Anda di halaman 1dari 10

Nama : Richard Gabe Simamora

Nim : 200141602458
No. Urut : 31
Mata Kuliah : Sosiologi dan Antropologi

PELAKSANAAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN KESETARAAN

A. Pengertian Pendidikan Kesetaraan


Pendidikan merupakan salah satu indikator ukuran dimana negara dapat
dikatakan maju atau masih berkembang. Hal ini karena pendidikan memiliki
peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Meningkatnya
sumber daya manusia akan mempengaruhi pembangunan sebuah negara yang
lebih baik. Usaha untuk memperoleh mutu pendidikan yang lebih baik telah
dilakukan baik oleh pemerintah, pelaksana/penyelenggara dan juga
masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003, Tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Masyarakat dan
Pemerintah Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”
dikutip dari jurnal Pendidika Luar Sekolah oleh Ulva Verani, Niswatul
Imsiyah, Muhammad Irfan Hilmi. Namun faktanya di Indonesia sekarang ini
masih banyak masyarakat yang belummendapatkan pelayanan pendidikan
terutama untuk masyarakat menengah kebawah. Mahalnya biaya pendidikan
menjadi faktor utama yangmembuat mereka tidak mendapatkan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan yang layak sekalipun hanya sekolah dasar
dikutip dari jurnal oleh Harlinda MA, Muhlis Madani, Muhammad Tahir.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka pelaksaan pendidikan kesetaraan
adalah salah satu cara meningkatkan mutu dan/atau kualitas diri masyarkat.
Pendidikan Kesetaraan Merupakan pendidikan nonformal yang mencakup
program Paket A,B,C dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan,
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional peserta didik.
Pendidikan non formal sendiri menurut UU dan Peraturan Pemerintah RI
tentang pendidikan menyatakan bahwa pendidikan non formal adalah jalur
pendidikan diluar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang. Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan peserta didik
dengan penekanan, pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap
kepribadian yang profesional. Sehingga Pendidikan Kesetaraan merupakan
salah satu satuan pendidikan pada jalur pendidikan non-formal yang meliputi
kelompok belajar (kejar) baik Program Paket A, Program Paket B, maupun
Program Paket C yang dapat diselenggarakan melalui Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB), Pusat kegiatan belajar Masyarakat (PKBM), atau satuan
sejenis lainnya.
Pendidikan kesetaraan adalah jalur pendidikan nonformal dengan standar
kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal tetapi konten, konteks,
metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan
tersebut lebih memberikan konsep-konsep terapan, tematik, induktif, yang
terkait dengan permasalahan lingkungan dan melatih kecakapan hidup
berorientasi kerja atau berusaha sendiri. Dapat kita artikan bahwa pendidikan
kesetaraan lebih berfokus pada bagaimana seorang pribadi belajar secara
mandiri terutama dalam lingkungan hidup dan mengasah skillnya sehingga
jelas perbedaannya dengan pendidikan formal yang mana peserta didik dibina
dan dituntun hingga mereka selesai menempuh pendidikan.

