0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
11 tayangan2 halaman
Teks ini membahas hubungan antara filsafat dan agama menurut beberapa filosof Muslim seperti al-Kindi, Ibnu Thufail, dan Ibnu Ruysd. Al-Kindi berpandangan bahwa kebenaran filsafat dan agama sama dan keduanya diajarkan oleh utusan Tuhan. Ibnu Thufail menggambarkan dalam novelnya bagaimana tokoh utama menemukan Tuhan melalui akal semata tanpa ajaran agama formal. Sedangkan Ibnu Ruysd beranggapan bah
Teks ini membahas hubungan antara filsafat dan agama menurut beberapa filosof Muslim seperti al-Kindi, Ibnu Thufail, dan Ibnu Ruysd. Al-Kindi berpandangan bahwa kebenaran filsafat dan agama sama dan keduanya diajarkan oleh utusan Tuhan. Ibnu Thufail menggambarkan dalam novelnya bagaimana tokoh utama menemukan Tuhan melalui akal semata tanpa ajaran agama formal. Sedangkan Ibnu Ruysd beranggapan bah
Teks ini membahas hubungan antara filsafat dan agama menurut beberapa filosof Muslim seperti al-Kindi, Ibnu Thufail, dan Ibnu Ruysd. Al-Kindi berpandangan bahwa kebenaran filsafat dan agama sama dan keduanya diajarkan oleh utusan Tuhan. Ibnu Thufail menggambarkan dalam novelnya bagaimana tokoh utama menemukan Tuhan melalui akal semata tanpa ajaran agama formal. Sedangkan Ibnu Ruysd beranggapan bah
11190331000058 Dalam hubungan antara filsafat dan agama para filosof muslim sangat bersikukuh bahwa filsafat dan agama saling terhubung dan tidak memiliki paradox sama sekali. Contohnya al-Kindi yang menyatakan bahwa kebenaran filsafat dan agama memiliki nilai yang sama. Akibatnya, baik para agamawan maupun para filosof sama-sama mencari kebenaran yang sama. Maka dari itu bagi al-Kindi siapapun yang menolak untuk mencari kebenaran secara filosofis dengan alasan bahwa hal itu dapat membawa kekufuran, bagi al- Kindi merekalah yang kufur, karena pengetahuan filsafat juga meliputi pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaannya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga dapat dijadikan alasan untuk mengimaninya, serta menghindari hal-hal sebaliknya. Dari sinilah al-Kindi beranggapan bahwa kedua hal tersebut telah diajarkan oleh para utusan Tuhan, sehingga tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa para filosof itu, seperti Socrates dan Plato merupakan dari para Nabi yang diutus oleh Tuhan. Lalu ada juga tokoh berikutnya yang membahas tentang masalah hubungan filsafat dan agama yaitu Ibnu Thufail. Yang diabadikannya dalam novelnya yang berjudul Hayy bin Yaqzhan. Dimana dalam bukunya tersebut menceritakan seseorang yang terdampar ke dalam sebuah pulau, dan kemudian ia diselamatkan dan diurus oleh seekor Rusa. Karena ia hidup tanpa bertemu Manusia. Ia pun berusaha untuk hidup sendiri, serta menggunakan akalnya untuk bertahan hidup. Dari perenungan tersebut Hayy juga menemukan Tuhannya, bahkan ia sampai pada paham moralitas, kewajiban antara yang baik dan buruk. Pada Suatu ketika ia bertemu dengan seorang sufi yang bernama Absal. Setelah bertemu mereka pun berbicara tentang pendapatnya masing-masing baik tentang Tuhan maupun moralitas. Dari pembicaraan tersebut kemudian ia menemukan bahwa kebenaran yang ia cari, baik Tuhan maupun moral itu memiliki persamaan dengan apa yang dikemukakan oleh Absal, yang membedakannya hanyalah cara mendapatkannya. Dimana Hayy hanya murni akal, sedangkan Absal wahyu dan Akal. Melalui novel tersebut, Ibnu Thufail berusaha mengkritik paham yang mengatakan bahwa filsafat dan agama tidak bisa bersatu. Walaupun dari kedua tokoh tersebut telah dijelaskan tentang posisi agama dan filsafat, akan tetapi bagi Mulyadhi Kartanegara ada salah satu tokoh yang jauh lebih detail dalam membahas tentang posisi agama dan filsafat. Ibnu Ruysd menurutnya merupakan tokoh yang paling detail dalam membahas permasalahan ini, yang ia abadikan dalam kitabnya, Fash al- Maqal fima Bayn al-Hikmah wa al-Syariah min al-ittishal. Dalam buku tersebut ia menjelaskan secara khusus bagaiamana hubungan antara filsafat dan juga syariat. Dalam kitab tersebut, ia beranggapan bahwa filsafat itu tidak dilarang, karena banyak yang mengharamkan filsafat sebagai bid’ah (tidak ada pada masa islam generasi awal). Ia mencotohkannya dengan ilmu fiqh, baginya kenapa filsafat bisa diharamkan dengan alasan tidak ada pada masa generasi awal Islam, sedangkan ilmu fiqh yang tercipta setelah masa generasi Islam. Dengan sama-sama melakukan penalaran rasional, seharusnya filsafat tidak diharamkan layaknya fiqh yang telah berkembang sampai saat ini dalam dunia Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat dan agama, dalam hal ini agama Islam, tidak memiliki paradoks dalam mencari kebenarannnya. Hanya saja perbedaan keduanya terdapat dari cara mendapatkannya. Filsafat lebih menekankan akal, sedangkan agama lebih menekankan wahyu. Walaupun keduanya sama-sama mencari kebenaran yang sama, akan tetapi untuk mencapai kebenaran hakiki, keduanya harus dijalani.