Disusun Oleh
Nama: HAMZAH
NIM:
2020
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka kami dapat
menarik beberapa permasalahan, seperti:
1. Apa-apa isu-isu kontekstual pendidikan ?
2. Bagaimana reaksi Masyarakat dalam menghadapi budaya Globalisasi ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui isu-isu kontekstual pendidikan
2. Untuk mengetahui reaksi Masyarakat dalam menghadapi budaya Globalisasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Isu-isu Kontekstual Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Terlebih dahulu kita kembali memahami makna yang terkandung di dalam
pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan adalah pembelajaran
pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan,
atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi
juga memungkinkan secara otodidak. Pendidikan diusahakan oleh orang tua atau
generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup
secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-
baiknya.
Imam al-Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana atau media untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang Pencipta (Allah), dan untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak yang lebih utama dan abadi. Tujuan
pendidikan dalam Islam pada dasarnya mengharapkan manusia menjadi insan
paripurna, baik paripurna di dunia begitupun paripurna di akhirat.
2. Isu-isu Kontekstual Pendidikan
Masalah pendidikan Indonesia tersebut diantaranya adalah:
a. Kebijakan Pendidikan
Dalam menjankan proses pendidikan di Indonesia sangat ditentukan oleh
kebijakan yang dikeluarkan pemangku kepentingan di negeri ini terutama Menteri
Pendidikan Indonesia. Contoh sederhana pada saat sekarang ini terkait kebijakan
yang dikeluarkan selama belajar dari rumah dan penggelontoran dana pembelian
paket internet belajar yang banyak mendapatkan sorotan masyarakat yang dinilai
hanya menguntungkan segelintir orang dan terbatas kepada kelompok pelajar
tertentu karena adanya kendala akses internet.
Jika menteri pendidikan bisa membuat nota kesepakatan dengan stasiun
TV nasional dan swasta, maka sesungguhnya hal ini lebih efektif dengan
mengganti tayangan-tayangan televise berbasis pendidikan, hal ini juga karena
hampir setiap rumah memiliki TV dan belum tentu memiliki HP, kalaupun
memiliki HP tapi belum tentu bisa akses internet.
b. Kualitas Pengajar
Pengajar atau guru bukanlah satu-satunya sentral pendidikan tetapi
kehadiran guru sangat mempengaruhui kualitas transfer ilmu kepada peserta didik.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya
tingkat kesejahteraan guru. Pemerintah memang telah menerapkan program
sertifikasi guru yang memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kualitas pengajar
atau tenaga pendidik. Namun, hingga saat ini kita masih bisa menemui tenaga
pengajar yang ilmu dan pengetahuannya belum up to date sehingga hanya
terkesan asal - asalan saja menjalani program sertifikasi guru tersebut. Hal ini
sangat bisa ketumui pada proses pembelajaran daring (dalam jaringan) selama
pandemi, dimana banyak guru yang notabene tersertifikasi tapi mengalami
kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh berbasis internet.
c. Rendahnya Kesejahteraan Guru.
Jika dibandingkan dengan negara lain, misalnya negara tetangga Malaysia
maka kita bisa temukan perbedaan yang sangat jauh tingkat kesejahteraan guru.
Bahkan di berbagai satuan pendidikan masih banyak guru non PNS bergaji sangat
jauh dari UMR, hanya mengandalkan dana Bos yang diterima per triwulan disisi
lain, mereka juga diminta memenuhi administrasi pembelajaran layaknya guru
PNS. Jika guru PNS saya masih banyak yang mengeluh, lalu bagaimana dengan
guru-guru yang berstatus guru “suka rela”, maka wajar jika mereka harus mencari
pemenuhan kehidupan di luar sekolah yang kadang mengalami kesulitan
pengaturan jadwal mengajar dan pembagian konstrasi antara mengajar dan urusan
di luar sekolah.
d. Rendahnya Prestasi Siswa
Prestasi siswa sebenarnya tidak hanya diukur dengan peringkat kelas setiap
akhir semester, tetapi prestasi itu bisa saja diukur dari kemampuan lain yang
diperoleh oleh peserta didik di luar kelas seperti kompetensi atau lomba baik yang
diadakan di lingkup satuan pendidikan atau di luar sekolah. Itulah sebabnya dalam
kurikulum 2013 (K13) tidak lagi dicantumkan nilai rapor yang diadopsi dari
sistem pembelajaran di Austria, yang hanya mengukur kemampuan bisa atau tidak
bisa terhadap materi yang diberikan kepada peserta didik.