B. Proses Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan


Untuk mencapai proses pelaksaan pendidikan yang baik dilakukan
beberapa pendekatan berikut guna membentuk pembelajaran yang interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik. Adapun pendekatan yang digunakan dalam
pendidikan kesetaraan yang dikutip dari Kemendikbud sebagai berikut.
1) Induktif yang berarti membangun pengetahuan melalui kejadian
atau fenomena empirik dengan menekankan pada experiential
learning (belajar dengan mengalami sendiri).
2) Konstruktif yaitu mengakui bahwa semua orang dapat
membangun pandangannya sendiri terhadap dunia, melalui
pengalaman individual untuk menghadapi/menyelesaikan masalah
dalam situasi yang tidak tentu atau ambigius.
3) Tematik yaitu mengorganisasikan pengalaman-pengalaman,
mendorong terjadinya belajar di luar ruang kelas, mengaktifkan
pengalaman belajar, menumbuhkan kerjasama antar perserta didik.
4) Berbasis Lingkungan, yaitu : untuk meningkatkan relevansi, dan
kebermanfaatannya bagi peserta didik sesuai potensi dan
kebutuhan lokal.
Pada program Paket A, sebelum melakukan proses pembelajaran setiap tutor
harus membuat perangkat pembelajaran atau Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Adapun target dari kegiatan program pendidikan
kesetaraan paket A ini adalah dapat meluluskan peserta didik setiap tahunnya,
memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memberikan
wawasan berupa Liff Skil dan lainnya. Mustofa Kamil (2009:97) menyatakan
bahwa, Program kelompok belajar paket A, dilaksanakan dengan prioritas
kepada anak-anak usia sekolah dasar yang tidak sekolah, atau putus Sekolah
Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah yang berada pada usia wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun. Kegiatan ini dilaksanakan dalam kelompok belajar binaan
PKBM dengan jumlah peserta didik minimal 20 sampai dengan 30 orang dan
dibantu oleh tutor yang mengerti tentang pendidikan dasar, dikutip dari jurnal
oleh Suhendro. Pada paket B hampir sama dengan pelaksanaan paket A yaitu
setiap tutor ditekankan untuk membuat perangkat pemebelajaran atau RPP.
Dalam program paket B memiliki target yang harus dicapai yaitu harus bisa
meluluskan peserta didik setiap tahunnya, menambah wawasan kepada peserta
didik, membantu masyarakat untuk menyetarakan pendidikan, membantu
masyarakat mendapatkan ijazah yang bisa digunakan untuk melanjutkan
pendidikan kejenjang yang lebih tinggi dan untuk bekerja. Sedangkan pada
program paket C, tutor menyusun perangkat pemebelajaran atau Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Mustofa Kamil (2009:97) menyatakan
bahwa, Program pendidikan kesetaraan paket C, merupakan program rintisan
yang dikembangkan Direktorat Jendral Nonformal dan Informal, program
kesetaraan paket C di bawah binaan Direktorat Pendidikan Kesetaraan.
Program paket C dikembangkan lebih profesional dan bersaing dengan kualitas
pendidikan sekolah (formal), dikutip dari jurnal oleh Suhendro.

C. Tantangan Menciptakan Pendidikan Kesetaraan yang Bermutu


1) Tantangan bagi Lembaga
Pendidikan kesetaraan yang merupakan suatu pendidikan non
formal bagi masyarakat tentunya memilki aturan-aturan yang
berlaku agar tercapainya sistem pembelajaran yang kondusif dan
yang utama meningkatkan kualitas peserta didik. Oleh karena tidak
dapat dipungkiri bahwa Pemertintah dan/atau lembaga sebagai
penyelenggara yang merumuskan berbagai aturan harus
menghadapi berbagai tantangan untuk mencapai kesesuain dengan
peserta didik. Hal ini berlandaskan kutipan dari Sawa Suryana,
Siswanto dan Liliek Dismawati bahwa tantangan yang dihadapi
oleh penyelenggaraan pendidikan kesetaraan tidak berhenti pada
kebijakan yang telah disepakati pada tingkat atas, tetapi
pemahaman dan kemampuan penyelenggaraan dalam tingkat
masyarakat perlu memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh
oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian guna menjawab
tantangan kelembagaan dimasa yang akan datang.
2) Tantangan dari Lingkungan peserta didik
Tidak hanya pemerintah atau lemabaga yang berperan penting
dalam menciptakan pendidikan kesetaraan yang bermutu namun
perlu partisipasi aktif dari masyarakat yang merupakan peserta
pendidikan kesetaraan. Pada dasarnya masyarakat lah yang
memerlukan pendidikan oleh karena itu pemerintah menyediakan
wadah bagi amsyarakat baik bagi yang tidak mampu maupun yang
hal ain yang menghambat Ia menempuh pendidikan formal.
Dengan demikian masyarakt yang harus terlibat aktif dalam
memnuhi pendidikannya. Adapun berikut ini tantangan yang sering
dialami oleh masyarkaat dan cara menyikapinya.
a) Kesadaran dan Keinginan Peserta Didik untuk Menempuh
Jenjang Pendidikan Kesetaraan
b) Kesadaran dan Keinginan Orang Tua untuk pendidikan
anaknya
Dikutip dari Jurnal Sejarah, Sosioogi dan Perpustakaan,
Univeristas Pendidikan Ganesha.

