Anda di halaman 1dari 110

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI


LAHAN SAWAH DI KABUPATEN KARAWANG

TESIS

DINY DARMASIH
1206294924

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
JAKARTA
JANUARI 2014

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI


LAHAN SAWAH DI KABUPATEN KARAWANG

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar


Magister Ekonomi

DINY DARMASIH
1206294924

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
KEKHUSUSAN EKONOMI PERENCANAAN KOTA DAN DAERAH
JAKARTA
JANUARI 2014

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, Januari 2014

Diny Darmasih

ii

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Diny Darmasih

NPM : 1206294924

Tanda Tangan :

Tanggal : Januari 2014

iii

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:


Nama : Diny Darmasih
NPM : 1206294924
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul Tesis : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Sawah di Kabupaten Karawang

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Nurkholis, M.SE. (.................................)

Penguji : Dr. Andi Fahmi Lubis (................................)

Penguji : Iman Rozani, SE., M.Soc.Sc. (.................................)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Januari 2014

iv

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena


atas berkat, rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan tesis
ini tepat pada waktunya. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ekonomi pada Program Studi
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
akan sulit untuk dapat menyelesaikan tulisan ini, karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
(1) Ibu Dr. Telisa Aulia Falianty, selaku Ketua Program Studi Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia;
(2) Bapak Nurkholis, M.SE., selaku pembimbing tesis yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan dalam penyusunan tesis ini;
(3) Bapak Dr. Andi Fahmi Lubis, selaku Ketua Tim Penguji Tesis yang telah
memberikan saran/masukkan untuk penyempurnaan penulisan tesis ini;
(4) Bapak Iman Rozani, SE., M.Soc.Sc., selaku Anggota Penguji Tesis yang
telah memberikan saran/masukkan untuk penyempurnaan penulisan tesis ini;
(5) Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang telah memberikan
kesempatan dan izin untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia;
(6) Para dosen pengajar Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan
Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia yang telah memberikan
pengajaran dan dukungan terhadap penyelesaian tesis ini;
(7) Pengelola dan para staf akademik Program Studi Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia yang telah
memberikan bantuan dan dukungan selama menjalani masa perkuliahan;
(8) Keluarga tercinta, yang telah mendukung penuh dan selalu mendo’akan
penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister
v

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia;
(9) Teman-teman di Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, khususnya angkatan XXVIIPB,
yang telah memberikan dukungan dan diskusi selama menjalani masa
perkuliahan dan penyelesaian tesis ini dengan baik; dan
(10) Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan studi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis berharap, Allah SWT berkenan membalas semua amal kebaikan


seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya. Semoga tesis ini
bermanfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, Januari 2014

Diny Darmasih

vi

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Diny Darmasih


NPM : 1206294924
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Departemen : Ilmu Ekonomi
Fakultas : Ekonomi
Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten


Karawang

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
pada tanggal : Januari 2014

Yang Menyatakan

(Diny Darmasih)

vii

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Diny Darmasih


Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Sawah di Kabupaten Karawang

Kabupaten Karawang dengan berbasis pada sektor pertanian dan industri,


memiliki program pertahanan lahan pangan berkelanjutan dan optimalisasi
pemanfaatan kawasan industri. Kebijakan pembangunan dan perluasan kawasan
industri dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian
yang berlebihan. Studi ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang. Hasil studi
dengan model probit menunjukkan bahwa, suatu desa/kelurahan akan memiliki
peluang lebih besar untuk terjadi alih fungsi lahan sawah apabila: lokasi berupa
hamparan, status daerah adalah pedesaan, bukan daerah tertinggal, luas lahan
sawahnya besar, luas wilayahnya besar; penghasilan utama sebagian besar
penduduknya di sektor non-pertanian, jumlah penduduk besar, jumlah industri
kecil dan mikro sedikit, dan jumlah penerima surat miskin/SKTM sedikit.

Kata Kunci: Alih fungsi lahan sawah, Desa/kelurahan, Model probit, Pertanian.

viii Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


ABSTRACT

Name : Diny Darmasih


Study Program : Master of Planning and Public Policy
Title : The Influencing Factors of Paddy Land Conversion in
Karawang Regency

The Karawang Regency based on the agricultural and industrial sectors, has a
sustainable food land defense program of land utilization and optimization of
the industrial area. The development policies and expansions of the industrial
area would generate an excessive conversion of agricultural land. This study
aimed to identify the factors that affect paddy land conversions in Karawang
Regency. The results of the study with probit model indicates that a rural / village
will have a propencity to convert of paddy land conversion, if it has: a stretch
location, rural area status, not the undeveloped area, has large paddy land
areas, large area, main income of the most population in non-agricultural sector,
a large population, a little number of small and micro industries, and a little
number certificate of poverty recipient.

Keywords: Agricultural; Paddy land conversion; Probit model; Rural/ village.

ix Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................. vii
ABSTRAK ............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1


1.1. Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 9
1.6. HipotesisPenelitian ................................................................................ 9
1.7. Sistematika Penulisan ............................................................................ 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 13


2.1. Lahan ..................................................................................................... 13
2.2. Penggunaan Lahan ................................................................................. 15
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan ........................ 17
2.4. Lahan Sawah .......................................................................................... 18
2.5. Alih Fungsi Lahan Sawah ...................................................................... 19
2.6. Faktor-faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah ............................. 22
2.7. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ....................................................... 29
2.8. Studi Sejenis Sebelumnya ..................................................................... 31

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 35


3.1 Metode Analisis ...................................................................................... 35
3.1.1 Model Logit ................................................................................. 36
3.1.2 Model Probit ................................................................................ 37
3.1.3 Pengamatan Uji Signifikansi Model ............................................ 38
3.1.4 Persamaan yang Digunakan ........................................................ 39
3.2 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 40

BAB 4 GAMBARAN UMUM ......................................................................... 42


4.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah .......................................................... 42
4.2 Kondisi Demografi ................................................................................. 45
4.3 Kondisi Ekonomi .................................................................................... 47
4.4 Sistem Transportasi dan Infrastruktur Jalan ........................................... 49
4.5 Pertanian ................................................................................................. 50
x Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


4.6 Prospek Kabupaten Karawang di Masa Depan ...................................... 53
4.7 Peraturan Terkait Pengendalian Alih Fungsi Lahan Kabupaten
Karawang ke Depan............................................................................... 56

BAB 5 ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................ 61


5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Sawah .................................................................................................... 61
5.2 Analisis Hasil Penelitian ......................................................................... 64

BAB 6 PENUTUP ............................................................................................ 74


6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 74
6.2 Saran/Rekomendasi Kebijakan .............................................................. 75
6.3 Keterbatasan Studi ................................................................................. 79

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2012 dan Laju
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2012 ................................... 2
Tabel 1.2. Luas Lahan Sawah (Hektar) di Pulau Jawa Tahun 2006 – 2010 ........ 3
Tabel 1.3. Produksi Padi Sawah dan Ladang (Ton) di Tiga Kabupaten di
Jawa Barat Tahun 2007 – 2011 ........................................................... 4
Tabel 1.4. Produksi dan Surplus Beras di Kabupaten Karawang Tahun
2008–2012 ........................................................................................... 5
Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 40
Tabel 4.1. Variasi Ketinggian, Lokasi, Luas dan Persentase Luas
Kabupaten Karawang .......................................................................... 42
Tabel 4.2. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Karawang................................. 44
Tabel 4.3. Komposisi Jumlah Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan
Usaha di Kabupaten Karawang Tahun 2007 – 2011 .......................... 46
Tabel 4.4. Komposisi Penyerapan Tenaga Kerja Berumur 10 Tahun Ke
Atas Kabupaten Karawang Menurut Lapangan Usaha Tahun
2010 – 2011 ......................................................................................... 47
Tabel 4.5. Peranan PDRB Kabupaten Karawang Atas Dasar Harga Berlaku
(ADHB) Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 – 2011 (juta
rupiah/persen) ...................................................................................... 48
Tabel 4.6. Kondisi Jalan di Kabupaten Karawang Tahun 2010 ........................... 50
Tabel 4.7. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010 .................. 50
Tabel 4.8. Luas Baku Sawah di Kabupaten Karawang Tahun 2010 .................... 51
Tabel 4.9. Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Karawang Tahun
2010 – 2011 ......................................................................................... 53
Tabel 5.1. Rekapitulasi Hasil Regresi Model Probit dan Model Logit ................ 62
Tabel 5.2. Hasil Perolehan Nilai Ii yang Telah Diurutkan dari Nilai Minimal
sampai dengan Maksimal .................................................................... 68

xii Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Correlation Matrix


Lampiran 2. Pengolahan Data Model Probit
Lampiran 3. Pengolahan Data Model Logit
Lampiran 4. Hasil Penghitungan Nilai Ii dari yang Terkecil

xiii Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara agraris dimana sektor pertanian memiliki potensi
sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian tidak saja sebagai
penyedia kebutuhan pangan, tetapi juga menjadi penyerap tenaga kerja dan
sumber pendapatan penduduk. Pertanian juga merupakan sumber pendapatan
ekspor (devisa) serta pendorong dan penarik bagi tumbuhnya sektor-sektor
ekonomi lainnya. Pertanian memiliki arti penting dalam perekonomian bangsa, hal
tersebut dapat dilihat dari perannya dalam memberi kontribusi bagi Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. PDB merupakan salah satu indikator yang
menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara.
Pengembangan sektor pertanian secara umum lebih menekankan pada
peningkatan produksi dan pertambahan areal panen. Pertanian dalam arti luas
terdiri atas lima sub sektor, yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
kehutanan, dan perikanan. Pada tahun 2012, sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan berada pada peringkat kedua dalam memberikan
kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia, yaitu sebesar Rp. 327,6 triliun atau
sekitar 12,51 persen (BPS, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut
masih memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan ekonomi di
Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi menuntut
pembangunan infrastruktur baik berupa industri, pemukiman, jalan, dan lainnya.
Berkembangnya sektor industri membuat laju pertumbuhan sektor pertanian
termasuk dalam kelompok dengan pertumbuhan yang lebih lambat bila
dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor lainnya, seperti yang terlihat pada
Tabel 1.1. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya transformasi struktural
dalam perekonomian Indonesia. Implikasinya, alokasi sumberdaya untuk
pembangunan pertanian tergeser oleh sektor industri sebagai sektor prioritas.

1 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


2

Tabel 1.1. Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2012


dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2012
Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Laju
(triliun rupiah) Konstan 2000 Pertumbuhan
Lapangan Usaha (triliun rupiah) 2012
(persen)
2010 2011 2012 2010 2011 2012
1 Pertanian, 985,5 1.091,4 1.190,4 304,8 315,0 327,6 3,97
Peternakan,
Kehutanan, dan
Perikanan
2 Pertambangan 719,7 879,5 970,6 187,2 189,8 192,6 1,49
dan Penggalian
3 Industri 1.599,1 1.806,1 1.972,9 597,1 633,8 670,1 5,73
Pengolahan
4 Listrik, Gas, dan 49,1 56,8 65,1 18,1 18,9 20,1 6,40
Air Bersih
5 Konstruksi 660,9 754,5 861,0 150,0 160,0 172,0 7,50
6 Perdagangan, 882,5 1.024,0 1.145,6 400,5 437,2 472,6 8,11
Hotel, dan
Restauran
7 Pengangkutan 423,2 491,3 549,1 218,0 241,3 265,4 9,98
dan Komunikasi
8 Keuangan, Real 466,5 535,2 598,5 221,0 236,2 253,0 7,15
Estate, dan Jasa
Perusahaan
9 Jasa-jasa 660,4 784,0 888,7 217,8 232,5 244,7 5,24
Produk Domestik 6.446,9 7.422,8 8.241,9 2.314,5 2.464,7 2.618,1 6,23
Bruto (PDB)
PDB Tanpa Migas 5.942,0 6.797,9 7.604,8 2.171,1 2.322,8 2.481,0 6,81

Sumber: Berita Resmi Statistik, BPS 2013

Transformasi struktural dikhawatirkan dapat mengancam kesinambungan


produksi beras nasional sebagai bahan pangan utama, karena perekonomian yang
semula bertumpu pada sektor pertanian berubah ke arah yang lebih bersifat
industri. Ancaman tersebut bertambah berat karena sebagian dari lahan pertanian
telah beralih fungsi ke penggunaan lain. Lahan-lahan pertanian semakin menyusut
akibat pengalihan fungsi menjadi perumahan dan industri. Data BPS tahun 2004
menunjukkan bahwa, di Indonesia besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari
lahan sawah ke non-sawah sebesar 187.720 hektar/tahun, dengan rincian alih
fungsi ke non-pertanian sebesar 110.164 hektar/tahun dan alih fungsi ke pertanian

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


3

lainnya sebesar 77.556 hektar/tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke
non-pertanian sebesar 9.152 hektar/tahun (Apriyana, 2011).
Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di
sektor non-pertanian dan mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan, yang akan
berdampak terhadap produktivitas tanaman pangan. Adanya alih fungsi lahan
pertanian, khususnya lahan sawah, dikhawatirkan akan mempengaruhi produksi
beras yang merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga
akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan.
Fenomena alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian terjadi
sangat pesat di beberapa wilayah Indonesia. Di Pulau Jawa, pola alih fungsi lahan
sawah menjadi pemukiman sekitar 58,7 persen, sawah menjadi lahan pertanian
lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan lainnya sekitar
21,8 persen dan sawah menjadi non-pemukiman sekitar 19,5 persen. Sementara
itu, pola alih fungsi yang terjadi di luar Pulau Jawa untuk pemukiman sekitar 16,1
persen, pertanian lainnya 48,6 persen dan non-pemukiman sekitar 35,3 persen
(www.medanbisnisdaily.com, 2011).
Menurut hasil studi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian
menunjukkan bahwa, selama periode 1979 – 1999 lahan sawah di Pulau Jawa
(belum termasuk DKI Jakarta) yang mengalami alih fungsi sebesar 1.002.005
hektar atau sekitar 50 ribu hektar/tahun. Penambahan lahan sawah dalam periode
tersebut hanya 518.224 hektar (25,9 ribu hektar/tahun), sehingga lahan sawah di
Pulau Jawa berkurang sekitar 483.781 hektar atau 24,19 ribu hektar/tahun. Bila
dilihat dari lokasi terjadinya alih fungsi lahan sawah, sebagian besar terjadi di
Jalur Pantura Jawa yang merupakan daerah penghasil padi, dimana penyediaan
beras nasional banyak ditopang oleh daerah tersebut (Ashari, 2001).

Tabel 1.2. Luas Lahan Sawah (Hektar) di Pulau Jawa Tahun 2006 – 2010
Wilayah 2006 2007 2008 2009 2010
DKI Jakarta 1.466 1.200 1.200 1.215 1.312
Banten 196.538 196.370 195.583 195.809 196.744
DI Yogyakarta 56.218 55.540 55.332 55.325 55.523
Jawa Barat 926.782 934.845 945.544 937.373 930.268

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


4

(Sambungan Tabel 1.2.)


Wilayah 2006 2007 2008 2009 2010
Jawa Tengah 963.401 962.942 963.984 960.768 962.471
Jawa Timur 1.096.479 1.096.605 1.108.578 1.100.517 1.107.276
Jawa 3.240.884 3.247.502 3.270.221 3.251.007 3.253.594
Indonesia 7.791.290 7.855.941 7.991.464 8.068.327 8.003.213
Sumber : Statistik Indonesia, BPS, 2012 (diolah)

Pada Tabel 1.2. dapat dilihat bahwa telah terjadi penurunan luas lahan
sawah (alih fungsi) dan upaya penambahan luas lahan sawah di Pulau Jawa. Di
tahun 2010, provinsi Jawa Barat mengalami penurunan luas lahan sawah terbesar
yaitu 7.105 hektar. Jawa Barat merupakan pemasok tertinggi produksi padi
dengan kontribusi sebesar 11,63 juta ton atau 17,69 persen terhadap total produksi
nasional (BPS, Data Produksi Tanaman Pangan 2011). Dan sebagai penghasil
padi tertinggi di Indonesia, Jawa Barat mempunyai tiga lumbung padi utama,
yaitu Kabupaten Indramayu, Karawang dan Subang.

Tabel 1.3. Produksi Padi Sawah dan Ladang (Ton)


di Tiga Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2007 – 2011

Kabupaten 2007 2008 2009 2010 2011


Indramayu 1.096.136 1.048.016 1.321.016 1.358.437 1.388.626
Karawang 1.026.063 1.086.508 1.067.691 1.113.982 1.146.030
Subang 986.386 981.963 1.105.550 919.780 1.050.556
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, 2012

Produksi padi Karawang pada tahun 2011 adalah sebesar 1,14 juta ton,
atau 9,85% dari total produksi Jawa Barat. Meskipun jumlah produksi padi di
Karawang lebih sedikit daripada di Indramayu, tetapi letak Karawang yang lebih
dekat ke perkotaan seperti Jakarta, membuat Karawang mempunyai nilai strategis
baik dari segi akses transportasi maupaun perdagangan. Suplai kebutuhan beras di
kota-kota sekitarnya akan lebih mudah dan cepat. Produksi beras di Karawang
mampu melebihi konsumsi masyarakatnya yang terus meningkat dari tahun ke
tahun sehingga mengalami surplus.
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


5

Tabel 1.4. Produksi dan Surplus Beras di Kabupaten Karawang


Tahun 2008 – 2012

Jumlah Penduduk Produksi Surplus


Tahun
(Jiwa) (Ton) (Ton)
2008 2.094.408 727.968 411.744
2009 2.113.552 790.166 466.126
2010 2.127.791 798.487 475.546
2011 2.187.861* 853.047 527.841
2012 (data belum tersedia) 838.756 505.721
Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, 2013
(diolah)
Keterangan: *) angka sementara

Dari Tabel 1.4. tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan jumlah penduduk
tidak mengakibatkan berkurangnya surplus karena produksi juga meningkat dari
tahun ke tahun. Walaupun jumlah penduduk Karawang yang terus meningkat
tidak menyebabkan berkurangnya surplus beras, tetapi pertambahan penduduk
tersebut akan menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap lahan. Selain itu,
adanya kebijakan pembangunan dan perluasan kawasan industri di Karawang
dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang
berlebihan akibat kebutuhan pembangunan lokasi industri dan pemukiman.
Pertumbuhan industri menimbulkan konsekuensi logis berupa meningkatnya
permintaan terhadap lahan untuk industri, pemukiman, dan lain-lain, dimana
sebelumnya lahan tersebut sebagian besar adalah areal pertanian.
Sesuai dengan visi pembangunan daerah yaitu mewujudkan “Karawang
Sejahtera Berbasis Pertanian dan Industri”, maka penataan ruang Kabupaten
Karawang diarahkan untuk menjadikan pertanian dan industri sebagai basis
ekonomi di wilayahnya. Dengan berbasis pada sektor pertanian dan industri,
Karawang memiliki program pertahanan lahan pangan berkelanjutan, dan
optimalisasi pemanfaatan kawasan industri. Menjaga pertumbuhan industri agar
memberi kontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDRB Kabupaten Karawang,
dan tetap mempertahankan Karawang sebagai salah satu penghasil padi terbesar di

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


6

Jawa Barat merupakan upaya mensinergikan kedua sektor tersebut, sehingga


diharapkan tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri.

1.2 Perumusan Masalah


Pada tahun 2011, struktur ekonomi Kabupaten Karawang didominasi oleh
sektor industri sebesar 53,40 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan
restauran sebesar 20,80 persen, dan sektor pertanian berada pada posisi ketiga
dengan memberi kontribusi sebesar 8,24 persen (BPS Kabupaten Karawang,
2012). Transformasi struktural Kabupaten Karawang telah mengakibatkan
terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya
peningkatan permintaan lahan dimana luas lahan bersifat tetap, yaitu seluas
175.327 hektar. Sebagai konsekuensi, maka terjadilah alih fungsi lahan pertanian.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karawang (2011)
menunjukkan bahwa secara umum luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi
dari tahun 2001 – 2010 mencapai 34,69 hektar/tahun. Perubahan penggunaan
lahan dilakukan pada lahan pertanian yang bertempat pada zonasi kawasan yang
dialokasikan sebagai kawasan industri maupun pemukiman. Penetapan zonasi
wilayah tersebut diatur dalam Perda Nomor 19 tahun 2004 tentang RTRW
Kabupaten Karawang. Di dalam RTRW 2004, Karawang memiliki zonasi industri
lebih besar bila dibandingkan dari RTRW tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999
(Ervani dalam Puspasari, 2012).
Lahan pertanian yang tersebar di kawasan pedesaan mulai menghadapi
beberapa ancaman, antara lain: perkembangan perkotaan, terjadinya banjir,
menurunnya irigasi, dan rencana pembangunan pusat bisnis dan perkantoran. Hal
ini mendasari upaya pertahanan lahan pertanian produktif dengan meminimalkan
potensi alih fungsi lahan pertanian menjadi fungsi peruntukkan dan penggunaan
lain seperti industri, infrastruktur, dan pemukiman.
Menurut Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Karawang, areal
pertanian yang diperbolehkan berubah fungsi sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karawang mencapai 1.200 hektar.
Peralihan fungsi lahan pertanian ini berlokasi di bagian selatan Jalan Lingkar Luar
Karawang, mulai dari Kelurahan Tanjungpura (Kecamatan Karawang Barat)

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


7

sampai dengan Desa Warungbambu (Kecamatan Karawang Timur). Areal tersebut


saat ini masih berfungsi sebagai lahan sawah, dan sesuai dengan Perda RTRW
Karawang areal tersebut diperuntukkan sebagai area bisnis, pemukiman, serta
perkantoran (www.kompas.com, 2013).
Lokasi yang relatif strategis dan dekat dengan kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Bogor dan Bekasi, serta masih tersedianya lahan yang cukup memadai
menjadikan Karawang sebagai pilihan utama investor untuk berinvestasi di Jawa
Barat, menggeser Bekasi yang arealnya sudah mulai padat (www.tribunnews.com,
2013). Pada tahun 2012, Kabupaten Karawang menduduki peringkat kedua
(setelah Bekasi) dengan memberi kontribusi sekitar 25 persen dari total investasi
Jawa Barat yang mencapai Rp. 437 triliun (www.bisnis-jabar.com, 2012).
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya rencana pembangunan
pelabuhan laut Cilamaya yang juga tertuang pada Perda RTRW Karawang No. 2/
2013. Dalam Perda RTRW yang baru tersebut telah mengakomodir pembangunan
pelabuhan Cilamaya yang semula disiapkan lahan seluas 400 hektar (dalam Perda
RTRW No. 9/2004) kini disiapkan 1.000 hektar. Dan besar kemungkinan
kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap penurunan luas areal pertanian.
Perubahan penggunaan lahan pertanian, khususnya lahan sawah ke non-
pertanian di Kabupaten Karawang tidak saja menghilangkan kesempatan dalam
memproduksi padi dan komoditas pertanian lainnya, tetapi juga menghilangkan
kesempatan usaha yang akan mengancam kelangsungan hidup petani. Selain itu,
rentan munculnya dampak negatif terhadap lingkungan, seperti meningkatnya
limbah rumah tangga dan industri.
Berdasarkan pada berbagai kenyataan dan permasalahan di atas, maka
rumusan masalah yang menarik untuk dianalisis dalam studi ini adalah:
a. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di
Kabupaten Karawang.
b. Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya alih fungsi
lahan sawah di Kabupaten Karawang ke depan.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


8

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan studi ini adalah:
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di
Kabupaten Karawang
b. Menganalisis upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang ke depan.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari studi ini adalah :
a. Informasi ini diharapkan memberi pengetahuan tentang perubahan fungsi
lahan sawah di Karawang, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai alat
bantu dalam proses monitoring dan evaluasi pembangunan.
b. Dapat memberi gambaran dalam rangka pembuatan kebijakan publik
mengenai pembangunan sektor pertanian, khususnya kebijakan penetapan
lahan pertanian pangan berkelanjutan.
c. Dapat memberi inspirasi kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih
lanjut dan mendalam mengenai topik alih fungsi lahan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Dalam penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih
Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang” diperlukan beberapa batasan,
yaitu:
a. Penelitian dilakukan di Kabupaten Karawang dengan mengambil sampel
semua desa/kelurahan (309 desa/kelurahan).
b. Penelitian difokuskan pada alih fungsi lahan sawah ke non-sawah.
c. Kurun waktu penelitian adalah tahun 2010.
d. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data statistik Potensi Desa
Tahun 2011 dan Kecamatan dalam Angka Tahun 2011 yang bersumber dari
Badan Pusat Statistik (BPS).