Prestasi siswa pada dasarnya banyak dipengaruhi dari kemampuan sarana
prasana satuan pendidikan, kualitas pengajar, kesejahteraan pengajar dan
keterlibatan stackholder lain. Jika semuanya bisa bersinergi, maka tentu akan
membuat kenyamanan dalam menumbuhkembangkan prestasi peserta didik.
e. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan Lapangan Kerja
Asumsi sebagian masyarakat bahwa tujuan pendidikan (sekolah) adalah
menjadi PNS ternyata masih ada. Namun kemudian tidak semua lulusan
perguruan tinggi menjadi pegawai negeri sipil. Disisi lain, dunia kerja penuh
dengan persaingan sehingga banyak sarjana yang memiliki kualifikasi pendidikan
tertentu tidak bisa bekerja pada instansi yang sesuai dengan ijasahnya, dan ada
juga fenomena masyarakat lebih memilih menjadi pengangguran jika pekerjaan
tersebut tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya. Hal inilah semua yang
masih menjadi pemicu tingginya tingkat pengangguran.
f. Pergantian Kurikulum
Ini merupakan masalah klasik pendidikan di Indonesia dimana sering
sekali terjadi pergantian kurikulum setiap kali terjadi pergantian pejabat setingkat
menteri. Parahnya, sebagai akibat dari seringnya terjadi pergantian kurikulum ini
adalah harus sering melakukan penggantian buku dan materi ajar yang tidak kalah
merepotkan bagi guru, siswa, dan orang tua / wali.
g. Biaya Pendidikan Yang Tinggi
Setiap kali menjelang musim ajaran baru, kebanyakan orang tua / wali pasti
dibingungkan dengan masalah biaya pendidikan. Mulai dari uang pendaftaran,
uang gedung, uang SPP, dll. Terlebih bila ingin memasukkan anak mereka di
sekolah dengan standard internasional yang biayanya bisa berkali kali lipat bila
dibanding dengan sekolah biasa. Begitu juga dengan perguruan tinggi. Biaya uang
gedung dan SPP (baik SPP tetap dan SPP variabel) sudah semakin tidak
terjangkau bagi masyarakat miskin. Memang pemerintah telah mencanangkan
sekolah gratis bagi siswa SD dan SMP. Namun, dengan dana yang minimalis
untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas nampaknya sangat jauh untuk
ketercapaianya. Apalagi kita tahu bahwa pengelolaan pendidikan di Indonesia
masih jauh dari ke efisienan. Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering
muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah
untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
h. Metode Evaluasi
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Peserta didik
Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar
pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat
digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas
standar saja. Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan
seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal
itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofersi misalnya. Kami
menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami
sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya
peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat
proses yang dilalu peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama
beberapa tahun. Selain hanya berlangsug sekali, evaluasi seperti itu hanya
mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain
yang telah diikuti oleh peserta didik. Gonjang - ganjing pelaksanaan Ujian Akhir
Nasional atau UAN pasti terjadi setiap tahunnya. Mulai meributkan tentang
standar nilai, sistem pelaksanaan UAN itu sendiri, hingga penggunaan nilai UAN
untuk mendaftar di sekolah yang lebih tinggi. Dan yang pasti, UAN masih tetap
menjadi momok bagi sebagian besar siswa dan guru di Indonesia
i. Sarana & Prasara Pendidikan
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik. Banyak sekali sekolah dan perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih
banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan,
tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Siswa akan mampu belajar dengan tenang bila sarana dan prasarana
pendidikan memadai. Untuk wilayah perkotaan mungkin akan sangat jarang
ditemui sarana dan prasarana pendidikan yang tidak layak. Namun coba kita lihat
sarana dan prasarana pendidikan di wilayah pedalaman Indoensia, sangat
memprihatinkan. Padahal para siswa di wilayah pedalama Indonesia tersebut juga
memiliki hak yang sama untuk bisa menikmati sarana dan prasarana pendidikan
yang layak.