Zaitun Syahbudin
Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau Jalan
H. R. Soebrantas KM. 15.5, Simpang Baru, Tampan, Pekanbaru 28293 Email:
zaitun@uin-suska.ac.id
Muhammad Hanafi
Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau Jalan
H. R. Soebrantas KM. 15.5, Simpang Baru, Tampan, Pekanbaru 28293 Email:
mhanafi@uin-suska.ac.id
ABSTRAK
Makalah ini memaparkan bentuk konflik multikultural di SMA Kartini Kabupaten Rokan Hilir Riau, faktor pendukung
dan penghambat dalam penerapan kurikulum multikultural dan perancangan model pembelajaran PAI ( Pendidikan)
berbasis multikultural. Agama Islam / Pendidikan Islam) untuk meredam konflik antar pelajar. Penelitian ini merupakan
penelitian dan pengembangan (R&D) dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dan pengembangan dilakukan hingga
tahap hipotetik. Subyek penelitian adalah guru PAI, Kimia, dan PKN (Pendidikan Kewarganegaraan ). Masing-masing
guru mata pelajaran adalah satu orang, dan jumlah siswa yang berpartisipasi adalah 34 orang. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Pengolahan data kualitatif meliputi
pengumpulan data, reduksi, penyajian, dan verifikasi. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi konflik di SMA Kartini yang
disebabkan oleh perbedaan individu, perbedaan kepentingan, perubahan budaya dan sosial. Faktor pendukung
penerapan kurikulum multikultural adalah seluruh pemangku kepentingan di SMA Kartini masih memiliki sikap toleran
yang dapat dikembangkan dan diarahkan serta para guru di SMA Kartini memiliki sikap inklusif. Sedangkan faktor
penghambat penerapan kurikulum multikultural di SMA Kartini adalah minimnya sarana dan prasarana, kurangnya
layanan informasi, dan kurangnya pengawasan terhadap siswa.
ABSTRAK
Makalah ini memaparkan bentuk konflik multikultural di SMA Kartini Kabupaten Rokan Hilir Riau, faktor pendukung
dan penghambat diterapkannya kurikulum multikultural, dan desain model pembelajaran pendidikan agama Islam
(PAI) berbasis multikultural untuk meredam konflik dikalangan peserta didik. Penelitian merupakan penelitian
pengembangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian pengembangan dilakukan sampai pada fase hipotetik.
Subjek penelitian adalah Guru PAI, Kimia dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) masing-masing 1 orang dan
peserta didik berjumlah 34 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, angket dan dokumentasi.
Pengolahan data kualitatif meliputi koleksi data, reduksi, penyajian, dan verifikasi. Hasil penelitian diperoleh data
bahwa konflik di SMA Kartini disebabkan oleh perbedaan individu, perbedaan kepentingan, budaya dan perubahan
sosial. Faktor pendukung diterapkannya kurikulum multikulural di SMA Kartini adalah seluruh stakeholder di SMA
Kartini masih memiliki sikap toleransi yang dapat dibina dan diarahkan dan guru di SMA Kartini memiliki sikap
inklusif. Sementara itu faktor penghambat diterapkannya kurikulum multikultral adalah minimnya sarana dan
prasarana, kurangnya layanan informasi, dan kurangnya pengawasan terhadap peserta didik.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Keadaan tersebut dapat dilihat
dari luasnya sosial budaya dan geografi dengan keragaman suku, agama, ras dan budaya (Kariyawan,
2012). Gelombang demokrasi menuntut adanya perbedaan di Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.
Pendidikan multikultural adalah jawaban untuk menyelesaikan masalah keragaman proses (Tonbuloglu,
Aslan, & Aydin, 2016). Menyadari bahwa pendidikan adalah proses penanaman dan prospek persatuan
bangsa yang mengacu pada unsur-unsur kebudayaan Indonesia (Tilaar, 1999). Indonesia, sebagai negara
dengan beragam suku, kelompok, budaya, dan agama, secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat multikultural.
Keanekaragaman suku bangsa yang menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia dapat menjadi
suatu kebanggaan. Namun, keberagaman juga dapat menjadi sumber konflik yang dapat mengancam
persatuan dan kehidupan bangsa Indonesia. Jelas bahwa karena Indonesia adalah negara multikultural
dengan berbagai suku, budaya, dan agama, konflik di antara mereka sering terjadi. Salah satu upaya
untuk meminimalisir konflik tersebut adalah melalui lembaga pendidikan persekolahan. Sekolah merujuk
pada lembaga yang memperkenalkan perbedaan agama, budaya dan suku.
Sebagai lembaga yang memberikan pengenalan dan penanaman nilai dan kebajikan, sekolah diharapkan
tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tetapi juga transfer nilai. Mentransfer nilai berarti
mengajarkan nilai-nilai agama dan budaya dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya.
Sehingga diharapkan lembaga tersebut dapat menyelesaikan dan meminimalisir munculnya konflik.
