Anda di halaman 1dari 6

/You May Kiss Your Bride/

Pukul 06.00 pagi.

"Sasuke, ayo bangun. Sebentar lagi pernikahanmu mulai, kau harus siap-siap."

Terdengar suara Uchiha Mikoto dari luar kamar Sasuke, membangunkan anak bungsunya.
Sasuke membuka matanya dan memandang langit-langit kamarnya yang dilapisi wallpaper
bercorak langit biru cerah. Favoritnya.

Sasuke melirik jam weker di meja kecil di samping tempat tidurnya dan mendengus. Ini
masih pukul enam pagi. Masih tiga jam lagi sebelum pernikahannya. Kenapa dia harus
bangun pagi-pagi? Sangat merepotkan.

Sasuke menarik selimutnya menutupi tubuhnya, memutuskan untuk tidur paling tidak
selama satu setengah jam lagi ketika pintu kamarnya menjeblak terbuka, diiringi suara
khas, "Teme~ kau mau tidur sampai kapan?"

Sasuke memutar bola matanya, memandang si pemilik suara. Seorang cowok berambut
pirang yang modelnya seperti durian dan mata biru yang persis sama seperti warna langit
pada wallpaper Sasuke. Uzumaki Naruto. Dia berdiri berkacak pinggang di ambang pintu
kamar Sasuke. Sudah mengenakan tuxedo putih yang sangat rapi.

Sasuke mengernyit memandang Naruto. "Aku nggak menyangka kau juga mau nikah hari
ini," komentarnya.

Naruto cengok dan menepuk jidatnya. "Bangun, Teme! Ini hari pernikahanmu! Kau
harusnya sudah siap-siap sejak tengah malam tadi!" seru Naruto bersemangat dan menarik
selimut Sasuke dengan satu sentakan keras. Sasuke mencoba menarik kembali
selimutnya, tapi tidak berhasil. Akhirnya dia menyerah, kembali merebahkan kepalanya ke
atas bantal.

Naruto ternganga. Ia memang sudah bersahabat dengan Sasuke sejak kecil dan dia sudah
hapal kebiasaan si pantat ayam itu yang tidak pernah bisa bangun pagi, tapi tadinya dia
berpikir hari penting semacam 'hari pernikahannya' akan membuatnya bisa bangun pagi,
paling tidak sekali seumur hidup. Tapi ia salah. Sasuke sudah kembali mendengkur lembut,
mengabaikan Naruto yang berdiri di tengah kamarnya sambil membawa-bawa selimutnya.

Naruto menjatuhkan selimut itu dan menghampiri Sasuke, mengguncang-guncang


tubuhnya. "Teme~! Ayo bangun! Kau harus siap-siap! Kau nggak mau membuat Sakura-
chan menunggu di altar kan? Ayo bangun!" Naruto masih terus menyentak-nyentak bahu
sahabatnya itu, ia tipe orang yang pantang menyerah.

"Kalau begitu kau saja yang menggantikanku berdiri di altar bersama Sakura..." jawab
Sasuke asal, dengan suara mengantuk. Matanya masih terpejam.

Naruto membelalak. "Tolol kau! Mana bisa!" omelnya, mengguncang Sasuke makin keras.
"Kau harus bangun, Teme!" sekarang Naruto menampar-nampar pipi pucat Sasuke.
Usahanya sia-sia.Mata Sasuke masih terpejam. Kalau saja dadanya tidak bergerak naik
turun seirama dengan napasnya, ia bisa dikira orang mati.
Naruto mencibir dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Heran, kenapa Sakura-chan
mau-maunya menikahi cowok pemalas yang menyebalkan dan seenaknya ini ya.
Setidaknya aku lebih baik dari dia," gumam Naruto kesal.

Ia dan Sasuke memang sudah bersahabat sejak kecil, tapi lalu datang Sakura dalam
kehidupan mereka. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka terlibat cinta segitiga.
Naruto menyukai Sakura, tapi Sakura menyukai Sasuke. Hubungan Naruto dan Sasuke
sempat merenggang karena masalah itu, namun Naruto memutuskan untuk berpikir secara
rasional dan lebih memilih persahabatannya dengan Sasuke dengan merelakan Sakura. Toh
cinta tidak bisa dipaksakan dan bukan salah Sasuke kalau Sakura lebih menyukainya.
Mungkin Sasuke punya sesuatu yang tidak dimiliki Naruto. Terlebih lagi, cewek di dunia ini
bukan hanya Sakura. Ia harus memandang jauh ke depan.

"Bangunkan aku satu setengah jam lagi, Dobe..." gumam Sasuke, membalikkan badannya
dan melanjutkan tidurnya.

Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Kau ini niat nggak sih? Ini hari penting! Buat kau dan
Sakura-chan terutama! Sekali ini bangun pagi apa sih susahnya?" Naruto benar-benar
sudah habis sabar. Ia yang cuma berperan sebagai best man-nya Sakura saja sudah siap
dari tadi. Masa pengantin prianya masih enak-enakan tidur? Yang benar saja.

Tiba-tiba Sasuke mendudukkan diri dan menatap Naruto. "Oke, oke, aku bangun sekarang.
Kau membuat mood-ku jelek kalau marah," gerutu Sasuke, turun dari tempat tidurnya
dengan malas, menyambar handuknya dan langsung masuk ke kamar mandi.

Naruto tertawa puas. Ia tidak benar-benar marah sebetulnya, tapi ia tahu Sasuke akan
menuruti keinginannya kalau ia ngambek. Selalu begitu.

"Mandi yang bersih, Teme~. Tuxedo-mu putih juga. Sudah Bibi Mikoto masukkan ke
lemarimu kemarin. Setelah itu turun sarapan ya..." kata Naruto seraya berjalan keluar dari
kamar Sasuke.

"Sasuke sudah bangun?" tanya Mikoto ketika Naruto menuruni tangga.

Naruto nyengir dan mengangguk. "Beres, Bi! Dia lagi mandi. Paling sebentar lagi turun."

Mikoto tersenyum. "Terimakasih, Naruto. Dia memang susah dibangunkan. Kalau diingat-
ingat, malah kau yang selalu berhasil membangunkannya setiap pagi."

Naruto tertawa, mengambil roti bakar buatan ibu Sasuke di meja makan dan melahapnya.
"Membangunkan dia ada trik khusus, Bibi!" kata Naruto bersemangat setelah menelan
makanannya. Mikoto tertawa geli dan menyodorkan secangkir teh untuk Naruto.

"Kau yakin tidak mau sarapan lebih layak dari itu?" tanya Mikoto, memandang Naruto yang
menghabiskan tehnya sekali jalan.

Naruto menggeleng. "Nggak apa-apa, Bi. Aku masih harus ke rumah Sakura, mengecek
keadaan. Cuma aku yang bisa diandalkan sih," katanya sambil mengedip sok pamer,
membuat Mikoto tertawa lagi.
"Kau baik sekali, Naruto. Aku pikir Sasuke akan kehilangan sahabat sepertimu ketika
Sakura datang. Tapi kau benar-benar baik. Terimakasih."

Naruto tersenyum lebar. "Nggak usah dipikirkan, Bi. Doakan saja aku dapat cewek yang
lebih cantik dari Sakura supaya aku bisa pamerkan ke Sasuke!"

Mikoto tertawa. Naruto ini memang bisa saja membuatnya tertawa. "Hati-hati di jalan ya."

"Oke, Bi! Aku pergi dulu!" seru Naruto dan menghambut keluar dari kediaman Uchiha,
langsung memacu mobilnya ke rumah Sakura.

"Naruto mana?"

Mikoto mendongak, memandang Sasuke yang berdiri di ujung tangga, sudah mengenakan
tuxedo-nya. Tampan sekali. Mikoto tersenyum memandang anaknya.

"Naruto mana?" ulang Sasuke, tahu ibunya tidak sepenuhnya mendengarkan


pertanyaannya.

"Ah, dia baru saja pergi. Dia mau ke tempat Sakura."

Sasuke mengangguk paham, dan tanpa banyak bicara, langsung sarapan.

~cassiopeia~

Pukul 06.30 pagi.

"Sakura-chan~" panggil Naruto sambil mengetuk pintu kamar Sakura.

"Masuk saja, Naruto. Itu tidak dikunci," terdengar suara lembut Sakura menyahut.

Naruto langsung membuka pintu dan mata birunya membulat begitu melihat Sakura yang
sedang mematut diri di depan cermin.

"Hai, Naruto," sapa Sakura sambil tersenyum.

Naruto menutup pintu kamar dan melangkah masuk. Ia masih terpukau dengan penampilan
Sakura. Rambut pink gadis itu disanggul anggun dan ditutupi dengan kain transparan putih
yang senada dengan gaunnya yang indah dan mengembang. Hiasan rambut berbentuk
bunga berwarna pink ditata dengan sangat indah melingkari kepala Sakura. Cantik.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Sakura, memutar tubuhnya tiga ratus enam puluh derajat
agar Naruto bisa melihat lebih detail.

Naruto kehabisan kata-kata. Ia hanya tersenyum lebar dan mengangkat kedua ibu jarinya.
"Sempurna! Kau benar-benar lebih dari sekadar cantik. Semoga Sasuke nggak pingsan
begitu melihat kau berjalan ke arahnya di gereja nanti. Bisa repot."