D. Kendala Pada Proses Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan


Kendala Bagi Pengelola, menurut Adawiyah dan Matnuh, (2011:26-29)
dikutip oleh Jurnal Universita Pendidikan Ganesha, beberapa kendala yang
dihadapi pengelola dalam melaksanakan pembelajaran kesetaraan, antara
lain:
1) Dana terlambat
2) Kurangnya fasilitas terlambat
3) Tutor mengajar seadanya
4) Tempat belajar jauh
5) Kurangnya kehadiran warga belajar dalam pembelajaran
6) Modul yang sering terlambat,
Kendala pada pesrta didik berdasarkan Jurnal Bimbingan Konseling
Indonesia oleh Galus Mulyawan ada yang disebut dengan faktor internal.
Faktor internal merupakan permasalahan yang timbul dari diri pribadi
siswa yang mengikuti pendidikan kesetaraan tersebut dapat berupa
motivasi belajar yang rendah. Penyebab rendahnya keberhasilan belajar
terletak pada motivasi belajar, motivasi erat kaitannya dengan
pembelajaran karena sebagai modal kesiapan peserta didik dalam
melakukan pembelajaran. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang
rendah ditandai dengan tidak antusias dalam pembelajaran, lebih senang
diluar kelas (membolos), cepat merasa bosan, mengantuk, serta pasif
(Darsano, dalam [13]). Sejalan dengan pernyataan (Mappa dalam Sudjana,
2008: 87). Masalah tesebut diantaranya terjadi pada komponen program.
Ada beberapa komponen program dalam pelaksanaan penyelenggaraan
pendidikan luar sekolah terdiri dari masukan, proses dan hasil program
Komponen masukan atau input salah satunya adalah warga belajar. (Arief
dalam Sudjana, 2008: 87) mengatakan bahwa “Warga belajar adalah
peserta didik yang diorganisasi berdasarkan kebutuhan belajar, minat dan
potensi-potensi pembelajaran yang tersedia”. Warga belajar menjadi
masalah yang paling krusial di lapangan. Dimana permasalahan itu kerap
terjadi adalah partisipasi warga belajar dalam mengikuti pendidikan
kesetaraan yaitu rendahnya partisipasi warga belajar menjadi masalah yang
perlu diselesaikan agar pelaksanaan dan hasil dari program pendidikan
kesetaraan berjalan sesuai dengan harapan, dikutip dari jurnal Pendidikan
Luar Sekolah oleh Ulva Verani, Niswatul Imsiyah, Muhammad Irfan
Hilmi.

E. Metode dan Model Pada Pendidikan Kesetaraan


Untuk menghadapi permasalahan di atas, hal yang dapat dilakukan dengan
menerapkan metode atau model berikut ini sehingga kualitas diri dari
peserta didik dapat meningkat.
1) Metode Pembelajaran Mandiri Pada Pendidikan Kesetaraan
Latar belakang yang berbeda dari peserta didik dapat berdampak
pada motivasi dan pengalaman belajarnya. Metode yang diterapkan
pada penelitian ini yaitu metode pembelajaran mandiri. Metode
pembelajaran mandiri dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan
tersebut sehingga peserta didik memiliki motivasi yang lebih dan
pengalaman belajar yang lebih banyak, pembelajaran dapat
dilakukan dengan baik dan peserta didik akan lebih mandiri.
Dikutip dari Jurnal Pendidikan Luar Sekolah oleh Riza Anugrah
Putra, Mustofa Kamil dan Joni Rahmat Pramudia. Beikut beberapa
pendapat tentang pentingnya kemandirian belajar. Menurtu
Webmeyer (2012, hlm. 354), kemandirian belajar ini perlu
diberikan kepada peserta didik supaya mereka mempunyai
tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan
dalam mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri.
Sejalan dengan Wedemeyer, Moore (dalam Rusman 2012, hlm.
354) berpendapat bahwa ciri utama suatu proses pembelajaran
mandiri adalah adanya kesempatan yang diberikan kepada peserta
didik untuk ikut menentukan tujuan, sumber, dan evaluasi
belajarnya. Dikutip dari Jurnal Pendidikan Luar Sekolah oleh Riza
Anugrah Putra, Mustofa Kamil dan Joni Rahmat Pramudia.
Berdasarkan beberapa pernyataan diatas dapat kita simpulkan
bhawa kemandirian belajar sangat penting dilakukan oleh peserta
didik untuk meningkatkan kualitas dirinya. Memang dikarenakan
waktu yang terbatas dan masing-masing individu memiliki
aktivitas yang berbeda maka perlu kesadaran dari peserta didik dan
juga dorongan dari lembaga untuk menerapkan metode mandiri
dalam belajar.
2) Model pendidikan kecakapan hidup
Alasan rasional pentingnya keefektifan penerapan model
pendidikan berbasis life skills adalah pendidikan non formal
program kesetaraan dikelola dengan pendekatan demand-driven.
Artinya, materi atau konten yang diajarkan kepada peserta didik
merupakan ”refleksi nilai-nilai kehidupan nyata” yang dihadapinya
sehingga lebih berorientasi kepada life skills-based learning.
Namun apakah makna dari kecakapan hidup, pengertian kecakapan
hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional)
tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO (1997)
mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau
kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang
memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan
dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Barrie Hopson
dan Scally (1981 dalam Ihat, 2007) mengemukakan bahwa
kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan
hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok
maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu, dikutip
dari jurnal yang dibuat oleh Liliek Desmawati, Tri Suminar, Emmy
Budiartati. Dapat kita simpulkan bahwasannya melakukan model
kecakapan hidup pada peserta didik kesetaraan sangat penting.
Pada dasarnya model ini juga diterapkan di pendidikan formal dan
wajib juga diterapkan pada pendidikan non formal. Bentuk
penerapannya dilakukan terintegrasi dengan mata pelajaran life
skill sehingga peserta didik juga dapat terfokus memelajarinya dan
dapat menngaplikasikannya pada kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Ulva Verani, Niswatul Imsiyah, Muhammad Irfan Hilmi. Peran Tokoh
Masyarakat Dalam Peningkatan Partisipasi Warga Belajar Pendidikan
Kesetaraan Di PKBM Nurul Huda Kabupaten Jember. Jurnal Pendidikan Luar
Sekolah, Vol. 3. No.2 (2019): 50-58

