Anda di halaman 1dari 8

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS):

KESETARAAN DAN KUALITAS PENDIDIKAN

RINGKASAN

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Problematika Pendidikan Luar Sekolah (PLS)
yang dibina oleh Bapak Dr. H. Hardika, M.Pd. dan
Ibu Dr. Ellyn Sugeng Desyanty, S.Pd., M.Pd.

Oleh
Dita Destari Iin R. I 170141857009
Monica Widyaswari 170141857017

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
Oktober 2017
A. Pendidikan Kesetaraan
1. Pengertian Pendidikan Kesetaraan

Joesoef (1992), pendidikan kesetaraan merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan


dalam pendidikan luar sekolah sebagai suatu sub sistem Pendidikan Nonformal (PNF). PNF
adalah pendidikan yang teratur dengan sadar dilaksanakan, namun tidak terlalu mengikuti
peraturan-peraturan yang tetap dan ketat seperti pendidikan formal. Dengan adanya batasan
pengertian tersebut, pendidikan nonformal tersebut berada antara pendidikan formal dan
pendidikan informal.
Hermawan (2012) memaparkan bahwa pendidikan kesetaraan adalah salah satu satuan
pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang meliputi Kelompok Belajar (Kejar) program
paket A setara SD/MI, program paket B setara SMP/MTs, dan program paket C setara SMA/MA
yang dapat diselenggarakan melalui Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Balai Pengembangan
Kegiatan Belajar (BPKB), PKBM, Lembaga Pelatihan Kursus (LPK), Organisasi Sosial (Orsos),
Organisasi Masyarakat (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Pondok
Pesantren, satuan sejenis lainnya. Bahkan, mulai tahun 2008 telah dibuka kesempatan lembaga
kursus/pelatihan dapat turut serta menyelenggarakan pendidikan kesetaraan khususnya untuk
percepatan peningkatan keterampilan peserta didik. Sesuai dengan kebijakan Menteri Pendidikan
Nasional lulusan pendidikan kesetaraan mempunyai hak eligibilitas untuk meneruskan pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik di lembaga pendidikan formal maupun nonformal,
serta memiliki pengakuan yang sama ketika mereka memasuki dunia kerja.
Dalam Undang-Undnag Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan mengganti. Berkenaan dengan hal tersebut di atas,
maka salah satu upaya yang ditempuh untuk memperluas akses pendidikan guna mendukung
pendidikan sepanjang hayat adalah melalui pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan
merupakan program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum yang
mencakup Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA).

1
2. Peranan dan Tujuan Pendidikan Kesetaraan
2.1 Peranan Pendidikan Kesetaraan

Peran pendidikan kesetaraan sangat strategis dalam rangka pemberian bekal pengetahuan
dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Hermawan (2012) menyatakan
bahwa penyelenggaraan program ini terutama ditujukan bagi masyarakat putus sekolah karena
keterbatasan ekonomi, keyakinan, masalah sosial-hukum, memiliki keterbatasan waktu, letak
geografis dalam arti bertempat tinggal di daerah-daerah khusus, seperti daerah perbatasan,
daerah bencana, dan daerah yang terisolir yang belum memiliki fasilitas pendidikan yang
memadai bahkan juga bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan calon TKI.
Memahami nilai dan manfaat program pendidikan kesetaraan bagi peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi pada program kesetaraan.
Untuk skala nasional, penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan dimaksudkan
sebagai upaya untuk mendukung dan menyukseskan program pendidikan wajib belajar 9 tahun.
Pendidikan wajib belajar 9 tahun merupakan penjabaran dari rencana strategis Kementerian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang meliputi perluasan akses, pemerataan, dan
peningkatan kualitas pendidikan.

2.2 Tujuan Pendidikan Kesetaraan

Tujuan pendidikan kesetaraan adalah (a) meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan


sikap warga belajar sehingga dapat memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang setara
dengan lulusannya (baik SD, SMP, maupun SMA); (b) meningkatkan kualitas, relevansi, dan
daya saing pendidikan kesetaraan; serta (c) menguatkan tata kelola, akuntabilitas, dan citra
publik terhadap pendidikan kesetaraan.

