Anda di halaman 1dari 9

REVIEW MATERI 1 MATA KULIAH EKSKLUSI SOSIAL: MERDEKA

DALAM PENDIDIKAN

UNIVERSITAS INDONESIA

Oleh:

Aisha Fadhila (2206016270)

Ekky Abi Wibowo (2206016314)

Oktanta Tri Hatmoko (2206115693)

PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

MARET 2023

A. Meninjau Paulo Freire: Suatu Kajian Awal Pemikiran Pedagogi Hati


Secara umum, bahan bacaan yang diberikan terdiri dari beberapa bagian. Pada bagian
pertama dari bahan bacaan ini, penulis memberikan pernyataan kritis untuk mengajak
pembaca merefleksikan kebijakan “Merdeka Belajar” yang digagas oleh pemerintah
Indonesia. Kemudian pada bagian kedua, penulis mengulas mengenai karya Freire tentang
bagaimana seharusnya proses pendidikan dilakukan.

Penulis mengulas tentang apa sebenarnya yang disebut sebagai “merdeka” oleh Freire
dalam pedagogi hati. Sebuah pemikiran yang digagas Freire dalam bukunya yang berjudul
“Under The Shade of Mango Tree”. Konsep tersebut ditekankan oleh Freire sebagai suatu
napas pendidikan. Pengalamannya sebagai seorang pendidik selama 40 tahun yang
mengalami peristiwa sejarah di Brazil dan membaca sejarah dunia membuatnya melakukan
refleksi bagaimana sistem pendidikan selama ini tidak luput dari sistem neoliberalisme dan
otoritarianisme. Kondisi ini membuat para peserta didik, terutama yang berasal dari
kelompok marjinal atau kaum tertindas tidak memiliki harapan yang baik untuk maju dan
berkembang. Padahal sejatinya proses pendidikan haruslah menciptakan kritisisme pemikiran
baik bagi pendidik maupun peserta didik. Selain itu, pendidikan haruslah memiliki semangat
keadilan, kesetaraan, serta menjadi sebuah sarana pembebasan bagi kaum tertindas. (Seda,
Francisia SSE, 2022)

Sayangnya semangat yang diutarakan oleh Freire dalam pedagogi hati ini nampaknya
masih belum mampu terwujud hingga saat ini. Termasuk yang terjadi di Indonesia sendiri.
Penulis kemudian mencoba mengambil contoh kasus kampus mengenai penerapan kebijakan
merdeka belajar yang kita tahu mulai diberlakukan sejak awal tahun 2020 oleh Kemendikbud
Ristek di bawah komando Nadiem Makarim. Lantas, apakah sejauh ini kebijakan tersebut
sudah cukup “membebaskan”, egaliter, dan berkeadilan? Kita akan coba mengulas hal itu
dengan pembahasan di bawah ini.

B. Kondisi Empiris pada Program MBKM di Indonesia

Dalam rangka menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan
teknologi yang pesat, saat ini pemerintah ingin meningkatkan kompetensi mahasiswa agar
dapat menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus
Merdeka (MBKM) untuk perguruan tinggi pada tahun 2020. Dengan adanya MBKM
pemerintah berharap terdapat transformasi pendidikan tinggi di Indonesia dengan
memberikan hak kepada mahasiswa dua semester belajar di luar program studi untuk
mahasiswa. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong mahasiswa dalam menguasai berbagai
keilmuan sebagai persiapan karir masa depan.

Adapun beberapa program MBKM yang saat ini sedang berjalan, seperti program
Wirausaha, Praktisi Mengajar, Studi Independent, Magang, Kampus Mengajar, dan
Pertukaran Mahasiswa baik pertukaran antar negara maupun pertukaran budaya antar daerah.
Jika melihat konsep dasar kebijakan MBKM terdapat ulasan kritis terkait pelaksanaan
MBKM. Jika ditinjau melalui keterangan yang tertera pada buku panduan, website dan
informasi pemberitaan yang tersebar. Program MBKM memiliki berbagai macam
permasalahan seperti kriteria seleksi yang diskriminatif, kurangnya akses informasi,
kurangnya dukungan fasilitas terhadap disabilitas, ketidaksesuaian teknis program dengan
kebutuhan mahasiswa dan ketidakmampuan untuk memenuhi standar akademik.

