Anda di halaman 1dari 2

Manusia Sebagai Objek Kajian Filsafat dan Tasawuf

Ditulis oleh:
Muhamad Nashih Ulwan
11190331000058
Manusia merupakan salah satu yang memiliki keunikannya tersendiri di alam
semesta. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana manusia hidup. Manusia hidup dengan
menggunakan akalnya, berbeda dengan hewan yang hanya memiliki naluri saja. Hal inilah
yang membuat manusia selalu unggul dalam kehidupan alam semesta. Selain unsur fisik juga,
manusia dalam sudut pandang filsafat dan tasawuf juga dipandang dari sisi metafisiknya,
seperti ruh atau jiwanya. Dari persoalan tersebut kemudian pembahasan tentang manusia
dapat dibagi menjadi tiga: 1) Manusia sebagai mikrokosmos, 2) Manusia sebagai teomorfis,
Manusia dan kebebasan.
Yang pertama adalah Manusia sebagai makhluk mikrokosmo. Alasan kenapa manusia
dikatakan sebagai makhluk mikrokosmos adalah karena manusia memiliki segala hal, baik
dari unsur kosmik, mineral, tumbuhan, hewan, bahkan sampai memiliki unsur ilahinya. Ibnu
Sina dalam kitab al-Najah sendiri mengatakan bahwa manusia juga memiliki daya-daya
nabati, yaitu menyerap makanan. Dalam kitab lain juga Ibnu Sina juga membahas bahwa
unsur-unsur hewani juga dimiliki oleh manusia. Seperti Indera, Gerak, dan indera batin.
Filosof lainnya seperti Aristoteles misalnya berpendapat bahwa manusia juga dikatakan
sebagai “hewan yang berpikir”. Manusia dalam hal ini dapat dikatakan sebagai makhluk unik
dan berbeda dari makhluk lainnya. Karena dengan akalnya tersebut manusia dapat
mempelajari dan berkembang, seperti terciptanya bahasa. Maka dari itu tidak mengherankan
jika Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk mikrokosmos, karena di dalam diri manusia
terdapat segala hal yang ada di alam semesta.
Yang kedua adalah bahwa manusia merupakan makhluk teomorfis. Bahwa manusia
diciptakan sebagai wakil Tuhan. Sebagai wakil Tuhan tentu saja manusia dapat dikatakan
sebagai cermin Tuhan (teomorfis). Para sufi cenderung percaya bahwa manusia adalah sebab
final dari perciptaan alam. Rumi sendiri selaku seorang sufi memberikan gambaran bahwa
manusia itu seperti buah. Para petani ketika menaman pohon tentu saja berharap hanya
kepada buahnya, rumi melajutkan apakah petani akan menanam sebuah pohon jika ia tidak
mengharapkan buah. Disini juga Rumi menganggap bahwa manusia adalah mikrokosmos
karena buah memiliki segala hal di dalam pohon. Lalu ia juga menambahkan bahwa manusia
itu bisa menjadi makrokosmos atau alam itu sendiri ketika ia sudah menjadi manusia yang
sempurna (insan kamil).
Dalam pembahasan tentang takdir atau kebebasan manusia sendiri dalam paham
teologi islam terdapat dua paham yang secara radikal saling bersebrangan. Kedua aliran
tersebut adalah jabariyah dan qadariyah. Dimana jabariyah menganggap bahwa segala hal
apapun yang ada di dunia ini telah diatur semedikian rupa sehingga manusia tidak perlu untuk
berusaha. Sedangkan dalam paham qadariyah manusia harus berusaha karena takdir itu
ditentukan oleh manusia. Rumi sendiri memberikan jawaban atas masalah ini, menurutnya
Rumi menganggap bahwa takdir yang atur adalah hukum alam. Jadi, manusia masih
diberikan ruang untuk mengubah takdir. Missal Tuhan menciptakan jika lapar maka harus
maka, manusia disini dapat memilih untuk makan ataupun tidak. Tapi jika tidak dia akan
menerima kosukuensinya yaitu sakit. Artinya Rumi beranggapan bahwa manusia dapat
memilih takdirnya tetapi setiap takdir yang dipilihnya terdapat kosukuensinya tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai