Anda di halaman 1dari 148

GURU

Cerpen Putu Wijaya

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan


istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa
depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami
cepat-cepat ngajak dia ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu?


Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka.


Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar.
Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak
tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari
apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui
permasalahannya.

Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa


kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam
karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara
blak-blakan.

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali


saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-
cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota.
Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi,
alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada
orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru
karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain.
Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap
kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil
yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati
berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu
jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."

"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup


guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-
tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau
beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol
besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya
saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga
guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena
profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat
ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu.
Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya
menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada
guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang
punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan.
Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik
menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa
kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu
masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah
sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan
otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak."


Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya
ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"

Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya


ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-
bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah
didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.

"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak


perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan
bunuh diri!"

Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang
tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya.
Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak
melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.

Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami


berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya.
Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri
saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya
sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih,
sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat
terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil
perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban
yang sama.

"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi,
Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.

Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi.


Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang
marahnya. Taksu disemprotnya habis.

"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu


terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu
ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang,
guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa.
Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu
pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi
pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru
yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu tidak menjawab.

"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat


sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal,
karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah
puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang
seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting
tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu
Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang
lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru.
Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba
dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya
nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja
kamu tidak nyahok?"

Taksu tetap tidak menjawab.

"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu
sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah
sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu.
Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang
meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya
duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-
maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang
bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang
anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu
untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk.

"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya.


Akhirnya dia menyembur.

"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir
lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih
mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup
matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik
saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri
saya berbisik.

"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu,


sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan
perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu
yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya.
Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin
bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia
mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa


artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau
kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin
akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa
saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih
kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur
suami, dari perasaannya sendiri.

Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga


tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak
memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu
minta diperhatikan anak.

Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi.


Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik
deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil.
Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya
kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan
bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya,
jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan,
nanti.

"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci


mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus
memberi hadiah buat Bapak."

Taksu melihat kunci itu dengan dingin.


"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk
memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut
kembali.

"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh
kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa
kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang
tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami,
Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu
meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami
juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa
dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau
kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok
mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu
jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali
menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga
semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran.
Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya.


Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di
dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya.


Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas
perhatian Bapak."

Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di


atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil
itu.

"Saya ingin jadi guru. Maaf."

Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya
tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat
penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup
baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya
genggam dan masukkan ke kantung celana.

"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang


makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup
saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri
langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah
yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan
penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang
benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu
pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru
terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar
naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya
oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu,
kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap
sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya
terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!

Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya
membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya
mengajukan pertanyaan yang sama.

"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa


kamu sebenarnya?"

"Mau jadi guru."

Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas


meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di
dalamnya muncrat ke muka saya.

"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup


buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki
oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi
guru, Taksu?!!!"

"Karena saya ingin jadi guru."


"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau
sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Baak tidak akan bisa membunuh saya."

"Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja


bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap
tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan
memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan
datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

Saya tercengang.

"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau


jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak
mau mati."

Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh


anak saya. Saya jadi gugup.

"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah


mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu?
Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

Taksu memandang kepada saya tajam.


"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.

"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu!


Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan
nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu
kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau
main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada
guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu
tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu
kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan
menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus
kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu
harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati
mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu
tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"

Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya tel****ngi


semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu
lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-
mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa
depan yang gelap.

"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta
bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip
iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi
buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah
terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak
berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi
kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan
keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab
mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara
bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup
di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan
pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan
dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu
semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita
bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang
menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya
memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih
manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa
kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi
beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu,
sekarang juga! Ini!"

Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya


dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu
saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.

"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab


kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu.
Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali
perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat
gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"

Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya


ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan.
Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya
bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan.
Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot
dan saya dibentak habis-habisan.

"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!"


teriak istri saya kalap.

Saya bingung.

"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau


memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai
syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak
dagang. Dasar mata duitan!"

Saya tambah bingung.


"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur,


hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas
tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke
sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi
buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program
bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi
tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan
lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana
mungkin saya akan biarkan dia kabur?

"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.

Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi


sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa
ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah
kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya,
yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:

"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."

Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari


buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya
seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang
harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito
saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu
yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah
takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau
saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan
pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah
dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal
dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran


listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri
saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia
mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan
kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi
sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak,
istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya
jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab
untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas
kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.

Tetapi itu 10 tahun yang lalu.


Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses
segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar
dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya
memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang
pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah
dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar
ke berbagai wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya.


Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik
generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara,
karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap
promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris
causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.

***

PERADILAN RAKYAT
Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang


pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku
datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan
keadilan di negeri yang sedang kacau ini."
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut.
Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang
tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"


Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi
ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan
kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti
para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak
seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar
kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh
kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu
diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu
masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini
ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa
Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri
keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung
bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di
negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba


memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu,
meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan
seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun
bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-
kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk
menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah
tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya
penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna,
tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.


"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita
bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal
ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,"
sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan,
menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan
membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke
dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata
air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia


meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."


"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk
membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman
mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk
mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil,
karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku
tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-
benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin
mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat
tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling
kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike
Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para
pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku
selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak
boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang
kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan
berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak
mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang
mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara
sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat
dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila
negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya
hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti
aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena
kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku
yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai
pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain


harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda
lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara


senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah
keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari
karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri
datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku
bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.


Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke


tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak
ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab
aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.


"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang
pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar
aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku
mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk
membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai
keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.


"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada
di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan


dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik
tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan
penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai
ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran
yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang
itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak
bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari
praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang
paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa
sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya


usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati,
kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan
pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk
mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku
menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi
persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan
berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar


sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."


"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah


bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara
itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat
ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.


"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua


memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"


"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah
ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan
kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua


tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia
mengangkat tangannya.
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena
takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak
takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu
ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi
kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh


berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari
pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya
akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus
mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang
profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak


memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu
pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah
sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk


ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan
dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."


"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya


ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya.
Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu
banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang
sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia
memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya.
Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan
sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan


oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa.
Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan
bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk
terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan
membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak,
kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan.


Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan
memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-
kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam
suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat
pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan,
menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan
diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik,
disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun
belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan
pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya
membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah
negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara
besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan
meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan
amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi
kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu
kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang
profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau
mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan
dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan
akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita
sekarang ini?

***

Amnesti
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 16 September 2018)

Di zaman baheula, ada seorang bromocorah yang divonis hukuman mati.


Ulahnya membunuh, menjarah, menyiksa, sangat biadab. Seluruh warga
mengutuk dan berdoa supaya bajingan itu cepat mati. Dia dianggap iblis
yang memberi isyarat hari kiamat sudah tiba.
Tak hanya terbatas menjarah orang kaya, bandit itu juga tak segan-segan
merampok, memperkosa, membantai rakyat jelata yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Dengan darah dingin, saraf baja, ia hirup nikmat
kutukan biadab bagai pujian, sembari nyengir gila. Ia meyakini dapat
kepercayaan untuk menyelamatkan dunia dan kehidupan dengan dana dari
perdagangan narkoba.
“Manusia adalah serigala kata Thomas Hobbes. Untuk
menggembalakannya perlu macan,” kata bajingan itu bangga. “Maka, aku
jadi Raja Rimba. Hukum sudah tak bertaring lagi. Hukum hanya
sandiwara untuk menipu sejarah. Itu bukan infrastruktur peradaban, bukan
pasukan pengawal-pengaman kehidupan, bukan Robin Hood dari rimba
Sherwood. Hukum hanya ular kobra, black mamba, bagi rakyat kecil.
Hukum hanya pilar kekuasaan untuk mengamankan keangkaraan
kesewenang-wenangan kekaisaran yang hanya bercita-cita tunggal:
membekukan kita sebagai abdi Kaisar! Berhala yang mencincang
kebebasan-kemerdekaan itu harus dicincang rata dengan tanah. Di atasnya
kita bangun kerajaan masa depan yang tanpa batas. Itulah kemerdekaan
sejati yang asli. Dan, aku yang akan menjamin tak seorang pun yang akan
berani melanggar aturan ketertiban dan kedamaian. Karena baru sampai
ada getaran niat saja di dadanya sudah langsung aku sikat musnah tandas
zonder basa-basi permisi lagi yang isinya cuma bau tai!!”
Semua orang mengurut dada. Takjub juga bingung pada komentarnya
yang digeber obral seluruh medsos secara mencolok besar-besaran hampir
sebulan penuh. Seakan-akan tak ada kabar lain yang lebih layak dimakan
rakyat.
Masyarakat jadi terteror. Gelisah, resah, gerah.
“Kenapa pernyataannya tak sedikit pun menunjukkan kegentaran
ketakutan menghampiri saat eksekusi, seperti umumnya kita manusia
normal? Apakah dia binatang? Itu menakjubkan. Apakah sarafnya sudah
putus? Atau di dasar jiwanya ada iblis membisikkan ia berada di jalan
Tuhan, yang menjadikan dia gagah berani, bahkan bahagia meninggalkan
timbunan dosanya dalam kehidupan. Tidak gentar berpisah dengan sanak
saudara dan handai taulannya karena percaya ia sudah disediakan lapak di
surga? Alasan seperti itukah yang menyebabkan orang jadi nekat jahat,
bejat, tidak toleran, antikemanusiaan, dan radikal? Atau, atau mungkinkah,
mungkinkah, mungkinkah sesungguhnya dialah sebenar-benarnya yang
adil, betul dan benar?”
Pertanyaan itu beranak pertanyaan, bercucu pertanyaan. Dan, akhirnya
melahirkan kepasrahan. Rakyat terlalu sibuk dikepung begitu banyak
masalah tiap hari. Terjadilah apa yang harus terjadi.
“Berpikir bukan tugas kami. Bukan juga urusan kami. Dan, sama sekali
bukan kesenangan kami,” kata massa awam, “kami wajib bekerja, itulah
fitrah kami. Mendapat sandang-pangan-papan saja sulitnya lebih dari
mengasah paku jadi jarum, hidup kami akan runyam habis kalau mesti
ikut-ikutan pula memandang jauh ke depan, pada kehidupan yang belum
ada. Mustahil, Bro! Tiga hari keroncongan tanpa sebutir nasi, kami
bukannya nanti jadi ahli, tapi satu per satu mati konyol. Jadi silakan saja di
situ para dewa selesaikan merangkai peta kehidupan yang harus kami
tempuh. Biarlah kami yang jelata ini mengalir saja mengikuti arus dengan
mengandalkan lekukan-lekukan bumi! Asal bisa hidup walau melata, kami
sudah bahagia!”
Rakyat tak sabar lagi menanti kapan eksekusi dilaksanakan. Pesta dangdut
selama sepekan sudah disiapkan. Para pengusaha siap membagikan duit
pada masyarakat miskin karena kematian sang terpidana mati merupakan
jaminan amannya bidang usaha.
Menteri Pemuda juga sudah mendatangkan wakil-wakil kawula muda dari
seluruh wilayah. Siap untuk menyambut lembaran baru, bebasnya kerajaan
dari sekapan narkoba.
Tetapi apa lacur, tiba-tiba Kaisar dilaporkan mendapat mimpi buruk.
Seorang kakek tua datang dan memberikan wejangan:
“Anakku hukuman mati itu adalah warisan masa lalu. Ketika manusia
masih primitif. Manusia yang berbudaya berhak menerapkan ganjaran
hukuman seberat-beratnya bagi bromocorah. Tapi seberat-berat hukuman,
manusia tidak memiliki hak mencabut nyawa manusia lain, apa pun
alasannya. Itu hak prerogatif-Nya….”
Sejak mimpi itu, kesehatan Kaisar mundur. Para pendeta dan istri sudah
mendesaknya untuk membatalkan putusan mati pada Sang Bromocorah.
Tapi Kaisar menolak.
“Mimpi adalah permainan tidur, yang bisa diatur orang lain. Aku ingin
menegakkan hukum bukan firasat otak yang sedang lelah,” katanya tegas.
Sakit Kaisar bertambah parah. Namun, ia tetap tak mau membatalkan
keputusan mati. Pada suatu hari yang sudah diduga banyak orang, Kaisar
mangkat.
Kaisar digantikan oleh putra mahkota. Begitu memegang takhta, kaisar
muda kontan dihadapkan pada dilema yang sulit.
Ibu suri, bundanya sendiri mendapat giliran bermimpi yang ajaib. Karena
mimpi itu seakan sambungan mimpi suaminya almarhum.
“Orang tua yang datang ke dalam mimpi ayahandamu almarhum masuk ke
mimpi ibu. Ia mengulang apa yang dikatakannya pada ayahmu. Kita boleh
menghukum kejahatan seberat-beratnya, tetapi mencabut nyawa seseorang
adalah hak-Nya. Atau …”
Raja muda adalah fotokopi ayahnya. Walaupun para menteri kerajaan
memberikan masukan bulat, menyetujui apabila ia memberikan amnesti,
tetapi dia menolak.
“Rakyat menginginkan orang yang sangat jahat itu mati. Karena, kalau
dia masih hidup, tidak akan kurang 50 orang akan mati jadi korban
narkobanya saja. Belum lagi ….”
Rakyat bersorak gegap gempita menyambut keputusan Kaisar muda.
Hanya para pejuang HAM dengan dukungan berbagai kelompok dari luar
negeri menyerang Kaisar Muda yang mereka nobatkan sebagai Batara
Kala yang haus darah.
Perang urat saraf berlangsung gencar. Antara Kaisar yang dianggap
terpasung oleh semangat ingin berbakti kepada orangtuanya dan nilai
pembaruan dalam citra kemanusiaan. Perang itu disambut dengan
bersemangat oleh medsos.

Namun, sebuah kejutan meletus. Sebelum menjalani hukuman, terpidana


itu menulis sebuah surat. Sebuah wasiat tak langsung, untuk istri dan
anak-anaknya yang bersembunyi entah di mana.
Surat itu ditujukan ke hadapan Yang Mulia Baginda Kaisar. Tapi
ditembuskan ke semua medsos. Akibatnya jadi surat terbuka yang
menggedor batin semua orang.
“Yang Mulia Baginda Kaisar. Tuanku, perbuatan hamba yang terkutuk,
memang sudah merugikan kerajaan dan menyengsarakan rakyat.
Hukuman mati ini sebenarnya terlalu ringan untuk dosa hamba.
Seharusnya hamba disiksa sampai mati agar merasakan buah kejahatan
hamba setimpal dengan pedih yang sudah hamba timpakan kepada rakyat.
Jangan maafkan hamba. Nanti generasi muda akan meniru perbuatan
hamba. Karena betapa pun laknat dosanya, toh, akan dimaafkan jangan!
Kutuklah hamba agar masuk ke dalam neraka yang paling jahanam. Hanya
satu permintaan hamba, janganlah keluarga hamba dibawa-bawa. Sebab
mereka adalah kertas putih yang belum bernoda. Mereka jangan sampai
ikut menanggung dosa hamba. Itulah permohonanku. Tak usah repot-repot
memberikanku amnesti!”
Surat itu sampai ke tangan Kaisar Muda, hari itu juga. Dibaca baginda
detik itu juga. Serta kontan dibalas langsung. Sementara berjuta-juta surat-
dari seluruh kerajaan, yang ditulis oleh orang jompo, anak-anak papa,
orang cacat, yatim-piatu dan para perempuan yang menderita masih
bertahun-tahun bertumpuk, antre untuk dibuka tangan baginda.
Selesai membaca, baginda termenung, tetapi hanya sebentar. Kemudian
baginda langsung menjawab dengan menulis sendiri jawabannya.
“Bung, suratmu ditulis oleh hati nuranimu yang sudah sadar, terhadap
dosa besar yang sudah kamu lakukan. Hukuman yang paling berat
sebenarnya memang bukan kematian, tetapi rasa bersalah yang mendalam.
Maka dengan ini, aku perintahkan agar Yang Mulia Para Hakim, yang
sudah menetapkan hukuman mati padamu, aku minta mencabut kembali
hukumannya. Aku membebaskan kamu untuk kembali ke masyarakat.
sebagai kesempatan merasakan kesalahan serta sesal dan kepedihanmu
seumur hidup. Itulah hukuman yang aku anggap lebih pantas untuk
menyiksamu nyahok! Agar kesakitan orang lain oleh perbuatanmu yang
super biadab itu, sedikit demi sedikit, kembali, melumatmu bagai
bumerang. Kamu harus menikmati karma-palamu! Digerogoti, dicabik-
cabik, diiris-iris, agar batinmu perlahan membusuk setiap hari sambil kau
rasakan perihnya!”
Seluruh kerajaan bergolak ketika surat balasan itu disampaikan dan
dibacakan di depan umum. Rakyat meraung-raung karena merasa itu tidak
adil. Sementara pers yang tadinya memakai alasan kemanusiaan
cenderung membela bromocorah itu terkesima. Mereka kalang-kabut dan
saling tuding-menuding menyalahkan satu sama lain. Mereka yakin,
karena desakan dan ejekan merekalah, keadilan jadi terbalik.
“Ya, tapi kami sebenarnya, kan, hanya mengolah berita agar jadi menarik.
Bukan maksud kami agar bromocorah itu dibebaskan. Berita, kan, barang
komoditi yang harus dibuat kontroversial supaya laris dijual,” teriak satu
di antaranya.
Tapi keputusan baginda raja adalah perintah. Siapa berani membantah?
Maka, eksekusi dibatalkan.
Bromocorah itu menjerit kegirangan. Dia berlari melompat-lompat
keliling penjara meneriakkan keputusan baginda yang membuat seluruh
penghuni lapas setengah mati iri dan keki. Media sosial mengaum di
seluruh negeri dengan berbagai cara.
“Keadilan keblinger! Kebenaran sesat! Hukum mencla-mencle!”
Baginda Kaisar pun diejek habis. Dianggap tak mampu menyerap
kehendak zaman. Masih berkutat pada timbang rasa kuno di zaman yang
kian mengeras.
“Rakyat jelata yang bodoh, awam, miskin boleh tertipu seratus kali dan
masih layak dimaafkan karena kekonyolannya itu akibat keterbatasannya.
Tapi seorang pejabat yang memangku nasib berjuta-juta rakyat, satu kata,
satu langkah saja keliru, negeri bisa hancur lebur dan malu!”
“Mundur! Kita perlu Kaisar baru!”
“Baginda kebakaran jenggot! Inilah akibat terbiasa mengukur keadilan
dari perasaan sendiri. Baginda sudah membuat hukum tak bergigi dan
sekarang terpaksa gigit jari sendiri! Kaisar amatiran! Mundur!
Mundurrrr!!”

“Inilah bukti kebodohan dimanjakan, belas kasihan diberhalakan, rakyat


jadi korban!”
Terpidana mati yang dibebaskan menyelenggarakan pesta perpisahan
dengan kroni-kroninya. Kepada mereka, ia janjikan segala balas jasa bagi
yang sudah memanjakannya selama di penjara.
“Ada di antara kamu punya musuh yang harus aku bereskan?” tanyanya
di depan para petugas kepada bajingan-bajingan sahabatnya sambil
mengejapkan mata.
Para petugas tertawa, merasa itu lelucon. Tetapi esoknya, entah siapa
sumbernya, berita itu muncul di banyak koran, membuat masyarakat
heboh.
Begitu pintu penjara dibuka dan bromocorah yang dianugerahi “kewajiban
untuk merasakan kesakitan buah dosanya” itu bebas, ribuan rakyat
menyerbu. Bromocorah itu hanya sempat jalan tiga langkah. Keburu
ribuan pasang tangan menggasak mencabik-cabiknya jadi daging cincang.
Tak hanya bromocorah itu, semua yang berbau dia disikat. Tangan rakyat
tidak terkendali lagi. Ngamuk, tak terbendung oleh apa pun! Dahsyat.
Ketika kemudian para pejuang HAM protes keras, Kaisar Muda
menjawab: “Siapa bilang negara membunuh orang? Kami justru sudah
membebaskan dia.”
Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu)
dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari
SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah
menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan
Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen,
esai, novel, dan lakon

***

Boko
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 22 April 2018)

Boko, mantan bromocorah diinsyafkan oleh rumah pemasyarakatan,


ketika keluar dari penjara, ia banting setir total. Tidak lagi memeras,
merampok atau membunuh, tetapi menjadi tukang ketoprak.
Pulang dari pangkalan, Boko membereskan peralatan ketoprak dibantu
istrinya. “Ada yang beli, Pak?”
“Tidak. Dua porsi aku makan sendiri daripada basi.”
“Sudah tiga bulan, kok, begini terus?”
“Orang-orang bingung ketika melihat aku mendorong gerobak ketoprak
dan mangkal di pinggir jalan. Tidak seorang pun yang berani mendekat.
Bagaimanapun juga, di dalam gerobak yang aku dorong itu tidak hanya
ada tahu, ketupat, tauge, dan saus kacang, tetapi juga ada pisau. Dan pisau
di dekat seorang pembunuh, sewaktu-waktu bisa mengerat leher siapa pun,
tanpa alasan.”
“Sabar, Pak.”
“Ya, sebagai mantan orang hukuman, aku paham nasibku. Aku tahu, tidak
mudah bagi masyarakat melupakan sejarah hitamku. Tidak seperti orang-
orang politik yang bisa dalam sekejap bertukar warna. Aku tahu, aku akan
diuji lama sekali.”
“Legawa saja Pak.”
“Memang harus begitu. Kebebasan tidak langsung memberikan
pembebasan. Inilah waktunya aku belajar, apakah aku mengerti pada
kebebasan yang kembali diberikan kepadaku ini setelah 20 tahun di dalam
bui. Kalau aku mau gampangnya aku bergabung saja lagi dengan kolega-
kolegaku yang masih aktif. Banyak anak buahku yang akan memberikan
aku jalan keluar. Tapi itu berarti tanganku yang sudah dicuci selama 20
tahun ini akan kotor lagi. Setelah itu, beberapa tahun lagi, aku akan masuk
penjara lagi. Dan kalau itu terjadi tidak akan ada harapan keluar. Jadi,
biarkan aku terima nasib ini. Ini percobaan.”
Istri Boko tidak menjawab. Ia terima saja dagangan ketoprak suaminya
kembali utuh setiap hari karena tak ada yang beli.

“Uang sudah habis. Besok Bapak hanya akan mendorong gerobak


kosong.”
“Tak apa. Kemarin-kemarin juga hanya satu-dua piring yang laku. Dibeli
oleh pendatang yang tidak tahu siapa aku.”
“Besok Bapak mau berangkat juga?”
“Ya.”
“Satu bulan pertama Bapak masih semangat mendorong gerobak
ketoprak, meskipun tidak laku. Aku kasihan.”
“Tak apa. Aku masih semangat sampai kapan pun. Memang cuma itu
yang aku punya.”
“Aku yang nelangsa, Pak. Pada bulan kedua, nyaris Bapak mendorong
gerobak separuh kosong.”
Baca juga: Petisi – Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2016)
“Jangan dipikirkan. Kamu kerja saja yang baik. Kita sudah bersyukur
masih ada yang percaya sama kamu jadi babu.”
“Besok, di samping pasti tidak ada yang beli, modal kita juga sudah habis.
Sebulan lagi aku baru gajian. Memang masih ada sedikit beras tapi itu
untuk bertahan beberapa hari. Bagaimana kalau berhenti dulu dorong
gerobak?”
“Tidak. Jangan. Terus saja.”
“Istirahat dululah.”
“Tapi aku mau terus mendorong gerobakku untuk melewatkan waktu.”
“Diam di rumah saja, kan aku sudah diterima jadi pembantu.”
“Aku harus mengisi waktu, kalau tidak aku akan tidur terus. Kalau aku
tidur terus, aku akan bosan, karena di penjara juga aku sudah banyak tidur.
Mimpiku sudah habis. Semuanya sudah aku mimpikan. Sekarang hanya
mengulang-ulang. Aku takut kalau sudah bosan aku akan jadi iseng.
Waktu iseng itulah pikiran waras bisa hilang. Aku tak mau lagi menjadi
bromocorah.”
“Ya janganlah!”
“Kita jalani saja apa adanya.”
“Jadi, besok mendorong gerobak kosong?”
“Penuh juga tidak ada gunanya kalau tidak ada yang laku.”
“Jadi, besok dorong gerobak kosong ke pangkalan?”
“Tak apa. Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli.”
“Aku yang peduli, Pak,” kata istrinya sambil menghapus air mata.
2.