Beberapa contoh yang kami temukan di lapangan. Pertama, universitas lain yang tidak
berada di bawah naungan Kemendikbud Ristek tidak diperbolehkan mengikuti program
MBKM. Misalnya kampus-kampus berbasis keagamaan seperti UIN dan IAIN dapat
dipastikan tidak akan terlibat dalam MBKM. Kedua, tidak adanya kesepakatan mengenai
konversi SKS yang jelas antara program MBKM dengan prodi di kampus. Hal ini
menyebabkan kondisi dilematis ketika mahasiswa telah menyelesaikan program MBKM dan
harus menyelesaikan perkuliahan di prodi masing-masing. Pada satu sisi, MBKM
menawarkan bahwa mahasiswa yang mengikuti program mereka akan mendapatkan konversi
hingga 20 SKS. Pada sisi lain, karena mahasiswa yang mengikuti program tersebut minimal
sudah menyelesaikan semester 4 dan akan masuk semester 5 yang notabene semester penting
dalam perkuliahan.

Maka, kampus terutama prodi biasanya akan merasa keberatan jika dilakukan
konversi terhadap SKS yang ada. Selain itu, terkadang program MBKM yang diikuti oleh
mahasiswa tidak memiliki kesinambungan dengan jurusan mahasiswa di sebuah prodi.
Contohnya, misal seorang mahasiswa/i yang berasal dari jurusan teknik. Kemudian ia
mengikuti program MBKM kampus mengajar. Maka akan sedikit aneh jika harus
mengkonversi SKS dari kampus mengajar. Mengingat jurusan teknik tidak diperuntukkan
untuk menjadi pendidik.
B.1. Kritik terhadap Program IISMA

Sejauh ini, kami melihat bahwa program IISMA memiliki beberapa sisi problematis
mengenai eksklusifitas yang perlu ditinjau. Misalnya pada persyaratan bahasa yang harus
dimiliki oleh peserta IISMA. MBKM sendiri memberikan syarat bahasa cukup tinggi terkait
ini. Jika ingin melihat lebih dalam mengenai masalah skor toefl/ielts, kita mengetahui bahwa
mayoritas pendaftar program yang tidak memiliki kemampuan bahasa yang cukup akan
tereksklusi secara sosial dalam program tersebut.

Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mendapatkan skor yang tinggi
serta kemampuan berbicara bahasa asing secara aktif, seorang individu sudah pasti
membutuhkan akses pelatihan yang lebih. Tentu, ini tidak mudah dan murah. Maka dari itu,
mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah akan kesulitan untuk
mencapainya. Alih-alih mampu mengakses instansi les dengan harga mahal, mereka akan
cenderung untuk memenuhi kebutuhan primer terlebih dahulu. Mengingat uang bulanan dari
orang tua mereka, atau dari KIP dan Bidikmisi tidak begitu besar.

Adapun biaya pengurusan paspor, visa, serta uang saku untuk biaya hidup yang tinggi
juga dapat menjadi faktor eksklusi sosial dalam program pertukaran mahasiswa IISMA. Jika
biaya program terlalu tinggi, mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu dapat
terhalang dari mengikuti program. Jika kriteria seleksi dan persyaratan tidak
mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi, maka mahasiswa yang seharusnya memiliki
potensi untuk mengikuti program tersebut dapat terdiskriminasi.

Dalam kebijakan MBKM Mahasiswa dapat mengikuti program MBKM lebih dari
satu kali dengan program yang berbeda asalkan periode yang dijalankan tidak berbarengan.
Artinya, orang yang memiliki modal ekonomi dan sosial menengah ke atas, memiliki peluang
lebih besar untuk terlibat dalam MBKM. Hal ini menyebabkan distribusi dan pemanfaatan
anggaran menjadi tidak tepat sasaran.