Suhendro, Sulistyarini, Izhar Salim. Pelaksanaan Program Pendidikan


Kesetaraan Di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (Pkbm) Kecamatan
Terentang. Jurnal Pendidikan, Vol. 2 No.2 (2019): 1-9

Sawa Suryana, Siswanto, Liliek Dismawati. Model Pembelajaran Dan Evaluasi


Program Pendidikan Kesetaraan Paket B Dan Paket C Di Kota Semarang. Jurnal
Unversitan Negeri Semarang, Vol. 1 No.1 (2016): 1-11

Liliek Desmawati, Tri Suminar, Emmy Budiartati. Penerapan Model Pendidikan


Kecakapan Hidup Pada Program Pendidikan Kesetaraan Di Kota Semarang.
Jurnal Universitas Pendidikan Semarang, Vol 2 No.1 (2017): 1-20

Galuh Mulyawan. Urgensi Bimbingan Konseling Dalam Pendidikan Nonformal


Khususnya Pendidikan Kesetaraan (Equivalency Education). Jurnal Bimbingan
Konseling Indonesia Vol. 5 No. 1 (2020): 1-4

Harlinda MA, Muhlis Madani, Muhammad Tahir. Manajemen Pendidikan


Kesetaraan Kejar Paket C Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Amanah Ummat
Makassar. Jurnal Universitas Muhammadiah Makassar, Vol.1 No.1 (2020): 43-58

Riza Anugrah Putra, Mustofa Kamil, Joni Rahmat Pramudia. Penerapan Metode
Pembelajaran Mandiri Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik. Jurnal
Pendidikan Luar Sekolah, Vol. I No. 1 (2017): 23-36
Aris Wibowo, Luh Putu Sendratari, I Gusti Arya Sutha Wirawan. Pola
Pembelajaran Dan Kendalanya Pada Program Pendidikan Kesetaraan Paket B
Di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (Pkbm) Lestari Gerokgak, Buleleng, Bali.
e-Jurnal Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Sejarah,
Sosiologi dan Perpustakaan, Vol.1 No.1 (2019): 1-11

http://pauddikmassumbar.kemdikbud.go.id/artikel/52/apa-itu-pendidikan-
kesetaraan ( Diakses pada tanggal 18 Oktober 2020, Pukul 12.00)

http://lpkajakarta.kemenkumham.go.id/index.php?
option=com_attachments&task=download&id=57 ( Diakses pada tanggal 20
Oktober 2020, Pukul 15.00)

Anda mungkin juga menyukai