Sakura tertawa. "Ada-ada saja kau. Kau juga tampan sekali mengenakan tux itu. Pasti
banyak teman cewekku yang naksir kau nanti."
Naruto mengibaskan tangannya sok, membuat Sakura tertawa geli lagi.

"Bagaimana Sasuke?" tanya Sakura. Ia mendudukkan diri di kursi kecil di depan meja
riasnya, semantara Naruto berdiri di belakangnya, merapikan detail-detail kecil dalam
penampilan Sakura.

"Tadi sih waktu aku di sana dia masih tidur," jawab Naruto, membuat mata hijau Sakura
melebar. "Tapi aku berhasil membangunkannya. Haha. Tenang saja, dia pasti sudah
menunggumu di altar pada waktunya. Nggak usah khawatir."

Sakura tersenyum. "Terimakasih sudah mau menjadi best man-ku, Naruto. Kau memang
yang terbaik." Sakura tahu ia sudah sangat jahat pada Naruto karena menghancurkan hati
pemuda itu, bahkan mungkin bisa dibilang ia juga hampir merusak persahabatannya. Ia
sebenarnya tidak terlalu mengharapkan Naruto memaafkannya atas segala perbuatannya,
tapi ternyata Naruto memaafkannya, bahkan dengan gagah merelakan dirinya untuk
Sasuke.

"Hahaha. Memang seharusnya begitu," tanggap Naruto. "Pokoknya kalau Sasuke macam-
macam padamu setelah kalian menikah nanti, bilang padaku. Akan kupatahkan lehernya
kalau dia berani mengecewakanmu."

Sakura menggenggam tangan Naruto yang memegang bahunya. "Terimakasih," ucapnya


lagi. Naruto memang sahabat terbaik.

~cassiopeia~

Pukul 08.30 pagi.

Sasuke sudah tiba di gereja. Begitu ia memasuki gereja, dilihatnya penghulu sudah berada
di altar. Ia melirik arlojinya. Masih setengah jam lagi. Ia memandang berkeliling, dan
melihat ayah dan kakak laki-lakinya sedang berbicara dengan beberapa tamu. Ibunya
berada di sisi lain gereja, tampaknya memastikan semuanya sempurna sampai saat-saat
terakhir.

Ketika Sasuke melangkah masuk, semua mata tertuju padanya. Ia melempar senyum tipis


yang kaku, tentu saja, ia tidak biasa tersenyum, dan membalas sapaan para tamu
undangan yang silih berganti memberinya selamat. Tapi Sasuke tahu, tidak akan begini
reaksi mereka begitu upacara pernikahan selesai, ucapnya dalam hati.

"Naruto belum datang?" tanya Sasuke begitu ia sudah berada di hadapan ibunya yang
sedang membetulkan letak dasinya.

Mikoto menggeleng. "Ia akan datang bersama Sakura nanti. Cincinnya tidak ketinggalan
kan, Sasuke?"

Sasuke merogoh saku jasnya dan memperlihatkan kotak cincin berwarna putih. Ibunya
tersenyum lembut. "Akhirnya hanya akan ada aku dan ayahmu di rumah."

Sasuke menyadari mata ibunya mulai berkaca-kaca. Ia mengelus pipi ibunya, berusaha
menenangkan. "Maaf, Bu."
Mikoto menggeleng, menghapus air matanya. "Tidak, Ibu hanya menangis bahagia,
Sasuke."

Sasuke meraih ibunya ke dalam pelukannya. Seandainya Mikoto tahu anaknya meminta
maaf untuk apa.

Pukul 08.59 pagi.

Semua tamu undangan sudah duduk di tempatnya masing-masing. Ayah, Ibu, Kakak dan
orang tua Sakura duduk di deret paling depan dengan senyum terbaik mereka. Ia bisa
melihat teman-temannya melambai bersemangat kepadanya. Sasuke hanya bergeming di
altar, memandang ke pintu masuk gereja dengan cemas. Pengantinnya bisa masuk setiap
saat sekarang.

Musik mengalun, dan pintu gereja yang terbuat dari kayu eboni itu terbuka. Beberapa saat
kemudian, Sakura melangkah masuk, digamit Naruto, sambil membawa karangan bunga
mawar pink yang sangat indah.

Sasuke menelan ludah, memandang pengantinnya. 'Ia sangat memukau. Keputusanku tidak


salah.'

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sasuke tersenyum tulus di hadapan orang
banyak. Isak tangis haru ibunya terdengar sayup-sayup di sela-sela dentingan musik.

Sakura tiba di altar, tersenyum lebar memandang Sasuke yang sangat tampan. Naruto
melepaskan tangan Sakura pada lengannya, dan mundur ke samping altar untuk melihat
prosesi pernikahan sahabatnya. Senyum lebar mengembang di wajahnya.

Penghulu mulai berbicara, tapi Sasuke tidak sepenuhnya mendengarkan. Ia tidak bisa
konsentrasi. Ia begitu terpesona pada sepasang mata yang dipandangnya, tidak bisa
mengembalikan alam sadarnya ke dunia nyata. Ia begitu mencintainya.

"Uchiha Sasuke, apa Anda bersedia menerima Haruno Sakura sebagai istrimu dan
bersumpah untuk selalu berada di sisinya dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin,
sakit maupun sehat, sampai maut memisahkan kalian?"

Sasuke hanya menangkap pertanyaan itu sepotong-sepotong. "Saya bersedia," jawab


Sasuke, memandang sepasang mata itu lurus-lurus.

"Dan Anda, Haruno Sakura, apa Anda bersedia menerima Uchiha Sasuke sebagai suamimu
dan bersumpah untuk selalu berada di sisinya dalam suka maupun duka, kaya maupun
miskin, sakit maupun sehat, sampai maut memisahkan kalian?"

Sakura tersenyum lebar. "Ya, Saya bersedia."

"Pakaikan cincin pernikahan pada jari pasangan Anda."

Sasuke merogoh sakunya, ia benar-benar terhipnotis sekarang. Senyum bahagia yang


mengembang di wajahnya membekukan otaknya. Ia benar-benar tidak salah pilih. Ia
memakaikan cincin itu di jari manis Sakura, bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari
matanya. Ia memang sudah melihat senyum dan mata itu bertahun-tahun, tapi sensasi
yang diberikannya setiap kali selalu berbeda. Selalu penuh dengan kejutan, dan ia tahu
kenapa ia bisa sangat mencintainya. Ia tak ingin senyum itu lenyap dari hidupnya. Ia ingin
terus memandang senyum itu setiap hari, setiap saat, ia ingin senyum itu yang
menyambutnya ketika ia membuka mata di pagi hari, dan memejamkan mata di malam
hari. Karena itulah ia memilih melakukan ini.

"Sekarang, Anda boleh mencium pasangan Anda."

'Sekarang saatnya.'

Sasuke melangkah maju, dan dengan cepat menarik tangan Naruto yang berdiri satu
langkah di belakang Sakura. Dan sebelum Naruto sempat menyadari apa yang terjadi dan
berusaha membebaskan diri, Sasuke sudah mengeliminasi jarak di antara mereka,
mendaratkan kecupan tepat di bibir Naruto, sementara tangan kanannya melingkari
pinggang pemuda itu dan tangan kirinya berada di tengkuk Naruto.

Sasuke benar-benar kehilangan kesadarannya sekarang. Bibir lembut Naruto bagaikan


menarik rohnya keluar dari tubuhnya dan saat dirasakannya kedua tangan Naruto
melingkari pingganggnya, ia memperdalam ciuman itu, menyatukan raganya dengan raga
Naruto.

Tak ada tepuk tangan ataupun sorak gembira dalam ruangan itu. Semua orang membelalak
dan menahan napas. Bahkan Sakura hanya mematung di belakang Sasuke, lidahnya kelu
melihat apa yang terjadi di hadapannya.

Setelah dua menit yang terasa bagaikan berjam-jam, Sasuke melepaskan ciumannya dan
memandang kedua mata biru Naruto. Mata biru yang telah menghipnotisnya hampir selama
hidupnya. Mata biru yang sangat dikaguminya, mata biru yang sudah menarik seluruh
kesadarannya sejak pintu eboni gereja membuka dan ia masuk dengan Sakura di sisinya.
Mata biru yang dipandangnya selama prosesi pernikahan, membuyarkan konsentrasinya,
membuat Sasuke ingin meninju sang penghulu supaya dia cepat sampai di bagian,
"Sekarang Anda boleh mencium pasangan Anda." Ia lelah hanya memandang replika mata
biru itu yang selama ini tertuang dalam wallpaper langit-langit kamarnya.

"Sasuke..." gumam Naruto shock, memecah keheningan yang melingkupi ruangan gereja
itu.

"Aku mencintaimu, Naruto. Dan aku bersumpah untuk selalu berada di sisimu dalam suka
maupun duka, kaya maupun miskin, sakit maupun sehat, dan aku bahkan nggak akan
membiarkan maut memisahkan kita karena aku tahu aku pasti masih akan mencintaimu
setelah aku mati. Apa kau bersedia?"

Anda mungkin juga menyukai