Tidak ada larangan bagi penerima beasiswa seperti BPI, KIP, beasiswa dari
kemendikbud. Akhirnya program ini tidak memberikan akses yang berkeadilan, sesuai yang
digagas oleh freire. Karena mahasiswa yang berada pada struktur sosial menengah ke atas
akan lebih memiliki kesempatan lebih dibandingkan mahasiswa yang berada pada struktur
masyarakat menengah ke bawah. Kondisi ini malah semakin memperkuat gagasan
neoliberalisme yang fatalistik. Bahwa mereka yang berada pada kondisi menengah ke bawah
akan senantiasa berada pada kondisi yang penuh penderitaan karena tidak ada lagi pilihan
lain.

B.2. Kritik terhadap Program Kampus Mengajar

Eksklusi sosial pada program Kampus Mengajar dapat terlihat dari segi persyaratan
mahasiswa, seperti surat keterangan sehat hal tersebut dapat ditinjau dari mahasiswa yang ada
di daerah tetapi tidak punya fasilitas kesehatan dan bagaimana jika memiliki penyakit
ataupun mahasiswa disabilitas hal tersebut akan menjadi diskriminasi bagi mereka yang tidak
memiliki keterangan sehat. Adapun persyaratan dokumen BPJS yang dapat dilengkapi oleh
mahasiswa sehingga jika ditinjau syarat bukti pendaftar BPJS ini memperlihatkan
Kemendikbud Ristek ingin mengurangi tanggungan resiko pada tempat penugasan. Namun,
tidak semua masyarakat Indonesia, bahkan yang berkuliah memiliki asuransi kesehatan,
termasuk BPJS.

Eksklusi sosial juga terlihat pada persyaratan terkait pengalaman mengajar yang tidak
semua mahasiswa semester 4 sudah memiliki pengalaman mengajar. Selain itu kami melihat
bahwa program ini tidak memiliki “syarat khusus” mengenai kompetensi mengajar. Sehingga
dalam praktiknya, penerima manfaat program yakni sekolah tidak mendapatkan peningkatan
yang maksimal terhadap peserta didik.

Persoalan terkait kompetensi mengajar tersebut dapat ditinjau dari lini masa training
peserta yang telah diterima program Kampus Mengajar ini relatif pendek, sekitar 15 hari dan
tidak efektif karena melalui platform zoom saja, yang di mana akses internet pada peserta di
beberapa daerah sangat sulit. Akibatnya, peserta yang diturunkan di lapangan untuk
mengajar, banyak yang tidak memiliki kemampuan yang baik dalam mengajar. Meskipun
sudah mengikuti training.

Pun demikian dengan mahasiswa yang mengikuti program ini, seringkali tidak
mendapatkan pengalaman yang substantif mengenai “pengajaran” karena kebanyakan
sekolah sudah memiliki strategi, aturan dan metode tertentu untuk para peserta didik.
Akhirnya, para peserta MBKM pada program Kampus Mengajar ini hanya melakukan tugas-
tugas yang sifatnya teknis. Misalnya membuat MADING, Pojok Literasi, senam sehat,
menari, membuat, games, pramuka, dan membersihkan perpustakaan. Kegiatan ini tentu tidak
sesuai dengan tujuan Kampus Mengajar yang fokus terhadap peningkatan literasi numerasi.

Kemudian, hal lain yang dapat disoroti adalah terkait komposisi pengajar di setiap
sekolah yang tidak berimbang. Hal ini berbanding terbalik dengan daerah pendaftar Kampus
Mengajar. Kemendikburistek tidak mengirimkan mahasiswa yang mendaftar ini ke luar kota,
melainkan berdasarkan domisili. Kondisi ini sangat eksklusif mengingat pendaftar di Pulau
Jawa memiliki akses dan edukasi informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
pendaftar di wilayah timur atau perbatasan Indonesia. Sedangkan dalam data terkait PISA,
yakni program penilaian pengajar internasional wilayah timur dan perbatasan lebih
membutuhkan peningkatan literasi dan numerasi.

Informasi mengenai MBKM hanya terbatas pada platform digital sehingga sulit
diakses oleh peserta yang berada di daerah karena jaringan internet yang tidak semuanya
lancar. Selain itu, harga paket internet juga relatif tidak murah bagi seluruh masyarakat juga
membuat program yang terdapat di MBKM semakin sulit untuk dijangkau oleh masyarakat
yang berada di pelosok. Kemudian, literasi digital yang dimiliki oleh masyarakat di daerah
cenderung masih minim. Padahal, banyak informasi mengenai pendaftaran yang disediakan
di platform tersebut. Kondisi inilah yang kemudian berpengaruh pada pelaksanaan yang tidak
maksimal. di wilayah yang seharusnya menjadi target utama sebagai penerima manfaat
program. Selain pendaftaran, sistem yang digunakan saat ujian online seringkali bermasalah
pada koneksi , sehingga membuat banyak pendaftar yang tidak lolos.

Kompleksitas yang terjadi salah satunya juga diakibatkan oleh pemimpin kebijakan
yang kurang peka terhadap pandangan pemangku kebijakan di masing-masing kampus dan
daerah. Jadi, ketika pemimpin memutuskan kebijakan, dia cenderung lebih memprioritaskan
perspektif yang berasal dari para profesional internal tim, tidak dari rekomendasi Dinas
Pendidikan ataupun kampus masing-masing daerah. Kondisi ini yang seringkali
menyebabkan ketidaksinambungan antara kebijakan pusat dengan daerah.

B.3. Kritik terhadap Program Magang

Program Magang yang melibatkan kerjasama antara pihak universitas dengan


perusahaan melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) sebagai konsep kebijakan
yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuai banyak kontra. Program
tersebut pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kompetensi lulusan universitas yang
utamanya agar lebih siap dan relevan di dalam dunia kerja, baik secara soft skills maupun
hard skills. Nyatanya, banyak anggapan bahwa MBKM lebih menguntungkan perusahaan
atau aktor kapitalis dalam mendapatkan tenaga kerja yang upahnya dapat diminimalkan serta
mengurangi biaya perekrutan.

Dalam konteks empirik, beragam kontra tersebut salah satunya muncul dari BEM KM
UGM yang menyampaikan aspirasinya dan dibahas pada forum rapat dengar pendapat
(RDPU) bersama Komisi X DPR yang menaungi urusan pendidikan (Kompas, 2022).
Muhammad Khalid sebagai koordinator BEM KM UGM menilai bahwa kemampuan
universitas dalam mengakses kemitraan, kualitas dan kapabilitas kurikulum ditentukan
dengan akreditasi kampus. Artinya, kampus yang memiliki akreditasi rendah tidak dapat
mengajukan kerjasama kemitraan. Hal ini memunculkan adanya ketidaksetaraan dalam
mengakses program Magang tersebut.

Selain ketidaksetaraan yang muncul di dalam konteks institusi seperti yang


diungkapkan di atas, adanya ketimpangan kualitas individu mahasiswa juga menjadi
penyebab lain munculnya ketidaksetaraan dalam meraih akses program Magang MBKM.
Belum lagi dalam aspek ekonomi, mahasiswa yang dari kelas menengah ke bawah yang pada
akhirnya diterima program Magang tidak mendapat akomodasi khusus sehingga
menimbulkan masalah baru. Selain itu, berkaitan dengan regulasi dalam program Magang
yang sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan berdampak pada beberapa mahasiswa yang
diminta untuk kerja lembur namun tidak diberikan insentif.

Menurut penulis, program Magang hanya meningkatkan kompetensi mahasiswa


tertentu dan dari universitas tertentu yang telah terjamin akreditasinya. Belum lagi dalam
konteks industri 4.0 di mana perusahaan banyak bergerak di bidang teknologi dan informasi
yang secara tidak langsung banyak mahasiswa yang berasal bukan dari program studi teknik
maupun sistem informasi yang semakin dipersempit aksesnya. Tenaganya pada saat aktivitas
magang pun dikerahkan hanya untuk menghasilkan keuntungan perusahaan dan belum ada
jaminan apakah setelah lulus mahasiswa tersebut akan tetap dipekerjakan di perusahaan
tersebut (hal ini juga ditentukan dari kesepakatan apa yang dibuat oleh pihak universitas
dengan pihak perusahaan).