Sekolah memiliki peran penting dalam pembentukan karakter individu di kelas. Salah satu tugas
strategis sekolah adalah menciptakan sikap toleran agar hubungan antarkelompok dapat terjalin secara
rukun dan damai. Selain itu, sekolah melalui pendidikan multikultural dapat membantu siswa mengurangi
potensi konflik di lingkungan pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah serta tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Di
dimensi lain, pengembangan kurikulum dalam kegiatan pendidikan diharapkan dapat memasukkan
berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian orang-orang dari etnis lain. Artinya pendidikan
multikultural secara luas mencakup semua peserta didik tanpa memandang golongan, baik itu suku, ras,
budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia
yang toleran dan saling menghargai (Arifudin, 2007; Banks, 1993).
Melalui pendidikan multikultural, sekolah yang siswanya berasal dari berbagai latar belakang
dibimbing untuk saling mengenalkan perbedaan suku, agama, budaya, dan gaya hidup (Sugimura, 2015).
Dengan demikian, sejak dini para siswa dapat dibimbing untuk memahami tujuan Bhinneka Tunggal Ika
dan mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran mereka. Selanjutnya perlu dirancang model
pembelajaran berbasis multikultural yang mampu menghadapi permasalahan multikultural dalam kehidupan
mereka.
Rokan Hilir yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau dan kota induk Bagan Siapi-api
sangat heterogen dengan multiras, suku, dan agama. Di sini hidup orang Jawa, Batak, Minang, Melayu,
dan Tionghoa. Ini dapat menyebabkan konflik heterogenitas. Konflik dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa
tidak dapat dihadapi oleh masyarakat pribumi yang sebagian bahkan bekerja untuk mereka.
SMA Kartini Desa Panipahan Kecamatan Pasar Lima Kapas merupakan sekolah yang menampung
siswa multikultural. Sekolah itu tidak hanya milik Tionghoa tetapi juga Muslim. Kondisi ini berpotensi
memicu munculnya konflik antar suku, budaya, dan agama yang berbeda seperti sulitnya melakukan kerja
tim, kecenderungan untuk mempermalukan siswa lain, dan siswa yang sengaja tertutup. Jika tidak segera
diatasi, bisa menjadi pemicu konflik. Oleh karena itu, guru harus secara profesional mampu merancang
model pembelajaran pendidikan Islam berbasis multikultural untuk meminimalisir konflik tersebut (Alismail,
2016).
Model Pembelajaran…
Berdasarkan pemaparan di atas, makalah ini menyajikan bentuk konflik multikultural di SMA
Kartini, faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan kurikulum multikultural, serta menyajikan
desain model pembelajaran PAI berbasis multikultural. Penemuan model pembelajaran PAI berbasis
multikultural ini diharapkan dapat meredam konflik antar siswa.
METODE
Penelitian ini bersifat kualitatif dan merupakan penelitian dan pengembangan terapan (R&D).
yang hanya naik ke tingkat hipotetis. Desain penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Penelitian dilakukan di SMA Kartini Kabupaten Rokan Hilir. Subyek penelitian adalah guru PAI,
Kimia, dan PKN serta siswa kelas XI SMA Kartini yang berjumlah 34 siswa.
Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, angket dan dokumentasi. Observasi
digunakan untuk mengamati proses pembelajaran yang terjadi sehingga menimbulkan konflik.
Wawancara digunakan kepada guru PAI, Kimia, dan PKN untuk mengetahui pandangan guru terhadap
proses pembelajaran. Angket dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi tentang sikap siswa
terhadap model pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Pendokumentasian itu terkait dengan data sekolah. Proses analisis data kualitatif dilakukan dengan
langkah-langkah: (1) pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, angket dan
dokumentasi. Selain itu, catatan lapangan dan wawancara juga digunakan untuk mendapatkan lebih
banyak data; (2) reduksi data dilakukan dengan cara menulis ulang dan mengetik data terpilih dalam
bentuk esai atau laporan yang jelas. Laporan ini dimaksudkan untuk mereduksi, meringkas, dan
menyeleksi data yang sistematis dan penting; (3) penyajian data adalah upaya untuk melihat gambaran
dari semua sisi dari data penelitian. Oleh karena itu, data ditampilkan dalam berbagai matriks, grafik,
dan bagan; dan (4) verifikasi data adalah upaya mencari cara dari data yang dikumpulkan untuk
diinterpretasikan. Tabulasi data dilakukan dengan cara memverifikasi dan mengklarifikasi data yang
telah dikumpulkan agar objektif dan sistematis.
Untuk mendapatkan data yang valid, peneliti melakukan triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan
cara membandingkan dan mengkaji data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan teori-teori
terkait.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
masyarakat, antara organisasi lokal, nasional, dan internasional hingga konflik yang terjadi antara kelompok negara dan
bangsa. Latar belakang konflik adalah perbedaan dalam interaksi. Perbedaan ini mungkin terkait dengan penampilan fisik,
kecerdasan, pengetahuan, kebiasaan dan kepercayaan. Sejalan dengan hal tersebut, informasi dari guru mengungkapkan
bahwa:
Proses pembelajaran yang melibatkan siswa multikultural turut andil dalam munculnya konflik di sekolah
tersebut. Beberapa konflik yang terjadi di SMA Kartini akibat multikulturalisme ini adalah: konflik antar
individu, budaya, kepentingan, dan perubahan sosial Dahlan (Budiman, komunikasi personal, 9
September 2016).
Kondisi siswa yang majemuk dalam suku, agama, dan geografi memiliki kontribusi terhadap masalah
sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar kelompok, dan etnis (Siregar, komunikasi pribadi, 9
September 2016).
Bentuk konflik yang sering terjadi di SMA Kartini; seperti perasaan tidak senang, benci dan rindu dari
seseorang atau kelompok, yang semuanya dapat menghancurkan suatu hubungan.
Selain itu, ada perbedaan pendapat dari kelompok yang menimbulkan masalah (Purba, komunikasi
pribadi, 9 September 2016).
Konflik yang terjadi dalam konteks multikultural di SMA Kartini disebabkan oleh perbedaan kepentingan individu,
budaya, dan perubahan sosial yang menimbulkan ketidakseimbangan sosial dan konflik antar kelompok dan etnis. Hal ini
mengikuti pendapat Soekanto & Sulistyowati (2013) bahwa ada empat faktor penyebab terjadinya konflik. Mereka adalah
perbedaan antara individu, budaya, minat, dan perubahan sosial. Oleh karena itu, beberapa konflik terjadi karena
kebutuhan yang berbeda untuk dikelola dan diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip humanisme, seperti yang diusung
oleh gerakan multikulturalisme.
Berikut ini adalah gambaran yang lebih jelas dari konflik tersebut:
1. Perbedaan antar individu.
Perbedaan individu adalah perbedaan yang melibatkan perasaan, pendapat, atau gagasan yang berkaitan dengan
harga diri, kebanggaan, dan identitas seseorang. Misalnya ada siswa yang menginginkan suasana belajar yang tenang
tetapi ada siswa yang ingin belajar sambil bernyanyi, karena menurut siswa belajar sambil bernyanyi sangat efektif bagi
mereka. Kemudian timbul kemarahan pada siswa lainnya, sehingga terjadi konflik.
2. Perbedaan budaya.
Kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai dan norma
yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya.
Interaksi sosial antar individu atau kelompok dengan pola budaya yang berlawanan dapat menimbulkan rasa marah dan
benci yang berujung pada konflik.
3. Perbedaan kepentingan.
Setiap kelompok atau individu memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini dapat menimbulkan
konflik di antara mereka.
4. Perubahan sosial.
Perubahan yang cepat dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku.
Konsekuensinya, konflik dapat terjadi karena ketidaksesuaian antara harapan individu dan masyarakat. Misalnya kaum
muda ingin merombak pola perilaku masyarakat tradisionalnya, sedangkan kaum tua ingin mempertahankan tradisi nenek
moyangnya, maka kondisi tersebut akan menimbulkan konflik di antara mereka.
Model Pembelajaran…
1. Inklusivitas.
Inklusi di SMA Kartini berarti sekolah tersebut menerima siswa dengan perbedaan fisik, suku, budaya,
intelektual, bahasa, ekonomi dan sosial. SMA Kartini memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi
siswa dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak bagi semua siswa.
Guru berada pada posisi untuk memahami multikulturalisme sepenuhnya untuk mendidik siswa secara
setara (Alismail, 2016).
2. Berpusat pada siswa.
SMA Kartini menerapkan kurikulum inklusi yang harus mampu menyediakan sarana dan prasarana,
metode pengajaran, dan sistem evaluasi yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang heterogen.
Oleh karena itu, dalam penataannya, mahasiswa menjadi fokus utama.
3. Kecerdasan ganda.
SMA Kartini memberikan kebebasan dan memfasilitasi siswa untuk meningkatkan dan menggunakan
kecerdasan majemuk yang dimilikinya. Kecerdasan jamak adalah kecerdasan linguistik, matematika,
spasial, kinetik dan fisik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
Pendidikan nilai yang dikembangkan di SMA Kartini adalah nilai universal. Nilai-nilai universal tersebut adalah: (a)
perdamaian: berpikir positif tentang diri sendiri dan orang lain; (b) apresiasi: menghargai diri sendiri dan memperlakukan
orang lain dengan baik dan benar; (c) kasih sayang: saling menjaga, memperhatikan, berbagi, dan bersahabat; (d) tanggung
jawab: melakukan pekerjaan sendiri, menjaga, dan merawat; (e) kebahagiaan: dicintai, berbuat baik, memiliki harapan baik
untuk orang lain; (f) kerjasama: saling membantu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sabar dan sepenuh hati; (g)
kejujuran: mengatakan yang sebenarnya (h) kerendahan hati: mengetahui kelebihan tetapi tidak menyombongkan diri; (i)
toleransi: mampu menerima diri sendiri dan orang lain serta menerima keberagaman; (j) kesederhanaan: menggunakan apa
yang kita miliki dan tidak bersifat boros; (k) kesatuan: kerukunan dalam kelompok, menjadikan kita seperti satu keluarga.
8. Gender-adil.
SMA Kartini memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh stakeholder sekolah (guru, karyawan, siswa, dan
orang tua) tanpa membedakan jenis kelamin. Mereka memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam layanan sekolah.
Saya mencari informasi tentang setiap siswa dengan melakukan observasi dan analisis kebutuhan
terhadap silabus melalui analisis nilai dan sikap siswa. Hasil analisis tersebut menjadi acuan untuk
menentukan program kelas (Marintan, komunikasi personal, 8 September 2016).
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh guru kimia bahwa:
Dalam merancang RPP, saya menempatkan tempat duduk siswa yang mengakomodasi siswa yang
heterogen dalam hal suku dan pengetahuan, memberikan umpan balik dalam proses pembelajaran, dan
memberikan penghargaan atau penghargaan kepada siswa yang menjawab pertanyaan guru (Siregar,
komunikasi pribadi, 9 September 2016).
Guru melibatkan siswa untuk merencanakan kegiatan kelas. Para siswa memiliki kesempatan untuk mengungkapkan
ide-ide mereka tentang kegiatan yang ingin mereka lakukan. Guru juga memberikan rasa tanggung jawab kepada siswanya
untuk memikirkan kegiatan apa yang akan dimasukkan yang berhubungan dengan tema kelas.
Model Pembelajaran…
Kami biasanya mengundang siswa dan menanyakan kegiatan apa yang akan dilakukan, dan
mengatakan kepada mereka kegiatan kami besok seperti ini, atau siswa akan diajak untuk
membuat kegiatan selama satu minggu yang sesuai dengan tema mereka. Terkadang kami
mengikuti kemampuan siswa, dan meninjau kembali bidang (topik) tertentu. Bahkan ada siswa
yang bosan bermain di area itu lagi” (Budiman, komunikasi pribadi, 9 September 2016).
Dalam merancang RPP multikultural, guru hendaknya mempertimbangkan perkembangan dan latar
belakang siswa serta mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam proses perancangan. Guru menyusun RPP
multikultural untuk mengembangkan perhatian siswa serta mengajak mereka dalam menyusun kegiatan kelas.
Guru menginformasikan kepada siswa bahwa akan dibuat program kelas. Kemudian siswa diminta untuk
memberikan ide untuk kegiatan tersebut. Guru menuliskan gagasan dan kegiatan yang dipadukan dengan
indikator yang akan dicapai selama seminggu dalam program kelas. Guru menerapkan multikulturalisme dan
diintegrasikan ke dalam kelas tema dengan mengambil nilai-nilai positif yang ada di kelas tema yang berkaitan
dengan nilai-nilai multikultural. Guru mendiskusikan nilai-nilai tersebut bersama siswa dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari di kelas. Guru mengoordinasikan semuanya di dalam kelas, seperti ide siswa, tema kelas,
dan metode apa yang akan digunakan, agar semuanya dapat diterapkan dalam proses pembelajaran multikultural.
Kegiatan pembelajaran di kelas dipadukan dengan tema yang telah disepakati oleh siswa. Tema kelas
SMA Kartini sudah sesuai dengan kesepakatan antara guru dan siswa di kelas. Tema tersebut berguna dalam
pembelajaran untuk membangun minat dan merangsang pengetahuan siswa melalui konteks yang mereka kenal.
Tema merupakan pokok bahasan dasar dalam melakukan pembelajaran di kelas. Data observasi dalam proses
pembelajaran di kelas dan hasilnya menunjukkan bahwa tema di kelas terintegrasi dengan nilai-nilai multikultural.
Guru mengambil nilai positif yang didapat dari tema kemudian dicocokkan dengan budaya lokal lingkungan sekitar
siswa. Guru mengajak siswa untuk menelaah dan menerapkan nilai-nilai positif yang telah dipelajari di kelas dalam
kehidupan sehari-hari. Penerapan pembelajaran multikultural diintegrasikan dengan tema di kelas sebagai bukti
toleransi mereka terhadap perbedaan, dan juga memberikan saran untuk mengembangkan karakter masing-
masing siswa (Siregar, komunikasi pribadi, 9 September 2016).
Pembelajaran yang diintegrasikan dengan tema juga dapat diintegrasikan dengan pendidikan nilai
multikultural. Para siswa diajak untuk belajar dan melihat perbedaan yang ada di sekitarnya. Melalui kegiatan ini,
siswa disadarkan akan perbedaan yang ada di antara mereka. Caranya dengan meminta guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa seperti: Siapa itu Muslim? Siapakah orang Kristen? Siapa yang Katolik? Siapa yang
Buddhis? Dengan demikian, siswa akan menyadari bahwa perbedaan itu ada di lingkungannya, terutama di
lingkungan terdekatnya, yaitu ruang kelasnya. Para siswa menjadi sadar bahwa teman-teman mereka yang berada
di kelas itu berbeda agama.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
Saya mengintegrasikan nilai-nilai yang meliputi: menghargai perbedaan pendapat antar siswa,
menghargai perbedaan kelompok yang heterogen, menghargai karya siswa, dan menghargai keragaman
siswa dalam persahabatan (Siregar, komunikasi personal, 9 September 2016).