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


9

1.6 Hipotesis Penelitian


Dengan alih fungsi lahan sawah ke non-sawah sebagai variabel terikat,
sesuai dengan masalah dan fokus ruang lingkup yang telah diuraikan, maka
hipotesis yang relevan untuk diuji (variabel-variabel bebas) adalah sebagai
berikut:
a. Faktor karakteristik wilayah berpengaruh signifikan terhadap terjadinya alih
fungsi lahan sawah. Variabel karakteristik wilayah meliputi:
1) Luas lahan desa/kelurahan berpengaruh positif signifikan terhadap
terjadinya alih fungsi lahan sawah, semakin luas wilayah akan semakin
tinggi kemungkinan terjadinya alih fungsi.
2) Luas lahan sawah berpengaruh positif signifikan terhadap terjadinya alih
fungsi lahan sawah itu sendiri.
3) Status daerah berupa pedesaan atau perkotaan. Wilayah dengan status
sebagai daerah pedesaan berpengaruh positif signifikan terhadap terjadinya
alih fungsi lahan sawah. Pada umumnya, di wilayah pedesaan masih
tersedia lahan sawah yang relatif luas dengan harga lahan yang lebih
murah, sehingga kemungkinan untuk dialihkan ke penggunaan lain lebih
besar terjadi.
4) Lokasi desa/kelurahan berupa hamparan berpengaruh positif signifikan
terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah.
5) Kemiringan lahan yang landai berpengaruh positif signifikan terhadap
terjadinya alih fungsi lahan sawah.
6) Kondisi desa/kelurahan sebagai daerah tertinggal atau tidak. Wilayah
sebagai daerah tidak tertinggal berpengaruh positif signifikan terhadap alih
fungsi.
b. Faktor penduduk dan ketenagakerjaan berpengaruh signifikan terhadap
terjadinya alih fungsi lahan sawah, dengan variabel meliputi:
1) Jumlah penduduk berpengaruh positif signifikan terhadap alih fungsi lahan
sawah. Semakin banyak jumlah penduduk akan semakin tinggi juga
kebutuhan akan tempat tinggal (perumahan) dan kebutuhan lainnya,
sehingga terjadinya alih fungsi lahan juga akan semakin tinggi.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


10

2) Jumlah keluarga pertanian berpengaruh negatif signifikan terhadap alih


fungsi lahan sawah. Keluarga pertanian cenderung menggantungkan
kebutuhan hidupnya dari sektor pertanian, sehingga akan berupaya
mempertahankan lahannya.
3) Sebagian besar penduduk yang memiliki sumber penghasilan utama di
sektor non-pertanian berpengaruh positif signifikan terhadap alih fungsi
lahan sawah.
4) Sektor pertanian dengan komoditi utama berupa non-padi berpengaruh
positif signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah.
c. Faktor terdapatnya sungai untuk penggunaan irigasi atau pengairan sawah
berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah. Adanya ketersediaan
sistem irigasi akan membuat petani mempertahankan lahannya karena
kemudahan akses terhadap air untuk memenuhi kebutuhan sawahnya. Jadi,
suatu desa/kelurahan yang tidak terlintasi sungai untuk keperluan irigasi akan
berpengaruh positif signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah.
d. Faktor wilayah rawan bencana banjir berpengaruh signifikan terhadap
terjadinya alih fungsi lahan sawah. Lokasi yang rawan banjir akan membuat
investor enggan berinvestasi di lokasi tersebut, misalnya untuk perumahan
atau industri. Investor akan lebih memilih lokasi yang aman dari bencana
apapun untuk menghindari kerugian. Sehingga, wilayah yang tidak termasuk
dalam lokasi rawan bencana berpengaruh positif signifikan terhadap alih
fungsi lahan sawah.
e. Faktor kondisi jalan utama dengan permukaan telah diaspal/dibeton
berpengaruh positif signifikan terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah.
Kondisi jalan yang stabil, teraspal dan bisa dilewati oleh roda empat atau lebih
akan mempermudah akses dari atau ke daerah tersebut, sehingga akan
meningkatkan kecenderungan untuk melakukan alih fungsi lahan sawah,
misalnya untuk dijadikan perumahan atau pertokoan di sepanjang sisi jalan.
f. Faktor ekonomi dan prasarana penunjang berpengaruh signifikan terhadap
terjadinya alih fungsi lahan. Variabel penyusunnya meliputi:

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


11

1) Jumlah penerima JAMKESMAS/JAMKESDA berpengaruh negatif


signifikan terhadap alih fungsi sawah. Dengan asumsi sebagian besar
penerima program tersebut adalah masyarakat tidak mampu.
2) Jumlah surat miskin/ SKTM yang dikeluarkan desa/kelurahan berpengaruh
negatif signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah. Dengan asumsi
program sebagian besar penerima surat miskin adalah masyarakat tidak
mampu.
3) Jumlah industri kecil dan mikro (IKM) berpengaruh negatif signifikan
terhadap alih fungsi lahan sawah.
4) Desa/kelurahan yang memiliki pasar dengan bangunan permanen
berpengaruh positif signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah. Pada
umumnya, di sekitar lokasi pasar akan tumbuh pertokoan atau kios-kios
sehingga kemungkinan alih fungsi lahan sawah semakin besar.
5) Jumlah mini market berpengaruh positif signifikan terhadap terjadinya alih
fungsi lahan sawah. Semakin banyak jumlah mini market besar
kemungkinan untuk terjadi alih fungsi.

1.7 Sistematika Penulisan


Tesis ini akan disusun dalam 6 (enam) bab dengan sistematika sebagai
berikut :
 BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan
tesis, manfaat, ruang lingkup, metodologi, hipotesis dan sistematika penulisan.
Isi dari bab ini adalah bagian dari proposal untuk penyusunan tesis.
 Bab 2 : TINJAUAN PUSTAKA
Membahas tinjauan teoritis atau uraian dari berbagai teori, konsep, definisi,
dan penjelasan yang terkait dengan lahan, penggunaan lahan, lahan sawah,
alih fungsi lahan sawah, dan lainnya, serta berisi tentang penelitian
sebelumnya yang dijadikan acuan dalam penulisan tesis.
 Bab 3 : METODOLOGI PENELITIAN
Dikarenakan variabel dependent bersifat kualitatif maka analisis yang
dilakukan adalah mencari kemungkinan (probability) terjadinya suatu

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


12

peristiwa, yaitu kemungkinan suatu lahan sawah akan dialihfungsikan atau


tidak. Sehingga model yang sesuai untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di Karawang adalah binary response
regression model.
 Bab 4 : GAMBARAN UMUM
Berisi tentang kondisi wilayah Kabupaten Karawang secara umum.
 Bab 5 : ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
Menguraikan tentang hasil pengolahan data sehingga dapat dilakukan analisa
dan pembahasan faktor-faktor yang menjadi penyebab alih fungsi lahan
sawah.
 Bab 6 : PENUTUP
Berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran kebijakan yang bisa dipetik dari
hasil analisis dan pembahasan.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan
vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan. Dalam pengertian yang lebih luas, lahan telah dipengaruhi
oleh berbagai kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan pada masa sekarang dan
yang akan datang (FAO, 1976). Sedangkan Sitorus (2001) mendefinisikan
sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas
iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang terdapat di atasnya selama
mempunyai pengaruh terhadap penggunaan lahan.
Lahan sebagai suatu sistem tersusun atas komponen-komponen yang
terorganisir secara spesifik dan mempunyai perilaku menuju pada sasaran tertentu.
Komponen-komponen tersebut dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam
hubungannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Komponen penyusun lahan adalah (a) komponen struktural yang sering disebut
karakteristik lahan, dan (b) komponen fungsional yang sering disebut kualitas
lahan. Karakteristik lahan adalah suatu parameter lahan yang dapat diukur,
misalnya curah hujan, kemiringan lereng, tekstur tanah dan struktur tanah.
Sedangkan kualitas lahan merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex
attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO,
1976).
Menurut Arsyad (1989), “atribut atau keadaan unsur-unsur lahan yang
dapat diukur dan diperkirakan seperti tekstur tanah, struktur tanah, jumlah curah
hujan, distribusi hujan, temperatur, drainase tanah, jenis vegetasi, dan sebagainya”
merupakan definisi dari sifat lahan. Sifat lahan menjadi suatu penciri dari segala
sesuatu yang terdapat pada lahan tersebut yang membedakan antara lahan satu dan

13 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


14

lainnya. Sifat lahan menunjukkan bagaimana kemungkinan penampilan lahan jika


digunakan untuk penggunaan lahan.
Setiap kegiatan manusia dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan kualitas hidupnya akan selalu terkait dengan lahan baik secara
langsung maupun tidak. Sehingga dapat dikatakan bahwa lahan merupakan
sumberdaya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Lahan
memiliki banyak fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, Rayes (2007)
menyebutkan beberapa fungsi lahan antara lain:
a. Fungsi produksi
Lahan sebagai basis bagi sistem penunjang kehidupan melalui produksi
biomassa yang menyediakan makanan, pakan ternak, serat, bahan bakar kayu,
dan bahan-bahan biotik lainnya baik secara langsung maupun tidak.
b. Fungsi lingkungan biotik
Lahan merupakan basis keragaman daratan yang menyediakan habitat biologi
dan plasma nutfah bagi tumbuhan, hewan, dan jasad mikro baik di atas
maupun di bawah permukaan lahan.
c. Fungsi pengatur iklim
Lahan dan penggunaannya merupakan sumber gas rumah kaca dan
menentukan neraca energi global berupa pantulan, serapan dan transformasi
dari energi matahari daun daur hidrologi global.
d. Fungsi hidrologi
Lahan mengatur simpanan dan aliran sumberdaya air tanah dan permukaan
serta mempengaruhi kualitasnya.
e. Fungsi penyimpanan
Merupakan sumber (gudang) berbagi bahan mentah dan mineral.
f. Fungsi pengendali sampah dan polusi
Lahan berfungsi sebagai penerima, penyaring, penyangga dan pengubah
senyawa-senyawa berbahaya.
g. Fungsi ruang kehidupan
Lahan menyediakan sarana fisik dan tempat tinggal manusia dan segala
aktivitasnya.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


15

Sedangkan Jayadinata (1999) mengelompokkan lahan menjadi tiga yaitu:


a. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan dapat
dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran secara bebas.
b. Nilai keuntungan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk
masyarakat umum dalam rangka perbaikan kehidupannya.
c. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan
oleh masyarakat dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian,
tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

2.2 Penggunaan Lahan


Karakteristik lahan sebagai sumber daya yang jumlahnya tetap
membutuhkan suatu perencanaan yang berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan
guna memenuhi kebutuhan manusia yang semakin beragam. Lahan merupakan
lingkungan fisik yang meliputi iklim, relief, tanah, hidrologi, dan vegetasi. Faktor-
faktor ini hingga batas tertentu mempengaruhi potensi dan kemampuan lahan
untuk mendukung suatu tipe penggunaan tertentu.
Segala bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual dapat dikatakan
sebagai land use atau penggunaan lahan atau tata guna lahan (Arsyad, 1989). Tata
guna lahan meliputi dua unsur, yaitu: tanah, sebagai sumber daya alam; dan tata
guna, yang berarti pengaturan atau penataan penggunaan. Penggunaan lahan
dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu: (a) penggunaan lahan pertanian
yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang
diusahakan, dimanfaatkan menurut jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di
atas lahan tersebut, seperti tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan lindung,
hutan produksi, dan sebagainya; (b) penggunaan lahan bukan pertanian seperti
penggunaan lahan untuk pemukiman kota dan desa, pertambangan, atau industri.
Penggunaan lahan bisa bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari
dua atau lebih penggunaan.
Sedangkan menurut Lillesand and Kiefer (dalam Mukhoriyah, 2012),
penggunaan lahan didefinisikan sebagai penggolongan penggunaan lahan yang
dilakukan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian irigasi,

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


16

kehutanan, atau padang rumput. Sedangkan penutupan lahan merupakan


perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan
manusia terhadap objek tersebut.
FAO (1976) menjelaskan bahwa tipe penggunaan lahan (major kind of
land use) adalah golongan utama dari penggunaan lahan pedesaan, seperti lahan
pertanian tadah hujan, lahan pertanian irigasi, lahan hutan, atau lahan untuk
rekreasi. Sedangkan tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) adalah suatu
macam penggunaan lahan yang didefinisikan secara lebih rinci dan detail
dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan. Suatu tipe pemanfaatan lahan terdiri
atas seperangkat spesifikasi teknis dalam konteks tatanan fisik, ekonomi dan
sosial tertentu. Beberapa atribut dari tipe pemanfaatan lahan adalah:
a. Produk, termasuk barang (misalnya tanaman, ternak, kayu), jasa (misalnya
fasilitas rekreasi), atau manfaat lain (misalnya cagar alam, suaka alam).
b. Orientasi pasar, subsisten atau produk komersial.
c. Intensitas penggunaan kapital.
d. Intensitas penggunaan tenaga kerja.
e. Sumber tenaga (misalnya manusia, ternak, mesin dengan menggunakan bahan
bakar tertentu).
f. Pengetahuan teknis dan perilaku penggunaan lahan.
g. Teknologi yang digunakan (misalnya peralatan dan mesin, pupuk, budidaya,
metode penebangan, dan lainnya).
h. Insfrastuktur penunjang.
i. Penguasaan dan kepemilikan lahan.
j. Tingkat pendapatan (per kapita, per unit produksi, per area).
Menurut Sutanto (dalam Mukhoriyah, 2012), penggunaan lahan dibagi
menjadi beberapa klasifikasi sebagai berikut:
a. Lahan pemukiman.
b. Lahan perdagangan (pasar, pusat perbelanjaan, pertokoan).
c. Lahan pertanian (sawah, tegal, kebun, tempat pembibitan).
d. Lahan industri.
e. Lahan jasa (kantor, bank, rumah sakit, sekolahan).

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


17

f. Lahan rekreasi (lapangan olah raga, stadion, kebun binatang, tempat


berkemah, gedung pertunjukan).
g. Lahan ibadah.
h. Lahan lainnya (kuburan, lahan kosong, lahan sedang dibangun).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan


Pola penggunaan lahan bersifat dinamis, bervariasi menurut waktu dan
tempat. Dalam menentukan penggunaan lahan terdapat tiga faktor penting yang
harus dipertimbangkan, yaitu: faktor fisik lahan, faktor kelayakan ekonomi, dan
faktor kelembagaan (Barlowe, 1986).
Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor-faktor
yang terkait dengan kesesuaian lahan, meliputi faktor-faktor lingkungan yang
secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada pertumbuhan dan
budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengelolaan dan
kelestarian lingkungan. Faktor fisik meliputi karakteristik tanah, bentuk lahan,
topografi, kondisi iklim, sumberdaya air dan lainnya yang secara bersama akan
membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada suatu lahan.
Faktor kelayakan ekonomi merupakan seluruh persyaratan yang
diperlukan untuk pengelolaan suatu penggunaan lahan. Pengelola lahan tidak akan
memanfaatkan lahannya melainkan bila penggunaan lahan tersebut telah
diperhitungkan akan memberikan suatu keuntungan atau hasil yang lebih besar
dari biaya modalnya, termasuk di dalamnya terdapat penerapan teknologi
(Barlowe, 1986). Kelayakan ekonomi bersifat dinamis, tergantung dari harga,
penerapan teknologi, dan permintaan terhadap penggunaan lahan maupun
hasilnya. Adanya penerapan teknologi dan meningkatnya permintaan terhadap
lahan dimungkinkan menyebabkan suatu penggunaan lahan yang semula tidak
mempunyai nilai ekonomis berubah menjadi layak secara ekonomis (Saefulhakim
et. al., 1999).
Faktor kelembagaan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah
faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya, aturan masyarakat, termasuk
aturan dan perundangan dari pemerintah setempat (Barlowe, 1986). Penggunaan
lahan di suatu wilayah adalah penggunaan lahan yang tidak bertentangan dengan

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


18

kebijakan pemerintah, sosial budaya, tradisi, kebiasaan, atau kepercayaan yang


dianut oleh masyarakat tersebut.
Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan, terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi nilai lahan, yaitu (a) kualitas fisik lahan, (b) lokasi lahan terhadap
pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (c) interaksi di antara
keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik
dan lokasinya semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984 dalam Putri, 2008).

2.4 Lahan Sawah


Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh
pematang (galengan), saluran untuk menahan air dan menyalurkan air, yang
biasanya ditanami padi sawah tanpa memperhatikan dari mana diperolehnya atau
status lahan tersebut. Lahan sawah dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan
sistem pengairannya yaitu lahan sawah irigasi (teknis, setengah teknis, sederhana,
dan non PU) dan sawah non-irigasi (tadah hujan, pasang surut, polder, dan
lainnya). Lahan sawah irigasi teknis adalah lahan sawah yang mempunyai
jaringan irigasi dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar
penyediaan dan pembagian air ke dalam sawah tersebut dapat dikelola dengan
mudah. Lahan sawah irigasi setengah teknis adalah lahan sawah yang memperoleh
irigasi dari irigasi setengah teknis, dimana bangunan penyadap untuk mengatur
dan mengukur pemasukan air dikelola oleh dinas terkait (PU), sedangkan jaringan
selanjutnya tidak diukur dan tidak dikuasai PU. Lahan sawah irigasi sederhana
adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari irigasi sederhana yang
sebagian jaringannya dibangunnya oleh dinas terkait (PU). Lahan sawah irigasi
non-PU adalah lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem pengairan
yang dikelola sendiri oleh masyarakat atau irigasi desa.
Kualitas lahan sawah dikatakan baik apabila memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut: a) tersedianya lingkungan fisik yang mendukung pertumbuhan
tanaman, seperti ketersediaan air yang mencukupi, b) tersedianya unsur hara yang
dapat mencukupi kebutuhan tanaman dalam jumlah dan waktu yang tepat,
ketersediaan unsur hara mikro yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


19

secara optimal serta kandungan bahan organik yang tinggi, c) aktivitas biologi
yang tinggi di dalam tanah.
Lahan sawah dapat memberikan manfaat yang bersifat individual bagi
pemiliknya, dan juga memberikan manfaat yang bersifat sosial. Beberapa manfaat
dari lahan sawah antara lain terkait dengan penyediaan pangan, penyediaan
sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah, penyediaan kesempatan kerja,
sarana penumbuhan rasa kebersamaan, sarana pelestarian kebudayaan tradisional,
sarana pencegahan urbanisasi, sarana pariwisata, sarana pelestari lingkungan,
sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Adapun fungsi lahan sawah terhadap lingkungan dapat ditinjau dari
beberapa aspek, yaitu aspek biofisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Dari aspek
biofisik, fungsi lahan sawah adalah sebagai pengendali banjir dan erosi, pemasok
sumber air tanah, mengurangi tumpukan dan penyerap sampah organik,
melestarikan keanekaragaman hayati, dan penyejuk udara. Ditinjau dari aspek
sosial-ekonomi fungsi lahan sawah antara lain penyedia lapangan kerja, sumber
pendapatan, penyangga ketahanan pangan, dan tempat rekreasi. Fungsi lahan
sawah dalam aspek budaya adalah sebagai pelestari budaya pedesaan.

2.5 Alih Fungsi Lahan Sawah


Alih fungsi lahan mempunyai arti alih fungsi atau mutasi lahan secara
umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu
penggunaan ke penggunaan lainnya (Kustiawan, 1997). Secara terminologi dalam
kajian land economic, alih fungsi lahan sebagai transformasi dalam bentuk
pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya,
terutama difokuskan pada proses alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke bentuk
penggunaan lain, khususnya sektor industri. Menurut Utomo, et.al. (1992), alih
fungsi lahan diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan
dari fungsinya semula, seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak
negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Sebagai contoh yaitu
berubahnya peruntukkan fungsi lahan sawah irigasi menjadi lahan industri, dan
fungsi lahan konservasi menjadi lahan pemukiman.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


20

Dari ketiga pengertian di atas, pada dasarnya alih fungsi lahan


menekankan adanya perubahan peruntukkan lahan dari pengunaan yang satu ke
penggunaan lainnya. Tetapi, yang perlu dicermati adalah pengertian alih fungsi
lahan seperti yang diuraikan oleh Utomo, et.al. (1992), “menjadi fungsi lain yang
berdampak negatif”. Menurut penelitian Munir (2008), tidak selalu perubahan
fungsi sebagian atau seluruh kawasan semula menjadi fungsi lain akan berdampak
negatif. Alih fungsi lahan dapat berdampak positif, seperti meningkatnya
kesejahteraan rumah tangga petani, peningkatan keamanan, dan berkurangnya
pengangguran.
Dalam berbagai kajian, kecenderungan yang terjadi adalah alih fungsi
lahan lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif, yakni
memberikan dampak yang luas dari segi sosial, ekonomi, dan budaya. Seperti
penelitian Sihaloho (2004), bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian
yang terjadi adalah akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara
sektor pertanian dan non-pertanian yang berimplikasi pada sulitnya mendapat
pekerjaan atau tanah garapan bagi para petani dan buruh tani. Sehingga alih
fungsi lahan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pedesaan, yakni
terbatasnya aksesibilitas penguasaan dan penggunaan lahan oleh petani.
Terjadinya perubahan penggunaan atau fungsi lahan dapat bersifat
permanen maupun sementara. Apabila penggunaan lahan sawah berubah menjadi
pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan tersebut bersifat
permanen dan tidak dapat kembali ke penggunaan semula, tetapi apabila beralih
guna menjadi perkebunan cenderung lebih bersifat sementara. Perubahan
penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukan semata-mata fenomena fisik
berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang
menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia. Secara keseluruhan, perubahan
penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi,
sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan konsekuensi logis akibat dari dua hal

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


21

tersebut. Menurut Winoto (dalam Mukhoriyah, 2012) lahan pertanian yang paling
rentan terhadap alih fungsi adalah sawah, hal ini disebabkan antara lain:
a. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem yang
didominasi lahan sawah pada umumnya lebih tinggi daripada agroekosistem
lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan sawah juga akan lebih
tinggi.
b. Daerah persawahan banyak yang berlokasi dekat dengan perkotaan.
c. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Pembangunan infrastruktur
wilayah persawahan umumnya lebih baik daripada di wilayah lahan kering.
d. Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, industri, dan sebagainya
cenderung berlangsung lebih cepat di daerah dengan topografi yang datar,
dimana ekosistem pertaniannya dominan persawahan.
Menurut Sumaryanto, et. al. (2006), pola alih fungsi lahan dapat ditinjau
dari beberapa aspek, antara lain:
a. Menurut pelaku alih fungsi, dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Alih fungsi secara langsung oleh pemilik yang bersangkutan. Motivasi
dari tindakan pemilik ada tiga: (i) untuk pemenuhan kebutuhan akan
tempat tinggal, (ii) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih
usaha, dan (iii) kombinasi keduanya seperti misalnya untuk membangun
rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi ini
terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar. Dampak alih fungsi
terhadap eksistensi lahan sekitanrnya akan signifikan dalam jangka waktu
lama.
2) Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada
pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non-sawah atau
kepada makelar. Alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan
yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkorelasi dengan proses
urbanisasi. Dampak alih fungsi terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya
berlangsung cepat dan nyata.
b. Ditinjau dari prosesnya, alih fungsi lahan sawah dapat terjadi secara:
1) Gradual, yaitu alih fungsi lahan yang disebabkan oleh fungsi lahan sawah
yang tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


22

irigasi atau usaha tani padi di lahan tersebut tidak dapat berkembang dan
kurang menguntungkan.
2) Instant (seketika), pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban,
yakni berubah menjadi pemukiman dan kawasan industri.