Selain itu, program lainnya dari kebijakan MBKM adalah diberikannya otonomi
kepada universitas untuk membuka atau mendirikan program studi baru. Dalam konteks
program Magang di era revolusi industri 4.0 secara tidak langsung universitas akan
menyesuaikan pasar tenaga kerja yang banyak membutuhkan posisi IT, programmer, digital
marketing dan sebagainya sehingga program studi yang nantinya akan dibuka berhubungan
dengan posisi tersebut. Hal ini juga semakin menguntungkan pihak perusahan yang nantinya
dengan mudah mendapat reproduksi tenaga kerja. Melalui pandangan tersebut, penulis
menilai bahwa program Magang MBKM masih mengarah kepada kebijakan yang
dipengaruhi perspektif neoliberal yang mengakibatkan semakin tinggi tingkat pendidikan
maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Penulis menekankan salah satu tujuan kebijakan MBKM yaitu menghasilkan manusia
Indonesia yang kompetitif, dalam hal ini kompetitif di dalam konteks tenaga kerja. Nyatanya
ruang untuk berkompetisi bagi para mahasiswa sejak awal ‘dipersempit’ dengan beragam
kekhususan yang diregulasikan dalam program Magang. Seperti yang diungkapkan di atas
bahwa mahasiswa yang memiliki kemampuan tertentu dari kampus terakreditasi baik saja
yang dapat kesempatan mengikuti program Magang.

Bila dilihat melalui kebijakan buruh baru dalam perspektif Marxis (Levitas, 1998),
kebijakan yang cocok untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menggunakan
Social Integrationist Discourses (SID). Kebijakan ini menurut penulis dinilai cocok karena
dapat mendistribusikan calon tenaga kerja secara merata, tidak hanya melihat atau
berdasarkan pada kebutuhan pasar kapitalis tapi juga melihat dari konteks keadilan sosial.
Proses inklusi kaum miskin (status maupun dari segi kompetensi) ke dalam pasar kerja
sebetulnya telah dicontohkan oleh integrasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta yang berupaya meningkatkan transportasi publik
secara tidak langsung mengubah status supir angkot yang berstatus ‘pekerja rentan’ menjadi
pegawai yang mendapat gaji pokok. Pemprov DKI Jakarta juga merekrut petugas kebersihan
(pasukan oren) yang merupakan kelas menengah ke bawah dan dapat dikatakan minim
kompetensi untuk mendapat gaji setara UMR.

Dalam ranah pendidikan, menurut penulis, mahasiswa yang tereksklusi secara vertikal
– dalam hal ini ini khususnya program Magang MBKM – tidak hanya dapat dilihat melalui
perspektif egalitarianism seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire. Indonesia yang
memiliki ideologi Pancasila harus mengedepankan perspektif yang tidak hanya setara, namun
adil dan memakmurkan. Sebagai contoh, jika ada mahasiswa yang memang memiliki
keterbatasan dari segi kemampuan untuk bersaing di dalam program Magang, maka
mahasiswa tersebut mestinya tetap mendapatkan haknya dalam program Magang MBKM
dengan penawaran yang diberikan langsung dari institusi pemerintah melalui kebijakan yang
terintegrasi dan bukan berdasarkan kebutuhan pasar kapitalis. Hal ini berarti kemampuan
pemerintah dalam membuka seluas-luasnya atau dalam hal ini tidak hanya mengacu pada
konteks revolusi industri 4.0 namun dapat melihat konteks kerja-kerja sosial. Pemerintah
harus lebih banyak membuka akses terhadap lapangan pekerjaan dan meningkatkan kuantitas
lapangan pekerjaan itu sendiri.

Referensi Tulisan:

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen


Dikti). 2020. Buku panduan merdeka belajar – kampus merdeka. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.

Freire, Paulo. 1998. Pedagogy of Heart. New York: Continuum.

Levitas, R. 1998. Three Discourses of Social Exclusion. In: The Inclusive Society?. London:
Palgrave Macmillan.

Maharani, Tsarina. 2022. RDPU Bersama DPR, Mahasiswa Kritik Program Kampus
Merdeka. https://nasional.kompas.com/read/2022/02/02/15420711/rdpu-bersama-dpr-
mahasiswa-kritik-program-kampus-merdeka.

Seda, Francisia SSE. 2022. Merdeka dalam Pendidikan:Suatu Kajian Awal Pemikiran
Pedagogi Hati Paulo Freire. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai