Anda di halaman 1dari 97

214 | Fadilla M.

Mahdi

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah


(p)ISSN: 2502-3918; (e)ISSN: 2502-7825
Vol 4, No 2 (Agustus 2019), pp.214-226
DOI: https://doi.org/10.22219/jes.v4i2.11190

Pengaruh Instabilitas Makroekonomi Terhadap


Non-Performing Financing Perbankan Syariah
di Indonesia
Fadilla Muhammad Mahdi

Program Studi Ekonomi Syariah,


Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

E-mail: fadillamm@umm.ac.id

ABSTRACT
This study aims to identify the determinants of non-performing financing
(NPF) in Islamic banks in Indonesia. The study objects are the Islamic
banking industry during the first quarter of 2008 until the third quarter of
2019. The variables in this study are inflation, growth of Gross Domestic
Product (PDB), and Bank Indonesia rate. The statistic method used is the
Vector Error Correction Model (VECM). The result shows that inflation
shock significantly affects the trend of NPF, while others do not give
significant effect to NPF of Islamic Banking.
Kata Kunci: Macroeconomics, BI Rate, Inflation, Growth PDB, Non-
Performing Financing, Islamic Banking
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu
Non Performance Financing (NPF) bank syariah di Indonesia. Objek
penelitian adalah industri perbankan syariah selama kuartal pertama
periode tahun 2008 hingga kuartal ketiga tahun 2019. Variabel dalam
penelitian ini adalah inflasi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto
(PDB), dan suku bunga Bank Indonesia. Metode statistik yang digunakan
adalah Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa guncangan inflasi secara signifikan mempengaruhi
tren NPF, sementara faktor lain tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap NPF perbankan syariah Indonesia.
Kata Kunci: Ekonomi Makro, Bunga BI, Inflasi, PDB Pertumbuhan,
Pembiayaan Bermasalah, Perbankan Syariah.
Vol. 4, No.2, Agustus 2019
Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 215

1. Pendahuluan
Hadirnya bank syariah didorong dari keinginan umat muslim agar setiap
kebutuhan jasa transkasi perbankannya terhindar dari riba dan transaksi terlarang
lainnya. Kemudian, kesesuaian transaksi dengan akad yang diperkenankan dalam
syariat Islam juga menjadi pembeda utama antara bank syariah dengan bank
konvensional (Antonio, 2013).
Dalam melakukan aktivitas operasionalnya, bank dihadapkan pada berbagai
risiko. Menurut al Jarrah (2012), sumber dari risiko yang dihadapi perbankan dapat
dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistemik dan non-sistemik. Salah satu
dampak negatif dari risiko-risiko yang dihadapi bank adalah menurunnya kualitas
pembiayaan yang diberikan oleh bank. Hal ini dapat menyebabkan bank kehilangan
potensi keuntungan dari pembiayaan yang diberikan sekaligus meningkatkan
potensi kerugian.
Untuk menjaga kualitas pembiayaan di industri perbankan, termasuk bank
syariah, regulator mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/2/PBI/2013. Salah satu variabel yang digunakan dalam penilaiannya adalah
rasio pembiayaan berkualitas rendah atau bermasalah terhadap total pembiayaan,
atau dikenal dengan non-performing financing (NPF) gross. Bank Indonesia
memberikan rambu-rambu bahwa kualitas pembiayaan bank dinilai baik apabila
nilai NPF nett-nya kurang dari 5%.
Menurut laporan otoritas jasa keuangan, kondisi NPF nett perbankan syariah
di Indonesia tergolong sesuai dengan kriteria, karena masih berada dibawah 5%.
Namun, apabila dilihat NPF gross-nya dapat diketahui bahwa nilai rasio ini
beberapa kali pernah melewati nilai 5%.

Gambar 1.1 Pergerakan NPF Industri Perbankan Syariah

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2019

Dari Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa selama periode 2008 hingga kwartal
ketiga 2019 NPF perbankan syariah mencapai nilai di atas 5% pada kwartal ke-3
2009 dan kwartal ketiga 2016. Dari sudut pandang perbankan, pembiayaan

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
216 | Fadilla M. Mahdi

bermasalah dapat terjadi dipicu oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terjadi akibat kesalahan bank dalam mengambil strategi atau
menetapkan kebijakan. Faktor eksternal terjadi terkait dengan kegiatan usaha
debitur dan iklim usaha (Siamat, 2005). Penelitian ini menitikberatkan pada faktor
eksternal saja, yaitu berupa faktor-faktor ekonomi secara makro berupa inflasi,
tingkat suku bunga Bank Indonesia, dan pertumbuhan PDB.
2. Tinjauan Pustaka
Untuk mengukur kualitas kredit yang diberikan bank dapat digunakan rasio
non-performing loans (NPL), yaitu persentase kredit dengan kualitas Kurang
Lancar, Diragukan, dan Macet terhadap total kredit bank. Hampir seluruh penelitian
mengenai kegagalan bank menemukan bahwa sebelum mengalami kegagalan, bank
memiliki tingkat NPL yang tinggi. Oleh karena itu, NPL menjadi parameter yang
penting untuk mengukur kesehatan bank (Berger & DeYoung, 1997). Pendekatan
yang sama diberlakukan juga di bank syariah dalam kegiatan pembiayaannya. Untuk
mengukur kualitas pembiayaan, rasio yang digunakan adalah non-performing
financing (NPF).
Menurut Samuelson (2002), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan
dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan
jasa yang diproduksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan
pada suatu periode waktu tertentu. PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran
atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang, 2001).
Berbagai studi dilakukan untuk meneliti lebih lanjut pengaruh PDB terhadap
kondisi NPF perbankan. Pada saat kondisi ekonomi membaik, atau terjadi
peningkatan pertumbuhan PDB, tingkat NPF diperkirakan akan turun karena adanya
perbaikan kemampuan debitur untuk membayar pembiayaannya. Peningkatan
pertumbuhan PDB juga memicu masyarakat untuk lebih konsumtif sekaligus lebih
produktif. Sehingga, permintaan terhadap jasa keuangan termasuk pembiayaan juga
meningkat (Mirakhor dan Iqbal, 2011).
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau
dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain
(Boediono,2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan
persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan
kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008).
Inflasi menyebabkan pengembalian pembiayaan yang diterima bank dari
debitur mengalami penurunan nilai. Apabila bank memiliki ekspektasi bahwa inflasi
akan terus meningkat, bank akan menaikkan margin pembiayaan untuk
mengkompensasi potensi kerugian yang akan dialami di masa depan. Akibatnya,
beban yang harus ditanggung oleh debitur semakin tinggi (Boyd & Champ, 2006).
Peningkatan suku bunga Bank Indonesia akan menyebabkan margin dan
nisbah bagi hasil bank syariah juga meningkat. Hal ini menyebabkan debitur
dihadapkan pada cost of fund yang cukup tinggi. Kondisi ini pada akhirnya membuat
debitur mengalami permasalahan dalam pembayaran pembiayaannya (Fofack, 2005;

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 217

Das & Ghosh, 2007). Dengan demikian, suku bunga Bank Indonesia dapat
mempengaruhi NPF bank syariah.
Beberapa peneliti telah melakukan analisis terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi NPF atau NPL serta rasio keuangan lain di perbankan, baik syariah
maupun konvensional. Penelitian Ahmad dan Ariff (2007) menemukan bahwa
earning asset/total aset, loan loss provision/total pinjaman, loan to deposit ratio,
liquidity ratio, spread emerged, dan regulasi permodalan yang terdapat pada setiap
negara yang diuji memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat NPL. Temuan
Aver (2008) dalam penelitiannya yaitu suku bunga riil kredit konsumsi,
peningkatan indeks harga saham, peningkatan pengangguran, dan peningkatan suku
bunga riil kredit perumahan memiliki dampak signifikan terhadap risiko sistemik
pada kredit perbankan di Slovenia.
Penelitian Barajas et al. (2008) mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga
dan PDB memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Kemudian,
Sanrego dan Poetry (2011) menemukan bahwa NPL bank konvensional dan NPF
bank syariah dipengaruhi signifikan oleh nilai tukar, indeks produksi, inflasi, SBI,
LDR, dan CAR. Peneliti selanjutnya, Simon (2010) mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan jangka pendek antara BI rate, inflasi, dan nilai tukar terhadap
rasio NPL.
Ali dan Daly (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa PDB dan
tingkat suku bunga memiliki pengaruh signifikan terhadap risiko kredit. Penelitian
Louzis, Vouldis, dan Metaxas (2010) menyimpulkan bahwa pertumbuhan PDB,
tingkat pengangguran, suku bunga kredit, kinerja, dan efisiensi bank mempengaruhi
tingkat NPL perbankan. Kemudian, Al Jarah (2012) mengungkapkan bahwa
simpangan baku dari ROA, rasio modal terhadap aset, dan koefisien korelasi dari
nasabah dan DPK jangka pendek berpengaruh signifikan terhadap risiko sistemik
dan total aset.
Temuan lain menyebutkan PDB riil menjadi variabel utama yang
mempengaruhi NPL selama periode penelitian (Beck, 2015). Curak, Pepur, dan
Poposki (2013) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat
suku bunga, ukuran bank, ROA, serta rasio modal terhadap aset mempengaruhi
NPL pada perbankan. Selanjutnya dalam penelitian Messai dan Jouini (2013)
ditemukan bahwa pertumbuhan PDB berpengaruh negatif terhadap NPL sementara
tingkat pengangguran berpengaruh positif. Terakhir, peneletian Ekanayake dan
Azeez (2015) menyimpulkan bahwa variabel internal bank yang berpengaruh
positif terhadap NPL adalah rasio kredit terhadap aset serta rasio pencadangan atas
kerugian, sedangkan pertumbuhan kredit berpengaruh negatif. Di sisi lain, variabel
makroekonomi yang berpengaruh positif terhadap NPL adalah suku bunga bank
sentral, sementara pertumbuhan PDB dan inflasi memiliki pengaruh negatif
terhadap NPL.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
218 | Fadilla M. Mahdi

3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah
Vector Error Correction Model (VECM). Untuk mendukung analisis juga
digunakan perangkat lunak berupa Eviews versi 7. Sebelum dilakukan analisis
dengan menggunakan VAR terlebih dahulu data akan digambarkan secara umum
melalui statistik deskriptif dan kemudian melakukan analisis VECM.
Secara garis besar, proses analisis VAR/VECM dapat diuraikan sebagai
berikut (Tanjung & Devi, 2013):
a. Uji stasioneritas data
b. Penentuan lag optimum
c. Uji stabilitas model VAR
d. Uji Kointegrasi
e. Uji Granger – Causality
f. Analisis Impulse Response Function
g. Analisis Variance Decomposition
Dalam penelitian ini, variabel independen yang digunakan adalah indikator
makroekonomi berupa berupa inflasi, pertumbuhan PDB, dan suku bunga Bank
Indonesia. Sementara itu, variabel dependen yang digunakan adalah NPF. Secara
ringkas operasionalisasi variabel dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1.1 Operasionalisasi Variabel

Simbol
Indikator
Variabel
Variabel Dependen

𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 (𝐾𝐿, 𝐷, 𝑀)
NPF 𝑁𝑃𝐹 =
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑠𝑎𝑙𝑢𝑟𝑘𝑎𝑛

Variabel Independen

𝐶𝑃𝐼𝑡 − 𝐶𝑃𝐼𝑡−1
INFLASI 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 =
𝐶𝑃𝐼𝑡−1

GR_YOY_PDB 𝑃𝐷𝐵

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 219

PDBRatePDBrupakan suku bunga yang ditetapakn Bank


Indonesia sebagai acuan bank dalam menetapkan bunga atau
BIPDBte imbal hasil. Penentuan nilai BI sebelum Agustus 2016
berdasarkan suku bunga SBI jangka waktu 6 bulan,
sementara setelahnya digunakan suku bunga 7 days repo.

Penelitian ini akan menganalisis model VECM untuk mengetahui hubungan


jangka panjang dan jangka pendek dari model yang digunakan. Kemudian, analisis
guncangan variabel makro ekonomi akan dilihat dari nilai Impulse Response
Function dan Variance Decomposition-nya.
4. Pembahasan
Dalam model analisis VAR, pengujian stasioneritas data merupakan bagian
terpenting sebelum menganalisis lebih lanjut. Jika hasil dari uji stasioneritas tidak
terpenuhi maka dapat menghasilkan kesimpulan penelitian yang tidak dapat
diandalkan. Dari uji stasioneritas terlihat bahwa secara simultan, variabel-variabel
penelitian akan stasioner pada data first difference.

Tabel 1.2 Hasil Uji Unit Root Pada First Difference

Langkah selanjutnya adalah menentukan panjang lag optimal dari model yang
digunakan. Lag yang digunakan dalam uji ini adalah tiga lag. Dengan mengacu pada
kriteria uji yang digunakan pada Tabel 3, terlihat bahwa lag optimum yang
direkomendasikan dalam model ini adalah pada lag 1, sehingga model VAR yang
digunakan adalah model VAR pada lag 1.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
220 | Fadilla M. Mahdi

Tabel 1.3 Hasil Uji Lag Optimum

Selanjutnya, model VAR diuji stabilitasnya dengan melihat nilai modulusnya.


Kriterianya adalah nilai modulus kurang dari 1. Fungsi dari uji stabilitas ini guna
mengetahui apakah nilai Impulse Responce Function dan Variance Decomposition
pada model VAR valid. Dari Tabel 1.4 dapat diketahui bahwa nilai modulus model
yang digunakan kurang dari 1, sehingga nilai Impulse Responce Function dan
Variance Decomposition dapat digunakan untuk melihat respons NPF terhadap
variabel independennya.

Tabel 1.4 Hasil Uji Stabilitas Model VAR

Setelah uji stabilitas model, selanjutnya dilakukan uji kointegrasi. Uji ini
berguna untuk mengetahui berapa banyak variabel yang terkointegrasi pada data
level. Berdasarkan uji ini diketahui bahwa terdapat empat variabel yang
terkointegrasi dalam model ini.

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 221

Tabel 1.5 Hasil Uji Kointegrasi

Berdasarkan uji Granger-Causality, dapat diketahui bahwa hubungan


kausalitas yang signifikan terdapat pada suku bunga BI terhadap NPF, inflasi
terhadap suku bunga BI, dan terjadi hubungan dua arah antara inflasi dan
pertumbuhan PDB.

Gambar 1.2 Hasil Uji Granger-Causality

Pada Gambar 1.2 dapat diketahui respon Non Performing Finance (NPF)
terhadap guncangan variabel makroekonomi dan dirinya sendiri dengan rentang
waktu sebanyak 15 kwartal. Respon NPF terhadap dirinya sendiri adalah positif,
namun tidak disertai dengan lonjakan yang tinggi. Respon NPF terhadap guncangan
pertumbuhan PDB adalah negatif dengan perubahan nilai yng tidak signifikan.
Temuan ini berbeda dengan temuan peneliti sebelumya (Barajas et al., 2008; Ali
dan Daly, 2010; Louzis, Vouldis, dan Metaxas, 2010; Beck, 2015; Messai dan
Jouini, 2013; Ekanayake dan Azeez, 2015) dimana kesimpulannya yaitu PDB atau
pertumbuhan PDB berpengaruh signifikan terhadap NPL atau NPF. Namun, arah
pengaruhnya sama yaitu negatif, sehingga peningkatan PDB dapat menurunkan
NPF perbankan syariah. Perbedaan terjadi dengan penelitian sebelumnya karena
selama periode penelitian, pertumbuhan PDB cenderung stabil.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
222 | Fadilla M. Mahdi

Gambar 1.3 Impulse Response Function model NPF

Sementara respon NPF terhadap guncangan suku bunga BI adalah positif.


Namun, jika dilihat dari model VECM, variabel ini tidak memiliki pengaruh yang
signifikan. Temuan ini berbeda dengan temuan dari Aver (2008); Barajas et al.
(2008); Ali dan Daly (2010); Louzis, Vouldis, dan Metaxas (2010); Curak, Pepur,
dan Poposki (2013); dan Ekanayake dan Azeez (2015) dimana temuannya adalah
tingkat suku bunga berpengaruh signifikan. Namun, respon terhadap variabel ini
sama yaitu positif, Sehingga, peningkatan suku bunga BI akan meningkatkan NPF
bank syariah.
Respon NPF terhadap guncangan inflasi memiliki dampak positif dan
signifikan. Hal ini dpat dilihat dari lonjakan yang cukup tinggi dari NPF dari kwartal
pertama dan mulai stabil pada kwartal ke-tujuh. Peningkatan NPF ketika terjadi
guncangan inflasi melesat 0,04% pada kwartal ke-dua menjadi 0,25% pada kwartal
ke-tujuh. Temuan ini sejalan dengan penelitian Sanrego dan Poetry (2011); Simon
(2010); Curak, Pepur, dan Poposki (2013); dan Ekanayake dan Azeez (2015).
Secara keseluruhan,guncangan makroekonomi dan variabel NPF itu sendiri akan
stabil pada kwartal ke-tujuh.

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 223

Gambar 1.4 Analisis Variance Decomposition

Pada Gambar 1.4 terdapat gambaran komposisi variabel-variabel yang


digunakan dalam model dalam menjelaskan pengaruh terhadap NPF selama 15
kwartal. Berdasarkan grafik tersebut, pada kwartal ke 15 komposisi variabel
terbesar terhadap perubahan NPF adalah nilai NPF itu sendiri sebesar 53,94% dan
inflasi sebesar 40,8%. Sementara itu, variabel-variabel lainnya menempti
komposisi di bawah 5%.

5. Kesimpulan
Temuan dari penelitian ini mengungkapkan pengaruh variabel-variabel
makroekonomi terhadap NPF perbankan syariah selama priode kwartal pertama
2008 hingga kwartal ke-tiga 2019. Berdasarkan analisis Impulse Response Function
ditemukan bahwa guncangan variabel inflasi memiliki dampak signifikan positif
terhadap NPF perbankan syariah. Secara keseluruhan, guncangan makroekonomi
menjadi stabil pada kwartal ke-tujuh. Berdasarkan analisis Variance
Decomposition, variabel NPF dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebayak 53,94%. Di
sisi lain, variabel makroekonomi yang memiliki komposisi pengaruh terbesar
terhadap NPF adalah inflasi dengan komposisi pengaruh sebesar 40,8%. Sementara
itu, variabel-variabel makroekonomi lainnya menjelaskan pengaruhnya terhadap
NPF dengan persentase di bawah 5%.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
224 | Fadilla M. Mahdi

Daftar Pustaka

Al-Jarah, I. M. (2012). European Journal of Economics, Finance and


Administrative Sciences, Vol. 48 “Evaluating The Riskiness of the Banking
Sector of Jordan.” Jordan.
Antonio, Muhammad Syafi’i. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
Archer, S., & Ahmed, T. (2003). Emerging Standards for Islamic Financial
Institutions: the Case of the Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions. Washington, DC: Mimeo, World Bank.
Arifin, Zainul. (2009). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah.Tangerang: Azkia
Publisher.
Asari et al. (2011). An Analysis of Non-Performing Loan, Interest Rate and
Inflation Rate Using Stata Software. World Applied Sciences Journal 12.
Aver, B. (2008). An Empirical Analysis of Credit Risk Factors of the Slovenian
Banking System. Managing Global Transitions Vol.6 No.3
Azizah, Nur. (2015). Maliyah Vol 5, No. 01, Juni 2015 “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Penyelesaian Pembiayaan Mudharabah Pada Nasabah Yang
Pailit Di Pt. Bni Syari’ah Cabang Ngagel Surabaya.”
Baltagi, Bagi. (2005). Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition. John
Wiley & Sons.
Bank Indonesia. (2005). Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank.
Peraturan Bank Indonesia No.13/3/PBI/2005.
Bank Indonesia. (2005). Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Peraturan Bank
Indonesia No.7/2/PBI/2005.
Bank Indonesia. (2005). Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Surat Edaran
Bank Indonesia No.7/3/DPNP.
Bank Indonesia. (2009). Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009.
Bank Indonesia. (2010). Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia
dalam Rupiah dan Valuta Asing. Peraturan Bank Indonesia No.
12/19/PBI/2010.
Barrel, R., Davis, E.P., Fic, T., & Karim, D. (2011). Is There a Link from Bank Size
to Risk Taking. National Institute of Economic and Social Research
Discussion Paper No.367.
Berger, A. N. & DeYoung, R. (1997). Journal of Banking and Finance Vol. 21
“Problem Loans and Cost Efficiency in Commercial Banks.”
Boyd, J.H., & Champ, B. (2006). Inflation, Banking, and Economic Growth.
Federal Reserve Bank of Cleveland.
Broecker, T. (1990). Credit-Worthiness Tests and Interbank Competition.
Econometrica Vol.58.
Cavallo, M., & Majnoni, G. (2001). Do Banks Provision for Bad Loans in Good
Times? Empirical Evidence and Policy Implications. The World Bank Policy
Research Working Paper Series 2619.

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Instabilitas Makroekonomi... | 225

Curak, Marijana, et. al. (2013). Banks and Bank Systems, Vol. 8, Issue 1, 2013
“Determinants of Non-Performing Loans – Evidence from Southeastern
European Banking Systems” Croatia.
Das, A., & Ghosh, S. (2007). Determinants of Credit Risk in Indian State-owned
Banks: An Empirical Investigation. Economic Issues Vol.12 Issue 2.
Dash, M.K., & Kabra, G. (2010). The Determinants of Non-Performing Assets in
Indian Commercial Bank: An Econometric Study. Middle Eastern Finance
and Economics Issue 7.
Fofack, H. (2005). Non-Performing Loans in Sub-Saharan Africa: Causal Analysis
and Macroeconomic Implications. World Bank Policy Research Working
Paper No. 3769.
Gujarati, D.N., & Porter, D.C. (2009). Basic Econometrics. Singapore: Mc-Graw
Hill
Haroen, Nasrun. (2000). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hu, J., Li, Y., & Chiu, Y. (2006). Ownership and Non-Performing Loans: Evidence
from Taiwan’s Banks. The Developing Countries, XLII-3.
Huda, Nurul, dkk. (2014). EKONOMI MAKRO ISLAM: Pendekatan Teoretis.
Jakarta: Kencana.
Iqbal, Zamir., & Mirakhor, Abbas. (2008). Pengantar Keuangan Islam: Teori dan
Praktik. Jakarta: Kencana.
Jimenez, G., & Saurina, J. (2006). Credit Cycles, Credit Risk and Prudential
Regulation. International Journal of Central Banking.
Jimenez, G., Lopez, J.A., & Saurina, J. (2007). How Does Competition Impact Bank
Risk-Taking? Federal Reserve Bank of San Francisco Working Paper No.23.
Karim, Adiwarman. (2011). Bank Islam “Analsisis Fikih dan Keuangan”. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Keeton, W.R. (1999). Does Faster Loan Growth Lead to Higher Loan Losses?
Federal Reserve Bank of Kansas City Economic Review (QII).
Keeton, W.R., Morris, C.S. (1987). Federal Reserve Bank of Kansas City Economic
Review “Why Do Banks' Loan Losses Differ?”
Khan, F.M., & Ghifari, N.M. (1992). Shabiti’s Objectives of Shariah and Some
Implications for Consumer Theory. In A. Ghazali, & M.S. Abu Hassan (Eds.).
Kuala Lumpur: Quill.
Mileris, Ricardas. (2014). Ekonomika 2014 Vol. 93 “Macroeconomic Factors of
Non-Performing Loans in Commercial Banks”. Lithuania: Kaunas
University of Technology.
Nachrowi, D.N., & Usman, H. (2002). Penggunaan Teknik Ekonometrika. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Naf’an. (2014). Ekonomi Makro: Tinjauan Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Ghara
Ilmu.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. (2006). Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
Jakarta: Kencana.
Nopirin. (2000). Ekonomi Moneter Buku I. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Oldfield, G.S., & Santomero, A.M. (1997). The Wharton Financial Institutions
Center Working Paper “The Place of Risk Management in Financial
Institutions”.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
226 | Fadilla M. Mahdi

Rahardja, Prathama., & Manurung, Mandala. (2004). Teori Ekonomi Makro Suatu
Pengantar, edisi kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FEUI).
Ranjan, R., & Dhal, S.C. (2003). Non-Performing Loans and Terms of Credit of
Public Sector Banks in India: An Empirical Assessment. Reserve Bank of
India Occasional Papers Vol.24, No.3.
Saeed, Abdullah. (2004). Islam dan Bunga Studi Kritis Larangan Riba dan
Interpretasi Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salas, V., & Saurina, J. (2002). Credit Risk in Two Institutional Regimes: Spanish
Commercial and Savings Banks. Journal of Financial Services Research.
Samuelson, Paul A. (2002). Macroeconomics Seventeenth Edition. McGraw-Hill
Higher Education.
Santomero, A.M. (1997). Journal of Financial Services Research “Commercial
Bank Risk Management: An Analysis of the Process.”
Suhendi, Hendi. (2010). Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tanjung, Hendri dan Abrista Dewi. (2013). Metodologi Penelitian Ekonomi Islam.
Jakarta: Gramata Publishing.
Wahyudi, Imam, dkk. (2013). Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Wiroso. (2011). Produk Perbankan Syariah. Jakarta: Penerbit LPFE Usakti

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pendekatan Kritis Implementasi
Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah
Indonesia
Mushlih Candrakusuma
Program Pasca Sarjana Ekonomi Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Ponorogo
Email: candrakusuma41@gmail.com

Mohammad Ghozali
Program Pasca Sarjana Ekonomi Islam,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Ponorogo
Email: ghozali.unida@gmail.com

Abstract
As a natural situation, the Islamic banking industry not only have a chance,
but also the various problems such as problem on products giro and saving syariah
based on wadi’ah. In wadi’ah saving, bank syariah receive trustful saving from the
client and distributing it to use it optimally. Actually, the use of trustful saving
(wadi’ah) is forbidden, but what is applied in the banking industry is wadi’ah used to
any project of business. From this point of view, this kind of application more relevant
to qard contract than wadi’ah. The purpose of Islamic law (maqasid al-shari’ah) is to
ensure the wealth (hifz al-mal) embodied in the product save deposit box. In save
deposit box, wealth entrusted in bank, stored in a special place, that are guarded by the
bank. At the level of primary (al-daruriyah), safeguarding the wealth is a basic need
for Muslim. So that, the sustainability of safeguarding of wealth should be championed.

Keywords: Wadi’ah, Islamic Banking, The Purpose of Islamic Law,


Safeguarding the wealth.

1. Pendahuluan
slam adalah agama yang sempurna, karena memiliki syariat

I ya n g s an ga t i s ti m e w a ya n g b e r si f at u n i ve r s al d an
komprehensif. Universal berarti agama yang sesuai untuk

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 163


Pendekatan Kritis Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah...

diterapkan setiap waktu dan tempat. Sedangkan komprehensif


berarti Islam mencakup seluruh aspek kehidupan baik ibadah
maupun muamalah. Sedangkan yang di maksud dalam bidang
muamalah sendiri mempunyai arti yang cukup luas, salah satunya
dalam bidang ekonomi dan perbankan.1
Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam
kegiatan perekonomian adalah perbankan. Peran strategis terutama
dengan adanya fungsi utama perbankan sebagai suatu lembaga
yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
secara efektif dan efesien (financial intermediary). Bank syariah pada
awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok
ekonom dan praktisi perbankan Muslim yang berupaya meng-
akomodasi usulan berbagai pihak yang menginginkan keberadaan
jasa transaksi keuangan yang sesuai dengan syariah Islam yang
melarang adanya praktik riba, kegiatan maysir (perjudian), gharar
(ketidakjelasan) serta keharusan penyaluran dana investasi pada
kegiatan usaha yang etis dan halal secara syariah.2
Lembaga perbankan syariah di Indonesia telah diatur dalam
undang-undang, yaitu Undang-Undang nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tahun tahun 1992
tentang perbankan. Hingga kini terdapat banyak institusi bank
syariah di Indonesia. Keberadaan lembaga keuangan dalam Islam
adalah vital karena kegiatan bisnis dan roda ekonomi tidak akan
berjalan tanpanya. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan
syariah ini tiada lain adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk
mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan
al-Qur’an dan al-Sunnah.3
Kendatipun perbankan syariah melalui program-program-
nya telah mensosialisasikan produk syariah ke masyarakat umum,
namun masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami
beberapa produk syariah, apabila dikaji tentang manfaatnya, semua
produk syariah tentunya mempunyai fungsi dan perannya masing-
masing dalam kehidupan ekonomi umat. Pada fase perkembangan

1
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), 5
2
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009), 3. Adiwarwan Azwar Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan
Keuangan (Jakarta: Rajawali Press, 2006), 203
3
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Genta Press,
2008), 11

164 | Vol. 1, No. 2, Agustus 2016


Mushlih Candrakusuma dan Mohammad Ghozali

saat ini, perbankan syariah tidak hanya memiliki peluang,


melainkan juga berbagai permasalahan. Nasabah dan masyarakat
secara umum masih melihat bank syariah sama dengan bank
konvensional karena margin yang harus dibayar oleh nasabah tak
kalah tinggi dengan bunga.4 Hal-hal diatas, merupakan titik lemah
perbankan syariah yang menjadi prioritas pikiran kita bersama.
Padahal kunci kesuksesan perbankan syariah sangat tergantung
dengan tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan financial
bank yang bersangkutan.
Untuk meraih kepercayaan tersebut haruslah diraih dengan
tingkat kualitas dan kuantitas informasi yang diberikan kepada
publik. Bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia
memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-
tujuan financial maupun tujuan syariat Islam. Berkaitan dengan
itu, produk-produk bank syariah pun tak terhindar dari
permasalahan. Di dalam prakteknya, terdapat temuan-temuan
yang bisa jadi akan mengurangi tingkat keparcayan publik, apabila
dibiarkan berlanjut tanpa ada tindakan dari bank syariah. Selain
itu, dalam perspektif syariah pun perlu kiranya untuk ditinjau ulang
implementasi akad-akad yang ada, sehingga tidak merugikan
kedua belah pihak baik pihak bank maupun nasabah.
Dalam implementasinya bank syariah menerapkan prinsip
yang disebut dengan wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad al-
damanah, apabila dianalisis dalam literatur fikih klasik akan sulit
diketemukan Terkait dengan kedua produk tersebut. Dalam
pelaksanaannya perbankan syariah lebih cenderung menerapkan
prinsip akad wadi’ah yad al-damanah. Dengan demikian, perlu
dilakukan kajian secara mendalam, yang secara khusus berusaha
menjawab dua hal; pertama, apakah praktek wadi’ah tersebut
sudah mengacu pada maksud-maksud diterapkannya syariah
(maqasid al-shari’ah) yaitu menjaga harta?. Kedua, apakah praktik
wadi’ah pada perbankan syariah sesuai dengan prinsip dan
ketentuan akad wadi’ah dalam fiqih Islam?.

2. Definisi Wadi’ah
Wadi’ah berasal dari akar kata wada’a, yang berarti
meninggalkan dan meletakkan atau titipan. Sesuatu yang dititipkan
4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 14

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 165


Pendekatan Kritis Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah...

oleh seseorang kepada orang lain untuk dijaga dinamakan wadi’ah.


Ulama Hanafiyah mendefinisikan wadi’ah sebagai upaya mengikut
sertakan orang lain dalam memelihara dengan ungkapan yang jelas
maupun isyarat. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan
Malikiyah yaitu mewakilkan orang lain untuk memelihara harta
tertentu dengan cara tertentu.5
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa wadi’ah
merupakan suatu akad antara dua orang (pihak) di mana pihak yang
pertama menyerahkan tugas dan wewenang untuk menjaga barang
yang dimilikinya kepada pihak lain tanpa imbalan. Barang yang
diserahkan merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik.6
Sementara itu menurut menurut UU No. 21 tentang Perbankan
Syariah yang dimaksud dengan akad wadi’ah adalah akad penitipan
barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang
dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.7 Wadi’ah
juga dapat dipahami sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak
yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.8
Landasan wadi’ah terdapat dalam al-Qur’an (QS. An-Nisa’[4]:
58),

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan


amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wadi’ah merupakan
amanah yang harus dijaga dan dipelihara, dan apabila diminta oleh
pemiliknya maka ia wajib mengembalikannya. Wadi’ah pada
prinsipnya adalah akad tabarru’, pihak yang menerima titipan atau
barang atau uang membantu pihak yang menitipkan.9
Akad wadi’ah dianggap sah apabila memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditentukan. Menurut mayoritas ulama rukun
wadi’ah ada empat, yaitu: benda yang dititipkan (al-‘ain al-

5
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), 456.
6
Ibid., 457.
7
http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Documents/UU_21_08_Syariah.pdf,
diakses Sabtu 16 April 2016, jam 16.30 WIB.
8
Hulwati, Ekonomi Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2006), 106.
9
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer
tentang Riba dan Bunga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 72.

166 | Vol. 1, No. 2, Agustus 2016


Mushlih Candrakusuma dan Mohammad Ghozali

muda’ah), orang yang menitipkan (al-muwaddi’), orang yang dititipi


(al-mustawda’) dan ijab qabul.10 Barang titipan menjadi kemuliaan
menjadi orang yang menerima barang titipan, karena hal tersebut
mengandung nilai ibadah dan pahala, disamping mempunyai nilai
sosial yang tinggi. Akan tetapi agar titipan tersebut tidak akan
menimbulkan masalah dikemudian hari, maka disyaratkan agar:11
1) Barang titipan tidak memberatkan dirinya maupun
keluarganya
2) Tidak memungut biaya pemeliharaan
3) Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan
kepada yang berhak.
Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami
kerusakan akibat kelalaian orang yang menerimanya, maka ia wajib
menggantikannya. Adapun yang termasuk dalam kriteria kelalaian
antara lain:12
1) Orang yang dipercaya menyerahakan titipan tersebut kepada
orang lain tanpa sepengetahuan yang memilikinya
2) Barang titipan dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak
atau hilang
3) Menyia-nyiakan barang titipan
4) Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak
diserahkan tanpa sebab yang jelas
5) Lalai dalam memelihara barang titipan
6) Ketika si penerima titipan sakit atau meninggal, namun tidak
berwasiat kepada ahli warisnya, sehingga mengakibatkan
barang rusak dan hilang
Dalam kajian fikih, hukum menerima wadi’ah atau barang
titipan ada lima, yaitu:13
1) Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia
sanggup menjaga titipan yang diserahkan kepadanya
2) Wajib, hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib
jika tidak ada orang jujur dan layak selain dirinya
3) Mubah, hukum menerima benda titipan boleh jika seseorang
mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan
berkhianat namun si pentitip yakin dan tetap mempercayai
bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah

10
Muslich, Fiqh Muamalat, 459
11
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah (Jakarta: Pustaka Alvabet, 1999), 48
12
Ibid.
13
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru, 1994), 330

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 167


Pendekatan Kritis Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah...

4) Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia


tidak percaya kepada dirinya sendiri. Dan boleh jadi, kemudian
hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang
yang dititipkan kepadanya
5) Haram, apabila si penerima titipan tidak sanggup menjaga
barang yang dititipkan sebagaiman mestinya, karena seolah-
olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya
barang yang dititipkan itu.

3. Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syari’ah


Implementasi akad wadi’ah pada bank syariah dapat dibagi
menjadi dua jenis, pertama, wadi’ah yad al-amanah. Kedua, wadi’ah
yad al-damanah. Pada awalnya, akad wadi’ah muncul dalam bentuk
yad al-amanah dan kemudian berkembang menjadi yad al-
damanah. Akad wadi’ah yad al-dhamanah ini pada akhirnya banyak
dipergunakan dalam produk-produk perbankan.14

3.1. Wadi’ah yad al-Amanah


Akad ini merupakan bagian dari akad wadi’ah dimana pihak
penyimpan sebagai penerima kepercayaan tidak diharuskan
bertanggung jawab jika dalam penitipan terjadi kehilangan ataupun
kerusakan pada barang, sepanjang bukan akibat dari kelalaian atau
kecerobohan dalam memelihara barang titipan. Biaya penitipan
boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas
tanggung jawab pemeliharaan.
Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh menggun-
akan atau memanfaatkan barang yang dititipkan, melainkan hanya
menjaganya. Barang titipan tidak boleh dicampuradukkan dengan
barang lain.15 Aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk
menerapkan jenis akad ini adalah save deposit box, yang mana
nasabah sebagai penitip (al-muwaddi’) serta bank selaku
penyimpan (al-mustawda’). Pihak bank berdasar akad ijarah, dapat
membebankan biaya sewa atas tempat penyimpanan yang
digunakan untuk menyimpan barang titipan.16

14
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 42
15
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, 43
16
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani, 2007), 148

168 | Vol. 1, No. 2, Agustus 2016


Mushlih Candrakusuma dan Mohammad Ghozali

3.2. Wadi’ah yad al-Dhamanah


Merupakan jenis akad wadi’ah dimana pihak penyimpan
bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang
terjadi pada barang. Pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari
pihak penitip untuk menggunakan barang atau aset yang dititipkan
tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan
pihak penyimpan akan mengembalikan barang yang dititipkan
secara utuh pada saat penyimpan mengambilnya. Dengan demikian,
penyimpan boleh mencampur barang atau aset penitip dengan aset
yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan produktif.
Penyimpan juga diperbolehkan untuk memberikan bonus kepada
pemilik aset tanpa akad perjanjian yang mengikat sebelumnya.17
Aplikasi perbankan yang sesuai dengan jenis akad ini adalah
tabungan dan giro. Dalam hal ini tabungan wadi’ah (savings account)
dan giro wadi’ah (current account) merupakan sumber modal dalam
perbakan syariah. Bank syariah menerima titipan amanah dalam
menyimpan dan menyalurkan dana umat agar dapat bermanfaat
secara optimal. Pemberian bonus dilakukan sebagai upaya
merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus
sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang
dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah
tidak ditetapkan dalam nominal atau prosentase.18
Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/
DSN MUI/IV/2000, dinyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara
syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip mudharabah dan
wadi’ah.19 Demikian juga tabungan dengan produk wadi’ah, dapat
dibenarkan berdasarkan fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000,
menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan
yang berdasarkan prinsip mudarabah dan wadi’ah .20
Tabungan dan giro wadi’ah hendaklah memenuhi beberapa
ketentuan umum, di antaranya tabungan merupakan tabungan

17
Ascarya, Akad & Produk, 44.
18
Karnaen dan Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf, 1992), 104
19
http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News, cntnt01, detail, 0&cntnt01
articleid=2&cntnt01origid= 59&cntnt01detailtemplate=Fatwa& cntnt01 returnid=61, diakses
Sabtu 16 April 2016, jam 17.00 WIB.
20
http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News, cntnt01, detail, 0&cntnt01
articleid=3&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01 returnid=61, diakses
Sabtu 16 April 2016, jam 17.00 WIB.

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 169


Pendekatan Kritis Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah...

yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan


setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan
barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah
selaku penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung
kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad
pembukaan rekening.21

4. Maqashid Syariah terhadap Keterjagaan Harta


Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia
serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari
luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di
akhirat. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala
hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang
merusak dalam rangka menuju keridhoan Allah (maqshid syariah).
Menurut al-Shatibi, kemaslahatan itu dapat terwujud
dengan terjaganya lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu
adalah memelihara agama (hifz al-din), memelihara jiwa (hifz al-
nafs), memelihara akal (hifz al-‘aql), memelihara keturunan (hifz
al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal).22 Dalam usaha me-
wujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Shatibi
mengemukakan tiga peringkat maqasid al-shari’ah (tujuan syariat),
yaitu; pertama, tujuan primer (maqasid al-daruriyah), kedua adalah
tujuan sekunder (maqasid al-hajjiyah), dan ketiga tujuan tersier
(maqasid al-tahsiniyah). Atas dasar ini hukum Islam dikembang-
kan, khususnya masalah muamalah baik ekonomi, hukum pidana,
perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya.23
Terkait dinamika praktik perbankan syariah, penting untuk
dilakukan kajian dari aspek kesesuaian akad-akad yang diterapkan
dengan tujuan syariat Islam. Tidak terkecuali dengan keterjagaan
barang titipan di perbankan syariah. Sebagaimana yang telah
diljelaskan, aplikasi perbankan dari akad wadi’ah meliputi: save
deposit box, tabungan wadi’ah dan giro wadi’ah.

21
Karim, Bank Islam, 297-298
22
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 17
23
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep Al-Istiqra’
Al-Ma’nawi Asy-Syatibi (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2008), 98

170 | Vol. 1, No. 2, Agustus 2016


Mushlih Candrakusuma dan Mohammad Ghozali

Dalam save deposit box, uang atau harta yang dititipkan ke


bank disimpan dalam suatu tempat penyimpanan khusus yang
dijaga oleh pihak bank. Pihak bank dapat menarik biaya sewa dari
nasabah atas box yang digunakan untuk menyimpan uang atau
harta dari nasabah. Kotak penyimpanan umumnya ditempatkan
pada ruangan yang dirancang secara khusus dari bahan baja, tahan
bongkar dan tahan api untuk keamanan harta yang disimpan.
Keamanan harta menjadi hal yang tidak ternilai harganya dalam
kondisi ketidakpastian. Dengan demikian penerapan akad wadi’ah
dan upaya bank untuk menjaga barang titipan dalam bentuk save
deposit box, sudah merupakan bagian dari pemeliharaan harta (hifz
al-mal) untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Pada level primer
(al-daruriyah) dari tujuan-tujuan syariat, dapat dipahami bersama
bahwa memelihara harta, baik dalam bentuk uang, barang berharga
seperti logam mulia, perhiasan, sertifikat dan lainnya merupakan
sesuatu yang pokok, sehingga harus diperjuangkan keberlangsung-
an pemeliharaan untuk keterjagaan harta-harta tersebut.
Sedangkan pada level sekunder (al-hajjiyah), diperlukan sarana
dan prasarana yang dapat digunakan untuk menjaga keber-
langsungan pemeliharaannya, dan save deposit box merupakan salah
satu sarana dari bank yang memfasilitasi untuk menjaga
pemeliharaan terhadap harta (hifz al-mal).
Selanjutnya dalam tabungan dan giro, akad yang digunakan
adalah wadi’ah yad al-dhamanah, sehingga dalam praktiknya harta
yang dititipkan dimanfaatkan oleh pihak bank untuk melakukan
aktivitas ekonomi produktif. Meski demikian tabungan dan giro
wadi’ah dapat dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan
kehendak pemilik harta. Sehingga keterjagaan harta pada tabungan
dan giro bukan terletak pada pemeliharaan secara fisik, akan tetapi
keterjagaan atas jaminan nilai harta yang dititipkan pada bank
syariah. Bank selaku pihak yang dititipi bertanggung jawab secara
penuh atas resiko yang terjadi.

5. Analisa Fiqh Muamalah terhadap Penerapan Akad


Wadi’ah
Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-
amanah yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan
yad al-damanah. Dalam akad wadi’ah yad al-amanah pihak bank
syariah tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang yang
dititipkan. Sedangkan dalam akad wadi’ah yad al-dhamanah pihak

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 171


Pendekatan Kritis Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah...

bank syariah telah mendapatkan izin dari nasabah untuk meng-


gunakan harta yang dititipkan untuk aktivitas perekonomian
tertentu, dengan catatan bahwa pihak bank akan mengembalikan
barang yang dititipkan secara utuh pada saat nasabah meng-
hendaki.
Terkait dengan kedua jenis akad wadi’ah tersebut, dalam
pelaksanaannya perbankkan syariah lebih menerapkan akad
wadi’ah yad al-dhamanah daripada akad wadi’ah yad al-amanah.
Sehingga lebih banyak harta wadi’ah (titipan) yang digunakan
untuk tujuan produktif daripada harta yang benar-benar ter-
simpan, padahal uang tersebut sewaktu-waktu (on call) bisa ditarik
oleh nasabah. Sehingga sangat mungkin terjadi problem disaat
terdapat sejumlah nasabah yang menarik uang titipan dalam jumlah
besar secara bersama-sama, sedangkan uang titipan tersebut dalam
waktu bersamaan banyak yang diinvestasikan.
Dalam praktiknya, penerapan wadi’ah yad al-dhamanah
juga terkesan pihak bank ingin mencari untung tanpa adanya
tanggungan untuk memberikan bagi hasil. Karena di dalam
praktiknya baik produk giro wadi’ah ataupun tabungan wadi’ah,
pihak bank meminta pihak nasabah memberikan kewenangan
kepada pihak bank untuk mengelola asetnya, dan bank memiliki
hak penuh atas hasil yang diperoleh dari pemanfaatan titipan
nasabah. Dengan kata lain, bank tidak dikenai tanggungjawab
(kewajiban) membagi hasilnya.
Secara komprehensif, pembagian akad wadi’ah menjadi
wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad al-dhamanah tidak
ditemukan dalam literatur fikih klasik. Bahkan, apabila dibedah
secara prinsip, akad tersebut khususnya wadi’ah yad al-dhamanah
cenderung memaksakan diri mempergunakan dana titipan untuk
bisa digunakan pada kegiatan produktif yang diinginkan pihak
bank. Padahal jika dikembalikan kepada definisinya, wadi’ah
merupakan suatu akad titipan murni antara dua pihak, di mana
pihak yang pertama menyerahkan tugas, wewenang dan
kepercayaan kepada pihak lain untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang yang dititipkan. Jadi,
dana yang ditipkan sejatinya untuk dijaga, bukan untuk
dimanfaatkan ataupun diinvestasikan. Secara prinsip dalam akad
wadi’ah, pemanfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun
hukumnya terlarang. Apabila terdapat unsur penggunaan oleh
pihak yang dititipi (bank), maka akad yang diterapkan menjadi

172 | Vol. 1, No. 2, Agustus 2016


Mushlih Candrakusuma dan Mohammad Ghozali

berubah. Di dalam istilah fikih, yang demikian dikatakan sebagai


akad qard (hutang-piutang).
Dengan demikian akan bisa menjadi alternatif pengembang-
an produk baru dalam perbankan syariah yang dapat disitilahkan
dengan tabungan qard dan giro qard, sebagai solusi atas ketidak-
jelasan penerapan akad wadi’ah yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip wadi’ah itu sendiri.

6. Kesimpulan
Wadi’ah secara etimologi berasal dari akar kata wada’a, yang
artinya meninggalkan atau meletakkan atau titipan. Sedangkan
menurut istilah wadi’ah adalah suatu akad antara dua orang (pihak)
di mana pihak yang pertama menyerahkan tugas dan wewenang
untuk menjaga barang yang dimilikinya kepada pihak lain tanpa
imbalan. Wadi’ah juga dapat dipahami sebagai titipan murni dari
satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip meng-
hendakinya. Sementara itu menurut menurut UU No. 21 tentang
Perbankan Syariah yang dimaksud dengan akad wadi’ah adalah
akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai
barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang
atau uang.
Berdasarkan fatwa DSN No: 01/DSN MUI/IV/2000, me-
netapkan bahwa giro yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro
yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Demikian juga
tabungan dengan produk wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan
fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa
tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan
prinsip mudharabah dan wadi’ah. Penerapan akad wadi’ah dan
upaya bank untuk menjaga barang titipan dalam bentuk save
deposit box, sudah merupakan bagian dari pemeliharaan harta (hifz
al-mal) untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Pada level primer
(al-daruriyah), dapat dipahami bahwa memelihara harta merupa-
kan sesuatu yang pokok, sehingga harus diperjuangkan keber-
langsungan pemeliharaan untuk keterjagaan harta-harta tersebut.
Sedangkan pada level sekunder (al-hajjiyah), save deposit box
merupakan salah satu sarana dari bank yang memfasilitasi untuk
menjaga pemeliharaan terhadap harta (hifz al-mal).

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 173


Pendekatan Kritis Implementasi Akad Wadi’ah pada Perbankan Syariah...

Dalam pelaksanaannya perbankkan syariah lebih menerap-


kan akad wadi’ah yad al-dhamanah daripada akad wadi’ah yad al-
amanah. Akad tersebut cenderung memaksakan diri memperguna-
kan dana titipan untuk bisa digunakan pada kegiatan produktif
yang diinginkan pihak bank. Secara prinsip, dalam wadi’ah pe-
manfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang,
karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi
(bank) unuk dimanfaatkan maka akadnya pun berubah menjadi
qard (hutang-piutang). Akad wadi’ah yang ada di perbankan
syariah bukanlah akad wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab
fikih. Wadi’ah yang diterapkan di perbankan syariah saat ini, lebih
relevan dengan akad qard (hutang-piutang). Apa yang diterapkan
oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad qard yang kemudian
disebut dengan akad wadi’ah, yang tepatnya mengacu pada wadi’ah
yad al-dhamanah.

Daftar Pustaka
Aibak, Kutbuddin. 2008.Metodologi Pembaharuan Hukum Islam.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Antonio, Muhammad Syafii. 2007. Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktik. Jakarta. Gema Insani.
Antonio, Syafii dan Karnaen. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam.
Yogyakarta. Dana Bakti Wakaf.
Arifin, Zainul. 1999. Memahami Bank Syariah. Jakarta. Pustaka
Alvabet.
Ascarya. 2013. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta. Rajawali Pers.
Dewi, Gemala. 2007. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta. Kencana.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Mu’amalah. Gaya Media Pratama.
Jakarta.
Hirsanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia.
Yogyakarta. Genta Press.
Hulwati. 2006. Ekonomi Islam. Jakarta. Ciputat Press.
Ibrahim, Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar
Konsep Al-Istiqra’ Al-Ma’nawi Asy-Syatibi. Jogjakarta. Ar-
Ruzzmedia.
Karim, Adiwarman Azwar. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta. Rajawali Press.
. 2006. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta.
Rajawali Press.

174 | Vol. 1, No. 2, Agustus 2016


Mushlih Candrakusuma dan Mohammad Ghozali

Muslich, Ahmad Wardi. 2013. Fiqh Muamalat. Jakarta. Amzah.


Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung. Sinar Baru.
Rivai, Veithzal. dkk. 2007. Bank and Financial Institution
Management Conventional & Sharia Syistem. Jakarta. Raja
Grafindo Persada.
Saeed, Abdullah. 2003. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan
Interprestasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa
Segi Hukum. Bogor. Ghalia Indonesia.

FALAH: Jurnal Ekonomi Syariah | 175


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 119

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah


(p)ISSN: 2502-3918; (e)ISSN: 2502-7825
Vol 4, No 2 (Agustus 2019), pp.119-132
DOI: https://doi.org/10.22219/jes.v4i2.9870

Pengaruh Islamic Social Reporting terhadap


Profitabilitas (Return on Asset dan Return on
Equity) Pada Bank Umum Syariah di Indonesia

Ana Santika

Program Studi Ekonomi Syariah,


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Email: anasantika50@gmail.com

ABSTRACT

The act of accuracy and prudence is very important in the


company, because are the factor that determines the sustainability of
companies such as banking. This study aims to analyze the effect of
Shariah Complaints towards the profitability of Islamic Banks in
Indonesia. This research is quantitative using documentation method
and library study in data collection. The sampling technique uses
purposive sampling with the criteria of Islamic commercial banks that
publish annual-reports in 2013 to 2017 from 13 Islamic commercial
banks (BUS) in Indonesia. The results of this study shows that the
Funding and Investment, Products and Services, Employees,
Community or Social, Environmental, Corporate Governance
simultaneously does not have influence significantly the ROE variable,
but it does significantly influence to ROA. Means that the wider the
Islamic social reporting of an Islamic banking, the greater profitability
of the Islamic banking. In addition, high profitability will encourage
managers to provide more detailed information, because they want to
convince investors of company profits and its compensation for
management.

Keywords: Islamic Social Reporting, Equity, Profitability, Corporate


Governance.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
120 | Ana Santika

ABSTRAK

Perilaku kehati-hatian sangat penting dalam perusahaan, karena


merupakan faktor yang menentukan keberlanjutan perusahaan seperti
perbankan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
Pengaduan Syariah terhadap profitabilitas Bank Syariah di Indonesia.
Penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan metode
dokumentasi dan studi pustaka dalam pengumpulan data. Teknik
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan
kriteria bank umum syariah yang menerbitkan laporan tahunan pada
2013 hingga 2017 dari 13 bank umum syariah (BUS) di Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendanaan dan Investasi,
Produk dan Layanan, Karyawan, Komunitas atau Sosial, Lingkungan,
Tata Kelola Perusahaan secara bersamaan tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap variabel ROE, tetapi itu berpengaruh signifikan
terhadap ROA. Semakin luas Islamic social reporting suatu perbankan
syariah, maka menunjukkan semakin besar profitabilitas pada
perbankan syariah tersebut. Selain itu, profitabilitas yang tinggi akan
mendorong manajer untuk memberikan informasi yang lebih rinci,
karena mereka ingin meyakinkan investor tentang keuntungan
perusahaan beserta kompensasinya untuk manajemen.

Kata Kunci: Pelaporan Sosial Islam, Ekuitas, Profitabilitas, Tata


Kelola Perusahaan.

1. Pendahuluan
Dibalik perkembangnya perbankan syariah di Indonesia yang cukup pesat
tersebut, ternyata masih terjadi perdebatan dikalangan masyarakat tentang
kesyariahaan dari bank syariah. Selama ini masyarakat menilai bahwa bank
syariah masih sama dengan dengan konvensional. Mu’alim dalam noven
mengungkapkan bahwa beberapa ilmuan muslim ada yang mengencam bank
syariah, mereka berpendapat bahwa bank-bank Islam dalam penyelenggarakan
transaksi-transaksinya justru bertentangan dengan konsepnya, dengan kata lain
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal tersebut disebabkan karena
adanya ketidak sesuaian antara konsep dan praktik yang terjadi di bank syariah
(Asmaul, 2015).
Isu lingkungan di Indonesia sedang hangat dibicarakan masyarakat pada
akhir dekade ini, khususnya dampak yang disebabkan oleh kegiatan dari
perusahaan. (Umiyati, 2018). Anggapan terhadap akuntansi Islam saat ini tentu
masih banyak yang dipertanyakan orang, Hal ini sebenarnya merupakan hal yang
wajar bila dikaitkan dengan batasan atau definisi yang dipakai serta pengetahuan
ilmiah dari masing-masing pencetusnya. Namun lambat laun semua yang

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 121

didahulunya masih dalam taraf konsep akhirnya muncul juga sebagai fenomena
empiris seperti munculnya sebuah konsep akuntabilitas bebasis syariah, yaitu
Islamic Social Reporting (ISR). ISR merupakan slah satu cara pengungkapan
terhadap kondisi sebuah entitas perusahaan secara penuh dalam konteks Islam
(Othman, 2009).
Transaksi syariah didasarkan pada paradigma bahwa Allah SWT
menciptakan alam semesta sebagai amanah dan sarana kehidupan bagi seluruh
umat manusia dalam mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritualc
(al-falah) (kerangka Dasar Penyususnan dan Penyajian ± Laporan Keuangan
Syariah). Paradigma dasar ini menekankan setiap aktivitas umat manusia memiliki
akuntabilitas dan nilai illahiah yang menepatkan perangkat Syariah dan akhlak
sebagai parameter baik dan buruk, benar dan salahnya aktivitas usaha. Paradigma
ini akan membentuk integritas yang membantu terbentuknya karakter tata kelola
yang baik (good corporate) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik
(PSAK Syariah, 2017).
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dilihat dari segi indikator
perkembangan aset bahwa aset perbankan syariah menunjukkan kecenderungan
yang terus meningkat, dari Rp 7,9 triliun pada akhir Desember tahun 2003
meningkat menjadi Rp 14,2 triliun pada November tahun 2004 atau meningkat
sebesar 339%. Asset perbankan nasional hanya mengalami peningkatan sebesar
13,4% dari 1062 triliun menjadi Rp. 1204 triliun pada periode yang sama.
Perkembangan aset yang besar ini juga tidak lepas dari peningkatan jumlah kantor
cabang bank syariah yang pesat pula seperti yang telah diuraikan di atas.
Kontribusi aset perbankan syariah terhadap perbankan nasional masih sangat
kecil. Namun, kontribusinya dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan
yang semakin meningkat. Sampai dengan posisi Oktober 2004 kontribusi
perbankan syariah terhadap perbankan nasional telah mencapai 1.11% (Sartika,
2016).
Promosi yang terlalu cepat menjadi proses pematangan karyawan yang tidak
sebanding dengan pengalaman, kemampuan, keterampilan. Sebagai imbalannya,
para pemilik bank menuntut prestasi kerja yang tinggi untuk memberikan
keuntungan atas biaya besar yang telah dikeluarkannya. Hal ini menimbulkan
tekanan kerja yang tinggi bagi karyawan perbankan sehingga sikap agresif dan
terburu-buru yang cenderung mengabaikan aspek ketelitian dan kehati-hatian
(Ikhsan, 2016).
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah
dan UUS dapat menajalankan fungsi sosial, yaitu menerima dana yang berasal
dari zakat, infak, sedekah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi peranan perbankan syariah
dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi umat. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai Islamic social reporting diantaranya Rosiana et.al (2015),
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
122 | Ana Santika

signifikan terhadap pengungkapan pelaporan sosial Islam. Penelitian selanjutnya


dilakukan oleh Ikhsan (2016), hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
proporsional hanya tiga variabel yang mempunyai pengaruh positif signifikan
yaitu variabel tenaga kerja, sosial dan lingkungan. Terdapat dua variabel yang
tidak mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan bila
dihitung secara parsial, yaitu variabel produk dan jasa serta tata kelola organisasi.
Penelitian dari Sugianto (2017) dan Nurlaila, mengungkapkan bahwa saat
ini, bank syariah di Indonesia masih miskin dalam praktik pelaporan sosial.
Dengan merujuk dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu seberapa besar pengaruh Islamic Social Reporting secara
persial dan simultan terhadap profitabilitas perbankan syariah pada Bank Umum
Syariah di Indonesia.

2. Tinjauan Pustaka
2.1. Legitimacy Theory
Teori legitimasi sebagai suatu kondisi yang ada ketika suatu sistem nilai
perusahaan yang sejalan dengan sistem nilai yang berlaku. Perusahaan
menjalankan kegiatan sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Menurut
Suchman, menyebutkan (In’airat, 2015), “Legitimacy is a generalized
perceptioner assumption that the actions o an entity are desirable, proper, or
appropriate within some socially constructed system o norms, values, belies,
anddeinitions”.
Berdasarkan pengertian teori legitimasi di atas terdapat beberapa pengertian
menurut para ilmuan lainnya, yaitu seperti Menurut Deegan, teori legitimacy
mengungkapkan bahwa perusahaan secara continue berusaha untuk bertindak
sesuai dengan batas-batas dan norma-norma dalam masyarakat. Atas usahanya
tersebut perusahaan berusaha agar aktivitasnya diterima menurut persepsi pihak
kesternal (Deegan, 2000). Menurut Rokhlinasari, Teori legitimasi menepatkan
persepsi dan pengakuan publik sebagai dorongan utama dalam melakukan
pengungkapan suatu informasi di dalam laoran keuangan (Rokhlinasari, 2015).
Berdasarkan pengertian diatas mengenai teori legitimasi menurut para ilmuan,
maka terdapat beberapa kesimpulan bahwasanya teori legitimasi merupakan suatu
kegiatan komunikasi atau berdialog dengan publik terkait dengan nilai sosial
kemasyarakatan harus sesuai dengan persepsi sistem norma, nilai kepercayaan dan
juga harus ada keselarasan dari nilai-nilai sosial untuk mendorong adanya
pengungkapan suatu informasi didalam laporan keuangan.

2.2. Stakeholder Theory


Konsep tentang tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal dengan
stakeholder theory. Istilah stakeholder di perkenalkan pertama kali oleh Standord
Research Institute (SRI) di tahun 1963 (Freeman, R. E. 1984). Menurut Freeman
didefinisikan sebagai setiap kelompok atau individu dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh operasi dan kegiatan perusahaan (Freeman, R. E. 2010).
Pengertian stakeholder dapat dijelaskan berdasarkan pengklasifikasiannya.
Menurut Gray et all, Istilah stakeholder dar definisi menyatakan bahwa
stakeholder adalah “pihak-pihak yang berkepentingan pada perusahaan yang

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 123

dapat mempengaruh atau dapat dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan, para


stakeholder antara lain masyarakat, karyawan, pemerintah, supplier, pasar modal
dan lain-lain.” Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi
oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
Stakeholder theory berpandangan bahwa perusahaan harus melakukan
pengungkapan sosial sebagai salah satu tanggung jawab kepada para stakeholder
(Gray, Kouhy & Lavers, 1995).
Selain itu menurut Eden dan Ackerman, menyatakan bahwa stakeholder yaitu
orang atau kelompok yang memiliki kekuatan untuk secara langsung
mempengaruhi masa depan organisasi, dengan tidak adanya kekuatan itu mereka
tidak dianggap sebagai stakeholder (Eden & Ackermann, 1998). Menurut R.
Edward, stakeholder adalah individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh tujuan organisasi (Edward, 1984). Stakeholder juga dapat
didefinisikan sebagai individu dan konstituen yang memberikan kontribusi baik
secara sukarela maupun terpaksa dalam menciptakan kapasitas dan aktivitas yang
mengarah pada kemakmuran dan mereka mendapatkan keuntungan dan atau
resiko karena aktivitas organisasi (Post, Preston & Sach). Kepentingan seluruh
stakeholder memiliki nilai intrinsik dan kepentingan-kepentingan tersebut tidak
diarahkan untuk melakukan dominasi satu sama lain. Dengan demikian pengelola
organisasi terutama organisasi bisnis harus menjamin bahwa hak-hak etis seluruh
stakeholder diberikan perhatian secara seimbang sehingga tujuannya dalam
memaksimalkan kemakmuran jangka panjang tercapai (Amaroh, 2016).
Dari beberapa penjelasan para ilmuan di atas mengenai stakeholder, maka
dapat disimpulkan bahwa stakeholder merupakan sebuah kegiatan perusahaan
seorang individu atau kelompok dalam organisasi tidak hanya untuk kepentingan
perusahaan semata tetapi harus memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar
perusahaan.

2.3. Profitabilitas
Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam
mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah
ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diharapkan.
Standar perilaku dapat berupa kebajikan manajemen atau rencana formal yang
dituangkan dalam anggaran (Febryani & Zulfadin, 2003).
Profitabilitas adalah rasio yang paling kompehensif dari keseluruhan rasio yang
ada dan rasio ini menggambarkan kemampuan bank untuk bertahan dan stabil
dalam melanjutkan opeasionalnya di kemudian hari (Ferly et al, 2014). Sedangkan
menurut Syafri, bahwa rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan
kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan
sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah
cabang dan sebagainya (Syafri, 2008). Menurut Jorenza, profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Jorenza, 2015). Berbeda dengan
Janggu yang berpendapat bahwa perusahaan dengan profitabilitas yang lebih
tinggi kemungkinan akan mengungkapkan informasi yang lebih dibandingkan
perusahaan dengan profitabilitas yang kurang (Janggu, 2004).
Profit dapat dihitung dangan menggunakan beberapa rasio, diantaranya Return
On Equity dan Return On Asset. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
124 | Ana Santika

efektifitas manajemen suatu perusahaan. Indikator pengukuran profitabilitas


dalam penelitian ini menggunakan ROE dan ROA. Return on Equity (ROE)
adalah rasio yang digunakan untuk mengkaji sejauh mana suatu perusahaan
mempergunakan sumber daya yang dimiliki untuk mempu memberikan laba
ekuitas (Fahmi, 2012). Return On Asset adalah rasio yang menggambarkan
kemampuan bank dalam mengelola dana yang diinvestasikan dalam keseluruhan
aset yang menghasilkan keuntungan (Suwiknyo, 2016). Rasio profitabilitasini
sekaligus menggambarkan efisiensi kinerja bank yang bersangkutan dikarenakan
rasio ini mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset
produktif yang dananya sebagian besar berasal dari pihak ketiga (DPK). Jika
semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan
yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi
penggunaan aset. Oleh Bank Indonesia, ROA diisyaratkan minimal 0,5%.

2.4. Islamic Social Reporting (ISR)


ISR pertama kali dibahas oleh Ross Haniffa pada tahun 2002 dalam
tulisannya yang berjudul “Social Reporting Disclosure: An Islamic Perspective”.
ISR lebih lanjut dikembangkan secara lebih ekstensif oleh Rohana Othman, Azlan
Md Thani, dan Erlane K Ghani pada tahun 2009 di malaysia dan saat ini ISR
masih terus di kembangkan oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Menurut Haniffa,
terdapat banyak keterbatasan dalam pelaporan sosial konvensional, sehingga ia
mengemukakan kerangka konseptual ISR yang berdasarkan ketentuan syariah.
ISR tidak hanya membantu pengambilan keputusan bagi pihak muslim melainkan
juga untuk membantu perusahaan dalam melakukan pemenuhan kewajiban
terhadap Allah dan masyarakat (Haniffa, & Hudaib, 2002).
Menurut Haniffa dalam Rohana, Islamic Social Reporting adalah
perpanjangan pelaporan sosial yang meliputi tidak hanya harapan dewan pengurus
atas pandangan masyarakat terhadap peran perusahaan dalam ekonomi, tetapi juga
memenuhi perspektif spiritual untuk pengguna laporan yang muslim (Rohana et
al, 2009). Menurut Rohana et all, Islamic social reporting merupakan salah satu
cara pengungkapan terhadap kondisi sebuah entitas perusahaan secara penuh
dalam konteks Islami (Rohana et al, 2009).
Islamic Social Reporting merupakan standar pelaporan kinerja sosial
perusahaan berbasis syariah.Islamic Social Reporting merupakan kerangka khusus
untuk pelaporan pertanggungjawaban sosial yang sesuai dengan prinsip Islam.
Tujuan dari Islamic Social Reporting sendiri adalah sebagai bentuk akuntabilitas
perusahaan kepada Allah SWT dan masyarakat dan juga meningkatkan
transparansi kegiatan bisnis dengan menyajikan informasi yang relevan dengan
memperhatikan kebutuhan spiritual investor muslim atau kepatuhan syariah dalam
pengambilan keputusan (Sutapa & Laksito, 2018).

2.5. Substansi Muatan Islamic Social Reporting


Komponen pengungkapan ISR adalah item-item pengungkapan yang
digunakan sebagai indikator dalam pelaporan kinerja sosial institusi bisnis
syariah. Haniffa membuat lima tema pengungkapan indeks ISR, yaitu tema
pendaan dan investasi, tema produk dan jasa, tema karyawan, tema masyarakat,
dan tema lingkungan hidup. Kemudian dikembangkan oleh Othman et al., dengan

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 125

menambahkan satu tema pengungkapan yaitu tema tata kelola perusahaan


(Rohana et al, 2009).

3. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh Bank Umum Syariah yang ada di Indonesia. Data
statistik per Desember menunjukkan bahwa Bank Umum Syariah di Indonesia
berjumlah 13 BUS. Sampel yang diperleh berjumlah 9 bank umum syariah.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling dengan
kriteria bank umum syariah yang mempublikasikan annual-report pada tahun
2013 sampai dengan 2017. Unit analisis dalam penelitian ini berjumlah 45 laporan
tahunan Bank Umum Syariah. Metode pengumpulan data yang dilakukan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dan metode
studi pustaka.
Variabel dependen pada penelitian ini profitabilitas yang mana diukur
menggunakan Return On Asset dan Return On Equity, Profit dapat dihitung
dangan menggunakan beberapa rasio, diantaranya Return On Equity dan Return
On Asset. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu
perusahaan. Indikator pengukuran profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan
ROE dan ROA. Variabel Independen yang dieksplorasi dalam analisis adalah
Pendanaan dan Investasi, Produk dan Jasa, Karyawan, Masyarakat/Sosial,
Lingkungan Hidup, dan Tatakelola Perusahaan. Untuk menunjang analisis isi
tersebut adalah Melakukan scoring. Scoring dilakukan untuk mencari poin
pengungkapan yang dinilai dengan 1 jika diungkapkan dan 0 jika tidak
diungkapkan dari item pengungkapan yang telah dijabarkan dalam tabel indikator
penelitian. Kemudian dari hasil uji checklist tersebut dilakukan perhitungan
indeks. Indeks pengungkapan Islamic Social Reporting dihitung berdasarkan
Berikut rumus untuk menghitung pengungkapan ISR, setelah pemberian nilai
dilakukan

4. Analisis dan Pembahasan


Berdasarkan table 1, diperoleh nilai signifikan sebesar 0,004 < 0,05, sehingga
HO diterima atau HA ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi fit
sehingga secara semultan islamic social reporting bersama-sama berpengaruh
terhadap profitabilitas (ROA) bank umum syariah di indonesia. Karena secara
keseluruhan pengungkapan islamic social reporting ini menunjukkan adanya
pengungkapan terhadap kinerja keuangan pada suatu perusahaan.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
126 | Ana Santika

Tabel 1.1
Hasil Pengujian Simultan (Uji f)
ANOVAa
Sum of Mean
Model Df F Sig.
Squares Square
1 Regression 164.250 5 32.850 4.237 .004b
Residual 302.367 39 7.753
Total 466.617 44
Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan tabel 1.2 dapat diketahui bahwa variabel independen yaitu Islamic
Social Reporting berpengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas (ROA).

Tabel 1.2
Hasil Uji Parsial (Uji t)
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std.
B Beta
Error
1 (Constant) 4.41
9.726 2.204 .000
4
PENDANAANDAN 1.93
46.757 24.190 .275 .061
INVESTASI 3
PRODUKDANJAS - -
30.155 -.566 .001
A 110.580 3.667
KARYAWAN -
-6.288 8.415 -.115 .459
.747
MASYARAKAT 9.852 11.998 .126 .821 .417
TATAKELOLAPER -
-2.034 14.834 -.023 .892
USAHAAN .137
Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa Pendanaan dan investasi


mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,061 lebih besar dari taraf 0,05 (0,048>
0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pendanaan dan investasi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROA), maka H0 ditolak.
Produk dan jasa mempunyai nilai signifikansi sebesar 0, 001 lebih kecil dari taraf
0,05 (0,001< 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Produk dan jasa
berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROA), maka H1 ditolak H0
diterima. Karyawan mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,459 lebih besar dari
taraf 0,05 (0,459> 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karyawan
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROA), maka H0
ditolak. Masyarakat/ sosial mempunyai nilai signifikansi sebesar 0, 417 lebih
besar dari taraf 0,05 (0,417> 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Maysarakat/sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 127

(ROA), maka H0 ditolak. Tatakelola Perusahaan mempunyai nilai signifikansi


sebesar 0,892lebih besar dari taraf 0,05 (0,892> 0,05). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa Tatakelola Perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap profitabilitas (ROA), maka H0 ditolak.

Tabel 1.3
Hasil Koefisien Determinasi (R²)
Model Summaryb

R Adjusted R Std. Error of Durbin-


Model R
Square Square the Estimate Watson

1 .593a .352 .269 2.78442 1.755


Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan tabel 1.3 diperoleh R-Square sebesar 0,352 yang berarti sebesar
35,2% nilai profitabilitas (ROA) dapat dijelaskan oleh komposisi variabel
independen yaitu Islamic Social Reporting. Sedangkan 64,8% dijelaskan oleh
variabel diluar model penelitian.

Tabel 1.4
Hasil Uji Simultan (Uji f)
ANOVAa
Sum of Mean
Model df F Sig.
Squares Square
Regression 388.029 5 77.606 .944 .464b
1 Residual 3207.773 39 82.251
Total 3595.802 44
Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan tabel 1.4 di atas, diperoleh nilai signifikan sebesar 0,464 > 0,05,
sehingga HO ditolak atau HA diterima, maka dapat disimpulkan bahwa model
regresi fit sehingga secara semultan islamic social reporting secara bersama-sama
tidak berpengaruh terhadap profitabilitas (ROE) bank umum syariah di indonesia.
Karena pengungkapan Islamic Social Reporting pada suatu perusahaan perbankan
syariah belum mengungkapkan secara keseluruhan terhadap kepatuhan tanggung
jawab sosial terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan syariah.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
128 | Ana Santika

Tabel 1.5
Hasil Uji Persial (Uji t)
Coefficientsa
Standard
Unstandardized ized
Model Coefficients Coefficie t Sig.
nts
B Std. Error Beta
1 (Constant) 14.280 7.178 1.990 .054
Pendanaandaninvestasi 130.214 78.790 .276 1.653 .106
Produkdanjasa -64.633 98.220 -.119 -.658 .514
Karyawan -
-36.772 27.409 -.242 .187
1.342
Masyarakat -6.318 39.079 -.029 -.162 .872
Tatakelolaperusahaan 32.152 48.318 .131 .665 .510
Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan tabel 1.5 diketahui bahwa variabel independen yaitu Islamic


Social Reporting tidak berpengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas (ROE).
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa Pendanaan dan investasi
mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,106 lebih besar dari taraf 0,05 (0,106>
0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Pendanaan dan investasi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROE), maka H0 ditolak.
Produk dan jasa mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,514 lebih kecil dari taraf
0,05 (0,514> 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Produk dan jasa
berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROE), maka H0 diterima
HA ditolak. Karyawan mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,187 lebih besar
dari taraf 0,05 (0,187> 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karyawan
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROE), maka H0
ditolak. Maysarakat/ sosial mempunyai nilai signifikansi sebesar 0, 872lebih besar
dari taraf 0,05 (0,872> 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Maysarakat/sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas
(ROE), maka H0 ditolak. Tatakelola Perusahaan mempunyai nilai signifikansi
sebesar 0,510lebih besar dari taraf 0,05 (0,510> 0,05). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa Tatakelola Perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap profitabilitas (ROE), maka H0 ditolak.

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 129

Tabel 1.6
Hasil Koefisien Determinasi (R²)
Model Summaryb
R Adjusted Std. Error of the Durbin-
Model R
Square R Square Estimate Watson
.328
1 a .108 -.006 9.06921 1.639
Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan tabel diatas diperoleh R-Square sebesar 0,108 yang berarti


sebesar 10,8% nilai profitabilitas (ROE) dapat dijelaskan oleh komposisi variabel
independen yaitu Islamic Social Reporting. Sedangkan 89,2% dijelaskan oleh
variabel diluar model penelitian.
Berdasarkan Uji F diketahui bahwa islamic social reporting yang terdiri dari
Pendanaan dan Investasi, Produk dan Jasa, Karyawan, Masyarakat/Sosial, dan
Tatakelola Masyarakat, secara semultan berpengaruh positif secara statistik
terhadap Profitabilitas (ROA) bank umum syariah di indonesia. Akan tetapi secara
semultan tidak berpengaruh positif secara statistik terhadap Profitabilitas (ROE)
bank umum syariah di indonesia.
Hal ini sesuai dengan Freeman at al dalam Arif, teori stakeholder yang
menyatakan bahwa perusahaan beroperasi bukan hanya untuk kepentingan
perusahaan itu namun harus memberikan manfaat kepada stakeholder-nya.
Apabila perusahaan dapat memaksimalkan manfaat yang diterima stakeholder
maka akan timbul kepuasan dan apresiasi bagi stakeholder dan akan
meningkatkan nilai perusahaan. Jika ditelaah secara persial terdapat satu indikator
yang berpengaruh negatif signifikan dan terdapat satu indikator yang berpengaruh
positif signifikan terhadap profitabilitas (ROA) bank umum syariah di indonesia,
diantaranya:
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa Produk dan jasa mempunyai
nilai signifikansi sebesar 0, 001 lebih kecil dari taraf 0,05 (0,001< 0,05). Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa Produk dan jasa berpengaruh secara
signifikan terhadap profitabilitas (ROA), maka H1 ditolak H0 diterima. Semakin
luas Islamic social reporting suatu perbankan syariah, maka menunjukkan
semakin besar profitabilitas pada perbankan syariah tersebut. Selain itu,
profitabilitas yang tinggi akan mendorong manajer untuk memberikan informasi
yang lebih terinci, karena mereka ingin menyakinkan investor terhadap
keuntungan perusahaan serta kompensasi bagi pihak manajemen. Hasil penelitian
ini sejalan dengan Lakharis yang membuktikan bahwa berpengaruh signifikan
dalam pengungkapan dan mempunyai hubungan positif dengan kelengkapan
pengungkapan ISR terhadap bank umum syariah, jadi semakin luas pengungkapan
islamic social reporting suatu perusahaan maka semakin tinggi profitabilitas bank
umum syariah. Sedangkan satu indikator dari Islamic Social reporting yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan telah menjalankan
tanggung jawab sosial dengan baik. Seahingga mampu memberikan manfaat bagi
stakeholder, maka akan timbul kepuasan dan apresiasi yang mempengaruhi
meningkatkan profitabilitas bank umum syariah di indonesia.
Islamic Social Reporting terhadap ROE secara bersama-sama sebesar 0,464
lebih besar dari 0,05 maka hasilnya tidak fit, sehingga dapat kita ketahui ternyata

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
130 | Ana Santika

Islamic Social reporting pada perusahaan bank syariah di Indonesia tidak


memiliki pengaruh yang baik pada profitabilitas perbankan syariah. Hal ini
dikarenakan banyak bank syariah di tahun 2017 yang menganggarkan dana
tanggung jawab sosialnya cukup rendah khususnya pada karyawan, masyarakat
sosial, serta tatakelola perusahaan yang tidak dapat membuktikan pengaruhnya di
dalam hubungan ISR dan profitabilitas bank umum syariah di Indonesia. Tidak
berpengaruhnya ISR terhadap ROE dapat dijelaskan karena para nasabah atau
konsumen dalam memutuskan memilih bank syariah tidak melihat atatu
menimbang pada ke syar’ian yang terindikasi pada ISR indeks pada bank yang
dipilihnya dbandingkan dengan bank syariah lainnya. Hasil penelitian ini sejalan
dengan Abi yang menyatakan bahwa pengungkapan islamic social reporting tidak
menunjukkan signifikan pengaruhnya terhadap ROA. Begitu juga dengan
penelitin Umi dkk, menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan terhadap
ROA dan ROE. Hal ini tidak sejalan dengan teori legitimasi karena ada beberapa
perusahaan perbankan yang tidak mengungkapkan aktifitasnya ke publik, maka
pihak bank perlu melakukan tindakan yang diinginkan, pantas, dan sesuai dengan
sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial.
Selain itu hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori agensi yang mana hanya
mementingkan nilai perusahaan akan tetapi harus ada manfaat untuk masyarakat
sekitar perusahaan, semakin lemah posisi stakeholders, semakin kecil pula
kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan para
stakeholdersnya. Akan tetapi sejalan dengan teori pengungkapan atas transaksi
keuangan syariah yang mana Kontribusi aset perbankan syariah terhadap
perbankan nasional masih sangat kecil.
Pada hasil penelitian ini diketahui ternyata semakin baik Islamic Social
Reporting pada bank syariah di Indonesia akan berpengaruh meningkatnya
profitabilitas pada bank umum syariah di Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori
legitimasi karena ada beberapa perusahaan perbankan yang mengungkapkan
aktifitasnya ke publik, dan juga sejalan dengan teori stakeholder yang mana tidak
hanya mementingkan nilai perusahaan akan tetapi harus ada manfaat untuk
masyarakat sekitar perusahaan, semakin kuat posisi stakeholders, semakin besar
pula kecenderungan perusahaan mengadaptasi diri terhadap keinginan para
stakeholdersnya.

5. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah Islamic Social Reporting
memiliki pengaruh baik secara persial maupun secara simultan terhadap
profitabilitas pada bank umum syariah tahun 2013-2017. Dari hasil pembahsan
dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut: pertama, Islamic Social
Reporting yang terdiri dari pendanaan dan investasi, produk dan jasa, karyawan,
Masyarakat/ sosial, Lingkungan Hidup, dan Tatakelola perusahaan secara persial
terdapat satu indikator produk dan jasa yang berpengaruh secara signifikan
terhadap profitabilitas (ROA) bank umum syariah di Indonesia. Berdasarkan
indikator yang berpengaruh tersebut dalam kepatuhan pihak bank bagus dalam
memasarkan produk-produknya kepada stakeholder sehingga profit perbankan
meningkat dengan baik. Kedua, secara simultan Islamic social reporting tidak

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Pengaruh Islamic Social Reporting... | 131

berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROE) bank umum syariah.


Akan tetapi islamic social reporting berpengaruh secara signifikan terhadap
profitabilitas (ROA) bank umum syariah di Indonesia. Berdasarkan adanya
pengaruh tersebut pihak bank perlu memfokuskan pada ISR.

Daftar Pustaka
Anita Febryani Dan Rahadian Zulfadin (2003). Analisis Kinerja Bank Devisa Dan
Bank Non Devisa Di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan. 7(4),
2003.
B. Maali, P. Cassonand C Napier, 2006. “Social Reporting By Islamic Banks”,
Abacus, 42(2).
Deegan, C. (2000). Financial Accounting Theory. NSW: Mc Graw-Hill Australia.
Suwiknyo, Dwi. Analisis Laporan Keuangan Perbankan Syariah. Yogyakara:
Pustaka.
Eden, C. & Ackermann, F. (1998). Making Strategy: The Journey of Strategic
Management. Sage Publications, London.
Ferly Ferdyant, Ratna Anggraini Zr, Erika Takidah. “Pengaruh Kualitas
Penerapan Good Corporate Governance Dan Risiko Pembiayaan Terhadap
Profitabilitas Perbankan Syariah”. Jurnal Dinamika Akuntansi Dan Bisnis.
1(2), September 2014.
Freeman, R. E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Pitman
Publishing, Boston.
Gray, R, Kouhy, R. and Lavers, S. (1995), “Corporate Social And Environmental
Reporting: A Review Of The Literature And A Longitudinal Study Of Uk
Disclosure”, Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 8(2), 47-
77.
Haniffa, R.M. and Hudaib, M.A. (2002), “A Conceptual Framework for Islamic
Accounting: The Shari‟a Paradigm”, paper presented at the Accounting,
Commerce & Finance: The Islamic Perspective International Conference IV,
New Zealand
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburiy. 1995.
Shahih Muslim. J.5. Beirut: Dar al-Kitab al- Imaniyah.
In'airat, M. 2015. The Role of Corporate Governance in Fraud Reduction- A
Perception Study in the Saudi Arabia Business Environment. Journal of
Accounting and Finance, 15 (2), 119.
Irham Fahmi, Pengantar Pasar Modal (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 98.
J. E., Post, L. E. Preston, Dan S. Sach, “Managing The Extended Entreprise: The
New Stakeholder View”, California Management Review, Vol. 45, (2002).
Janggu, T., (2004). Corporate Social Disclosure of Construction Companies In
Malaysia, Master Thesis. Universiti Teknologi Mara.
Jorenza Chiquita Sumanti (2015) meneliti Analisis Kepemilikan manajerial,
Kebijakan hutang dan Profitabilitas terhadap Kebijakan dividen dan nilai
perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI
M.Ikhsan P. “Pengaruh Islamic Social Reporting Terhadap Nilai Perusahaan
Bank Syariah Di Indonesia”. Tesis.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
132 | Ana Santika

Mila Sartika, Hendri Hermawan A, “Implementasi Ijarah Dan Imbt Pada Bank Bri
Syariah Cabang Yogyakarta”. Vol.Vii(1). Mei 2016
R. Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston:
Pitman Press,1984.
Rohana Othman, A. Md. Thani, dan dan E.K. Ghani, “Determinants of Islamic
Social Reporting Among Top Shariah-Approved Companies in Bursa
Malaysia”, Research Journal of International Studies, Vol. 12, 2009.
Rokhlinasari, Sri (2015). Teori–Teori Dalam Pengungkapan Informasi Corporate
Social Responbility Perbankan. Al-Amwal: JurnalKajian Ekonomi Dan
Perbankan Syariah,7(1), 1-11.
Septi Widiawati, Raharja, Surya. (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Islamic Social Reporting Perusahaan-Perusahaan Yang
Terdapat Pada Daftar Efek Syariah Tahun 2009-2011. Journal Of
Accounting. 1(2), 1-15.
Siti Amaroh. “Tanggung Jawab Sosial Bank syariah terhadap stakeholder dalam
perspekti maqashid syariah”. Ahkam: Vol. Xvi(1), Januari 2016.
Siti Asmaul Usnah, Noven Suprayogi. “Pandangan Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Air langga Tentang Kepatuhan Syariah Di
Bank Syariah”. Jurnal JESTT. 2(2) Februari 2015.
Soyan syarif Harahap. 2007. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta:
Raja Graindo Persaja.
Syamsuddin, Lukman. 2007. Manajemen Keuangan Perusahaan. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 159

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah


(p)ISSN: 2502-3918; (e)ISSN: 2502-7825
Vol 4, No 2 (Agustus 2019), pp.159-171
DOI: https://doi.org/10.22219/jes.v4i2.9873

Analisis Pendapatan Non Halal Perbankan Syariah


Di Indonesia: Sumber Dan Penggunaannya

Rudy Hartanto, Irena Paramita Pramono & Pupung Purnamasari

Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,


Universitas Islam Bandung

Email: rudyhartanto05@gmail.com

ABSTRACT

The existence of the regulation for Islamic banking causes it to


conduct their activities by the guidance of Islamic principles which
avoid some non-halal sources of income. On the other hand, the
transactions between Islamic banking and conventional banking are
unavoidable because conventional financial institutions still dominate
all transactions in each country. Means that non-halal sources of income
cannot be avoided, by the way of transaction is done. This research aim
to analyze on the sources of income and its distribution of the non-halal
funds of Islamic Banks in Indonesia. This research is quantitative. The
method of collecting data documentation uses data from 2015-2017
with a total sample of 102 Islamic banks. The results shows that there
were differences in the average non-halal funds of Islamic Commercial
Banks with Islamic Business Unit Bank. In addition, this study shows
that Islamic commercial bank tend to have non-halal funds bigger than
Islamic Business Unit Bank. On the other hand, the result shows that
non-halal funds sources in the banking industry are dominated by
interest income from another conventional bank and the using of non-
halal funds is dominated by social activities.

Keywords: Non-halal income, Islamic Bank, Islamic Principle,


Economic Activities.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
160 | Rudy Hartanto, Irena Paramita & Pupung Purnamasari

ABSTRAK

Peraturan perbankan syariah mengharuskan bahwa kegiatan yang


dijalankan oleh bank syariah harus selaras dengan prinsip-prinsip
Islam, diantaranya adalah menghindari beberapa sumber pendapatan
non-halal. Di sisi lain, transaksi antara perbankan syariah dan
perbankan konvensional tidak dapat dihindari karena lembaga
keuangan konvensional masih mendominasi semua transaksi di
masing-masing negara. Berarti sumber penghasilan non-halal tidak
bisa dihindari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sumber
pendapatan dan distribusinya terhadap dana non-halal Bank Syariah di
Indonesia. Penelitian ini adalah kuantitatif. Metode pengumpulan data
dokumentasi menggunakan data dari 2015-2017 dengan total sampel
102 bank syariah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan rata-rata dana non halal Bank Umum Syariah dengan Bank
Unit Usaha Syariah. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa
bank umum syariah cenderung memiliki dana non-halal lebih besar
dari Bank Unit Bisnis Syariah. Di sisi lain, hasilnya menunjukkan
bahwa sumber dana non-halal di industri perbankan didominasi oleh
pendapatan bunga dari bank konvensional lain dan penggunaan dana
non-halal didominasi oleh kegiatan sosial.

Kata Kunci: Penghasilan non-halal, Bank Islam, Prinsip Islam,


Kegiatan Ekonomi.

1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia turut berperan dalam
perkembangan industri keuangan syariah di tingkat global. Hal tersebut dalam
terlihat dari masuknya Indonesia sebagai salah satu dari 10 besar negara yang
memiliki aset industri keuangan syariah terbesar di tingkat dunia (Thomson
Reuters, 2016). Industri keuangan syariah Indonesia di klasifikasikan dalam
beberapa jenis, dimana perbankan syariah memiliki peningkatan aset yang paling
signifikan dibandingkan dengan industri keuangan syariah lainnya.

Tabel 1.1
Perkembangan Aset Industri Keuangan Syariah di Indonesia

Jenis Industri 2013 2014 2015 2016 2017 2018


Perbankan
248.11 278.92 304 365.03 435.02 444.43
Syariah
Perusahaan
16.66 22.36 26.52 33.24 40.52 41.85
Asuransi

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 161

Syariah
Lembaga
Pembiayaan 24.64 31.67 22.35 35.74 34.48 29.51
Syariah
Lembaga Non-
Bank Syariah 8.25 12.25 16.03 19.69 24.14 26.98
Lainnya
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2018

Di Indonesia, peraturan mengenai perbankan syariah terdapat dalam UU No.


21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Peraturan tersebut mengatur agar
perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya harus berasaskan prinsip
syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Kepatuhan perbankan
Syariah merupakan isu yang penting bagi stakeholders di Indonesia dikarenakan
perbankan di Indonesia saat ini masih dinilai kurang sesuai dengan prinsip-prinsip
Syariah (Suprayogi, 2013).
Selain sisi positif bank syariah, yang berkembang sangat massif (Ghozali,
Azmi & Nugroho, 2019). Terdapat beberapa problem yang dihadapi, diantaranya
adalah problem akad yang masih diperdebatkan (Hakim, 2016) dan juga problem
sumberdaya manusia dalam perbankan yang perlu untuk segera diselesaikan
(Noviyanti, 2018). Adanya keharusan perbankan syariah memiliki asas syariah
yang telah tertuang dalam peraturan, tidak serta merta bank syariah terhindar dari
aktivitas transaksi dengan perbankan syariah yang pada akhirnya menimbulkan
kegiatan yang tidak berdasarkan prinsip syariah atau disebut sebagai dana non
halal. Terjadinya kegiatan transaksi antara perbankan syariah dengan
konvensional merupakan hal yang tidak dapat dihindari dikarenakan lembaga
keuangan konvensional masih mendominasi seluruh transaksi di setiap negara
(Maulidha, 2014; Muwazir et al, 2016).
Adanya persoalan tersebut, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa dana
non halal hanya dapat disalurkan untuk fasilitas umum seperti pembangunan jalan
raya dan MCK. Sedangkan sebagian ulama, seperti Yusuf al-Qardhawi dan al-
Qurrah Dagi berpendapat, bahwa dana non-halal boleh disalurkan untuk seluruh
kebutuhan sosial (aujuh al-khair), baik fasilitas umum (al-mashalih al-ammah),
ataupun selain fasilitas umum, seperti hajat konsumtif faqir, miskin, termasuk
program-program pemberdayaan masyarakat.
Adanya dana non halal tersebut, maka muncul peraturan mengenai
penyajian dana non halal dalam Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK)101
mengenai penyajian laporan keuangan syariah. PSAK 101 menyebutkan bahwa
pendapatan non halal dari perbankan syariah harus disajikan dalam laporan
keuangan sebagai bagain dari laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan.
Selain itu, disebutkan juga bahwa perbankan syariah juga harus menjelaskan
alasan terjadinya dan penggunaan pendapatan non halal tersebut. Tidak
diungkapkannya laporan sumber dan penggunaan dana kebijakan dapat menjadi
ukuran tingkat kepatuhan syariah (Suprayogi, 2013) serta komitmen terhadap
tanggungjawab sosial (Haniffa dan Hudaib, 2007). Pengungkapan dana kebijakan

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
162 | Rudy Hartanto, Irena Paramita & Pupung Purnamasari

juga dapat dimaknai sebagai suatu sikap dari perbankan Syariah untuk menjaga
dan memelihara kepercayaan stakeholders (Ali, 2012; Meutia, 2010; Harkaneri
dan Reflisa, 2018).
Penelitian mengenai pengungkapan dana kebajikan pernah dilakukan oleh
Harahap (2003) yang menunjukkan hasil bahwa Bank Muamalat Indonesia (BMI)
belum memenuhi disclosure secara rinci mengenai PSAK 101, dana kebajikan
dapat digunakan untuk dana kebajikan produktif, sumbangan, dan penggunaan
lainnya untuk kepentingan umum. Hal tersebut juga senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Balangger et al. (2017) pada Bank BRI Syariah
Cabang Manado, dimana masih terdapat ketidaksesuai dalam penyaluran zakat
dan dana kebajikan.
Roziq dan Yanti (2011) yang melakukan penelitian mengenai penyajian dan
pengungkapan dana non halal pada Lembaga Amil Zakat menunjukkan hasil
bawah Lembaga Amil Zakat masih belum sesuai dengan ketentuan perlakuan
akuntansi dana non halal yang meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian dan
pengungkapan. Sementara itu, Hisamudin dan Sholikha (2014) yang melakukan
penelitian pada Badan Amil Zakat (BAZNAS) dan Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU) menemukan hasil bahwa BAZNAS dan PKPU telah melakukan
pengungkapan penggunaan dana non halal tersebut.
Penelitian mengenai pendapatan non halal di perbankan Syariah Indonesia
menunjukkan bahwa pendapatan non halal telah disajikan sesuai dengan PSAK
101 tentang pendapatan non halal oleh (Lenap, 2019). Solehodin et al. (2014) dan
Zubaidah (2018) yang melakukan penelitian terhadap Lembaga keuangan Syariah
menunjukkan hasil bahwa Lembaga keuangan Syariah masih menggunakan
pendapatan non halal sebagai sumber dan penggunaan dalam qardhul hasan.
Adiono dan Sholihin (2014) dan Anam (2017) mengungkapkan bahwa perbankan
syariah masih belum memiliki komitmen untuk mengungkapan pendapatan non
halal mererka dari tahun ke tahun dalam laporan tahunan. Hasil penelitian di luar
negeri mengenai perbankan Syariah pernah dilakukan oleh Maali et al (2006)
yang menunjukkan hasil bahwa hanya 12 dari 29 sampel perbankan yang
mengungkapan secara jelas jumlah pendapatan non halal. Al Haneef et al. (2017)
melakukan penelitian di perbankan Syariah di Malaysia menunjukkan hasil bahwa
perbankan Syariah Malaysia menyalurkan pendapatan non halal melalui badan
amal.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa perbankan diwajibkan
mengungkapan sumber dan penggunaan pendapatan non halal tersebut sebagai
bagian dari laporan keuangan. Penggunaan dana pendapatan non halal yang
diperoleh perbankan syariah juga harus digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah. Selain itu, sampai dengan saat ini penelitian mengenai pendapatan non
halal perbankan Syariah masih terbatas pada pengungkapan pendapatan non halal.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis lebih dalam yaitu
bukan hanya dari penyajian dan pengungkapan saja akan tetapi juga menganalisis

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 163

kesesuaian antara sumber dan penggunaan pendapatan non halal perbankan


Syariah dengan kaidah kaidah-kaidah syariah yang ada.

2. Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Legitimasi
Teori legitimasi menyatakan bahwa perusahaan akan terus menerus
meyakinkan bahwa kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya telah sesuai dengan
batasan dan norma-norma yang berlaku dimasyakarat (Suchman, 1995). Jika
terjadi ketidaksesuaian antara nilai perusahaan dengan nilai atau norma
masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya yang pada akhirnya
akan mengancam keberlangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994).
Implikasi teori legitimasi dalam perbankan syariah adalah keberadaan dewan
direksi dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) (Muchlis dan Utomo, 2018). DPS
memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam keputusan dewan syariah
nasional No. 3 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota
Dewan Pengawas Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah. Tugas DPS adalah
mendiskusikan masalah dan transaksi usaha mengenai kesesuaian dengan prinsip
syariah. Sedangkan wewenang DPS syariah adalah memberikan pedoman syariah
kepada bank dalam rangka menjalankan aktivitas syariah di perbankan syariah
serta memberikan perbaikan jika terdapat aktivitas yang tidak sesuai dengan
prinsip syariah (Misbach, 2005).

2.2. Penerimaan Non Halal Perbankan Syariah


Dalam PSAK 101 mengenai penyajian laporan keuangan syariah menyebutkan
definisi penerimaan non halal sebagai semua penerimaan dari kegiatan yang tidak
sesuai dengan prinsip syariah antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang
berasal dari bank umum konvensional. Penerimaan non halal pada umumnya
terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas
syariah karena secara prinsip dilarang. Dewan Syariah MUI juga memberikan
pengertian yang sama mengenai penerimaan atau pendapatan non hala sebagai
setiap pendapatan yang bersumber dari usaha yang tidak halal (al-kasbu alghairi
al-mayru’). Lebih lanjut lagi, penerimaan non halal dalam PSAK 101 disebutkan
sebagai salah satu sumber penerimaan dari dana kebijakan.
PSAK 101 mewajibkan seluruh entitas untuk menyajikan laporan penggunaan
dana kebajikan sebagai komponen utama laporan keuangan yang menunjukkan: a)
sumber dana kebajikan; b) penggunaan dana kebajikan; c) kenaikan atau
penurunan sumber dana kebajikaan; d) saldo awal dana penggunaan kebajikan;
dan d) saldo akhir dana penggunaan kebajikan. Oleh karena itu, pendapatan non
halal sebagi bagian dari sumber dana kebajikan perlu diungkapan dalam laporan
keuangan perbankan syariah. Pengungkapan tersebut dapat berupa alasan
terjadinya serta penggunaan atas penerimaan non halal.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
164 | Rudy Hartanto, Irena Paramita & Pupung Purnamasari

Penerimaan non halal menurut Sahroni (2014) dapat berupa: a) bunga atas
transaksi pinjaman; b) Pendapatan dari usaha yang aktifitas pinjaman berbunga
lebih dominan; c) Pendapatan dari usaha perjudian, minuman keras, barang
merusak moral dan mudharat. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI juga
menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip
syariah antara lain: pertama, usaha Lembaga keuangan konvensional, seperti
usaha perbankan konvensional dan asuransi konvensional. Kedua, melakukan
investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi, porsi
(nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari
pada modalnya. Ketiga, perjudian dan permainan yang tergolong judi atau
perdagangan yang terlarang. Keempat, produsen, distiributor, serta pedagang
makanan dan minuman yang haram. Kelima, produsen, distributor dan atau
penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral atau bersifat mudarat.
Berkaitan dengan penerimaan non halal perbankan syariah, para ulama sepakat
bahwa dana non halal tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, akan tetapi harus
disedekahkan kepada pihak lain. Bentuk penyerahan kepada pihak lain berbeda
pendapat diantara para ulama, mayoritas ulama berpendapat, bahwa dana non-
halal hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum (al-mashlalih al-ammah),
seperti pembangunan jalan raya, MCK. Sedangkan sebagian ulama, seperti al-
Qardhawi dan al-Qurrah Dagi berpendapat, bahwa dana non-halal boleh
disalurkan untuk seluruh kebutuhan sosial (aujuh al-khair), baik fasilitas umum
(al-mashalih al-ammah), ataupun selain fasilitas umum, seperti hajat konsumtif
faqir, miskin, termasuk program-program pemberdayaan masyarakat (Sahroni,
2016).

2.3. Pengembangan Hipotesis


Berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
Perbankan syariah mencakup atas Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha
Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perbedaan ketiga
jenis bank tersebut adalah terletak pada kegiatannya. Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. UUS merupakan unit kerja dari kantor pusat Bank
Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di
kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.Sedangkan untuk
BPRS kegiatannya adalah kegiatan keuangan syariah selain penyediaan jasa lalu
lintas pembayaran. Perbedaan ketiga aktivitas jenis perbankan tersebut
menyebabkan perbedaan tingkat kompeksitas baik dari segi sumber maupun
pengelolaan dana atau jasa keuangan syariah. Adanya perbedaan tingkat
kompleksitas tersebut mendorong peneliti untuk melakukan analisis mengenai

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 165

sumber dan penggunaan dana non halal yang diperoleh BUS dan UUS. Oleh
karena itu, kerangka pikir dalam hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: Ho = Tidak terdapat perbedaan pengungkapan sumber dan penggunaan
dana non halal antara Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ha =
Terdapat perbedaan pengungkapan sumber dan penggunaan dana non halal antara
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan data sekunder yang telah
disediakan dan dipublikasikan oleh pihak lain berupa laporan tahunan maupun
laporan keuangan perbankan syariah. Penelitian ini menggunakan pengujian uji t
untuk menguji apakah terdapat perbedaan pengungkapan, sumber dan penggunaan
dana non halal antara BUS dengan UUS.
Populasi dalam penelitian ini adalah perbankan syariah di Seluruh Indonesia
dengan jumlah perbankan per tahun adalah 34 perbankan syariah dengan rincian
13 BUS dan 21 UUS. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan kelengkapan data yang
diperoleh untuk digunakan dalam pengujian. Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan jenis data sekunder yang berupa laporan tahunan
perbankan syariah tahun 2014-2017. Penelitian ini bersifat unbalanced panel
dikarenakan adanya sifat times series dan cross section dari data yang
dikumpulkan. Laporan perbankan syariah diperoleh dari website masing-masing
perbankan. Kelengkapan data dalam laporan perbankan yang dapat diperoleh
selama tahun 2015-2017 adalah sebanyak 102 perbankan. Tabel 3.1 menunjukkan
bahwa terdapat laporan tata kelola perbankan yang diperoleh sebanyak sampel
sebanyak 102 perusahan selama 3 tahun yaitu dengan rincian masing-masing tiap
tahun sebanyak 34 laporan. Sehingga sampel akhir dalam penelitian ini adalah
102 perbankan.
Tabel 1.2
Kriteria Pengambilan Sampel

Tidak
Memenuhi
No Kriteria Memenuhi
Syarat
Syarat
Laporan Tahunan
Perbankan syariah
1 0 102
yang dipublikasikan
di website
Tidak
2 mempublikasikan 0 0
laporan tahunan
3 Terdapat data outlier 0 0
Total Sampel (2015-2017) 102
Sumber: Data diolah, 2018

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
166 | Rudy Hartanto, Irena Paramita & Pupung Purnamasari

4. Analisis dan Pembahasan


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berdasarkan data pada tabel 1.3,
menunjukkan bahwa jumlah terbesar nilai dari dana non halal adalah sekitar 5,6
miliar yang berasal dari bank muamalat indonesia. Sedangkan nilai terendah dari
dana non halal adalah nol rupiah yang berarti terdapat perbankan syariah yang
tidak memiliki penerimaan dana non halal. Jika dilihat berdasarkan klasifikasi
jenis perbankan yang ada pada penjelasan tabel 1.3, maka dapat diketahui bahwa
jenis perbankan yang masuk kedalam Unit Usaha Syariah (UUS) selama tahun
2015-2017 adalah sebanyak 63 perbankan syariah dengan jumlah masing-masing
tiap tahun adalah sebanyak 21 perbankan syariah. Sedangkan jumlah Bank Umum
Syariah (BUS) selama tahun 2015-2017 adalah sebanyak 39 perbankan syariah
dengan jumlah masing-masing tiap tahun adalah sebanyak 13 perbankan syariah.

Tabel 1.3
Analisis Deskriptif Dana Non-Halal di Bank Unit Usaha Syariah
dan Bank Umum Syariah

Keterangan N Minimum Maximum Mean

Dana Non Halal 102 0,00 5.689.576.976 152.043.791,2


Dana Non Halal- Unit
63 0,00 245.000.000 10.045.958,00
Usaha Syariah
Danan Non Halal- Bank
39 0,00 5.689.576.976 383.709.393
Umum Syariah
Jenis_Bank 102 0,00 1,00 0,3824
Valid N (listwise) 102
Sumber: Data diolah, 2019

Pada tabel di atas juga dapat dilihat juga nilai minimum dana non halal yang
dimiliki oleh sampel unit usaha syariah adalah Rp. 0 dan nilai maksimum adalah
sebesar Rp. 245.000.000 serta nilai rata-rata dana non halal yang dimiliki unit
usaha syariah adalah Rp. 10.045.958. Dana non halal yang dimiliki oleh BUS
jika dilihat berdasarkan nilai minimul adalah sebesar Rp. 0 dan nilai maksimum
sebesar Rp. 5,6 miliar serta nilai rata-rata adalah sebesar Rp. 383 juta.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa unit usaha
syariah memiliki jumlah dana non halal lebih sedikit daripada bank umum
syariah.
Berdasarkan analisis uji T, hasil pengujian menunjukkan bahwa berdasarkan
output table 4.2 diperoleh nilai sig. (2-tailed) sebesar 0,003 < 0,05, maka sesuai
dengan pengambilan keputusan dalam uji Independent sample t-tes, maka dapat
disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya terdapat perbedaaan
antara rata-rata dana non halal UUS dengan BUS. Selain dengan menggunakan

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 167

analisis uji T, penelitian ini juga menggunakan analisis deskriptif dalam


mengelompokkan sumber dan penggunaan dana non halal.

Tabel 1.4
Hasil Uji T

Levene's Test for t-test for Equality of


Equality of Variances Means
Keterangan
F Sig. T df Sig.
Equal variances
Dana 14,409 0,000 -3,032 100 0,003
assumed
Non
Equal variances
Halal -2,386 38,302 0,022
not assumed
Sumber: Data diolah, 2019

Tabel 1.5
Sumber dan Penggunaan Dana Non Halal Perbankan Syariah

Bank Umum Syariah


Sumber Dana Non Halal Penggunaan Dana Non Halal
2015 2016 2017 2015 2016 2017
1) Pendapatan
1) Pendapatan 1) Pendapatan Bunga
Bunga Bunga Bank
Bank Bank 2) Jasa Giro
2) Jasa Giro 2) Jasa Giro 3) Penutupan kegiatan kegiatan kegiatan
3) Penutupan 3) Penutupan rekening Sosial Sosial Sosial
rekening rekening jatuh
jatuh jatuh tempo
tempo tempo

Unit Usaha Syariah


Sumber Dana Non Halal Penggunaan Dana Non Halal
2015 2016 2017 2015 2016 2017
Pendapatan Pendapatan Pendapatan belum belum belum
Bunga Bunga Bunga disalurkan disalurkan disalurkan
Sumber: Data diolah, 2019

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sumber dana non halal Bank
Umum Syariah selama tahun 2015-2017 dapat diklasifikasikan menjadi tiga
sumber yaitu: 1) Pendapatan Bunga Bank; 2) Jasa Giro; 3) penutupan rekening
jatuh tempo dan pada Unit Usaha Syariah sumber danan non halal didominasi
oleh pendapatan bunga. Jika dilihat dari segi penggunaan dana non halal, Bank

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
168 | Rudy Hartanto, Irena Paramita & Pupung Purnamasari

umum syariah mendistribusikan dana non halal kepada penggunaan kegiatan


sosial sedangkan untuk unit usaha syariah selama tahun 2015-2017 belum
mengungkapkan penggunaan dana non halal serta adanya pengungkapan
informasi mengenai belum ada penyaluran dana non halal tersebut.
Selain itu, jika berdasarkan tingkat pengungkapan informasi dalam laporan
keuangan yang tersedia pada tabel 1.6 dapat dijelaskan bahwa tingkat
pengungkapan informasi sumber dana non halal pada bank umum syariah dan unit
usaha syariah adalah sebanyak 100% yang berarti seluruh perbankan syariah dari
tahun 2015-2017 sudah mengungkapkan informasi sumber dana non halal. Hasil
tersebut telah konsisten dengan penelitian Lenap (2019) dan Haneef et al. (2017).
Dilain sisi, tingkat pengungkapan informasi penggunaan dana non halal
cenderung rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari pengungkapan informasi
penggunaan dana yaitu sebanyak 100% perbankan syariah yang hanya ada ditahun
2015 dan 2016 dan hanya terdapat pada unit usaha syariah.

Tabel 1.6
Pengungkapan Informasi Pendapatan Non Halal dalam
Laporan Keuangan Perbankan

Pengungkapan Informasi
Penggunaan Dana Non
Jenis Bank Sumber Dana Non Halal
Halal
2015 2016 2017 2015 2016 2017
Bank Umum
100% 100% 100% 58% 67% 58%
Syariah
Unit Usaha
100% 100% 100% 100% 100% 67%
Syariah
Sumber: Data diolah, 2019

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut: pertama, terdapat perbedaan rata-rata antara dana non halal yang
diperoleh Bank Umum Syariah dengan Unit Usaha syariah. Perbedaan tersebut
juga dapat dilihat dari adanya dominasi penerimaan dana non halal yang lebih
banyak di Bank Umum Syariah. Dimana, sumber dana non halal di Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah didominasi oleh pendapatan bunga bank dan jasa
giro. Sedangkan penggunaan dana non halal didominasi oleh kegiatan sosial.
Penggunaan dana non halal tersebut telah sesuai dengan pendapat Sahroni (2016)
yang menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa dana non halal tidak
dimanfaatkan oleh pemiliknya, akan tetapi harus disedekahkan kepada pihak lain.
Sementara itu, pengungkapan informasi sumber dana non halal sudah baik sekali
dimana 100% seluruh perbankan telah mengungkap informasi sumber dana non
halal. Sedangkan pengungkapan informasi penggunaan dana non halal sudah

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 169

cukup baik dimana hal tersebut dapat dilihat dari diatas 50% jumlah perbankan
sudah mengungkapan informasi penggunaan dana non halal dari tahun 2015-2017.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan berikut Bank Umum Syariah yang
memiliki dana non halal lebih banyak daripada Unit Usaha Syariah perlu
mengurangi aktivitas penerimaan dana non halal yang diperoleh. Pengurangi
penerimaan dana non halal menjadi penting karena semakin besar dana non halal
yang dimiliki oleh perbankan syariah maka semakin besar potensi penurunan
kepercayaan nasabah terhadap perbankan syariah (Muchlis dan Utomo, 2018).
Selain itu, perbankan syariah yang memiliki pendapatan non halal yang rendah
cenderung diminati oleh investor yang pada akhirnya juga akan berdampak pada
meningkatnya nilai perusahaan (Adlan dan Mawardi, 2018). Selain itu, bank
syariah di Indonesia dipandang perlu untuk melakukan peningkatan
pengungkapan informasi yang lebih baik dan detail mengenai sumber dan
penggunaan dana non halal.
Implikasi dari penelitian ini adalah, perlunya perhatian yang lebih dari setiap
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan merupakan unsur utama
sebagai kelangsungan dan keberadaan usaha bank Syariah (Ilhami, 2009; Minarni,
2013) untuk mengawasi kepatuhan prinsip-prinsip Syariah termasuk pendapatan
non halal perbankan (Yusof et al, 2019).

Daftar Pustaka
Adlan dan Mawardi. 2018. Analisis Pengaruh Utang Berbasis Bunga dan
Pendapatan Non-Halal Terhadap Nilai Perusahaan Emiten Saham Syariah.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 4(2),103-128.
Adiono, C. L., & Sholihin, M. 2014. Analisis pengungkapan tata kelola bank
syariah di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 18(2), 268-377.
Al Haneef, S. S., Kamaruddin, Z., & Mahmud, M. W. 2017. Purification of Non-
Halal Income in Malaysian Islamic Banks: An Overview (Penyucian
Pendapatan Tidak-Halal Di Bank-Bank Islam Malaysia: Satu Tinjauan).
Journal of Islam in Asia, 14(2), 305-326.
Ali, I. M. A. 2012. Memaknai Disclosure Laporan Sumber dan Penggunaan Dana
Kebajikan (Qardhul Hasan) Bank Syariah. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, 3(2), 187-209.
Anam, M. K. (2017). Penerapan Psak 101 Pada Laporan Dana Zakat Dan Dana
Kebajikan. Misykat al-Anwar Jurnal Kajian Islam dan Masyarakat, 28(2), 1-
14.
Balangger RF., H.Karamoy dan H.Gamaliel. 2017. Evaluasi Pengungkapan
Dana Zakat dan Dana Kebajikan pada Laporan Keuangan Bank BRI
Syariah Cabang Manado. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 5(2) 1956-
1964.
Ghozali, Mohammad. Azmi, Muhammad Ulul. & Nugroho, Wahyu. 2019.
Perkembangan Bank Syariah Di Asia Tenggara: Sebuah Kajian Historis.
Falah: Jurnal Ekonomi Syariah, (4)1, 44-55

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
170 | Rudy Hartanto, Irena Paramita & Pupung Purnamasari

Hakim, Rahmad. 2016. Pembangunan Ekonomi Islam Pada Perbankan Syari’ah:


Telaah Beberapa Problem Dalam Transaksi Mudarabah Kontemporer. Islamic
Economics Journal 1(1), 61-83
Harkaneri dan Reflisa. 2018. Pendapatan Non Halal Sebagai Sumber Dan
Penggunaan Qardhul Hasan Dalam Perspektif Islam. Jurnal Rumpun
Ekonomi Syariah, 1(2), 102-110.
Haniffa, R. & M. Hudaib 2007. Exploring the Ethical Identity of Islamic Banks
via Communication in Annual Reports. Journal of Business Ethics, 76: 97-
116.
Harahap, S. 2003. The disclosure of Islamic values–annual report. The analysis of
Bank Muamalat Indonesia’s annual report. IQTISAD Journal of Islamic
Economics, 3(1), 35-45.
Hisamuddin dan Sholikha, I. H. 2016. Persepsi, Penyajian dan Pengungkapan
Dana Non Halal Pada BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang. ZISWAF:
Jurnal Zakat dan Wakaf, 1(1), 1-36.
Ilhami, Haniah. 2009. Pertanggung jawaban Dewan Pengurus Syariah Sebagai
Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah Bagi Bank Syariah. Jurnal Mimbar
Hukum. 21(3), 409-628.
Lenap, I.P, 2019. Pengungkapan Pendapatan Non Halal: PSAK 109 VS Praktik.
Jurnal Aplikasi Akuntansi. 3(2), 94-116.
Lindblom, C.K., 1994. The implications of organizational legitimacy for corporate
socia performance and disclosure. Working Paper for the American
Accounting Association Public Interest Section, USA
Maali, B., Casson, P., & Napier, C. 2006. Social Reporting by Islamic
banks. Abacus, 42(2), 266-289.
Maulidha. 2014. Kerangka Pengungkapan Transaksi Non Halal di Bank Syariah.
Simposun Nasional Akuntansi Syariah 1.Jakarta
Meutia, Inten. 2010. Shariah Enterprise Theory sebagai Dasar Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial untuk Bank Syariah. Disertasi Tidak Dipublikasikan.
Malang: Doktor Ilmu Akuntansi Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya.
Minarni. 2013. Konsep Pengawasan, Kerangka Audit Syariah, Dan Tata Kelola
Lembaga Keuangan Syariah. Jurnal Ekonomi Islam, 5(1), 29-40.
Misbach, I. 2015. Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah Dalam
Mengawasi Transaksi Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia. Jurnal
Minds: Manajemen Ide dan Inspirasi, 2(1), 79-93.
Muchlis, S., & Utomo, H. S. 2018. Kajian Pendapatan Non Halal Dan Dampak
Penggunaannya Terhadap Reputasi Dan Kepercayaan Nasabah Perbankan
Syariah. Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Akuntansi, 9(1), 75-101.
Muwazir, M.R, M., Rusnah, M., dan Kamaruzaman, N. 2006. Corporate social
responsibility disclosure: a Tawhidic approach. Jurnal Syariah, 14(1), 125-
142
Noviyanti, Ririn. 2018. Bank Syariah: Antara Konsepsi dan Implementasi,
Iqtishodia: Jurnal Ekonomi Syariah, Vol 3 No 1, 21-38
Roziq, Ahmad dan W Yanti. 2011. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian dan
Pengungkapan Dana Non-Halal pada Laporan Keuangan Lembaga Amil
Zakat. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, 11(2), 20-47.

Vol. 4, No.2, Agustus 2019


Analisis Pendapatan Non Halal... | 171

Sahroni. 2014. Pemasukan dana non halal di Lembaga keuangan Syariah


(LKS) dalam perspektif Syariah. Muzakarah Cendekiawan Syariah
Nusantara ke-8.
Sahroni. 2016. Apa Maksud Dana Non Halal, diakses tanggal 30 Maret 2019.
https://haji.okezone.com/read/2016/06/07/428/1408132/apa-maksud-dana-
non-halal (online).
Solehodin, Robiatul Uliyah dan Rahmat Zuhdi. 2014. Ahsankah Pendapatan Non
Halal Pada Qardhul Hasan?. Simposun Nasional Akuntansi Syariah
1.Jakarta
Suchman, M. C. 1995. Managing legitimacy: Strategic and institutional
approaches. Academy of management review, 20(3), 571-610.
Suprayogi, N. 2013. Menyingkap Shari’a Compliance Bank Syariah Dari Laporan
Keuangan. Majalah Sharing Edisi Januari.
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jakarta: Bank
Indonesia.
Yusof, M. F. M., Romli, N., Khalid, M. M., Bhari, A., & Yaakob, M. A. Z. 2019.
Fungsi Dan Tanggungjawab Kakitangan Bukan Syariah Dalam Pengurusan
Risiko Syariah: Kajian Terhadap Praktis Syarikat Takaful di Malaysia
(Functions And Responsibilities of Non-Shariah Staff In Shariah Risk
Management: A Study of Malaysian Takaful Companies). UMRAN-
International Journal of Islamic and Civilizational Studies, 6(2), 51-66.
Zubaidah. 2018. Analisis Dana Non Halal Dalam Pembiayaan Qordhul
Hasan Perspektif Maqashid Al-Syari’ah. Skripsi tidak Dipublikasikan.
Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung.

Falah: Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
252

ZAKAT, INFAK, DAN SEDEKAH:


MODAL DAN MODEL IDEAL PEMBANGUNAN
EKONOMI DAN KEUANGAN MODERN

Muhammad Amin Suma

Abstract: Zakâh, Infâq, and Shadaqah: The Capital and Ideal Model of
Modern Finance and Economic Development. Zakat is the designation for a
particular property that intentionally released to be channeled to mustahiq.
Other financial types that always accompanies or included with it are zakat,
infak and sedekah. ZIS funds can be considered as a triad of economic re-
sources and short-term Islamic finance in synergy with other funding sour-
ces, such as grants, wills, and endowments-oriented for long-term interests.
In addition to its management structure and mechanism is relatively simple
and efficient, zakâh can be said always completely ready to cope with
urgent needs. ZIS funds in enforceability of all peoples and Muslim nations
showed that zakâh system appropriate to be used as capital and financial
economic model and the most modern of all time.

Keywords: zakat, infak, sedekah, muzakkî, mustahiq

Abstrak: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal Pembangunan
Ekonomi dan Keuangan Modern. Zakat adalah sebutan bagi harta tertentu
yang sengaja dikeluarkan untuk disalurkan kepada mustahiq. Jenis ke-
uangan lainnya yang selalu menyertai zakat atau disertakan dengannya
adalah infak dan sedekah. Dana zakat, infak, dan sedekah dapat dikatakan
sebagai tiga serangkai sumber ekonomi dan keuangan Islam jangka pen-
dek yang bersinergi dengan sumber-sumber dana lainnya, seperti: hibah,
wasiat, dan wakaf yang berorientasikan jangka panjang. Selain bentuk dan
mekanisme pengelolaannya yang relatif sederhana dan efisien, dana ZIS
dapat dikatakan selalu serbasiap. Keberlakuan dana ZIS di semua bangsa
dan negara Islam/Muslim menunjukkan kelebihan sistem dana ZIS yang
tepat untuk dijadikan modal dan model ekonomi dan keuangan yang paling
modern sepanjang zaman.

Kata Kunci: zakat, infak, sedekah, muzakkî, mustahiq

Naskah diterima: 23 Febrari 2013, direvisi: 8 Juni 2013, disetujui: 13 Juni 2013

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Ir. H. Juanda 95, Ciputat,
Jakarta. E-mail: aminsuma@yahoo.com
254 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

Pendahuluan
Di antara tujuan utama dan pertama dalam suatu masyarakat di dunia ini
ialah menghendaki kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Dalam tradisi masya-
rakat Muslim, kebahagiaan hidup yang dimaksud lazim diistilahkan dengan
kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‘âdah al-dârayn), sebagaimana terlegendakan
dalam doa, ‚Rabbânâ âtinâ fi al-dunyâ hasanah wa fi al-âkhrah hasanah wa qinâ
‘adzâb al-nâr‛, (Wahai Tuhan kami, beri kami kebahagiaan di dunia dan keba-
hagiaan di akhirat, serta jauhkan kami dari siksaan api neraka).1
Untuk mencapai kehidupan yang sa‘âdah al-dârayn, Islam—di bawah
kepe-mimpinan Muhammad Saw. berdasarkan wahyu Allah Swt.—telah mele-
takkan kerangka dasar bangunan perekonomian dan sistem keuangan yang be-
nar-benar standar, sistemik, baku, serta abadi. Bangunan kokoh ekonomi dan
keuangan yang dimaksud salah satunya adalah melalui institusi zakat, yang di-
syariatkan sejak tahun kedua Hijrah, berdekatan waktunya sebelum pewajiban
ibadah puasa.2 ZIS (zakat, infak, dan sedekah) ini dijalankan oleh komunitas
Muslim di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia yang potensi dana ZIS-
nya benar-benar menjadi primadona dunia Islam disebabkan jumlah penduduk
Muslimnya yang terbesar di seluruh dunia.
Risalah ini mencoba mengungkap perihal dana ZIS dengan pendekatan
yang lebih utuh dan menyeluruh sebagai salah satu bangunan ekonomi dan ke-
uangan yang benar-benar bisa dijadikan contoh modal dan sekaligus model eko-
nomi dan keuangan yang mengedepankan asas ekonomi dan keuangan yang
benar-benar makmur, adil, dan merata.

Zakat dan Kebenaran Pemaknaannya


Kata al-zakâh (‫)الزكاة‬, yang dalam Alquran diulang-ulang sebanyak 32 kali
dalam 19 surah dan 32 ayat, rata-rata digandengkan dengan kata al-shalâh (‫)الصالة‬
yang dalam Alquran kata ‚shalâh‛ juga diulang-ulang lebih banyak lagi, hingga 67
kali. Belum termasuk kata ‚shalawât‛ (bentuk jamak dari kata shalâh), sebagai-
mana yang termaktub dalam surah al-Mu’minûn [23]: 9. Perangkaian kata zakat
dengan kata ‚shalâh‛, ini menunjukkan bahwa salat dan zakat adalah dua hal
berbeda yang harus selalu menyatu (disatukan). Terkait dengan kesatuan salat
dan zakat, ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd pernah berujar, ‚Kalian umat Islam diperintah-
kan supaya menegakkan salat dan menunaikan zakat. Siapa yang tidak berzakat,

1
Baca, Q.s. al-Baqarah [2]: 201.
2
Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bugha, dan ‘Alî al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab
al-Imâm al-Syâfi‘î, (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1432 H/2011 M.), Jilid I, h. 271; Ibn ‘Âbidîn (Muhammad
Amîn), Hasyiyah Radd al-Mukhtâr ‘ala al-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr, (Bayrût-Lubnân: Dâr
al-Fikr, 1425-1426 H/2005 M), Juz II, h. 278.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 255

maka itu tandanya tidak salat.‛3


Secara literal, zakat berarti tambah (al-ziyâdah), tumbuh, subur, dan ber-
kembang (al-nama’). Sedangkan secara harfiah, zakat berarti: bersih/suci (al-
thahârah), berkah (al-barkah), rapi, patut, dan damai atau (al-shalâh).4 Dalam
terminologi para ulama syariah/fikih, zakat diartikan sebagai: ‚nama/titelatur bagi
sesuatu harta-kekayaan yang dikeluarkan oleh seseorang dari hak Allah untuk
disalurkan kepada kaum fuqarâ’.5 Atau, zakat dalam perspektif syarak digunakan
untuk menyebutkan nilai/harga yang ditentukan dari harta yang Allah fardukan
(wajibkan) untuk disalurkan kepada para mustahiq zakat.6 Kalangan ulama Ha-
nâbilah, mentakrifkan zakat dengan, ‚Hak yang wajib ditunaikan terkait dengan
harta tertentu untuk kelompok tertentu dan di waktu yang tertentu pula.‛ 7
Harta ini dinamakan zakat, kata Ibn Qudâmah (541-620 H), karena harta
zakat dapat menumbuhsuburkan harta kekayaan. Hal senada dikemukakan
Mushthafâ al-Khinn dkk, ketika mereka menyatakan bahwa harta ini dinamakan
zakat, mengingat harta asalnya tetap tumbuh karena keberkahan pengeluaran
zakat, di samping karena doa orang yang mengambilnya. Sementara pada saat
yang sama, zakat juga menyucikan semua harta yang masih tersisa dari kemung-
kinan syubhât yang menyelimuti.8 Bahkan, zakat dapat pula membersihkan jiwa
muzakkî-nya sebagaimana firman Allah, ‚Qad aflah man zakkâhâ (Sungguh ber-
untung (berbahagia) orang yang membersihkan jiwanya).9
Senafas dengan beberapa definisi fukaha di atas, Undang-Undang Repub-
lik Indonesia No. 38 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, zakat diformulasikan sebagai harta yang
wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. 10 Secara substan-
tif, pada dasarnya sama dengan beberapa formula zakat yang dirumuskan pakar-
pakar hukum Islam klasik maupun kontemporer. Bedanya, para ulama dahulu
sesuai dengan kondisi yang ada, hanya meletakkan pewajiban zakat kepada

3
Yûsuf al-Qaradhawî, Fiqh al-Zakâh, Bayrût, (Lubnân: Mu’assasah al-Risâlah, 1418 H/1997 M)
Jilid I, h. 64.
4
Baca beberapa kamus dan kitab-kitab fikih terkait dengan makna harfiah maupun istilah
zakat/al-zakâh ini.
5
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Bayrût, Lubnân: Dâr al-Jayl, 1973), Jilid I, h. 327.
6
Yûsuf al-Qaradhawî, Fiqh al-Zakâh, Jilid I, h. h. 37-38.
7
‘Abd al-Rahmân al-Juzayrî, al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, Jilid I, h. 590.
8
Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bughâ, dan ‘Alî al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzâhib
al-Imâm al-Syâfi‘î, Jilid I, h. 271.
9
Perhatikan Q.s. al-Syams [91]: 9.
10
UU RI No. 39 tahun 1998 sebagaimana sudah ditambah dengan UU RI No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 1, Angka 2.
256 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

orang-perorangan secara individu (wâjib ‘ayn). Sementara peraturan perundang-


undangan kini melibatkan kewajiban zakat terhadap badan usaha yang dimiliki
orang-orang Muslim.
Dari pengertian zakat di atas, dapatlah dikemukakan bahwa harta zakat
pada hakikatnya adalah harta/dana yang diperoleh dari orang-orang Muslim per-
orangan maupun kolektif (badan usaha) yang dihimpun, dikelola, dan disalurkan
secara profesional, prosedural, dan proporsional oleh perorangan maupun ter-
utama oleh lembaga tertentu yang memiliki kewenangan untuk itu. Pengelolaan
zakat, infak, dan sedekah di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Un-
dang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2011, dilaksanakan oleh Badan Amil
Zakat atau Lembaga Zakat.
Memerhatikan pengertian zakat di atas, dapat diperjelas dan dipertegas
lebih jauh bahwa pemaknaan formula zakat dari sisinya yang manapun, dapat
dibuktikan kebenarannya, baik secara fisik material-nominal maupun secara
psikis-kerohanian, mengingat semua itu bisa diuji secara empiris-matematis dan
lebih dari itu dapat dirasakan dan dinikmati secara psikis. Maksudnya, bahwa za-
kat itu berarti tambah, tumbuh dan berkembang secara nominal, misalnya, bisa
dibuktikan dengan mudah. Demikian pula dengan makna maknawi-hissi-nya
yang bisa dirasakan dalam menjalani proses hidup dan kehidupan para muzakkî.
Begitu luas memang ruang lingkup makna zakat ini, sampai-sampai kata zakat
bisa juga digunakan untuk maksud sedekah wâjibah maupun mandûbah, di
samping untuk makna nafkah, pemaafan (al-‘afw), dan kebenaran (al-haqq).11
Dari sekian banyak kata yang searah dengan maksud zakat, kata infak dan
kata sedekahlah yang paling erat. Begitu eratnya kata zakat dan sedekah, al-
Mawardi (w. 450 H/1070 M) menyamakan keduanya dalam ungkapan ‚sedekah
adalah zakat dan zakat adalah sedekah‛ (al-shadaqah zakâh wa al-zakâh sha-
daqah). Keduanya, demikian al-Mawardi, hanya berbeda dalam nama atau se-
butan, tetapi sama dalam arti dan tujuannya. 12 Perangkaian kata infak dan sede-
kah pada lembaga-lembaga zakat—dalam hal ini, misalnya ZIS (zakat, infak dan
sedekah) yang ada di Indonesia—semakin memperkuat jalinan tritunggal kata
zakat, infak, dan sedekah. Terutama dalam penyematan nama-nama lembaga
filontropi Islam, seperti: BAZIS (badan amil zakat, infak dan sedekah), LAZIS
(lembaga amil zakat, infak den sedekah), panitia penerima zakat, infak dan se-
dekah, meskipun pada saat yang sama, tetap juga ada lembaga yang seakan-
akan hanya fokus pada pengurusan zakat tanpa menyebut infak dan sedekah.

11
Muhammad ibn Isâ‘îl al-Kahlanî, Subul al-Salâm, (Bandung, Indonesia, Maktabah Dahlan,
t.th.), Juz II, h. 120.
12
Muhammad Amin Suma, Lima Pilar Islam, (Tangerang: Kholam Publishing, 2007), h. 106.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 257

Dalam Undang-undang dinyatakan bahwa infak adalah harta yang dike-


luarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan
umum.13 Sedangkan sedekah adalah harta atau non harta yang dikeluarkan oleh
seseorang atau badan usaha di luar zakat untukmkemaslahatan umum. 14
Yang jelas, kata shadaqah itu berasal dari kata al-shidq, yang berarti benar
atau kebenaran. Kata sedekah menunjukkan atas kebenaran dan/atau pembe-
naran keimanan seseorang, baik dari sudut pandang lahiriah (pengakuan kei-
manan) maupun ekspresi batiniah (wujud pengorbanannya) melalui harta-ben-
da. Dengan sedekah, muzakkî/mutashaddiq menjadi bisa terbuktikan/dibuktikan
bahwa dia bukan laiknya tipe orang-orang munafik yang suka main mata dengan
mengelabui orang-orang Mukmin dalam urusan sedekah.15 Begitulah cara agama
Islam membimbing kepaduan antara pengakuan keislaman yang secara simbo-
lik tersimbolkan dalam pengucapan dua kalimah syahadat dan pelaksanaaan
salat lima waktu. Sementara dalam bentuk pengorbanan material ekonomi dan
keuangan terwujudkan dalam bentuk pembayaran zakat, infak, dan sedekah.
Namun demikian, meskipun sama-sama terdapat dalam bahasa Arab atau
dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata sedekah tidak digunakan lagi
dalam pengertian zakat. Sedekah biasanya digunakan untuk mengartikan pem-
berian secara sukarela kepada para pihak dengan tujuan untuk mendapat pahala
dari Allah. Dengan kalimat lain, zakat diartikan sebagai pemberian wajib, semen-
tara sedekah diartikan sebagai pemberian sunah.16
Kembali ke kebenaran pembuktian makna zakat yang berarti tambah,
tumbuh, berkembang, dan subur. Dapat dikemukakan ilustrasi sebagai berikut:
Dari uang Rp 10.000.000,- penghasilan netto seorang muzakkî dalam satu bulan,
maka kewajiban membayar zakatnya minimal Rp 250.000,-. Ini berarti bahwa
dalam satu tahun (12 bulan) muzakkî dimaksud hanya mengeluarkan uang zakat
sebesar Rp 250.000,- X 12 bulan = Rp 3.000.000,-. Menurut Alquran,17 kelipatan
pahala orang yang membayar zakat (muzakkî) berkisar antara 10 hingga 100 kali
lipat. Dengan demikian, maka setiap muzakkî yang memiliki penghasilan netto
sebesar Rp 120 juta saja dalam satu tahun, kemudian dia zakatkan (dibaca
dengan didepositokan) sebesar Rp 250.000 X 12 bulan = Rp 3 juta X 10—700 kali-
lipat = Rp 300.000.000,- hingga Rp 2.100.000.000,-. Belum lagi jika di samping

13
UU-RI No. 23 th. 2013, Pasal 1, Angka 3.
14
UU-RI No. 23 th. 2013, Pasal 1, Angka 4.
15
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût-Lubnân: t.tp: t.p., t.th), h. 249.
16
Mohammad Zuhdi Hj. Ab. Majid, ‘ Peranan Zakat dalam Pembangunan Ummah’, dalam Nik
Mustapha Nik Hassan [Penyunting], Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia, h. 207.
17
Perhatikan dan renungkan Alquran terutama surah al-An‘âm [6]: 160 dan surah al-Baqarah
[2]: 261.
258 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

pembayaran zakat yang minimal itu dilebihkan barang sedikit dengan penge-
luaran infak atau sedekah yang selalu menyertai zakat, maka kelipatannya tentu
akan semakin bertambah banyak/besar lagi. Apalagi bagi muzakkî yang memiliki
kekayaan milyaran hingga terilyunan rupiah, tentu akan menjadi sulit menghi-
tungnya, bahkan tidak terhitung lagi. Maha benar Allah dalam kalam-Nya, yang
pada itinya menyatakan bahwa mustahil bisa menghitung-hitung nikmat Allah.18
Mengapa harus dipahami demikian? Karena, uang yang dizakatkan itu pa-
da hakikatnya sama sekali tidak habis dimakan apalagi dibuang percuma, meng-
ingat uang zakat itu ibaratnya justru dengan secara sadar diniatkan untuk dijadi-
kan deposito jangka panjang sampai akhirat di mana uang zakat itu diterima,
dikelola, dan disalurkan oleh lembaga keuangan yang paling andal dan jujur,
dalam hal ini penulis istilahkan dengan ‚Bank Pahala Allah Swt.,‛ yang kelak di
akhirat deposio itu akan dikembalikan kepada deposan (muzakkî) berikut uang
bagi hasilnya yang sebesar 10 hingga 700 kali lipat dari uang pokoknya. Pertanya-
an besar dan mendasarnya, adakah di dunia ini lembaga keuangan yang mem-
berikan laba atau bunga sekalipun yang maksimalnya hingga 700% kepada de-
posan (muzakkî)?
Adapun secara maknawi-hissiyyah (batiniah-ruhaniah), dana zakat, infak,
dan sedekah dipastikan akan dapat menyucikan harta kekayaan muzakkî, di
samping juga menyucikan diri/jiwanya dari rasa was-was, rasa takut, rasa tidak
aman, kurang nyaman, bahkan bisa membersihkan lingkungan hidupnya sehing-
ga menjadi lebih aman dan lebih nyaman. Dengan dana zakat yang dibayarkan,
para pembayar zakat (muzakkî) menjadi orang-orang yang secara kejiwaan akan
lebih merasa terlindungi dari kemungkinan pengurangan atau penurunan harta
dengan cara paksa, seperti tindakan kekerasan dalam pelbagai bentuk, misal-
nya: pencurian, penipuan, perampokan, pemerasan dan/atau bentuk-bentuk tin-
dakan kekerasan lainnya yang bisa saja terjadi di luar kesadaran orang-orang
yang enggan membayar zakat.
Pada sisi lain, pengeluaran zakat juga diduga kuat akan dapat menghalau
kecemburuan sosial. Dengan dana zakat pula, muzakkî akan terbebaskan dari
ancaman azab neraka, sebagaimana diinformasikan Alquran, misalnya dalam
surah al-Tawbah [9] ayat 34. Demikian pula dengan sejumlah Hadis Nabi yang
menyinggung soal siksaan orang-orang enggan membayar zakat19 semata-mata

18
Perhatikan Alquran surah Ibrâhîm [14]: 34 dan al-Nahl [16]: 18.
19
Di antaranya, Hadis riwayat Imam Ahmad dan lain-lain dari Abû Hurayrah R.a., yang pada
intinya menyatakan sabda Rasulullah bahwa tidak seorang pun penimbun harta yang tidak mau
(enggan) mengeluarkan zakatnya, kecuali dia (kelak di alam akhirat) akan disetrika di neraka jaha-
nam, kemudian ia akan dijadikan alas setrikaan di mana kening dan mukanya akan disetrika bolak-
balik sampai Allah memutuskan di antara hamba-hamba-Nya itu satu waktu yang ukuran satu harinya
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 259

karena takut mengurangi hartanya atau bahkan merasa khawatir jatuh miskin.
Padahal, sejauh ini zakat sudah teruji dan terbukti tidak pernah ada orang kaya
yang jatuh miskin disebabkan membayar zakat. Dengan kalimat lain, tidak ada
muzakkî yang jatuh miskin lantaran membayar zakat yang besarannya hanya
berkisar 2,5—20% dari keseluruhan harta kekayaan produktif yang dimiliki mu-
zakkî. Lagi pula, zakat pada dasarnya tidak membebankan pembayaran pada
jenis-jenis harta kekayaan tertentu yang nyata-nyata tidak produktif.20

Legitimasi Hukum Zakat


Teramat banyak ayat maupun Hadis hukum yang menjadi dasar hukum
bagi pensyariatan zakat, infak, maupun sedekah. Sebagian daripadanya yang bisa
dijadikan ayat-ayat induk pewajiban zakat ialah sebagai berikut:

       

Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang


yang rukuk (salat berjamaah). (Q.s. al-Baqarah [2]: 43).

           

           

       

Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari

sepadan dengan dengan 50.000 tahun. Kemudian sesudah itu dia akan dievaluasi ulang amal-perbua-
tannya, dan lalu dia bisa dimasukkan ke syurga atau kembali dimasukkan ke neraka.
20
Kekayaan yang tidak produktif, seperti rumah tinggal, kendaraan operasional, perhiasan-
perhiasan dan/atau beberapa lainnya yang sama sekali tidak produktif dan apalagi yang notabene
harus dibiayai perawatannya, maka sama sekali tidak harus dizakati. Benar ada jenis harta tertentu
yang kalau sudah satu nishab dan haul (satu tahun) harus dizakati seperti emas non perhiasan dan/
atau lainnya, namun itu selain ketentuan hukumnya yang masih tetap debatebel, juga pada umum-
nya disarankan agar harta kekayaan itu diproduktifkan supaya tidak habs dimakan zakat. Kecuali itu,
kemungkinan terjadinya juga kecil mengingat orang-orang yang memiliki banyak harta pada umum-
nya cerdas untuk memproduktifkan harta yang dia miliki. Berbeda dengan orang-orang miskin,
dalam hal ini para mustahiq, yang kebanyakan tidak mampu mengelola dengan baik harta kekayaan
karena memang tidak terbiasa apalagi terlatih dengan manajemen kehartabendaan.
260 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

(dalam perut) bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-
buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri tidak
mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah itu Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Q.s. al-Baqarah
[2]: 267).

Menurut penafsiran yang dikemukakan Ibn Qayyim al-Jawziyyah (691-751


H/1292-1350 M), mengapa ayat tersebut hanya menampilkan dua sumber daya
ekonomi dan keuangan yakni barang-barang ekonomi yang keluar dari perut bu-
mi (al-khârij min al-ardh) di satu pihak dan yang dihasilkan atas usaha ekonomi
manusia (al-hâshil bi kasb al-tijârah) tanpa menyebut sumber ekonomi dan ke-
uangan lainnya seperti binatang ternak? Menurut dia, ada dua kemungkinan ja-
wabannya. Pertama, boleh jadi karena dilatari kondisi perekonomian saat-saat
Alquran diturunkan, yang umumnya didominasi oleh dua kegiatan ekonomi di-
maksud. Dunia perniagaan khususnya perdagangan didominasi oleh kaum imig-
ran (al-muhâjirîn) yang mayoritas etnik Mekah, sedangkan dunia pertanian dan
peternakan didominasi oleh penduduk Anshar etnik Madinah. Kemungkinan ke-
dua, lanjut Ibn Qayyim, boleh jadi mengingat dua jenis perekonomian tersebut-
lah (perniagaan dan pertanian) yang diposisikan sebagai pangkal/sentral dunia
ekonomi dan keuangan. Sementara jenis-jenis ekonomi dan keuangan yang se-
lebihnya diposisikan sebagai tindak-lanjut dan/atau pengembangan belaka dari
keduanya. Dengan demikian maka dengan kata al-kasb (usaha ekonomi) terma-
suk di dalamnya semua dunia usaha yang bermotifkan ekonomi mulai dari per-
dagangan hingga perindustrian dalam konteksnya yang sangat luas (apalagi di
zaman modern sekarang ini). Sementara dalam kalimat al-khârij min al-ardh,
meliputi semua biji-bijian, buah-buahan, pertambangan,21 barang-barang temuan
lainnya seperti barang-barang tambang, minyak dan gas bumi, lempengan besi-
baja, dan lain-lain yang terlalu sukar untuk disebutkan apalagi diurai secara rinci
satu persatu.

            

     

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu mem-

21
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tafsîr al-Qayyim, (Bayrût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-‘Il-miyyah, t.th.),
h. 166.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 261

bersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Se-


sungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Tawbat [9]: 103).

Menurut penafsiran beberapa ahli tafsir (mufassir) terkemuka, di antaranya


al-Qurthubî (w. 671 H) yang diperkuat oleh ‘Abd al-Mun‘im Ahmad Tu’alib, perin-
tah penarikan/pemungutan sedekah pada ayat di atas tampak bersifat mutlak
tanpa ada batasan, baik tentang jenis harta yang diperintahkan pemungutannya
maupun tentang kadar jumlah pungutannya. Penjelasan rinci tentang semua itu
didapatkan dalam al-Sunnah al-Nabawiyyah dan/atau kesepakatan (ijmak) para
ulama/pemangku kewenangan untuk hal ini. Atas dasar ini, demikian kata al-
Qurthubi maupun Abdul Mun’im, pada dasarnya zakat harus diambil dari semua
jenis harta-kekayaan (fa tu’khadz al-zakâh min jamî‘ al-amwâl), sebagaimana
Nabi Muhammad Saw. telah mewajibkan pengeluaran zakat bagi hewan-hewan
ternak (al-mawasyi), biji-bijian (al-hubub), dan al-‘ayn (mata uang).22
Sungguhpun demikian, para ahli tafsir tetap saja berlainan pendapat ten-
tang maksud dari istilah sedekah pada ayat di atas, apakah itu sedekah wâjibah
atau sedekah tathawwu’ (sunah), mengingat ada beberapa Hadis dan riwayat
yang menyebutkan sabab al-nuzûl ayat di atas yang menyebabkan para ulama
berbeda pendapat. Menurut sebagian pendapat, di antaranya Juwaybir dari Ibn
‘Abbâs dan Ikrimah menurut yang disebutkan al-Qusyayri, bahwa yang dimaksud
dengan sedekah pada ayat di atas ialah sedekah fardu (zakat). Sedangkan me-
nurut sebagian yang lain, di antaranya Imam Malik, berpendapat bahwa yang di-
maksud dengan sedekah dalam ayat ini ialah sedekah tathawwu’, tidak ada uru-
san dengan zakat yang difardukan itu.23
Perbedaan pendapat juga terjadi sekitar persoalan apakah khithâb (tun-
tutan) pemungutan zakat itu terbatas kepada Nabi dalam kapasitasnya sebagai
nabi dan rasul? Atau, juga termasuk di dalamnya perintah kepada para pemang-
ku urusan (uli al-amr) orang-orang beriman secara keseluruhan sepeninggal nabi
Muhammad Saw.? Ini pula yang melatari konflik internal umat Islam di zaman
kekhalifahan Abû Bakr al-Shiddîq R.a. Masing-masing mereka tentu memiliki ar-
gumentasi yang berlainan. Namun demikian, di balik itu semua, juga hampir da-
pat dipastikan karena ada motivasi atau bahkan niat lain yang tidak sama. Ter-
utama oknum-oknum kalangan munafiqin yang memanfaatkan kesempatan di
dalam kesempitan.

22
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 244; Abd al-Mun‘im
Ahmad Tu’aylib, Fath al-Rahmân fî Tafsîr al-Qur’ân, Jilid III, h. 1366.
23
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 244.
262 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

Para ulama juga berbeda dalam memahami kata ‚al-amwâl‛ pada ayat di
atas. Sebagian ada yang membatasinya dengan pakaian, alat-alat rumah tangga,
dan hiasan aksesoris (al-tsiyâb, wa al-matâ‘ wa al-‘urudh), sementara sebagian
yang lain memahaminya dengan onta pada khususnya dan/atau hewan-hewan
ternak lain (al-mawasyi) pada umumnya. Di samping ada pula yang memasuk-
kannya ke dalam lingkup al-amwâl adalah harta dalam bentuk emas, perak, dan
mata uang, termasuk mata uang kertas. Pengertian dan ruang lingkup jangkauan
al-mâl yang sangat luas dan luwes, justru dikemukakan oleh Abû ‘Umar yang
menyatakan, ‚Yang paling umum dikenal di kalangan bangsa dan bahasa Arab
tentang pengertian al-mâl ialah meliputi semua dan setiap sesuatu yang digan-
drungi manusia untuk dimiliki. Itulah dia yang namanya mâl (anna kulla mâ
tumuwwil wa tumullik huwa mâl)‛, katanya. Al-Qurthubî juga menyimpulkan hal
yang sama dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan meliputkan dan
bahasa juga menyaksikan bahwasanya apa saja yang bisa dimiliki manusia, itu
dinamakan harta (al-mâl).‛24
Yang jelas, umumnya ulama Islam (mufassirîn, muhadditsîn, fuqahâ’, dan
lain-lain) tidak ada yang keberatan untuk menggunakan ayat di atas sebagai ayat
hukum bagi pensyariatan zakat yang hukumnya wajib itu. Demikian pula dengan
khithâb ayat yang tidak semata-mata untuk Nabi selagi beliau masih hidup, akan
tetapi juga berlaku seterusnya sepeninggal Nabi untuk para pemangku urusan
umat Islam kapan dan di manapun mereka berada. Pewajiban zakat yang demi-
kian telah mentradisi secara berkesinambungan dengan berurat-berakar dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat sejak masa-masa kekhalifahan Abâ
Bakr al-Shiddîq R.a. sampai pemerintahan nasionalisme Islam/Muslim dewasa
ini. Itulah pula yang menyebabkan Khalifah Abû Bakr bersikukuh melawan dan
bahkan ‚memerangi‛ para penentang zakat (mani’ al-zakah) di zamannya seraya
Abu Bakar bersumpah: ‚Demi Allah, aku akan perangi siapapun yang [coba-coba
berusaha] memisahkan pertalian erat dan mengikat antara salat dan zakat.‛25 O-
rang-orang yang mengkhususkan perintah ayat di atas hanya untuk Nabi Muham-
mad Saw. dan tidak bagi para pemegang otoritas keislaman berikutnya, oleh ba-
nyak ulama dipandang sebagai orang-orang yang bodoh pengetahuannya ten-
tang Alquran (jâhil bi al-Qur’ân), melupakan sumber-pengambilan syariah (ghâfil
‘an ma’khadz al-syarî‘ah) dan termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang
bermain-main dengan agama (mutalâ’ib bi al-dîn).26 Pasalnya, terlalu banyak
ayat Alquran lainnya yang menggunakan redaksi tunggal (mufrad), bahkan khu-

24
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 247.
25
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, (Bayrût, Lubnân: Bayt al-Afkâr al-Dawliyyah, 2004), h. 492.
26
Abî ‘Abd Allâh al-Qurthubî, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, h. 247.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 263

sus untuk Nabi, namun maksud dari sasarannya juga diperuntukkan bagi umat-
nya;27 kecuali yang benar-benar khusus untuk Nabi sendiri.28

        

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (tapi
tidak mau meminta) (Q.s. al-Ma‘ârij [70]: 24-25).

Senafas dengan ayat di atas, secara gamblang Hadis Nabi menyebutkan li-
ma rangkaian rukun Islam, salah satunya adalah zakat di samping dua kalimat
syahadat, salat, puasa, dan haji sebagaimana termaktub dalam Hadis berikut:

Agama Islam itu dibangun (didirikan) di ata lima pilar (utama), yakni: (1)
kesakisian tiada tuhan selain Allah dan kesaksian bahwa Muhammad
adalah utusan Allah, (2) penegakan salat, (3) pembayaran zakat, (4) puasa
Ramadan, (5) haji ke Baitullah bagi yang memiliki kemampuan. (H.r. al-
Bukhârî, Muslim, dan lain-lain).

Berdasarkan ayat Alquran dan Hadis Nabi di atas serta ayat-ayat dan Hadis-
hadis lain yang semakna dengannya, semua ulama Islam dan umat Islam sejak
dahulu sampai sekarang insya Allah juga hingga di masa-masa yang akan datang,
tetap sepakat untuk menyimpulkan dan meyakinkan bahwa penunaian zakat
bagi umat Islam yang memenuhi persyaratan hukumnya wajib/fardh ayn. Sama
dengan kewajiban untuk menjalani rukun-rukun Islam yang lainnya yakni meng-
ikrarkan dua kalimat syahadat, menegakan salat, melaksanakan puasa Rama-
dan, dan pergi haji. Tanpa zakat, penegakan rukun-rukun Islam yang lain akan
mengalami ketimpangan atau bahkan oleng dan sangat mungkin terjatuh lan-
taran tidak memiliki daya dan stamina untuk melakukan semuanya. Seperti di-

27
Baca dan renungkan misalnya: al-Baqarah 92): 231; surah al-Isra (17): 78; al-Nisa (4): 102; al-
Nahl (16): 98.
28
Perhatikan surah al-Ahzâb [33]: 50.
264 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

simpulkan para pakar hukum Islam, di antaranya ‘Abd al-Rahmân al-Juzayrî,


Râfiq Yûnus al-Mashrî, dan lain-lain, bahwa zakat adalah salah satu fardu dari
sekian banyak fardu dan satu rukun dari sekian banyak rukun-rukun Islam yang
mutlak harus ditunaikan. Orang yang mengingkari pewajiban zakat, oleh para
ulama dihukumkan sebagai orang kafir. 29

Model dan Harta Zakat


Dilihat dari segi bentuk/macamnya, secara umum dan garis besar, zakat
lazim dibedakan ke dalam dua macam, yakni: zakat fitrah dan zakat harta (zakâh
al-mâl). Zakat fitrah bersifat tahunan, maksudnya diwajibkannya setiap tahun
tepatnya pada setiap akhir bulan Ramadhan (malam takbir) sampai pelaksanaan
salat Idul Fitri. Sedangkan zakat mâl pengeluarannya bergantung pada jenis-jenis
harta yang bersangkutan di samping jenis-jenis usaha yang dijalani para muzakkî.
Zakat meliputi pelbagai bidang seperti pertanian, perdagangan, dan beberapa
lainnya sehingga lahir istilah-istilah zakat yang terkait dengan itu, seperti zakâh al-
zirâ‘ah (zakat pertanian), zakâh al-‘iqârah (zakat benda-benda bergerak), dan be-
berapa lainnya yang terkadang sedikit banyak bisa jadi menimbulkan kebingung-
an di kalangan masyarakat Muslim kebanyakan.
Dalam bidang industri keuangan—yang kian tumbuh dan berkembang
macam dan jenisnya—dikenal pula sebutan zakat saham (zakâh al-ashum) dan
lain-lain yang atas pertimbangan teknis tidak mungkin diuraikan panjang lebar di
dalam tulisan ini. Dengan demikian, tidaklah mengherankan manakala para ula-
ma terus melakukan pembahasan yang intensif terhadap hukum zakat sesuai
dengan perkembangan dunia zakat itu sendiri. Yang jelas, masih problematika
zakat yang ketentuan hukumnya masih diperselisihkan oleh para ahli di antara-
nya tentang hukum zakat badan usaha, hukum zakat jenis-jenis ternak dan/atau
tanama-tanaman tertentu, dan lain-lain yang dianggap tidak ada nas yang jelas.
Secara umum, para ulama sebagaimana dikemukakan ‘Abd al-Rahmân al-
Juzayrî, menyebutkan lima macam harta dan/atau dunia usaha yang wajib diza-
kati yakni: (1) al-na‘âm (binatang ternak) yang meliputi: onta, sapi/lembu [terma-
suk kerbau tentunya], dan kambing; (2) mata uang emas dan perak [termasuk
uang kertas tentunya]; (3) barang-barang dagangan/‘urudh al-tijarah; (4) barang
tambang dan temuan/ma’din dan rikâz; (5) tanam-tanaman dan buah-buahan/al-
zurû’ wa al-tsimar dalam konteks ini pertanian dan/atau perkebunan. 30

29
Râfiq Yûnus al-Mashrî, Fiqh al-Mu‘âmalah al-Mâliyah, (Jiddah: Dâr al-Basyir, 1426 H/2005 M.),
h. 77; Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bughâ, dan ‘Alî al-al-Syarbajî, al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab
al-Imâm al-Syâfi‘î, Jilid I, h. 273.
30
‘Abd al-Rahmân al-Juzayrî, al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, Jilid I, h. 596.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 265

Yang jelas, dengan mengacu kepada Alquran surah al-Baqarah [2]: 167
maupun al-Tawbah (9): ayat 107 yang masing-masing menggunakan kata-kata
‚min thayyibât mâ kasabtum‛ dan ‚wa min mâ akhrajnâ lakum min al-ardh‛ di
satu sisi serta kata-kata ‚khudz min amwalihim‛ pada sisi yang lain, penulis tam-
pak lebih condong untuk mewajibkan zakat kepada semua jenis usaha apa saja
yang menghasilkan ‚keuntungan‛ secara ekonomi dan keuangan. Keculai terha-
dap jenis-jenis pertanian yang terkait dengan makanan pokok yang sudah memi-
liki kadar tertentu tentang zakatnya, maka yang lain-lain sangat bisa dikiaskan
kepada jenis zakat perniagaan/perdagangan. Terutama terkait dengan jenis-jenis
aktivitas yang bernilai ekonomi dan keuangan seperti rumput hias, peternakan
ayam, burung puyuh, dan lain-lain yang pada masa-masa modern sekarang ini
benar-benar bervariasi bentuk/jenisnya, tapi semuanya menghasilkan uang yang
tidak kecil. Terhadap jenis-jenis usaha semacam ini, insya Allah mudah-mu-
dahan tidaklah salah jika penentuaan kadar zakatnya didasarkan pada zakat per-
tanian di satu sisi dan zakat perdagangan di sisi yang lain.
Kehadiran peraturan perundang-undangan yang dimiliki bangsa Indonesia
dalam hal ini Undang-Undang Nomor 38 tahun 1998 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2013
tentang Pengelolaan Zakat, bagaimanapun telah memberikan kemajuan tersen-
diri terkait dengan jenis-jenis harta dan/atau usaha dan jasa yang wajib dizakati.
Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa: ‚Zakat meliputi zakat mal dan
zakat fitrah. Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (a) emas;
perak dan logam mulia lainnya; (b) uang dan surah berharga lainnya; (c) per-
niagaan; (d) pertanian, peternakan, dan kehutanan; (e) peternakan dan per-
ikanan; (f) pertembangan; (g) perindustrian; (h) pendapatan dan jasa; dan (i)
rikâz.31
Penyebutan barang, dan/atau dunia usaha, kerja dan jasa yang penye-
butannya dalam Undang-Undang ini lebih rinci, wajib kita syukuri dan apresiasi
mengingat bagaimanapun telah membuka jalan dan memberi kesempatan se-
luas-luasnya kepada masyarakat Msulim Indonesia untuk pengembangan dana
ZIS di satu sisi dan pembiasaan kesadaran masyarakat luas tentang pengeluaran
dana ZIS pada sisi yang lain. Terutama dalam konteks pemakmuran kesejahte-
raan sosial ekonomi umat dan masyarakat Indonesia yang berasaskan keadilan
dan pemerataan. Satu hal lain yang penting digarisbawahi di sini ialah pewajiban
zakat bagi badan usaha di samping terutama kepada perorangan. 32

UU RI No. 23 th. 2013, Pasal 4 ayat (3).


31

Perhatikan dan renungkan UU RI No. 23 tahun 2013 yang menyatakan: ‚Muzakkî adalah
32

seorang Muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat‛ (Pasal 1 angka 5). ‚Zakat
266 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

Sayangnya, dalam praktik masih tetap dijumpai sebagian pelaku bisnis sya-
riah sekalipun yang belum sependapat untuk membebankan kewajiban zakat
terhadap badan usaha seperti bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah,
dan lain-lain.

Muzakkî dan Keberadaan Harta yang Wajib Dizakati


Para ahli fikih mensyaratkan muzakkî (pembayar zakat) harus beragama
Islam, dewasa, dan berakal sehat. Orang kafir, asli maupun murtad, tidak diwa-
jibkan membayar zakat. Demikian pula dengan anak kecil dan orang gila, paling
tidak menurut sebagian ulama. Alasannya, selain zakat oleh mereka masih tetap
digolongkan ke dalam kelompok ibadah mahdhah (murni) yang karenanya mu-
zakkî harus berdasarkan niat, juga karena salah satu syarat sah ibadah adalah ha-
rus orang dewasa (balig). Sungguhpun demikian, kebanyakan ulama (jumhur)
tetap mewajibkan hukum bayar zakat terhadap harta yang dimiiki anak kecil
maupun orang gila. Pengeluaran zakatnya dilakukan oleh orang tua/wali si anak
atau oleh orang yang mengampu orang gila. Terhadap harta umum—milik
masyarakat apalagi milik negara—tidak ada kewajiban zakat menurut jumhur
ulama, meskipun menurut sebagian kecil ulama yang lain, di antaranya al-Imam
Muhammad, pengikut Imam Abû Hanîfah, berpendirian bahwa harta masyarakat
umum yang produktif tetap wajib dizakati.33 Syarat-syarat harta yang wajib
dizakati ialah: (1) sempurna kepemilikannya; (2) harta yang dimiliki muzakkî
telah mencapai nishab/jumlah minimal tertentu 34; (4) telah mencapai satu tahun
(hawl) untuk jenis zakat tertentu khususnya perniagaan atau yang sejenisnya; (5)
di saat-saat panen untuk zakat pertanian dan/atau yang disamakan dengan
pertanian; (6) di saat-saat menerima pembayaran gaji/honorarium paling tidak
menurut ahli-ahli hukum Islam yang membolehkan seorang muzakkî memper-
cepat pembayaran dana zakatnya, tanpa harus menunggu satu tahun. 35

mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh muzakkî perseorangan
atau badan usaha (Pasal 4 ayat (3)).
33
Rafiq Yunus al-Mashri, Fiqh al-Mu’amalat al-maliyyah, h. 77.
34
Karena satu dan lain hal terutama pertimbangan teknis, tidak disebutkan secara rinci di
dalam tulisan ini.
35
Selain dapat meringankan beban psikis muzakkî dengan cara mencicil pembayaran dana
zakatnya, cara pembayaran zakat yang demikian tentu akan turut membantu kelancaran biaya-biaya
mendesak para mustahiq. Petunjuk teknis Alquran (Q.s. al-An‘âm [6]: 141) yang menetapkan waktu
panen sebagai waktu penunaian zakat pertanian, sedikit-banyak turut memberikan inspirasi bagi
penyegeraan penunaian zakat di saat-saat muzakkî menerima pembayaran penjualan barang dan/
atau pembayaran gaji/honorarirum. Demikian pula dengan kemajuan teknologi yang memudahkan
para muzakkî melakukan penghitungan zakat dan penunaiannya. Tanpa menutup kemungkinan ada
rahasia lain mengapa hawl dijadikan standar dalam hal pembayaran zakat, boleh jadi penetapan
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 267

Delapan Ashnâf Mustahiq


Sistem ekonomi dan keuangan zakat, infak, dan sedekah, tampak memili-
ki rancangan yang luar biasa hebat, cermat, dan akurat dalam menetapkan calon
sasaran/target penerima dana zakat yang lazim dikenal dengan sebutan delapan
kelompok sosial penerima zakat (tsamâniyah ashnâf al-mustahiqqîn), yakni: (1)
fuqarâ’, (2) masâkin, (3) ‘âmilîn, (4) mu’allafah qulûbuhum, (5) riqâb, (6) ghâri-
mîn, (7) sabîlillâh, (8) Ibn sabîl. Kelompok sosial penerima zakat ini termaktub
dalam surah al-Tawbah [9]: 103.
Memerhatikan delapan kelompok sosial yang berhak menerima zakat di
atas, sungguh luar biasa cermatnya, karena dengan pembagian delapan ashnâf
ini, nyaris atau bahkan sama sekali tidak ada kelompok sosial yang terabaikan
kesejahteraan sosial ekonominya. Karena, semua kelompok sosial dari pelbagai
kelas telah tertampung ke dalam delapan ashnâf ini. Bukan saja kaum fuqarâ’
dan masâkin yang sangat diperhatikan oleh Alquran, akan tetapi juga kelompok-
kelompok sosial lainnya, dalam hal ini orang-orang yang terlilit utang, budak-
budak dalam konteks sekarang kelompok sosial yang termapas kemerdekaan
dirinya, kelompok orang-orang yang terjebak di perjalanan, dan bahkan juga
lembaga sosisal kemasyarakatan yang bergerak dalam pelbagai kepentingan
umum tetap terjangkau melalui delapan kelompok mustahiqqîn ini. Tidak terke-
cuali mereka yang bergabung dalam hal pengurusan zakat itu sendiri yaitu ke-
lompok ‘âmilîn walau mereka terdiri atas orang-orang kaya sekalipun.
Sungguh menarik variasi Alquran yang meredaksikannya secara berbeda
ketika menggunakan huruf ‚lâm‛ dalam kalimat li al-fuqarâ’ wa al-masâkin wa
al-‘âmilîn ‘alayhâ wa al-mu’allafah qulûbuhum, dan menggunakan huruf ‚fî‛ da-
lam redaksi wa fi al-riqâb wa al-ghârimîn wa fî sabîlillâh wa ibn al-sabîl. Terkait
dengan redaksi ayat ini, sebagian ahli tafsir, di antaranya al-Thabathaba’i36 dan
Muhamad Mahmûd Hijâzî37 mengemukakan bahwa perbedaan redaksi ini diduga
kuat ada maksud yang hendak dituju Alquran. Untuk empat hingga enam ke-
lompok mustahiq yang menggunakan huruf ‚lâm‛, dalam hal ini fuqarâ’, masâ-
kîn, ‘âmilîn, mu’allafah qulûbuhum, ghârimîn, dan ibn sabîl, menurut Hijazî, per-
untukkannya bersifat perorangan. Sedangkan yang menggunakan redaksi ‚fi‛ da-
lam konteks ini fi al-riqâb dan fî sabîl Allâh masih kata Hijâzî, peruntukannya ber-
sifat kelembagaan (institusional) dalam hal ini kemaslahatan umum umat Islam.
Sedikit berbeda dengan Hijâzî, al-Thabathaba’i menyertakan kelompok al-ghâri-

hawl lebih didasarkan pada toleransi kesulitan waktu menghitung untuk kalangan peniaga/pebisnis
di zaman-zaman silam.Wallahu a’lam.
36
Muhammad Husain al-Thaba’-thaba’I, al-Mizan fi-Tafsir al-Qur’an, jil. 6, h. 322-323.
37
Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadhih, h. jil. 1, hlm 896-897.
268 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

mîn dan ibn al-sabîl ke dalam kelompok fî yang bermaksud institusional itu. Da-
lam pandangan al-Thabathaba’i, empat kelompok pertama mustahiq mengguna-
kan huruf lam (li al-milk), yakni: li al-fuqarâ’, wa li al-masâkin, wa li al-‘amilîn wa
li al-ghârimîn. Sedangkan empat kelompok yang disebutkan terakhir mengguna-
kan redaksi fi dan karenanya maka perlu ditakdirkan dengan redaksi wa fi al-
riqâb, wa fi al-ghârimîn, wa fi sabil Allâh, wa fî ibn al-sabîl.
Dalam pada itu, hampir semua ulama tafsir dan fikih sepakat bahwa dana
zakat itu penyalurannya benar-benar terbatas dan bahkan harus dibatasi, yakni
hanya kepada delapan ashnâf mustahiq yang disebutkan di atas. Penyaluran da-
na zakat kepada orang/pihak di luar delapan ashnâf tersebut, hukumnya dila-
rang. Ayat 60 surah al-Tawbah ini menurut sebagian mufassir diturunkan dalam
rangka antisipasi atau bahkan menutup rapat kemungkinan penyalahgunaan da-
na zakat oleh oknum-oknum tertentu misalnya jatuh ke tangan orang-orang mu-
nafik yang demikian tamak (rakus) dengan sifat buruknya yang suka mencela
nabi ketika tidak kebagian zakat meski terkadang memujinya sedemikian rupa
tatkala diberi bagian zakat sebagaimana dilansir dalam surah yang sama (al-
Tawbah) ayat 58 dan ayat 61. Pembatasan penyaluran dana zakat kepada para
mustahiq di atas, diperkuat oleh penggalan ayat ‚farîdhah min Allâh wa Allâh
‘alîm hakîm‛= sebagai kewajiban dari Allah, dan Allah itu Mahatahu lagi Mahabi-
jaksana. Perhatikan hubungan harmonis (kesetiakawanan sosial) antara muzak-
kî dan mustahiqqîn dalam diagram di bawah ini:

Kesetiakawanan Muzakkî dan Mustahiq


Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 269

Catatan:
1. Penyandang dana (donatur) tetap adalah: muzakkîn, munfiqîn, dan muta-
shaddiqîn;
2. Penerima dana (mustahiqîn), meliputi: fuqarâ’, masâkin, ‘âmilîn, mu’allafah
qulûbuhum, riqâb, ghârimin, sabîl Allâh, dan ibn sabîl. Dua sampai empat
kelompok bersifat personal (perorangan) yaitu: terutama fuqarâ’ dan masâkin
(menurut kebanyakan ulama) di samping ‘âmilîn dan ghârimîn (menurut
sebagian ulama yang lain).
3. Penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian dana ZIS dilakukan oleh
‘âmilîn yang berasaskan tiga pro: professional, prosedural, dan proporsional;
4. Pemerintah bertindak selaku regulator yang adil, arif, dan bijaksana;
5. Masyarakat luas turut mendukung dan mengawasi dengan penuh rasa senang
dan tanggung jawab.

Mutifungsi Zakat
Zakat, di samping juga infak dan sedekah, dipastikan memiliki banyak
fungsi. Yang terpenting daripadanya ialah fungsi internal-material dan kejiwaan
di samping juga memiliki fungsi eksternal-material dan spiritual. Secara material,
harta zakat seperti pernah disinggung panjang lebar sebelum ini, jelas membuat
harta muzakkî, munfiq, dan mutashaddiq menjadi semakin bertambah dan ber-
kah. Sementara secara kejiwaan, ZIS membuat penunainya merasa tenang, ten-
tram dan nyaman. Sedangkan secara eksternal-material, dana ZIS memiliki multi
manfaat bagi para mustahiq, dan secara kejiwaan para mustahiq niscaya sangat
hormat dan mencintai para donator dana ZIS mengingat sama-sama aktif, saling
memberi dan menerima, serta saling berharap dan mendoa. Sungguh benar apa
yang dikalamkan Allah dalam wahyu-Nya, dan sungguh benar juga apa yang di-
sabdakan Rasul-Nya, di samping masih lebih banyak lagi yang tidak mungkin di-
tuliskan di sini. Sebagian kecil di antaranya adalah:

Dari Ibn ‘Abbas R.a., sesungguhnya Nabi Saw. pernah mengutus Mu‘âdz ibn
Jabal R.a. ke Yaman, yang ringkasannya sebagaimana disebutkan Ha-dis,
‚Sesungguhnya Allah telah memfardukan kepada mereka (penduduk
Yaman) supaya membayar sedekah terhadap sebagian harta kekayaan
mereka, tepatnya diambilkan dari kekayaan orang-orang kaya yang ada di
antara mereka, untuk kemudian disalurkan kepada kalangan fuqarâ’ yang
ada di tengah-tengah mereka. (H.r. Muttafaq ‘alayh).

Dari Ibn ‘Abbâs R.a., dia berkata, ‚Rasulullah Saw. telah memfardukan za-
kat fitrah (dengan fungsi utama) sebagai penyuci bagi orang yang puasa dari
seloroh-seloroh murahan dan/atau seloroh berbau seksual (thuhrah li al-shâ’im
270 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

min al-laghw wa al-rafats), serta dalam rangka memberi makan (menyejahte-


rakan) orang-orang miskin (thu’mah li al-masâkin). Siapa yang menunaikannya
sebelum pelaksanaan salat Id, maka itu termasuk zakat (fitrah) yang dikabulkan,
dan siapa yang menunaikannya usai salat Id, maka itu termasuk ke dalam sede-
kah biasa (H.r. Abû Dâwûd dan Ibn Mâjah yang disahihkan oleh al-Hâkim).

Muatan Positif
Senafas dengan pengertian zakat (harfiah maupun syar‘iyyah), zakat dipas-
tikan memiliki hikmah (nilai-nilai positif) dari pemungutan, pengelolaan, dan
pendistrbusian dana zakat itu sendiri. Terutama terkait dengan program jangka
pendek dan menengah yang sering kali tantangannya datang setiap saat dan se-
panjang zaman. Katakanlah seperti kebutuhan makan-minum (konsumsi), pa-
kaian dan tempat tinggal. Demikian pula dengan kebutuhan pendidikan dan
kesehatan yang harus dinikmati oleh semua dan setiap warga-negara dalam kon-
teks kebangsan dan kenegaraan, atau kesejahteraan umat Islam dalam konteks
kehidupan keagamaan dalam hal ini agama Islam. Di antara hikmah zakat ialah
sebagai berikut:
Pertama, dalam jangka pendek—terutama dalam bidang pangan—zakat
minimal dapat mengatasi kelaparan dan kasus-kasus gizi buruk yang sering kali
melanda kalangan masyarakat miskin tertentu di daerah-daerah perdesaan/ter-
pencil yang jauh dari keramaian kota dan berkumpulnya kelompok orang-orang
kaya (aghniya’). Kedua, dalam hal sandang, zakat dapat membantu meringankan
fuqarâ’-masâkin untuk membeli pakaian yang relatif lebih berkualitas atau
sekurang-kurangnya bisa mengatasi kesulitan mereka dalam hal pakaian. Ketiga,
dalam bidang pendidikan, zakat dapat mencerdaskan kehidupan anak bangsa
dan bisa membebaskan para mustahiq dari kebodohan dan ketertinggalan.
Keempat, zakat dapat menjadi modal dana kaesehatan masyarakat miskin dan
golongan mustahiq lainnya. Kelima, dana zakat dapat meng-cover semua la-
pisan masyarakat yang sangat membutuhkannya, bahkan dalam kasus-kasus ter-
tentu bisa juga memberikan kesejahteraan yang lebih pada orang/pihak tertentu.
Keenam, dana zakat jelas harus merata ke seluruh penjuru tempat kediaman
para mustahiq zakat. Ketujuh, zakat dapat mengurangi atau bahkan menghilang-
kan kesenjangan sosial ekonomi. Kedelapan, zakat juga dapat mengatasi krisis
pangan terutama di saat-saat terjadi bencana alam maupun bencana lain-lainnya
seperti bencana kekisruhan dan kersuhan atau bahkan peperangan sekalipun.
Kesembilan, dampak positif zakat lainnya adalah dapat menciptakan harmoni-
sasi hubungan sosial-kemasyarakatan dalam konteksnya yang sangat luas, ter-
utama antara masyarakat berada (kaya) dengan masyarakat miskin. Kesepuluh,
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 271

zakat minimal bisa mengurangi atau bahkan menangkal pelbagai macam tindak
kriminal yang disebabkan oleh rasa kecemburuan sosial yang sangat mungkin
muncul secara tiba-tiba. Kesebelas, dilihat dari isinya yang manapun, zakat relatif
jauh lebih ringan/kecil nilainya.
Terkait perbedaan kadar pewajiban antara jenis zakat yang satu dengan
jenis zakat yang lain, misalnya antara zakat pertanian, perdagangan, dan yang
sejenis dengannya, para ulama mengurainya dengan panjang lebar. Di antara
mereka adalah Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang mengemukakan sebagai berikut:

Mengapa kadar zakat untuk uang emas dan perak serta perniagaan itu
sebesar 1/4% (4/10), sedangkan tanam-tanaman (pertanian) dan buah-
buahan itu kadar zakatnya 1/5 atau (10%)? Sementara pertambangan
(ma’din) zakatnya 1/5 juga, sementara rikâz hingga mencapai 20%, itu
semua menunjukkan keutamaan dan keprimaan syariat terkait dengan
penyejahteraan kaum fuqarâ’ dan penyucian harta di samping terutama
dalam rangka ber-taqarrub ila Allâh (mendekatkan diri kepada Allah). De-
mikian pula halnya dengan yang lain-lain yang acap kali manusia boleh jadi
salah persepsi terhadap ketentuan-ketentuan syariat yang sarat dengan
nilai-nilai positif (hikmah) dan rahasisa dari pelbagai hikmah itu sendiri.

Potensi Dana ZIS dan Partisipasi Aktif Masyarakat


Dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) memiliki potensi yang sangat luar
biasa. Sebagai ilustrasi, untuk Indonesia saja dengan penduduk Muslim sekira
212,5 juta (85 %) dari keseluruhan penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta-
an jiwa (pada tahun 2013), dalam satu malam takbir (malam Idul Fitri) diper-
kirakan akan mampu mengumpulkan dana zakat fitrah sekira 5,3 triliun rupiah,
sebagai perkiraan dari perkalian jumlah penduduk Muslim sebanyak 212,5 juta
jiwa itu dikalikan dengan Rp 25.000 untuk seharga 2,5 kilogram beras bagi setiap
orang. Belum termasuk dana zakat mâl dan lain-lain (fidyah, kaffarah, dan seba-
gainya) yang hampir dapat dipastikan jumlahnya lebih banyak lagi dari itu.
Berdasarkan riset BAZNAS, IDB, dan IPB beberapa waktu yang lalu, potensi
zakat Indonesia tahun 2011 saja bisa mencapai 217 triliyun rupiah. Ini menunjuk-
kan bahwa potensi zakat di Indonesia sesunguhnya adalah terbesar di dunia.
Sayangnya, BAZNAS bersama-sama dengan lembaga-lembaga zakat lainnya baru
mampu menyerap potensi tersebut dalam jumlah yang sangat kecil, yakni baru
sekira 1% saja. Maknanya, semua badan dan/atau lembaga amil zakat yang ada
di Indonesia tentu juga stakeholders dana ZIS yang lainnya, masih harus bekerja
lebih ekstra keras, ekstra serius dan ekstra fokus guna menggapai potensi zakat
Indonesia yang masih tersisa sebesar 99% lagi.
272 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dana ZIS Indonesia masih ‚ter-
timbun rapat‛ sebagaimana hal yang sama sesungguhnya juga dialami oleh se-
bagian bangsa-bangsa Muslim yang lainnya. Beberapa faktor yang dimaksudkan
sesungguhnya tergambarkan dalam sikap masyarakat Muslim sendiri terhadap
zakat di samping pajak yaitu sebagai berikut: (1) Ada Kalangan Muslim yang taat
pajak dan sekaligu taat zakat; (2) Boleh jadi ada golongan yang setia pajak tetapi
ingkar zakat; (3) Boleh jadi ada kelompok yang taat zakat tidak setia pajak; (4)
Tidak mustahil ada kelompok yang inkar zakat dan sekaligus tolak pajak.
Terkait dengan gambaran sikap masyarakat Muslim di satu pihak dan ken-
dala yang dihadapi para pegiat zakat secara makro dan dalam garis besar pernah
dikemukakan para pemerhati ZIS, di antaranya M. Djamal Doa, yang menyimpul-
kannya sebagai berikut:38
Pertama, problem muzakkî, yang antara lain masih sering diselubungi de-
ngan sikap riya, meskipun Alquran telah lama mewanti-wanti siapapun (para
muzakkî, munfik dan mutashadik) untuk tidak terjebak dengan sikap dan apalagi
perilaku riyâ.39
Kedua, problem mustahiq, antara lain masih tercemari oleh sebagian ok-
num masyarakat yang pura-pura miskin (munafik) di satu pihak dan pembagian
dana zakat yang belum merata mengingat masih ada yang bersifat tumpang-
tindih dan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu.
Ketiga, problem khilâfiyah masalah-masalah kontemporer yang sedikit ba-
nyak menimbulkan perbedaan atau bahkan perdebatan pendapat yang boleh
jadi berujung pada kehadiran fatwa hukum fikih, terutama secara lisan, yang
berbau fenomenal.
Keempat, problem normatif peraturan perundang-undangan seputar pe-
ngelolaan zakat, terutama di masa-masa lalu dan belakangan juga terkait dengan
korelasi pengurangan zakat atas pembayaran pajak yang secara teoretis masih
tetap mengundang beberapa penafsiran sementara secara praksis baik kebija-
kan maupun teknisi administratif masih tetap memiliki banyak kendala di lapa-
ngan. Apalagi terkait sosialisasinya yang nyaris tidak pernah tertangani apalagi
ada yang menangani.
Kelima, problem internal lembaga amil zakat sendiri yang dalam banyak
hal dan praktiknya masih tetap mengalami beberapa kendala, termasuk dunia
‘âmilîn sendiri yang hingga kini masih belum memiliki rambu-rambu peng-
gajian/upah/fee/ujrah yang benar-benar standar. Belum lagi terkait dengan ke-

38
M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, h. 59-97.
39
Baca dan renungkan Alquran, antara lain surah al-Baqarah [2]: 264 dan surah al-Nisâ’ [4]:
38.
Al-Iqtishad: Vol. V, No. 2, Juli 2013 273

ilmuan dan wa-wasan kesyariahannya yang masih memerlukan pembinaan di


samping pening-katan keahlian (skill) teknis-operasional terkait pelayanan ma-
syarakat muzakkî, munfiq dan/atau mutashaddiq maupun kalangan mustahiq.
Keenam, problem operasional yang paling tidak dalam beberapa—untuk
tidak mengatakan dalam banyak—hal masih dihadapi oleh badan maupun lem-
baga amil zakat baik internal maupun eksternal. 40

Penutup
Zakat, infak, dan sedekah (ZIS) bisa dijadikan modal dan sekaligus model
pembangunan sistem ekonomi dan keuangan sepanjang zaman. Termasuk di
era modern sekarang di mana kehidupan ekonomi dan keuangan semakin kom-
pleks dan bahkan problemtik. Alasannya, selain dana ZIS pernah teruji dan diuji
kelangsungannya sepanjang perjalanan sejarah umat Islam, dana ZIS juga memi-
liki potensi luar biasa untuk dijadikan sebgai dana cadangan yang selalu siap di-
kucurkan dalam pelbagai situasi dan kondisi apa dan bagaimanapun. Terutama
untuk mengatasi pelbagai persoalan ekonomi dan keuangan jangka pendek,
atau bahkan datang secara tiba-tiba.
Demikian pula dengan potensi dana ZIS yang tidak pernah mengurang,
apalagi mengering di semua dan setiap negara yang dihuni oleh penduduk ma-
yoritas Muslim, terutama Indonesia sebagai negara Muslim raksasa di seluruh
penjuru dunia. Potensi dana ZIS umat Islam Indonesia demikian fantastis ketika
diperkirkan mampu menyumbangkan ‚devisa‛ sebesar 217 trilyun rupiah dalam
satu tahun terakhir, dan ke depan insya Allah akan terus bertambah lebih besar
lagi. Potensi ini sejatinya bisa diwujudkan pada waktunya manakala benar-benar
dituju dan diburu secara bersama-sama melalui kerja-kerja simultan dan berba-
siskan prinsip-prinsip profesional, prosedural, dan proporsional.
Dengan modal utama masyarakat muzakkî yang demikian melimpah dan
dimotori oleh ‘âmilîn yang jujur dan trampil. Di-support oleh pemerintah selaku
regulator dan diawasi oleh semua unsure masyarakat yang berakhlak, baik sang-
ka, dan kontrol setia, insya Allah dan sungguh tidak berlebihan kita mengido-
lakan ‚dana ZIS sebagai modal dan model ideal pembangunan ekonomi dan
keuangan modern sepanjang zaman‛ demi kesejahteraan bersama rakyat Indo-
nesia yang makmur, adil, dan merata.

Pustaka Acuan
Al-Qur’ân al-Karîm.
‘Asqalanî, al-, Ibn Hajar Bulûgh al-Marâm min Adillah al-Ahkâm, Bandung,

40
M. Djamil Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat Oleh Negara, h. 59-97.
274 Muhammad Amin Suma: Zakat, Infak, dan Sedekah: Modal dan Model Ideal

Indone-sia, t.th.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999.
Doa, M. Djamal, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, Jakarta: Nuansa
Mada-ni, 2001.
Hassan, Nik Musthapa Nik [Penyunting], Ekonomi Islam dan Pelaksanaannya di
Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia: Institut Kepahaman Islam Malaysia,
2002.
Hijâzî, Muhammad Mahmûd, al-Tafsîr al-Wâdhih, Bayrût, Dâr al-Jayl, 1413 H/1993
M.
Ibn ‘Âbidîn (Muhammad Amîn), Hasyiyah Radd al-Mukhtâr ‘ala al-Durr al-Mukhtâr
Syarh Tanwîr al-Abshâr, Bayrût-Lubnân: Dâr al-Fikr, 1425 – 1426 H/2005 M.
Ibn Qudâmah, al-Mughnî, Bayrût, Lubnân: Bayt al-Afkâr al-Dawliyyah, 2004.
Jawziyyah, al-, Ibn Qayyim, Tafsîr al-Qayyim, Bayrût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-‘Il-
miyyah, [t.t.].
Kahlanî, al-, Muhammad ibn Isâ‘îl, Subul al-Salâm, Bandung, Indonesia,
Maktabah Dahlan, t.th.
Khinn, al-, Mushthafâ al-Khinn, Mushthafâ al-Bugha, dan ‘Alî al-Syarbajî, al-Fiqh
al-Manhajî ‘alâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi‘î, Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1432
H/2011 M.
Mashrî, al-, Râfiq Yûnus, Fiqh al-Mu‘âmalah al-Mâliyah, Jiddah: Dâr al-Basyir, 1426
H/2005 M.
Qaradhawî, al-, Yûsuf, Fiqh al-Zakâh, Bayrût, Lubnân: Mu’assasah al-Risâlah, 1418
H/1997 M.
Qurthubî, al-, Abî ‘Abd Allâh, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Bayrût-Lubnân: t.tp: t.p.,
t.th.
Sâbiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bayrût, Lubnân: Dâr al-Jayl, 1973.
Suma, Muhammad Amin, Lima Pilar Islam, Tangerang: Kholam Publishing, 2007.
Thabathaba’i, al-, Muhammad Husayn, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Bayrût,
Lubnân: Mu’assasah al-A’lam li-al-Mathbu’ah, 1411 H/1991 M.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat.
44 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho

Perkembangan Bank Syariah Di Asia Tenggara:


Sebuah Kajian Historis

Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho


Program Pascasarjana Hukum Ekonomi Syariah,
Universitas Darussalam Gontor

E-mail: mohammadghozali@unida.gontor.ac.id

ABSTRACT

The development of Islamic Banking in Southeast Asia is growing


rapidly. Statistical data shows that Southeast Asia has become one of
the centers for the development of the global Islamic finance industry.
Literally, Indonesia and Malaysia is two countries in the region that
have become dynamos for the development of the Islamic banking
industry in ASEAN countries, this condition has encouraged other
countries to be discussed in the development of the Islamic banking
industry. The method of this paper is historical approach, which
documentary methods in data collection techniques by analyzing
documents that are relevant to the research topic. The conclusion of this
study is that significant developments still occur in two countries,
namely Malaysia and Indonesia, whereas in some countries such as
Thailand, Singapore and the Philippines the development of Islamic
banking is still minimal.
Kata Kunci: Islamic Bank, Southeast Asia, Islamic Financial
Institutions.

ABSTRAK

Pertumbuhan perbankan Islam di Asia Tenggara berkembang sangat


pesat, data statistik menunjukkan bahwa Asia Tenggara telah menjadi
salah satu pusat pengembangan industri keuangan Islam secara global.
Dalam sejarah tercatat bahwa Indonesia dan Malaysia sebagai negara di
kawasan ini yang menjadi dinamo pengembangan industri perbankan
syariah di antara negara-negara anggota ASEAN, kondisi ini
mendorong negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk berpartisipasi
dalam pengembangan industri perbankan Islam. Penelitian ini bertujuan
untuk membahas secara mendalam terkait perkembangan perbankan
syariah di negara-Negara Asia Tenggara. Pendekatan yang digunakan
adalah historis dengan metode dokumenter dalam teknik pengumpulan
data, yaitu dengan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Perkembangan Bank Syariah di Asia Tenggara… | 45

yang relevan dengan topik penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini


adalah bahwa perkembangan yang signifikan masih terjadi pada dua
Negara yaitu Malaysia dan Indonesia, sebaliknya di beberapa Negara
seperti Thailand, Singapura dan Filipina perkembangan perbankan
syariah masih minim.
Kata Kunci: Bank Syariah, Asia Tenggara, Lembaga Keuangan
Syariah.

Pendahuluan
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang operasional dan produknya
dikembangkan berlandaskan Al-Qur’an dan hadist, khususnya yang menyangkut
tata cara bermuamalat secara islam (Antonio & Perwataatmaja, 2001; Umam,
2013: 15). Pertumbuhan perbankan syariah di dunia diawali dengan berdirinya
Mit Gamr Bank di Mesir pada tahun 1963. Selanjutnya Dubai Islamic Bank
menjadi bank komersial pertama yang membuka layanan syariah pada tahun
1975. Berdasarkan wilayah ekonominya, perbankan syariah pertama di Asia
Tenggara adalah Bank Islam Malaysia Berhad yang berdiri di Malaysia pada
tahun 1983 (Ketell, 2011: 24).
Pertumbuhan industri keuangan syariah yang pesat dan stabil juga menjadikan
Asia Tenggara sebagai bagian penting dalam keuangan Islam global. Negara-
negara di Asean memiliki variasi yang beragam dalam pengembangan perbankan
Syariah. Malaysia merupakan Negara yang paling cepat dalam pengembangan
perbankan syariah diantara Negara-negara di Asean, lalu Indonesia juga gencar
dalam usahanya mengembangkan perbankan syariah, walaupun perkembangannya
lambat jika dibandingkan dengan Malaysia, karena pendekatan yang digunakan
berbeda. Pendekatan yang digunakan di Malaysia adalah pendekatan (state
driven), sedangkan perbankan syariah di Indonesia lebih banyak digerakkan oleh
masyarakat (market driven).
Selain di kedua Negara tersebut, Brunei Darussalam juga intens dalam
mengembangkan industri perbankan syariah. Selanjutnya Singapura yang
merupakan Negara minoritas muslim juga berambisi untuk mengembangkan
industri ini. Dan juga ambisi ini diikuti Negara-negara minoritas muslim lainnya
seperti Filipina, dan Thailand dengan mengakomodir keberadaan bank syariah di
negaranya. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan
ekonomi syariah di Asia Tenggara dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan
perbankan syariah.

Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia


Perkembangan bank syariah di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah
terbentuknya Islamic Development Bank (IDB) yang didirikan oleh OKI sebagai
Organisasi Konfrensi Islam pada tahun 1975 yang memberikan perkembangan
berkaitan dengan perbankan dan keuangan Islam. IDB juga membantu dalam
mendirikan bank-bank Islam di berbagai Negara serta membangun institusi untuk
penelitian, penulisan dan pelatihan di bidang perbankan dan keuangan (Nugroho,
2015: 2).

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
46 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho

Ikhtiar yang lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru
dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990,
yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
Islam di Indonesia. Berbeda dengan tujuan bank konvensional yang hanya
mencanangkan pencapaian keuntungan yang setinggi-tingginya (profit
maximization). Perbankan Syariah bertujuan untuk menggalakkan, memelihara
serta mengembangkan jasa serta produk perbankan yang berdasarkan syariah (Tim
Pengembangan Perbankan Syariah, 2001: 23).
Bank syariah di Indonesia sendiri sebenarnya telah mendapatkan dasar
legitimasi yang kuat dengan ketentuan deregulasi sektor perbankan pada tahun
1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku
bunga hingga nol persen (peniadaan bunga sekaligus). Akan tetapi kesempatan ini
belum bisa dimanfaatkan karena tidak diperkenankan untuk membuka lembaga
baru. Kondisi ini berlangsung hingga pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru (Umam,
2013: 22).
Selanjutnya posisi perbankan syariah semakin kokoh setelah disahkan UU
Perbankan Nomor 7 Tahun 1992, dimana bank diberikan kebebasan untuk
menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya, baik bunga
ataupun keuntungan bagi hasil. Dengan terbitnya peraturan tersebut tentang bank
bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak
boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(bunga), sebaliknya bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil, maka jalan bagi perkembangan perbankan syariah semakin luas
(Muhammad, 2004: 21). Dengan demikian kegiatan operasional perbankan di
Indonesia didasarkan pada dua sistem yaitu: sistem bunga dan sistem syariah,
sedangkan bank umum konvensional dapat menganut dual banking system.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan bank syariah pertama yang
berdiri pada tahun 1991, berdirinya bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Akte pendiriannya
ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen
pembelian saham sebanyak Rp84 miliar (Antonio, 2001: 25).
Menurut Wirdyaningsih dkk (2005: 3), bahwa hingga terbitnya undang-
undang Nomor 10 tahun 1998, Indonesia telah melewati dua tahapan pembinaan,
yaitu “tahapan perkenalan” (introduction) yang ditandai dengan diberlakukanya
undang-undang Nomor 7 tahun 1992, dan tahapan pengakuan (recognition) yang
ditandai diberlakukanya UU Nomor 10 tahun 1998. Tahapan berikutnya adalah

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Perkembangan Bank Syariah di Asia Tenggara… | 47

“tahapan pemurnian” (purification) yang nanti akan ditandai dengan


diberlakukanya Undang-undang yang secara khusus mengatur perbankan syariah.
Undang-undang yang dimaksud akhirnya disahkan pada 17 Juni 2008, yang
mana di dalamnya diatur mengenai jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah,
kelayakan usaha, penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah maupun UUS
yang merupakan bagian dari bank umum kovensionai. Dan sebagai UU yang
khusus mengatur perbankan syariah, dalam UU ini diatur mengenai masalah
kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada MUI
yang direpresantasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS). Kemudian,
harus dibentuk pada masing-masing bank syariah dan Unit Usaha Syariah. Untuk
menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Perturan
Bank Indonesia (PBI), maka dibentuk komite Komite Perbankan Syariah, yang
keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama,
dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang (Prasetyo, 2010: 29).
Keberadaan UU Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah melegalkan
keberadaan perbankan syariah di Indonesia dengan segala macam
karakteristiknya. Keberadaan UU ini juga menjadi pijakan yang kokoh bagi
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur secara teknis tentang perbankan syariah
di Indonesia. Di samping itu, banyak kalangan berpendapat bahwa keberadaan
UU perbankan syariah akan menjadi titik tolak masuknya investasiyang
menjadikan perbankan syariah sebagai tuan rumah di negeri sendiri (Prasetyo,
2010: 71).

Perkembangan Perbankan Syariah di Malaysia


Era perbankan syariah di Malaysia bisa ditelusuri kembali ke tahun 1963
yang mana pada saat itu pemerintah membentuk lembaga Tabung Haji. Lembaga
ini dibentuk untuk menjadi sarana investasi tabungan masyarakat Malaysia
dengan instrument bebas bunga terkhusus untuk mereka yang ingin menuanaikan
ibadah haji.Lalu selanjutnya dikenal konsep perbankan Islam di Malaysia pada
awal tahun 80-an dengan tujuan yang mulia yaitu untuk membantu umat Islam
dengan memberikan sistem yang lebih baik dibandingkan Tabung Haji (Sjahdeini,
2014: 74).
Awal 1980-an adalah awal langkah diperkenalkannya perbankan syariah di
Malaysia atas inisiatif Pedana Menteri Mahathir Muhammad, yaitu ketika
Malaysia secara resmi memperkenalkan Undang-undang Perbankan Syariah 1983
(IBA 1983), dan UU Takaful 1984. Kemudian Bank Syariah yang menerapkan
konsep syariah secara lengkap juga didirikan sebagai perusahaan umum pada
tahun 1983. Bank Islam Berhad adalah bank pertama yang didirikan pada 1 Maret
1983 (Basalamah & Rizal, 2018: 138). yang sepenuhnya menawarkan produk dan
layanan perbankan syariah. Ini akan tetap untuk waktu 10 tahun (Thani, et.al,
2010: 103). Pada periode inilah perbankan syariah di Malaysia berada pada tahap
awal dan tahap percobaan dan partisipasi dari non-muslim pada perbankan syariah

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
48 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho

sangat minim. Beberapa tahun kemudian, Bank Muamalat Malaysia Berhard


berdiri yaitu pada tahun 1999 (Basalamah & Rizal, 2018: 138).
UU IBA 1983 telah memberikan kewenangan besar kepada Bank Negara
Malaysia (BNM) untuk melakukan supervisi dan regulasi bank syariah. Adapun
isi IBA 1983 mengatur tentang perizinan dan peraturaan mengenai pengelolaan
dan operasional bisnis perbankan syariah. Selain itu, UU tadi juga mangatur
tentang syarat-syarat keuangan dan tugas bank syariah, kepemilikan serts kontrol
bank syariah, batasan-batasan bank syariah dan kekuatan supervise dan control
terhadap bank syariah (Islamic Bank Act (IBA), 1983).
Selanjutnya Bank Negara Malaysia (BNM) memperkenalkan suatu bentuk
skema “Skema Perbankan tanpa Bunga” (Interest Free Banking Scheme). Dalam
kebijakan yang sering disebut sebagai “Islamic Window” yang mana berdampak
pada diizinkannya bank komersial, bank dagang maupun perusahaan keuangan
untuk menawarkan produk dan layanan perbankan syariah. Hal ini sangat sukses
karena lebih banyak masyarakat muslim maupun non muslim yang berpartisipasi
dalam perbankan syariah (Thani, et.al, 2010: 245). Yang selanjutnya
menghilangkan persepsi bahwa perbankan Islam hanya untuk masyarakat
beragama Islam. Diantara bank komersial yang menerapkan Islamic Window
adalah HSBC Bank Malaysia Berhard, OCBC Bank Malaysia Berhard, dan
Standard Chartered Bank Malaysia Berhard.
Selain IBA 1983 dan BAFIA 1989, Central Bank Act (CBA) 1958 yang
selanjutnya pada tahun 2009 diterbitkan Central Bank Act yang baru sebagai
pengganti CBA 1958 juga sangat berkontribusi dalam pengembangan perbankan
syariah di Malaysia terkhusus perihal regulasi, supervisi dan monitoring
pelaksanaan bank syariah. Adanya perubahan atas CBA 1958 ini juga usaha
dalam penyempurnaan dan pengembangan pasal sesuai dengan kondisi
perkembangan perbankan dan keuangan (Rama, 2015: 116).
Lebih lanjut, pengesahan Bank Central Act tahun 2009 juga memberikan
kejelasan yang lebih besar mengenai peran Dewan Penasehat Shariah Nasional
sebagai otoritas tertinggi dan pusat untuk segala masalah dan pertanyaan
perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah dan juga pengadilan hukum.
Dan berdasarkan BCA 2009, keputusan apapun yang dibuat oleh Dewan
Penasehat Syariah Nasional akan mengikat lembaga keuangan syariah, pengadilan
dan arbiter (Kunhibava, 2012: 4).
Perkembangan yang lebih baru oleh Bank Central Malaysia yaitu melayani
perbaikan tata kelola (kerangka kerja) syariah lembaga keuangan syariah (Islamic
Financial Institution) di Malaysia. Di bawah kerangka ini merupakan sebuah
tugas dan tanggug jawab IFI dalam membangun tata kelola syariah yang sehat dan
kuat. Ini bertujuan untuk meningkatkan peran Dewan Direksi, Dewan Penasehat
Syariah, dan Manajemen dalam kaitannya mengenai permasalahan syariah,
termasuk meningkatkan organ-oragan kunci yang relevan yang mepunyai

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Perkembangan Bank Syariah di Asia Tenggara… | 49

tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi kepatuhan dan penelitian


syariah (http://www.bnm.gov.my)
Selain itu, salah satu momentum penting dalam upaya menguatkan sekaligus
harmonisasi aspek regulasi sistem keuangan syariah di Malaysia adalah
dikeluarkannya undang-undang baru yang bernama Islamic Financial Services
(IFSA) Act pada tahun 2013 dan Financial Services Act di tahun yang sama.
Kedua UU ini menggantikan BAFIA 1989, IBA 1983, dan Takaful Act 1984.
Aturan ini menempatkan pemberian mandat kepada BNM untuk memberlakukan
kebijakan yang fair, bertanggungjawab dan professional kepada para pelaku
lembaga keuangan (Rama, 2015: 116).
Setelah 10 tahun anak perusahaan yang berlandaskan Islam mulai muncul
seiring dengan diperkenalkannya RHB Islamic Berhad, dan Hong Leong Islamic
Berhad yang diluncurkan pada tahun 2005. Anak perusahaan ini didirikan oleh
oleh bank komersial domestik dan dilisensikan sebagai bank syariah dibawah IBA
1983 (Sjahdeini, 2014: 79). Dalam periode yang sama bank-bank syariah asing
yang ada di Malaysia diberi izin untuk melakukan praktik perbankan syariah di
Malaysia. Bank-bank Islam asing ini termasuk di dalamnya, Kuwait Finance
House, Bank Al-Rajhi dan Asian Finance House (Thani, et.al, 2010: 101-102).
Saat ini, terdapat lebih dari 17 bank syariah lokal dan 5 bank Islam Internasional
yang telah beroperasi di Malaysia. Sementara terdapat 15 bank yang berpartisipasi
dalam mengembangkan skema perbankan syariah.

Perkembangan Perbankan Syariah di Brunei Darussalam


Brunei Darussalam adalah Negara dengan sistem kesultanan Islam
independen yang terletak di pantai utara pulau Kalimantan. Gaya hidup di Brunei
sangat kental dengan mendasarkan pada agama. Negara ini bersih dari club
malam, tidak memperbolehkan konsumsi alcohol di restoran dan tempat umum,
dan kehalalan makanan dijamin oleh departemen pemerintahan yang berwenang.
Dilihat dari gaya kehidupan yang diterapkan seperti konsep utama Melayu Islam
Beraja (MIB) atau Monarki Islam melayu akan dipertahankan dan ditegakkan oleh
kesultanan. Oleh karena itu tidak heran bahwa sultan Brunei memutuskan untuk
meluncurkan bank Islam pertama di Brunei. Bank ini memberikan warga Brunei
langkah besar menuju kehidupan yang berlandaskan syariah. Bank Islam tidak
hanya menghapus elemen riba atau interest tetapi juga memberikan fondasi sosio-
ekonomi yang lebih baik untuk Negara (Latiffin Ali& Ahmad,(n.d): 277-278).
Bank pertama di Brunei berdiri pada tahun 1935 dengan nama Post Office
Saving Bank yang telah berdiri sebelum masa kolonialisasi Inggris di Brunei.
Selanjutnya pada masa kolonialisasi Inggris turut didirikan pula bank lain seperti
Bank Hongkong & Shanghai pada sekitar tahun 1940-an. Bank-bank ini didukung
sepenuhnya oleh Inggris dengan menggunakan sistem perbankan konvensional
yang didasarkan pada hukum Inggris (British Law). Beberapa bank yang
selanjutnya berdiri adalah Malaya Banking (1960), United Malayan Banking
Corporation (1963), National Bank of Brunei (1964), Citibank (1971), Islamic

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
50 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho

Developmant Bank (1980), Baiduri Bank (1992), Tabung Amanah Islamic Brunei
(1992), dan Development Bank of Brunei (1995). Dan pada pertengahan tahun
1980-an, Bank National of Brunei menggabungkan diri dengan Island
Development Bank (IDB) dengan nama International Bank of Brunei. Bank ini
merupakan satu-satunya bank local yang berdiri di Brunei pada saat itu (Ebrahim,
2001: 327)
Sultan Brunei selanjutnya memulai pembentukan bank Islam di Brunei.
Dalam pidato kerajaan di Pertemuan Dewan Agama Islam yang diselenggarakan
pada bulan September 1990, ia menekankan bahwa pendirian bank Islam adalah
penting karena ini kewajiban 'fard kifayah' untuk setiap negara Muslim dan
Negara Brunei Darussalam. Perintah ini memprakarsai awal dari lebih banyak
pertemuan yang diselenggarakan oleh Dewan Agama Islam yang menghasilkan
pembentukan komite yang dikenal sebagai Pembentukan Komite Bank Islam
(Latiffin Ali & Ahmad, (n.d): 277-278). Pada tahun 1993, Bank Internasional
Brunei menggati nama menjadi Bank Islam Brunei untuk mengelola urusan
keuangan masyarakat sesuai dengan cita-cita luhur Islam.
Bank-bank di Brunei Darussalam dipantau oleh Undang-Undang Perbankan
dan Keuangan dan Undang-undang Perusahaan melalui Departemen Keuangan.
Tidak ada bank nasional di Brunei tetapi tugas pemantauan berada di bawah
yurisdiksi Moneter Keuangan melalui Dewan Mata Uang Brunei, Departemen
Layanan Keuangan dan Badan Investasi Brunei. Dari semua bank Brunei, hanya
Bank Islam Brunei (IBB) dan Tabung Amanah Islam Brunei (Islamic Trust Fund
of Brunei) yang menawarkan layanan perbankan Islam, sementara yang lain
menawarkan jasa keuangan berdasarkan praktik perbankan konvensional
(Mohammad, et.al, 2013: 7).
Komitmen pertama Brunei yang signifikan untuk mengembangkan sistem
Islam yang lengkap dimulai pada bulan September 1992, hal ini dinyatakan
dengan pembukaan resmi Tabung Amanah Islam Brunei (TAIB) yang
menggantikan International Bank Of Brunei (IBB) (Sjahdeini, 2014:83)
Islamic Development Bank Berhad (IDBB) pada awalnya didirikan sebagai
bank konvensional pada Maret 1995, kemudian dikenal sebagai Bank
Pembangunan Brunei (DBB), sebuah lembaga perbankan yang sepenuhnya milik
pemerintah. Pada tanggal 4 April 2000, Sultan menginstruksikan bank untuk
beroperasi sesuai prinsip-prinsip Islam (Latiffin Ali& Ahmad,(n.d): 282).
Hingga kini, terdapat tiga belas tahun sejak lembaga keuangan Islam pertama
didirikan di Brunei. Selama periode ini dapat disaksikan pertumbuhan yang pesat
sebagaimana terbukti dengan jumlah cabang yang telah dibuka di seluruh penjuru
Brunei (Latiffin Ali& Ahmad,(n.d): 284)

Perkembangan Perbankan Syariah di Singapura


Singapura adalah Negara dengan sistem ekonomi campuran antara kapitalis
dan sosialis, dan untuk memperluas jaringan kerjasama ekonomi Singapura

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Perkembangan Bank Syariah di Asia Tenggara… | 51

tertarik dengan Foreign Direct Invesment (FDI), Sovereign Wealth Fund (SWF),
dan Petrodolar. Hal ini lah yang kemudian menjadi faktor yang menyebabkan
keseriusan yang lebih bagi pemerintah Singapura untuk memantau perkembangan
sistem ekonomi Islam (Mardiah, 2016: 4-5).
Dukungan terhadap sistem perbankan dan keuangan syariah di Singapura
datang dari Menteri Senior Goh Chok Tong pada November 2004. Ia berjanji
untuk meningkatkan status Singapura sebagai Pusat Jasa Keuangan Syariah
(center for Islamic Financial Services). Selanjutnya pada bulan Maret 2005,
Perdana Menteri Singapura mengemumkan rencana perubahan undang-undang
(amandemen) untuk mempermudah setiap bank untuk menawarkan produk dan
jasa keuangan syariah. Pemerintah juga akan merivisi peraturan yang
menghambat suatu bank untuk menawarkan produk syariah (Mohammad, et.al.,
(n.d): 10)
beberapa langkah yang dilakukan untuk mendukung adalah dengan
memasukkan penghapusan pengenaan bea materai ganda transaksi-transaksi
syariah yang melibatkan real estate dan juga akan terjadi pada penyelesaian
pembayaran obligasi syariah yang perlakuannya sama dengan pajak yang
diberikan untuk bunga yang timbul dari keuangan konvensional. Selain itu,
pemerintah telah memulai serangkaian penandatanganan perjanjian perdagangan
bebas dengan sejumlah Negara timur tengah dan Negara-negara teluk (Venardoz,
2005: 216).
Secara umum kerangka regulasi yang dikembangkan di Singapura terkait
dengan industri perbankan dan keuangan syariah adalah memperlakukan secara
sama dengan industri perbankan dan keuangan secara umum. Kerangka regulasi
yang bersifat fleksibel ini disebabkan jumlah penduduk muslim dan perbankan
syariah yang belum terlalu dominan, semua aktivitas bisnis perbankan di
Singapura, baik konvensional maupun syariah, diatur oleh undang-undang
perbankan (Banking Act) di bawah pengawasan Monetary Authority of Singapore
(MAS). Seiring dengan perkembangan sistem keuangan syariah di Singapura
maka dibutuhkan regulasi yang mengaturnya selain dari undang-undang yang
sudah ada. Pada tahun 2008, MAS menerbitkan sebuah garis perunjuk (guidlines)
dengan nama Guidelines on the Application of Banking Regulation to Islamic
Banking .Guidelines ini bertujuan untuk menyediakan petunjuk bagi bank tentang
peraturan bank syariah di Singapura, terutama tentang kerangka petunjuk bagi
lembaga keuangan yang berkeinginan untuk membuka produk dan jasa keuangan
syariah (Sjahdeini, 2014:74)
Sistem ekonomi Islam terbukti cukup berhasil di terapkan oleh Singapura, hal
ini dibuktikan dengan didirikannya Islamic Bank of Asia pada tahun 2007
(Sjahdeini, 2014:74). Selanjutnya perbankan syariah memang semakin
berkembang, hal ini ditandai dengan kemunculan bank syariah internasional
maupun bank konvensional yang mendirikan cabang khusus syariah maupun
layanan perbankan syariah seperti bank DBS, Maybank, HSBC Amanah, OCBC

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
52 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho

Bank dan Noor Islamic Bank (Mardiah, (n.d): 6). Lembaga keuangan syariah
lainnya yang telah membuka kantor di Singapura adalah Arcapita dan Al-Salam
Bank-Bahrain.

Perkembangan Perbankan Syariah di Filipina


Filipina adalah Negara yang tergabung didalam organisasi ASEAN dengan
mayoritas penduduknya adalah Kristen, bahkan jumlahnya lebih dari 80%,
sementara jumlah umat Islam hanya mewakili 8.5% dari total jumlah populasi
penduduk disana yang jumlahnya sekitar 6 juta orang. Muslim Filipina dikenal
dengan sebutan Moros, atau hanya disebut moor ini terjadi ketika Filipina berada
dibawah pendudukan Spanyol pada tahun 1565. Dan pada 1898, Spanyol
menyerahkan Filipina ke Amerika Serikat dibawah perjanjian Paris. Pemerintah
Filipina sedang mempertimbangkan kemungkinan pengenalan bank-bank yang
beroperasi di bawah prinsip-prinsip Islam untuk menyediakan layanan perbankan
bagi seluruh masyarakat muslim khususnya yang tinggal di bagian Mindanau
(Rama, 2015: 122)
Bank Islam di Filipina diatur oleh undang-undang khusus (bukan hukum
perbankan umum) sebagaimana diatur dalam pasal 71 Undang-undang Republik
No. 8791 (undang-undang yang memberikan peraturan organisasi dan operasi
bank, kuasi bank, Entitas Trust dan keperluan lain) (Ibrahim, Omar & Hamdan,
2018: 146). Bank Islam pertama di Filipina adalah Bank Amanah Filipina (PAB)
didirikN pada tanggal 2 Agustus 1973 sebagai lembaga pemerintah khusus
dibawah presiden Filipina Ferdinand Marcos dengan modal yang diberikan
sebesar 100 juta Peso. Perwujudan PAB adalah tanggapan kerajaan yang terjadi
karena pemberontakan oleh Muslim di Filipina selatan (Mindanau)
(http://documents.worldbank.org).
Pada tahun 1974, AAIIBP diarahkan untuk menerapkan model perbankan dan
pembiayaan Islam yang menngunakan prinsi “tanpa bunga” dan mekanisme
kemitraan.Kemudian pada tahun 1990, PAB berubah bank syariah yang universal
berdasarkan penandatanganan Republic Act No. 6848 yang biasa disebut
Chartered of Al-Amanah Islamic Invesment Bank of The Philippines (AAIIBP).
Selanjutnya AAIIBP berganti nama menjadi AIB, Mandat AIB adalah untuk
mempromosikan dan mempercepat pembangunan sosial-ekonomi wilayah
otonomi Muslim Mindanau melalui sistem perbankan, pembiayaan, dan
partisipasi pada pertanian, perdagangan dan industri berdasarkan konsep
perbankan syariah (http://www.amanahbank.gov.ph). Pada tahun 1989 AAIIBP
kembali disewa dan dikapitalisasikan kembali berdasarkan Undang-undang
Republik No. 6848, dengan modal 1 miliar peso. Pemerintah Filipina berusaha
untuk memprivatisasi AIB pada tahun 2000 setelah mengalami kerugian pada
pertengahan tahun 1990-an (Ibrahim, Omar&Hamdan, 2018: 147).
Bagaimanapun Bank Islam ini tidak beroperasi penuh sebagai bank syariah
yang mana disaat yang bersamaan masih mempraktekkan kepentingan sistem

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Perkembangan Bank Syariah di Asia Tenggara… | 53

perbankan. Mereka juga memiliki pertimbangan bahwa perbankan Islam dalam


preposisi perbankan yang sangat beresiko (Mohammad, et.al, 2013: 6).

Perkembangan Perbankan Syariah di Thailand


Keuangan syariah telah hadir di Thailand sejak tahun 1984 dalam bentuk
tabungan koperasi dengan nama Pattani Saving Cooperative dengan tujuan untuk
mengumpulkan dana-dana dari masyarakat khususnya yang tinggal di bagian
selatan Thailand. Koperasi ini berdiri berdasarkan Undang-undang koperasi
(Corporative Act), Thailand Muamalat Law 1968 dalam kategori Tabungan
Koperasi dan dibawah pengawasan Lembaga Islam (Islamic Council) provinsi
Pattani. Selanjutnya pada tahun 2004, terdapat 4 koperasi tabungan syariah berdiri
di wilayah muslim tersebut, yaitu koperasi Tabungan Ibnu Affan, Koperasi
Tabungan As-Siddiq, Koperasi Tabungan Saqaffah dan Koperasi Tabungan Al-
Islamiah (Rama, 2015: 124).
Pada tahun 2001, Khrung Thai Bank merupakan bank pertama yang membuka
cabang Syariah. Bank ini berhasil menumbuhkan satu sistem perbankan Syariah
yang dinamakan Krung Thai Syariah (syariah banking service) pada daerah yang
berpenduduk muslim. Adapun beberapa produk yang ditawarkan adalah
Simpanan atau tabungan, pembiayaan dan pinjaman yang berbentuk Murobahah,
Mudhorobah, Bae’ Bit Tsaman dan juga pembiayaan tabung haji dan
umroh.Setelah berjayanya perbankan Islam pada Bank Krung Thai ini, dan
akhirnya berpindah menjadi Bank Islam Thailand pada November 2005 (Hasan,
2006).
Setelah banyaknya bank pemerintah yang menawarkan produk keuangan
syariah (Islamic window), muncul aspirasi untuk mendirikan sebuah bank yang
sepenuhnya beroperasi sesuai syariah (full fledged Islamic bank) dan juga legal
berdasarkan hukum Thailand. Sebagai respon, pemerintah meminta Menteri
Keuangan Thailand untuk menyusun draf undang-undang tentang perbankan
syariah yang akan diusulkan ke kabinet pada bulan Oktober 2002. Hasilnya, pada
tahun 2002, parlemen Thailand mengesahkan undang-undang perbankan syariah
dengan nama “The Islamic Bank of Thailand Act”. UU ini menjadi dasar hukum
berdirinya bank Islam pertama dengan nama Bank Islam Thailand (Islamic Bank
of Thailand) (Sjahdeini, 2014: 94).
Bank Islam pertama ini dikontrol langsung oleh Kementerian Keuangan
Thailand. Bank Islam Thailand ini mendapatkan dana dari pemerintah Thailand
sebesar 1 miliar Bath berpusa di Klongton. Bank ini terus mengalami ekspansi
cabang khususnya di Bangkok dan provinsi bagian selatan dan diakhir tahun 2005
bank ini telah memiliki 9 kantor cabang (http://www.ibank.co.th/2010/en).
Ekspansi bisnis bank Islam Thailand terus dilakukan melalui akuisisi layanan
perbankan syariah bank Krung Thai pada bulan November 2005. Saat ini, Bank
Islam Thaland (IBank) sebagai bank milik pemerintah telah memiliki 130 kantor
cabang yang tersebar di seluruh wilayah Thailand (Rama, 2015: 125).