2.3 Problematika dalam Pendidikan Kesetaraan

Secara umum, mengajak masyarakat untuk belajar di kejar paket tidaklah mudah. Sesuai
dengan sebutannya yakni kejar, berarti kita harus benar-benar mengejar calon warga belajar
tersebut. ‘Mengejar’ dalam hal ini memberikan motivasi dan menjelaskan akan pentingnya

2
pendidikan kepada calon warga belajar. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan pendekatan
terhadap warga belajar, seperti pendekatan induktif, tematik, konstruktif, dan andragogi.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk warga belajar pendidikan kesetaraan tentu
berbeda dengan pendekatan peserta didik di pendidikan formal, mengingat warga belajar
pendidikan kesetaraan adalah orang-orang yang bermasalah. Bermasalah dalam artian berkaitan
dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh warga belajar, seperti masalah ekonomi, letak
geografis, sosial/hukum, memiliki keterbatasan waktu, keyakinan, dan lain-lain sehingga
menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkan pendidikannya di pendidikan formal. Berikut
rincian berbagai problematika yang sering terjadi dalam pendidikan kesetaraan:
a. Warga Belajar
Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan warga belajar adalah (1) lokasi tempat tinggal
yang saling berjauhan; (2) latar belakang warga belajar; dan (3) motivasi warga belajar yang
masih rendah terhadap belajar.
b. Fasilitator
Fasilitator berperan dalam membimbing warga belajar dalam memahami materi belajar.
Dalam pendidikan kesetaraan diperlukan fasilitator yang memahami masalah pendidikan.
Permasalahan yang sering terjadi berkaitan dengan fasilitator adalah sulit mendapatkan
fasilitator dengan kualifikasi yang sesuai. Selain itu, kesejahteraan fasilitator program
kesetaraan masih rendah yang ditandai dengan minimnya honorarium.
c. Sarana prasarana
Sarana belajar sebagai media yang digunakan juga tidak lepas dari masalah, seperti (1)
jumlah fasilitas yang digunakan untuk mendukung kegiatan belajar (modul, buku, dan lain-
lain) terbatas; dan (2) tersedia sarana belajar namun kurang dimanfaatkan dengan baik,
sehingga menghambat proses belajar. Sedangkan problematika yang sering terjadi terkait
prasarana adalah belum memiliki gedung sendiri. Hal ini menyebabkan pelaksanaan
pembelajaran program kesetaraan masih memanfaatkan balai desa, gedung sekolah formal,
tempat-tempat pertemuan lainnya, atau rumah warga. Selain itu juga tidak jarang lokasi
pembelajaran program kesetaraan jauh dari tempat tinggal warga belajar.

3
B. Kualitas Pendidikan
Suryana (2017) memaparkan bahwa permasalahan kualitas pendidikan tidak berdiri
sendiri, tetapi terkait dengan sistem yang saling berpengaruh. Kualitas keluaran dipengaruhi oleh
kualitas masukan dan kualitas proses. Pembahasan dalam hal ini didasarkan pada komponen
masukan, proses, dan keluaran. Kualitas masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan peserta
didik dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Selain itu, kendala dari komponen masukan
pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan
meliputi (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai, baik secara
kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya; (2) sarana dan prasarana belajar yang belum
tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; dan (3) pendanaan pendidikan yang belum
memadai untuk menunjang kualitas pembelajaran. Salah satu faktor yang terpenting dalam
mempengaruhi kualitas pendidikan adalah ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan.
Beberapa faktor penyebab ketidakefisienan tersebut adalah penyebaran pendidik dan tenaga
kependidikan yang kurang merata. Hal lain terkait sarana dan prasarana pendidikan adalah
penggunaan dan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang masih terbatas, terutama
dalam pengelolaan dan pembelajaran. Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas
dan daya saing adalah anggaran pendidikan yang belum memadai, baik ketersediaannya maupun
dalam efisiensi pengelolaannya.
Sementara untuk komponen proses adalah proses pembelajaran yang belum efektif.
Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan
dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi
terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi pada guru (teacher oriented)
cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak
sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan dan mencerdaskan menjadi kurang optimal.
Di sisi lain yang turut berpengaruh adalah kemampuan pengelolaan masih rendah. Berbagai
masukan pendidikan mulai menjalankan proses pembelajaran hingga pengelolaan pendidikan
secara keseluruhan, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan
yang ada di atasnya.
Senada dengan Raharjo (2012) yang merumuskan bahwa secara umum pembangunan
pendidikan nasional di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai macam persoalan yang antara
lain mencakup (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan kualitas, relevansi, dan daya