Pengembangan materi harus mencakup, merencanakan dan melakukan kegiatan pembelajaran dalam
membantu siswa memahami tujuan pembelajaran dan merangsang mereka untuk memahami dan
menguasai konsep mata pelajaran yang diajarkan (Siregar, komunikasi pribadi, 9 September 2016).
Peran guru adalah memberikan arahan, menerapkan nilai-nilai multikultural kepada siswa, memberikan
teladan, memberikan nasehat atau bimbingan serta melakukan penilaian terhadap nilai-nilai yang telah
diajarkan kepada siswa (Purba, komunikasi personal, 9 September 2016). .
Kegiatan pembelajaran yang mengandung nilai-nilai multikultural di kelas SMA Kartini adalah guru selalu
membiasakan siswa untuk menghargai pendapat setiap orang tanpa melihat perbedaan. Selain itu, guru sering melakukan
kegiatan bersama, dimana siswa dapat menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran multikultural di SMA Kartini diintegrasikan dalam kegiatan kelas. Kegiatan terpadu
tersebut mengajak siswa untuk saling berdiskusi, berpendapat, berkomentar, bertanya, mendengarkan cerita dan bermain
bersama. Guru selalu menghargai anak-anak yang memiliki hak asasi manusia seperti hak kebebasan dan mencapai
kebahagiaan. Meski berbeda latar belakang, semua siswa berhak mendapatkan hak yang sama.
Berbeda dengan praktik pendidikan multikultural di SMA Kartini, praktik pendidikan multikultural di Malaysia berpusat
pada guru. Guru terlibat aktif dalam penyampaian dan siswa mendengarkan untuk menerima informasi yang disampaikan
oleh guru. Metode yang digunakan dalam strategi teacher centered ini bervariasi. Diantara metode tersebut adalah metode
nasehat, penjelasan, kilas balik, bertahap, berbicara, bercerita, kontekstual, ceramah, dan diskusi. Dalam situasi
pembelajaran yang ada, guru menggunakan pendekatan tidak langsung. Pendekatan dilakukan dengan memodelkan isu-isu
terkini dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Dari contoh-contoh isu terkini, diharapkan nilai-nilai baik dari
budaya yang berbeda dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini memberikan kesadaran kepada siswa
akan pentingnya persatuan dalam kehidupan dan menghindari melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan di
antara siswa (Omar, Noh, Hamzah, & Majid, 2015).
Penerapan pembelajaran multikultural di SMA Kartini lebih menekankan pada latar belakang dan kebutuhan anak.
Guru harus mengetahui latar belakang siswa terkait dengan perkembangan budaya, sosial, ekonomi, agama, fisik, bahasa,
dan emosional mereka. Guru membuat kegiatan yang sesuai dengan ciri perkembangannya, yaitu memberikan rangsangan
pada lima aspek perkembangan yang terdiri dari: 1) perkembangan fisik dan motorik; 2) perkembangan kognitif; 3)
perkembangan emosional; 4) pembangunan sosial; 5) perkembangan bahasa.
Pembelajaran multikultural di SMA Kartini selalu melihat kebutuhan dan prestasi siswa masing-masing. Kegiatan
pembelajaran yang sering dilakukan di SMA Kartini adalah dengan menggunakan berbagai metode desain pembelajaran.
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang guru bahwa:
Metode yang diterapkan dalam pembelajaran adalah metode pembelajaran jigsaw, kooperatif,
pembelajaran kontekstual, menggunakan multimedia, pembelajaran berbasis masalah, pengajaran
kuantum, dan pendekatan saintifik (Siregar, komunikasi personal, 9 September 2016).
Model Pembelajaran…
Menyikapi siswa yang memiliki latar belakang berbeda adalah dengan membuat mereka
memahami bahwa manusia memiliki karakter yang berbeda dan menerima perbedaan sebagai
sarana untuk bersatu dalam kehidupan dan juga saling menghormati (Siregar, komunikasi
pribadi, 9 September 2016).
Di SMA Kartini guru selalu memberikan kesempatan yang sama kepada siswanya, tanpa memandang
jenis kelamin, agama, latar belakang ekonomi, kebutuhan, bahasa. Setiap siswa bebas mengemukakan
pendapat, komentar, mengajukan pertanyaan, serta mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Salah satu
contoh kegiatan memberikan kebebasan untuk berpendapat dalam memilih kegiatan apa yang akan dilakukan.
Setiap siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan idenya. Oleh karena itu, guru diharapkan mampu
menciptakan proses pembelajaran yang demokratis. Cara yang dilakukan guru dalam menciptakan proses
demokrasi pembelajaran adalah dengan menghargai perbedaan pendapat, memberikan kebebasan yang sama
kepada setiap siswa untuk mengeluarkan pendapatnya, dan menghormati hak setiap siswa (Purba, komunikasi
personal, 9 September 2016).
Pelaksanaan pembelajaran multikultural di SMA Kartini selalu mengajak siswa dari berbagai pihak dalam
melakukan kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan
penutup. Contoh seluruh tahapan pembelajaran multikultural di SMA Kartini dapat dilihat pada pemaparan
berikut ini.
1. Kegiatan pengenalan.
Pada kegiatan pengenalan, guru selalu mengajak siswa untuk mengingat tema kelas dengan mengajukan
pertanyaan “tema hari ini apa?” Guru juga mengajak siswa untuk mengingat kembali kegiatan pada hari-hari
sebelumnya yang telah dilaksanakan. Setiap siswa diberi kesempatan yang sama untuk menceritakan apa yang
mereka ingat tentang kegiatan hari-hari sebelumnya. Kemudian, guru mengajak siswa untuk melakukan
anyaman awal; yaitu langkah awal guru untuk memperoleh informasi sejauh mana siswa memahami tema,
apakah mereka sudah banyak mengetahui informasi tentang tema tersebut atau belum mengetahuinya sama
sekali. Hal ini menjadi pegangan guru untuk membahas tema dan kegiatan kelas yang akan dilakukan.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
belakang budaya.
10. Harus menerapkan nilai-nilai multikultural dalam kehidupan siswa 42 58 0 0
baik dalam lingkungan sempit maupun dalam lingkungan luas.
11. Harus menerapkan nilai-nilai positif agama dan nilai-nilai luhur 52 42 6 0
Model Pembelajaran…
kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan dan kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan
nilai-nilai dasar humanisme untuk perdamaian, kemandirian, dan solidaritas (Naim & Sauqi, 2008).
Pendidikan multikultural adalah pendekatan progresif untuk mentransformasikan pendidikan yang
secara komprehensif memaparkan kelemahan, kegagalan, dan praktek-praktek diskriminasi dalam proses
pendidikan. Dawam (2003) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai kemajemukan dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi
keragaman budaya, suku, kelompok etnis, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural tentunya
memiliki implikasi yang sangat luas dalam dunia pendidikan, karena pendidikan itu sendiri pada umumnya
dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses seumur hidup. Dengan demikian, pendidikan multikultural
menginginkan penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap derajat dan martabat manusia dari
mana pun ia berasal. Harapannya adalah terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak diobsesi, dan
kebahagiaan tanpa direkayasa.
Pluralisme dan multikulturalisme adalah dua hal yang berbeda; Namun, keduanya memiliki hubungan
yang sangat dekat dan terkait satu sama lain. Dalam konteks masyarakat, masyarakat majemuk mutlak
berbeda dengan masyarakat multikultural; namun demikian, masyarakat majemuk merupakan dasar bagi
penataan masyarakat multikultural yang berkembang, di mana masyarakat dan budaya saling berinteraksi
dan berkomunikasi secara intens.
Dalam konteks pendidikan Islam, pluralis-multikultural adalah sikap menerima pluralisme ekspresi
budaya manusia dalam memahami pesan-pesan utama agama.
Basis utamanya digali berdasarkan ajaran Islam, karena dimensi Islam menjadi basis pembeda sekaligus
titik tekan dari konstruksi pendidikan itu sendiri. Penggunaan kata 'pendidikan Islam' tidak dimaksudkan
untuk menekankan ajaran agama lain atau pendidikan non-Islam; Namun, justru untuk menguatkan bahwa
Islam dan pendidikan Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural. Apalagi
pendidikan Islam itu sendiri telah ada dan memiliki ciri khas, khususnya dalam wacana pendidikan di
Indonesia. Penggunaan istilah 'pluralis-multikultural' yang dirangkai dengan kata 'pendidikan Islam'
dimaksudkan untuk membangun paradigma serta konstruksi teoretis dan aplikatif yang menghargai
keragaman agama dan budaya. Konstruksi Islam tersebut berorientasi pada proses penyadaran yang
berwawasan pluralis agama sekaligus berwawasan multikultural.
Ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan multikultural pluralis Islam.
Pertama, pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul seluruh
bentuk heterogenitas. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat seluruh bentuk
heterogenitas yang ada. Kedua, pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan upaya sistematis untuk
membangun pemahaman, pemahaman, dan kesadaran peserta didik terhadap realitas pluralis-multikultural.
Hal ini penting dilakukan karena tanpa upaya yang sistematis, realitas heterogenitas akan dipahami secara
sporadis, terpecah-pecah, atau bahkan menimbulkan eksklusivitas yang ekstrim. Pada titik ini, heterogenitas
dinilai dan dipandang inferior. Bahkan mungkin tumbuh keinginan untuk melakukan otoritas dan ambisi
untuk menaklukkan mereka yang berbeda. Ketiga, pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa
atau menolak peserta didik karena identitas suku, agama, ras atau golongan. Mereka yang berasal dari
berbagai keragaman harus diposisikan secara setara, egaliter, dan diberi media yang tepat untuk menghargai
karakteristik yang mereka miliki. Dalam kondisi demikian, tidak ada yang lebih unggul antara satu siswa
dengan siswa lainnya. Masing-masing memiliki kedudukan yang sama dan harus mendapatkan perlakuan
yang sama. Keempat, pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan peluang tumbuh dan
berkembangnya rasa jati diri bagi setiap siswa. Hal ini penting untuk membangun rasa percaya diri, terutama
bagi mereka yang berasal dari kelas ekonomi kurang mampu atau kelompok yang relatif terisolasi.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
semesta. Dengan mengacu pada tujuan tersebut, maka pendidikan Islam pluralis-multikultural bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang damai dan toleran, serta saling menghargai berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.
Pendidikan multikultural merupakan model pendidikan yang dilaksanakan untuk menghasilkan keluaran
pendidikan yang memiliki kesadaran toleransi yang tinggi, penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi dalam
masyarakat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pendidikan multikultural konseptual dapat
dilaksanakan seperti halnya sistem pendidikan lainnya, melalui perubahan dimensi kurikulum, pola pengajaran
dan sistem evaluasi. Pendidikan multikultural juga harus diikuti dengan kebijakan sosial perbedaan yang inklusif
(Afif, 2012).
Kurikulum multikultural di SMA Kartini yang telah dikemukakan di atas dapat dijadikan model untuk
disesuaikan dengan pembelajaran PAI. Meskipun kurikulum nasional belum memuat unsur multikultural, guru
PAI dapat merancang unsur multikultural tersebut dalam RPP.
Model desain pembelajaran pendidikan Islam berbasis multikultural memiliki tiga model pembelajaran.
Pertama, pendekatan dogmatis. Pendekatan yang melihat pendidikan agama di sekolah sebagai media transmisi
ajaran dan keyakinan agama tertentu secara “gerejawi”. Tujuannya adalah untuk mewujudkan komitmen
dogmatis siswa terhadap agama mereka. Kedua, pendekatan IPS, yaitu pendekatan yang melihat pendidikan
agama di sekolah sebagai mata pelajaran seperti mata pelajaran lain (ilmu sosial) dan materi agama yang
diajarkan dipandang sebagai sesuatu yang sekuler, seperti antropologi dan sosiologi. Ketiga, pendekatan
perencanaan sosial, yaitu pendekatan yang mendorong pemahaman dan komitmen siswa terhadap agama yang
dianutnya, sekaligus mendorong munculnya sikap saling menghormati dan saling menularkan ajaran agama
dalam pluralitas.
Selain model pembelajaran seperti yang telah dijelaskan di atas, pendidik perlu menggunakan strategi
pembelajaran untuk membentuk sikap dan perilaku peserta didik dalam konteks pendidikan multikultural.
Menurut Cushner (1993), pendidikan harus mengintegrasikan pengalaman-pengalaman berikut: yaitu,
mempelajari bagaimana dan di mana memperoleh suatu tujuan, informasi yang akurat mengenai kelompok
budaya lain; mengidentifikasi dan menguji pandangan positif dari kelompok atau individu dengan budaya lain;
belajar toleransi terhadap heterogenitas melalui eksperimen di sekolah dan di kelas dengan kebiasaan dan
praktik alternatif; berurusan dengan, jika mungkin, pengalaman positif dari tangan pertama dengan kelompok
budaya yang berbeda; mengembangkan perilaku empatik melalui strategi dan simulasi permainan peran; dan
mempraktikkan penggunaan kacamata perspektif, yaitu dengan melihat suatu peristiwa, zaman sejarah, atau
persoalan melalui perspektif kelompok budaya lain.
Dari pengalaman SMA Kartini dalam menyusun dan menerapkan kurikulum multikultural, maka pendidikan
Islam berbasis multikultural harus dilakukan melalui pengajaran yang efektif dan pembelajaran aktif dengan
memperhatikan keragaman agama siswa. Proses pembelajaran lebih menekankan pada pengajaran tentang
agama, bukan pengajaran agama. Pengajaran agama melibatkan pendekatan sejarah dan perbandingan,
sedangkan pengajaran agama melibatkan pendekatan indoktrinasi dogmatis. Proses pembelajaran perlu
memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif mencari, menemukan, dan mengevaluasi pandangan
keagamaannya dengan membandingkannya dengan pandangan keagamaan siswa lainnya. Dengan pendekatan
ini diharapkan dapat mengembangkan sikap toleransi, tidak menghakimi, dan melepaskan diri dari sikap fanatik
yang berlebihan.
Dalam merancang kurikulum, guru PAI harus mengakomodir semua perbedaan. Materi pembelajaran
dikelompokkan ke dalam bentuk tema. Guru mengajarkan tanggung jawab kepada siswa untuk memikirkan
kegiatan apa yang akan dilakukan terkait dengan tema tersebut. Siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan
ide kegiatan apa yang ingin mereka lakukan. Kegiatan pembelajaran di kelas dipadukan dengan tema yang
telah disepakati bersama. Tema kelas di SMA disesuaikan dengan kesepakatan antara guru dan siswa di masing-
masing kelas.
Hasil kajian Harto (2014) tentang pengembangan PAI berbasis multikultural mengemukakan prinsip-
prinsip paradigmatik filosofis bagi guru PAI dalam pengajaran multikultural. Prinsip-prinsip tersebut adalah
mengajarkan keberanian untuk hidup dalam perbedaan, mendorong peserta didik untuk membangun rasa saling percaya,
Model Pembelajaran…
saling pengertian dan saling menghargai antar teman yang beragam, memiliki sikap terbuka dalam berpikir dan bertindak,
sikap menghargai dan mampu menjalin hubungan antar orang/kelompok.
Sementara itu, Abdullah (2009) mengemukakan bahwa pembelajaran multikultural memerlukan pengaturan ruang
kelas yang harus disesuaikan. Setting kelas dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menciptakan identitas yang luas dan meyakinkan, mengembangkan interaksi yang nyaman, empati dan keragaman yang
adil, serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan membela diri dan orang lain dalam menghadapi
ketidakadilan.
KESIMPULAN SMA
Kartini telah berhasil merancang kurikulum multikultural yang terintegrasi dengan mata pelajaran. Kurikulum dirancang
untuk mengakomodasi keragaman siswa. Kurikulum diharapkan mampu mereduksi konflik yang terjadi di kalangan siswa.
Model kurikulum yang dikembangkan oleh SMA Kartini dan pola pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan PAI.
Pembelajaran mata pelajaran PAI berbasis multikultural harus berlangsung melalui pembelajaran yang efektif dan aktif
dengan memperhatikan keragaman agama siswa. Proses pembelajaran lebih menekankan pada pengajaran tentang
agama, bukan pengajaran agama. Materi pembelajaran PAI dapat disajikan dalam bentuk tema yang mencakup
keragaman yang ada di kelas.
BIBLIOGRAPHY
Abdullah, A. C. (2009). Multicultural education in early childhood: Issues and challenges. Journal of International
Cooperation in Education, 12(1), 159–175. Retrieved from http://home.hiro shima-u.ac.jp/cice/wp-content/uploads/
publications/Journal12-1/12-1-11.pdf Afif, A. (2012). Model pengembangan pendidikan Islam. Tadris, 7(1), 1–18.
Retrieved from http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/tadris/article/download/375/364 Alismail, H. A. (2016).
Multicultural education: Teachers’ perceptions and preparation. Journal of Education and Practice, 7(11), 139–
146. Retrieved from http://journals.cluteonline.com/ index.php/TLC/article/view/1825 Arifudin, I. (2007). Urgensi
implementasi pendidikan multikultural di sekolah. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, 12(2), 220–233. Retrieved
from https://media.neliti.com/media/ publications/70719-ID-urgensi-implementasi-pendidikan-multikul.pdf Banks, J.
A. (1993). Multicultural education : Developmnent dimensions, and callenges. Phi Delta Kappa International, 75(1), 22–
28. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/20405019 Budiman (2016, September 9). Personal communication.
Cushner, KA (1993). Keanekaragaman manusia dan pendidikan: pendekatan integratif. New York: McGraw
Bukit.
Dawam, A. (2003). Jangan pergi ke sekolah. Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press.
Harto, K. (2014). Pengembangan pendidikan agama Islam berbasis multikultural. Al-Tahir, 14(2), 411–431. Retrieved
from https://goo.gl/oX1i9V Kariyawan, B. (2012). Multikultural kado untuk Indonesia. Yogyakarta: Leutikaprio.
Omar, N., Noh, MAC, Hamzah, MI, & Majid, LA (2015). Praktik pendidikan multikultural di Malaysia. Procedia - Ilmu Sosial
dan Perilaku, 174, 1941–1948. https://doi.org/10.1016 /j.sbspro.2015.01.859 Purba (2016, 9 September).
Komunikasi pribadi.
Z. Syahbudin., M. Hanafi
Sugimura, M. (2015). Peran bahasa dalam pendidikan multikultural dalam konteks internasionalisasi.
Studi Pendidikan di Jepang, 9, 3-15. https://doi.org/10.7571/esjky oiku.9.3
Supardi. (2014). Pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah lokal. Jurnal Pembangunan
Pendidikan, 2(1), 91-99. http://dx.doi.org/10.21831/jppfa.v2i1.2621
Tilaar, H. A. R. (1999). Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tonbuloglu, B., Aslan, D., & Aydin, H. (2016). Kesadaran guru tentang pendidikan multikultural dan
keragaman di lingkungan sekolah. Egitim Arastirmalari - Jurnal Penelitian Pendidikan Eurasia,
(64), 1–28. https://doi.org/10.14689/ejer.2016.64.1
Utomo, S. S. (2016). Implementasi pembelajaran sejarah terintegrasi pendidikan multikultural.
Proceedings Ilmu Sosial/ Sejarah. Abstract retrieved from http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/ 46017