2.6 Faktor-faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan Sawah


Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa terdapat tiga
faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu:
a. Faktor eksternal, merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi, maupun ekonomi.
b. Faktor internal, dimana lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian.
c. Faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan penggunaan atau
fungsi lahan pertanian. Kelemahan dari aspek regulasi terutama terkait dengan
masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang
boleh maupun yang dilarang untuk dikonversi.
Menurut Nasoetion dan Winoto (dalam Ilham, 2003), proses alih fungsi
lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (1)
sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (2)
sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alami dalam masyarakat.
Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara
lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai alih
fungsi lahan.
Ilham, et.al. (2003), mengelompokkan faktor penentu alih fungsi lahan
menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor peraturan pertanahan
yang ada.
a. Faktor ekonomi.
Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi
penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non-padi merupakan
keputusan yang rasional. Sebab, petani berekspektasi baik dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang, pendapatan totalnya akan meningkat.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


23

Menurut penelitian Sumaryanto, Hermanto, dan Pasandaran (1996), harga


lahan sangat mempengaruhi konversi konversi lahan sawah. Tetapi, konversi
lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman bisa juga terjadi tanpa
melalui transaksi.
Menurut Syafa’at et al. (2001), faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi
lahan sawah ke pertanian dan non-pertanian adalah: (1) nilai kompetitif padi
terhadap komoditas lain besifat menurun; (2) respon petani terhadap dinamika
pasar, lingkungan, dan daya saing usaha tani bersifat meningkat.
b. Faktor Sosial.
Menurut Witjaksono dalam Ilham (2003) terdapat beberapa faktor sosial yang
mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu:
1) Perubahan perilaku.
Perkembangan prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang
memadai telah membuka wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia
baru di luar lingkungannya. Adanya persepsi masyarakat desa, terutama
generasi mudanya, terhadap profesi petani sebagai pekerjaan yang kurang
bergengsi membuat mereka tidak keberatan jika melepaskan lahan
pertaniannya untuk dialihfungsikan pada penggunaan non-pertanian.
Lahan pertanian lebih diandalkan sebagai modal kerja atau biaya untuk
beralih profesi di luar bidang pertanian.
2) Hubungan pemilik dengan lahan.
Status sosial penduduk pedesaan yang masih dikaitkan dengan luas
kepemilikan lahan akan membuat mereka sulit dipisahkan dari lahan
pertanian yang dikuasainya. Selain itu, dengan memiliki lahan yang luas,
pemilik akan dapat memberi pekerjaan kepada orang lain sehingga
menciptakan hubungan yang saling membutuhkan. Dalam hal ini, lahan
pertanian merupakan asset sosial bagi pemiliknya yang dapat digunakan
sebagai instrument untuk mempertahankan kehormatan keluarga. Lahan
pertanian yang memiliki fungsi sosial tersebut tidak mudah tergantikan
dengan imbalan ganti rugi berupa uang meskipun jumlahnya memadai.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


24

3) Pemecahan lahan.
Sistem waris dapat menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin
menyempit. Lahan yang sempit akan membuat pengelolaannya kurang
efisien dan hanya memberi sedikit kontribusi bagi pendapatan pemiliknya.
Pemilik tidak lagi mengandalkan penghidupannya dari pertanian dan
beralih ke bidang non-pertanian. Pemecahan lahan tersebut mendorong
pemiliknya untuk menjual sebagaian lahannya atau mengalihkan ke bentuk
lain (rumah, tempat usaha, dan lainnya).
c. Faktor peraturan pertanahan yang ada.
Untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian pemerintah
mengantisipasi dengan membuat peraturan pertanahan. Peraturan ini bertujuan
untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perkembangan
perekonomian. Namun Irawan et.al. (2000) menyatakan alih fungsi lahan
subur, seperti lahan sawah beririgasi terus berkembang seperti tanpa kendali.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang ada kurang efektif karena
tidak dilengkapi sistem pemberian sanksi bagi pelanggar dan sistem
penghargaan atau insentif bagi yang patuh.
Sedangkan Pakpahan (dalam Puspasari, 2012) mengemukakan bahwa
terdapat dua faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah, yaitu pada
tingkat petani dan tingkat wilayah.
a. Faktor yang terjadi pada tingkat petani merupakan faktor yang secara
langsung berpengaruh terhadap keputusan petani untuk melakukan alih fungsi,
antara lain: kondisi sosial ekonomi petani seperti pendapatan dan kemampuan
ekonomi secara keseluruhan, pendidikan, harga lahan dan lokasi lahan.
b. Pada tingkat wilayah, alih fungsi lahan secara tidak langsung dipengaruhi oleh
perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan
konsistensi implementasi tata ruang. Sedangkan secara langsung dipengaruhi
oleh pertumbuhan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri,
pertumbuhan areal pemukiman, dan sebaran lahan sawah.
Adanya pengaruh tidak langsung pada tingkat wilayah akan berpengaruh
terhadap pengaruh langsung, seperti perubahan struktur perekonomian ke
arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk industri dan

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


25

sarana transportasi, pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan


pemukiman, dan peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan
penduduk atas lahan sawah di pinggiran kota.
Menurut Winoto (dalam Puspasari, 2012) faktor-faktor yang mendorong
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian adalah:
a. Faktor kependudukan.
Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan terhadap lahan.
Selain itu, peningkatan taraf hidup penduduk juga turut berperan menciptakan
permintaan akan lahan.
b. Faktor ekonomi.
Rendahnya insentif untuk bertani yang disebabkan tingginya biaya produksi
sementara harga hasil pertanian berfluktuasi dan relatif rendah, lebih tingginya
land rent yang diperoleh dari sektor non-pertanian dibandingkan pertanian,
dan kebutuhan keluarga petani yang mendesak akan mendorong petani untuk
melakukan alih fungsi atau menjual lahannya.
c. Faktor sosial budaya.
Misalnya keberadan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya lahan
pertanian sehingga menyebabkan tidak memenuhinya batas minimum skala
ekonomi usaha yang menguntungkan.
d. Perilaku myopic.
Mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka
panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.
e. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-
peraturan yang ada.
Isa (2004) mengemukakan faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain:
a. Faktor kependudukan: peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya.
Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan
menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


26

kegiatan masyarakat, seperti lapangan sepak bola, pusat perbelanjaan, jalan


tol, tempat rekreasi dan sarana lainnya.
b. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian antara lain untuk
pembangunan real estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-
jasa lainnya memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari
lahan pertanian termasuk sawah. Lokasi pembangunan tersebut dipilih
sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa yang terkonsentrasi di
perkotaan dan di wilayah sekitarnya (sub-urban area). Lokasi sekitar kota,
yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi
sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian, mengingat harga lahan yang
relatif lebih murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana
penunjang berupa jalan raya, listrik, air bersih, dan fasilitas lainnya. Adanya
keberadaan “sawah kejepit”, yakni sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena
daerah sekitarnya sudah beralih fungsi menjadi perumahan atau kawasan
industri, sehingga petani mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga
kerja, air, dan sarana produksi lainnya, memaksa mereka untuk mengalihkan
atau menjual lahannya.
c. Faktor ekonomi, yaitu yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas
sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif dalam
usaha pertanian disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil
pertanian relative rendah dan berfluktuasi. Selain itu, faktor kebutuhan
keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan
lainnya (pendidikan, kesehatan, mencari pekerjaan, dan lainnya), seringkali
membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan
pertaniannya.
d. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum
skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
e. Degradasi lingkungan, antara lain terjadinya kemarau panjang yang
menyebabkan berkurangnya air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan
pupuk dan pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan
serangan hama tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


27

bersangkutan, serta pencemaran air irigasi; rusaknya lingkungan sawah sekitar


pantai akibat abrasi sehingga mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke
daratan yang berpotensi meracuni tanaman padi.
f. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang
menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan kurang memperthatikan kepentingan
jangka panjang dan kepentingan nasional. Hal tersebut antara lain tercermin
dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong alih
fungsi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian, serta rendahnya
kemauan politik (political will) dari pemerintah daerah (propinsi dan
kabupaten/kota) untuk secara konsisten dan tegas membuat sekaligus
melaksanakan peraturan daerah terkait dengan alih fungsi lahan pertanian.
g. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (law
enforcement) dari peraturan yang ada. Dan juga, ketentuan terhadap
pelanggaran peruntukan tanah dalam RTRW masih belum ada sanksi
hukumnya, demikian pula pelanggaran ketentuan penyusunan RTRW yang
seharusnya telah mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain pencegahan
alih fungsi lahan pertanian produktif, terutama sawah beririgasi.
Sihaloho (2004), membagi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan menjadi dua kategori, yaitu:
1. Faktor pada aras makro, meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan
pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi
ekonomi.
2. Faktor pada aras mikro, meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi
rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah
tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah
tangga).
Dari faktor-faktor tersebut Sihaloho (2004) membagi alih fungsi lahan
menjadi tujuh tipe, yaitu:
1. Alih fungsi lahan gradual berpola sporadis, yang diakibatkan oleh dua faktor
utama, yakni lahan yang kurang/ tidak produktif (tidak bermanfaat secara
ekonomi) dan keterdesakan ekonomi pelaku alih fungsi.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


28

2. Alih fungsi lahan sistematik berpola enclave, yaitu pola alih fungsi lahan yang
mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dan dalam
waktu yang relatif sama, misalnya pembangunan kawasan industri/ perkotaan,
pembangunan sarana dan prasarana, pembangunan pemukiman.
3. Alih fungsi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population
growth driven land conversion) disebut juga alih fungsi lahan adaptasi
demografi, yang diakibatkan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan
tempat tinggal sebagai respon dari pertumbuhan penduduk.
4. Alih fungsi lahan yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven
land conversion), yang diakibatkan oleh motivasi masyarakat untuk berubah
haluan dengan meninggalkan kondisi lama dan keluar dari sektor pertanian.
Hal tersebut didasari oleh keterdesakan ekonomi ataupun keinginan perubahan
kesejahteraan.
5. Alih fungsi lahan adaptasi agraris, diakibatkan oleh keinginan untuk
meningkatkan hasil pertanian dan minat bertani di tempat lain yang lebih
produktif.
6. Alih fungsi lahan tanpa beban, dimana pemilik lahan tidak memiliki alasan
yang kuat untuk melakukan alih fungsi.
7. Alih fungsi lahan multi bentuk atau tanpa bentuk, yang terjadi pada wilayah
yang sempit dan terpencar, misalnya dikarenakan adanya sistem waris.
Suputra (2012), mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan sawah menjadi empat faktor, yaitu:
1. Faktor kondisi lahan, yang menunjukkan karakteristik lahan. Faktor kondisi
lahan merupakan faktor yang paling menentukan alih fungsi lahan sawah.
Variabelnya terdiri dari fungsi lahan, keadaan lahan basah, keadaan lahan
kering, penghasilan lahan, dan perbatasan dengan pusat kota.
2. Faktor ketergusuran (keterkaitan dengan kondisi penduduk), dengan variabel
terhimpit pemukiman dan pertumbuhan penduduk.
3. Faktor pemanfaatan lahan (untuk kepentingan sendiri), dengan variabel nilai
jual lahan, biaya produksi, dan kebutuhan tempat tinggal.
4. Faktor ketidakefektifan lahan, dengan variabel yang mewakili faktor ini
menunjukkan peran lahan sawah sudah berubah fungsi yang menyebabkan

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


29

kurangnya penghasilan keluarga sehingga beralih ke sektor lain (pariwisata).


Faktor ini dibentuk oleh variabel sarana jalan, saluran irigasi, dan peluang
kerja di sektor lain lebih menjanjikan.

2.7 Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah


Dampak alih fungsi lahan sawah menurut Ilham, et.al. (2003), dipandang
dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukkan untuk
memproduksi padi. Dengan demikian adanya alih fungsi lahan sawah ke fungsi
lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuk perubahan
lahan sawah (menjadi pemukiman, perkantoran, industri, dan lainnya)
berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya anggaran untuk
mencetak dan mengelola sawah, membangun waduk dan sistem irigasi, maupun
pemantapan ekosistem sawah.
Mawardi (2006) mengemukakan bahwa dampak terjadinya alih fungsi
lahan pertanian menjadi non-pertanian adalah:
a. Semakin sempit atau bahkan hilangnya lahan subur untuk lahan pertanian
produkttif yang dapat menghasilkan pangan bagi penduduk Indonesia yang
tetap tumbuh dengan pesat.
b. Hilangnya lahan pertanian akan menambah kemiskinan baru di pedesaan dan
perkotaan, dikarenakan tenaga kerja pertanian kehilangan pekerjaannya,
sedangkan mereka tidak mempunyai keahlian untuk bekerja di sektor lain.
c. Harga produk pertanian lokal kalah bersaing dengan produk pertanian impor
(beras, kedelai, gula, buah-buahan), kondisi ini mengakibatkan petani menjadi
terpuruk dan mempercepat alih fungsi lahannya.
d. Terjadi kekurangan pangan yang mengakibatkan pemerintah harus melakukan
impor beras dari negara lain dalam jumlah cukup besar, sehingga akan
membebani ekonomi negara dengan mengurangi devisa, dimana kondisi ini
dapat memicu ketidakstabilan politik.
Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah. Alih fungsi lahan ini di satu sisi
menambah lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian seperti jasa, industri, dan
konstruksi, tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif yang kurang

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


30

menguntungkan. Menurut penelitian Widjanarko, et. al. (2006) dampak negatif


tersebut antara lain:
a. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi,
sehingga mengganggu tercapainya swasembada pangan.
b. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan
kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, dimana apabila tenaga kerja lokal
yang ada tidak sepenuhnya terserap maka akan meningkatkan angka
pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya
kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang dapat
berpotensi terjadinya konflik.
c. Investasi pemerintah dalam pengadaan sarana dan prasarana pengairan
menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
d. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun
industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan
akan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang diperoleh sehingga
meningkatkan luas lahan tidur dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik
sosial seperti penjarahan tanah.
e. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa, dan
mahalnya biaya pencetakan lahan sawah baru di luar Pulau Jawa.
Sumaryanto, et. al. (2006) menyatakan bahwa dampak negatif dari alih
fungsi lahan sawah yaitu:
a. Degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional. Berbeda dengan
penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit,
kekeringan, banjir, dan bencana alam, berkurangnya produksi padi akibat alih
fungsi lahan adalah bersifat permanen. Sekali lahan sawah berubah fungsi ke
non-sawah, hampir tidak pernah dijumpai bahwa lahan tersebut akan kembali
menjadi seperti semula (kembali menjadi sawah).
b. Menurunnya pendapatan petani dan meningkatnya kemiskinan masyarakat
lokal. Di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, usaha tani padi
merupakan aktivitas ekonomi yang banyak menyediakan lapangan pekerjaan,
jadi alih fungsi lahan sawah bukan hanya menyebabkan hilangnya kesempatan
kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, tetapi juga bagi buruh tani. Di

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


31

lain pihak, alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian (misalnya industri)


mempunyai nilai output, pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja yang
lebih besar. Tetapi tidak semua masyarakat lokal dapat menikmati kesempatan
kerja yang tercipta dikarenakan adanya senjang permintaan dan penawaran
tenaga kerja maupun karena kalah bersaing dengan masyarakat pendatang.
c. Pemubaziran investasi. Anggaran pembangunan yang dialokasikan untuk
bangunan irigasi, pemeliharaan sistem irigasi, pengembangan kelembagaan
pendukung merupakan suatu investasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan
lahan. Selain tangible, perlu juga diperhatikan nilai investasi yang sifatnya
intangible yakni peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani. Apabila
terjadi alih fungsi lahan sawah, sesungguhnya akan mencabut budaya usaha
tani pada suatu komunitas lokal, dimana dalam jangka pendek kerugian
tersebut mungkin belum tampak akan tetapi dalam jangka panjang dampaknya
akan sangat nyata.
d. Dampak negatif lainnya, yakni adanya perubahan budaya agraris ke budaya
urban karena semakin sempitnya peluang usaha yang dihadapi oleh
masyarakat setempat yang dapat mengakibatkan meningkatnya angka
kriminalitas. Kriminalitas merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh
masyarakat yang bersangkutan, dalam hal ini net sosial benefit turun.

2.8 Studi Sejenis Sebelumnya


Adanya permasalahan yang muncul sebagai akibat dari persaingan dalam
pembangunan dan penguasaan lahan di satu pihak, serta komitmen pembangunan
yang harus dilaksanakan di pihak lain, maka diperlukan suatu upaya pengendalian
penggunaan lahan yang menjunjung prinsip-prinsip pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan bertujuan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
masyarakat. Upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah akan efektif apabila
penyebab proses tersebut diketahui, sehingga memudahkan dalam menyusun
instrument kebijakan yang tepat. Berikut adalah beberapa studi yang meneliti
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan, antara lain:
a. Mercykutty (2002), dalam tesisnya, melakukan studi yang bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang medorong terjadinya alih fungsi lahan sawah

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


32

di Kuttanand (India). Penduduk Kuttanand hampir 40 persen mempunyai mata


pencaharian sebagai petani padi. Banyaknya kegiatan alih fungsi lahan sawah
dikhawatirkan akan mempengaruhi ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Dari hasil penelitiannya, Mercykutty menemukan bahwa alih fungsi lahan
sawah menjadi peruntukkan lain sebagian besar untuk budidaya tanaman
kelapa, diikuti untuk kegiatan konstruksi, pembangunan real estate, dan
budidaya tanaman pisang. Faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi di
Kuttanand sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan situasional
petani, seperti rendahnya pendapatan dari usaha tani padi dan kelangkaan
tenaga kerja pertanian.
b. Solihah (2002) dalam penelitiannya di Kabupaten Bogor menemukan bahwa,
selama tahun 1996 – 2001 telah terjadi alih fungsi lahan sawah sebesar 6.496
hektar yang sebagian besar terjadi pada sawah irigasi sederhana. Tetapi dalam
kurun waktu tersebut terdapat pula pencetakan sawah baru (tadah hujan,
sawah bera) sebesar 3.550 hektar.
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian terutama untuk
pengembangan kota, pemukiman dan industri. Pola alih fungsi lahan yang
terjadi bukan semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan
pertanian, melainkan fenomena dinamik yang menyangkut aspek-aspek
kehidupan masyarakat. Dari penelitian di Kabupaten Bogor tersebut diketahui
bahwa, alih fungsi lahan sawah ke non-pertanian sebesar 91, 61 persen,
dimana 82,68 persen untuk perumahan, untuk industri sebesar 1,92 persen,
dan 7,01 persen untuk penggunaan lainnya.
Berdasarkan analisis regresi linear berganda, faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah ke non-sawah adalah jumlah
penduduk, panjang jalan kabupaten, dan sarana pendidikan. Pesatnya
pertumbuhan penduduk akan membutuhkan tempat pemukiman, sarana dan
prasarana perhubungan, sehingga secara langsung ataupun tidak langsung
akan mengurangi lahan sawah. Demikian juga halnya dengan sarana
pendidikan sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat akan semakin
meningkat jumlahnya seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi,
sehingga akan meningkatkan permintaan lahan untuk pembangunan sarana

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


33

dan prasarananya. Sementara itu, di tingkat petani, alasan mereka melakukan


alih fungsi lahan sawah adalah karena terdesak kebutuhan, yaitu untuk modal
usaha dan untuk biaya pendidikan.
c. Sedangkan pada tahun 2003, Finarti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mendorong perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian di
Kabupaten Bogor adalah:
1) Faktor kebijakan pembangunan;
2) Faktor ekonomi, yang berupa perubahan struktur perekonomian, nilai sewa
ekonomi tanah, harga dan produktifitas tanah;
3) Faktor sosial budaya, yaitu berupa perkembangan penduduk, pemecahan
lahan, pergeseran masyarakat terhadap sektor pertanian, luas kepemilikan
lahan pertanian, dan taktik pemilik lahan dan pengusaha;
4) Faktor jarak.
d. Masih di Kabupaten Bogor, tetapi dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu di
Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, berdasarkan penelitian Subali (2005)
faktor-faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan dibagi menjadi dua, yaitu:
1) faktor internal, yakni faktor yang berasal dari dalam diri pemilik lahan,
berupa: tingkat pendidikan, banyaknya pendapatan, pengalaman kerja dan
ketergantungan terhadap lahan.
2) Faktor eksternal, yakni faktor yang berasal dari luar pemilik lahan, seperti:
pengaruh tetangga, pengaruh aparat desa, adanya investor, dan juga
terdapat calo tanah yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan.
Alih fungsi lahan di Desa Batujajar tidak hanya terjadi pada lahan sawah saja,
tetapi telah merembet pada lahan kering (tegalan) yang ada di perbukitan.
Minimnya penguasaan lahan akan mengubah budaya berkebun dan bertani
pada generasi muda, sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja di luar
sektor pertanian atau merantau ke kota lain.
e. Anugerah (2005) mengemukakan, peningkatan kebutuhan lahan akibat
semakin tingginya aktivitas ekonomi secara langsung maupun tidak langsung
telah menyebabkan terjadinya pengurangan lahan pertanian. Alih fungsi lahan
sawah ke penggunaan non-pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang
memiliki tingkat opportunity cost yang besar. Selama sepuluh tahun (1994 -

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


34

2003) di Kabupaten Tangerang telah terjadi alih fungsi lahan sebesar 5.407
hektar, dengan rincian sebesar 50,36 persen terjadi pada sawah tadah hujan,
21,49 persen terjadi pada sawah irigasi setengah teknis, 15,70 persen terjadi
pada sawah irigasi sederhana, dan 12,45 persen terjadi pada sawah irigasi
teknis.
Kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Tangerang diantaranya
adalah hilangnya produksi padi per hektar lahan, hilangnya kesempatan
memperoleh pendapatan bagi petani, dan mubazirnya investasi sistem irigasi.
Tetapi, terjadinya alih fungsi lahan juga memberikan manfaat yaitu
peningkatan penerimaan daerah yang diperoleh dari peningkatan pajak.
Peningkatan status lahan sawah menjadi lahan kering berupa perumahan atau
industri berarti akan meningkatkan nilai pajak yang diterima oleh pemerintah
daerah. Semakin besar nilai kumulatif pajak bumi dan bangunan, maka akan
semakin besar pula kontribusinya terhadap penerimaan pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda yang digunakan dalam studi
ini, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
sawah di Kabupaten Tangerang adalah produktivitas padi sawah, persentase
luas lahan sawah irigasi, kontribusi sektor non-pertanian terhadap PDRB, dan
(dummy) kebijakan pemerintah. Dalam penelitian ini, laju pertumbuhan
penduduk dan pertambahan jalan aspal tidak berpengaruh nyata terhadap
perubahan fungsi lahan sawah.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Analisis


Terjadinya alih fungsi lahan sawah ke non-sawah dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik internal (dari pemilik lahan) maupun eksternal (wilayah).
Untuk mengetahui tingkat signifikansi masing-masing faktor dalam
mempengaruhi kegiatan alih fungsi lahan perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
Pengujian dilakukan terutama terkait dengan variabel-variabel yang dapat
dikuantifisir, sedangkan variabel lain yang sulit ditentukan nilainya dianggap
sebagai residu (error term).
Dikarenakan yang dijadikan sebagai variabel terikat adalah variabel
kualitatif, maka tujuan dari analisanya adalah mencari kemungkinan (probability)
terjadinya suatu peristiwa, yaitu kemungkinan suatu lahan sawah desa/kelurahan
akan dialihfungsikan atau tidak. Dalam probability model, variabel terikat dapat
berupa kategori yang bersifat dikotomi (biner), tiga pilihan, atau banyak pilihan.
Terdapat tiga pendekatan untuk model yang menggunakan variabel biner (binary
response regression model) (Gujarati, 2004), yaitu: (1) linear probability model
(LPM), (2) model logit, dan (3) model probit. Karena model LPM memiliki
banyak kelemahan, maka yang potensial untuk digunakan dalam mengidentifikasi
faktor-faktor penentu (yang mempengaruhi) terjadinya alih fungsi lahan sawah
desa/kelurahan di Kabupaten Karawang adalah model logit dan probit.
Dengan menggunakan model logit dan probit, berbagai variabel yang
signifikan mempengaruhi terjadi atau tidaknya alih fungsi lahan sawah (sebagai
variable terikat) akan diidentifikasi sehingga dapat diputuskan model apa (logit
atau probit) yang terbaik berdasarkan kriteria-kriteria yang digunakan dalam
permodelan ekonometrika.
Dalam model logit dan probit, diasumsikan persamaan regresinya adalah:
k
yi* = β0 + j 1
βjXij + ui [3.1]

35 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


36

dimana yi* tidak terobservasi, dan sering disebut dengan variabel latent. Yang
diobservasikan, apabila dikotomis, adalah bahwa yi adalah dummy variable yang
didefinisikan:
yi = 1, jika yi* > 0 atau
yi = 0, jika lainnya [3.2]
Untuk menganalisa perilaku variabel terikat yang berupa variabel dikotomi, maka
yang tepat untuk digunakan adalah cummulative distribution function (CDF).
Yang membedakan model logit dan probit adalah asumsi spesifikasi dari error
term u dalam persamaan [3.1]. Apabila u diasumsikan berdistribusi kumulatif
normal, maka model yang digunakan adalah probit, dan apabila u diasumsikan
berdistribusi tidak terdistribusi normal atau dikenal dengan distribusi logistik,
maka menggunakan model logit.

3.1.1 Model Logit


Dengan menggunakan model logit, kemungkinan terjadinya suatu lahan
sawah akan dialihfungsikan atau tidak dinyatakan dengan:
1
Pi = E (Yi = 1|Xi) = [3.3]
 (  0  1 X i 1 ...  j X ij
1 e
Persamaan disederhanakan sebagai berikut:
1 eZ
Pi = = [3.4]
1  e Zi 1  eZ
k
dimana Zi = β0 + j 1
βjXij

jika Pi adalah kemungkinan terjadinya peristiwa (akan dialihfungsikannya suatu


lahan sawah), maka kemungkinan tidak terjadinya suatu peristiwa (tidak
dialihfungsikannya suatu lahan sawah) atau 1 - Pi adalah:
1
1 - Pi = [3.5]
1  e Zi
sehingga,

= 1  e Z = e Z i
Z i
Pi [3.6]
1 - Pi 1 e i

Pi disebut dengan odds ratio suatu peristiwa, yaitu rasio kemungkinan


1 - Pi

terjadinya suatu peristiwa (akan dialih fungsikannya suatu lahan sawah) terhadap
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


37

kemungkinan tidak terjadinya suatu peristiwa (tidak dialih fungsikannya suatu


lahan sawah).
Jika persamaan [3.4] dikalikan dengan logaritma natural (dengan tujuan
membuat persamaan menjadi linear), maka akan diperoleh hasil sebagai berikut:
k
 Pi 
Li = ln   = Zi = β0 +
 1 - Pi 
j 1
βjXij [3.7]

Li adalah logaritma natural dari odds ratio yang merupakan fungsi linier dari
variabel-variabel penjelasnya (X) dan linear dalam parameter (β).

3.1.2 Model Probit


Terdapat asumsi dalam model probit, yaitu pertama, peluang terjadinya
suatu peristiwa bergantung pada variabel latent atau yang tidak dapat diobservasi,
yang akan ditentukan oleh variabel penjelas. Jika nilai dari variabel latent semakin
besar, maka peluang terjadinya peristiwa akan semakin besar. Kedua, terdapat
nilai kritikal dari variabel yang tidak teramati, seperti jika variabel yang tidak
teramati melewati tingkat kritikalnya, maka peristiwa akan terjadi, atau
sebaliknya.
Dengan mengasumsikan terdistribusi secara normal, model matematis
probit adalah sebagai berikut:
1 Ti
 e t
2
/2
Pi = Pr (Y=1) = Pr (Ii* ≤ Ii) = F(Ii) = dt
2 

0 
k
1  j X ij
 e t
2
j 1 /2
= dt [3.8]
2 

Pi adalah peluang terjadinya suatu peristiwa, maka nilai standar normal adalah
diantara -∞ dan Ii, maka untuk memperoleh nilai Ii, index utilitas, sebagai fungsi
dari variabel-variabelnya, dilakukan inverse dari persamaan [3.8] dan diperoleh:
Ii = F-1 (Ii) = F-1 (Pi)
k
= β0 + j 1
βjXij [3.9]

Persamaan [3.9] dapat mengestimasi parameter variabel penjelas (X) dan variabel
yang tidak teramati.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


38

3.1.3 Pengamatan Uji Signifikansi Model


Pengamatan yang umum dilakukan dalam regresi model logit dan model
probit adalah:
1) Uji signifikansi parsial yaitu untuk melihat secara individual apakah variabel
bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Untuk menguji tingkat
kesignifikansian suatu variabel secara statistik digunakan Z-statistik. Dari
hasil pengolahan akan terlihat probabilitas atau p-value dari setiap variabel,
yang dikenal dengan marginal significance level. Nilai p menjelaskan secara
langsung tingkat kesignifikasian suatu variabel berdasarkan hipotesis ditolak
atau tidak ditolak. Jika nilai p-value lebih kecil dari nilai alpha (α), dengan
tingkat keyakinan (1 - α) kita dapat memutuskan untuk menolak hipotesis Ho
(null hypothesis). Misalkan ditetapkan tingkat kesalahan atau (α) sebesar 1
persen, maka bila p-value berada di bawah atau sama dengan ( ≤ ) 0,01
makadapat disimpulkan bahwa Ho ditolak.
2) Koefisien determinasi dalam binary regressand model, yaitu pseudo R2 atau
McFadden R2 (R2MCF ), serupa dengan R2 dalam regresi, adalah untuk
mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam
memprediksi nilai variabel bebas atau mengetahui kecocokan (goodness of
fit) dari model tersebut. Seperti R2, nilai R2MCF juga antara 0 dan 1. Nilai
R2MCF akan menghasilkan nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai R2 pada
regresi ordinary least square (OLS), sehingga apabila nilai R2MCF berada
diantara 0,2 – 0,4 dianggap sebagai nilai yang paling baik.
Perlu diingat bahwa, goodness of fit dalam binary regressand model
merupakan prioritas kedua. Yang penting diperhatikan adalah tanda dari
koefisien dan kesignifikansian dari variabel hasil regresi secara statistik.
3) Mirip dengan F test, uji signifikansi secara serentak dalam binary regressand
model dapat dilakukan dengan menganalisa nilai Likelihood Ratio (LR)
statistic. Uji ini untuk melihat apakah variabel bebas dalam model secara
bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. LR statistik mengikuti ditribusi
χ2 dengan derajat kebebasan (degree of freedom) sama dengan jumlah variabel
bebas. Pengambilan keputusan LR statistik dapat dilihat dari probabilitasnya
(Probability LR Stat). Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari α maka

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


39

hipotesis Ho ditolak atau dengan kata lain variabel-variabel bebas dalam


persamaan/ model secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikatnya.
4) Untuk menilai atau membandingkan tingkat keefisienan suatu
persamaan/model terhadap persamaan/model yang lain, dapat digunakan
beberapa jenis kriteria, yaitu Akaike Info Criterion, Schwarz Criterion, dan
Hannan-Quinn Criterion. Masing-masing memberikan informasi yang saling
terkait antara yang satu dengan lainnya. Persamaan akan semakin efisien,
apabila nilai kriteria-kriteria tersebut semakin kecil.
5) Uji multikolinearitas dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi/ terdapat
hubungan antar variabel bebas. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dari
tingkat korelasi yang cukup tinggi antar dua variabel bebas, yaitu lebih dari
0,8. Cara untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya adalah dengan
menambah data atau memilih sampel baru, menghilangkan salah satu variabel
bebas yang memiliki korelasi > 0,8 atau tidak melakukan apapun terhadap
variabel tersebut.
6) Dalam model logit, untuk mengetahui besarnya kecenderungan berbagai
variabel bebas terhadap terjadinya suatu peristiwa, dapat dilihat dari odds ratio
masing-masing variabel bebas. Sedangkan dalam model probit dilihat dari
index utilitasnya.

3.1.4 Persamaan yang Digunakan


Berikut persamaan matematik dari model yang dibangun dan variabel-
variabel yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah ke
non-sawah:
DSNS = f (KWi, PTKi, SIi, RBBi, KJUi, EPPi)
Keterangan:
DSNS = dummy alih fungsi lahan sawah ke non-sawah
= 0, jika tidak terjadi alih fungsi lahan
= 1, jika terjadi
KW = karakteristik wilayah
PTK = penduduk dan ketenagakerjaan

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


40

SI = sungai untuk penggunaan irigasi


RBB = wilayah rawan bencana banjir
KJU = kondisi jalan utama
EPP = ekonomi dan prasarana penunjang

3.2 Jenis dan Sumber Data


Data-data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu berupa data Potensi Desa (Podes)
dan Kecamatan dalam Angka. Data-data dari sumber tidak semuanya digunakan
dan hanya dipilih beberapa variabel yang diduga mempengaruhi terjadinya alih
fungsi lahan sawah ke non-sawah di Kabupaten Karawang. Data yang digunakan
merupakan data terbaru yang telah dipublikasikan oleh BPS. Secara rinci jenis
dan sumber data yang digunakan dalam studi ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
berikut :

Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data


No. Jenis Data atau Variabel Sumber Data
Karakteristik wilayah (KW)
1 Luas lahan desa/kelurahan (hektar) (LDHA) Kecamatan dalam Angka
Tahun 2011, BPS
2 Luas lahan sawah desa/kelurahan (hektar) Kecamatan dalam Angka
(LLSHA) Tahun 2011, BPS
3 Dummy status daerah pedesaan dan perkotaan Potensi Desa (Podes) Tahun
(pedesaan = 0) (DURBAN) 2011, BPS
4 Dummy lokasi desa/kelurahan berupa hamparan Potensi Desa (Podes) Tahun
dan bukan hamparan (bukan hamparan = 0) 2011, BPS
(DHAMPAR)
5 Dummy kemiringan desa/kelurahan landai dan Potensi Desa (Podes) Tahun
tidak landai (tidak landai, > 15 derajat = 0) 2011, BPS
(DLANDAI)
6 Dummy daerah tertinggal dan daerah tidak Kecamatan dalam Angka
tertinggal (daerah tidak tertinggal = 0) (DDT) Tahun 2011, BPS
Penduduk dan ketenagakerjaan (PTK)
7 Jumlah penduduk desa/kelurahan (orang) (POP) Potensi Desa (Podes) Tahun
2011, BPS

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


41

(Sambungan Tabel 3.1.)


No. Jenis Data atau Variabel Sumber Data
8 Jumlah keluarga pertanian (keluarga) Potensi Desa (Podes) Tahun
(KELPERT) 2011, BPS
9 Dummy sumber penghasilan utama sebagian Potensi Desa (Podes) Tahun
besar penduduk di sektor pertanian dan non- 2011, BPS
pertanian (sektor pertanian = 0) (DPENGHAS)
10 Dummy jenis komoditi utama sektor pertanian Potensi Desa (Podes) Tahun
berupa padi dan non-padi (non-padi = 0) 2011, BPS
(DPADI)
Sungai untuk penggunaan irigasi (SI)
11 Dummy desa/kelurahan yang dilintasi sungai Potensi Desa (Podes) Tahun
yang penggunaannya untuk irigasi lahan 2011, BPS
pertanian dan tidak untuk irigasi pertanian
(penggunaan sungai tidak untuk irigasi
pertanian = 0) (DSUNGPENG)
Wilayah rawan bencana banjir (RBB)
12 Dummy desa/kelurahan rawan bencana banjir Potensi Desa (Podes) Tahun
dan tidak rawan bencana banjir (tidak rawan 2011, BPS
bencana banjir = 0) (DBENCANA)
Kondisi jalan utama (KJU)
13 Dummy sarana transportasi darat (kondisi jalan) Potensi Desa (Podes) Tahun
apabila permukaannya sebagian besar diaspal/ 2011, BPS
dibeton dan tidak diaspal/ dibeton (permukaan
jalan tidak diaspal/ dibeton = 0) (DASPAL)
Ekonomi dan prasarana penunjang (EPP)
14 Jumlah penerima JAMKESMAS/JAMKESDA Potensi Desa (Podes) Tahun
(orang) (JAMKES) 2011, BPS
15 Jumlah surat miskin/SKTM yang dikeluarkan Potensi Desa (Podes) Tahun
desa/kelurahan (surat) (SKTM) 2011, BPS
16 Jumlah industri kecil dan mikro (unit) (IKM) Potensi Desa (Podes) Tahun
2011, BPS
17 Dummy desa/kelurahan memiliki pasar dengan Potensi Desa (Podes) Tahun
bangunan permanen dan tidak memiliki pasar 2011, BPS
dengan bangunan permanen (tidak memiliki
pasar dengan bangunan permanen = 0)
(DPASAR)
18 Jumlah mini market (unit) (MINMAR) Potensi Desa (Podes) Tahun
2011, BPS
Sumber: Berbagai Sumber

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


BAB 4
GAMBARAN UMUM

4.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah


Kabupaten Karawang termasuk dalam wilayah pantai utara Pulau Jawa
dengan luas wilayah 1.753,27 km2 atau 175.327 hektar. Secara administrasif,
Kabupaten Karawang merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Barat,
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
- sebelah utara : batas alam berupa Laut Jawa
- sebelah timur : Kabupaten Subang
- sebelah tenggara : Kabupaten Purwakarta
- sebelah selatan : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur
- sebelah barat : Kabupaten Bekasi.
Letak geografis Kabupaten Karawang berada pada 107ο02’ - 107ο40’
Bujur Timur dan 5ο56’ - 6ο34’ Lintang Selatan, termasuk daerah dataran yang
relatif rendah, dengan variasi ketinggian 0 – 25 m di atas permukan laut dan hanya
sebagian kecil wilayah yang bergelombang dan berbukit pada ketinggian antara 0
– 1.279 mdpl.

Tabel 4.1. Variasi Ketinggian, Lokasi, Luas dan Persentase Luas


Kabupaten Karawang
KETINGGIAN LUAS
No. LOKASI (KECAMATAN) %
(mdpl) (Ha)
1 0–3 Pakisjaya, Batujaya (sebagian besar), Tirtajaya, 59.990 34,22
Cilebar, Cibuaya (sebagian besar), Pedes
(sebagian besar), Tempuran (sebagian besar),
Cilamaya Kulon (sebagian besar), Cilamaya
Wetan (sebagian besar)
2 4 – 10 Batujaya (sebagian kecil), Rengasdengklok, 36.416 20,77
Banyusari, Cibuaya (sebagian kecil), Pedes
(sebagian kecil), Tempuran (sebagian kecil),
Cilamaya Kulon (sebagian kecil), Cilamaya
Wetan (sebagian kecil), Kutawaluya (sebagian
besar), Rawamerta, Telagasari (sebagian),
Lemahabang (sebagian besar), Jayakerta, dan
Majalaya

42 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


43

(Sambungan Tabel 4.1.)


KETINGGIAN LUAS
No. LOKASI (KECAMATAN) %
(mdpl) (Ha)
3 11 – 25 Karawang Barat (sebagian besar), Karawang 37.424 21,35
Timur (sebagian besar), Kotabaru, Purwasari,
Telagasari (sebagian), Lemahabang (sebagian
kecil), Jatisari (sebagian besar), Tirtamulya
(sebagian besar), Klari (sebagian), Telukjambe
Timur (sebagian kecil), Telukjambe Barat
(sebagian kecil), Ciampel (sebagian kecil), dan
Cikampek (sebagian kecil)
4 26 – 50 Jatisari (sebagian), Cikampek (sebagian), Klari 19.420 11,08
(sebagian), Ciampel (sebagian kecil),
Telukjambe Timur (sebagian), Telukjambe
Barat (sebagian), dan Pangkalan (sebagian)
5 51 – 100 Telukjambe Timur (sebagian), Telukjambe 14.219 8,11
Barat (sebagian), Ciampel (sebagian), dan
Pangkalan (sebagian)
6 101 – 250 Pangkalan (sebagian) dan Ciampel (sebagian 4.091 2,32
kecil)
7 251 – 500 Tegalwaru (sebagian kecil) 2.230 1,27

8 501 – 750 Tegalwaru (sebagian kecil) 920 0,52

9 751 – 1.000 Tegalwaru (sebagian kecil) 368 0,22

10 > 1.000 Tegalwaru (sebagian kecil) 231 0,13

Sumber: Bappeda Kabupaten Karawang

Kabupaten Karawang memiliki wilayah pesisir dan laut, yaitu sepanjang


75 km di pantai utara dengan wilayah kewenangan laut 4 mil dari garis pantai
terluar. Luas pesisir sekitar 1.168,85 km2 atau hampir 67 persen dari luas wilayah
keseluruhan. Pesisir Pantai Karawang merupakan salah satu wilayah kawasan
Pantai Utara yang mengalami laju abrasi akut. Diperkirakan, garis Pantai
Karawang yang terkena abrasi telah mundur antara 50 – 300 meter ke arah
daratan, bahkan pada beberapa kawasan telah menghancurkan sebagian
pemukiman maupun sarana transportasi.
Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah yang memiliki lahan
subur sehingga sebagian besar lahannya digunakan untuk pertanian. Dilalui oleh
aliran sungai besar yaitu Sungai Citarum yang merupakan pemisah antara
Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Bekasi, dan Sungai Cilamaya yang
merupakan batas dengan wilayah Kabupaten Subang. Selain itu, terdapat tiga
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


44

saluran irigasi yang besar, yaitu: Saluran Induk Tarum Utara, Saluran Induk
Tarum Tengah dan Saluran Induk Tarum Barat yang dimanfaatkan untuk
keperluan pengairan pertanian sawah, usaha tambak dan pembangkit tenaga
listrik. Kabupaten Karawang terletak pada Satuan Wilayah Sungai (SWS) 02-06
Citarum (Peraturan Menteri PU No. 39/PRINT/1989, tanggal 1 April 1989).
Sistem sungai yang ada adalah Sungai Citarum dengan 3 waduk utama, yaitu
Saguling, Cirata dan Jatiluhur.
Kabupaten Karawang terdiri dari 30 kecamatan dengan jumlah
desa/kelurahan sebanyak 309. Adapun dari 309 desa/kelurahan tersebut yang
termasuk desa swadaya terdapat 9 desa, swakarya 251 desa, dan 59 desa
swasembada (BPS, 2012). Penamaan kecamatan baru menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Karawang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Pemekaran
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Karawang


No. Kecamatan No. Kecamatan
1 Pangkalan 16 Telagasari
2 Tegalwaru 17 Majalaya
3 Ciampel 18 Karawang Timur
4 Telukjambe Timur 19 Karawang Barat
5 Telukjambe Barat 20 Rawamerta
6 Klari 21 Tempuran
7 Cikampek 22 Kutawaluya
8 Purwasari 23 Rengasdengklok
9 Tirtamulya 24 Jayakerta
10 Jatisari 25 Pedes
11 Banyusari 26 Cilebar
12 Kotabaru 27 Cibuaya
13 Cilamaya Wetan 28 Tirtajaya
14 Cilamaya Kulon 29 Batujaya
15 Lemahabang 30 Pakisjaya
Sumber: BPS Kabupaten Karawang, 2012

Dalam konteks Rencana Tata Ruang Nasional, berdasarkan PP. Nomor 26


Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, ditetapkan beberapa
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


45

kawasan andalan dan untuk wilayah Provinsi Jawa Barat salah satu wilayah
andalannya adalah kawasan Purwasuka (Purwakarta, Subang dan Karawang)
dengan sektor unggulan pertanian, industri, pariwisata, dan perikanan. Dalam
peraturan tersebut, Cikampek ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
dengan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) terdekat Jakarta, Cirebon dan Bandung
Raya. Kondisi yang strategis menjadikan Karawang sebagai salah satu kawasan
cepat tumbuh yang berada di Pantai Utara Jawa. Dengan adanya rencana
pembangunan pelabuhan internasional Cilamaya seperti yang tertuang dalam
RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 – 2025 memungkinkan Kabupaten
Karawang sebagai salah satu PKN karena sesuai dengan fungsinya pelabuhan
internasional dikembangkan untuk:
- Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional
dan internasional dalam jumlah besar,
- Menjangkau wilayah pelayanan sangat luas, dan
- Menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.

4.2 Kondisi Demografi


Jumlah penduduk Kabupaten Karawang pada Tahun 2010 mencapai
2.127.791 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) per tahun
selama satu dasawarsa terakhir sebesar 1,76 persen. Rata-rata kepadatan penduduk
adalah 1.212 jiwa/km2. Berdasarkan komposisi persebarannya, Kecamatan Klari
merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 7,6 persen dari
populasi kabupaten. Sedangkan Kecamatan Telukjambe Timur merupakan
wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu sebesar 5,48%. Grafik
pertumbuhan penduduk Kabupaten Karawang dari tahun 2006 sampai dengan
2011 dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


46

Gambar 4.1. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Karawang


Tahun 2006 – 2011
Sumber : BPS Kabupaten Karawang
Keterangan : *) = angka sementara

Pada tahun 2011, jumlah penduduk bekerja berdasarkan lapangan usaha


adalah sebanyak 880.087 orang . Dari jumlah tersebut, sebanyak 174.520 orang
(19,83%) bekerja pada lapangan usaha pertanian, sedangkan pada lapangan usaha
perdagangan menyerap tenaga kerja sebanyak 291.092 orang (33,07%) dan pada
lapangan usaha industri sebanyak 186.203 orang (21,16%). Dari Tabel 4.3.,
terlihat bahwa bila dibandingkan dari tahun sebelumnya (2010), penduduk yang
bekerja pada lapangan usaha pertanian mengalami penurunan sebanyak 69.960
orang, begitu juga pada lapangan usaha industri turun sebanyak 22.578 orang.
Sedangkan penduduk yang bekerja pada lapangan usaha perdagangan mengalami
peningkatan sebanyak 95.055 orang.

Tabel 4.3. Komposisi Jumlah Penduduk yang Bekerja (Orang)


Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Karawang Tahun 2007 – 2011

Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011


Pertanian 245.642 259.579 261.770 244.480 174.520
Perdagangan 164.875 178.089 235.592 196.037 291.092
Industri 154.331 160.577 177.514 208.781 186.203
Total 761.164 795.070 896.640 861.711 880.087
Sumber : BPS Kabupaten Karawang

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


47

Secara lebih rinci, komposisi penyerapan tenaga kerja (usia 10 tahun ke atas)
dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Komposisi Penyerapan Tenaga Kerja Berumur 10 Tahun Ke Atas


Kabupaten Karawang Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 – 2011

2010 2011
Lapangan Usaha Jumlah Jumlah
% %
Naker Naker
Pertanian 244.480 28,37 174.520 19,83
Pertambangan dan Penggalian 2.557 0,30 - -
Industri Pengolahan 208.781 24,23 186.203 21,16
Listrik, Gas, dan Air 3.482 0,40 - -
Konstruksi 36.352 4,22 - -
Perdagangan, Hotel dan Restoran 196.037 22,75 291.092 33,08
Pengangkutan dan Komunikasi 51.289 5,95 - -
Jasa-jasa 106.797 12,39 107.983 12,27
Lainnya 11.936 1,39 120.289 13,67
Total 861.711 100,00 880.087 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Karawang, 2012

4.3 Kondisi Ekonomi


Pada awal tahun 1990, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten
Karawang selalu berada pada angka yang stabil yang ditopang dengan LPE sektor
industri yang mencapai angka di atas 10 persen setiap tahun. Namun pada masa
krisis ekonomi tahun 1997, LPE terkontraksi hingga minus 19,6 persen. Pada
tahun 2000, kondisi perekonomian pasca krisis relatif belum stabil, dimana angka
LPE bergerak secara fluktuatif dengan kecenderungan berada pada kisaran 4,5 –
5,5 persen. Tahun 2006 – 2009 berada pada kisaran 4 – 10 persen, berada di atas
LPE rata-rata Jawa Barat. Tumpuan pergerakan ekonomi tidak lagi bersumber
pada keunggulan sumber daya alam yang ada, melainkan kemampuan untuk
mengolah dan menghasilkan produk unggulan yang berkualitas.
Struktur perekonomian suatu wilayah dapat menggambarkan sektor-sektor
yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi daerah. Di Kabupaten Karawang yang

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


48

menjadi motor penggerak utama pertumbuhannya adalah sektor industri


pengolahan, hal tersebut terlihat dari peranan sektor industri yang mendominasi
perekonomian di Kabupaten Karawang dari tahun ke tahun.
Berdasarkan komparasi data PDRB tahun 1985, kontribusi terbesar
disumbangkan oleh sektor pertanian sebesar 37,04 persen, dan sektor indurti
hanya sebesar 13,09 persen. Namun sejak tahun 1990, kontribusi terbesar telah
bergeser pada sektor industri sebesar 32,87 persen, sedangkan sektor pertanian
justru hanya memberi kontribusi sebesar 17 persen. Pada tahun 2000, struktur
perekonomian masih tetap disominasi oleh sektor industri sebagai sektor yang
memberikan share terbesar terhadap PDRB, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel
dan restoran menggeser sektor pertanian. Tahun 2011, PDRB Kabupaten
Karawang mengalami peningkatan sebesar 9,37 persen dari tahun sebelumnya.
Kontribusi sektor primer mengalami penurunan bila dibandingkan dari tahun
2010, begitu juga yang terjadi pada sektor sekunder. Sementara itu, kontribusi
sektor tersier mengalami peningkatan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa
Kabupaten Karawang selain sebagai daerah dengan basis industri juga telah mulai
berkembang menjadi daerah dengan basis perdagangan dan jasa.

Tabel 4.5. Peranan PDRB Kabupaten Karawang Atas Dasar Harga Berlaku
(ADHB) Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 – 2011 (juta rupiah/persen)

Lapangan Usaha 2010*) 2011*)


Primer (Pertanian dan Pertambangan) 7.055.938,55 6.887.241,95
(12,32) (10,96)
Sekunder (Industri, Listrik, Air, dan 33.782.705,13 37.038.423,34
Bangunan) (59,00) (58,95)
Tersier (Perdagangan, Angkutan dan 16.421.455,56 18.906.450,66
Komunikasi, dan Jasa) (28,68) (30,09)
PDRB 57.260.099,25 62.832.115,95
(100,00) (100,00)
Sumber : BPS Kabupaten Karawang, 2012
Keterangan : *) = angka sementara

Pengeluaran per kapita masyarakat selama sebulan pada tahun 2010 adalah
sebesar Rp. 239.986,00 dengan alokasi 59,95 persen untuk konsumsi kelompok

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


49

makanan dan sisanya untuk konsumsi non-makanan. Namun demikian, secara


umum tingkat pendapatan masyarakat masih belum mencerminkan tingkat
kesejahteraan karena sebagian besar pendapatan masyarakat masih dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan sehari-hari.
Pada sektor KUKM, penyaluran kredit kreatif meningkat pada tahun 2005
– 2010 sebesar 25,72 persen. Berdasarkan jenis penggunaannya, sebagian besar
kredit lebih diserap untuk kegiatan konsumsi (62,37%) daripada untuk kegiatan
produktif (modal kerja dan investasi). Sedangkan menurut sektor ekonomi,
penyerapan kredit terbesar oleh sektor jasa dan lain-lain yaitu 67,64 persen, sektor
perdagangan 22,67 persen, sektor industri 5,8 persen dan sektor pertanian 3,76
persen.

4.4 Sistem Transportasi dan Infrastruktur Jalan


Pergerakan barang dan orang di Kabupaten Karawang secara umum dapat
dibagi atas tiga pola pergerakan, yaitu:
1) Pola pergerakan barang dan orang dari wilayah pelayanan pusat ke pusat
pelayanan (koleksi distribusi), dimana yang menjadi tujuan yakni kota-kota
kecamatan yang memiliki fasilitas pelayanan skala kecamatan atau yang lebih
luas. Kota-kota tersebut adalah Batujaya, Cibuaya, Rengasdengklok,
Tempuran, Cilamaya, Lemahabang, Telagasari, Karawang, Klari, Cikampek,
Telukjambe dan Pangkalan.
2) Berikutnya terjadi arus barang dan orang dari pusat pelayanan ke pusat utama
yaitu Kota Karawang, Kota Cikampek dan Kota Rengasdengklok. Sebagian
kecil, terjadi pula kecenderungan pergerakan ke luar Kabupaten Karawang
diantaranya sebelah selatan ke Purwakarta dan sebelah barat ke Bekasi.
3) Dari ketiga Kota tersebut, Kota Karawang menjadi tujuan utama dalam pola
pergerakan barang dan orang untuk skala pelayanan regional kabupaten.
Namun demikian terjadi pula pergerakan langsung khususnya barang hasil
produksi industri dan pertanian menuju ke luar kabupaten, yaitu: Bandung,
Purwakarta, Bekasi, Jakarta dan Tangerang.
Kondisi jalan di Kabupaten Karawang berdasarkan data tahun 2010 adalah
sebagai berikut:

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


50

Tabel 4.6. Kondisi Jalan di Kabupaten Karawang Tahun 2010

PANJANG KELAS KONDISI (Km)


STATUS
(Km) TONASE BAIK SEDANG RUSAK
Jalan Negara 46,34 II 23,17 23,17 -
Jalan Propinsi 48,19 III A 24,09 24,10 -
Jalan Kabupaten 861,73 III A** 430,86 258,53 172,34
Jalan Layang 2,80 III A 2,80 - -
Jalan Tol 28,60 III 28,60 - -
Jalan Desa 1.778,30 ** 889,15 533,49 355,66
Sumber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Karawang, 2011

4.5 Pertanian
Hasil evaluasi selama 10 tahun ke belakang ternyata lahan pertanian yang
beralih fungsi menjadi lahan non pertanian rata-rata 181,87 Ha per tahun, dengan
rincian untuk keperluan rumah tinggal (1,5 %), peruntukan perumnas/ BTN (54,6
%), industri (34,4 %), dan jasa (9,5 %). Pemerintah Kabupaten Karawang telah
menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), apabila tidak dapat dihindari
harus menggunakan lahan pertanian maka diupayakan ada kompensasi dalam
bentuk pencetakan sawah teknis/perbaikan saluran air/pembeliaan pompa air.
Komposisi penggunaan lahan di Kabupaten Karawang pada tahun 2010 dapat
dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Penggunaan Lahan di Kabupaten Karawang Tahun 2010

No. Penggunaan Lahan Luas (Hektar)


1 Lahan Sawah 97.529
Irigasi teknis 85.513
Irigasi setengah teknis 4.009
Irigasi sederhana 4.185
Tadah hujan 3.822
2 Lahan Bukan Sawah 25.647
Tegal/kebun 8.148

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


51

(Sambungan Tabel 4.7.)

No. Penggunaan Lahan Luas (Hektar)


Ladang/huma 2.378
Perkebunan 328
Ditanami pohon/ hutan rakyat 4.389
Tambak 9.354
Kolam/ tebet/ empang 440
Sementara tidak diusahakan 428
Penggembalaan/padang rumput 182
3 Lahan Bukan Pertanian 52.151
Rumah, bangunan dan halaman 22.043
Hutan negara 13.292
Rawa-rawa 197
4 Lainnya 16.619
Total (1+2+3+4) 175.327
Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, 2011

Ketersediaan luas baku lahan sawah di Kabupaten Karawang di tiap kecamatan


pada tahun 2010 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.8. Luas Baku Sawah Kabupaten Karawang Tahun 2010


No. Kecamatan Luas (Hektar)
1 Pangkalan 2.341
2 Tegalwaru 1.911
3 Ciampel 852
4 Telukjambe Timur 935
5 Telukjambe Barat 2.108
6 Klari 2.391
7 Cikampek 641
8 Purwasari 1.611
9 Tirtamulya 2.521
10 Jatisari 4.104
11 Banyusari 3.814

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


52

(Sambungan Tabel 4.8.)


No. Kecamatan Luas (Hektar)
12 Kotabaru 1.466
13 Cilamaya Wetan 4.570
14 Cilamaya Kulon 5.321
15 Lemahabang 3.798
16 Telagasari 3.918
17 Majalaya 2.233
18 Karawang Timur 1.847
19 Karawang Barat 2.243
20 Rawamerta 4.191
21 Tempuran 6.467
22 Kutawaluya 4.372
23 Rengasdengklok 2.026
24 Jayakerta 3.571
25 Pedes 5.156
26 Cilebar 5.417
27 Cibuaya 3.949
28 Tirtajaya 5.658
29 Batujaya 4.931
30 Pakisjaya 3.166
Total 97.529
Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, 2011

Produktivitas usaha tani padi, palawija, hortikultura dan perkebunan belum


optimal, sehingga pendapatan yang diperoleh petani rendah. Jika dilihat dari
potensi hasil padi, maka produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan lagi
dengan syarat menggunakan kawalan teknologi dan menekan kehilangan hasil.
Kehilangan hasil padi di Kabupaten Karawang rata-rata sebesar 16,47%. Sebagai
daerah lumbung padi Jawa Barat dan salah satu daerah yang dapat memberikan
kontribusi kebutuhan beras nasional dengan rata-rata mencapai 800.000 ton beras
per tahun, perlu adanya dukungan berupa ketersediaan lahan pertanian yang
memadai.
Secara keseluruhan, produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten
Karawang pada tahun 2011 meningkat bila dibandingkan dengan tahun
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


53

sebelumnya. Tetapi bila dilihat secara rinci, hanya padi sawah saja yang
mengalami peningkatan baik dalam produksi maupun luas panennya. Sedangkan
padi ladang mengalami penurunan produksi dan luas panen. Hal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Karawang


Tahun 2010 – 2011

No. Jenis Komoditas 2010 2011


1 Padi Sawah
Luas Panen (Hektar) 194.850 197.004
Produksi (Ton GKP) 1.364.924 1.459.406
Produktivitas (Kw/Ha) 70,05 74,08
2 Padi Ladang
Luas Panen (Hektar) 3.141 2.908
Produksi (Ton GKP) 11.778 11.316
Produktivitas (Kw/Ha) 37,50 38,91
Jumlah Produksi (Ton GKP) 1.376.702 1.470.722
Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, 2012

4.6 Prospek Kabupaten Karawang di Masa Depan


a. Pelabuhan Cilamaya (Seaport)
Terminal Tanjung Priok merupakan bagian dari Pelabuhan Tanjung Priok
dan satu-satunya terminal yang melayani transportasi peti kemas internasioanl di
wilayah barat pulau Jawa, selain melayani transportasi peti kemas domestik.
Tanjung Priok memainkan peranan penting dalam mendukung perekonomian
nasional, khususnya di DKI Jakarta.
Volume kargo peti kemas di pelabuhan terus meningkat sejak pertama
diperkenalkannya transportasi peti kemas, kondisi tersebut bila tidak segera
ditangani dapat melebihi kapasitas daya tampungnya di masa depan. Selain
penanganan daya tampung peti kemas, terminal Tanjung Priok menghadapi
permasalahan lain terkait dengan pelabuhan logistik, yaitu: kepadatan arus lalu
lintas di wilayah DKI Jakarta. Sebagai respon terhadap permintaan resmi
Pemerintah Republik Indonesia, maka Pemerintah Jepang memutuskan untuk
melaksanakan kajian tentang “The Project For Master Plan Study on Port

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


54

Development and Logistics in Greater Jakarta Metropolitan Area” atau “Master


Plan Pelabuhan”. JICA melaksanakan kajian tentang Master Plan Pelabuhan
mulai dari tahun 2010 sampai dengan 2011, yang diimplementasikan dalam
bentuk “Cilamaya New Port Development Project” yang terdiri atas rekomendasi
pembangunan pelabuhan laut dan akses jalan di Kabupaten Karawang, Provinsi
Jawa Barat serta proyek pembangunan terminal Kalibaru Utara di DKI Jakarta.
Pemerintah Indonesia memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam
RPJMN tahun 2010 – 2014. Pada Rencana Pembangunan Ekonomi sampai tahun
2012 (MP3EI) yang dikeluarkan pada bulan Mei 2011, perluasan pelabuhan
Tanjung Priok dan pembangunan pelabuhan baru Cilamaya dinyatakan sebagai
pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan bagi wilayah Metropolitan Jakarta
Raya.
Proyek pembangunan pelabuhan baru Cilamaya juga termasuk dalam
proyek kunci yang berpotensi dan diperlukan untuk mempercepat atau pendorong
perkembangan wilayah Metropolitan Jakarta Raya dalam bentuk konsep Wilayah
Prioritas Metropolitan yang diperuntukan untuk Investasi dan Industri (MPA)
berdasarkan persetujuan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang pada
tanggal 4 Desember 2010.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, lokasi terbaik untuk
pembangunan pelabuhan tersebut adalah di Muara Ciparage yang terletak diantara
Kecamatan Tempuran dan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang. Lokasi ini
berjarak 14 km dari Kecamatan Cilamaya, tepatnya terletak di sebelah tenggara
Desa Ciparage. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada beberapa aspek, antara lain
sebagai berikut :
- Hydrographical
- Hinterland (daerah penyangga)
- Kebijakan dan Peraturan Pemerintah
- Jarak terhadap akses jalan tol dan kawasan industri
- Kondisi sedimentasi, ketinggian ombak, dan tanah timbul

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


55

b. Bandara Udara (Airport)


Berdasarkan “Multiple Airport System Plan in Greater Jakarta
Metropolitan Area (GJMA)”, terdapat empat bandara udara di wilayah
Metropolitan Jakarta Raya, yaitu: Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusumah,
Pondok Cabe dan Curug. Soekarno-Hatta tidak memiliki kapasitas yang
mencukupi untuk pergerakan berbagai macam jenis pesawat. Oleh karena itu
khusus untuk pesawat jenis kecil mendarat di tiga bandara udara lainnya.
Prediksi kebutuhan untuk lalu lintas udara di Metropolitan Jakarta Raya
pada tahun 2020 diperkirakan sebanyak 70 juta penumpang dan pada tahun 2030
meningkat menjadi 100 juta penumpang. Oleh karena itu, muncul beberapa isu
sistem bandara udara, diantaranya adalah :
1) Kelayakan bandara udara Soekarno-Hatta dalam mengakomodasi tuntutan di
masa depan;
2) Ketersediaan berbagai pelayanan transportasi udara di 3 bandara lainnya;
3) Fungsi dari bandara udara baru, dimana diharapkan bandara udara baru dapat
mengakomodasi pelayanan transportasi udara untuk penerbangan domestik
dan internasional.
Untuk mengantisipasi berbagai isu tersebut dilakukan kajian terhadap
calon lokasi bandara udara baru, dan Kabupaten Karawang terpilih sebagai lokasi
yang paling memenuhi persyaratan bila dibandingkan dengan lokasi lainnya,
berdasarkan pertimbangan: (1) lingkungan sosial (jumlah rumah yang harus
direlokasi dan jumlah fasilitas publik yang harus direlokasi); (2) akses bandara
udara; (3) pertimbangan sosial ekonomi; (4) lokasi; (5) lingkungan alamiah; dan
(6) resiko.

c. Shinkasen (Proyek Kereta Api Cepat Indonesia dengan menggunakan skema


Public Private Partnership)
Kajian pendahuluan tentang kereta api cepat (High Speed Railway = HSR)
jurusan Jakarta-Bandung dengan menggunakan skema Public Private Partnership
(PPP), yang merupakan bagian dari perencanaan Metropolitan Priority Area
(MPA) antara Jakarta dan Bandung, dilaksanakan oleh The Ministry of Land,
Infrastructure, Transport and Tourism of Japan (MLIT) yang menunjuk Japan

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


56

Railway Technical Service (JARTS) dan Yachiyo Engineering Co. Ltd (YEC)
dengan persetujuan dari Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan rencana pendirian Bandara Udara Baru yang diproyeksikan
terletak di Kabupaten Karawang, maka Kabupaten Karawang merupakan daerah
yang akan terhubungkan dengan jalur kereta api cepat, yaitu berupa Stasiun
Bandara Udara Baru terdiri atas 3 platform (island platform) dan 6 jalur untuk
pelayanan shuttle antara Jakarta dan Stasiun Bandara Udara Baru.

4.7 Peraturan Terkait Pengendalian Alih Fungsi Lahan Kabupaten


Karawang ke Depan
Penyelenggaraan pembangunan penataan ruang diarahkan untuk
mewujudkan pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah yang sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang. Pada tahun 2009
Kabupaten Karawang memulai Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Sebagai akibat dari terbitnya beberapa Undang-undang,
seperti Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan pemerintah daerah untuk
membuat KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) untuk memasukan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dengan
pembangunan suatu wialayah dan/atau kebijakan rencana atau program. Selain itu
dengan keluarnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang mengamanatkan Kawasan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan
Cadangan Pertanian Pangan berkelanjutan harus ditetapkan dalam rencana tata
ruang wilayah.
Dalam Perda Kabupaten Karawang Nomor 2 Tahun 2013 tentang RTRW
Kabupaten Karawang Tahun 2011 – 2031 pasal 5 (3), menyebutkan bahwa
strategi kebijakan pelestarian lahan pertanian yang mendukung pengelolaan
pertanian lahan basah berkelanjutan meliputi:
a. Menetapkan kawasan yang secara eksisting didominasi oleh lahan pertanian
sebagai kawasan peruntukkan pertanian;

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


57

b. Meminimalkan potensi alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukkan dan


penggunaan lahan lainnya;
c. Memperhatikan secara khusus kawasan pertanian yang mempunyai desakan
paling besar untuk terjadinya alih fungsi lahan akibat perkembangan kawasan
perkotaan koridor Karawang – Cikampek; dan
d. Memperhatikan secara khusus potensi alih fungsi lahan pertanian yang tinggi
akibat pengembangan pelabuhan internasional Cilamaya.
Selanjutnya dalam Lampiran RTRW, indikasi program pengembangan kawasan
pertanian pangan (dengan waktu pelaksanaan tahun 2012 – 2020) berupa:
- Penyusunan rencana induk perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan,
- Penyusunan rencana rinci tata ruang sebagai operasional sistem lahan
pertanian pangan berkelanjutan,
- Penyusunan mekanisme pengendalian alih fungsi lahan,
- Pengembangan pusat-pusat pengembangan tanaman pangan,
- Penyediaan prasarana dan sarana penunjang pertanian pangan.
Dan indikasi program pengembangan kawasan strategis pertanian di koridor
Karawang – Cikampek (dengan waktu pelaksanaan tahun 2015 – 2010) berupa:
- Penyusunan rencana rinci kawasan strategis pertanian di koridor Karawang –
Cikampek
- Penyusunan rencana induk pengendalian alih fungsi lahan,
- Penyusunan aturan dan mekanisme pengendalian alih fungsi lahan,
- Pembangunan fasilitas penanda batas antara kawasan pertanian tanaman
pangan dan peruntukkan lainnya.
Adapun ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukkan pertanian
tanaman pangan adalah sebagai berikut:
a. Definisi
1) Memiliki pola monokultur, tumpangsari, campuran, tumpang gilir;
2) Pola tanam sepanjang tahun, penanaman tanaman panen atas air tersedia
dengan jumlah dan mutu yang memadai;
3) Dibutuhkan pekerjaan mekanis seperti pembuatan pematang teras dan
saluran drainase;

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


58

4) Merupakan kawasan yang ditetapkan dalam rangka pengembangan


pertanian berkelanjutan atau lahan sawah abadi;
5) Kawasan pertanian tanaman lahan basah ini harus dilindungi fungsi dan
keberadaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Kegiatan yang diijinkan berupa kegiatan yang mendukung perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan atau:
1) Kegiatan pengolahan lahan;
2) Jaringan irigasi, drainase dan jaringan jalan lokal.
c. Kegiatan yang diijinkan dengan syarat, yaitu:
1) pengembangan skala rendah, tidak mengganggu sistem irigasi dan tidak
menarik kegiatan lainnya sehingga mengancam keberadaan lahan tanaman
pangan, harus melalui kajian lebih dahulu yaitu:
 Kegiatan pertanian lain, seperti kolam ikan, peternakan, dan
perkebunan.
 Pemukiman pedesaan pada skala terbatas,
 Pergudangan hasil pertanian,
 Pengolahan hasil pertanian,
 Fasilitas lain pendukung fungsi pertanian.
2) Kegiatan untuk kepentingan umum yang diijinkan dengan menyediakan
pengganti dan dampaknya telah dikaji lebih dahulu:
 Jaringan jalan kolektor,
 Jalan tol atau arteri primer lainnya,
 Pasar tradisional,
 Terminal barang dan penumpang skala lokal,
 Bangunan pengendali bencana,
 Bangunan fasilitas umum dan sosial, seperti: sekolah, fasilitas ibadah,
 Bangunan gedung pemerintahan.
3) Industri yang bahan baku dan atau prosesnya terkait dengan produksi
pertanian lahan basah diijinkan dengan syarat:
 Menyediakan pengganti atau telah dikaji lebih dulu dampaknya,
 Memiliki fasilitas pengolahan limbah atau polutan lainnya,

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


59

 Tidak membangun fasilitas perumahan atau pendukungnya bagi


pekerja di kawasan pertanian,
 Harus menyediakan jalur khusus untuk transportasi barang dan
penumpang terkait dengan kegiatan industrinya.
4) Di sekitar situs budaya, sejarah atau yang lain yang berada di kawasan
pertanian dapat dikembangkan kegiatan atau kawasan pariwisata, dengan
syarat:
 Menyediakan pengganti atau telah dikaji lebih dulu dampaknya,
 Tidak membangun atau mengembangkan kegiatan yang dilarang di
dalam kawasan atau areal kegiatan wisata tersebut,
 Sesuai dengan rencana induk pariwisata dan ketentuan lainnya.
5) Bilamana terdapat potensi bahan tambang (mineral dan minyak bumi),
maka:
 Menyediakan pengganti atau telah dikaji lebih dulu dampaknya,
 Pembangunan fasilitas pengolahan sepanjang terbukti tidak harus
berdekatan dengan lokasi penambangan harus dibangun di luar
kawasan pertanian,
 Pembangunan perumahan dan fasilitas pendukung kehidupan pekerja
lainnya harus dilakukan di luar kawasan pertanian.
6) Jika sudah terdapat kegiatan selain yang diijinkan di kawasan pertanian,
maka:
 Pengembangan kegiatan harus memenuhi persyaratan,
 Pengembangan kegiatan dilarang jika termasuk kegiatan yang
sebenarnya dilarang,
 Harus disediakan pengolahan dampak tambahan jika berpotensi
menimbulkan dampak bagi keberadaan lahan pertanian basah.
d. Kegiatan yang dilarang, yaitu kegiatan lain yang akan memberikan dampak
bagi keberadaan dan fungsi lahan pertanian serta tidak terkait dengan
kepentingan umum, seperti:
1) Pergudangan dan pabrik skala besar dan tidak terkait dengan pengolahan
hasil pertanian,
2) Perumahan perkotaan,

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


60

3) Perdagangan dan jasa skala besar,


4) Pertambangan dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku,
5) Kegiatan perkotaan lainnya.
e. Intensitas pemanfaatan ruang dan kebutuhan prasarana:
1) Luas kawasan terbangun dibatasi sehingga tidak mengurangi luas sawah
yang ada maupun cadangannya, serta mengganggu jaringan irigasi;
2) Intensitas bangunan juga dibatasi sehingga tidak menimbulkan jumlah
penghuni yang besar yang akan menarik munculnya kegiatan ikutan;
3) Prasarana minimum yang disediakan adalah untuk pemukiman pedesaan
secara terbatas, seperti jaringan jalan, pengolahan sampah dan limbah.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


BAB 5
ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Alih Fungsi Lahan


Sawah
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi atau mendorong
terjadinya alih fungsi lahan sawah ke non-sawah pada tahun 2010, penulis
menggunakan binary model, yaitu logit dan probit dengan variabel terikat adalah
desa/kelurahan yang mengalami alih fungsi (DSNS = 1) dan tidak (DSNS = 0).
Variabel-variabel bebas yang digunakan adalah beberapa data yang terdapat
dalam Potensi Desa dan Kecamatan dalam Angka.
Sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut, dilakukan pengecekan
terhadap koefisien korelasi antar variabel bebas untuk menyelidiki ada atau
tidaknya permasalahan multikolinearitas antar variabel bebas. Dari hasil
pengujian menunjukkan bahwa koefisien korelasi tidak ada yang lebih besar atau
sama dengan 0,8 sehingga tidak terdapat permasalahan multikolinearitas (hasil
pengolahan dapat dilihat dalam Lampiran 1.). Selanjutnya, dilakukan pengolahan
data untuk menentukan model yang terbaik yang akan digunakan dalam
menganalisis permasalahan berdasarkan kriteria permodelan ekonometrika. Hasil
regresi terhadap variabel-variabel ditunjukkan dalam Tabel 5.1.
Hasil pengolahan data dengan memakai software Eviews 5.1 menunjukkan
bahwa hasil regresi terhadap model probit lebih baik untuk digunakan
dibandingkan dengan model logit. Pada model probit dan logit menunjukkan hasil
regresi dengan jumlah variabel bebas yang signifikan (signifikansi) sama banyak.
Tetapi apabila dilihat dari nilai McFadden R2-nya. pada model probit
menghasilkan angka yang lebih besar dari model logit, selain itu, nilai pada tiga
kriteria (Akaike Info Criterion, Schwarz Criterion, dan Hannan-Quinn Criterion)
model probit menunjukkan angka yang lebih kecil dari model logit. Sehingga
model probit dipilih penulis karena lebih efisien.

61 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


62

Tabel 5.1. Rekapitulasi Hasil Regresi Model Probit dan Model Logit

Dependent Variable: DSNS


Probit Logit
Variabel
Coef Z-Stat Coef Z-Stat
LDHA 0,00007 2,1214 0,00011 1,7724
** *
LLSHA 0,00135 2,0562 0,00240 1,9570
** *
DURBAN (pedesaan = 0) -1,15117 -3,6868 -1,89572 -3,3517
*** ***
DHAMPAR (bukan hamparan 1,38113 2,9033 2,40772 2,3661
= 0) *** **
DLANDAI (tidak landau = 0) -0,28479 -1,0589 -0,52768 -1,1081
DDT (bukan daerah tertinggal -0,78598 -2,4370 -1,48874 -2,1833
= 0) ** **
POP 0,00009 3,0525 0,00016 2,9347
*** ***
KELPERT -0,00012 -0,4363 -0,00017 -0,3378
DPENGHAS (sumber 1,33239 2,1754 2,13474 1,9339
penghasilan utama penduduk ** *
adalah di sektor pertanian = 0)
DPADI (komoditi utama 0,31717 0,5993 0,36906 0,3923
sektor pertanian adalah non-
padi = 0)
DSUNGPENG (sungai yang 0,05321 0,2616 -0,01596 -0,0429
melintas penggunaannya
bukan untuk irigasi = 0)
DBENCANA (bukan wilayah -0,04973 -0,2548 -0,04844 -0,1360
bencana banjir = 0)
DASPAL (permukaan jalan 0,39807 1,3668 0,74600 1,2836
sebagian besar tidak diaspal =
0)
JAMKES -0,00007 -1,3094 -0,00015 -1,3480
SKTM -0,00119 -3,3333 -0,00213 -3,1795
*** ***

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


63

(Sambungan Tabel 5.1.)

Dependent Variable: DSNS


Probit Logit
Variabel
Coef Z-Stat Coef Z-Stat
IKM -0,00544 -1,7197 -0,01000 -1,7130
* *
DPASAR (wilayah tidak -0,08416 -0,2538 -0,14866 -0,24090
memiliki pasar dengan
bangunan permanen = 0)
MINMAR 0,01310 0,2814 0,01996 0,2532
C -2,97670 -3,5886 -4,95916 -3,0867
*** ***
LR statistic (18 df) 64,87069 64,66330
Probability(LR stat) 0.00000 0.00000
Akaike info criterion 0,91564 0,91631
Schwarz criterion 1,14520 1,14587
Hannan-Quinn criter. 1,00741 1,00809
McFadden R-squared 0,20939 0,20872
Obs with Dep=0 247 247
Obs with Dep=1 62 62
Total obs 309 309
Sumber: Hasil Pengolahan, 2013
Keterangan: *** : signifikan dalam α = 1%
** : signifikan dalam α = 5%
* : signifikan dalam α = 10%

Dari hasil regresi model probit didapatkan nilai McFadden R2 yang


mencerminkan goodness of fit adalah sebesar 0,20939 yang artinya sekitar 21%
variasi kemungkinan untuk terjadi atau tidaknya alih fungsi lahan sawah dapat
dijelaskan oleh model. Sedangkan nilai Likelihood Ratio (LR) statistik dalam
model yang bernilai 64,87069 dengan probabilitas kurang dari 1% mencerminkan
bahwa variabel-variabel bebas tersebut secara keseluruhan atau bersama-sama
signifikan dapat menjelaskan model.
Dari hasil regresi model probit juga teridentifikasi faktor-faktor (sembilan
variabel) yang signifikan berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya alih
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


64

fungsi lahan sawah ke non-sawah di Kabupaten Karawang, yaitu luas


desa/kelurahan (LDHA), luas lahan sawah desa/kelurahan (LLSHA), status daerah
merupakan perkotaan atau pedesaan (DURBAN), lokasi desa/kelurahan berupa
hamparan atau bukan hamparan (DHAMPAR), desa/kelurahan merupakan daerah
tertinggal atau bukan (DDT), jumlah penduduk desa/kelurahan (POP), sumber
penghasilan utama sebagian besar penduduk di sektor pertanian atau non-
pertanian (DPENGHAS), jumlah surat miskin/SKTM yang dikeluarkan
desa/kelurahan (SKTM) dan jumlah industri kecil dan mikro (IKM). Variabel-
variabel tersebut memberikan kontribusi yang berbeda terhadap besarnya
kemungkinan/ kecenderungan terjadi atau tidaknya alih fungsi lahan sawah,
terlihat dari tanda dan besarnya nilai koefisien masing-masing variabel. Variabel-
variabel yang berpengaruh signifikan secara positif yaitu luas desa/kelurahan, luas
lahan sawah, lokasi desa/kelurahan berupa hamparan, jumlah penduduk dan
sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk, sedangkan yang lainnya
berpengaruh negatif.

5.2 Analisis Hasil Penelitian


Pada variabel LDHA dan LLSHA berpengaruh positif signifikan terhadap
kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan sawah. Hasil regresi tersebut sesuai
dengan hipotesa awal, bahwa semakin luas suatu wilayah (desa/kelurahan) dan
semakin luas lahan sawahnya maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk
terjadinya alih fungsi lahan. Menurut Pakpahan (dalam Puspasari, 2012) sebaran
lahan sawah merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh
terhadap alih fungsi lahan itu sendiri. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-
pertanian, seperti untuk kawasan industri, kawasan perdagangan, perumahan dan
perkantoran memerlukan lahan yang luas, dan sebagian diantaranya berasal dari
lahan pertanian termasuk sawah. Seperti diketahui bahwa sampai dengan tahun
2010, luas lahan baku sawah di Kabupaten Karawang adalah sekitar 55,63% atau
97.529 hektar, dan kemungkinan besar akan semakin berkurang dikarenakan
perubahan peruntukkan guna mengakomodir berbagai kebutuhan.
DURBAN berpengaruh negatif signifikan terhadap terjadinya alih fungsi
lahan sawah (dengan basisnya adalah pedesaaan (=0)). Hal tersebut menunjukkan

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


65

bahwa perkotaan berpeluang lebih kecil untuk terjadi alih fungsi lahan sawah
dibandingkan dengan pedesaan, atau dengan kata lain, pedesaan berpeluang lebih
besar terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah. Pada umumnya lokasi
pembangunan dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa yang
terkonsentrasi di perkotaan, sehingga wilayah perkotaan akan semakin didominasi
oleh bangunan permanen. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian antara
lain untuk kawasan industri, kawasan perdagangan, perkantoran dan jasa-jasa
lainnya memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan
pertanian termasuk sawah. Semakin banyak bangunan permanen akan menyisakan
sedikit atau bahkan menghabiskan lahan sawah. Apabila lahan sawah telah habis
maka kemungkinan terjadinya alih fungsi juga akan tidak akan terjadi. Dan pada
akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan lahan yang semakin meningkat, lokasi
pedesaan, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi
sasaran pengembangan kegiatan non-pertanian, mengingat harga lahan yang
relatif lebih murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang
(Isa, 2004).
Bila dilihat dari koefisien variabel DHAMPAR (dengan basisnya adalah
lokasi berupa bukan hamparan (=0)), lokasi desa/kelurahan yang berupa hamparan
berpengaruh positif signifikan terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah. Jadi,
lokasi desa/kelurahan berupa hamparan akan berpeluang besar terhadap
kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan sawah. Kabupaten Karawang yang
sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 25
mdpl sangat efektif untuk dijadikan pilihan pengembangan pembangunan (misal
kawasan industri) sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan
menggerus lahan terbuka maupun lahan sawah yang mendominasi areal tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh Winoto (dalam Mukhoriyah, 2012) bahwa
pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, industri, dan sebagainya
cenderung berlangsung lebih cepat di daerah dengan topografi yang datar, dimana
ekosistem pertaniannya dominan persawahan. Terjadinya alih fungsi lahan yang
mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dan dalam
waktu yang relatif sama termasuk dalam tipe sistemik berpola enclave (Sihaloho,
2004).

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


66

Variabel DDT berpengaruh negatif signifikan (dengan basisnya adalah


daerah tidak tertinggal (= 0)), yang artinya bahwa daerah tertinggal berpeluang
lebih kecil terhadap kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan sawah. Pada daerah
tidak tertinggal mempunyai peluang lebih besar untuk terjadinya alih fungsi lahan
sawah. Dari data yang ada menujukkan sebagian besar penduduk di daerah
tertinggal adalah berpenghasilan utama dari sektor pertanian.Witjaksono (dalam
Ilham, 2003) mengemukakan bahwa pada masyarakat pedesaan, status sosial
penduduk masih dikaitkan dengan luas kepemilikan lahan, sehingga akan
membuat mereka sulit dipisahkan dari lahan sawah yang dikuasainya. Selain itu,
dengan memiliki lahan yang luas, pemilik dapat memberi pekerjaan kepada orang
lain (tetangga) yang akan menciptakan hubungan saling membutuhkan. Lahan
sawah merupakan asset sosial yang dapat digunakan sebagai simbol kehormatan
keluarga. Lahan sawah yang memiliki fungsi sosial tersebut akan cenderung untuk
dipertahankan.
Koefisien variabel jumlah penduduk (POP) yang positif signifikan
menunjukkan bahwa semakin besar jumlah penduduk suatu wilayah
desa/kelurahan, maka kemungkinan untuk terjadi alih fungsi lahan sawah juga
semakin besar. Menurut Kustiawan (1997) faktor kependudukan (demografi)
merupakan faktor eksternal yang menyebabkan alih fungsi lahan sawah,
sedangkan Pakpahan (dalam Puspasari, 2012) menggolongkan pertumbuhan
penduduk sebagai faktor tidak langsung pada tingkat wilayah yang mempengaruhi
alih fungsi lahan sawah. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan
permintaan terhadap lahan baik untuk kebutuhan tempat tinggal maupun untuk
peningkatan intensitas kegiatan bermasyarakat, seperti lapangan sepak bola, pusat
perbelanjaan, tempat rekreasi, dan sarana lainnya (Isa, 2004). Pola alih fungsi
lahan sawah yang terjadi sebagai respon atas pertumbuhan penduduk disebut tipe
adaptasi demografi (Sihaloho, 2004).
Koefisien variabel sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk
(DPENGHAS) yang positif telah sesuai dengan dugaan awal (dengan basisnya
adalah sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah di sektor
pertanian (=0)). Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk di sektor
non-pertanian berpeluang lebih besar terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


67

Witjaksono (dalam Ilham, 2003) juga mengemukakan, bahwa penduduk yang


memiliki sumber penghasilan utama di sektor non-pertanian berpeluang lebih
besar terhadap terjadinya alih fungsi lahan. Penduduk yang bekerja di luar sektor
pertanian tersebut cenderung telah mengalami perubahan persepsi terhadap fungsi
sawah, dan menganggap profesi petani sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi.
Oleh karena itu, apabila mereka memiliki lahan pertanian maka mereka tidak akan
keberatan jika melepaskan lahannya untuk dialihfungsikan. Sedangkan penduduk
yang berpenghasilan utama di sektor pertanian akan cenderung mempertahankan
lahannya.
Variabel SKTM mempunyai koefisien negatif dalam pengaruhnya
terhadap alih fungsi lahan sawah. Semakin berkurangnya pemberian surat miskin
di masyarakat (khususnya masyarakat kurang mampu) akan semakin
meningkatkan peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah. Adanya faktor internal,
yang melihat dari sisi kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian, merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan alih fungsi lahan sawah (Kustiawan,
1997). Kebutuhan mendesak untuk keperluan pendidikan, kesehatan, mencari
pekerjaan, modal usaha, dan lainnya akan membuat rumah tangga petani tidak
mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahannya (Isa, 2004). Dimana
menurut Sumaryanto, et.al. (2006), lahan sawah yang telah beralih kepemilikan
(alih penguasaan) rentan terjadi alih fungsi. Sihaloho (2004) menguraikan, faktor
pada aras mikro, yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi
rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah
tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga)
sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan sawah. Pola alih fungsi yang terjadi
akibat desakan ekonomi pelaku disebut tipe gradual berpola sporadik.
Variabel IKM berpengaruh negatif signifikan terhadap peluang terjadinya
alih fungsi lahan sawah, dimana masih sedikitnya IKM akan meningkatkan
peluang alih fungsi. Jadi, semakin banyak IKM akan menurunkan peluang
terjadinya alih fungsi lahan sawah di wilayah tersebut. IKM merupakan industri
dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang. Keberadaan IKM membantu
menambah penghasilan bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga dapat
mengurangi beban kebutuhan ekonomi. Selain bekerja di sektor pertanian,

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


68

keluarga petani bisa bekerja di IKM. Adanya pola nafkah ganda pada petani, akan
membuat peluang terjadinya alih fungsi lahan semakin kecil. Bangunan fisik pada
IKM biasanya tidak membutuhkan luas areal yang luas dan dekat atau menyatu
dengan tempat tinggal pemiliknya. Tidak seperti industri besar, IKM tidak
memberi dampak kegiatan ikutan yang besar seperti pembangunan pertokoan,
perumahan, dan pergudangan.
Dalam model probit, apabila telah diketahui koefisien atau nilai
parameternya, maka tahap berikutnya adalah menghitung nilai index function (Ii)
dari setiap observasi untuk analisa lebih lanjut. Berdasarkan hasil regresi, maka
persamaan Ii adalah:

Ii = – 2,97670 + 0,00007*LDHA + 0,00135*LLSHA –


1,15117*DURBAN + 1,38113*DHAMPAR – 0,78598*DDT +
0,00009*POP + 1,33239*DPENGHAS – 0,00119*SKTM –
0,00544*IKM

Setelah diketahuinya nilai Ii, maka dengan menggunakan Tabel Distribusi


Normal ṕi = F(Ii) kita akan mendapatkan peluang/kemungkinan terjadinya alih
fungsi lahan sawah, seperti yang disajikan dalam Tabel 5.2. Hasil perhitungan
tersebut telah diurutkan dari nilai minimal sampai maksimal, yang menunjukkan
bahwa semakin besar nilai Ii maka peluang lahan sawah untuk dialihfungsikan
juga semakin meningkat, yang terlihat dari nilai ṕi - nya.

Tabel 5.2. Hasil Perolehan Nilai Ii yang Telah Diurutkan


dari Nilai Minimal sampai dengan Maksimal

RANK DESA/KELURAHAN DSNS Ii ṕi = F(Ii)


1 CENGKONG 0 -4.87 0.0000
2 MANGGUNGJAYA 0 -3.82 0.0000
3 DARAWOLONG 0 -3.81 0.0000
4 MEKARMAYA 0 -3.73 0.0000
5 TEGALEGA 0 -3.58 0.0000
6 CICINDE SELATAN 0 -3.32 0.0000
7 CIPURWASARI 0 -3.30 0.0000

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


69

(Sambungan Tabel 5.2.)

RANK DESA/KELURAHAN DSNS Ii ṕi = F(Ii)


8 CIGUNUNGSARI 0 -3.22 0.0000
9 CILAMAYA 0 -3.16 0.0000
10 MULYASEJATI 0 -3.00 0.0013
11 KUTAMANEUH 0 -2.98 0.0014
12 JATISARI 0 -2.92 0.0018
13 SUKAJAYA 0 -2.85 0.0022
14 KARANGSARI 0 -2.84 0.0023
15 WANCIMEKAR 0 -2.72 0.0033
… …….. …… …… …….
293 AMANSARI 1 0.21 0.5832
294 SEGARAN 0 0.21 0.5832
295 TELUKJAYA 0 0.28 0.6103
296 BENGLE 1 0.28 0.6103
297 PALUMBONSARI 1 0.34 0.6331
298 DUREN 0 0.43 0.6664
299 SUKAMAKMUR 1 0.45 0.6736
300 WARUNGBAMBU 1 0.52 0.6985
301 CIBALONGSARI 0 0.63 0.7357
302 DAWUAN BARAT 1 0.76 0.7764
303 JAYAMUKTI 1 0.77 0.7794
304 KARAWANG WETAN 1 0.81 0.7910
305 CIKAMPEK PUSAKA 0 0.89 0.8133
306 KONDANGJAYA 1 0.93 0.8238
307 KARYASARI 0 1.07 0.8577
308 SUKALUYU 1 1.33 0.9082
309 WADAS 1 1.35 0.9115
Sumber: Hasil Pengolahan, 2013

Dari tabel terlihat bahwa Cengkong dan Manggungjaya merupakan contoh


wilayah dengan nilai Ii paling minimal, yang artinya memiliki peluang paling
kecil untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah. Cengkong dan Manggungjaya
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


70

memiliki jumlah penerima SKTM yang besar dan sebagian besar penduduknya
berpenghasilan utama di sektor pertanian. Masyarakat kurang mampu (yang
memiliki lahan sawah) akan tetap mempertahankan lahannya (tidak menjualnya)
dengan alasan desakan kebutuhan ekonomi (misalnya untuk biaya kesehatan dan
pendidikan), karena adanya jaminan dari pemerintah setempat berupa pemberian
SKTM. Selain itu, ketergantungan masyarakat pada sektor pertanian yang tinggi,
yaitu sebagai sumber penghasilan utama, akan membuat mereka mengupayakan
keberlangsungan usaha pertanian, khususnya usaha tani sawah. Adanya keinginan
masyarakat (petani) di Cengkong dan Manggungjaya untuk mempertahankan
lahan sawahnya membuat peluang terjadinya alih fungsi di wilayah tersebut
menjadi kecil, hal tersebut tercermin pula pada nilai ṕ yang rendah yaitu =
0,0000.
Karanganyar merupakan daerah tertinggal dengan penghasilan utama
sebagian besar penduduknya adalah di sektor pertanian dan ketersediaan lahan
sawah yang ada relatif kecil (di bawah rata-rata), maka petani akan cenderung
mempertahankan lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karanganyar
memiliki peluang yang rendah untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah terlihat
dari nilai ṕ-nya yaitu 0,1335.
Adiarsa Barat merupakan wilayah perkotaan dengan jumlah IKM yang
banyak yaitu 158 unit dan memiliki luas lahan sawah yang kecil (6,71 hektar).
Karena ketersediaan lahan sawah yang sedikit, maka peluang terjadinya alih
fungsi juga kecil yaitu 0,2483. Tetapi masih adanya “sawah kejepit”, yakni
sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih fungsi
menjadi perumahan atau lainnya, akan membuat petani mengalami kesulitan
untuk mendapatkan tenaga kerja, air, dan sarana produksi lainnya, sehingga dapat
memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual lahannya.
Amansari merupakan wilayah pedesaan dengan luas lahan sawah lebih
dari 50 persen dari luas wilayahnya, dengan kondisi lahan berupa hamparan dan
bukan termasuk daerah tertinggal. Ketersediaan lahan sawah yang luas akan
membuat pemiliknya dengan mudah melepas (menjual) ke pihak lain, atau
melakukan alih fungsi untuk kegiatan non-pertanian. Adanya peluang yang relatif