4
saing; dan (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik. Dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan nasional pemerintah telah melakukan suatu reformasi menyeluruh dimulai
dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik
pemerintahan.
Adanya reformasi politik pemerintahan ditandai dengan perubahan radikal tata
kepemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, dengan memberikan otonomi
yang luas kepada daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diatur kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pendidikan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kemudian dialihkan
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang
pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen
pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional. Atas dasar
beberapa permasalahan tersebut, perluasan dan pemerataan pendidikan yang berkualitas dan
relevan dengan kebutuhan masyarakat harus ditempatkan pada prioritas tertinggi dalam
pembangunan pendidikan.
Selain itu, pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui
berbagai kebijakan antara lain kebijakan sertifikasi bagi pendidik, bantuan operasional sekolah,
pemberian block grant, dan menetapkan standar nasional yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar pendidikan
meliputi standar isi, proses, ketenagaan, sarana dan prasarana, pengelolaan, evaluasi, pembiayaan
dan kompetensi lulusan. Dengan adanya standar nasional tersebut, maka arah peningkatan
kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih jelas. Apabila setiap satuan pendidikan telah
mencapai atau melebihi standar nasional pendidikan tersebut, maka kualitas satuan pendidikan
tersebut dapat dinyatakan tinggi. Berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan kualitas
pendidikan telah ditetapkan dan diimplementasikan, dengan harapan kualitas pendidikan dapat
berangsur-angsur meningkat pada gradasi yang tinggi yang ditandai dengan meningkatnya
kecakapan lulusan.
Astawa (2017) memaparkan bahwa terdapat empat peran pemerintah dalam peningkatan
kualitas pendidikan yaitu (1) sebagai pelayan masyarakat berarti pemerintah melayani kebutuhan
masyarakat mengenai tentang pendidikan. Pemerintah mengutamakan masyarakat untuk dilayani
agar pengembangan pendidikan setiap masyarakat bisa menjadi lebih baik lagi; (2) sebagai

5
fasilitator yaitu pemerintah sebagai penyedia tempat atau penyedia fasilitas untuk pendidikan.
Pemerintah seharusnya mampu berbaur dalam masyarakat mendengarkan aspirasi masyarakat
mengenai fasilitas sekolah yang ada di daerah tersebut dan benar-benar mengevaluasi pengaduan
masyarakat akan perlunya perbaikan fasilitas; (3) sebagai pendamping berarti pemerintah
mendampingi masyarakat, menerima keluhan masyarakat mengenai pendidikan sehingga
masyarakat merasa pihak pemerintah selalu ada untuk mendampingi mereka dalam memperoleh
jawaban atas keluhan yang dirasakan mengenai pendidikan yang ada di daerah masing-masing;
serta (4) sebagai mitra yaitu pemerintah menjadi rekan kerja sama antara pihak sekolah dan
masyarakat. Pemerintah dalam menentukan kebijakan pendidikan harus mampu memahami
keadaan pendidikan setiap daerah. Hal ini perlu ditempuh agar tidak ada unsur pemaksaan yang
dilakukan oleh pihak pemerintah. Untuk itu, setiap keputusan perlu dibicarakan dengan dengan
berbagai pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menentukan tentang kebijakan baru.
Selain pemerintah, pembangunan kualitas pendidikan di Indonesia harus dilakukan secara
bersama-sama tidak hanya bagi pihak pemerintah atau para pendidik dan tenaga kependidikan,
tetapi juga perlu melibatkan masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting untuk tercapainya
suatu tujuan pendidikan yang berkualitas. Meningkatkan peran serta masyarakat berkaitan
dengan mengubah cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. Astawa (2017) merinci
terdapat tujuh tingkatan peran serta masyarakat (dirinci dari tingkat partisipasi terendah ke
tinggi) yaitu (1) peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Pada tingkatan
ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka; (2) peran
serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada jenis ini masyarakat
berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana,
barang, atau tenaga; (3) peran serta secara pasif yaitu masyarakat menyetujui dan menerima apa
yang diputuskan pihak sekolah; (4) peran serta melalui adanya konsultasi. Artinya orangtua
datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya; (5)
peran serta dalam pelayanan berarti orangtua atau masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah.
Contoh orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi wisata, pramuka, kegiatan keagamaan,
dan sebagainya; (6) peran serta sebagai pelaksana kegiatan, misalnya sekolah meminta orangtua
atau masyarakat untuk memberikan penyuluhan terkait pentingnya pendidikan, masalah gender,
gizi, dan sebagainya; (7) peran serta dalam pengambilan keputusan berarti orangtua atau

6
masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis maupun non
akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah.

Daftar Pustaka
Astawa, I Nyoman Temon. 2017. Memahami Peran Masyarakat dan Pemerintah Dalam
Kemajuan Kualitas Pendidikan di Indonesia. Jurnal Penjaminan Kualitas. Volume 3,
Nomor 2, Edisi Agustus.
Hermawan, Ida Kintamani Dewi. 2012. Kinerja Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu
Jenis Pendidikan Nonformal. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Volume 18, Nomor 1,
Edisi Maret.
Joesoef, Soelaiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Raharjo, Sabar Budi. 2012. Evaluasi Trend Kualitas Pendidikan di Indonesia. Jurnal Penelitian
dan Evaluasi Pendidikan. Volume 16, Nomor 2, Edisi____.
Suryana, S. 2017. Permasalahan Kualitas Pendidikan dalam Perspepektif Pembangunan
Pendidikan. Edukasi. Volume 2, Nomor 1, Edisi Agustus.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai