Anda di halaman 1dari 2

Filsafat Dan Agama

Oleh: Muhamad Nashih Ulwan


11190331000058
Dalam hubungan antara filsafat dan agama para filosof muslim sangat bersikukuh
bahwa filsafat dan agama saling terhubung dan tidak memiliki paradox sama sekali.
Contohnya al-Kindi yang menyatakan bahwa kebenaran filsafat dan agama memiliki nilai
yang sama. Akibatnya, baik para agamawan maupun para filosof sama-sama mencari
kebenaran yang sama. Maka dari itu bagi al-Kindi siapapun yang menolak untuk mencari
kebenaran secara filosofis dengan alasan bahwa hal itu dapat membawa kekufuran, bagi al-
Kindi merekalah yang kufur, karena pengetahuan filsafat juga meliputi pengetahuan tentang
Tuhan, tentang keesaannya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga dapat dijadikan
alasan untuk mengimaninya, serta menghindari hal-hal sebaliknya. Dari sinilah al-Kindi
beranggapan bahwa kedua hal tersebut telah diajarkan oleh para utusan Tuhan, sehingga tidak
mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa para filosof itu, seperti Socrates dan Plato
merupakan dari para Nabi yang diutus oleh Tuhan.
Lalu ada juga tokoh berikutnya yang membahas tentang masalah hubungan filsafat
dan agama yaitu Ibnu Thufail. Yang diabadikannya dalam novelnya yang berjudul Hayy bin
Yaqzhan. Dimana dalam bukunya tersebut menceritakan seseorang yang terdampar ke dalam
sebuah pulau, dan kemudian ia diselamatkan dan diurus oleh seekor Rusa. Karena ia hidup
tanpa bertemu Manusia. Ia pun berusaha untuk hidup sendiri, serta menggunakan akalnya
untuk bertahan hidup. Dari perenungan tersebut Hayy juga menemukan Tuhannya, bahkan ia
sampai pada paham moralitas, kewajiban antara yang baik dan buruk. Pada Suatu ketika ia
bertemu dengan seorang sufi yang bernama Absal. Setelah bertemu mereka pun berbicara
tentang pendapatnya masing-masing baik tentang Tuhan maupun moralitas. Dari
pembicaraan tersebut kemudian ia menemukan bahwa kebenaran yang ia cari, baik Tuhan
maupun moral itu memiliki persamaan dengan apa yang dikemukakan oleh Absal, yang
membedakannya hanyalah cara mendapatkannya. Dimana Hayy hanya murni akal, sedangkan
Absal wahyu dan Akal. Melalui novel tersebut, Ibnu Thufail berusaha mengkritik paham
yang mengatakan bahwa filsafat dan agama tidak bisa bersatu.
Walaupun dari kedua tokoh tersebut telah dijelaskan tentang posisi agama dan filsafat,
akan tetapi bagi Mulyadhi Kartanegara ada salah satu tokoh yang jauh lebih detail dalam
membahas tentang posisi agama dan filsafat. Ibnu Ruysd menurutnya merupakan tokoh yang
paling detail dalam membahas permasalahan ini, yang ia abadikan dalam kitabnya, Fash al-
Maqal fima Bayn al-Hikmah wa al-Syariah min al-ittishal. Dalam buku tersebut ia
menjelaskan secara khusus bagaiamana hubungan antara filsafat dan juga syariat. Dalam
kitab tersebut, ia beranggapan bahwa filsafat itu tidak dilarang, karena banyak yang
mengharamkan filsafat sebagai bid’ah (tidak ada pada masa islam generasi awal). Ia
mencotohkannya dengan ilmu fiqh, baginya kenapa filsafat bisa diharamkan dengan alasan
tidak ada pada masa generasi awal Islam, sedangkan ilmu fiqh yang tercipta setelah masa
generasi Islam. Dengan sama-sama melakukan penalaran rasional, seharusnya filsafat tidak
diharamkan layaknya fiqh yang telah berkembang sampai saat ini dalam dunia Islam.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat dan agama, dalam hal ini agama Islam, tidak
memiliki paradoks dalam mencari kebenarannnya. Hanya saja perbedaan keduanya terdapat
dari cara mendapatkannya. Filsafat lebih menekankan akal, sedangkan agama lebih
menekankan wahyu. Walaupun keduanya sama-sama mencari kebenaran yang sama, akan
tetapi untuk mencapai kebenaran hakiki, keduanya harus dijalani.

Anda mungkin juga menyukai