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


71

besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah di Amansari dapat diketahui dari
nilai ṕ-nya yaitu 0,5832.
Sementara itu, Wadas merupakan wilayah dengan nilai Ii paling maksimal
sehingga mempunyai peluang paling besar untuk terjadinya alih fungsi lahan
sawah. Wadas merupakan wilayah pedesaan dan bukan termasuk dalam daerah
tertinggal, memiliki luas lahan sawah sekitar 40 persen dari luas desa dengan
kondisi lahan berupa hamparan. Dengan jumlah penduduk yang besar (melebihi
rata-rata jumlah penduduk secara keseluruhan) dan sumber penghasilan utama
sebagian besar penduduknya di sektor non-pertanian, Wadas merupakan wilayah
dengan jumlah penerima SKTM yang relatif kecil (dibawah rata-rata).
Keberadaan IKM yang masih relatif sedikit, akan memicu munculnya industri
kecil lainnya sehingga alih fungsi lahan semakin rentan. Dari data yang ada,
Wadas telah mengalami alih fungsi sawah ke non-sawah, dan tidak menutup
kemungkinan akan terjadi lagi di masa mendatang karena semakin besar jumlah
penduduk akan semakin meningkatkan permintaan terhadap lahan. Adanya
perubahan perilaku atau cara pandang terhadap keberlangsungan lahan sawah
karena masyarakat beranggapan pertanian bukan merupakan satu-satunya sumber
penghasilan utama juga dapat memicu terjadinya alih fungsi. Selain itu, adanya
desakan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan modal usaha untuk beralih profesi
akan membuat masyarakat memilih menjual lahannya daripada
mempertahankannya. Sukaluyu, Karyasari, dan Kondangjaya merupakan contoh
lain dari wilayah dengan kondisi yang hampir sama dengan Wadas, sehingga
wilayah tersebut juga berpeluang besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah,
dan dalam hal ini ditunjukkan dalam nilai ṕ-nya yang lebih besar dari 0,8000.
Dari nilai koefisien variabel dalam persamaan index function (Ii) dan hasil
perhitungan nilai peluang/kemungkinan yang terjadi, suatu wilayah
(desa/kelurahan) akan memiliki peluang besar/kecenderungan untuk mengalami
alih fungsi lahan sawah apabila desa/kelurahan tersebut:
a. Lokasi berupa hamparan;
b. Sebagian besar penduduk berpenghasilan utama di sektor non-pertanian;
c. Memiliki luas lahan sawah yang besar;
d. Mempunyai jumlah penduduk yang besar;

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


72

e. Memiliki luas lahan desa/kelurahan yang besar;


f. Jumlah kartu miskin/ SKTM yang dikeluarkan oleh desa/kelurahan sedikit;
g. Memiliki jumlah IKM yang sedikit;
h. Bukan termasuk daerah tertinggal; dan
i. Status daerah adalah pedesaan.
Dari hasil regresi model probit terdapat pula variabel-variabel yang tidak
signifikan sebanyak sembilan variabel, yaitu: DLANDAI (dummy kemiringan
desa/kelurahan landai dan tidak landai), KELPERT (jumlah keluarga pertanian),
DPADI (dummy jenis komoditi utama sektor pertanian berupa padi dan non-
padi), DSUNGPENG (dummy desa/kelurahan yang dilintasi sungai yang
penggunaannya untuk irigasi lahan pertanian dan tidak untuk irigasi pertanian),
DBENCANA (dummy desa/kelurahan rawan bencana banjir dan tidak rawan
bencana banjir), DASPAL (dummy kondisi jalan utama dengan permukaan
diaspal/dibeton atau tidak), JAMKES (Jumlah penerima JAMKESMAS/
JAMKESDA), DPASAR (dummy desa/kelurahan memiliki pasar dengan
bangunan permanen dan tidak memiliki pasar dengan bangunan permanen),
MINMAR (jumlah mini market). Artinya, variabel-variabel tersebut secara
statistik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadi atau tidaknya alih
fungsi lahan sawah ke non-sawah di Kabupaten Karawang.
DLANDAI menggambarkan tentang kemiringan lahan suatu wilayah,
dimana wilayah dengan kemiringan lahan kurang dari 150 disebut landai, dan
selebihnya termasuk sedang, curam, dan sangat curam. Berbeda dengan
DHAMPAR yang berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan, variabel
DLANDAI justru tidak berpengaruh signifikan.
KELPERT tidak berpengaruh signifikan disebabkan oleh adanya
perbedaan pola pikir atau perubahan perilaku pada masing-masing keluarga.
Adanya keheterogenan persepsi masyarakat tentang keberadaan lahan sawah,
untuk tetap mempertahankannya atau akan mengalihfungsikan, membuat tidak
terjadinya hubungan yang signifikan antara KELPERT dengan alih fungsi lahan
sawah.
Keberadaan desa/kelurahan dimana sumber penghasilan penduduk di
sektor pertanian dengan komoditi utama adalah padi (DPADI) tidak memberi

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


73

pengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah. Apabila melihat produksi
padi yang meningkat setiap tahun walaupun dengan keberadaan sawah yang
semakin berkurang, menunjukkan bahwa bukan hanya luas sawah saja yang
berpengaruh terhadap produksi padi melainkan luas panen, cuaca yang
mendukung, dan teknologi yang diterapkan. Kondisi tersebut dapat membuat
DPADI menjadi tidak signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah.
Variabel JAMKES tidak berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi.
Jaminan kesehatan diberikan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu agar
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Jumlah penerima jaminan
kesehatan tidak mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan sawah dikarenakan
kebutuhan akan biaya kesehatan masyarakat telah tercukupi baik oleh masyarakat
itu sendiri (biaya pribadi) atau melalui program JAMKESMAS maupun asuransi
kesehatan lainnya. Jadi banyak atau sedikitnya jaminan kesehatan yang diberikan
tidak berpengaruh pada alih fungsi lahan sawah, sebab masyarakat melakukan alih
fungsi untuk memenuhi kebutuhan lain di luar kebutuhan biaya kesehatan.
Ada/tidaknya pasar dengan bangunan permanen (DPASAR) di
desa/kelurahan juga tidak memicu munculnya kegiatan lain dan tidak menarik
jumlah penghuni yang besar untuk bermukim di sekitar lokasi sehingga DPASAR
tidak berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan sawah.
Jumlah mini market (MINMAR) tidak berpengaruh signifikan terhadap
alih fungsi lahan sawah karena bangunan fisiknya tidak memerlukan lahan yang
luas (<400m2) dan biasanya terdapat di wilayah perkotaan (wilayah padat
penduduk).

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


BAB 6
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Proses alih fungsi lahan sawah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
direncanakan dan tidak direncanakan. Alih fungsi lahan sawah yang direncanakan
tertuang dalam aturan pemerintah tertentu dan diarahkan untuk pengembangan
kawasan industri, kawasan pemukiman, jalan raya, komplek perkantoran. Oleh
karena itu, lahan sawah yang alih fungsinya direncanakan keberadaannya
terkelompok dalam suatu hamparan yang cukup luas. Sedangkan proses alih
fungsi lahan sawah yang tidak direncanakan dilakukan oleh pemilik lahan dalam
luasan yang kecil dan pada lokasi yang terpencar.
Dari hasil analisis terhadap faktor-faktor yang menjadi pengaruh terhadap
terjadi/tidaknya alih fungsi lahan sawah ke non-sawah di Kabupaten Karawang
yang diolah dengan menggunakan model probit, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1) Lokasi desa/kelurahan yang berupa hamparan mempunyai peluang lebih
besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah daripada lokasi yang bukan
hamparan.
2) Daerah dengan status pedesaan mempunyai peluang lebih besar untuk
terjadinya alih fungsi lahan sawah daripada daerah perkotaan.
3) Desa/kelurahan yang bukan termasuk daerah tertinggal mempunyai peluang
lebih besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah daripada daerah
tertinggal.
4) Semakin luas lahan sawah di suatu desa/kelurahan mempunyai peluang lebih
besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah.
5) Semakin luas lahan desa/kelurahan mempunyai peluang lebih besar untuk
terjadinya alih fungsi lahan sawah.
6) Desa/kelurahan dengan penghasilan utama sebagian besar penduduknya
adalah di sektor non-pertanian mempunyai peluang lebih besar untuk

74 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


75

terjadinya alih fungsi lahan sawah daripada yang berpenghasilan utama di


sektor pertanian.
7) Semakin besar jumlah penduduk mempunyai peluang lebih besar untuk
terjadinya alih fungsi lahan sawah.
8) Semakin sedikit jumlah industri kecil dan mikro mempunyai peluang lebih
besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah.
9) Semakin sedikit jumlah penerima surat miskin/SKTM mempunyai peluang
lebih besar untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah.

6.2 Saran/ Rekomendasi Kebijakan


Status lahan sawah di desa/kelurahan pada umumnya adalah hak milik.
Dengan demikian proses alih fungsinya dilakukan melaui prosedur administrasi.
Sesuai dengan prosedur baku, berbagai instansi ikut terkait dan berperan dalam
hal persetujuan alih fungsi lahan sawah tersebut.
Berdasarkan pada variabel-variabel yang signifikan menjadi pengaruh
terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah ke non-sawah di Kabupaten
Karawang, maka beberapa saran yang dapat diberikan agar terjadinya alih fungsi
lahan sawah ke non-sawah dapat ditekan adalah sebagai berikut:
1) Seperti yang tertuang dalam RPJPD dan RTRW Kabupaten Karawang, bahwa
untuk mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan sawah perlu adanya zonasi
penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan atau lahan sawah abadi.
Lahan sawah sebagai wadah untuk proses produksi padi sangat ditentukan
oleh kebijakan dan implementasi perlindungan kawasan ini dan
keberadaannya sangat ditentukan oleh besarnya perlindungan dan penegakan
hukum. Keberadaan lahan sawah sangat terkait dengan identitas wilayah,
mengingat visi pembangunan daerah yaitu mewujudkan “Karawang Sejahtera
Berbasis Pertanian dan Industri”, dimana pertanian menjadi salah satu basis
ekonominya. Sehubungan dengan belum terdapatnya peraturan daerah yang
secara khusus memuat tentang zonasi penetapan lahan sawah abadi di
Kabupaten Karawang (masih dalam bentuk draft), maka perlu adanya
percepatan penerbitan Perda tersebut, disertai dengan persiapan aparatur

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


76

(kelembagaan pendukung) dalam menerapkannya, anggaran yang diperlukan


untuk sosialisasi, dan penguatan kelembagaan lokal.
Perlu diwaspadai bahwa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan
pertanian cenderung memiliki berbagai kelemahan, antara lain: a) Obyek
lahan pertanian yang dilindungi pada umumnya ditetapkan berdasarkan
kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relatif mudah untuk
direkayasa; b) Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak
dilengkapi sanksi yang jelas, baik yang menyangkut dimensi maupun pihak
yang dikenai sanksi; c) Jika terjadi alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan, sulit ditelusuri pihak mana yang paling
bertanggungjawab, mengingat izin alih fungsi lahan merupakan keputusan
kolektif berbagai instansi; d) Peraturan perundangan-undangan yang berlaku
kadangkala bersifat dualistik, di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih
fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya pemerintah cenderung mendorong
pertumbuhan industri yang basisnya membutuhkan lahan.
2) Upaya untuk melindungi keberadaan lahan sawah yang masih tersisa agar
tidak terjadi alih fungsi lahan adalah dengan pengembangan pemetaan
partisipatif dari tingkat desa. Upaya ini melibatkan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pengendalian alih fungsi lahan sawah karena perlu
adanya kesepakatan tentang kriteria lahan yang boleh dialihfungsikan atau
yang perlu dipertahankan. Keuntungan dari pemetaan partisipatif ini adalah
masyarakat terlibat secara aktif dalam proses pemanfaatan ruang yang ada dan
upaya ini dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaiki sistem pendataan
terkait lahan dan ruang. (Upaya ini telah diinisiasi oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Propinsi Jawa Tengah, dengan melakukan pemetaan
partisipatif di Desa Tolokan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang).
3) Jika melihat dari variabel DPENGHAS yang berpengaruh positif signifikan,
maka saran yang dapat diberikan adalah berupa penerapan insentif dan
disinsentif. Penduduk dengan sumber penghasilan di sektor pertanian
berpeluang lebih kecil terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah. Sehingga,
perlu diberikan insentif kepada petani (pemilik lahan) yang mempertahankan
lahan sawahnya sebagai usaha tani. Insentif bagi pemilik lahan bisa dalam

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


77

bentuk langsung maupun tak langsung. Insentif langsung berupa kebijakan


harga (subsidi) dan keringanan pajak lahan sawah. Sedangkan bentuk insentif
tidak langsung adalah berupa pengembangan infrastruktur (sistem irigasi) dan
bantuan teknis pengembangan teknologi pertanian. Dari insentif tersebut
diharapkan pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian dapat meningkat
dan memberi stimulus pemilik lahan untuk tetap mempertahankan sawahnya.
Dalam studi ini, pemberian insentif langsung merupakan saran yang lebih
tepat karena ketersediaan sistem irigasi (penerapan insetif tidak langsung) di
wilayah penelitian tidak berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan
terjadinya alih fungsi lahan sawah. Adapun bentuk disinsentif yang diberikan
kepada pelaku alih fungsi lahan sawah dapat berupa pengenaan biaya sebagai
kompensasi terhadap hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah.
4) Sedangkan untuk variabel POP, dimana jumlah penduduk yang semakin
meningkat akan berpeluang besar terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah
perlu diantisipasi dengan lebih menggiatkan program Keluarga Berencana
(KB) dan membatasi arus urbanisasi. Salah satu contoh upaya untuk
membatasi urbanisasi adalah dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2011 tentang penyelanggaran tenaga kerja. Perda tersebut mengatur
tentang penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan dengan persentase 60:40,
60% tenaga kerja lokal dan 40 % tenaga kerja luar Karawang. Kabupaten
Karawang merupakan wilayah dengan jumlah industri yang besar dan semakin
bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data Dinas Perindustrian
Perdagangan, Pertambangan dan Energi, jumlah industri terhitung pada tahun
2010 mencapai 9.484 unit dan pada tahun 2011 bertambah menjadi 9.763 unit,
terdapat penambahan 279 industri, yang terdiri dari 126 industri besar dan 133
industri kecil. Hal ini tentunya membuka peluang lapangan kerja bagi para
pencari kerja, baik dari masyarakat lokal maupun pendatang.
5) Pada variabel jumlah IKM yang mempunyai pengaruh negatif signifikan
terhadap peluang terjadinya alih fungsi lahan, dalam hal ini upaya untuk
menekan alih fungsi adalah mendorong munculnya industri-industri kecil
(dengan meningkatkan kreatifitas dan ketrampilan masyarakat serta
menumbuhkan jiwa kewirausahaan), memberi kemudahan ijin dalam

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


78

mendirikan IKM, dan penyediaan pinjaman modal usaha dengan kredit yang
ringan.
6) Jumlah surat miskin/ SKTM yang diterima masyarakat mempunyai pengaruh
negatif signifikan terhadap kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan, untuk
menekan alih fungsi bukanlah dengan menambah jumlah penerbitan surat
miskin, melainkan dengan upaya perlindungan dan pemberdayaan petani. Di
pedesaan, masyarakat miskin atau tidak mampu identik dengan masyarakat
yang bekerja di sektor pertanian, seperti petani atau buruh tani. Perlindungan
terhadap petani memuat kewajiban pemerintah kabupaten untuk melindungi
petani, kelompok tani, koperasi petani, dan asosiasi petani yang meliputi
perlindungan terhadap usaha tani dan harga komoditas pangan pokok.
Sedangkan pemberdayaan petani memuat tentang pengembangan infrastruktur
pertanian pangan, penguatan kelembagaan petani, penyuluhan dan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, memfasilitasi pemasaran hasil
pertanian pangan, dan pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan keluarga.

6.3 Keterbatasan Studi


Data yang digunakan masih terbatas pada data sekunder, yang
ketersediaannya sangat tergantung pada sumber data. Terdapatnya data Podes
yang masih kosong dan format data yang berbeda-beda dari tahun ke tahun
membuat penulis mengalami kesulitan dalam penyusunan dan pengolahan data,
sehingga tidak bisa membandingkan terjadinya alih fungsi lahan sawah antar
waktu atau dalam kurun waktu yang lama. Penulis berharap instansi penyedia data
(sumber data), baik dari tingkat desa maupun BPS, selalu memperbarui dan
melengkapi data yang ada agar informasi yang tersedia lebih up to date.
Dalam studi ini hanya difokuskan pada lingkup satu tahun penelitian,
penulis berharap di masa mendatang terdapat studi lanjutan sejenis yang
dilakukan pada kurun waktu yang lebih lama (time series), sehingga hasil yang
didapatkan akan lebih baik dan saran yang diberikan bisa lebih mendalam.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


DAFTAR PUSTAKA

Anugerah, F. (2005). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan


Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Apriyana, N. (2011). Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Dalam
Rangka Mempertahankan Ketahanan Pangan Nasional. Policy Paper.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Ardia, H. (26 Desember 2012). Investasi: Karawang Bidik Pertumbuhan 20%.
http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/investasi-karawang-bidik-
pertumbuhan-20. Diakses 24 April 2013.
Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press.
Bogor.
Ashari. (2001). Fenomena Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr253032.pdf (diakses 24
April 2013)
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. (2012). Kabupaten dalam Angka
Tahun 2011. BPS Kabupaten Karawang, Karawang.
Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik Indonesia. ISSN : 0126-2912. No
Publikasi: 07330.1212.
Badan Pusat Statistik. (2013). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi
Statistik. No. 14/02/Th.XVI, 5 Februari 2013.
Barlowe, Raleigh. (1986). Land Resources Economics. The Economics of Real
Estate. Prentice-Hall Inc. New York.
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat. (2012). Data Produksi Padi
Jawa Barat Tahun 2007-2011. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Jawa
Barat.
Erwin. (1 Februari 2013). Pemodal Asing Pilih Karawang Jadi Pusat Investasi.
http://www.tribunnews.com/2013/02/01/pemodal-asing-pilih-karawang-
jadi-pusat-investasi. Diakses 24 April 2013.
FAO. (1976). A Framework For Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32.
Rome, Italy.
Finarti, S.F. (2003). Analisa Hukum Terhadap Perubahan Fungsi Tanah Pertanian
Menjadi Tanah Non Pertanian (Pembangunan Perumahan) di Kabupaten
Bogor. Tesis. Universitas Indonesia. Depok.
Gujarati, D.N. (2004). Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: Mc-Graw
Hill, Inc.

79 Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


80

Ilham, N., Y. Syaukat, S. Friyanto. (2004). Perkembangan dan Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Isa, Iwan. (2004). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Badan
Pertanahan Nasional. Jakarta.
Jayadinata, J.T. (1999). Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan,
Perkotaan, dan Wilayah. Edisi Ketiga. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Kustiawan, I. (1997). Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa. Prisma No.
1 Tahun XXVII Januari 1997. LP3ES. Jakarta.
Latif, M. (12 April 2013). Selamat Tinggal Lahan Pertanian Karawang!
http://properti.kompas.com/index.php/read/2013/04/12/10432099/Selamat.
Tinggal.Lahan.Pertanian.Karawang. Diakses 24 April 2013.
Mawardi, I. (2006). Kajian Pembentukan Kelembagaan untuk Pengendalian
Konversi dan Pengembangan Lahan, Peran dan Fungsinya. Jurnal Teknik
Lingkungan Vol. 7, No. 2, Hal. 206 – 211, ISSN 1441 – 318X. Jakarta.
Mukhoriyah. (2012). Kajian Nilai Ekologi-Ekonomi Lahan Sawah dan Kaitannya
dengan Rencana Tata Ruang Kota Depok. Tesis. Universitas Indonesia.
Depok.
Munir, M. (2008). Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Tingkat
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan
Kretek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah). Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Puspasari, A. (2012). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Pertanian dan Dampaknya Terhadap Petani. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Putri, R.I. (2008). Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap
Implikasi Tata Guna Lahan pada Masyarakat Perkotaan (Proses
Pembentukan Kampung Pengarengan, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan
Pulo Gadung, Jakarta Timur). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rayes, M.L. (2007). Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Andi. Yogyakarta.
Saefulhakim, Parnuju, Rustiadi, Suryaningtyas. (1999). Pengembangan Model
Sistem Interaksi Antar Aktivitas Sosial Ekonomi dengan Perubahan
Penggunaan Lahan. Seminar BPPT. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sihaloho, M. (2004). Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria
(Kasus: Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor,
Jawa Barat). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sitorus, S.R.P. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi
Kedua. Lab. Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan
Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


81

Solihah, N. (2002). Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non


Sawah Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Subali, A. (2005). Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumah
Tangga Petani (Studi Kasus: Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumaryanto, S. Friyanto, B. Irawan. (2006). Konversi Lahan Sawah ke
Penggunaan Non-Pertanian dan Dampak Negatifnya. Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Suputra, D.P.A., Ambarawati, Tenaya. (2012). Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Alih Fungsi Lahan Studi Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. E-Journal Agribisnis dan
Agrowisata Vol. 1, No. 1, Juli 2012 ISSN 2301-6523. Universitas Udayana.
Bali.
Widjanarko, B.S., M. Pakpahan, B. Rahardjono dan Suweken. (2006). Aspek
Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah).
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan BPN. Jakarta.

Universitas Indonesia

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


LAMPIRAN

Lampiran 1. Correlation Matrix


DSNS LDHA LLSHA DURBAN DHAMPAR DLANDAI DDT POP KELPERT DPENGHAS
DSNS 1.0000 0.1448 -0.0214 0.0517 0.1152 -0.0135 -0.1606 0.1780 -0.0872 0.2126
LDHA 0.1448 1.0000 -0.1333 0.2164 -0.0174 0.0338 -0.0214 0.0792 0.0355 0.0804
LLSHA -0.0214 -0.1333 1.0000 -0.3570 0.1038 -0.0250 0.1509 -0.2234 0.2457 -0.4714
DURBAN 0.0517 0.2164 -0.3570 1.0000 0.1454 0.0572 -0.2254 0.5624 -0.2264 0.5609
DHAMPAR 0.1152 -0.0174 0.1038 0.1454 1.0000 0.2024 -0.0634 0.1355 -0.1035 0.0313
DLANDAI -0.0135 0.0338 -0.0250 0.0572 0.2024 1.0000 -0.0740 0.1392 0.1056 0.1255
DDT -0.1606 -0.0214 0.1509 -0.2254 -0.0634 -0.0740 1.0000 -0.1807 0.0743 -0.2000
POP 0.1780 0.0792 -0.2234 0.5624 0.1355 0.1392 -0.1807 1.0000 -0.1323 0.5191
KELPERT -0.0872 0.0355 0.2457 -0.2264 -0.1035 0.1056 0.0743 -0.1323 1.0000 -0.3808
DPENGHAS 0.2126 0.0804 -0.4714 0.5609 0.0313 0.1255 -0.2000 0.5191 -0.3808 1.0000
DPADI -0.1784 -0.0873 0.4480 -0.5118 -0.0133 -0.1399 0.1470 -0.4812 0.3561 -0.9124
DSUNGPENG -0.0248 0.0052 -0.1459 -0.0248 -0.2591 0.0240 -0.0153 -0.0414 -0.0666 0.0637
DBENCANA 0.0182 0.0934 0.0207 -0.0308 -0.0632 -0.1484 0.0951 0.1095 0.0258 0.0331
DASPAL 0.1174 0.0544 -0.0445 0.0958 -0.0336 -0.0270 -0.0289 0.1185 0.0287 0.1301
JAMKES -0.0454 -0.1142 0.0262 0.2863 0.1095 0.0453 0.0192 0.4573 -0.0177 0.1544
SKTM -0.1285 -0.0371 0.1119 -0.0458 0.1457 0.1676 -0.1024 0.0686 -0.0353 -0.0740
IKM -0.0423 -0.0145 -0.0085 0.1876 0.0652 0.0473 -0.0005 0.3981 -0.0258 0.0967
DPASAR 0.0541 0.0022 -0.1116 0.2451 0.0543 0.0344 -0.0599 0.3292 -0.0467 0.2075
MINMAR 0.1277 0.0055 -0.2327 0.4351 0.0922 0.0272 -0.1580 0.5235 -0.2146 0.4080

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 1.)
DPADI DSUNGPENG DBENCANA DASPAL JAMKES SKTM IKM DPASAR MINMAR
DSNS -0.1784 -0.0248 0.0182 0.1174 -0.0454 -0.1285 -0.0423 0.0541 0.1277
LDHA -0.0873 0.0052 0.0934 0.0544 -0.1142 -0.0371 -0.0145 0.0022 0.0055
LLSHA 0.4480 -0.1459 0.0207 -0.0445 0.0262 0.1119 -0.0085 -0.1116 -0.2327
DURBAN -0.5118 -0.0248 -0.0308 0.0958 0.2863 -0.0458 0.1876 0.2451 0.4351
DHAMPAR -0.0133 -0.2591 -0.0632 -0.0336 0.1095 0.1457 0.0652 0.0543 0.0922
DLANDAI -0.1399 0.0240 -0.1484 -0.0270 0.0453 0.1676 0.0473 0.0344 0.0272
DDT 0.1470 -0.0153 0.0951 -0.0289 0.0192 -0.1024 -0.0005 -0.0599 -0.1580
POP -0.4812 -0.0414 0.1095 0.1185 0.4573 0.0686 0.3981 0.3292 0.5235
KELPERT 0.3561 -0.0666 0.0258 0.0287 -0.0177 -0.0353 -0.0258 -0.0467 -0.2146
DPENGHAS -0.9124 0.0637 0.0331 0.1301 0.1544 -0.0740 0.0967 0.2075 0.4080
DPADI 1.0000 -0.0753 -0.0384 -0.1470 -0.1729 0.0943 -0.0928 -0.1822 -0.3825
DSUNGPENG -0.0753 1.0000 0.0466 -0.0207 -0.1920 0.0502 -0.0464 0.1166 -0.0016
DBENCANA -0.0384 0.0466 1.0000 0.0096 0.0232 0.0583 0.1481 0.0218 0.0407
DASPAL -0.1470 -0.0207 0.0096 1.0000 -0.0195 -0.0644 0.0765 0.1183 0.0716
JAMKES -0.1729 -0.1920 0.0232 -0.0195 1.0000 -0.0030 0.3286 0.0219 0.1964
SKTM 0.0943 0.0502 0.0583 -0.0644 -0.0030 1.0000 -0.0317 0.0175 -0.0306
IKM -0.0928 -0.0464 0.1481 0.0765 0.3286 -0.0317 1.0000 0.0708 0.2302
DPASAR -0.1822 0.1166 0.0218 0.1183 0.0219 0.0175 0.0708 1.0000 0.2908
MINMAR -0.3825 -0.0016 0.0407 0.0716 0.1964 -0.0306 0.2302 0.2908 1.0000

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


Lampiran 2. Pengolahan Data Model Probit
Dependent Variable: DSNS
Method: ML - Binary Probit (Quadratic hill climbing)
Sample: 1 309
Included observations: 309
QML (Huber/White) standard errors & covariance

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

LDHA 6.67E-05 3.14E-05 2.121419 0.0339


LLSHA 0.001352 0.000658 2.056181 0.0398
DURBAN -1.151171 0.312242 -3.686793 0.0002
DHAMPAR 1.381130 0.475706 2.903329 0.0037
DLANDAI -0.284791 0.268949 -1.058905 0.2896
DDT -0.785982 0.322528 -2.436940 0.0148
POP 9.33E-05 3.05E-05 3.052471 0.0023
KELPERT -0.000121 0.000278 -0.436289 0.6626
DPENGHAS 1.332393 0.612479 2.175410 0.0296
DPADI 0.317166 0.529265 0.599257 0.5490
DSUNGPENG 0.053213 0.203437 0.261569 0.7937
DBENCANA -0.049728 0.195139 -0.254835 0.7989
DASPAL 0.398074 0.291243 1.366812 0.1717
JAMKES -7.39E-05 5.64E-05 -1.309433 0.1904
SKTM -0.001190 0.000357 -3.333298 0.0009
IKM -0.005439 0.003163 -1.719648 0.0855
DPASAR -0.084164 0.331669 -0.253758 0.7997
MINMAR 0.013104 0.046566 0.281407 0.7784
C -2.976703 0.829484 -3.588618 0.0003

Mean dependent var 0.200647 S.D. dependent var 0.401134


S.E. of regression 0.367933 Akaike info criterion 0.915637
Sum squared resid 39.25867 Schwarz criterion 1.145195
Log likelihood -122.4659 Hannan-Quinn criter. 1.007414
Restr. log likelihood -154.9012 Avg. log likelihood -0.396330
LR statistic (18 df) 64.87069 McFadden R-squared 0.209394
Probability(LR stat) 3.27E-07

Obs with Dep=0 247 Total obs 309


Obs with Dep=1 62

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


Lampiran 3. Pengolahan Data Model Logit
Dependent Variable: DSNS
Method: ML - Binary Logit (Quadratic hill climbing)
Sample: 1 309
Included observations: 309
QML (Huber/White) standard errors & covariance

Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.

LDHA 0.000113 6.39E-05 1.772362 0.0763


LLSHA 0.002399 0.001226 1.956888 0.0504
DURBAN -1.895724 0.565598 -3.351716 0.0008
DHAMPAR 2.407716 1.017570 2.366143 0.0180
DLANDAI -0.527676 0.476204 -1.108087 0.2678
DDT -1.488744 0.681887 -2.183270 0.0290
POP 0.000162 5.52E-05 2.934747 0.0033
KELPERT -0.000172 0.000510 -0.337801 0.7355
DPENGHAS 2.134744 1.103843 1.933919 0.0531
DPADI 0.369060 0.940669 0.392338 0.6948
DSUNGPENG -0.015961 0.371756 -0.042935 0.9658
DBENCANA -0.048444 0.356245 -0.135985 0.8918
DASPAL 0.745997 0.581185 1.283578 0.1993
JAMKES -0.000146 0.000108 -1.348021 0.1777
SKTM -0.002126 0.000669 -3.179522 0.0015
IKM -0.010002 0.005839 -1.713032 0.0867
DPASAR -0.148656 0.617078 -0.240904 0.8096
MINMAR 0.019964 0.078848 0.253191 0.8001
C -4.959156 1.606606 -3.086729 0.0020

Mean dependent var 0.200647 S.D. dependent var 0.401134


S.E. of regression 0.366775 Akaike info criterion 0.916308
Sum squared resid 39.01199 Schwarz criterion 1.145866
Log likelihood -122.5696 Hannan-Quinn criter. 1.008086
Restr. log likelihood -154.9012 Avg. log likelihood -0.396665
LR statistic (18 df) 64.66330 McFadden R-squared 0.208724
Probability(LR stat) 3.53E-07

Obs with Dep=0 247 Total obs 309


Obs with Dep=1 62

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


Lampiran 4. Hasil Penghitungan Nilai Ii dari yang Terkecil

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


1 CENGKONG 0 -4.87 0.0000
2 MANGGUNGJAYA 0 -3.82 0.0000
3 DARAWOLONG 0 -3.81 0.0000
4 MEKARMAYA 0 -3.73 0.0000
5 TEGALEGA 0 -3.58 0.0000
6 CICINDE SELATAN 0 -3.32 0.0000
7 CIPURWASARI 0 -3.30 0.0000
8 CIGUNUNGSARI 0 -3.22 0.0000
9 CILAMAYA 0 -3.16 0.0000
10 MULYASEJATI 0 -3.00 0.0013
11 KUTAMANEUH 0 -2.98 0.0014
12 JATISARI 0 -2.92 0.0018
13 SUKAJAYA 0 -2.85 0.0022
14 KARANGSARI 0 -2.84 0.0023
15 WANCIMEKAR 0 -2.72 0.0033
16 KAMOJING 0 -2.69 0.0036
17 KUTALANGGENG 0 -2.65 0.0040
18 CIKUNTUL 0 -2.64 0.0041
19 BARUGBUG 0 -2.58 0.0049
20 MEKARSARI 0 -2.55 0.0054
21 KIARA 0 -2.53 0.0057
22 SUKASARI 0 -2.53 0.0057
23 CINTAWARGI 0 -2.49 0.0064
24 CIPTASARI 0 -2.46 0.0069
25 CINTALAKSANA 0 -2.42 0.0078
26 CINTALANGGENG 0 -2.41 0.0080
27 WANAJAYA 0 -2.39 0.0084
28 TEGALSARI 0 -2.38 0.0087
29 CINTAASIH 0 -2.35 0.0094
30 MULYASARI 0 -2.32 0.0102

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


31 KERTAJAYA 0 -2.26 0.0119
32 BAYUR LOR 0 -2.21 0.0136
33 MEDALSARI 0 -2.21 0.0136
34 KUTANEGARA 0 -2.21 0.0136
35 SUNGAIBUNTU 0 -2.20 0.0139
36 WARGASETRA 0 -2.20 0.0139
37 MEKARBUANA 0 -2.19 0.0143
38 KARANGPAWITAN 0 -2.19 0.0143
39 JATILAKSANA 0 -2.18 0.0146
40 TALUNJAYA 1 -2.18 0.0146
41 PARUNGSARI 0 -2.17 0.0150
42 PANCAKARYA 0 -2.17 0.0050
43 TAMANMEKAR 0 -2.14 0.0162
44 TEGALURUNG 0 -2.13 0.0162
45 TEMPURAN 0 -2.09 0.0183
46 MARGAKAYA 0 -2.07 0.0192
47 ANGGADITA 0 -2.07 0.0192
48 SUKAMEKAR 0 -2.05 0.0202
49 TALAGASARI 0 -2.05 0.0202
50 MEKARJAYA 0 -2.04 0.0207
51 PURWAJAYA 0 -2.00 0.0228
52 KAMPUNGSAWAH 0 -2.00 0.0228
53 PANCAWATI 0 -1.97 0.0244
54 PAMEKARAN 0 -1.95 0.0256
55 KERTASARI 0 -1.94 0.0262
56 KEDAWUNG 0 -1.93 0.0268
57 JAYAKERTA 0 -1.90 0.0287
58 TANJUNGMEKAR 0 -1.88 0.0301
59 TANJUNGPAKIS 0 -1.87 0.0307
60 KUTAMAKMUR 0 -1.85 0.0322

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


61 SRIJAYA 0 -1.84 0.0329
62 MEKARMULYA 0 -1.84 0.0329
63 KUTAGANDOK 0 -1.83 0.0336
64 KARANGMULYA 0 -1.83 0.0336
65 MAKMURJAYA 0 -1.82 0.0344
66 RAWASARI 0 -1.81 0.0351
67 GEBANGJAYA 0 -1.81 0.0351
68 KARYAMUKTI 0 -1.80 0.0359
69 TEGALSARI 0 -1.78 0.0375
70 DONGKAL 0 -1.78 0.0375
71 MULYAJAYA 0 -1.78 0.0375
72 MULANGSARI 0 -1.77 0.0384
73 MEDANKARYA 0 -1.76 0.0392
74 SUKARATU 0 -1.76 0.0392
75 KUTAKARYA 0 -1.75 0.0401
76 KALIBUAYA 0 -1.75 0.0401
77 BAYUR KIDUL 1 -1.74 0.0409
78 BATURADEN 0 -1.73 0.0418
79 PULOMULYA 0 -1.73 0.0418
80 PULOJAYA 0 -1.73 0.0418
81 KEMIRI 0 -1.72 0.0427
82 CIKARANG 0 -1.71 0.0436
83 SEDARI 0 -1.71 0.0436
84 GEMBONGAN 1 -1.69 0.0455
85 WANAKERTA 0 -1.69 0.0455
86 SINDANGMULYA 0 -1.67 0.0475
87 MUARA 0 -1.67 0.0475
88 JATIRAGAS 0 -1.66 0.0485
89 RAWAGEMPOL WETAN 0 -1.65 0.0495
90 KUTARAHARJA 0 -1.64 0.0505

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


91 SUKASARI 1 -1.63 0.0516
92 TELARSARI 0 -1.62 0.0526
93 LEMAHMUKTI 0 -1.62 0.0526
94 TEGALWARU 0 -1.61 0.0537
95 KALIJATI 0 -1.60 0.0548
96 CIKALONGSARI 0 -1.60 0.0548
97 LEMAHMAKMUR 0 -1.59 0.0559
98 KALANGSURIA 0 -1.58 0.0571
99 MULYAJAYA 0 -1.58 0.0571
100 CIREJAG 0 -1.56 0.0594
101 SUKAKERTA 0 -1.55 0.0606
102 TAMBAKSARI 0 -1.52 0.0643
103 KALIDUNGJAYA 0 -1.52 0.0643
104 TALAGAJAYA 0 -1.52 0.0643
105 PASIRJAYA 0 -1.50 0.0668
106 PANGULAH BARU 0 -1.50 0.0668
107 PASIRUKEM 0 -1.50 0.0668
108 PULOSARI 0 -1.50 0.0668
109 KARYAMAKMUR 0 -1.50 0.0668
110 TANJUNGPURA 0 -1.47 0.0708
111 TUNGGAKJATI 0 -1.45 0.0735
112 SITUDAM 0 -1.44 0.0749
113 SUKAMULYA 0 -1.44 0.0749
114 DAYEUHLUHUR 0 -1.43 0.0764
115 BALONGGANDU 0 -1.43 0.0764
116 LANGENSARI 0 -1.42 0.0778
117 PAGADUNGAN 1 -1.41 0.0793
118 CIKALONG 0 -1.40 0.0808
119 MUKTIJAYA 0 -1.38 0.0838
120 JAYANAGARA 0 -1.36 0.0869

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


121 MEKARPOHACI 0 -1.35 0.0885
122 JATIWANGI 0 -1.34 0.0901
123 PACING 0 -1.34 0.0901
124 MEDANGASEM 0 -1.33 0.0918
125 KALIJAYA 0 -1.32 0.0934
126 JAYAMAKMUR 0 -1.32 0.0934
127 SRIKAMULYAN 0 -1.30 0.0968
128 JATIBARU 0 -1.29 0.0985
129 DUKUHKARYA 1 -1.28 0.1003
130 TELUKBANGO 0 -1.27 0.1020
131 GEMPOLKARYA 0 -1.27 0.1020
132 TANJUNGMEKAR 1 -1.26 0.1038
133 TAMANSARI 0 -1.26 0.1038
134 KALIHURIP 1 -1.25 0.1056
135 MEKARJATI 0 -1.24 0.1075
136 KIARAPAYUNG 0 -1.24 0.1075
137 SUKATANI 0 -1.21 0.1131
138 TANJUNGBUNGIN 0 -1.21 0.1131
139 CIBADAK 0 -1.20 0.1151
140 MUARABARU 0 -1.20 0.1151
141 LEMAHKARYA 1 -1.20 0.1151
142 SUMBERJAYA 0 -1.20 0.1151
143 SEGARJAYA 0 -1.19 0.1170
144 WARINGINKARYA 0 -1.18 0.1190
145 RAWAGEMPOL KULON 0 -1.18 0.1190
146 PUSPASARI 0 -1.18 0.1190
147 KUTAWARGI 0 -1.17 0.1210
148 KUTAMEKAR 1 -1.17 0.1210
149 BATUJAYA 0 -1.16 0.1230
150 SEKARWANGI 0 -1.15 0.1251

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


151 PASIRJENGKOL 0 -1.15 0.1251
152 KUTAMUKTI 0 -1.14 0.1271
153 MALANGSARI 1 -1.14 0.1271
154 SUKARAJA 0 -1.13 0.1292
155 BALONGSARI 0 -1.13 0.1292
156 CEMARAJAYA 0 -1.12 0.1314
157 PALAWAD 1 -1.12 0.1314
158 TALAGAMULYA 0 -1.10 0.1335
159 KARANGANYAR 0 -1.10 0.1335
160 GEMPOLKOLOT 0 -1.07 0.1423
161 MEKARJAYA 0 -1.07 0.1423
162 PARAKANMULYA 0 -1.05 0.1469
163 SUKAPURA 0 -1.05 0.1469
164 PURWAMEKAR 0 -1.05 0.1469
165 GEMPOL 1 -1.05 0.1469
166 PANGULAH SELATAN 0 -1.05 0.1469
167 WALUYA 0 -1.04 0.1492
168 BOJONGSARI 0 -1.03 0.1515
169 PASIRTANJUNG 1 -1.02 0.1539
170 LINGGARSARI 0 -1.00 0.1587
171 KEDALJAYA 0 -0.99 0.1611
172 PASIRKALIKI 0 -0.98 0.1635
173 KERTAMULYA 0 -0.98 0.1635
174 MARGAMULYA 0 -0.98 0.1635
175 KUTARAJA 0 -0.98 0.1635
176 SUMURLABAN 0 -0.97 0.1660
177 TANJUNGJAYA 1 -0.96 0.1685
178 CADASKERTAJAYA 0 -0.96 0.1685
179 CILEWO 0 -0.95 0.1711
180 MAJALAYA 0 -0.94 0.1736

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


181 TAMELANG 0 -0.94 0.1736
182 SUMURGEDE 0 -0.94 0.1736
183 CIWULAN 0 -0.92 0.1788
184 GOMBONGSARI 0 -0.91 0.1814
185 WANASARI 0 -0.91 0.1814
186 KAMURANG 0 -0.91 0.1814
187 LEMAHDUHUR 1 -0.91 0.1814
188 JOMIN TIMUR 0 -0.91 0.1814
189 SABAJAYA 0 -0.90 0.1841
190 TIRTASARI 0 -0.89 0.1867
191 BOLANG 0 -0.88 0.1894
192 PARUNGMULYA 0 -0.88 0.1894
193 PANYINGKIRAN 0 -0.88 0.1894
194 CARIUMULYA 0 -0.88 0.1894
195 CIKAMPEK KOTA 0 -0.88 0.1894
196 KARANGJAYA 0 -0.87 0.1922
197 SOLOKAN 0 -0.87 0.1922
198 SINDANGSARI 0 -0.87 0.1922
199 LABANJAYA 1 -0.87 0.1922
200 CIPTAMARGA 0 -0.87 0.1922
201 CITARIK 0 -0.86 0.1949
202 CIWARINGIN 0 -0.85 0.1977
203 MEKARASIH 0 -0.85 0.1977
204 KARANGTANJUNG 1 -0.85 0.1977
205 SINDANGKARYA 0 -0.85 0.1977
206 PASIRKAMUNING 0 -0.84 0.2005
207 TANJUNG 1 -0.84 0.2005
208 PUSAKAJAYA SELATAN 1 -0.84 0.2005
209 KALISARI 0 -0.83 0.2033
210 SARIJAYA 1 -0.83 0.2033

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


211 PULOKELAPA 0 -0.83 0.2033
212 KUTAPOHACI 0 -0.83 0.2033
213 KERTARAHAYU 0 -0.82 0.2061
214 PASIRMUKTI 0 -0.82 0.2061
215 CIPONDOH 0 -0.81 0.2090
216 PISANGSAMBO 0 -0.81 0.2090
217 KLARI 0 -0.78 0.2177
218 TELUKBUYUNG 1 -0.77 0.2206
219 CIMAHI 1 -0.77 0.2206
220 TELUKAMBULU 0 -0.77 0.2206
221 PASIRAWI 0 -0.77 0.2206
222 TANJUNGSARI 1 -0.77 0.2206
223 BANYUASIH 1 -0.77 0.2206
224 DEWISARI 0 -0.76 0.2236
225 PARAKAN 1 -0.76 0.2236
226 KOSAMBIBATU 0 -0.76 0.2236
227 LEMAHSUBUR 1 -0.76 0.2236
228 CIKAMPEK TIMUR 0 -0.75 0.2266
229 CICINDE UTARA 1 -0.75 0.2266
230 CIRANGGON 1 -0.74 0.2296
231 WALAHAR 0 -0.74 0.2296
232 CIBUAYA 0 -0.74 0.2296
233 PUCUNG 0 -0.74 0.2296
234 KARYABAKTI 0 -0.74 0.2296
235 KERTASARI 1 -0.73 0.2327
236 PUSAKAJAYA UTARA 0 -0.73 0.2327
237 KARANGLIGAR 0 -0.73 0.2327
238 JAYAMULYA 0 -0.73 0.2327
239 CIKAMPEK UTARA 0 -0.73 0.2327
240 RANDUMULYA 0 -0.73 0.2327

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


241 PUSEURJAYA 0 -0.72 0.2358
242 SINDANGMUKTI 0 -0.71 0.2389
243 KARANGJAYA 0 -0.70 0.2420
244 ADIARSA BARAT 0 -0.68 0.2483
245 MARGASARI 1 -0.68 0.2483
246 LEMAHMULYA 0 -0.68 0.2483
247 KARANGSINOM 0 -0.67 0.2514
248 SAMPALAN 0 -0.67 0.2514
249 CIPARAGEJAYA 0 -0.66 0.2546
250 TAMBAKSUMUR 0 -0.66 0.2546
251 KERTAWALUYA 1 -0.66 0.2546
252 JOMIN BARAT 0 -0.65 0.2578
253 JATIMULYA 1 -0.64 0.2611
254 TEGALSAWAH 1 -0.63 0.2643
255 PURWASARI 0 -0.62 0.2676
256 KALANGSARI 1 -0.61 0.2709
257 CIKANDE 1 -0.61 0.2709
258 SUKAMERTA 0 -0.60 0.2743
259 PANGULAH UTARA 0 -0.60 0.2743
260 CURUG 1 -0.59 0.2776
261 PASIRTALAGA 0 -0.58 0.2810
262 PASIRMULYA 1 -0.56 0.2877
263 SARIMULYA 0 -0.52 0.3015
264 KERTARAHARJA 1 -0.51 0.3050
265 PURWADANA 1 -0.50 0.3085
266 TANAHBARU 0 -0.49 0.3121
267 PEJATEN 0 -0.48 0.3156
268 CIPTAMARGI 1 -0.48 0.3156
269 ADIARSA TIMUR 1 -0.48 0.3156
270 KARYAMULYA 0 -0.48 0.3156

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


271 KEDUNGJAYA 0 -0.40 0.3456
272 NAGASARI 0 -0.39 0.3483
273 PAYUNGSARI 0 -0.38 0.3520
274 KERTAMUKTI 1 -0.37 0.3557
275 KUTAJAYA 0 -0.35 0.3632
276 LEMAHABANG 0 -0.32 0.3745
277 KEDUNGJERUK 0 -0.31 0.3783
278 BELENDUNG 0 -0.29 0.3859
279 KUTAAMPEL 0 -0.28 0.3897
280 SIRNABAYA 1 -0.27 0.3936
281 PINAYUNGAN 1 -0.25 0.4013
282 GINTUNGKERTA 0 -0.24 0.4052
283 DAWUAN TIMUR 1 -0.22 0.4129
284 DAWUAN TENGAH 1 -0.13 0.4483
285 SUKAHARJA 1 -0.10 0.4602
286 RENGASDENGKLOK UTARA 1 -0.09 0.4641
287 CIKAMPEK BARAT 1 -0.07 0.4721
288 KARAWANG KULON 0 -0.04 0.4840
289 RENGASDENGKLOK SELATAN 0 0.04 0.5160
290 SUMURKONDANG 0 0.11 0.5438
291 CIKAMPEK SELATAN 1 0.13 0.5517
292 TELUKJAMBE 0 0.21 0.5832
293 AMANSARI 1 0.21 0.5832
294 SEGARAN 0 0.21 0.5832
295 TELUKJAYA 0 0.28 0.6103
296 BENGLE 1 0.28 0.6103
297 PALUMBONSARI 1 0.34 0.6331
298 DUREN 0 0.43 0.6664
299 SUKAMAKMUR 1 0.45 0.6736
300 WARUNGBAMBU 1 0.52 0.6985

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014


(Lanjutan Lampiran 4.)

RANK DESA DSNS Ii P = F(Ii)


301 CIBALONGSARI 0 0.63 0.7357
302 DAWUAN BARAT 1 0.76 0.7764
303 JAYAMUKTI 1 0.77 0.7794
304 KARAWANG WETAN 1 0.81 0.7910
305 CIKAMPEK PUSAKA 0 0.89 0.8133
306 KONDANGJAYA 1 0.93 0.8238
307 KARYASARI 0 1.07 0.8577
308 SUKALUYU 1 1.33 0.9082
309 WADAS 1 1.35 0.9115

Faktor-faktor..., Dindy Darmasih, FE UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai