dengan ROA.
Tabel 1.2
Outer Model Pengaruh Corporate Governance terhadap Profitabilitas
Bank Umum Syariah (BUS)
Audit (x3)
DPS (X4) 0.277192 0.7839 Tidak Signifikan
5. Kesimpulan
Kesimpulan pengaruh CG yang diukur melalui komposisi dewan komisaris,
komposisi dewan direksi, komposisi komite audit, dan komposisi dewan
pengawas syariah, sedangkan profitabilitas Bank Umum Syariah (BUS) diukur
menggunakan ROA.Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Variabel komposisi dewan komisaris terhadap ROA berpengaruh positif dan
signifikan terhadap profitabilitas. Artinya setiap peningkatan atau penurunan
dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Variabel
komposisi komposisi dewan direksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
profitabilitas. Artinya setiap peningkatan atau penurunan komposisi dewan direksi
akan meningkatkan profitabilitas. Variabel komposisi komite audit berpengaruh
positif dan signifikan terhadap profitabilitas. Artinya Artinya setiap peningkatan
atau penurunan dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas.
Variabel komposisi DPS tidak berpengaruh terhadap profitabilitas. Artinya setiap
peningkatan atau penurunan DPS tidak berpengaruh signifikan terhadap
profitabilitas.
Daftar Pustaka
Abdullah, Mal An. 2010. Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media)
Addiyah, Alina. 2014. Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap
Kinerja Keuangan Perbankan (Studi Pada Perusahaan Perbankan yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012), Diponegoro Journal of
Accounting, Vol.3 No.4
Adestian, Yuda. 2015. Pengaruh Dewan Komisaris, Dewan Komisaris
Independen, Komite Audit, dan Ukuran Perusahaan Pada Kinerja Perusahaan
Perbankan yang Listing di BEI Pada Tahun 2012-2014”. (Universitas Dian
Nuswatoro)
Effendi, Arief. 2016. The Power of Good Corporate Governance Teori dan
Implikasi (Jakarta: Salemba Empat)
Erfina, Erzi. 2014. Pengaruh GCG Terhadap Kinerja Keuangan Perbankan
Syariah di Indonesia. (Publikasi Ilmiah Universitas Muhammadiyah
Surakarta)
Febriani, Dini. 2016. Pengaruh Pengungkapan Islamic Social Reporting Terhadap
Dana Pihak Ketiga Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Periode Tahun
2010-201. (Skripsi Universitas Islam Bandung)
Kartika, Ika. 2014. Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Oleh Dewan
Komisaris, Dewan Direksi, Komite-komite dan Dewan Pengawas Syariah
Terhadap Kinerja Perbankan Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Tahun
2010-2013. (Skiripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Laksmana, Yusak. 2009. Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan di
Bank Syariah. (Jakarta: Gramedia)