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
54 | Mohammad Ghozali, Muhammad Ulul Azmi & Wahyu Nugroho

Kesimpulan
Asia Tenggara dengan sejumlah Negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam memang menjadi perhatian internasional mengenai kaitannya
dengan perkembangan keuangan Islam. Kemampuan industri keuangan Islam di
wilayah ini dalam menghadapi krisis mata uang Asia pada akhir 1990-an dan
krisis keuangan global ini setidaknya memunculkan pengakuan akan pentingnya
posisi wilayah ini dalam percaturan industri yang berkembang ini. Pertumbuhan
yang pesat dan stabil juga menjadikan Asia Tenggara sebagai bagian penting
dalam keuangan Islam global.
Negara di Kawasan Asia Tenggara yang telah mengoperasikan Perbankan
syariah adalah Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Philipina dan
Singapura. Walaupun fase yang dialami berbeda-beda, pertumbuhan dan
perkembangan perbankan syariah sangat menggembirakan dan cukup
menjanjikan. Secara global, perbankan syariah di Asia Tenggara menduduki
peringkat kedua di dunia dalam hal asset terbesarnya. Dan kedudukan perbankan
syariah di Asia Tenggara sangat diperhitungkan di seluruh dunia.
Tantangan yang terbesar yang akan dihadapi oleh Negara-negara Asia
Tenggara dalam mengembangkan sistem keuangan syariah yang terintegrasi yaitu
adanya kesenjangan pada kualitas perkembangan keuangan syariah pada setiap
Negara-negara yang menerapkannya. Dan demi membangun kawasan keuangan
berbasis syariah yang kuat dan terintegrasi maka diperlukan adanya kerjasama
diantara pihak-pihak yang terkait. Dan yang menjadi syarat terpenting adanya
integrasi keuangan syariah adalah terjadinya harmonisasi regulasi diantara Negara
yang bersangkutan.

Daftar Pustaka

Basalamah, Muhammad Ridwan, Rizal, Muhammad, (2018), Perbankan Syariah,


Malang: Empatdua Media.
Ebrahim, M. Shahid, (2001), Islamic Banking in Brunei Darussalam, International
Journal of Social Economics, Vol.28 No.4.
Hasan, Arphandee, (2006), “Pelaksanaan Mudharabah di Krung Thai Bank Public
Company Limited, Wilayah Yala, Thailand: Analisa menurut Perspektif
Islam”, (Disertasi Sarjana Syariah, Jabatan Fiqh dan Ushul, Bagian
Pengajian Syariah, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.
Ibrahim, Hasmiene Diocolano, et.al, (2018), Critical Financial Analysis of Islamic
Bank in the Philippines: Case Study of Amanah Islamic Bank, GJAT,
January.
Institut Bankir Indonesia (2001), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Islamic Bank Act (IBA), 1983

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Perkembangan Bank Syariah di Asia Tenggara… | 55

Ketell, Brian, (2011), The Islamic Banking and Finance Workbook, United
Kingdom: John Wiley & Sons.
Kunhibava, Sherin, (2012), Islamic Banking in Malaysia, International Journal of
Legal Information, Spring-Summer.
Latiff, Salma Hj Abdul, Islamic Banking in Brunei and The Future Role of Centre
For Islamic Banking, Finance and Management (CIBFM), Islamic Banking
and Finance Fundamentals and Contemporary Issues by Syed Ali dan
Ausaf Ahmad.
Mannan, M. A., (1997), Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastngin,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mardiah, Nur Hilda, (2016), Kepentingan Ekonomi Politik Singapura Dalam
Menerapkan Sistem Ekonomi Islam, JOM FISIP, Vol. 3, No. 2, Oktober.
Mohammad, Muhammad Taqiuddin, et.al, (2013), The Historical Development of
Modern Islamic Banking: A study in South-East Asia Country, Academic
Journals, 1 November.
Muhammad, (2004), Bank Syariah, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia.
Nugroho, Any, (2015), Hukum Perbankan Syariah, Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Pooprasert, Ruengrit, Chaiyasri, Anaknong, (2012), Islamic Finance in Thailand:
Prospects and Challenges, IFN Islamic Finance, January.
Prasetyo, Luhur, (2010), Undang-undang Perbankan Syariah, Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press.
Rama, Ali, (2015), Analisis Deskriptif Perkembangan Perbankan Syariah Di Asia
Tenggara, The Journal of Tauhidinomics, Vol. 1, No. 2.
Sjahdeini, Sutan Remy, (2014), Perbankan Syariah Produk-Produk dan Aspek-
Aspek Hukumnya, Jakarta: Prenadamedia Group.
Sukirno, Sadono, (1996), Pengantar Teori Makroekonomi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,.
Thani, Nik Norzul, et.al, (2010), Law and Practice of Islamic Banking and
Finance, 2nded, Petaling Jaya: Sweet & Maxwell Asia.
Umam, Khaerul, (2013), Manajemen Perbankan Syariah, Bandung: Pustaka Setia.
Venardoz, M. Angelo, (2005), Islamic Banking and Finance in South-East Asia:
Its Development and Future, Singapore: World Scientific Publishing,.
Wirdyaningsih, (2005), Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Media Group.
http://documents.worldbank.org/curated/en/748841468087856489/pdf/106382-
WP-P153163-PUBLIC.pdf hal 4 diakses pada tanggal 17 November 2018
http://www.bnm.gov.my/guidelines/05_shariah/02_Shariah_Governance_Framew
ork_20101026.pdf diakses pada tanggal 5 Januari 2019.
http://www.amanahbank.gov.ph/about-the-bank/history, diakses pada tanggal 11
November 2018
http://www.ibank.co.th/2010/en/about/about_detail.aspx?ID=1 diakses pada
tanggal 11 November 2018

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
98 | Jielend Ariandhini

Pengaruh Corporate Governance terhadap


Profitabilitas Bank Umum Syariah (BUS)
Indonesia Periode 2011-2016

Jielend Ariandhini

Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam


Universitas Muhammadiyah Malang

Email: jielend1995@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of Corporate Governance


(CG) as measured by the composition of the board of commissioners,
the composition of the board of directors, the composition of the audit
committee and the composition of the syariah supervisory board on the
profitability of sharia commercial banks as measured by Return On
Assets (ROA). The Method of this research is quantitatif by using
secondary data with documentation technique. The population used in
this study is all sharia commercial banks, based on the financial
statements of each bank. The observation period in this research is from
2011 to 2016. The sampling technique is done by purposive sampling
method. There are 5 banks, namely Bank Muamalat, Bank Sharia
Mandiri, Bank Negara Indonesia Sharia, Bank Rakyat Indonesia Sharia,
Bank Central Asia Sharia. Data analysis technique used in this research
is panel regression. The results showed that independent variables of
board of commissioner and syariah supervisory board have no
significant effect on financial performance measured by Return on
Asset (ROA). The independent variable of the board of directors has a
positive and significant impact on the financial performance measured
using Return on Assets (ROA), and the audit committee independent
variable has a negative and significant effect on the financial
performance measured using Return on Assets (ROA).

Keywords: Corporate Governance, Islamic Bank, Syariah Supervisory,


Return on Asset.

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Peningkatan Komitmen... | 99

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Corporate


Governance (CG) yang diukur dengan komposisi dewan komisaris,
komposisi dewan direksi, komposisi komite audit dan komposisi
dewan pengawas syariah terhadap profitabilitas bank umum syariah
yang diukur dengan Return On Asset (ROA). Metode Penelitian ini
adalah menggunakan data sekunder dengan teknik dokumentasi.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh bank
umum syariah, berdasarkan laporan keuangan pada setiap bank
tersebut. Periode pengamatan dalam penelitian ini adalah dari tahun
2011 sampai tahun 2016. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan metode purposive sampling.Total sebanyak 5 bank, yaitu Bank
Muamalat, Bank Mandiri Syariah, Bank Negara Indonesia Syariah,
Bank Rakyat Indonesia Syariah, Bank Central Asia Syariah. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi panel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel independen dewan
komisaris dan dewan pengawas syariah tidak berpengaruh signifkan
terhadap kinerja keuangan yang diukur menggunakan Return On Asset
(ROA). Variabel independen dewan direksi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja keuangan yang diukur menggunakan
Return On Asset (ROA), dan variabel independen komite audit
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan yang
diukur menggunakan Return On Asset (ROA).

Kata Kunci: Corporate Governance, Komposisi Dewan Komisaris,


Komposisi Dewan Direksi, Komposisi Komite Audit, Komposisi
Dewan Pengawas Syariah, Return On Asset.

1. Pendahuluan
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan sistem
perbankan Indonesia mengakui keberadaan bank syariah dan memberikan
kesempatan untuk beroperasi, hal ini dilihat dari disetujuinya UU No.10 Tahun
1998. Undang-undang inilah secara tegas membedakan bank berdasarkan prinsip
konvensional serta bank berdasarkan prinsip syariah (Maradita, 2014: 192).
Pendirian bank syariah telah mendorong sektor industri keuangan syariah lainnya
seperti lembaga akademik, rumah sakit dan komunitas masyarakat yang peduli
dengan perkembangan industri keuangan syariah. Dukungan pemerintah semakin
terlihat yaitu telah diterbitkannya UU No.21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah. Pemerintah juga mendirikan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS)
pada tahun 2015 langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, ini menunjukkan
pemihakan yang jelas pemerintah terhadap bank syariah. KNKS ini diharapkan

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
100 | Jielend Ariandhini

menjadi pilar penting tumbuhnya industri keuangan syariah pada masa


mendatang.
Bank syariah telah 26 tahun beroperasi, semakin bertambah di pasar keuangan.
Jumlah bank syariah saat ini tercatat 196 unit, terdiri atas 13 Bank Umum Syariah
(BUS), 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 160 Bank Perkreditan Rakyat (BPRS).
Perbedaan ketiganya yaitu, BUS adalah bank syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa melalui lalu lintas pembayaran, UUS adalah unit kerja dari
kantor pusat bank umum konvensional yang sebagai kantor induk dari kantor atau
unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan BPRS
yaitu dalam kegiatnnya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
(https://www.syariahbank.com), sehingga digunakan BUS karena sudah
melakukan spin-off dari bank konvensional (http://aceh.tribunnews.com).
Indonesia pernah mengalami krisis keuangan pada tahun 1997, merusak
perekonomian Indonesia khususnya dunia perbankan menyebabkan penurunan
kinerja perbakan nasional, berbagai penelitian menyebutkan bahwa krisis
ekonomi yang hebat yang melanda Indonesia terjadi karena buruknya penerapan
Corporate Governance di Indonesia. Akar penyebab timbulnya krisis ekonomi di
Indonesia dan juga di berbagai negara ASIA salah satunya adalah buruknya
pelaksanaan Corporate Governance hampir semua perusahaan yang ada, baik
perusahaan yang dimiliki pemerintah (BUMN) maupun yang dimiliki pihak
swasta. Konferensi pers ISCA (Indonesian Corporate Secretary Association)
memberikan pernyataan kenapa sampai saat ini penerapan Corporate Governance
(CG) belum maksimal, karena lembaga-lembaga yang terkait belum sepenuhnya
mendukung terciptanya tata kelola Indonesia yang lebih baik. ISCA adalah salah
satu organisasi yang peeduli terhadap terciptanya tata kelola Indonesia yang lebih
baik (http://bisnisupdate.com).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pertumbuhan aset
perbankan syariah pada akhir 2017 mengalami kenaikan sebesar 24.4% menjadi
Rp 379.7 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2016
(https://www.erhaje88.com). Tingkat kinerja keuangan perbankan dilakukan
untuk menganalisis rasio keuangan berpengaruh pada kesehatan perbankan,
dilihat tingkat profitabilitas seberapa besar yang dihasilkan perusahaan (Sholihin,
2010: 556). Rasio yang digunakan dalam mengukur rasio profitabilitas yaitu
Return On Asset (ROA), karena ROA adalah rasio yang menggambarkan
kemampuan atau produktivitas bank dalam mengelola dana yang diinvestasikan
seluruh aktivanya untuk menghasilkan keuntungan (Muhammad, 2015: 254).
Corporate Governance (CG) dapat mempengaruhi kinerja perbankan yaitu
terungkap pada wawancara dengan para direktur perbankan, menyatakan bahwa
perbankan yang menjunjung nilai disiplin pasar dan tata kelola perusahaan yang
baik akan lebih sehat, lebih dipercaya serta memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dalam berbagai masalah (http://www.beritasatu.com).

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Peningkatan Komitmen... | 101

Peranan pemerintah dalam peningkatan Corporate Governance khususnya


pada perbankan syariah dilakukan dengan menetapkan kebijakan melalui Bank
Indonesia yang tercantum di Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
8/4/PBI/2006 tentang CG bagi bank umum sudah tidak berlaku lagi pada
perbankan syariah, telah diperbarui yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/33/PBI/2009 tentang CG bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Pelaksanaan CG diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia
Internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk berkembang baik
dan sehat (Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.11/33/PBI/2009). Corporate
Governance (CG) adalah salah satu hal yang penting dilakukan oleh perusahaan
sebagai suatu tanggung jawab kepada stakeholder. CG juga menetapkan
hubungan pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
pemegang saham internal dan eksternal atau sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan juga sebagai sarana untuk menentukan teknik
monitoring kinerja (mengawasi kinerja) (Sriwedari, 2012). Kelima sudut pandang
tersebut penelitian ini fokus pada pengurus atau pengelola CG. Selain itu, posisi
dewan direksi sebagai pimpinan perusahaan bertugas dan bertanggungjawab
dalam mengelola perusahaan, dewan komisaris memastikan bahwa manajemen
telah bekerja dengan baik. Komite audit dipercayai dalam proses penyusunan
laporan keuangan dan menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan serta
terlaksananya CG. Dewan pengawas syariah mempunyai tugas utama untuk
mengawasi operasional bank syariah sehari-hari agar sesuai dengan petunjuk dan
ketentuan-ketentuan syariat Islam (Sunarwan, 2015: 5-6).
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejauh mana tingkat keberhasilan
perbankan syariah dalam menerapkan Corporate Governance serta pengaruhnya
terhadap kinerja keuangan Bank Umum Syariah (BUS) Periode 2011-2016.

2. Tinjauan Pustaka
Sutedi, (2012); Erfiza (2014); Adestian (2015), menyatakan bahwa komposisi
anggota dewan komisaris yang banyak maka pengawasan terhadap dewan direksi
menjadi jauh lebih baik, nasihat dan masukan untuk dewan direksi pun menjadi
lebih banyak, sehingga dapat meningkatkan kinerja perbankan. Sementara
menurut Addiyah (2014), menyatakan bahwa kebijakan dewan direksi dapat
mempengaruhi keuangan BUS secara signifikan dan memiliki dampak terhadap
anggaran, sumber daya manusia serta struktur organisasi (Usman, 2012: 273). Hal
senada juga dinyatakan oleh Kartika (2014) dan Adestian (2015). Sementara
Kartika dan Erfina (2014) menyatakan baha Komposisi Dewan Pengawas Syariah
(DPS) tidak berpengaruh terhadap profitabilitas BUS yang diukur menggunakan
ROA. Artinya setiap peningkatan atau penurunan DPS tidak akan berpengaruh
terhadap ROA pada BUS.

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
102 | Jielend Ariandhini

2.1. Bank Syariah


Lembaga keuangan atau perbankan yang memberi pembiayaan dan jasa-jasa
lainnya dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang serta pengoperasiannya
didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yakni mengacu pada ketentuan Al-Quran
dan Al-Hadits dan juga aktivitas meninggalkan riba dan tidak mengandalkan
bunga (Laksmana, 2009: 10). Dalam konteks corporate governance, perbedaan
antara Bank syariah dan bank konvensional adalah keberadaan Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang bersifat independen dan kedudukannya sejajar dengan Dewan
Komisaris. Tugas utama DPS adalah melakukan pengawasan pada bank syariah
yang mengacu fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) serta norma-norma syariah
menyangkut operasionalisasi bank, produk bank islam dan moral manajemen.

2.2. Corporate Governance (CG)


Corporate Governance (CG) atau tata kelola perusahaan merupakan definisi
teknis dalam praktik ekonomi yang telah menjadi bahasa pemerintahan. Kalimat
Corporate Governance ini dikenalkan di publik Indonesia ketika tahun 1997-an
perusahaan-perusahaan besar di Indonesia ambruk, yang disebabkan tidak
patuhnya manajemen perusahaan terhadap prinsip-prinsip CG (Laksmana, 2009:
10).
Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (Abdullah, 2010: 131). Sementara direksi
bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan bank umum syariah
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah serta berkewajiban untuk
mengelola bank umum syariah. Menurut Effendi, komite audit mempunyai fungsi
membantu dewan komisaris dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan fungsi pengendalian seperti audit
internal, kepatuhan, dan manajemen risiko antara lain dimaksudkan untuk
membantu tugas pengendalian bank umum syariah (Effendi, 2016: 63).
Corporate Governance (CG) dalam pendekatan Islam, harus sungguh-
sungguh mampu berbasis orientasi nilai dan prinsip kejujuran dan keadilan
terhadap semua pemangku kepentingan, dari sisi fungsi obyektifnya CG islami
harus mengupayakan untuk kepentingan umum atau kemaslahatan umat atau
disebut sebagai maqhashid al-syariah mencakup lima prinsip dasar: memelihara
agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda (Abdullah, 2010: 57).

3. Metode Penelitian
Objek penelitian ini mengenai pengaruh corporate governance terhadap
profitabilitas bank umum syariah di Indonesia periode 2011-2016. Jenis penelitian
dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Populasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seluruh bank umum syariah yang terdapat di Indonesia pada

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Peningkatan Komitmen... | 103

tahun 2011-2016. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Penelitian ini menggunakan data sekunder. Teknik ini
menggunakan teknik dokumentasi yaitu teknik untuk memperoleh data dengan
cara mengumpulkan, mempelajari dan mengolah data. Teknik analisis data
penelitian ini adalah data panel dari tahun 2011-2016 serta perbandingannya antar
bank. Data panel adalah data yang mempunyai dua dimensi yaitu individu (cross-
section) dan waktu (time series), dimana setiap unit cross-section (individu)
diulang dalam beberapa periode waktu.

4. Pembahasan
4.1. Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris terhadap Profitabilitas BUS
Berdasarkan hasil pengujian data, bahwa komposisi dewan komisaris
berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas BUS yang diukur
menggunakan ROA. Artinya setiap peningkatan atau penurunan dewan komisaris
akan berpengaruh terhadap ROA pada BUS, dewan komisaris memegang peranan
penting dalam implementasi CG, serta merupakan inti dari corporate governance
yang bertugas untuk menjamin pelaksanaan strategi, mengawasi manajemen
dalam mengelola bank serta mewajibkan terlaksananya akuntanbilitas.

Tabel 1.1
Nilai Hasil Uji F
Uji F
Variabel F-Stat Prob Keputusan
(x1,x2,x3,x4) 3.48915 0.021410 Signifikan

Hal ini berarti bahwa Ha diterima dan H0 ditolak, berarti dapat disimpulkan
bahwa variabel independen meliputi: komposisi dewan komisaris, komposisi
dewan direksi, komposisi komite audit dan komposisi dewan pengawas syariah
secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas
bank umum syariah yang diukur dengan ROA.

Tabel 1.2
Outer Model Pengaruh Corporate Governance terhadap Profitabilitas
Bank Umum Syariah (BUS)

Variabel t-stat Prob Keputusan


Dewan
3.508825 0.0017 Signifikan
Komisaris (x1)
Direksi (x2) 2.401776 0.0241 Signifikan
Komite 2.570115 0.0165 Signifikan

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
104 | Jielend Ariandhini

Audit (x3)
DPS (X4) 0.277192 0.7839 Tidak Signifikan

Komposisi anggota dewan komisaris yang banyak maka pengawasan terhadap


dewan direksi menjadi jauh lebih baik, nasihat dan masukan untuk dewan direksi
pun menjadi lebih banyak, dengan demikian kinerja perbankan juga semakin
meningkat (Adestian, 2015: 10). Hasil penelitian ini sesuai penelitian Erfiza
(2014; Sutedi, 2012: 156).
Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi yang diberi tugas
untuk menjaga bumi beserta isinya dari segala bentuk kesusakan (QS. Al-
Baqarah[2]: 30). Pertanggung jawaban manusia tersebut tidak hanya kepada
masyarakat atau pemangku kepentingan tetapi kepada Allah SWT sebagai pemilik
bumi seisinya (Febriani, 2016: 11-12), disini dewan komisaris menjalankan
prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban, maka hal ini menyebabkan dewan
komisaris berpengaruh terhadap profitabilitas, karena dewan komisaris menjaga
bank syariah dan melakukan pengawasan optimal dan meningkatkan profitabilitas
dengan cara yang dianjurkan Allah SWT.

4.2. Pengaruh Komposisi Komite Audit terhadap Profitabilitas BUS


Berdasarkan hasil pengujian data, bahwa komposisi komite audit berpengaruh
positif dan signifikan terhadap profitabilitas BUS yang diukur menggunakan
ROA. Artinya setiap peningkatan ukuran komite audit akan menurunkan nilai
ROA pada BUS, begitupun sebaliknya. Komite audit mempunyai fungsi
membantu dewan komisaris dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan fungsi pengendalian seperti audit
internal, kepatuhan, dan manajemen risiko antara lain dimaksudkan untuk
membantu tugas pengendalian oleh direksi bank umum syariah.
Komite audit dalam melaksanakan tugasnya untuk membantu dewan komisaris
dalam fungsi pengendalian seperti audit internal, kepatuhan, dan manajemen
risiko. Komite audit juga memegang peranan penting dalam mewujudkan CG
karena merupakan penyelidik dewan komisaris dalam rangka mengawasi jalannya
suatu bank (Effendi, 2016: 63). Semakin banyak jumlah komite audit dalam
perusahaan, maka semakin baik fungsi pengawasan yang dilakukan.
Fungsi komite audit salah satunya adalah menjembatani antara pemegang
saham dan dewan komisaris dengan kegiatan pengendalian. Komite audit pada
umumnya memiliki akses langsung dengan setiap unsur pengendalian dalam
perusahaan, apabila banyak masukan yang diberikan antara komite audit dengan
pihak yang berkepentingan akan menghasilkan peningkatan terutama untuk aspek
pengendalian, sehingga dapat meningkatkan profitabilitas (Effendi, 2016: 59).
Berdasarkan penelitian Kartika (2014) komite-komite berpengaruh terhadap
kinerja perbankan. Allah SWT memerintahkan manusia setiap transaksi harus
ditulis untuk menghindari ketidakadilan dan menjunjung tinggi kejujuran, hal ini

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Peningkatan Komitmen... | 105

seuai prinsip keterbukaan, komite audit telah menjalankannya sungguh-sungguh,


maka dari itu komite audit berpengaruh dan menyebabkan menaikkan
profitabilitas (Nalim, 2009: 11).

4.3. Pengaruh Komposisi DPS terhadap Profitabilitas BUS


Berdasarkan hasil pengujian data, bahwa komposisi DPS tidak berpengaruh
terhadap profitabilitas BUS yang diukur menggunakan ROA. Artinya setiap
peningkatan atau penurunan DPS tidak akan berpengaruh terhadap ROA pada
BUS. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kartika (2014) dan Erfina
(2014). Tugas utama DPS adalah melakukan pengawasan pada bank islam yang
mengacu fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) serta norma-norma syariah
menyangkut operasionalisasi bank, produk bank islam, moral manajemen dan
bertanggung jawab sesuai prinsip-prinsip GCG untuk memberikan nasihat, sran
terhadap organ lainnya agar sesuai dengan prinsip syariah.
Praktiknya, DPS tidak berpengaruh terhadap profitabilitas perbankan karena
pengawasan DPS hanya mengenai apakah bank tersebut sudah sesuai dengan
syariah, dan perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan syar’i,
hal ini membuktikan bahwa pengawasan DPS rendah (Abdullah, 2010: 53),
sehingga menyebabkan DPS tidak mempengaruhi profitabilitas, ada sebuah hadis
yang menyatakan.

4.4. Pengaruh Komposisi Dewan Redaksi terhadap Profitabilitas BUS


Berdasarkan hasil pengujian data, bahwa komposisi dewan direksi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas BUS yang diukur
menggunakan ROA. Artinya setiap peningkatan ukuran dewan direksi akan
meningkatkan nilai ROA pada BUS, begitu juga sebaliknya.
Dewan direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan bank
umum syariah berdasarkan prinsip kehati-hatian dan pronsip syariah. Komposisi
dewan direksi yang semakin tinggi maka dalam mengelola bank semakin baik
dalam menjalankan tugasnya tersebut dan dapat meningkatkan profitabiliitas
bank. Independensi dewan direksi akan mendorong adanya keterbukaan
perusahaan terhadap semua pemangku kepentingan melalui peningkatan kinerja
perusahaan dan pengananan atas risiko-risiko yang dihadapi (Indroes, 2011: 253).
Dewan direksi dalam satu bank akan menentukan kebijakan yang diambil secara
jangka panjang maupun jangka pendek, maka apabila banyak dewan direksi akan
memudahkan untuk koordinasi dalam pengambilan keputusan. Kebijakan dewan
direksi dapat mempengaruhi keuangan BUS secara signifikan dan memiliki
dampak terhadap anggaran, sumber daya manusia serta struktur organisasi
(Usman, 2012: 273). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Addiyah (2014),
Kartika (2014) dan Adestian (2015).

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824
106 | Jielend Ariandhini

5. Kesimpulan
Kesimpulan pengaruh CG yang diukur melalui komposisi dewan komisaris,
komposisi dewan direksi, komposisi komite audit, dan komposisi dewan
pengawas syariah, sedangkan profitabilitas Bank Umum Syariah (BUS) diukur
menggunakan ROA.Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Variabel komposisi dewan komisaris terhadap ROA berpengaruh positif dan
signifikan terhadap profitabilitas. Artinya setiap peningkatan atau penurunan
dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Variabel
komposisi komposisi dewan direksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
profitabilitas. Artinya setiap peningkatan atau penurunan komposisi dewan direksi
akan meningkatkan profitabilitas. Variabel komposisi komite audit berpengaruh
positif dan signifikan terhadap profitabilitas. Artinya Artinya setiap peningkatan
atau penurunan dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas.
Variabel komposisi DPS tidak berpengaruh terhadap profitabilitas. Artinya setiap
peningkatan atau penurunan DPS tidak berpengaruh signifikan terhadap
profitabilitas.

Daftar Pustaka
Abdullah, Mal An. 2010. Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media)
Addiyah, Alina. 2014. Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap
Kinerja Keuangan Perbankan (Studi Pada Perusahaan Perbankan yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012), Diponegoro Journal of
Accounting, Vol.3 No.4
Adestian, Yuda. 2015. Pengaruh Dewan Komisaris, Dewan Komisaris
Independen, Komite Audit, dan Ukuran Perusahaan Pada Kinerja Perusahaan
Perbankan yang Listing di BEI Pada Tahun 2012-2014”. (Universitas Dian
Nuswatoro)
Effendi, Arief. 2016. The Power of Good Corporate Governance Teori dan
Implikasi (Jakarta: Salemba Empat)
Erfina, Erzi. 2014. Pengaruh GCG Terhadap Kinerja Keuangan Perbankan
Syariah di Indonesia. (Publikasi Ilmiah Universitas Muhammadiyah
Surakarta)
Febriani, Dini. 2016. Pengaruh Pengungkapan Islamic Social Reporting Terhadap
Dana Pihak Ketiga Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Periode Tahun
2010-201. (Skripsi Universitas Islam Bandung)
Kartika, Ika. 2014. Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Oleh Dewan
Komisaris, Dewan Direksi, Komite-komite dan Dewan Pengawas Syariah
Terhadap Kinerja Perbankan Pada Bank Umum Syariah di Indonesia Tahun
2010-2013. (Skiripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Laksmana, Yusak. 2009. Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan Pembiayaan di
Bank Syariah. (Jakarta: Gramedia)

Vol. 4, No.1, Februari 2019


Peningkatan Komitmen... | 107

Maradita, Aldira. 2014. Karakteristik Good Corporate Governance Pada Bank


Syariah dan Bank Konvensional (Vol.29 No.2 Mei-Agustus)
Muhammad. 2015. Manajemen Dana Bank Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers)
Nalim. 2009. Good Corporate Governance Dalam Prespektf Islam.(Jurnal Hukum
Islam IAIN Pekalongan)
Sholihin, Ifham Ahmad. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah.(Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama)
Sriwedari, Tuti.2012. Mekanisme Good Corporate Governance Manajemen Laba
dan Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia”.
Jurnal Mediasi Vol.4 No.1
Sunarwan, Eko. 2015. Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja
Keuangan Perbankan Syariah (Studi Kasus pada Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah di Indonesia Periode 2010-2013). Skripsi, (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta)
Sutedi, Adrian. 2012. Good Corporate Governance (Jakarta:Sinar Grafika)
Usman, Rachmadi. 2012. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia.
(Jakarta: Sinar Grafika)
https://www.erhaje88.com/2018/03/meningkatkan-daya-saing-bank-syariah.html
diakses pada tanggal 19 Maret 2018 pukul 10.36 WIB
https://www.syariahbank.com/perbedaan-bus-bank-umum-syariah-dan-uus-usaha-
unit-syariah/ diakses pada tanggal 19 Maret 2018 pukul 10.30 WIB
http://bisnisupdate.com/business-knowledge/read/icsa-pemerintah-punya-peran-
penting-dalam-penerapan-gcg diakses pada tanggal 27 November 2017 pukul
09.54 WIB
http://www.beritasatu.com/ekonomi/431334-perppu-akses-keuangan-tak-ganggu-
kinerja-bank.html diakses pada tanggal 19 Maret 2018 pukul 21.00 WIB
http://investasi.kontan.co.id/news/gcg-menjadi-tanggung-jawab-ke-stakeholder
diakses pada tanggal 19 Maret 2018 pukul 21.00 WIB

FALAH Jurnal Ekonomi Syariah ISSN (print): 2502-3918


ISSN (online): 2502-7824

Anda mungkin juga menyukai