Boko mendorong gerobak kosong ke pangkalan. Tak terduga, sebuah


mobil Jaguar yang masih jreng baru keluar dari show room berhenti dekat
gerobaknya. Kaca pintu jendela terbuka. Boko menyangka orang itu mau
menanyakan arah jalan. Ternyata, ia mau beli ketoprak.
“Ketoprak?”
“Maaf, Pak. sudah habis!”
“Pagi-pagi begini sudah habis?”
“Ya.”
“Ketupatnya saja ada?”
“Tidak.”
“Tauge?”
“Semua habis.”
Orang dalam mobil itu tambah heran. Lalu ia keluar. Memeriksa gerobak
Boko yang diam saja.
“Lho, kok habis semuanya. Kecap juga tidak ada?!”
Boko mengangguk.
“Habis semuanya?!”
“Ya.”

“Masak, sih?”
Boko tak menjawab.
“Pisaunya juga tidak ada?”
“Untuk apa pisau kalau sudah habis?”
“Laku amat, ya?!”
Boko menggeleng. Orang itu heran.
“Kalau enggak laku, kok, habis?”
“Memang bahannya tidak ada.”
“Kenapa?”
“Tidak ada yang beli.”
Orang itu menatap Boko. Boko tersenyum. Tiba-tiba orang itu tertawa. Ia
lantas menepuk pundak Boko keras-keras.
“Sialan kamu! Lupa, ya? Boko!”
Boko terkejut.
Senyumnya seketika lenyap dari bibirnya. Wajahnya tiba-tiba kereng lagi
seperti 20 tahun yang lalu, waktu ia masih malang-melintang jadi momok
yang menakutkan semua orang.
“Boko! Gila lu! Lupa gue, ya?!”
Boko tak menjawab.
“Sialan lu! Boko!”
Orang itu menepuk pundak Boko lagi. Tapi itu bukan tepukan biasa. Itu
sudah sebuah pukulan keras. Tapi Boko yang masih memiliki sisa-sisa
keperkasaannya tidak goyah.
Ia menahan rasa sakit dan lebih menahan lagi gelegak dari perutnya yang
mau menerjang karena pukulan itu.
“Lu jangan pura-pura, Ko. Semua orang juga masih tahu lu Boko, biar
sudah pakai cambang, kumis dan gerobak ketoprak. Ayo, ngapaian di sini
kayak orang bego. Ayo, naik. Pernah nabrak orang dengan Jaguar enggak?
Lu, kan, dulu paling demen begitu. Ayo. Nih. lu masih ingat nyetir, kan?”
Orang itu melemparkan kunci kontak mobil pada Boko. Kunci itu
melayang di depan mata Boko dan jatuh ke tanah karena Boko tidak
menyambutnya. Boko hanya memandang.
“Alaaa, lu kok jadi bego! Nangkap gitu saja kagak bisa lagi. Motorik lu
payah karena penjara, ya?!”
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh menjengkelkan sekali. Ia menunduk
mengambil kunci kontaknya, lalu mendekat ke samping Boko. Rapat
sekali sehingga mulutnya dekat sekali dengan telinga Boko. Ia berbisik
lirih tapi serius.
“Bos perlu bantuan. Dia mau mencalonkan diri. Tapi ada kendala. Pelacur
dari Cijantung yang pernah jadi piaraannya itu ternyata punya surat nikah.
Sekarang lawan-lawan politik Bos memakainya untuk menjatuhkan Bos.
Kalau kamu bisa sikat dia sekarang, Bos aman. Dananya Rp 1 M. Kalau
berjalan mulus, tambah bonus Rp 1 M lagi. Bagaimana? Masih berani
bunuh orang kagak lu?!”
Orang itu lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop besar.
“Potret, alamat dan uang mukanya ada di sini. Dalam amplop ini juga ada
HP. Bos atau gue akan menghubungi lu besok. Berarti malam ini juga
harus diproses. Salam dari Bos!”
Setelah meletakkan amplop di samping Boko, orang itu bergerak masuk
ke mobil. Tiba-tiba Boko muncul di jendela mobil. Ia mengulurkan
amplop itu.
“Aku bukan Boko. Lain kali kalau mau mancing jangan nyimpan lencana
di kantong Bapak,” Boko menaruh amplop itu dekat kemudi, lalu
mendorong gerobak ketopraknya pulang. Sama sekali tanpa menoleh.
Orang di dalam mobil itu bengong. Ia memeriksa amplop. Masih utuh.
Ada potret pelacur itu, alamat dan peta rumahnya. Ada HP dan uang muka
10 juta. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yang mirip dengan
lencana, lalu menenggak dua butir pil dan menggumam.
“Sialan, aku kira si Boko. Untung orangnya polos.”

Putu Wijaya, lahir di Puri Anom. Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu)
dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari
SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah
menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan
Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen,
esai, novel, dan lakon.
Roumy Handayani Pesona, adalah dosen di Fakultas Seni dan Desain
Institut Teknologi Bandung. Ia juga guru untuk anak-anak berkebutuhan
khusus. Lahir di Bandung, 20 Agustus 1972.

***
Kalah
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 25 Februari 2018)

PAKDE ELVIS yang masih kerabat jauh Bu Pao berkunjung. Ia curhat


mengatakan dirinya kalah. “Aku ini pecundang yang mati separo, Pao!”
Lalu bertanya: “Apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengurangi rasa
kalah ini, Pao?”
Ia tak mengatakan, kalah apa. Pao pun merasa kurang sopan kalau
menanyakan kalah apa.
“Ya, legawa saja, terima kekalahan itu, Pakde. Nanti Pakde perlahan-
lahan akan menang.”

“Sudah, aku sudah menerimanya, bahkan 200 prosen, tapi mengapa aku
tetap saja kalah?”
“Ya, itu berarti, maaf, Pakde belum cukup legawa, maksud saya masih
belum cespleng tuntas rela ikhlas menerima kekalahannya. Jadi, sekali lagi
maaf, tanpa mengecilkan upaya Pakde, tekad mengakui kekalahannya
masih belum sungguh-sungguh tokcer afdol!”
“Jadi maksudnya aku harus menikmati kekalahan itu?”
“Betul. Persis! Kira-kira lebih kurangnya begitu.” Tiba-tiba saja Pakde
marah. Ia berdiri sambil berkata ketus.
“Kau enak saja ngomong begitu, Pao! Coba kau sendiri yang
mengalaminya, kalau kagak modiar, baru tahu rasa, nyahok bagaimana
sakitnya kalah! Remuk hancur luluh sudah jadi bubur perasaanku, Pao!
Tai kucing! Bangsat!”
Ia masih sempat memotong roti gambang yang dibawanya untuk oleh-oleh
dan memakannya sebelum kemudian kembali menggebrak meja: “Tai
kebo! Tikus celurut! Najis! Bangsat!” Dan pergi. Pao bingung. Hatinya
ngedumel, “Aku kok merasa sudah mencoba menjawab sesuatu yang tak
jelas, dengan ikhlas, kok malah disumpahi?” Bu Pao muncul bawa kopi.
“Lho, ke mana Pakde?”
“Bagaimana menjawab kalau kita tidak tahu apa kekalahannya? Dalam
keadaan bagaimana, salahnya berapa fatal, kenapa, di mana, dan
mengapa?”
“Ada apa sih kok berkicau?”
“Jangan-jangan sebenarnya Pakdemu itu tidak kalah, hanya merasa kalah
atau mengalah. Jangan-jangan pula sebetulnya beliau bukan kalah, tapi
menang. Hanya merasa kurang menang. Kekalahan itu kan seribu wajah!
Karenanya Pakde patut dicurigai, jangan-jangan hanya mendramatisir. Dia
lupa aku ini kan mantan pemain jenong. Ha-ha-ha!”
Bu Pao tersinggung. “Nggak lucu! Maka dari itu, Bapak jangan asal cuap
saja! Tanya dulu abc-nya sebelum kasih solusi. Kalau perlu jangan
dijawab. Tunggu! Jangan-jangan orang sebenarnya tidak sungguh-
sungguh bertanya.”

“Ya, kalau tidak ada yang mau ditanyakan kenapa mesti bertanya? Mau
menguji? Kenapa aku harus diuji? Yang bener saja!”
“Tidak ada yang mau menguji Bapak. Jangan suka menuduh begitu.
Keluargaku memang orang miskin tapi tahu adat semua! Tidak ada yang
tidak sopan. Pakde pasti hanya ingin beramah-tamah. Silaturahmi,
begitu!”
“Silaturahmi dengan cara mengeluh?”
“Ya, Pakde pasti hanya ingin didengarkan saja. Karena tidak tahu
percakapan apa yang bisa nyambung, jadi asal omong saja. Kalau itu
ditanggapi dengan jawaban nyelenehmu yang terinspirasi oleh gaya
Srimulat itu, Pak Pao, jelas Pakdeku itu akan tersinggung. Bahkan
nampaknya sudah mutung!”
“Lho, Ibu jangan linglung. Ini bagaimana? Bapak kan minta dukungan,
kok malah disemprot baygon?!”
“Habis Bapak tidak pernah nyimak apa kepentingan orang lain, selalu
ngukur dari perasaan Bapak sendiri. Itu namanya egosentris! Makin tua
harusnya makin bijak, jangan makin terjebak, Bro. Nanti…”
“Sudah, cukup, aku tidak perlu siraman rohani. Sekarang aku perlu
dukungan, karena malam Minggu tenangku sudah dizalimi!”
Pao duduk memandangi malam. “Lebih baik aku rembugan dengan malam
yang selalu mengerti apa arti hati yang kelam! Bukan begitu, Ratu
Malam?”
Lolong anjing di kejauhan langsung menjawab. “Nah, itu dengar. Hanya
malam teman setia setiap lelaki yang hatinya gundah karena kalah!”
Bu Pao tersenyum, bisiknya dalam hati: “Biar dia tahu bagaimana
kesalnya hati orang yang kalah.”
Lalu ia bersenandung, “Yen ing tawang ono lintang cah ayu”, sambil
nyeruput kopi susu yang dibawanya dan mengambil roti gambang yang
dibawa Pakdenya.
“Roti gambang dan kopi susu di malam Minggu paling enak. Susu
murninya nanti menyusul.”
Pao terkejut. “Lho, Ibu lupa ya? Bukannya mantri sudah melarangmu
minum kopi?”

“Sekali, sekali, tak apa. Apalagi ada gambangnya!”


“Jangan dulu ngopi, kata mantri.”
“Ya, sudah, ini roti gambangnya saja!”
“Sudah kenyang.”
“Tapi ini dibawa Pakde tadi! Katanya oleh-oleh dari Jakarta roti gambang
buatan Tan Ek Tjuan, enak, kok.”
“Aku sudah kenyang!”
“Jadi, tidak mau?!”
“Bukan tidak mau. Hanya masih kenyang!”
“Ya sudah kalau begitu dibuang saja!” Dengan marah Bu Pao
mengangkat gelas kopi dan roti gambang mau dilemparkan ke halaman.
Pao cepat mencegah.
“Sudah, sudah, nanti tak minum! Jangan ditendang nanti roti gambang tak
ganyang meskipun masih kenyang!”
“Makanya jangan sok teu! Kalau disayang langsung ngelonjak. Kelakuan!
Yang proporsional saja Pemuda Tua! Itu pernah Pakdeku. Meskipun
orangnya rada nyentrik, tapi dia baik, hormati dia!”
“Siap!”
“Cepat minum kopinya nanti keburu dingin!” Pao langsung menenggak
kopi itu meskipun panas.
“Gambangnya? Makan!”
Pao cepat memasukkan roti gambang ke mulutnya sampai megap-megap
mengunyah.
“Begitu caranya membuat istrimu yang sudah banting tulang tiga
dasawarsa ini tersenyum dan tertawa!”
Bu Pao tertawa lalu masuk ke rumah sambil ngedumel, “Rasakan sendiri
dulu sakitnya kalah, sebelum menasihati Pakdeku menikmati
kekalahannya karena istrinya yang jadi TKW di mancanegara sudah 5
tahun tidak ada kabar beritanya! Ngarti?!”
Pao terkejut. Berbisik dalam hati, “O, iya! Tiba-tiba aku baru ingat kisah
Ester, istri Pakde. Lantas kontan aku bisa merasakan betapa sakitnya
kalah. Dengan menyesal aku menggumam: Ya Tuhan, sekarang aku
mengerti bagaimana sulitnya menerima kekalahan. Bagaimana tak
mungkinnya menikmati kesakitan. Kecuali kalau kita bisa sedikit
ngedhan.”
Tak terduga-duga, Pakde yang sudah ngeloyor pergi tanpa pamit itu,
muncul lagi. Ia nampak bingung, seperti mencari-cari sesuatu yang
ketinggalan.
Tanpa menyapa Pao, ia sibuk mencari. Pao jadi berdiri dan ikut mencari.
Pakde menunduk, melihat-lihat ke seluruh sudut. Lalu jongkok dan
merangkak menelusuri lantai.
“Cari apa, Pakde?”
“Tadi. Yang tadi!”
“Apa?”
“Yang aku buang tadi?!”
“Buang? Pakde tidak buang apa-apa, kok!”
“Masak? Masak kamu tidak lihat?”
“Lihat apa? Saya tidak lihat? Dompet?”
“Bukan!”
“Apa? Perhiasan? Cincin kawin? Atau semacam itu?”
“Bukan!”
“Terus apa?”
“Aku membuangnya dua kali!”
“Apa ya? Kalau tidak tahu apa yang dicari tak akan mungkin ketemu. Tak
mungkin mencari yang tidak kita tahu, Pakde!”

“Kamu tidak akan mengerti?”


“Tapi apa? Apa?!”
Pakde menatap hampa ke atas lantai.
Pao menggumam dalam hati, “Ya Tuhan, baru kulihat betapa cekung
mukanya. Betapa dahsyat sakit hatinya. Pasti ini kristal derita karena harus
merawat dan membesarkan ketiga anak yang ditinggal ibunya. Mendadak
aku ditendang perasaanku sendiri hancur. Pasti pikiran Pakde lagi kacau.
Ia telah mengejar berita istrinya sampai ke negara jiran, tetapi Ester seperti
air jatuh ke pasir. Tak ada arah yang bisa ditempuh Pakde untuk menguntit
jejaknya. KBRI sudah dihubungi tapi hasilnya zero.”
“Sabar, Pakde.”
Pao mengusap pundak Pakde. Pakde bengong dan kecewa.
“Mestinya di sini, tidak ke mana-mana. Kenapa, ya?”
Pao memberanikan diri berbisik, “Sudahlah, Pakde, mungkin Ester sudah
menikah dengan majikannya. Lupakan saja, anggap dia sudah mati.
Sekarang konsentrasi pada anak-anak Pakde saja. Buktikan Pakde bisa
tanpa dia!”
Pakde tersenyum pedih.
“Kamu tidak mengerti, Pao. Ini bukan soal Ester. Aku sudah ikhlas. Kalau
tidak, aku sudah lama jadi tape.”
“Bagus begitu Pakde. Itu yang tadi saya bilang legawa. Syukurlah Pakde
sudah bisa atasi semuanya. Ayo kita jalan-jalan, beli oleh-oleh untuk anak-
anak Pakde.”
“Ya, nanti kalau sudah ketemu.”
“Oke, nanti kita cari lagi. Kita pelesir saja dulu. Biar istri saya yang cari,
pasti ketemu. Perempuan lebih pintar cari barang hilang.”
Pakde terkejut. Kelihatan ketakutan. “Jangan! Istrimu tidak boleh tahu.
Malu aku, makanya harus ketemu!”
“Harus?”

“Mutlak!”
“Tapi apa? Yang hilang itu apa?”
Pakde mendekatkan mulutnya ke telinga Pao, lalu berbisik: “Tadi aku
sampai dua kali memaki bangsat, bangsat! Itu harus dibuang jauh-jauh
sebelum ditemukan istrimu!”
Pao tercengang. Dari dalam terdengar langkah istrinya keluar. Dengan
panik Pakde kembali mencari.
“Pakkk! Pakde diajak makan dulu, nanti perutnya gembung!”
Pao buru-buru membantu Pakde mencari. Bu Pao muncul. Terkejut.
Cemas.
“Astaga! Apa, apa yang hilang?” Langsung merangkak ikut panik
mencari sepenuh hati. ***
Jakarta, 21 Juni 2015 – 2 September 2017
PUTU WIJAYA, Sastrawan dan teaterawan, yang Rabu (21/2) menerima
gelar doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta
***

Zera
Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 25 Februari 2018)

Bu Raka mengadu lagi pada Bu RT. Suaminya diam-diam punya wanita


simpanan.
“Sudah lama uang belanja bulanan saya terus dikurangi. Turunnya juga
seret. Kalau sudah saya ancam-ancam akan bunuh diri, baru dia membuka
dompet. Tapi sudah siang. Mau masak apa coba. Akhirnya saya sering
minta makan ke rumah tetangga supaya tidak mati. Eh, pulang-pulang, dia
ngamuk, ribut tidak ada makanan. Padahal kalau ada juga, menoleh
sebelah mata pun tidak. Segalanya jadi salah. Saya heran, dia sering
marah-marah tanpa alasan. Segalanya dia gampar, tak terkecuali saya.
Untung, anak saya Risky selalu melindungi. Dia tidak takut lawan papa
tirinya yang kesetanan itu. Saya suruh Risky terus latihan fitnes supaya
ototnya kuat. Nanti kalau tiba-tiba berantem supaya tidak kalah. Kalau
mulut papanya pedas, harus dia jawab lebih pedas lagi. Kalau papanya
banting kursi, Risky juga saya suruh banting kursi. Masa dia nuduh saya
sudah morotin sampai dia bangkrut. Saya juga selalu dia tuduh bawa sial.
Batu bara hancur, nyalahin saya. Gagal nyaleg, dia bilang saya tidak bawa
hoki. Padahal yang selalu bikin perkara kan itu, si Riene anak
kandungnya. Perempuan kegenitan itu maksa-maksa papanya menceraikan
saya dan menuntut semua warisan jatuh ke dia. Anak saya jadi marah.
Kalau saya tidak cegah dia sudah ngamuk. Untung, bisa saya bujuk. Lalu
dia hanya mengadu ke LBH. Papanya kaget, mengeluarkan pistol. Entah
dapat dari mana, entah ada isinya atau tidak. Tapi saya kan jadi stres.
Akhirnya, saya…”
Putus. Bu Raka menyemburkan tangis. Dengan tangkas Bu RT
menenangkan seperti biasa, sambil mengusap-usap. Tapi tangis tamunya
terus mengucur. Baru setelah disuguh makan, ia anteng kembali.
“Makannya lahap sekali, seperti orang kelaparan, Pak. Masa sih orang
kaya begitu kelaparan? Pulang juga minta dibawain, untuk makan malam,
katanya!” lapor Bu RT kemudian entah sudah berapa puluh kali pada
suaminya. “Kalau kelas dia saja kelaparan, bagaimana kita ini?”
“Ya betul, Bu RT, serius! Sudah enam bulan saya hanya makan mi instan.
Yang lain tidak ada yang bisa masuk!”
“Jangan, Bu Raka! Kebanyakan makan mi instan sama dengan bunuh
diri.”
“Tapi kan enak!”
“Semua yang enak berisiko tinggi. Enak di mulut, racun di perut!”
“Biarin, yang dalam perut kan tidak kelihatan! Yang tidak kelihatan bukan
urusan kita!”
Bu RT tersenyum. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan otak yang
lagi kacau. Tetapi ia tak bisa membiarkan warganya sesat terlalu jauh.

“Kalau Bu Raka makan mi instan terus berarti selalu membuang makanan


yang saya sering berikan dong?!”
Bu Raka bingung, tak menjawab. Ia loncat ke soal lain.
“Sekarang saya mulai minum pel mengurangi tekanan, karena tekanan
saya sering sampai 120. Tinggi kan, Bu RT?”
“Siapa bilang, 120 itu normal.”
“Bukan 120, melainkan 210!”
“Wah, 210? Itu tinggi sekali. Ibu harus ke UGD. Cepat, sebelum
kecolongan!”
“Betul, Bu RT. Risky juga bilang begitu. Tapi bagaimana ya, ke UGD
kan repot, jauh, belum kalau dimainkan rumah sakit. Periksa sini, periksa
sana. Mau bilang mencret saja, pakai periksa jantung, periksa darah,
dironsen. Nanti kalau saya dikirim ke rumah sakit gila bagaimana?
Memang itu tujuannya! Supaya saya pergi dari rumah. Jadi dia merdeka
dengan cemceman-nya dan si Riene ambil alih semua. Tinggal Risky yang
akan jadi anak ayam kehilangan induk. Aduh, tak kuat saya. Akhirnya,
akhirnya saya….”
Putus lagi. Ibu kaya yang kelaparan itu sekali lagi dilabrak tangis.
Bu RT kemudian menyelipkan selembar 50-an ke tangan Bu Raka.
Langsung tangisnya tamat. Lalu ia mau pulang ke rumahnya yang
berlantai tiga di ujung.
“Itu dia. Kenapa aku kemarin ngotot menentang kamu jadi ketua RT!”
kata Amin ngedumel. “Sudahlah. Mundur saja, Bu!”
“Lo, Pak, kamu ini bagaimana! Mau saya langsir? Jangan berpikir negatif
terus! Ini kan risiko. Mana ada jabatan tanpa risiko. Katanya ingin belajar
jadi caleg. Sudah, bersihkan rumah, jangan sambat aja, aku nengok
saudara dulu! Nanti kalau tetangga baru itu lapor mau bawa tamu untuk
nginap, tahan KTPnya, jangan terulang kasus sodomi itu lagi!”
Amin tak bisa membantah. Sejak istrinya jadi ketua RT, ia tak bisa ke
mana-mana, karena seluruh kegiatan rumah praktis jatuh ke tangannya.
Maka ketika dulu warga mencalonkan dia jadi ketua RT, ia angkat tangan.
Tapi istrinya kepengin. Teman hidupnya itu ngiler dipanggil Bu RT.

Menjelang sore, datang Pak Raka. Curhat dia juga tak sedikit. Entah tahu
entah tidak istrinya langganan menangis di rumah Bu RT. Ia begitu saja
nubruk Amin.
“Pak Amin, payah!”
“Apalagi, Pak Raka? Kan mobil baru ganti!”
“Bapak-bapak menteri ada-ada saja! Masa pembangunan Menara Jakarta
kerja sama dengan Tiongkok, pelaksanaannya mau ditumpahkan ke saya!”
“Oh ya? Hebat, Pak Raka! Selamat! Saya bangga!”
“Tapi itu kan berat! Pasti makan bertahun-tahun. Banyak intrik, friksi,
kontradiksi, gosip, sikut-sikutan, iri hati. Salah sedikit, saya bisa digantung
KPK!”
“Itu risiko! Tapi proyeknya kan gede, Pak. Untungnya pasti juga gede
banget! Ya nggak?”
“Memang.”
“Bapak yang terpilih dari 250 juta rakyat Indonesia. Itu kan tandanya
Bapak hebat! Masa sih, bapak-bapak di atas akan memilih saya. Pasti
mereka pilih Bapak yang hebat?! Selamat!”
Amin menyambar tangan Raka. Mengguncangnya berapi-api. Tapi muka
Raka kelihatan loyo.
“Tapi rumah tangga saya lagi galau, Pak Amin. Tahu kan, istri saya
belakangan ini stres, lalu suka berhalusinasi. Dia sudah tahu dari berita
koran, TV, ekonomi kita lagi merosot, rupiah terpuruk, semua menjerit.
Saya banyak tugas, saya perlu konsentrasi, kok saya dituduh punya
simpanan bini muda? Bini muda tahi kucing! Bini muda saya tugas
negara! Memang saya jarang di rumah, tapi itu kan karena saya sibuk
membantu menteri mau buat Menara Jakarta sebagai ikon Indonesia,
proyek mercu suar bersama dengan Republik Rakyat Tiongkok. Uang
belanja sudah saya dongkrak, tapi dia terus saja ngaku ke tetangga saya
potong sampai tidak bisa makan. Itu bullshit. Bawaannya tegang, curiga,
marah terus. Akibatnya, jangankan anak saya, anaknya juga tidak dia urus.
Masa si Risky pernah memukul saya! Lo jelek-jelek begini saya kan
papanya! Risky sudah jadi liar dan narkobais sekarang! Masa Riene, anak
saya, adiknya, mau dia perkosa? Saya laporkan saja dia ke polisi! Eh, dia
malah mengadu ke LBH supaya status saya diajukan ke pengadilan berada
di bawah pengampuan! Supaya saya tidak berhak melakukan tindakan
hukum sendiri! Itu kan sama dengan pembunuhan! Itu otak sesoprenia
ibunya! Ternyata dia paranoid, berkepribadian ganda! Bekas Ratu Kebaya
kok begitu! Tadinya waktu kami menikah, dia santun, intelek, berkarakter!
Sekarang kok tahi kucing, jadi iblis begitu! Kepala saya hampir pecah
mikirin kelakuannya. Shit! Shit! Akhirnya, akhirnya….”
Putus. Bu Amin muncul.
“Tumben, Pak Raka pulang sore!”
Raka kaget. Gugup menyapa, “O, Bu RT. Selamat sore. Dari mana? Apa
kabar? Apa itu?”
Bu RT mengangkat kurungan kucing yang dia tenteng dari rumah
keponakan.
“Ini Zera. Anak kucing persia, punya ponakan. Istrinya mengandung,
dokter nyuruh kucing diungsikan dulu, bulunya bisa menyebabkan tokso
plasma yang mengganggu janin. Jadi Zera dibuang, cuma sayang harganya
mahal. Jadi mending saya tampung.”
Amin terkejut.
“Tapi kalau kita pelihara, aku kan bisa asma?”
Bu RT kaget.
“Astaga, kok saya bisa lupa Bapak alergi bulu kucing?”
“Lagian itu kan kucing ras! Makanannya, dokternya, akan morotin kita.
Itu kucing orang kaya. Bukan untuk kita. Itu mainan untuk bos-bos seperti
Pak Raka yang mau jadi kepala proyek Menara Jakarta ini.”
Raka ketawa.
“Mau mengadopsi Zera, Pak Raka?”
“Adopsi?”
“Ya!”
“Adopsi kucing?”

“Ya!”
Raka ketawa. Bu RT mengangkat tentengan plastik berisi dokumen Zera.
“Di sini ada akta kelahiran Zera. Buku harian Zera. Jadwal dokter, daftar
makanan, kaset lagu kesayangan dan video yang suka dia tonton.”
Raka tertawa geli.
“Mau tidak?”
“Oke, oke, saya adopsi. Tapi saya harus bayar berapa juta?”
“Tidak usah bayar, asal dipelihara selayaknya sebagai anggota keluarga.”
“Oke, oke, deal, akan saya pelihara sebagai keluarga!”
Mereka bersalaman.
“Terima kasih, Bu RT. Hanya satu permohonan kecil. Tanpa mengurangi
rasa hormat saya atas kebaikan hati Bu RT, saya mohon, kalau istri saya
datang kemari mau curhat, mohon tolak saja. Dia itu sesoprenia, depresi,
paranoid, berkepribadian ganda, dan suka berhalusinasi. Kalau ditanggapi,
dia akan merasa didukung dan dibenarkan. Dan, maaf, tolong jangan
sekali-sekali memberi dia makanan kampung. Perutnya supersensitif.
Kemarin sampai dilarikan berobat ke Sing. Oke, terima kasih. Selamat
sore!”
Raka cepat menenteng kurungan kucing ke mobil. Bu RT dan Amin
ternganga. Tak percaya apa yang mereka alami.
“Itu bukan Pak Raka yang kita kenal, Pak. Itu orang lain!” bisik Bu RT.
“Ya! Kelihatan sekarang, jiwa dia yang terganggu!”
Malam hari Bu RT tetap bengong. Ia menyesal telah menyerahkan Zera
pada orang yang lagi sakit jiwa. Lalu ia memutuskan mengambil Zera
kembali.
Sembari ngumpat dalam hati, Amin terpaksa ikut. Ternyata rumah Raka
gelap gulita. Bu RT berusaha ngintip.

Kedengaran ada suara percakapan di dalam. Amin hampir saja mengetuk


pintu. Tiba-tiba lampu teras menyala. Bu RT menyambar tangan suaminya
untuk bersembunyi.
Lalu kedengaran derai suara tertawa bersama. Pak Raka memegang
sebatang lidi dengan robekan kertas bekas kresek di ujungnya. Ia
memainkan kertas itu hingga Zera dengan serius penuh semangat
menerkam, mengejar, melompat, jatuhbangun. Semua ketawa histeris.
Kemudian sambil mengeluarkan bujukan dan kata-kata lembut, bergantian
pegang lidi. Bu Raka menari-nari, Risky bergulung dan Riene menyanyi.
Bu RT dan Amin ternganga melihat orang dewasa itu jadi lebih dari anak-
anak. Ketawa mereka meledak-ledak, terpingkal-pingkal tak putus-putus.
Kegelapan rumah itu berubah jadi cahaya kebahagiaan yang lembut dan
begitu mengharukan.
Ketika Raka terjatuh karena terlalu bersemangat mengelaki terkaman Zera,
kucing itu terkejut, lalu ngibrit masuk rumah. Semua membantu Raka
bangun, lalu bersorak tertawa melihat celana calon kepala proyek Menara
Jakarta itu robek. Raka cekakakan.
Zera mengeong seperti minta permainan diteruskan. Semua menyusul
masuk sambil tertawa. Tapi Raka salah langkah, oleng. Bu Raka
menggapai, tapi terlambat. Keduanya jatuh pelukan. Amin tertawa, hampir
saja bertepuk tangan. Bu RT cepat menutup mulut suaminya dan segera
membawanya pergi. (44)

Jakarta, 10 November 2015


– Putu Wijaya, yang bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, adalah
sastrawan serbabisa. Pria kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944, ini
menulis esai, cerpen, novel, naskah drama, serta skenario sinetron dan
film. Dia juga melukis serta bermain dan menyutradari teater.

***

Nio
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 24 September 2017)
Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena mataku
tidak sipit. Bukan karena tulang pipiku tidak menonjol. Bukan karena
wajahku tidak bulat. Bukan karena lidahku tidak cadel. Bukan karena
keluargaku kere. Bukan karena kami hidup dalam gubuk miskin di sebuah
kampung, baur dengan pendatang dari Madura, Bugis, Padang, Medan,
dan Ambon. Bukan juga karena aku tidak mau dibilang keturunan China.
Kenapa harus tidak mau? Nenek moyangku totok dari China daratan.
Sanak saudaraku masih berserakan di sekitar jalanan Sutera. Aku tidak
pernah keberatan, malu, kecil hati atau tersinggung. Bahkan, aku bangga
betul berasal dari negeri leluhur yang menciptakan mesiu, percetakan, dan
mi yang sekarang menjadi kebudayaan dunia.

Bangsa yang pernah melahirkan orang-orang besar, seperti Kong Hu-Cu,


Lao Tze. Bangsa yang begitu hebat etos kerjanya sehingga di seluruh
dunia ada China Town.
Bangsa yang menguasai ekonomi di Indonesia. Satu-satunya bangsa kulit
berwarna yang masih disegani oleh negara adi kuasa.
Dan aku tidak takut dianggap China.
Kenapa takut?
Memang banyak warga negara keturunan yang menjadi korban pemerasan,
kekerasan, perlakuan tidak adil, dan kekejian. Banyak orang masih
memperlakukan keturunan China sebagai warga negara kelas dua. Seakan-
akan kami tidak sepenuhnya dilindungi oleh hukum. Bahkan, banyak para
pejabat dan petugas negara yang memanfaatkan opini masyarakat itu
untuk memeras kami.
Tetapi itu memang nasib warga negara keturunan di mana-mana. Sekarang
perlahan-lahan semua itu sudah menantang kami warga keturunan menjadi
ulet sehingga berjuang dengan tenaga lebih. Karena itu banyak yang
berhasil, bahkan terlalu sukses.
Orangtuaku memang perkecualian. Walaupun aku kira mereka bekerja
sama uletnya dengan warga keturunan yang lain, lebih keras dan lebih
lama, nasibnya tak bergerak.
Sudah lebih dari 20 tahun kami tercampak di lingkungan kumuh ini.
Teman-teman Papa, banyak yang sudah jadi orang kaya. Mereka kadang-
kadang bertanya dengan heran, apa sebabnya Papa bertahan tinggal di
tempat yang tidak hoki ini.
Kami disuruh pindah ke dekat daerah huniannya untuk diberikan,
dicarikan kesempatan hidup lebih enak. Tapi Papa menolak.
“Aku tidak mau mereka menolongku karena belas kasihan. Bukan salah
mereka menjadi kaya dan bukan dosa mereka kita ini miskin. Mereka
tidak perlu merasa berkewajiban membantu kita,” kata Papa.
Mama jengkel sekali oleh alasan Papa itu. Mereka lalu bertengkar.
Pertengkaran itu begitu kerasnya sehingga akhirnya keduanya terpaksa
mengambil jalan yang tidak menyenangkan. Mereka berpisah.

Aku pun jadi rebutan. Tetapi entah kenapa, Mama akhirnya melepaskan
aku ke tangan Papa. Itu sebabnya aku hidup bersama Papa sampai
sekarang.
Baru belakangan ini aku tahu, mengapa Papa menolak pertolongan
sahabatnya.
“Aku tidak menolak,” kata Papa dengan suara dingin, “aku tidak cukup
sombong untuk menolak tawaran yang dapat membuat hidup kita lebih
baik. Bahkan, aku sendiri yang sebelumnya meminta, mengimbau, bahkan
memohon kepada mereka. Aku bilang, kalau aku diberikan sedikit
pinjaman modal yang bisa aku kembalikan sekitar 10 tahun nanti, aku
akan sangat berterima kasih. Tapi dia menolak. Dia tidak mau
meminjamkan. Dia ingin memberikan, tapi meminta lebih banyak. Dia
suruh aku bekerja untuk usaha perjudiannya. Tentu saja aku menolak. Aku
ini dagang tahu, bapakku, kakek kamu, juga tukang tahu. Tapi tahu kami
adalah tahu yang disukai semua orang. Aku ingin menghidupi keluargaku
dari tradisi membuat tahu itu. Aku tidak mau jadi bandar judi, apalagi
bandar narkoba. Itu yang membuat dia marah sehingga aku dijauhi.”
“Tetapi kenapa Papa menceraikan Mama?”
“Jangan salah. Bukan aku yang menceraikan Mama, tapi Mamamu yang
menceraikan Papa. Dia tidak tahan hidup sebagai tukang tahu. Dia ingin
menikmati masa tuanya dengan enak. Lalu dia kawin dengan bekas
temannya di SD, tetapi sekarang sudah jadi orang kaya sekali. Mama
kamu tidak salah pilih. Suaminya tidak hanya berduit, tetapi juga baik. Dia
mencintai Mama kamu. Sekarang aku baru mengerti bahwa aku sudah
memperlakukan dia kurang semestinya, padahal aku sangat mencintai dan
menyayanginya. Mestinya aku mencukupi batinnya menurut ukuran
kebahagiaannya, bukan ukuranku sendiri. Ternyata aku sudah terlalu
egois. Seluruh penyesalanku itu lalu aku tumpahkan untuk membesarkan
kamu dengan kasih sayang.”
“Tapi kenapa Mama tidak pernah menjengukku kemari?”
“Karena dia tahu, itu akan bisa merusak ketenanganku. Dan mungkin juga
mengubah perasaanmu.”
“Aku tidak akan berubah.”
“Kalau kamu lihat pakaiannya, rumahnya, mobilnya, kartu kreditnya,
anak-anaknya, adik tiri kamu, dan kebahagiaannya, kamu pasti akan goyah
dan berubah. Perubahan yang sesungguhnya wajar dan baik untuk kamu,
tetapi jelas tidak akan menguntungkan aku. Dari situlah aku belajar hal
yang lain lagi tentang ibu kamu. Setelah membenci dia sebagai istri yang
berkhianat selama puluhan tahun, kini aku sadar bahwa Mama kamu
sangat memperhatikan perasaanku, sangat menghiraukan kebahagiaanku.
Bukan kebahagiaan hari tuanya yang dia pikirkan, tetapi kebahagiaanku
dan kebahagiaanmu. Berarti sebenarnya dia benar-benar sangat
mencintaiku sampai ke sumsumnya. Harusnya dulu dia kupertahankan
mati-matian. Pastilah dia sangat kecewa, karena aku tidak sungguh-
sungguh berusaha untuk menghalang-halangi maksudnya untuk bercerai.
Seandainya saja aku tahu lebih dahulu ….”
Papa tidak bisa melanjutkan. Dia menangis. Untuk pertama kalinya aku
lihat orang yang kuhormati, kucintai, dan kupuja sebagai orang kuat itu,
menjadi lemah dan cengeng.
Aku ikut menangis karena terharu.
“Karena itulah, aku minta kamu jangan mengulangi kesalahan Papa,” kata
Papa selanjutnya, “maksudku, jangan hanya melihat segala sesuatu dari
sudut kepuasanmu sendiri. Dari semata-mata perasaan! Tapi pakai otak.
Lihat ke depan dengan obyektif. Hidup yang sebenarnya tidak hanya
perasaan, tapi juga memerlukan banyak hal. Tidak hanya sekadar cukup
sandang-pangan dan papan. Kita memerlukan rumah yang baik dengan
isinya yang juga bagus. Kita perlu telepon, mobil, dan simpanan uang di
bank supaya tidak kelabakan kalau ada resesi. Kita memerlukan
kehormatan agar orang menghargai kita. Dan itu hanya mungkin kalau
kita punya uang.”
Lalu papa memandangku dengan tajam.
“Jadi Nio, semasa kamu masih muda dan kuat, apalagi cantik seperti ini,
jangan sia-siakan kesempatan. Cari uang sebanyak banyaknya!”
Aku kaget. Seperti mendengar suara aneh yang tidak pernah bisa aku
mengerti. Dan tiba-tiba saja aku kehilangan seseorang yang sebelumnya
begitu kuhargai, kukagumi, dan kucintai.
Papa berubah. Setelah mencapai usia senja, ia tidak lagi idealis. Ia menjadi
orang biasa yang menyerah kepada kebutuhan materi.
Apalagi kemudian ia melarangku untuk menari.

“Tak ada orang bisa kaya karena menari, buat apa kamu capek-capek
menari, Nio?” katanya dengan ketus, “Hentikan kegiatan yang sudah
menghabiskan waktu dan uang itu. Cari pekerjaan di perusahaan-
perusahaan asing yang bisa menggaji dengan dollar, atau kerja di
perbankan. Balikkan hidup kita yang seperti kapal kandas ini. Tarik aku
kepada kehidupan yang terang-benderang supaya aku tidak malu kepada
mamamu. Buktikan bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bergelimang
uang, kita juga mampu!”
Tak cukup dengan melarang menari, Papa juga kemudian mau
menjodohkan aku dengan anak seorang importir mobil.
“Robert akan mewarisi semua kekayaan orangtuanya. Meskipun dia
sudah punya istri, tapi dia bersedia menceraikan istrinya, asal saja kamu
mau menjadi penggantinya. Dia sudah melihat foto kamu,” kata Papa
dengan gembira.
Lalu Papa memaksaku berkenalan dengan Robert. Kemudian
memerintahkan juga aku untuk bertindak genit di depan Robert supaya
imannya gugur, agar ia cepat-cepat menendang istrinya yang sudah punya
lima anak.
Bahkan, pada suatu ketika, seperti barang, aku diserahkan bulat-bulat
kepada keluarga Robert untuk dijadikan apa saja, tanpa persetujuanku.
Di situ kesabaranku habis. Aku merasa terhina. Dengan hati hancur,
kutinggalkan rumah. Aku lari ke Jakarta. Bukan karena aku mau
mengingkari diriku sebagai anak tukang tahu, tapi karena aku tidak mau
membalas jasa orangtua dengan cara yang sekeji itu.
Akibat tindakanku itu, Papa sakit hati. Ia mengutuk dan menganggap aku
berkhianat seperti Mama.
“Aku besarkan kamu dengan seluruh kasih-sayangku. Sekarang,
nasihatku yang semuanya untuk kebaikan kamu sendiri, kamu tolak. Anak
yang tidak tahu berterima kasih! Persis seperti Mama kamu! Betina liar!
Pergi, ikuti jejak Mama kamu dan jangan coba-coba kembali pulang!
Jangan kamu kira aku akan mencarimu. Bagiku kamu sudah mati. Sama
dengan Mama kamu!” Hancur seluruh batinku mendengar vonisnya. Aku
bimbang.

Apakah aku harus pulang untuk menyelamatkan perasaannya, tetapi


menghancurkan diriku? Atau aku hancurkan Papaku sendiri yang tidak
memiliki apa-apa lagi selain diriku, hanya untuk mencapai kebahagiaanku
sendiri, seperti Mama dulu?
Apakah Papa akan punya waktu kelak untuk mengatakan bahwa segala
yang kulakukan ini adalah yang terbaik, seperti yang dilakukannya
terhadap Mama?
Aku selalu berharap dan berdoa agar satu ketika dia akan sadar bahwa aku
memiliki visi kehidupan yang berbeda dengannya. Bahwa ini riwayatku,
bukan riwayatnya lagi!
Aku menjadi penari bukan karena aku ingin kaya, tapi karena tubuhku
ingin menari. Jiwaku ingin menempuh irama. Bahkan, aku bersedia
membayar semua itu dengan melakukan pekerjaan lain. Tetapi bukan
dengan cara merebut suami orang lain. Bukan dengan cara membuat anak-
anak itu mengutukku sudah merampok kebahagiaan mereka.
Hampir tiga tahun aku hidup di Jakarta. Aku berusaha menjadi penari dan
hidup dari menari. Aku memberikan kursus dan menari kalau dipesan.
Tapi banyak sekali penari di Jakarta. Dan aku tidak hoki seperti juga
orangtuaku.
Hidupku sangat pas-pasan. Akhirnya untuk bertahan dan sedikit lega
bernapas, aku mulai menari di kelab malam.
Hari pertama sangat menyiksa. Aku merasa hina. Seluruh diriku rasanya
diperkosa. Tetapi kemudian malam-malam berikutnya semuanya mulai
terbiasa. Apa salahnya menari di kelab? Aku hanya menjual tarian, bukan
menjual tubuh. Harga diri dan kehormatanku masih utuh.
Dengan pikiran seperti itu, aku jalan terus.
Rezeki mulai naik. Uang yang kukumpulkan sudah bisa dipakai untuk
mencicil mobil. Aku sekarang mengerti bahwa mobil bukanlah sebuah
kemewahan, tetapi hanya alat untuk bekerja. Dengan mobil itu, aku
merasa aman pulang dan pergi kerja sampai subuh.
Sementara para tetangga pun mulai sedikit menghargaiku meskipun
banyak yang menduga mobil itu hasil hidupku sebagai perempuan piaraan.

Ketika tabunganku membengkak, aku rencanakan akan meninggalkan


hidup sebagai penari kelab. Aku akan membuat studio dan meneruskan
karierku sebagai penari yang sebenarnya. Mungkin dikombinasikan
dengan membuka warung. Nanti setelah jalan baik, aku akan pulang dan
minta maaf kepada Papa.
Tapi sebelum semua itu terjadi, pecah kerusuhan. Lingkungan yang
kuhuni ikut serta jadi sasaran. Massa yang liar datang bagaikan air bah.
Dengan muka yang ganas, mereka menyerbu. Penduduk dipukuli. Rumah
dimasuki. Barang-barang dijarah. Mobilku dibakar. Dan aku sendiri yang
sedang berada di kamar mandi ditarik keluar, lalu diperkosa beramai-
ramai.
Tak ada yang menolongku. Aku bangkit sendiri dengan air mata dan
darah. Badanku yang pegal linu dan ringsek dengan susah-payah
kuangkat. Seorang tukang becak yang tua, baik hati, lalu mengantarkan
aku ke puskesmas. Dari sana aku dibawa ke rumah sakit. Dan di rumah
sakit, aku diselamatkan, tetapi diancam.
Tak boleh mengatakan apa pun yang terjadi kepada siapa-siapa.
Anak kecil yang tadi kau lihat menyanyi dan menari di depan televisi itu
adalah akibat dari peristiwa itu. Tidak seorang pun yang mengerti,
mengapa aku membiarkannya lahir. Aku pun tidak.
Mungkin anak itu sendiri yang sudah memaksaku untuk melahirkannya.
Untuk menjadi sebuah monumen, betapa biadabnya manusia kalau sudah
dimasuki setan.
Namaku Nio.
Tapi aku lebih suka dipanggil Nia.
Bukan karena aku menolak siapa diriku. Bukan karena aku benci kepada
orangtuaku. Bukan karena aku ingin melupakan sejarahku.
Tetapi karena aku orang Indonesia. Pengakuan itu berhenti di situ.
Aku sudah menuliskannya semalam suntuk setelah mendengar pengakuan
Nio. Dengan perasaan penuh simpati, kubawa tulisan itu ke rumahnya. Ia
sedang berbaring sakit. Lalu kubacakan semuanya dengan suara yang
penuh haru.

Begitu selesai, aku memandang matanya. Berharap ia akan memberikan


aku pujian, karena aku sudah mewakili dirinya.
Tetapi Nio menggeleng.
“Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti …,” kata Nio lirih.
Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan
Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri,
menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel
dan lakon.

***

Sejarah
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 25 September 2016)
Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku lahir. Aku ingin berenang,
tenggelam dalam sejarah. Agar aku tahu arah yang benar dalam
meneruskan langkah.
Sejarahku mentok, berhenti sebelum aku lahir. Jadi biar pun sejarahku
ngelotok, sampai tahu berapa ekor nyamuk sudah terbunuh dalam kamar
ini, aku tetap saja buta ke masa lalu. Maka terus-terang sejarahku tidak
afdol. Dan itu membuat panca inderaku cacat. Timpang.
Mataku, kupingku, mulutku, alat peraba, penciuman, terutama perasaanku
tidak komplit. Semua yang tertangkap jadi tidak bulat, lengkap, tuntas,
tapi hanya sebagian-sebagian. Bahkan celakanya, tak jelas, itu sebagian
besar atau sebagian kecil?
Karena itu tolong las bolong-bolongku! Tambal, sulam, supaya air yang
kuciduk tidak berceceran dan akhirnya sudah capek-capek turun ke
lembah, mendaki bukit bawa air untuk menyirami tanaman di kebun,
sampai di rumah emberku kosong. Semua akan marah. Aku bisa frustrasi
dan seluruh tanamanku terancam mati.
Jadi ayolah, ceritakan sejarah yang lengkap, jangan ada yang ketinggalan.
Jangan ada yang ditutup-tutupi. Sejarah bukan cerita fiksi untuk
menobatkan seorang pelaku jadi pahlawan. Juga bukan sebaliknya!
Sejarah bukan tuduhan jaksa untuk menyeret seorang bandit narkoba ke
vonis pidana mati.
Sejarah biarkan jadi sejarah saja. Jangan diubah, direnovasi, dipugar atau
dimanfaatkan untuk keperluan lain. Biarkan sejarah tetap bagai bianglala
peristiwa, prisma berwarna Newton, supaya jadi cermin putih yang
mampu menampilkan bayangan semua orang dengan jujur tak memihak.
Ayo cepat, jangan tunda-tunda lagi! Tuturkan sejarah selengkapnya
dengan sederhana, apa adanya. Jangan didandani dengan emosi. Jangan
meniru gaya para pembawa berita di TV swasta yang sudah membawakan
berita yang ditulis menurut kemauan pemilik TV dan dibaca dengan ironi
yang sudah dipesan untuk kemenangan kompetisi politik.
Paparkan saja sejarah seadanya. Biarkan pahit tetap pahit, manis terus
manis, lepas saja apa adanya. Tak perlu dikomentari, jangan dipandu
dengan interpretasi.
Sejarah bukan orang jompo, bukan orang stroke, bukan tunanetra yang
harus dibantu perawat. Sejarah akan bergerak menurut kodratnya sendiri.
Tak perlu ditata dulu jadi puisi supaya menggigit. Atau dibalut pesan
moral supaya beriman. Karena itu bukan nantinya mencuci tapi
melumpuhkan saraf.
Silakan mulai, mulai saja tuturkan tanpa seremoni. Biarlah sekarang aku
diguyurnya, sebelum keadaan parah, sebelum, sebelum, ya, ya mulai saja,
mulai saja begitu, aku dengar sembari aku mulai tidur, grrrrrr grrrr grrrrr,
grrrrr gerrrr….
2.
Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil. Aku bisa melihat tapi
terbatas. Mendengar juga cuma sepotong. Aku tak bisa menyimpulkan.
Jadi catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang. Kalau takut, mata
aku pejam, ibulah yang lebih tahu. Sejarahku pun pincang sebatas yang
ingin kulihat, yang terpaksa aku dengar.

Aku juga tak percaya kenapa hidup lebih menakutkan dari mimpi. Dikejar
setan dalam tidur, aku bisa meloncat bangun dan setannya tak bisa
memburu keluar. Tapi dalam kejadian nyata, kalau mau lari, kemana?
Jadi lebih baik kulupakan saja kejadian pagi itu. Kuanggap seperti tak
pernah terjadi. Karena aku tak mengerti.
Aku bingung. Bapak yang selalu mengurut kakiku sesudah seharian
mengejar capung di lapangan, subuh itu ditarik keluar rumah.
Aku bangun, tapi ibu memegang tanganku, menutup kepalaku dengan
selimut. Tapi waktu dia mengintip keluar dari kisi-kisi dinding, aku ikut
ngintip.
Lalu kulihat bapak berlutut di halaman. Kakek mengangkat kelewang dan
aku tak sadarkan diri. Waktu aku buka mata lagi, aku tak pernah lagi lihat
bapak.
Ibu bilang bapak sudah berangkat jauh, terlalu jauh, mungkin tak kembali
sampai kamu lahir, besar, dan katanya juga, mungkin sesudah aku dan
kamu berkeluarga, kita semua akan menyusul. Kata ibu, bapak akan
menunggu di situ.
Kalau belum jelas, tanya Ibu. Tapi hati-hati nanya, nanti dia nangis. Kalau
aku nanya lagi, dia pasti marah. Tanyakan kenapa kakek memenggal
kepala bapak?

3.
Anakku, kebetulan kamu nanya. Memang Ibu mau bercerita. Tetapi
dengarkan saja, jangan menyela, jangan banyak bertanya.
Di dalam kehidupan tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Ada yang
terpaksa kita biarkan karena jawabannya bertentangan dengan tetangga.
Kalau dijawab, kita akan bertengkar. Padahal bagaimana kita hidup tenang
kalau tidak rukun dengan tetangga?
Mereka juga begitu. Kita wajib menjaga perasaan masing-masing. Jadi
nanti kalau setelah mendengar cerita ini kamu mau bertanya, tanya saja
hati kamu. Atau tanya kawan-kawanmu sendiri yang sekiranya akan mau
memberikan jawaban.
Jangan bertanya karena ingin menuntut keadilan. Jangan berperkara di
masyarakat. Itu tempatnya di pengadilan. Bertanya itu untuk mendengar
cerita, jangan menuntut apa-apa.
Sudah bukan zamannya.
Bapakmu sebelum pergi, minta maaf atas kesalahannya. Karena ia lebih
memikirkan partai. Lupa kamu yang ada dalam kandungan ibu, adalah
juga kewajibannya.
Sebagai bapak aku wajib untuk mengantar anakku tumbuh sampai dewasa,
katanya. Sampaikan nanti, kalau dia sudah besar, aku minta maaf, katanya.
Sekarang aku permisi pergi duluan karena aku sudah dijemput.
Usahakanlah dengan segala cara asal benar, supaya mereka, maksudnya
kamu dan kakakmu, mendapat pendidikan yang baik, sehingga nanti dia
bisa mengerti sendiri apa yang sudah terjadi.
Teman-teman lain sudah duluan berangkat. Aku ini yang terakhir.
Sebenarnya mereka tidak berniat memberangkatkan aku. Karena mereka
tahu, kau sedang mengandung. Tetapi tetangga kita itu, yang pintar cari
muka, menunjuk-nunjuk siapa yang harus dijemput, maksudnya supaya
dia sendiri tidak dijemput.
Katakan padanya nanti kalau sudah besar, katanya sambil menyentuh
perutku, maksudnya kamu, supaya dia belajar saja jadi orang biasa, jangan
ikut-ikutan politik.
Sampai di situ, lalu datang bapaknya, kakekmu. Mereka bicara, aku tidak
tahu apa yang mereka katakan. Tapi aku lihat keduanya menangis, lalu
pelukan. Sesudah itu ibu pingsan.
Jangan percaya omongan orang. Bukan kakekmu yang membunuh
bapakmu, itu bohong!
4.
Cucuku, sekarang umurmu sudah cukup untuk bertanya. Hanya aku masih
ragu, apa kamu sudah siap untuk mendengar.
Sejatinya mendengar tak selalu menunggu umur atau disiagakan oleh
umur. Utamanya dalam mendengar adalah batinmu sendiri terbuka. Hati
nuranimu saja yang boleh menjawab.
Tetapi karena usiaku sudah larut senja, aku takut nanti tidak sempat. Nanti
kamu bisa terkurung dalam gelap. Terkatung-katung seperti layangan
putus. Kesana-kemari dipentalkan angin.
Kamu akan gamang antara yang bilang kakek membunuh bapakmu,
anakku sendiri. Atau kakekmu sudah berkomplot menyingkirkan lawan
politiknya, bapakmu, anakku sendiri.
Dengar baik-baik, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Simak makna
seluruh tuturanku, jangan sampai salah tangkap.
Pertama sekali yang perlu kamu ingat, kita adalah keluarga petani.
Garapan kita tanah. Milik kita atau milik orang lain, itu tidak membuat
kita jadi atau bukan petani.
Kalau kamu hidup dari kerja bertani, kamu petani. Tapi bapakmu tak
setuju. Awalnya ia petani yang rajin. Tapi setelah ketemu teman-temannya
dari kota, ia berubah.
Ia masuk partai. Kerjanya berunding, rapat tiap malam. Tak mau lagi
bertani. Karena sawah yang kita garap punya orang lain. Bangsawan puri
di kota. Petani harus punya sawah sendiri, kalau tidak punya bukan petani,
katanya.
Sejak itu, ia tidak mau lagi ke sawah. Ia jadi kader pimpinan partai. Ikut
bentrokan dengan partai lain. Ibumu dilarang sembahyang tak ada
gunanya, katanya.
Ia melarang penggarap-penggarap tanah tunduk pada pemilik tanah. Nanti
kalau waktunya sudah tiba, tanahnya akan kita bagi, orangnya kita
sembeleh! Revolusi harus memenangkan rakyat jelata, kaum borjuis,
feodal, kita bakar!
Bapakmu jadi beringas dan ditakuti. Kakek pun dia musuhi dianggap
antek feodal. Dia berani karena Gubernur yang satu partai,
mendukungnya.
Desa kita waktu itu kisruh dicekam ketakutan. Warga terbelah. Dalam
keluarga ada permusuhan. Orang curiga-mencurigai. Kalau ada yang
meninggal tidak lagi saling menyambangi.
Lalu hari yang berdarah itu tiba. Siang jadi malam. Malam jadi siang.
Yang dulu ketakutan berbalik jadi menakutkan.
Subuh itu, sejumlah pemuda muncul. Mereka datang baik-baik meminta
bapakmu merelakan pergi jauh selamanya. Mereka minta nyawa bapakmu.
Bapakmu paham. Aku pun terpaksa paham.
Keadaan pagi itu sungguh aneh. Bapakmu minta jangan orang lain, tapi
aku yang harus melakukannya, sebab akulah yang memberinya hidup.
Aku tak mampu menerima tugas itu, tapi bapakmu meminta sungguh-
sungguh karena ia tidak mau dibunuh tapi diantarkan oleh bapaknya
sendiri, aku. Waktu aku ayunkan kelewang itu, aku sedang membunuh
diriku sendiri.
Ya, pagi itu, sebenarnya kakek sudah mati. Anak yang bertahun kutunggu,
kurawat, kegendong ke mama pun pergi, kududukkan di punggung sapi
waktu membajak sawah, harus kuhabisi. Tas.
Bapakmu pergi dengan damai di tanganku yang bukan membunuhnya tapi
mengantarnya. Tapi aku tak bisa memaafkan diriku. Begitu banyak yang
terjadi di hari-hari itu yang tak akan bisa kita mengerti.
Karena itu menanggapinya dari jauh, seperti sekarang, memerlukan jiwa
yang besar. Jangan biarkan peristiwa itu jadi lingkaran setan. Paham?
Peristiwa itu jadi sejarah hitam kita bersama.
Aduh, kakek tak kuat lagi. Cerita subuh itu menggelapkan hidup kakek.
Semoga kamu bisa menerimanya dengan batin yang bijaksana. Jangan
biarkan lingkaran setan itu lebih panjang.
Sekarang berpulang kepadamu. Paham? Aduh ini, kamu bagaimana? Kok
grrr, grrr, molor! Bangun! Katanya mau dengar sejarah.
5.
Di dalam kemerdekaan, ternyata masih ada ketidakmerdekaan. Di dalam
ketidakmerdekaan ada pembunuhan tanpa peradilan. Apakah betul kita
sudah merdeka? Kalau sudah, aku menggugat, adili semua pembunuhan.
Termasuk pembunuh bapakku! Seret tangan-tangan kotor. Minta maaf
kepadaku, bapakku sudah dieksekusi tanpa peradilan! Bangsa yang tidak
tahu sejarah adalah bangsa keblinger! Orang yang tidak peduli sejarah
adalah tukang molor dan anarkis yang harus disikat habis!! (*)

Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari
pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari
SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, ia pindah ke Jakarta. Pernah
menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan
Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen,
esai, novel, dan lakon. Sejak akhir 2012 aktif melukis. Ribuan cerpen dan
puluhan novel sudah lahir dari tangan Putu. Beberapa novel dan karya
dramanya mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.

***

Petisi
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2016)
Seorang lelaki setengah baya mendesak bertemu Amat. “Saya mau
mengadukan nasib saya, Pak Amat. Saya dipecat dari pekerjaan saya.
Apakah itu adil?”
Amat terkejut. Bukan karena dia ditanya tentang sesuatu yang tidak dia
ketahui dari orang yang tak dia kenal, tetapi, “kenapa orang itu memilih
Bapak untuk dilempari curhatnya,” sambat Amat pada istrinya setelah
orang itu pergi.
“Mungkin atas nasihat para tetangga kita, Pak!”
“Tapi Bapak kan bukan aktivis pergerakan buruh? Bukan pemimpin
buruh, bukan anggota serikat buruh. Juga bukan pengamat sosial? Dengar-
dengar sih, orang itu entah sudah dipecat atau akan dipecat, karena banyak
bolos dengan alasan kerja adat.”
“Justru karena itu!”
“Maksudnya?”
“Supaya dia cepat pergi, karena Bapak tidak tahu soal-soal perburuhan!”
“Makanya!”
“Makanya kalau ngomong dengan Pak Made, hati-hati. Sudah tahu
orangnya jahil. Beliau kan musuh kita sejak pemilu, kan! Jangan sok
membela rakyat kecil! Pak Made kan tangan kanan Bosnya yang sering
memecat karyawan kalau ada yang terlalu pinter. Karena sudah rahasia
umum, Pak Made sendiri takut kedudukannya akan digeser. Untung Bapak
tadi tidak menanggapi, jadi dia cepat pergi.”
“Lho salah! Orang itu memang sudah pergi sekarang, tapi besok dia akan
datang lagi membawa 50 orang teman buruhnya yang juga di-PHK.”
Bu Amat terkejut.
“Aduh Ratu! Mau datang lagi dengan 50 orang? Kenapa?”
“Sebab Bapak bilang akan coba ikut mencarikan solusinya yang terbaik.”
Bu Amat tercengang.
“Apa?! Jadi Bapak mau ikut-ikutan demo buruh?”
Amat kaget.
“Demo? Oh, tidak! Hanya memberi pemikiran bahwa….”
Bu Amat langsung memotong.
“Tidak! Jangan! Bapak tidak usah ikut-ikutan mau demo! Kita semua ini
buruh, tapi bukan buruh yang maksa menang dengan demo! Kita sudah
tua, tahu! Tahu diri sedikit. Itu artinya Bapak mau dipergunakan tahu?!
Sadar tidak, ah?!”
Amat terdiam. Semalaman dia tidak bisa memicingkan mata. Esoknya,
pagi-pagi betul, bersama istrinya ia meninggalkan rumah.
“Pak Amat dan istrinya mendadak harus pulang kampung, karena
persoalan keluarga yang harus diselesaikan cepat, Pak,” kata Pak Alit yang
dititipi Amat rumah, kepada tamu yang sejak pagi sudah muncul. “Kalau
Pak Amat tidak lekas pulang, akibatnya akan fatal. Beliau bisa dikeluarkan
dari krama-desa!”
Buruh yang dipecat itu hanya datang ditemani 5 orang rekannya yang
sama-sama akan dipecat. Mereka nampak kecewa berat.
“Berapa lama kira-kira beliau mudik?”
“Wah itu kami kurang tahu, Pak.”
“Tapi saya sudah janji kemaren. Bagaimana kalau kami tunggu, sebab
kami harus bertindak besok? Kami perlu mengatur strategi. Beliau sudah
bersedia mengatur taktik dan strateginya!”
Pak Alit terkejut
“Maaf, bapak-bapak ini siapa?”
“Kami buruh karyawan pabrik tekstil kepunyaan orang Korea yang ada di
beberapa kota. Bandung, Semarang, Surabaya, Jakarta dan Denpasar. Ini
rekan-rekan saya pimpinan karyawan setempat. Kami akan bergerak
serentak besok untuk menyampaikan petisi anti PHK dengan alasan
perampingan karyawan. Karena itu tanpa ada rembugan dulu dengan
kami. Kami menunggu petisi yang dijanjikan Pak Amat. Jadi kami akan
tunggu saja, beliau pasti kembali, sebab kalau tidak ada petisi, gerakan
kami hanya berhenti sebagai aksi. Padahal maksud kami bukan itu. Kami
mau mencegah agar pihak majikan tidak berani berbuat seenaknya di masa
depan terhadap bangsa kita, mentang-mentang kita miskin. Ini kan negeri
kita? Kenapa mereka jadi tuan di negeri kita?”
Pak Alit hanya bisa manggut-manggut. Dalam hatinya heran juga
mendengar Amat mulai terjun pada aksi massa.
Lima hari kemudian Amat pulang. Itu pun setelah berkali-kali
menanyakan lewat telepon, apakah para buruh yang akan di-PHK itu
sudah pergi.
“Ya, Pak Amat,” jawab Pak Alit, menenangkan. “Mereka esoknya pagi-
pagi sudah pergi semua. Kelihatan kecewa sekali. Aksi yang mereka
rencanakan dibatalkan!”
“O, ya? Kalau begitu mereka marah dong?”
“Sama sekali tidak!”
“O, ya? Masak?”

“Ya! Kata mereka, mendengar mau didemo, majikan memutuskan


membatalkan pemecatan karyawannya. Ya, betul. Aman, Pak Amat!
Bapak boleh pulang! Mereka malahan titip pesan berterimakasih pada Pak
Amat! Karena Pak Amat sudah memberikan mereka petisi. Ya!”
Amat dan istrinya tiba kembali di rumah dengan wajah berseri-seri. Amat
seperti melihat sinar kagum di mata para tetangga yang membuat ia
bangga. “Usia tua ternyata tak menghambat kita untuk ikut berjuang jadi
pembela rakyat kecil yang tertindas,” bisik Amat pada Pak Made.
Tapi begitu masuk rumah, Bu Amat menjerit. Seluruh barang berharga
ternyata sudah disikat ludes.
Amat rontok. Bu Amat habis-habisan menyesali suaminya.
“Inilah akibatnya kalau sudah tua bangka, masih aksi-aksian revolusioner.
Mau disanjung, nyatanya buntung!”
Merasa bersalah, Amat diam saja. Tetapi di dalam hati. Ia masih berkilah,
“Jadi pahlawan memang tidak mudah, harus berani dan rela banyak
berkorban!”
Untuk menutupi rasa malu, Bu Amat sendiri, berpura-pura tak ada apa-apa
yang terjadi. Amat dilarang lapor polisi. Tetangga pun dikadali dengan
pura-pura bersemangat mendukung perjuangan buruh.
“Kita semuanya adalah buruh. Perjuangan buruh adalah perjuangan kita!
Saatnya sekarang tidak boleh tutup mata. Jangan biarkan para juragan
kaya itu menggoreng bola. Kita harus ikut main, jangan cuma jadi
penonton!” celoteh Bu Amat ke tetangga, seakan sedang meneruskan
riwayat hidup barunya sebagai pemerhati keadilan.
Dilalah, Ami, putri tunggal Amat, berkoar ke tetangga. Tak sengaja,
membocorkan rahasia perusahaan.
“Lho, Bu, kata saya kaget,” cerita Ami pada Pak Made, “hadiah
jambangan bunga porselen dari kami untuk ulang tahun pernikahan bapak-
ibu, kok ada di pasar loak? Lihat grafirnya yang dikutip dari sajak John
Confort masih jelas: ingatlah segala yang baik dan cintaku yang kekal.
Langsung Bli Sugi, suami saya beli lagi. Lalu saya marahin Bapak saya.
Pak, kalau lagi kesulitan, jangan jual hadiah dari kami, terus-terang saja.
Kami juga tahu, Bapak baru saja kemalingan habis-habisan. Terus-terang
saja, semuanya akan lebih mudah! Orang kemalingan itu soal biasa. Bali
bukan surga, di sini juga ada maling dan penipuan! Makanya jangan suka
terima tamu yang tidak dikenal!”
Pak Made cekikikan lalu nyentil
“Rasain! Makanya, kalau sudah tua, jangan coba-coba ikut-ikutan main
petisi-petisian! Mau jadi pahlawan kesiangan apa?!”
“Petisi-petisian apa, pak Made?”
“Lho belum tahu toh? Bapakmu itu kan makelar petisi! Makanya banyak
orang jadi antipati. Ya dikerjainlah!”
Ami bingung.
“Maksud Bapak?”
Pak Made hanya ketawa. Meskipun di desak, ia tak mau menjawab.
“Anehnya, saya kok lihat Pak Made pakai cincin batu akik persis akik
yang Bli berikan dulu kepada Bapak sebagai oleh-oleh waktu pulang dari
Bandung!” kata Ami kemudian mengadu pada suaminya.
“Kenapa tidak ditanyakan saja, langsung?”
“Bukan hanya ditanyakan, saya permisi mencoba memakainya, sebab dia
bilang, cincin akik itu dia beli di pinggir jalan. Saya curiga. Tidak
mungkin! Dan ternyata waktu saya coba, di ikatannya ada grafir letter A.
Itu pasti akik yang kita beli untuk Bapak. Yang lebih mencurigakan lagi,
beberapa hari kemudian saya lihat putra Pak Made memakai cincin itu!
Waktu saya puji itu akik bagus yang harganya bisa ratusan juta, dia bilang
cincin itu nemu di jalanan. Aneh sekali, kan? Apa??”
Tak sampai sebulan kemudian, muncul lagi orang lain ke rumah Amat.
Kali ini seorang anak muda yang mengaku mau di-PHK, karena
dijebloskan kawannya. Dia yakin itu rekayasa.
“Minta tolong Pak Amat, saya dibantu, jangan sampai saya dikeluarkan.
Saya siap mengganti uang kas kantor yang tak sengaja saya pakai gara-
gara saya pinjam, untuk menolong teman, melunasi hutangnya yang
terjadi karena dia kena tipu. Tapi nyatanya dia sendiri yang penipu. Saya
yakin itu rekayasa perusahaan, karena jabatan saya diincar, mau diberikan
familinya. Teman-teman saya sudah siap mau bergerak mendukung saya.
Untuk itu kami perlu petisi. Kata Pak Alit, Pak Amat pinter bikin petisi!
Pak Made juga menyarankan, konsultasikan ke Pak Amat saja!”
Amat langsung menjawab. “Kamu tak perlu petisi. Terima saja hukuman
itu sebagai pendidikan moral supaya kamu jera. Itu namanya korupsi. Ajak
ke-50 temanmu yang mau demo itu, berunding dengan Pak Made. Beliau
ahli rekayasa. Di rumah saya ini tidak ada lagi jambangan bunga porselen
dan cincin akik yang berharga ratusan juta!”
Anak muda itu bengong. (*)
Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan
Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri,
menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel
dan lakon. Sejak akhir 2012 aktif melukis. Bersama istri (Dewi
Pramunawati dan putranya, Taksu Wijaya) kini tinggal di Perum Astya
Puri 2, Blok A9, Jalan Kertamukti, Cirendeu, Ciputat, Tangsel, yang juga
jadi markas Teater Mandiri. Ribuan cerpen dan puluhan novel sudah lahir
dari tangan Putu.

***
PROTES
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 23 November 2013)

Orang kaya di ujung jalan itu jadi bahan gunjingan. Masyarakat gelisah.
Pasalnya, ia mau membangun gedung tiga puluh lantai.
Ia sudah membeli puluhan hektar rumah dan lahan penduduk di
sekitarnya. Di samping apartemen, rencananya akan ada hotel, pusat
perbelanjaan, lapangan parkir, pertokoan, kolam renang, bioskop, warnet,
kelab malam, dan kafe musik.
“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya, uang saya?” kata
Baron sambil senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif, kan?! Ini,
kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Jadi
karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang
bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga
lahan akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya
masyarakat berterima kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-
kusuk! Bilang kita merusak lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba
renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua ini, kan, ada aspek sosialnya!
Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak bertentangan dengan
Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang
sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut
serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu,
kan, watak pemalas. Karakter orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun
merdeka. Kita harus membina karakter kita. Arti kemerdekaan adalah:
sejak detik merdeka itu, nasib kita ke depan adalah tanggung jawab kita
sendiri. Kalau kita mau hidup layak, harus bekerja. Kalau mau maju, harus
membangun. Kalau mau membangun, buka mata, buka baju, buka sepatu,
buka kepala batu, singsingkan celana, bergerak, gali, cangkul, tembus
semua barikade, jangan tunggu perintah. Tidak ada yang akan memerintah
kita lagi, apalagi menolong, setelah kita merdeka! Hidup kita milik kita
dan adalah tanggung jawab kita. Karena tanggung jawab kita, semua mesti
dilakukan sendiri. Hidup itu kumpulan masa lalu, masa kini, dan masa
depan seperti yang ditulis penyair WS Rendra. Semuanya harus dipikirin
dan dipikul sendiri! Itu baru namanya merdeka dalam artinya yang sejati!
Betul tidak, Pak?!”
Amat yang sengaja diundang makan malam, untuk berembuk, hanya bisa
mengangguk. Bukan membenarkan, juga bukan menyanggah. Ia baru
sadar kedatangannya hanya untuk dijadikan tong sampah curhat Baron.
“Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang yang sangat memikirkan
kebersamaan. Di hunian kita ini, rasanya makin lama sudah semakin
sumpek. Karena membangun hanya diartikan membuat bangunan.
Akibatnya sawah, apalagi taman, tergerus, tidak ada ruang bebas untuk
bernapas lagi. Hari Minggu, hari besar, hari raya, waktu kita duduk di
rumah untuk beristirahat, rasanya sumpek. Di mana-mana gedung. Burung
hidup dalam sangkar, kita dalam tembok! Tidak ada pemandangan, tempat
pandangan kita lepas. Betul, tidak? Karena itu, perlu ada paru-paru buatan
supaya hidup kita tetap berkualitas! Kan saya yang memelopori pendirian
taman, alun-alun, sekolah, dan tempat rekreasi di lingkungan kita ini.
Sebab tidak cukup hanya raga yang sehat, jiwa juga harus segar. Begitu
strategi saya dalam bermasyarakat, tidak boleh hanya enak sendiri, kita
juga harus, wajib, membuat orang lain bahagia. Dengan begitu
kebahagiaan kita tidak akan berkurang oleh keirian orang lain, karena
ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi itu, kan, begitu. Itulah
yang selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup bermasyarakat.
Tapi kok sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan
lingkungan. Ck-ck-ck! Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya
laksanakan ini, kan, bukan semata-mata membangun! Di baliknya ada visi
dan misi! Apa itu? Tak lain dan tak bukan untuk mendorong kita semua,
sekali lagi mendorong, kita semua, masyarakat semua, bukan hanya si
Baron ini. Kita semua! Supaya kita semua bersama-sama serentak, take
off, berkembang, maju, sejahtera, dan nyaman! Masak sudah 69 tahun
merdeka kita masih makan tempe terus! Lihat Korea dong, tebar mata ke
sekitar, simak Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, Central Park. Mana
ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus
itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi
masa lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar
ke atas! Itu baru layak buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-
sala-bim, abra-ca dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak
Bung! Itulah hasil kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang
seharusnya! Karena kemerdekaan membuat kita tidak puas hanya nrimo,
hanya pasrah, tapi kita harus beringas, bergegas mengusai, tidak puas
hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib banting tulang, buru, rebut,
rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan sosial kalau disikapi
dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil risiko
berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu
bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala
cara halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama
kita, ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup
udara pun mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel
bintang lima! Benar tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”

Amat mencoba untuk menjawab, sebab kalau diam-diam saja, sebagai


tamu, terasa kurang sopan. Tapi sebelum mulutnya sempat terbuka, Baron
sudah memotong.
“Ya, saya memang membangun karena punya uang Pak Amat. Tapi uang
itu bukan jatuh dari surga. Bukan menang lotre. Bukan warisan, apalagi
korupsi! Bukan dan bukan dan bukan lagi! Itu uang hasil kerja mati-
matian. Kenapa? Karena saya ingin maju. Kenapa saya ingin maju, karena
saya kerja keras! Itu lingkaran setan! Hidup harus diarahkan jadi lingkaran
setan kemajuan! Kalau mau maju, harus kerja keras. Kalau kerja keras
pasti maju! Kalau tidak begitu mana mungkin saya kaya? Tapi apa
salahnya kaya? Apa orang berdosa kalau kaya? Tidak kan??? Tidak! Tapi
sebenarnya saya tidak kaya, Pak Amat, orang-orang itu salah kaprah!
Orang kaya itu, orang yang menaburkan uangnya, di mana-mana.
Misalnya itu mereka yang bakar duit dengan merokok, main petasan,
membagi-bagikan duitnya dengan dalih demi kemanusiaan dan kepedulian
sosial, yang bikin orang tambah malas! Saya tidak, saya sangat cerewet
mengawasi tiap sen yang keluar dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk
perut saya sendiri. Kalau bisa jangan satu sen pun ada duit saya yang
keluar. Uang yang saya pakai membangun itu, bukan uang sendiri, itu
utang semua! Utang! Paham?”
“Tidak.”
“Tidak usah paham! Saya juga tidak paham! Tapi itulah faktanya! Orang
kaya itu tidak kelebihan duit! Yang kelebihan duit itu kere!? Tapi jangan
salah! Masyarakat selalu keblinger! Mereka senang bermimpi! Saya bukan
orang kaya Pak Amat. Tapi orang yang sangat kaya! Kaya utang! Apa
saya kelebihan duit? Tidak! Duit saya tidak ada! Pembangunan ini kredit
bank, jaminannya kepala saya, kepala anak-bini saya! Kalau saya salah
perhitungan, kami semua akan hidup tanpa kepala! Tapi saya tidak takut.
Yah sebenarnya takut juga. Tapi kalau kita memanjakan takut, kalau kita
memanjakan takut, kita akan ditelan iblis. Saya tidak mau ditelan mentah-
mentah. Saya yang harus menelan. Tuhan memberikan saya tangan, kaki,
badan dan otak untuk bukan, bukan saja menelan, tapi mengunyah nasib
dan iblis-iblis itu. Sehingga seperti kata pepatah: tiada batang akar pun
berguna! Ya, sebenarnya saya takut juga, Pak Amat. Siapa yang bisa bebas
dari rasa takut! Saya ini manusia biasa yang tak bebas dari takut, Pak
Amat! Tapi tidak semua takut itu jelek. Ada takut yang membuat waspada,
takut yang bikin mawas diri dan berani. Ada takut yang menyebabkan kita
tidak takut. Takut yang membuat kita menyerang garang. Takut itu tidak
semuanya takut. Takut itu penting. Asal kita tidak mabok, kapan harus
takut, kapan pura-pura takut. Kapan takut untuk nekat. Yang saya
haramkan satu: jangan jadi penakut! Karena itu pembangunan saya ini
harus dilanjutkan. Oke, sekarang Pak Amat tahu, saya kelihatannya saja
asosial, padahal saya sosialis. Amat sangat peduli sekali pada warga. Saya
ingin semua kita di sini maju. Jangan, kalau ada orang punya duit, padahal
itu karena dia banting tulang, lalu iri, sewot, sirik, menuduh orang itu
kurang peka lingkungan. Itu yang terjadi sekarang. Makanya saya ngajak
bangkit! Ayo Bung! Jangan baru bisa beli motor sudah merasa masuk
surga. Baru bisa ketawa sudah merasa dicintai Yang kuasa. Tidak! Jangan!
Banyak yang harus dicapai! Kita harus tamak! Semua orang wajib
menyadari dirinya masih kere, di jambrut khatulistiwa ini! Bangun,
marah! Jangan marah sama saya-marahi nasib! Jangan takut pada
perubahan. Takutilah takut! Ambil risiko! Perubahan itu berkah, cabut
uban, berhenti cari kutu! Aahhh, capek saya menghadapi orang-orang
kecil yang kampungan!! Risih! Mau wine, Pak Amat?”
Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak ada sisa ruang lagi
di kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di otaknya.
“Baigamana, Pak? Sudah?” tanya Bu Amat.
“Sudah.”
“Apa katanya?”
Amat bercerita mengulang seingatnya, apa yang sudah dikatakan Baron.
“Terus Bapak bilang apa?”
“Ya, tidak membantah.”
“Lho kok, tidak? Kan hajatnya ke situ mau menyampaikan protes
warga?!”
“Begini, Bu, Baron itu, ibaratnya pohon. Kalau dipangkas nanti malah
makin meranggas!”
“Tapi pesan warga sudah disampaikan, belum?”
Amat berpikir.
“Kok mikir? Sudah atau belum?”
“Ya. Tapi dengan cara lain.”
“Masudnya?”
“Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna, sebenarnya cukup masuk
akal dan bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun steak tenderloin
daging sapi impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin muntah.
Tapi buat orang yang buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin,
teh manis pun seperti air surga!”
“Dan Baron mengerti?”
“Nah itu dia. Pengertian itu relatif. Ibaratnya siaran berita. Buat pesawat
yang canggih pasti jelas, tapi buat pesawat butut, apalagi tambah cuaca
buruk, yang kedengaran pasti hanya kresek-kresek!”
Bu Amat bingung.
“Maksudnya apa?”
“Ya, seperti black campaign, di masa pemilu, buat pendukung lawan,
akan terasa fitnah keji, tapi buat pendukung yang bersangkutan, justru
lelucon segar!”
Bu Amat mulai kesal.
“Pak Baronnya nyadar tidak?”
“Nah itu masalahnya.”
“Kok itu masalahnya? Masalah apaan?”

“ Ya itu, apa si Baron bisa ngerti tidak!”


“Ya pasti harusnya ngerti, Pak! Baron itu kan bukan orang bodoh.
Katanya dia punya gelar doktor dari California, meskipun kabarnya itu
beli. Apalagi sekarang sudah terpilih jadi wakil rakyat. Tapi apa
tanggapannya pada protes kita? Masak tidak tahu, kalau apartemen,
kompleks perbelanjaannya benar-benar berdiri, pasar tradisional kita akan
mati. Ratusan orang akan kehilangan mata pencahariannya. Apalagi kalau
warnet, cafe musik dan lain-lainnya jalan, pemuda-pemuda kita akan
keranjingan nongkrong di situ ngerumpi, lihat video dan gambar-gambar
porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan tenteram ini akan ramai dan
kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak tahu, percuma bernama
Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
Amat berpikir. Hampir saja Bu Amat mendamprat lagi. Amat keburu
menjawab:
“Mungkin saja dia tidak tahu, Bu. Seperti kata pepatah: Dalam lubuk bisa
diduga, dalam ….”
“Jangan petatah-petitih terus! Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak
ngelantur ke sana-kemari menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah
akhirnya lupa apa yang harus disampaikan!”
“Kalau lupa sih, tidak. Hanya …”
“Hanya apa?”
“Dia mungkin berpura-pura tidak mengerti.”
“Tidak mungkin! Bapak belum ngomong pun, dia sudah tahu, bahwa kita,
penduduk di sini semuanya menolak!”
“Tapi harus dinyatakan dengan tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang
kita tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia mau kita bikin surat resmi, sekarang pun
bisa. Bapak bikin suratnya sekarang, nanti saya minta Pak Agus
mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau tidak mau dijitak.
Coba apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
“Semua.”
“Sudah dikatakan bawa kita semua hampir digusur dengan menawarkan
tebusan ganti rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak mentah-
mentah. Masak hunian kita mau dijadikan….”
“Dijadikan hotel dan apartemen!”
“Betul!”
“Mau dijadikan pusat perbelanjaan?”
“Betul. Sudah disampaikan juga bahwa kita warga bukan tidak bisa bikin
rumah bertingkat, tapi karena menjaga perasaan banyak warga yang tidak
mampu? Di samping itu di kompleks kita ini kan ada peninggalan sejarah,
karena di sinilah dulu para gerilyawan di masa revolusi bertahan. Rumah-
rumahnya tetap kita pelihara sekarang sebagai monumen.”
Amat berpikir lagi.

“Sudah belum? Sudah disampaikan juga bahwa hunian kita ini air
sumurnya paling bersih dapat diminum langsung sementara air di hunian
lain di sekitar sudah keruh dan asin? Sudah disampaikan ….”
“Kalau itu belum.”
“Tapi dasar keberatan dan protes-protes kita yang lain-lain, sudah kan?”
“Kembali lagi apa dia cukup peka atau tidak.”
“Salah. Pak Baron itu peka. Masalahnya bagaimana Bapak
menyampaikannya!”
“Ya, itu dia!”
Bu Amat terkejut.
“Itu dia bagaimana? Bapak menyampaikannya bagaimana?”
“Seperti kata pepatah: diam itu emas.”
“Ah? Bagaimana?!”
“Dengan diam seribu bahasa.”
Malam hari, ketika keadaan tenang, Bu Amat pasang omong. Amat pun
tahu apa yang mau dikatakan istrinya. Tapi ia sabar mendengarkan.
“Dengerin, Pak, jangan belum apa-apa sudah langsung membantah.
Renungkan saja, apa yang saya katakan. Saya akan mengatakan satu kali
saja. Paham?”
Amat mengangguk.
“Begini. Bagi orang besar, diam itu memang emas. Karena, orang besar
itu, sudah banyak berbuat dan berkata. Meskipun ia diam, kata-kata dan
perbuatan yang sudah pernah dibuatnya sudah menyampaikan
tanggapannya. Orang sudah tahu apa yang tak diucapkannya. Itu bedanya
dengan kita, orang kecil. Kita kalau diam berarti bego. Menyerah. Atau
manut-manut saja. Mau ke kanan, boleh. Ke kiri, juga monggo. Diam itu
ya, kosong melompong. Tidak ada yang tahu apa isi hati kita. Jangankan
diam, kita ngomong sampai mulut robek dan perut gembung juga orang
tidak mendengar apa mau kita sampaikan. Bapak sadar itu, kan?”
Amat mengangguk.
“Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil, ngomonglah. Keluarkan isi
hati. Kalau tidak, pendapat orang lain akan diicantolkan kepada kita. Mau?
Mau memikul pendapat cantolan yang bertentangan dengan pendapat
Bapak? Tidak kan? Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya ngomong?
Atau Bapak takut? Takut apa? Takut itu perlu, kalau perlu. Kalau salah,
boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?! Salah apa?! Apa salahnya
bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya untuk
menyampaikan isi hati mereka. Bapak penyambung lidah rakyat di
lingkungan kita ini. Meskipun tidak dipilih seperti caleg-caleg itu dan
tidak diangkat secara resmi. Bapak juga memang tidak disumpah untuk
mewakili warga. Tapi begitu Bapak masuk rumah Pak Baron, semua orang
Bapak wakili. Begitu Bapak keluar, mereka menuntut, apa hasilnya. Jadi
kalau besok ada pertanyaan, hasilnya, apa yang harus saya jawab?”
Sebenarnya Amat bisa menjawab. Tapi ia memilih diam, karena tak ingin
memotong curhat istrinya.
Karena lama tak ada jawaban, Bu Amat melanjutkan.
“Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Masak tidak. Puluhan tahun kita
hidup bersama, saya dengar semua yang ada dalam hati kecilmu. Kamu
bicara meskipun diam. Ngerti?”
Amat terkejut. Itu dia yang tidak ia pahami. Kalau istrinya saja mengerti
isi hatinya, tanpa harus diucapkan, masak Baron yang doktor itu tidak.
Jauh di sana dalam lubuk hati istrinya, terasa perih ketika ia bilang orang
kecil diamnya tak bicara.
Setelah memijit kaki istrinya, sampai tertidur, Amat berbisik: “Orang kecil
yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas.”
Tanpa membuka mata, Bu Amat menjawab lirih: “Tetangga kasak-kusuk
Bapak diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.” (*)
Putu Wijaya, sastrawan produktif yang telah menulis ratusan cerpen,
novel, dan naskah drama. Putu berkali-kali menjadi pemenang sayembara
penulis novel dan lakon Dewan Kesenian Jakarta. Ia menerima SEA Write
Award 1980 di Bangkok.

***

Keadilan
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 7 Oktober 2012)

ADA suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa
berkeliaran di Bali. Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-
topi kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas
kaca atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng berwarna-warni.
Kalau mereka lewat anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak
untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah
satu di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk
membeli es pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat
sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan
layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di
sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es
pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua anak-
anak yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit
langsung lari sambil menggulung tali layangannya. Tak terkecuali Pak
Amat. Waktu itu ia sedang memper hatikan seorang juragan ayam sedang
memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, lalu merasakan
ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang
berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti
dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak
Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh.
Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti
matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.

Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah.
Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali
lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es puter
nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es puter ke atas koktail
itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan
uang minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan.
Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat.
Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-
keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan
muncul sambil mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam.
Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba
menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri
berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta
didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya
keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan punya kebiasaan beli es
sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih
teriak-teriak minta es, kalau terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia tahu
sekali itu. Minggat! Sebelum aku tembak kamu. Aku sudah banyak bunuh
Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang
dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat
menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi
sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak
Amat lalu berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu
gelas, itu gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan
tangannya.

“Ayo bayar.”

Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan
nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu
melangkah, tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan
menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih
tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba
bangkit lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk
berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang
kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang
sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan
hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu
mencoba menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu
abad merdeka citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-
beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat. (*)

Catatan:

Cerpen ini diciptakan Putu Wijaya di tengah perawatan intensif di Rumah


Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Cerita dituturkan
Putu secara lisan, kemudian diketik salah seorang kerabatnya. Dia
mengalami pendarahan otak yang mengakibatkan tangan dan kaki kirinya
tak bisa digerakkan.

***

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata


Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 17 Juli 2011)
(Buat GM)
AKU menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam
kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga
toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang
perempuan menyapa.
“Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25
tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
“Bunga untuk ulang tahun.”
“Yang harganya sekitar berapa Pak?”
“Harga tak jadi soal.”
“Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
“Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel.
Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik
perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah.
Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”

Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit.”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya
bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”
“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu
jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar-benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku padangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi
bunga yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa
isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi
aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki
pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang
merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan
kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual
ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.


“Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Duapuluh ribu cukup.”
“Rumah Bapak di mana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu kan jauh?”
“Memang, tapi dilewati angkot.”
“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
“Habis, naik apa lagi?”
“Tapi angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun
naik gerobak.”
“Bukan begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku
jalan kaki saja.”
“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
“Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk
ongkos taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup
untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
“Tidak.”
Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai
untuk diberikan pada seseorang.”
“Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas!”
“Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk
diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal.
Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku
kumpulan sajak. Aku menolak.
“Kamu saja yang memilih.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
“Cinta, persahabatan, atau sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi
buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan
sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin
Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
“Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk
bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan
sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”
“Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu yang tadi menulis.”
“Tapi itu untuk Bapak.”
“Ya memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
“Ya.”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau
pacar Bapak…”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan
ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku
ambil bunga itu.
“Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900
ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan
kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat
hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil
meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
“Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar
Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
“Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)
Jakarta, 30 Juni 2011

***

Boikot
Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 6 Maret 2011)

SEORANG warga memelihara hantu di rumahnya. Berita itu mula-mula


menjadi bahan tertawaan. Tetapi ketika beberapa warga mulai datang
untuk menengok hantu itu dan diam-diam minta pertolongan, masalahnya
jadi berbeda.
Ada yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada
yang minta naik pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang
mau lulus ujian tanpa harus belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang
minta jangan sampai ulahnya ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan
mau meneruskan kariernya.
Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan
meminta supaya diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar
jangan bergolak. Ia membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan
menumbangkan Mubarak di Mesir telah mengalir ke seluruh Timur
Tengah. Gaddafi yang angker itu juga sudah dikepret. Ia takut teori
domino akan menjalar ke arahnya.
Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka
warung kecil. Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin
menginap. Akhirnya ia mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin
berjumpa dengan peliharaannya. Kabar terakhir, ia memasang plakat di
depan rumahnya, bahwa hantunya sudah beranak. Sekarang ia punya
sembilan hantu. Masing-masing hantu punya keahlian sendiri-sendiri dan
tarif ketemu juga sendiri-sendiri. Ketemu juga sendiri-sendiri.
“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya
bertindak.
“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada
orang yang memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”
Bu Amat setuju.
“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di
lingkungan kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu.
Kan ada Puskesmas, kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama
hantu. Lihat, sejak tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau
belajar lagi, padahal ujian sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan
membantu mereka lulus!”
Amat hanya ketawa.

“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir uang sejak
memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga lantai lagi!”
Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak
hanya beli tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang
meninggalkan amplop yang tentu saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik
rumah. Apalagi yang pernah meninggalkan amplop tebal, mengaku
seluruh permintaannya terkabul.
“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah berkali-
kali datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor apalagi
palsu, tahu sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau pakai
dollar, serinya harus jelas!”
Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini
gunanya untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,”
katanya memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak
mengomersialkan hantu. Uang tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun
amplop-amplop yang ditinggal pengunjung itu, ya itu urusan pengunjung
itu sendiri dengan hantu. Kami hanya menyiapkan tempat pertemuan.
Silakan berdialog sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya kami tampung
saja sebagai tanda persahabatan. Tidak seberapa kok!”
Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu, sejak
di depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya tidak
pernah lagi jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar Inova.
“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak ada
yang ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”
Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran.
Dengan nada sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara
hantu itu sebagai tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang
petugas agar bertindak. Jangan sampai terlambat karena itu jelas-jelas
menenggelamkan masyarakat ke dalam alam mimpi….
Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang
dipelihara itu semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai
berdatangan. Bahkan dari Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari
Kalimantan dan Sulawesi membanjir.
Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang
ojek, angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil
kesempatan menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.
Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan kawan-
kawannya, mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai
mereka mencoba menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan
keterangan bahwa semua itu isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang
datang tidak peduli.
“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya
mencoba mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan
kami yang sudah tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan
berhasil. Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan
pikir karena kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga
negara!”

Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya
menyerbu rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali
tidak membuat rumah hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan
beberapa tukang pukul, menjamin kenyamanan para pengunjungnya.
“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!”
protes pemilik hantu itu pada Amat. “Saya sudah difitnah! Suara-suara
negatif dari mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi
kebencian, kedengkian karena iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya
kalau hantu-hantu itu mendatangkan rezeki buat kami? Apa bedanya usaha
saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba lihat, ada yang sudah 10 kali
datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha saya ini membantu
masyarakat!”
“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi
saya sudah terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya
sudah hampir tidak bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara
hantu-hantu itu terus berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah
100. Saya sekeluarga sudah capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena
dicaci, dicerca, dipojokkan, saya jadi berbalik. Itu semua bukan kritik, itu
fitnah! Kritik itu berisi pikiran sehat. Tapi mereka hanya mencaci-maki,
menjelek-jelekkan , menghasut masyarakat, menggiring opini publik
untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah itu! Rumah hantu ini akan
saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang sampai jutaan!”
Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu
semakin garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang
mereka sebut “bisnis terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi
perkelahian antara mereka dan para tukang pukul yang berusaha
melindungi para pengunjung yang ingin berdialog dengan hantu.
Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya
mereka lapor pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan
tetangga pemilik hantu. Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga
sudah lama kesal.
“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari nafkah,
memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga
menutup pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu
dengan hantu, itu perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku
asosial itu. Boikot!”
Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di
koran lokal. Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang
dimaksudkan dengan boikot. Apakah itu berarti tetangga itu akan
dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir? Atau hanya sekadar digertak.
Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara hantu itu
semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan, karena
penasaran akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh seperti
yang lain. Dan setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop. Ada
juga yang datang kembali, seperti ketagihan ketemu hantu.
Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan
posko dan gencar memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya
dunia mistik, klenik dan semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia
harus hidup rasional, realistis dan bekerja kalau mau maju. Jangan
meminta pertolongan hantu.”

Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran duit.
Tukang pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-
talkie dan pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu
yang mau diskusi dengan hantu.
“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami.
“Lihat hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah
kaya. Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong
mengiklankan dagangan hantunya!”
Ami terkejut.
“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana
mungkin kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”
“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya
tambah banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa dituduh
sudah kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda, Ami!”
Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk
mengambil tindakan. Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi
menyerukan: boikot. Tak cukup hanya di lingkungan sendiri, para
mahasiswa mengajak Pak RW menghadap yang berwenang.
Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.
“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham,
mengapa saya dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan
hukuman keras yang berat sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan
yang lebih mengherankan saya, kenapa Pak RW yang mengatakannya?
Kalau Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya mengerti, karena itu
merupakan aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi seorang RW
yang bertugas mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi
sosial yang sangat keji seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak.
Padahal hasil dari usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan,
untuk memelihara jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa
saya dihujat, Pak Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam.
Akhirnya hanya bisa menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu
memberinya angin.
“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak
memelihara hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada
Pak RW untuk dimanfaatkan buat lingkungan kita. Itu semuanya saya
dapat dari mereka yang berkunjung mau ngobrol dengan hantu. Tetapi
kenapa saya dikutuk terus oleh pejabat yang saya hormati seperti Pak
RW? Lho, Pak Amat tidak keberatan kan saya memelihara hantu? Ini kan
wiraswasta yang tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak Amat?
Setuju Pak Amat?”
Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya
bermaksud menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi
tetangga itu seperti dapat angin.
“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas, kenetralannya
yang tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada perjuangan. Pak Amat
saja tidak protes, kok Pak RW yang saya harapkan akan melindungi saya
sebagai salah seorang warganya, kok ngomong boikot. Lho saya bukan
orang yang supersensitif yang tidak bisa menerima kritik. Sama sekali
tidak. Saya orangnya terbuka kok. Pak Amat lihat sendiri kan, itu bukan
kritik, saya sudah jadi korban, itu cercaan, fitnah, saya dijelek-jelekkan.
Kenapa? Karena saya dapat keuntungan? Tapi saya sudah menyumbang
Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat? Apa saya harus
menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan saya
sekarang? Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak
Amat?”
Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi
tetangga yang punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai
dukungan.
“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang
mendukung saya… Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah
merdeka dan hidup di alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya
pendapat dan kebebasan berusaha. Kok diboikot? Tindakan saya bener kan
Pak Amat.”
Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu
bagaimana harus menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara
hantu itu dengan pandangan bahwa dia sudah mendengar semua
keluhannya, tapi bukan berarti dia setuju. Mereka berpandang-pandangan.
Ketika Amat mau membuka mulut, tiba-tiba tetangga itu meraih tangan
Amat dan menjabatnya sangat erat.
“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang
sudah memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang
yang iri karena tidak kebagian. Terima kasih!”
Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung menghentikan
bisnis memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman kembali. (*)
Jakarta, 26 Pebruari 2011

***
2011
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 16 Januari 2011)

“AKHIR tahun membawa banyak hal yang sama. Misalnya harapan


bahwa tahun mendatang akan lebih baik. Tapi biasanya, setelah datang,
ternyata juga sama. Tak ada perubahan. Kemajuan hanya harapan. Hanya
perasaan-perasaan kita yang berubah. Barangkali memang di situ
peluangnya.”
Aku terkejut. Aku menoleh kanan daan kiri. Siapa yang sudah mengatakan
itu. Ternyata tidak ada orang. Itu pikiran-pikiranku sendiri setelah
merenungi berbagai kejadian yang sudah lewat. Setelah puluhan tahun
bergulir, tapi nasibku tidak bergerak. Aku merasa seperti dipaku ke atas
dinding beton.
Dengan muka kuyu kutatap isi rumah. Dinding yang itu-itu saja. Meja
yang kemarin. Foto-foto semuanya sama. Tak ada yang berubah.
Barangkali hanya cicak dan tokek yang silih berganti karena mati. Lainnya
seperti abadi. Sehingga timbul pertanyaan. Apakah tahun benar-benar
berganti atau hanya berulang kembali.
Wajahku melusuh di meja makan. Istriku jadi khawatir.
“Pusing, Pak?”
Aku mengangguk.
“Mau dipijit?”
“Ini bukan masuk angin tapi pikiran kacau.”
Istriku manggut-manggut.
“Kalau begitu jalan-jalanlah keluar rumah, tenangkan pikiran.”
Aku setuju. Setelah ganti pakaian, aku keluar rumah. Tapi setelah sampai
di jalan, aku bingung, tak tahu mau ke mana. Waktu itu muncul Pak
Manuel yang hendak pergi ke gereja.
“Mau ke gereja, Pak Manuel?”
“Betul, Pak. Bapak sendiri mau ke mana?”
Aku menjawab malu.
“Tidak ke mana-mana, mau makan angin saja, menghilangkan perasaan
sumpek.”

“Kalau sumpek jangan makan angin, nanti tambah pusing.”


Aku ketawa.
“Saya cuma tak habis pikir, Pak Manuel, kok tidak ada yang berubah.
Tiap tahun kita ingin ada perbaikan, tapi akhirnya selalu kecewa. Ternyata
tidak ada masa depan. Kita seperti naik mobil yang bannya kejeblos.
Tambah digas, roda muter makin kencang tapi tetap di situ-situ juga. Sama
sekali tak bergerak. Hidup ini seperti macet. Ya kan, Pak Manuel?”
Manuel manggut-manggut.
“Begini, Pak, kalau Bapak sedang naik mobil yang kejeblos, sebenarnya
Bapak tidak berjalan di tempat, tapi Bapak sedang masuk ke dalam tanah
lebih dalam, sampai dapat pijakan yang cukup kuat untuk mendorong
mobil keluar dari lumpur. Bapak mungkin terlambat, tapi bukan tidak ada
gunanya. Sebab kalau tidak kejeblos lumpur, siapa tahu, mungkin, mobil
Bapak yang ditabrak truk yang nyelonong hambruk karena keberatan
muatannya itu. Bersyukurlah! Bapak sebenarnya sedang diselamatkan!”
Aku tersenyum, tapi jadi berpikir.
“Pak Manuel!”
Tapi Manuel tidak menunggu. Lelaki yang aktif di gerejanya itu sudah
sampai ke tikungan dan berbelok tanpa menoleh. Aku jadi merinding.
“Apa itu benar-benar Pak Manuel atau hanya pikiranku yang kacau?”
Cepat aku berbalik pulang, batal cari angin. Aku langsung menghampiri
istriku yang sedang menata makan malam.
“Sudah makan angin, Pak?”
“Nggak jadi….”
“Kenapa?”
Lantas kuceritakan pertemuanku dengan Pak Manuel.
“Pak Manuel?”
“Ya.”
“Bukannya Pak Manuel sudah kembali ke Flores tahun lalu?”
Aku terperanjat.
“Masak?”
“Ya, sudah kembali ke Flores. Kecuali kalau dia sudah datang lagi!”
Aku jadi penasaran. Cepat aku keluar rumah lagi, ngecek ke rumah Pak
Manuel. Di depan rumahnya aku disapa.

“Bapak ke gereja, Pak.”


Aku menoleh. Itu Yozef anak bungsu Manuel.
“He, kamu sudah kembali? Katanya sudah pindah ke Flores.”
“Sudah kembali lagi, Pak.”
“Kapan?”
“Baru tadi.”
Aku bengong. Kutatap anak itu.
“Kamu sudah besar sekarang.”
“Ya, Pak. Saya mau cepat-cepat mau masuk tentara.”
“Ya? Kenapa?”
“Mau memperbaiki dunia!”
Aku bengong. Kembali kuplototi anak itu tajam. Sekarang aku yakin
bahwa semua itu tidak nyata. Itu bagian dari pikiranku yang kacau.
“Setuju kan, Pak?!”
Aku menggeleng.
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Karena bukan senjata yang bisa mengubah dunia ini.”
“Terus apa?”
“Perasaan. Perasaan kita. Semua boleh tidak berubah. Semua boleh sama.
Tapi kalau perasaan kita berubah, semua yang sama itu dengan sendirinya
akan ikut berubah. Hanya perasaan kita yang mampu mengubah semuanya
ini. Perasaan kita. Dan hanya kita sendiri. Bukan senjata!”
Yozef tak menjawab, aku cepat berbalik pulang. Sampai di rumah, baru
aku merasa perasaanku menjadi terang. Tak perlu ada lampu. Kalau
perasaan terang, segalanya akan terang.
Aku masuk ke dalam rumah dengan pikiran yang sama sekali berubah.
Sampai di dalam rumah, aku menoleh ke sekeliling. Dinding, meja, potret-
potret di atas tembok tidak ada yang sama. Semuanya terasa baru. Lalu
aku cium bau gorengan tempe yang masih mengebulkan asap di atas meja.
Itu bukan tempe yang bertahun-tahun lalu aku kunyah, itu tempe baru.
Dan ketika kemudian aku mengunyahnya satu, kurasakan kenikmatan
yang belum pernah kukecap sebelumnya.

“Tak ada yang benar-benar sama. Semuanya berubah, kalau pikiran kita
sehat. Tempe ini bukan tempe yang kemaren, tapi tempe baru yang belum
pernah aku rasakan. Karena perasaanku mengubahnya. Nikmat sekali!”
kataku sambil mencomot lagi dua potong tempe sekaligus.
Istriku memandang takjub.
“Dari tadi pagi Bapak diam-diam saja kalau diajak ngomong. Tiba-tiba
saja sekarang ngoceh ngomong yang aneh-aneh. Salah! Itu bukan tempe.
Itu kan krupuk udang, tahu!”
Aku terkejut. Kutatap baik-baik apa yang sedang aku makan. Memang itu
bukan tempe, tapi kerupuk udang. Tapi itu tidak mengurangi
kenikmatannya. Ya. Ternyata apa yang kupikirkan seharian di akhir tahun
ini, terjawab. Yang terpenting dari segalanya adalah perasaan.
Lalu aku mengangguk.
“Betul! Tapi selama kita masih punya perasaan, hidup ini akan berubah!”
Istriku tak menjawab. Ia menganggap tidak mendengar apa-apa.
Malam hari setelah semua orang tidur, kulihat seakan tahun 2010 sedang
menanggalkan pakaian kerjanya untuk diserahkan pada 2011. Aku cepat
bersimpuh dalam pikiranku lalu berdoa.
“Ya, Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan negeri ini? Apa yang harus
kami lakukan untuk membuat negeri, bangsa dan rakyat yang usianya
jalan 66 tahun ini dewasa. Percaya pada diri, mampu mempergunakan
seluruh kekayaannya untuk kebahagiaan seluruh warga, serta dihormati
oleh bangsa dan negara-negara lain, bukan karena takut, tapi karena
cinta?”
“Aku tidak minta apa-apa kepada-Mu ya Tuhan, aku hanya mencari titik
pandang, tempat aku mendengar kembali suaraku ini. Karena perhatian-
Mu sudah lebih dari cukup. Adalah kami yang menjadi pangkal, sebab dan
seluruh nasib kami ini. Adalah kami yang harus tidak hanya berpikir,
merasa dan berharap tok, tetapi harus segera berbuat untuk memilkul dan
mengubah segala yang kurang pantas ini, sampai terjadi apa yang kami
mimpikan.”
“Tetapi apa sebenarnya yang kami mimpikan? Apakah mimpiku,
harapanku sama dengan yang ditumbuhkan 220 juta batok kepala orang
lain di sekitarku?”
Esoknya aku merencanakan akan bertanya pada siapa saja yang kutemui.
Apa sebenarnya yang menjadi impian mereka. Jangan-jangan mimpi itu
tidak sama, tapi berbeda, bahkan bertentangan. Dan itulah yang menjadi
pangkal semua keruwetan ini.
“Kalau Bapak tanya Ibu,” jawab istriku yang pertama kali kujadikan
sasaran, “aku hanya ingin supaya kita semua selamat. Kurang lebih itu
biasa, namanya juga hidup. Asal kita jangan hanya saling menyalahkan
dan merasa lebih tahu padahal yang paling tahu itu adalah orang lain yang
selalu kita tentang karena partainya lain.”
Aku tertawa. Aku heran sejak kapan istriku itu jadi suka politik.
Kemudian kucecer anakku. Sebagaimana biasa anak muda, dia menjawab
acuh, gagah, dan pongah.
“Sebenarnya semua ini adalah proses panjang dalam menyadarkan kita
bahwa kita tidak lagi dijajah. Kita sudah merdeka. Tetapi di dalam
kemerdekaan, kita belum siap untuk tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan. Bahkan kita kaget, karena apa yang kita miliki sebelum
merdeka, ternyata kini sudah tidak ada. Misalnya tidak ada yang benar-
benar mengurus kita. Semua orang berlomba mengurus dirinya sendiri.
Kita sedang dalam belajar merdeka. Seperti kata professor Ben Anderson,
bayak orang menganggap merdeka itu adalah saat untuk membagi kue
warisan. Akibatnya yang terjadi sekarang setelah lepas dari penjajahan
adalah bentrokan antara kita dengan kita, karena semua ingin mendapat
kue warisan yang lebih banyak. Harusnya bukan nafsu membagi warisan,
tapi nafsu memberi yang dihidupkan. Seperti kata Kennedy,
pertanyaannya bukan apa yang bisa diberikan negara kepadamu, tetapi apa
yang bisa kamu berikan kepada negara!”
Jawaban itu mempesonaku. Aku lebih bersemangat lagi untuk mendengar
pendapat orang lain. Tapi ketika mau melangkah ke tetangga, anakku
mencegah.
“Jangan cuma mendengar pendapat orang. Pendapat Bapak sendiri
bagaimana?”
Aku senyum.
“Pendapatku tidak penting.”
“Penting! Jangan nanti baru berendapat setelah mendengar pendapat
orang lain. Itu namanya nyontek. Atau Bapak tidak punya pendapat? Mau
seperti bunglon?”
“Lho jangan sembarangan. Bapak punya pendapat.”
“Ya apa?!”
Aku jadi mikir.
“Tapi pendapat pribadi Bapak yang sejujur-jujurnya!”
“Lho memang itu tujuannya bapak bertanya-tanya.”
“Jangan cuma bilang ingin ada persatuan, kesadaran kebangsaan,
keadilan, kebenaran, keselarasan, kepemimpinan yang transparan, hukum
yang hidup dan berjalan, peradilan yang berwibawa, demokrasi dan
sebagainya dan sebagainya. Itu sudah klise. Sudah banyak dikatakan
orang. Bahkan juga sudah diulang-ulang oleh para ahli-ahli. Saya mau
tahu apa keinginan Bapak sejujurnya sebagai warga negara. Jangan takut.
Tidak ada yang mendengar dan tidak akan dihukum kalau hanya
mengatakan kejujuran. Tapi katakan atas nama sumpah!”
Aku terkejut.
“Kenapa pakai sumpah?”
“Harus! Sebab ini soal kejujuran. Sumpah! Bapak mau apa?”
Aku bengong.
“Jangan berpikir. Sebab kalau Bapak berpikir, artinya Bapak mau cari
selamat saja. Katakan saja sejujurnya. Nggak ada orang lain di sini!”
Kemudian istriku muncul.
“Hanya ada Ibu. Tapi Ibu kan bukan orang lain. Katakan saja terus terang.
Bapak inginnya apa? Bagaimana?”

Aku menoleh pada istriku.


“Anakmu ini sudah gila. Masak aku disuruh bersumpah untuk
mengatakan aku ingin apa?”
Ternyata istriku mendukung anaknya.
“Lho, Bapak kan sudah nanyain kami, kenapa mengelak kalau ditanyain?
Ibu juga mau dengar apa jawaban Bapak.”
Aku terpaksa ketawa.
“Boleh ketawa. Tapi ini sumpah! Harus sejujurnya!”
“Apa, Pak?”
Aku menarik napas panjang.
“Aku ingin kita….”
“Ingat sumpah, Pak!”
Aku tertegun. Lalu bicara dengan hati-hati.
“Aku berharap negeri kita ini….”
“Awas, ini sumpah!”
Aku hampir saja marah, merasa dipermainkan. Aku ini kepala keluarga,
kok didikte oleh anggota keluarga? Tapi tak ada senyum sinis yang biasa
ngintip di sudut bibir anakku. Ia serius. Istriku juga sama. Aku jadi
terdakwa.
Waktu itu muncul perasaan aneh. Seakan untuk pertama kalinya setelah
setengah abad aku memandangi wajah anak dan istriku. Kulihat apa yang
tak pernah kulihat. Entah bagaimana kudapatkan kacamata yang sama
sekali lain. Lalu kutemukan apa yang tak pernah dan tak ingin kulihat.
Apa yang selalu kulewati dan lupakan. Apa yang selalu kuhindari dan aku
tunda.
Tiba-tiba saja aku menemukan uban terserak di kepala istriku. Kerutan di
leher dan di sudut matanya. Wajahnya yang polos tapi tertikam. Di balik
kepolosan itu tertekan berbagai keinginan yang tak terkabul. Alangkah
rentan kulit pipi yang dulu merah itu. Kini ia kusut dan tak mampu lagi
menutupi apa yang menjadi kekecewaan dan hasratnya yang tak terpenuhi.
Sementara anakku yang belum mandi, karena sedang membersihkan
kamar-kamar, terasa kampungan. Jauh sekali dari wajah-wajah cantik di
layar sinetron Indonesia. Berbeda dengan gadis-gadis generasi baru
Indonesia yang sempurna gizi. Walau tubuhnya berisi dan semampai,
tetapi tidak ada kebebasan dan keceriaan di matanya. Belum menikah, ia
seperti sudah mendapat beban memikul dunia. Itu bukan generasi baru
yang bebas, tetapi anak muda cacat yang digondeli berbagai kesulitan
yang sebenarnya bukan tanggungannya.
Mendadak aku menjadi sedih dan kejeblos. Aku ingin menghapus semua
itu. Membebaskan keluargaku dari ketaklukan pada nasib buruk.
Menyulap rumahku yang berdebu, kumuh, yang bagaikan gudang kotor
yang tak selayaknya bagi seorang warga negara di negara yang sudah
merdeka dan kaya lagi.

Mendadak aku ingin memiliki rumah yang tak hanya tempat pulang, tapi
sebuah istana bagi orang yang menang. Kenapa aku tidak ikut mengenyam
keuntungan jalan raya dengan memacu mobil mewah di atasnya? Aku
ingin tak hanya memandang hotel dan gemerlapan gaya hidup di real
estate mewah, tapi juga ikut mengecap dan memilikinya. Aku tak mau
hanya mengibarkan bendera tanda merdeka, tetapi ikut berkibar.
Sambil mengeruk isi dada, lalu aku merasa perutku mual. Karena tak
berhasil menahannya lagi, lalu begitu saja aku muntah.
“Aku ingin menjadi konglomerat. Orang yang berkuasa dan ditakuti. Aku
ingin menjadi wakil rakyat, semua dapat semua prioritasnya. Jangan hanya
bintang film, artis, dan pelawak-pelawak itu saja yang menikmati gaji 40
jutaan sebulan. Aku ingin menjadi pejabat, bupati, walikota, gubernur,
menteri, duta besar dan juga presiden. Aku ingin punya bukit, tambang,
dan mega proyek. Aku ingin membahagiakan anak cucuku sampai tujuh
turunan. Aku ingin sukses, unggul, berkuasa, dan lebih dalam segala hal
dari orang lain yang kalah. Aku ingin lebih merdeka, lebih bebas, lebih
nyaman, dan lebih berkuasa dari orang lain. Aku ingin bebas dari segala
kesulitan dan beban batin karena aku sudah merdeka. Aku ingin, ingin apa
saja yang belum kumiliki. Aku ingin segala yang tak ada….”
Tiba-tiba istriku menghapus air matanya. Tapi tetes yang berjatuhan di
pipinya tidak terbendung. Ia pun mengisak. Anakku memalingkan
mukanya seperti tak tega melihat itu. Lalu ia menjauh.
Sementara aku tak berhasil berhenti. Mulutku terus bicara.
“Aku ingin anak dan istriku tidak pernah lagi menangis dan selalu bangga
kepadaku. Karena aku kepala rumah tangga yang sejati. Aku ingin
menjadi pahlawan dalam hidup meraka yang tidak tergantikan. Dan karena
aku tak mampu mendapatkan semua itu, maka aku ingin, memimpikan
semua itu siang malam. Padahal apa yang kurang? Aku sudah berusaha
sekuat tenagaku. Aku sudah berjuang, tidak pernah berhenti sedetik pun.
Tapi ternyata yang kudapat tidak satu persen pun dari harapanku. Aku
hanya lelaki manula yang penuh dengan harapan, keinginan, impian, yang
lebat setiap detik, sehingga pohon kehidupanku semakin ringkih dan
hampir hambruk, tak sanggup memikul. Aku tak mampu berbuat apa-apa.
Aku hanya seekor cacing….”
“Sudah, Pak!”
“Maafkan aku, Bu.”
Kudekati istriku.
“Harusnya kamu kawin dengan laki-laki lain yang pasti akan memberikan
semua itu, bukan dengan aku. Tapi kalau kamu tidak menikah dengan aku,
aku akan brengsek. Nasibku akan konyol. Kalau tidak ada kamu yang
menemaniku selama ini, mengingatkan akau agar tetap di jalan yang benar
ini saja, barangkali sudah lama aku ada di penjara.”
“Sudahlah, Pak!”
Diam-diam aku ikut menghapus air mata sebelum sempat keluar. Waktu
itu anakku menghampiri lagi.

“Bukan hanya Bapak, itu keinginan semua orang sekarang. Saya kira
keinginan semua orang Indonesia. Entah kenapa kita bersama-sama
menjadi orang yang tidak tahu diri. Semua kita. Tidak terkecuali siapa
pun. Hanya ada yang mampu menutupi, ada yang tidak. Ada yang
kelihatan gagah dan bijak, tapi sebenarnya dalam hatinya sama saja. Jadi
Bapak tidak perlu lagi menanyakan kepada siapa pun apa harapan mereka.
Kalau mau berdoa, berdoa saja, mudah-mudahan kita bisa melewati masa
yang sulit ini.”
Aku menggeleng.
“Bapak tidak akan berdoa lagi. Sudah cukup. Yang perlu sekarang
berbuat.”
Istriku menoleh dan berhenti menghapus air matanya.
“Ya, betul itu. Berbuat. Tapi tidak usah yang neko-neko seperti yang
Bapak bilang tadi. Kalau mau, kalau masih kuat, ambil saja sapu bersihkan
halaman di belakang. Cukup! Tidak perlu jadi pejabat atau konglomerat,
memangnya gampang. Kalau toh ketiban rezeki nomplok, sebesar itu,
belum tentu Bapak kuat, kalau mentalnya tidak siap.”
Sembari membuang seluruh kesedihannya istriku kembali ke dapur.
Waktu itu anakku tersenyum lantas mengangguk ke arahku.
“Terima kasih, Pak.”
“Terima kasih?”
“Ya. Terima kasih telah mengembalikan Bapak saya sebagai suami Ibu
saya dan Bapak saya.”
“Memangnya selama ini bukan?”
Ami mengangguk.
“Bukan! Sebagaimana umumnya semua orang lain. Kemaren-kemaren
Bapak bukan diri Bapak yang sebenarnya.”
“O ya? Lalu kamu sendiri?”
“Saya juga begitu. Semua kita sama!”
Aku berpikir.
“Kalau itu betul, tapi berapa lama kita bisa teatap jadi diri kita?”
Anakku mengangkat pundaknya.
“Ya beberapa detik saja cukup. Karena sebagian besar sejarah kita adalah
sejarah orang yang lupa.”
Aku tertegun. Mungkin hanya beberapa detik dalam hidup kita yang
panjang ini, kita benar-benar mampu jadi diri kita. Tapi lumayan. Yang
penting kebenaran itu masih mau datang. Walaupun barangkali tak pernah
bisa kita miliki selamanya, karena hidup bergerak. Karena kita ditakdirkan
harus terus mengejarnya. Terus saja mengejarnya. Dan tidak perlu
mendapatkannya. Karena mengejar saja sudah cukup. Mengejar jauh lebih
indah daripada mendapatkannya.
“Kok senyum-senyum sendiri?” tanya istriku tiba-tiba.
Aku menoleh. (*)
Jakarta, 16 Desember 2010

***

MAAF
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 19 September 2010)

PADA hari raya Idul Fitri muncul tamu yang tak dikenal di rumahku. Aku
pura-pura saja akrab, lalu menerimanya dengan ramah tamah. Terjadi
percakapan. Mula-mula sangat seret, sebab aku sangat berhati-hati jangan
sampai kedokku terbuka. Di samping itu, diam-diam aku berusaha keras
untuk membongkar seluruh kenangan. Setiap bongkah aku bolak-balik,
mencoba menyibak, siapa kira-kira dia, tetapi sia-sia.
Seseorang yang mau nagih hutang yang karena satu dan lain sebab aku
lupakan? Orang yang keliru menyangka aku temannya? Penipu atau orang
sakit jiwa?
Setengah jam pertama lewat, tetapi masih tetap gelap. Cangkir teh tamu
itu sudah kosong. Aku dengan berbasa-basi menawarkan apakah boleh
menambah isi cangkirnya. Maksudnya untuk mengingatkan bahwa kalau
itu sebuah kunjungan basa-basi sudah masanya untuk diakhirinya. Tetapi
tamu itu mengangguk, ya, cangkirnya boleh diisi lagi, sekiranya tidak
memberatkan.
Aku berseru memanggil Taksu, yang memang tidak ada di rumah. Tentu
saja Taksu tidak keluar-keluar. Yang muncul adalah istriku yang sudah
hendak jalan ke tetangga. Ia mengerti apa yang dimaksudkan suaminya,
lalu mengangguk sopan, membawa cangkir masuk. Tetapi kemudian
keluar dengan sebuah gelas penuh teh, mungkin supaya tidak perlu bolak-
balik lagi. Aku membuang muka karena kecewa. Apa boleh buat sudah
telanjur. Ternyata istriku juga menyodorkan setoples kacang sebelum
kemudian pamit pergi ke tetangga.
Mau tak mau aku terpaksa memainkan kehadiran kacang itu. Ternyata
dengan kacang kapri percakapan menjadi lebih renyah. Aku mulai
mendapat informasi bahwa tamu itu sudah menjalani perjalanan yang
panjang sebelum menemukan rumahku. Ia menyebut-nyebut kapal laut,
kereta api, dan kemudian pesawat terbang. Aku lalu menduga orang itu
datang dari Jakarta. Tidak ada kereta api yang sepanjang itu di pulau lain.
Lalu aku ingat pada beberapa kenalanku yang tinggal di Jakarta.
Barangkali ini salah satu anggota keluarga Ikra atau Soegianto. Ia datang
pasti karena mendapat rekomendasi dari mereka. Dengan harap-harap
cemas aku menunggu kalau salah satu nama temanku itu melompat dari
mulutnya. Tapi setengah jam lagi berlalu, itu tak terjadi. Tamu itu, setelah
memuji kegurihan dan kerenyahan kacang yang katanya paling enak dari
semua kacang yang pernah dicicipinya, ia malah banyak bertanya tentang
kesehatan jasmaniku.
Apa aku sudah mulai punya keluhan asam urat atau darah tinggi. Mungkin
diabet atau jan-tung berdebar-debar. Apa aku masih rajin olahraga orhiba.
Belum punya pantangan makanan? Masih berani makan sate kambing dan
duren? Bagaimana kalau kopi? Berapa kali minum kopi sehari? Dan
merokok?
Ketika mendengar aku tidak merokok dengan penuh perhatian ia
menanyakan bagaimana aku bisa menghindar dari rokok yang menjadi alat
pergaulan itu. Apakah aku memang tidak merokok sejak awal, tetapi
nampaknya itu mustahil, karena merokok sudah jadi identitas semua
pemuda yang aktif. Jadi bagaimana caranya aku keluar dari cengkeraman
rokok yang menjadi salah satu pembunuh kejam itu.
Aku mulai meyakini bahwa orang itu pemadat yang berusaha untuk
membebaskan dirinya dari nikotin tetapi selalu gagal. Bukan karena
cengkeraman nikotin itu tak bisa dihindari, tapi karena sebenarnya ia tak
sungguh-sungguh ingin berhenti merokok. Ia nampak menikmati ceritanya
sendiri yang selalu gagal lagi, gagal lagi bercerai dengan rokok.
Tiba-tiba ia menanyakan apakah aku tidak pernah merasa takut, karena
sudah melakukan dosa? Bukan dosa yang dilakukan dengan sengaja tapi
dosa-dosa yang tak diketahui, semacam kekhilafan atau kekurangtahuan.
Aku terkejut. Terpaksa lebih berhati-hati lagi menjawab. Aku mulai
curiga, sehingga berusaha agar lebih banyak mendengar daripada bicara.
Tapi celakanya orang itu menganggap aku sangat tertarik dan tekun
mendengar. Sambil tak henti-hentinya mengunyah kacang, ia
menceritakan ada beberapa tingkat dosa yang biasa dilakukan oleh
manusia tanpa disadari oleh pelakunya.
Pertama, katanya, dosa bagi yang membiarkan perbuatan berdosa
dilakukan. Seperti melihat ada pencuri. Kalau diam saja tidak berusaha
menghalangi pencuri itu melakukan praktik jahanamnya merugikan orang
lain, orang yang melihat itu berarti setuju dan ikut mencuri. Hukumannya
sama saja.
Yang kedua, dosa yang tidak peduli terhadap orang-orang yang sudah
melakukan dosa. Tidak pernah berusaha untuk memberikan teguran atau
bimbingan agar orang yang berdosa itu sadar pada perbuatannya. Jangan-
jangan pendosa itu melakukan dosanya karena tak tahu itu perbuatan dosa.
Bagi yang tahu tapi membiarkan saja orang itu sesat, hukumannya sama.
Orang itu berarti ikut membantu melakukan perbuatan dosa.
Dan, yang ketiga, dosa bagi yang tidak mau memaafkan mereka yang
berdosa karena ingin menghukum agar pendosa itu kapok. Seorang yang
berbuat dosa terlalu besar, mungkin sudah tertutup mata hatinya, sehingga
ia tidak melihat perbuatan itu dosa. Jadi bagaimana mungkin dia akan
insaf. Sementara itu, seseorang yang berbuat dosa terlalu besar, mungkin
sadar perbuatannya itu tidak termaafkan. Jadi ia pasti malu datang untuk
minta maaf karena ia sendiri sadar perbuatannya itu sulit dimaafkan.
Nah, kata tamu misterius itu, bagi yang tahu kondisi orang itu, dan
membiarkannya tetap berada dalam kegelapan dosa, berarti yang
bersangkutan juga berdosa. Hukumannya sama saja. Bahkan bisa lebih
berat, sebab orang yang tak mengetahui dan orang yang tak berdaya itu
tindakannya tidak lagi terkendali, karena ia seperti orang yang tidak
berkemampuan. Sebaliknya, orang yang berdaya yang tidak punya
kesulitan bertindak untuk mencegah dosa itulah yang akan menanggung
dosanya.

Sampai di situ, aku sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran. Kacang di
toples tinggal separo. Sudah hampir tiga jam aku mendengar tamu yang
tidak punya perasaan dan mungkin sinting itu, menyita waktuku. Padahal
sudah dua kali aku sempat tertidur ketika ia menguraikan teori-teori
tentang dosa, tetapi setiap kali aku terbangun, orang itu masih terus di situ.
Makan kacang dan bicara.
Lalu aku putuskan hendak berdiri. Tapi dia lebih cepat bangkit dan
menahan aku di tempat duduk. Tidak, katanya, sudah cukup kunjungan
saya kali ini. Terima kasih atas penerimaan Pak Amat yang begitu baik,
sekarang saya mau melanjutkan perjalanan lagi, katanya sambil
menangkap tanganku. Aku tak sampai hati mengelakkan tangan, apalagi
ketika orang itu mencium tanganku, lalu bergegas pergi.
Aku tetap duduk di kursi, tak sudi mengantarkan, untuk menunjukkan rasa
kesal. Ketika istriku pulang, ia terkejut melihat suaminya bengong di kursi
seperti ketika ia tinggalkan tiga jam yang lalu.
“Kenapa Pak? Kok dari tadi bengong melulu. Masak makan kacang
sampai setengah toples, nanti bibirnya lumpangan lho. Mau minum lagi?”
Aku terkesima. Tiba-tiba aku sadar siapa yang tadi bertamu.
“Ayo, Bu, kita ke rumah Pak Bimantoro untuk mengucapkan selamat hari
raya!”
Istriku tercengang.
“Lho, bukannya dia musuh kita yang sudah memfitnah Bapak korupsi
uang warga yang mau dipakai untuk membangun sekolah?”
“Betul. Dan sekarang sudah terbukti itu bohong! Dia pasti malu besar.
Dia orang berpendidikan tinggi, pasti dia tidak akan berani minta maaf
karena ia tahu fitnahnya yang kejam itu sukar dimaafkan. Kita ke sana
saja, jangan biarkan dia berdosa. Sekarang, mumpung masih siang.”
Aku cepat mengganti baju dan sandal.
“Ayo, Bu!”
Istriku tak membantah, hanya penasaran.
“Kenapa Bapak jadi berubah pikiran? Bukannya Bapak yang kemarin
mati-matian menolak keras waktu diajak untuk silaturahmi maaf-maafan
ke situ?”
“Ya. Tapi tadi aku kedatangan tamu. Dia bilang tolonglah orang yang
tidak berani mengakui dosanya, supaya berkurang dosanya dan supaya aku
sendiri tidak berdosa karena sudah membiarkan orang terus berdosa. Ayo,
Bu!”
Istriku tambah heran.
“Tamu siapa? Memang tadi ada tamu?”
“Sudah, kok ngomong terus. Ayo cepet! Nanti keburu malam.”

Dalam perjalanan, istriku terus bertanya-tanya. Apa yang sudah


menyebabkan aku berbalik pikiran. Menurut dia, sudah betul apa yang aku
putuskan. Menurut istriku, orang kaya itu adalah teroris yang berbuat
seenak perutnya sendiri saja. Tanpa punya bukti dia dengan seenak
perutnya main tuduh mengatakan aku sudah makan uang warga. Dan itu
menyangkut nilai sampai setengah miliar. Padahal uang itu tidak hilang,
tapi dipinjamkan oleh bendahara pada warga yang memerlukan atas
persetujuan panitia pembangunan sekolah itu sendiri. Dan orang kaya itu
termasuk anggotanya, tapi tidak pernah hadir dalam rapat. Belum apa-apa
ia sudah mengundang wartawan dan berkoar-koar. Maksudnya jelas, ingin
menarik simpati masyarakat karena ia ingin terpilih menjadi caleg.
Akibatnya masyarakat marah. Hampir saja ia didemo. Tapi atas
kesalahannya itu ia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah menuduh
warga yang berusaha memfitnah dia. Dia berkoar-koar lagi di mana-mana
mengatakan sudah diacuhin warga.
“Sekarang bukannya minta maaf, dia malah bikin rumahnya open house,
supaya kita semua rame-rame datang ke situ maaf-maafan, seakan-akan
kita semua yang salah. Itu kan memutar balik soal. Ngapain kita meladeni
orang yang sesoprenia?”
“Untuk menunjukkan bahwa kita berjiwa besar?”
“Ah itu namanya jiwa kecil. Seperti kita semua ngiler mau makan enak
dan ambil bungkusan, paling juga dia dapat dari sponsor!”
“Bungkusan apa?”
“Aku baru datang dari rumah tetangga yang barusan ke sana. Tiap orang
yang datang ke situ pulangnya dibawaain tas plastik berisi suvenir. Tahu
apa isi tas itu? Barang-barang contoh rokok, sampo, sabun, ciki-ciki racun,
dan paket mie baru yang pasti dia dapat dari sponsor!”
Aku terkejut. Tapi kami sudah ada di depan rumahnya. Mau membatalkan
tidak bisa karena penyambut tamu mempersilakan kami masuk. Silakan
masuk, silakan masuk, Pak. Sebentar lagi akan ditutup.
Ternyata di dalam rumah sepi. Mungkin tidak ada yang sudi datang.
Hanya aku dan istriku. Mau balik langkah, sudah telanjur masuk. Terpaksa
dilanjutkan. Muka istriku sudah mulai masam. Aku mencoba berjiwa
besar.
“Sabar. Niat kita datang kemari baik, jangan kita rusak dengan perasaan
negatif. Ini hari untuk saling memaafkan.”
“Silakan Pak, Ibu. Apa sopnya mau dipanasin dulu?”
“Tidak usah, tidak usah.”
Istriku tidak mau makan. Tapi piring sudah diulurkan. Terpakasa aku
terima. Makanan begitu berlimpahan, mewah dari catering kelas satu. Aku
merasakannya sebagai semacam penghinaan kepada kemiskinan yang
berserakan di mana-mana. Kenapa kenikmatan itu diumbar dalam rumah
itu, tidak dibagikan saja kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Pelayan yang meladeni kami menghampiri.

“Silakan Bapak dan Ibu, yang santai saja. Kalau nanti ada yang mau
dibawa pulang, pesan Ibu mangga, kotak plastiknya ada di atas meja itu.
Atau perlu saya bantu.”
Aku tak menjawab, hanya senyum-senyum. Tapi istriku melabrak dengan
sinis.
“Terima kasih. Tapi tuan rumahnya ke mana kok nggak nongol?”
Pelayan itu tersenyum.
“O ya, Bu. Bapak dan Ibu minta maaf, keluar sebentar untuk
bersilaturahmi karena sudah seharian di rumah. Tapi sebentar lagi beliau
akan datang. Silakan menunggu sebentar.”
Sebentar apaan, ini sudah satu jam, bentak istriku. Ngapain kita kemari?
Darahnya sudah mulai naik. Aku setuju, kunjungan dengan niat suci dan
luhur itu ternyata sebuah kesalahan.
Kemudian ada dua tetangga yang memang punya reputasi tukang jilat
muncul. Mereka heran melihat kami. Setelah basa-basi, mereka langsung
mengganyang makanan. Kemudian membungkusnya, lebih banyak dari
yang sudah mereka makan. Lalu cepat-cepat permisi dengan alasan akan
bersilaturahmi pada yang lain.
Istriku langsung mau ikutan. Aku berkeras menahan.
“Kedatangan kita kemari mau menunjukkan kepada dia bahwa meskipun
kita sebenarnya yang pantas dimintai maaf, tapi kita sudah datang kemari
karena dia sendiri tidak punya nyali untuk minta maaf. Ini sebuah
pembelajaran moral kepada dia!”
Tapi setengah jam kemudian, ketika tuan rumah belum juga nongol,
akhirnya kami pergi diam-diam. Begitu pelayannya menyelinap ke
belakang, kami buru-buru kabur.
“Alhamdulillah!” kata istriku lega, seperti lepas dari tekanan batin,
“meskipun di situ makanannya enak-enak, diupah juga aku tidak mau
masuk lagi. Ini penghinaan! Bapak terlalu lembek, mau mau datang. Dia
akan tambah sombong sekarang. Lihat, nggak ada orang yang datang ke
situ, karena semua punya harga diri. Kita saja yang coba-coba datang
karena jiwa kita yang besar, akhirnya dihina seperti ini!”
Aku tak menjawab, karena setuju. Tapi karena aku setuju, istriku justru
tambah marah lagi. Sepanjang jalan dia terus marah.
“Orang kaya tidak pernah peduli apalagi mengerti apa yang sebenarnya
terjadi pada orang lain. Dia tidak akan mau melihat kesalahannya, karena
matanya sudah penuh berisi tuduhan-tuduhan yang mengatakan kita yang
salah. Tidak akan ada pikiran malu, apalagi mau minta maaf sama kita.
Dia pikir dengan uangnya itu, semua bisa diatur. Dan memang bisa. Lihat
itu penjilat-penjilatnya yang datang tadi. Mereka menyangka kita ini mau
ikut-ikutan menjilat. Malu!”
Begitu sampai di teras rumah, aku tidak tahan lagi. Aku banting kantong
plastik itu ke meja. Isinya terburai berserakan. Belum puas, aku tendangi
lagi isinya. Mie, rokok, permen, dan ciki-ciki racun hancur berantakan.
Salah satunya tertendang masuk ke pintu depan yang terbuka.
Tiba-tiba anakku Taksu muncul.
“Pak dari mana aja?”
“Bapak kamu baru saja membuktikan kekonyolannya!”
“O ya? Tumben!”
“Habis sudah aku dipermalukan.”
“Kenapa?”
“Bapak kamu mau menolong bangsat yang tidak berani datang minta
maaf karena keder lantaran dosanya sudah kelewatan itu, eh nggak
tahunya masuk perangkap dan dipermalukan habis. Rumahnya kosong!”
“Siapa?”
“Setan kaya yang….”
Taksu mengangkat tangan sambil memotong.
“Bapak sudah ditunggu tiga jam.”
“Ditunggu? Ngapain, kan Bapak silahturahmi?”
“Udah tak bilangin begitu, tapi di situnya ngotot mau nungguin!”
“Siapa sih?”
“Saya Pak.”
Tiba-tiba di depan pintu muncul orang kaya itu.
Darahku tersirap. Di belakangnya muncul istri dan kelima anaknya.
Sekeluarga lengkap. Aku bengong. Sementara aku ke rumahnya dan
menunggu sambil memaki-maki, rupanya dia sekeluarga datang dan
menunggu dengan sabar hanya untuk minta maaf.
Orang kaya yang barusan aku maki-maki itu mendekat, langsung menjabat
tanganku erat. Minta maaf atas segala kesalahannya dan memeluk. Istrinya
menyusul. Lalu anak-anaknya satu per satu mencium tanganku dengan
hormat, pasti sudah diberi instruksi orang tuanya.
Wajah istriku meledak gembira. Sumpah serapahnya kontan senyap.
Apalagi kemudian para tetangga keluar dari rumahnya, menyaksikan
silaturahmi itu dan sekalian ikut salam-salaman. Taksu diam-diam dengan
gesit mengumpulkan suvenir yang berceceran di mana-mana itu lalu
melenyapkannya ke belakang. Hari itu menjadi hari perdamaian yang
tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya Tuhan, alangkah mudahnya seluruh rasa benci dan permusuhan itu
diselesaikan oleh hari raya. Bayangkan kalau hari yang begitu perkasanya
menendang semua permusuhan yang setahun mapat, tak ada? Boleh jadi
lebih banyak lagi baku hantam di dunia yang haus darah ini. Hari raya
adalah mahakarya. Aku memejamkan mata dan bersyukur.
Waktu itu, tamu itu kembali. Ia menjatuhkan badannya di kursi sebelum
sempat aku tegur.
“Aku tak bisa menemukan alamatnya,” katanya sembari memejamkan
matanya yang lelah, “Mungkiin dia sudah pindah atau sudah tak ada.
Bagaimana kalau aku nginap saja di sini?”

Begitu selesai ngomong dia sudah mendengkur pulas. Aku terkesima.


Kutunggu beberapa saat, barangkali dia tersentak bangun dan tentu saja
lebih baik pergi, karena sudah larut malam. Tapi dadanya turun naik
teratur. Ia sudah jauh. Kucium rasa lelah yang kental meruap dari
tubuhnya, tanda sudah menjelajah perjalanan maraton.
“Sudah larut, kendaraan yang terakhir akan berangkat,”bisikku.
Tapi ia sama sekali tak berkutik. Kemudian istriku keluar dari dalam
rumah menegur.
“Tidur, Pak, sudah malam.”
“Ya, sebentar lagi.”
“Jangan pakai sebentar lagi. Angin malam merusak paru-paru, ayo!”
Dengan berat hati aku berdiri.
“Ayo!”
“Ya, ya! Tapi dia bagaimana?”
“Apa?”
“Nggak!”
Istriku tidak mau pergi sebelum aku benar-benar masuk. Setelah itu dia
menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati aku berkata: meskipun kita
tidur bersama setiap malam selama bertahun-tahun, tapi yang ini tidak
akan kamu mengerti, Sayang.
Tetapi tiba-tiba istriku nyeletuk.
“Aku kawin hanya dengan satu laki-laki!”
Aku terpaku. Siapa bilang perempuan tidak mengerti, hanya tidak semua
yang mereka katakan. (*)

Jakarta, 27 Agustus 2010

***

Merdeka
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 29 Agustus 2010)

MENJELANG pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para


prajurit, bersiap. Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk
mengakhiri habis-habisan benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun
ini.
Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati disambar geledek. Di
pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan lelah yang sudah tidak
aku pedulikan lagi. Bila subuh pecah dan matahari menyerakkan bara di
langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau mati itu soal nanti. Roda
sejarah ini tidak boleh berhenti.
Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya
yang mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat
buat keluarganya meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai.
Di depan nyala api, komandan termenung seperti membaca apa yang akan
terjadi.
Waktu itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan
wajah yang gemilang. Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau
bidadari di kelir wayang yang pernah aku tonton. Senyumnya
menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-
uratku yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum.
Semerbak sehingga medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu
berubah jadi kamar hotel berbintang sembilan yang sensual.
“Bang,” suaranya mendesah membasahi telinga.
Aku tak berani menoleh. Imanku sudah runtuh mendengar sapa yang
menyengatkan listrik ribuan voltase itu.
“Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya waktu
sebentar aku ganggu?”
“Pesan apa?”
“Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang.”
“Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia biasa yang
sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur.”
“Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang, Abang hanya
akan melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan
kepingin menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera.”

“Betul, memang begitu.”


“Paling banter Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas
ditiup oleh angin yang bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan
debu-debu kotor yang penuh penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan
sakit.”
“Tidak apa. Aku sudah biasa sakit. Tambah sakit lagi tidak akan berarti
apa-apa. Sebentar lagi ini akan berakhir. Begitu rona merah menebarkan
api di langit, pertempuran yang tidak seimbang ini akan memusnahkan
kami semua. Tapi tidak apa. Demi merdeka jiwa-raga harus rela
dikorbankan.”
“Itu bodoh. Itu tidak perlu terjadi. Abang harus terus hidup untuk
mengalami apa yang akan terjadi. Untuk apa berjuang kalau hanya untuk
mati?”
“Untuk merdeka.”
“Abang sudah tertipu! Lihatlah ke depan. Enam puluh lima tahun lagi,
kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali apa yang sudah Abang
lakukan.”
“Kenapa?”
“Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu akan ditebangi
jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di setiap
jengkal tanah di seluruh tubuh kota. Jalan layang melilit kota, tidak ada
lagi yang akan sempat melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah
dihancurkan oleh dosa-dosa pembangunan. Di jalanan tidak ada lagi ruang
bagi pejalan kaki dan sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya
para konglomerat. Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin,
ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena
teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah
berpihak kepada kemanusiaan. Uang adalah dewa yang paling tinggi yang
ingin dimiliki oleh semua orang dengan segala macam cara. Termasuk
menipu, menindas, membunuh, juga mempergunakan ideologi, ilmu
pengetahuan, kesenian, dan agama. Karena itu, terimalah ini. Aku diminta
menyampaikan ini kepada Abang. Buanglah senjata yang tidak akan
sempat meletus itu, karena senjata-senjata kuman sudah terlebih dahulu
akan mematuk nyawa Abang. Kecuali kalau Abang terima ini!”
Setan mengulurkan sebuah cek.
“Berapa saja angka yang Abang taruh di atasnya, cek ini akan bunyi tetapi
dengan satu syarat.”
“Aku harus meletakkan senjata? Tidak!”
“O tidak, tidak! Abang tak perlu meletakkan senjata, itu melanggar janji
seorang prajurit. Tetap saja angkat senjata Abang dan kemudian
tembakkan. Karena itulah gunanya senjata itu diberikan. Tapi jangan
menembak ke arah depan. Karena musuh yang sebenarnya bukan di
depan, tetapi di samping dan di belakang. Terutama di dalam diri Abang
sendiri. Tembak semuanya itu, bersihkan musuh-musuh dalam selimut
yang sudah membuat enam puluh lima tahun merdeka itu lebih neraka dari
apa yang ada sekarang.”
Aku tercengang.
“Menembak ke dalam diriku sendiri?”
“Ke samping dan ke belakang juga.”

“Tapi, itu bunuh diri.”


“Bukan. Itu pembersihan rohani!”
“Itu berarti aku akan membunuh teman-teman seperjuanganku sendiri.”
“Bukan. Mereka itu musuh dalam selimut.”
Aku terkejut.
“Bagaimana, berkenan? Mohon jangan menolak, karena aku akan kecewa
dan sedih.”
Setan tidak menunggu jawabanku. Dia langsung menjatuhkan diri ke
pelukanku. Lalu mencium dengan mulutnya menempel seperti bekicot.
Ciuman lengket itu membuat tubuhku meleleh. Pagutan tangannya adalah
lengan-lengan gurita yang mengurung dan membelit sukma sehingga aku
ringsek total.
Senjata itu terlepas dari tanganku, sementara cek yang diselusupkan ke
kantung bajuku seperti tangan nakal yang merogoh liar kegairahanku,
sehingga dalam ketegangan yang tak tertahan, aku tidak bisa bilang tidak.
Aku terpanggang di dalam api setan. Aku melambung dilalap kenikmatan
yang belum pernah kualami.
Apa yang lebih berharga lebih dari rasa bahagia. Apa aku harus menolak
apa yang dikejar oleh semua orang dengan mengorbankan jiwa-raga dan
kehormatannya, apalagi ia datang menyerahkan diri kepadaku tanpa
syarat.
Aku kelenger. Belum pernah aku menikmati kenikmatan yang begitu
panjang dan seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Aku hanyut dan
menyerah. Aku ingin berada di puncak kebahagiaan itu selama-lamanya.
Tetapi, tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika aku terbangun,
aku terperanjat. Di depanku, sahabat karibku berlumuran darah. Wajahnya
begitu dekat, sehingga aku tepercik oleh darah yang menetes dari lubang
peluru di dahinya. Ia membuka mulutnya tetapi begitu lemah, sehingga
aku menempelkan telingaku untuk mendengar.
Bangun, tembak, jangan tidur, mereka menyerbu sebelum kita sadar,
katanya, lalu langsung roboh. Aku gugup tapi berdiri. Sekitarku sudah
menjadi lautan mayat. Semua temanku sudah tertembak mati. Tinggal aku
sendiri yang luput karena sudah bermimpi atau memang aku disisihkan
supaya katut menang, karena setan sudah memilih.
Lupa pada cek yang ada di kantung. Lupa pada gambar yang sudah
ditempelkan setan di benakku tentang kebobrokan 65 tahun yang akan
datang, aku angkat senjata. Tapi mana senjataku. Tanganku kosong,
senjata entah di mana. Aku berteriak histeris, tapi suaraku ditelan
kebekuan kalah. Aku berontak. Aku angkat tanganku, tapi tidak bisa,
tanganku kaku. Aku menadahkan muka ke atas menjerit minta
pertolongan.
Tiba-tiba, di atas sana aku lihat bendera sang saka berkibar di puncak
tiang. Gagah dan bergelora dikibas-kibaskan angin. Negeriku sudah
merdeka. Rakyat bebas. Aku meledak. Kesedihanku berubah jadi
kegembiraan. Aku terlempar ke 65 tahun yang akan datang di tahun 2010.
Terima kasih Tuhan!

Tapi, ketika memandang di sekitar, aku terperanjat. Hutan dan gunung


gundul. Sungai kering dan laut terpolusi. Musim hujan tidak karuan.
Bencana alam menghantam. Hujan, banjir, longsor tetapi hutan terbakar,
gunung meletus, sumur bumi muncrat menenggelamkan kota dalam
kubangan lumpur. Demam berdarah, flu babi, narkoba, kemiskinan,
korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat kelaparan
sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan
menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata setan. Tidak ada
gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan yang
berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak
punya masa depan. Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para
konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat
kehidupan dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi, hajar habis
semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka mata, anakku,
Taksu, berdiri di depanku dan berbisik.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para
penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu akan terus
menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka.
Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar
merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Aku terkejut. Kupandang Taksu seperti melihat terowongan gelap.
“Apa? Coba ulangi!”
Taksu mengucapkan sekali lagi, sementara aku memejamkan mata.
Kalimat-kalimat itu seperti ujung jarum yang menembus kuping dan
masuk langsung ke hulu hatiku. Jantungku yang robek dijahitnya kembali.
Sedang hulu hatiku yang tertutup dibukanya lebar-lebar agar udara yang
segar berembus masuk mencuci pikiranku yang sumpek.
Begitu Taksu selesai bicara, kubuka mata seperti orang baru sadar dari
pingsan. Aku seperti dilahirkan lagi. Segar, bersemangat, dan penuh
dengan harapan. Entah dari mana perasaan yang indah itu begitu saja
merasukiku. Itu pemaknaan yang baru terhadap kemerdekaan yang
membuat horison menjadi berbeda. Luas, tak terbatas, dan siap untuk
ditempuh sekali lagi. Luar biasa!
Aku tatap anakku dengan kagum.
“Kamu hebat sekali, Taksu! Sejak kapan kamu berpikir mulia begitu?”
Taksu membuka HP.
“Itu pesan Facebook dari Yulie Panthi, salah satu kawanku di FB.”
“Waduh, hebat sekali dia!”

“Itu kutipan dari ucapan Nelson Mandela.”


“Pemimpin Afrika Selatan itu?”
“Betul!”
“Wah, wah, wah! Hebat!”
“Yang hebat Nelson Mandela!”
“Tidak! Teman kamu dan kamu juga hebat! Hanya orang-orang yang
hebat mengerti makna-makna yang hebat. Itu pemahaman kemerdekaan
yang luar biasa, dewasa, dan mulia, yang sangat perlu direnungkan oleh
seluruh bangsa Indonesia sekarang yang hatinya penuh benci, dengki,
marah, dan berangasan!”
Taksu ketawa mengejek.
“Berarti Bapak juga hebat dong sebab memuji kalimat itu setinggi langit.
Buat aku sih biasa-biasa saja. Kuno! Kata-kata mutiara bisa dibuat seratus
biji dalam satu menit, tetapi bukan itu yang kita perlukan. Kita
memerlukan tindakan. Indonesia di usia 65 sudah inflasi kata-kata
mutiara. Sekecil apa pun, tetapi tindakan selalu lebih konkret dari kata-
kata yang hanya akan menenggelamkan Bapak ke dalam mimpi siang!
Good-bye!”
Sebaliknya, daripada membantah aku memejamkan mata kembali. Nelson
Mandela sudah meniupkan angin baru yang membuat aku bebas, lega, dan
lapang dada.
“Sekarang aku mengerti,” gumanku ketika istriku lewat mau ke dapur.
Seperti aku harapkan, dia berhenti.
“Mengerti apa?”
“Apa sejatinya makna kemerdekaan.”
“Apa?”
“Bebas.”
“Memang dari dulu begitu kan? Masak baru tahu? Makanya Bung Karno
dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita. Kami bangsa
Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal
mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain akan diselenggarakan
dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
“Dan apa sejatinya makna kebebasan?!”
“Apa?”
“Melupakan!”
Istriku terkejut.
“Melupakan? Masak?”

“Ya! Kelihatannya tidak mungkin, bahkan sepele. Tetapi nyatanya Nelson


Mandela sudah membuktikan itu. Tak mungkin orang besar dari Afrika
Selatan itu mampu bertahan disekap puluhan tahun di penjara, padahal
usianya sudah uzur, sehingga ketika dibebaskan dia masih sehat jasmani
dan rohani sehingga mampu memimpin sebagai presiden pertama Afrika
Selatan!”
Lalu kuulangi Mandela seperti yang aku dengar dari Taksu.
“Kalau kubiarkan dan pelihara terus kekesalan dan kebencian kepada para
penindas, mereka yang pernah menderaku selama 27 tahun itu, akan terus
menyandera diri dan jiwaku. Aku ingin menjadi orang yang merdeka.
Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku benar-benar
merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka.”
Dewi, istriku, manggut-manggut.
“Hebat, mulia, dan sangat agung pikirannya kan, Bu?”
“Ya, iyalah Pak, orang besar memang pikirannya juga harus besar!”
“Lho, bukan orang besar saja. Orang kecil, rakyat jelata, seperti kita juga
harus meneladani apa yang ditemukan oleh orang-orang besar itu. Karena
itulah kita sebut dia pemimpin. Bukan hanya karena dia berdiri paling
depan kalau kita berperang, itu sih wayang. Tetapi karena dia membuka
makna-makna di dalam kehidupan, sehingga kita bisa melihat apa
sebenarnya inti baik, buruk, adil, dan khususnya kemerdekaan itu. Tidak
seperti kita sekarang di Indonesia ini yang sibuk membenci orang lain,
meskipun memang pantas dibenci!”
Istriku termenung.
“Jadi Bapak setuju pada Mandela?”
“Lho bukan hanya aku yang sudah tua bangka ini, Bu. Bukan hanya kita
yang sudah bangkotan karena kebanyakan makan garam ini saja. Anak
kita, si Taksu yang masih mentah itu, juga setuju. Justru dia yang tadi
membacakan pikiran agung Nelson Mandela itu kepadaku, sehingga aku
seperti mendapat pencerahan. Begitu hebatnya arti kata-kata. Hanya kata-
kata, tetapi cukup bisa mengubah perasaanku. Itu dia kehebatan seni.
Pikiranku seperti dicuci bersih, plong sekarang oleh kebenaran yang
diulurkan Mandela. Umpama Ibu hanya masak tempe-tahu atau ikan asin
tok seperti biasanya, suamimu ini tidak akan sambat lagi. Perasaanku jadi
tenang setelah mendapat siraman kebenaran dari Mandela. Batu pun
rasanya sekarang enak!”
“Ah, Bapak kalau lagi senang suka melebih-lebihkan begitu.”
“Lho, aku serius! Ini penting sekali. Perubahan itu tidak dimulai dari
penampakan jasmani, tetapi rohani. Kalau di dalam sini sudah bener,
semuanya akan jalan. Tapi kalau di hati sudah rusuh dan kotor, apa saja,
yang baik dan sudah adil juga jadi salah. Ya nggak?”
“Jadi Bapak sekarang pengikut Nelson Mandela?”
“Bukan, bukan, ini bukan kultus individu. Nelson Mandela tidak usah
dipuja-puja. Dia juga manusia biasa. Tetapi pikirannya tentang
kemerdekaan dan kebebasan itu sangat agung, perlu, harus, wajib, dan
mesti kita laksanakan, kalau mau mengubah keadaan baik di Indonesia
maupun di batin kita sendiri. Kita harus menjadi manusia yang merdeka,
bebas, sehat, dan waras!”

Dewi menganguk-angguk.
“Sekarang aku ke tetangga dulu dan menyebarkan virus kemerdekaan dan
kebebasan Nelson Mandela ini. Hal-hal yang baik tidak ada gunanya kalau
tidak disosialisasikan! Ini ibadah!”
Aku bergegas keluar. Kutumpahkan ucapan Nelson Mandela itu, lengkap
dengan kecap manisku. Aku pujikan usaha berpikir positif, yang konkret
dan arif-bijaksana itu.
Tak cukup kepada beberapa tetangga, kusamper warung dekat rumah. Aku
tularkan konsep kemerdekaan yang membebaskan perasaan itu kepada
semua orang. Yang menyenangkan, hampir semua, setelah diberi
penjelasan, keplok tangan, sepakat menganggap Nelson Mandela sudah
memasok rumusan penting untuk membuka citra baru tentang apa itu
merdeka.
Sore hari baru aku pulang. Ketika membuka pintu, terdengar suara azan
dan beduk tanda buka puasa. Tepat sekali. Aku bergegas masuk, lalu
nyruput teh manis panas yang sudah dihidangkan istriku. Nikmat. Tak ada
yang lebih indah dari seteguk teh panas manis di ujung puasa. Perutku
langsung gemeletuk minta diisi. Tapi ketika membuka tutup meja makan
aku terkejut.
Tempe, tahu, dan ikan asin lagi.
“Kok hanya tempe-tahu dan ikan asin tok? Beribu-ribu kali aku sudah
makan tempe-tahu dan ikan asin, masak aku mesti makan semuanya itu
sekali lagi sekarang sesudah 12 jam tidak makan dan minum? Mana pecel
lelenya?”
Istriku cepat datang.
“Kenapa, Pak?”
“Kenapa tempe-tahu dan ikan asin lagi. Tempe-tahu dan ikan asin tiap
hari. Mana pecel lelenya? Aku kan sudah minta sekali ini pecel lele? Aku
kan minta pecel lele?”
“Ya!”
“Mana?”
“Tapi?”
“Jangan tetapi! Pecel lele! Mana? Aku kan minta pecel lele, bukan tempe-
tahu dan ikan asin! Pecel lele!”
“Ya, Bapak memang minta pecel lele, tapi setelah itu Bapak bilang….”
“Pecel lele!”
“Tidak! Setelah minta pecel lele, Bapak bilang, kalau hati sudah plong,
bersih, merdeka, dan lapang, apa pun jadi baik. Batu pun jadi enak!”
Aku tertegun.
“Aku bilang begitu?”
“Ya, Bapak bilang begitu!”
Aku terhenyak.
“Ya, ya sudah, kalau aku sudah bilang begitu, memang harus begitu.
Nggak ada masalah. Tempe-tahu dan ikan asin juga enak kalau batu saja
enak!”
Kontan kulupakan pecel lele, kembali pada Nelson Mandela. Tempe-tahu
dan ikan asin itu aku andaikan dalam hati ikan reca-reca. Dengan garang
aku lahap tempe-tahu dan ikan asin itu dengan nikmat. Peluh berleleran
dari kepalaku. Istriku takjub seperti tak percaya.
“Bener nikmat?”
Nikmat sekali. Lalu aku berbisik mesra untuk membuktikan
kenikmatanku.
“Besok pagi kita kabulkan permintaan Taksu yang sudah dua tahun kita
tunda, karena khawatir dia ketularan budaya kemewahan. Kita belikan dia
motor baru. Ibu tarik semua uang kita yang dipinjam oleh tetangga-
tetangga, karena memang sudah lama betul belum dikembalikan.”
“Tidak bisa!”
“Lho, kenapa tidak? Tiga bulan lalu mestinya sudah mereka kembalikan!”
“Itu dia, Pak. Daripada aku tekanan batin sampai malas keluar rumah
ketemu tetangga, karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang
melulu, setiap aku keluar mau bersilaturahmi mereka langsung mencelup
masuk, seperti ada hantu, takut akan aku tagih! Sudah berapa hari ini aku
jadi segan keluar rumah. Supaya bisa bebas dari tekanan batin dan
merdeka lagi, tadi aku datangi mereka dan bilang pada semuanya, ya
sudah, hutang-hutangnya dilupakan saja semua. Jadi, sekarang aku sudah
bisa tenang lagi seperti kata Nelson Mandela.”
Aku langsung berhenti makan. Tempe-tahu dan ikan asin itu terasa sekeras
batu. Batu-batu itu mengganjal kerongkonganku sehingga aku tercekik.
“Ya Tuhan, alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaan. Tapi
seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah
beratnya hidup sesudah merdeka!”
Jakarta, 19 Agustus 2010
***

Bola
Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 25 Juli 2010)

AKU merayakan kemenangan Spanyol dengan membeli sebuah bola.


Dengan bangga kuserahkan bola itu kepada anak-anak yang suka main
bola merecoki jalanan sambil berpesan:
“Dulu Argentina, Italia, dan sekarang Spanyol, sempat kalah dalam
pertandingan mereka yang pertama di Piala Dunia, tapi berkat
ketangguhan dan perjuangan habis-habisan sebagai sebuah tim, akhirnya
mereka menjadi juara dunia. Hebat kan?! Nah, ternyata dengan menonton
sepak bola, kita tidak hanya menghibur diri, tetapi belajar meneguhkan
mental. Coba apalagi yang dapat kalian pelajari dari begadang sebulan
penuh nonton piala dunia, sampai pilek-pilek begitu?!”
Anak-anak itu bersorak, lalu rebutan menjabat tanganku. Mereka
mengacungkan jempol dan memuji-muji. Ada yang langsung
mengangkatku sebagai pembina, lalu menuntut supaya aku membelikan
mereka seragam, karena mereka akan bertanding.
“Bapak paling hebat, Bapak satu-satunya yang memihak anak-anak muda.
Mereka yang lain cuma bisa maki-maki mengumpat kami bandit, karena
kami main bola di jalanan. Padahal kami kan main di pinggir jalan, nggak
ada yang main di tengah jalan. Ya kalau mau supaya kami main di
lapangan, bikinkan lapangan dong!”
Aku kecewa. Bukan itu yang aku harapkan. Ternyata petuahku tidak
terlalu diperhatikan. Anak-anak itu lebih suka hadiahnya.
Sampai di rumah aku sambat.
“Sebagus apa pun pelajarannya, tapi kalau yang menerima otaknya batu,
tidak akan ada gunanya. Mubazir semua! Payah!”
Istriku heran.
“Maksudnya?”
“Ya begitulah mereka itu. Diajak rembugan, nggak ada yang ngarti!
Bagaimana bisa hebat kalau tidak pakai otak? Main bola itu kan bukan
sekadar menyepak bola, tapi pakai taktik, strategi, pakai perhitungan.
Memerlukan kecerdasan! Nggak cuma kekuatan. Ngawur! Lihat
Spanyol!”
“Siapa mereka?”
“Anak-anak kampung yang suka main bola di jalanan itu!”
Istriku terkejut.
“Lho, sejak kapan Bapak bergaul sama anak-anak itu? Bukannya Bapak
yang dulu memelopori kompleks supaya ngusir mereka supaya jangan
main bola di jalanan?”
“Memang. Main bola kok di jalanan itu gila. Membahayakan diri dan
mengganggu lalu-lintas. Itu namanya asosial. Main bola di lapangan dong.
Itu ada tanah kosong di belakang rumah Pak Haji, kalau dibersihkan kan
bisa dijadikan lapangan. Pak Haji yang punya tanah juga sudah
menawarkan sendiri. Dia seneng kok tanahnya dipakai sebelum dibangun .
Daripada jadi semak belukar dan sarang ular seperti sekarang ini?!”
Istriku manggut-manggut.
“Lho kamu kok manggut-manggut?”
“Habis Bapak sudah ketularan perilakunya pemain politik. Dulu marah-
marah sama mereka, sekarang malah bergaul. Aneh!”
“Mereka harus mengerti apa arti kemenangan Spanyol. Jangan hanya
menangnya saja dilihat. Ngapain kita ikut seneng-seneng padahal orang
lain yang menang. Ya, karena kita mendapat pelajaran! Spanyol itu
menang, bukan karena yang paling keras menendang bola, tapi karena
taktiknya pas. Jadi main bola itu tidak hanya pakai kaki!”
“Pakai apa?”
“Otak!”
Istriku ketawa cekakakan. Tapi lalu pergi. Padahal aku sedang kepingin
menerangkan panjang lebar pelajaran apa saja yang bisa ditarik dari Piala
Dunia. Rasanya tidak ada yang mengerti apa sebenarnya makna main bola.
Mereka pikir otak ditaruh di rumah kalau sudah beraksi di lapangan hijau.
“Kenapa perempuan ditakdirkan tidak suka nonton bola, Ami?” kataku
menyalurkan rasa dongkolnya kepada cucuku.
Ami yang sedang baca buku menoleh.
“Kakek masih kesel ya, Argentina dan….”
“O tidak. Kakek sudah seneng, Spanyol menang. Mereka juga
mempraktikkan sepak bola indah. Sepak bola itu seni, Ami. Banyak yang
bisa kita pelajari dari sepak bola.”
“Misalnya?”
“Disiplin, bekerja sebagai sebuah tim, menahan emosi, mengatur
strategi.”
“Dan main di jalanan, mengganggu lalulintas!”
“Nah itu dia! Itu sepakbola yang tidak pakai otak. Mereka hanya pakai
kaki. Main bola hanya untuk kesenangan tok. Itu sepak bola hiburan.
Sepak bola yang sebenarnya itu serius. Sepak bola itu adalah ilmu!”

“Ilmu menendang bola ngenain kepala, supaya Ami jatuh lagi dari motor?!
Udah ah! Ami mau baca. Cukup satu orang saja yang gila bola dalam
rumah. Satu bulan Ami susah tidur karena Kakek teriak-teriak di depan
televisi seperti orang kesurupan!”
Aku tidak mau berantem dengan cucu. Lalu duduk menyepi di teras.
Waktu itu, tetangga lewat. Darahku berdesir, karena tetangga itu
membawa sebuah bola. Entah kenapa ia yakin sekali, itu adalah bola yang
sore tadi aku hadiahkan kepada anak-anak jalanan itu.
Aku pura-pura menyapa.
“Dari mana Pak, malam-malam?”
Tetangga menoleh dan tersenyum.
“Baru pulang kerja Pak. Tadi ribut dengan anak-anak itu.”
“Ada apa?”
“Mereka main bola lagi di jalanan. Padahal sudah beberapa kali bolanya
ngenain kepala orang naik motor, sampai pengendaranya jatuh babak-
belur. Putri Bapak juga pernah kena batunya kan?”
Aku mengangguk lemah.
“Betul!”
“Akhirnya bolanya saya rampas!”
“O ya? Kenapa?”
“Habis tadi giliran kepala saya jadi sasaran tadi! Motor saya masuk
selokan, jadi terpaksa dibawa ke bengkel. Untung saya tidak apa-apa!”
Aku tak berani lagi bertanya.
“Saya dengar dari mereka bolanya dari Bapak. Betul?”
Aku tak bisa mengelak.
“Ya, ya, saya kasih mereka bola, supaya mau bikin lapangan di tanah
kosong itu dan berhenti mengganggu lalu-lintas di jalanan.”
Tetangga itu lalu menghampiri sambil mengulurkan bola.
“Hadiah Bapak tidak salah. Bapak pasti tidak berniat yang bukan-bukan
dengan hadiah ini. Memang betul, masih lebih baik mereka main bola
daripada kecanduan narkoba. Yang salah adalah kita yang tidak pernah
menyediakan tempat bermain buat anak-anak itu, sehingga mereka main di
jalanan. Tetapi masalahnya, main bola bukan lagi mengajarkan mereka
menjunjung kejujuran, tapi suka akting meniru-niru pemain-pemian bola
itu yang pinter memancing supaya dapat free-kick atau penalti. Masak
terang-terangan, mereka tendang ke kepala saya, tapi mereka sumpah-
sumpah bilang motor saya yang salah jalan. Ya saya memang melawan
arus, sebab saya mau pulang, rumah saya kan memang di sini, mereka
tahu itu. Lha mereka itu bilang saya ganggu mereka. Padahal mereka yang
selama ini sudah ganggu kita. Jalan kan untuk motor, bukan buat main
bola!”
Aku terpaksa manggut-manggut.
“Ini bolanya Pak, kalau mereka datang, pasti mereka akan datang, jangan
katakan saya sudah kembalikan bolanya ke Bapak. Biar mereka bicara
sama saya. Kalau mereka minta maaf dan menyadari kesalahannya,
silakan bolanya kalau mau dikembalikan! Supaya jadi pelajaran!”
Dengan perasaan tak enak, aku terpaksa menerima bola itu. Dan betul saja,
seperti yang diperkirakan tetangga, tengah malam, anak-anak itu muncul.
Mukanya sedih.
“Pak, mohon maaf malam-malam mengganggu.”
“Ada apa?”
“Bola yang Bapak berikan pada kami itu, Pak!”
“Kenapa?”
“Pecah digilas stoom, Pak.”
Aku menghelas napas. Benar kata tetangga itu. Yang dipelajari anak-anak
itu dari main bola adalah aktingnya. Sialan.
Setelah pikiranku tenang, aku terpaksa ikut berakting.
“Kalian semua tahu, apa sebabnya stoom yang mestinya hanya ngurus
jalan-jalan rusak yang harus diaspal itu, kok ujug-ujug melindas bola baru
kalian itu sampai pecah?”
Anak-anak itu heran. Mereka pandang-pandangan satu sama lain. Tak
menyangka dapat pertanyaan seaneh itu.
“Tidak tahu kan?”
Anak-anak itu tersenyum.
“Tidak.”
“Nah! Bola kalian digilas sampai pecah, supaya kalian datang ke rumahku
mengadu seperti sekarang ini, bukan hanya sekadar laporan bola baru
yang aku hadiahkan kepada kalian itu sudah hancur. Tapi karena aku
memang belum mendengar apa jawaban kalian, kenapa Spanyol menjadi
juara dunia?
Semuanya nonton kan?”
“Nonton Pak.”
“Kalau begitu kalian pasti tahu bahwa Spanyol menang bukan karena dia
yang paling pinter main bola. Siapa yang bisa meragukan kepintaran
pemain-pemain Brasil dan Argentina? Kaki mereka sudah seperti tangan
saja. Tapi main bola tidak hanya menendang bola. Main bola juga
memerlukan jiwa seorang pemain bola yang bener. Tahu kalian, apa
sebenarnya jiwa pemain bola yang sejati?”
“Memanfaatkan serangan balik, Pak!”
“Salah!”
“Kekompakkan, Pak!”
“Tidak cukup!”
“Mempergunakan kelengahan lawan!”
“Tidak hanya itu!”
“Kepercayaan diri, Pak!”
“Boleh tapi belum sempurna!”
“Kematangan juara, Pak!”
“Semua itu benar tapi bukan intinya! Intinya adalah inti dari apa yang
dimaksudkan sebagai sport, sejak olahraga itu itu disebut sport. Intinya
adalah sportivitas. Kejujuran! Spanyol menjadi juara karena dia yang
paling tangguh di dalam membela kejujuran. Sepak bola adalah
pendidikan untuk menjadikan manusia jujur. Mengerti?”
Anak-anak itu tertawa. Itulah yang aku tunggu-tunggu. Bagaikan Arjuna
ketika membunuh Niwatakawaca, aku langsung membetot.
“Kalian boleh ketawa! Itu menunjukkan bahwa kalian lebih tidak tahu
lagi apa sebenarnya sepak bola itu! Percuma main bola kalau tidak tahu
apa sejatinya arti main bola. Lebih baik pulang sekarang, renungkan apa
yang sudah aku katakan tadi. Nanti kalau sudah mengerti apa maknanya,
boleh datang ke mari lagi, pintu rumahku selalu terbuka.”
Anak-anak itu terpesona.
“Maksud, Bapak?”
“Ya itu tadi. Cari inti apa yang aku katakan tadi. Main bola itu bukan
hanya menendang bola, tapi mengasah pikiran dan juga perasaan. Tanpa
itu, Spanyol tidak akan pernah jadi juara. Hanya mencoba memanfaatkan
kelemahan dan kelemahan lawan, itu bukan sport, itu namanya judi.
Untung-untungan. Main bola seperti itu, tidak ada gunanya untuk
pembentukan karakter bangsa. Negara membiayai olahraga main bola
dengan menyisihkan miliaran belanja negara yang berasal dari cucur-
keringat rakyat, untuk apa, kalau bukan untuk membina negara dari dalam
rohani rakyatnya. Pembangunan fisik saja akan membuat bangsa ini
timpang, para pajabat korup dan hukum tidak bergigi!”
Tiba-tiba istriku keluar.
Aku menyangka dia muncul untuk menghidangkan minuman. Ternyata
perempuan yang sudah 40 tahun menemaniku tidur setiap malam itu,
keluar sambil membawa bola anak-anak muda yang dirampas tetangga itu.
Tanpa berkata sepatah pun, dia meletakkan bola itu di meja, kemudian
pergi. Aku kontan mati langkah. Seluruh kecapku berantakan. Anak-anak
itu bersorak. Mereka mengambil bola itu, lalu lari keluar tanpa bilang apa-
apa lagi. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Habis, aku bosan dengar Bapak ngasih kuliah sama anak-anak itu!” kata
istriku kemudian di tempat tidur. “Kok bicara tentang kejujuran, kejujuran,
kejujuran, padahal sendirinya tidak jujur! Sudah jelas anak-anak itu
bohong, bagaimana mungkin bola dilindas stoom. Semua juga tahu, bola
itu dirampas tetangga kita, karena menghantam kepalanya sampai dia
jatuh dari motor, karena anak-anak itu main bola di jalanan. Kenapa tidak
bilang terus-terang saja apa adanya. Jangan main bola di jalanan? Apa
kebohongan mesti dilawan dengan kebohongan?!!”
Aku sebenarnya malas menjawab. Tapi mulutku bicara.
“Aku kan hanya mau mengajarkan agar anak-anak itu jangan berbohong!”
“Dengan berbohong?”
“Berbohong demi kebaikan itu perlu!”
“Bohong tetap saja bohong! Bohong itu tidak bisa dihubungkan dengan
kebaikan.”
“Tapi itu kata-kata orang besar!”
“Betul! Tapi kalau yang mengatakannya orang besar, tidak apa, sah! Apa
Bapak sudah merasa diri orang besar sehingga bohong itu jadi betul?!”
Mulutku tidak mau menjawab lagi. Istriku nampak sedang dalam keadaan
yang tidak ingin dibantah.
“Ingat! Bapak bicara sama anak-anak jalanan. Kalau mau melarang
mereka, pakai bohong-bohongan, mereka lebih pinter lagi. Betul tetangga
kita itu! Kalau mau melarang main bola di jalanan, pakai tindakan tegas,
ambil saja bolanya. Jangan pakai berunding ke sana-ke mari, anak-anak
jalanan itu bukan tempat perundingan. Salah urus itu namanya!”
Aku memekakkan telingaku. Lalu duduk di teras rumah menyepi.
Pagi-pagi tetangga menghampiri.
“Pak, semalam anak-anak itu datang dan minta maaf. Silakan Bapak
kalau mau memberikan bola itu lagi kepada mereka. Saya sudah merasa
puas mereka sudah belajar mengakui kesalahannya. Namanya juga anak-
anak muda. Kalau tidak nakal sedikit, bukan anak muda.“
Aku hanya menjawab dengan senyum. Dua atau tiga hari lagi, kepala
tetangga itu akan kena bola lagi, yang sengaja ditendang oleh anak-anak
itu. Kalau dia jatuh lagi dari motornya, bukan hanya bola itu yang
direbutnya, anak-anak itu pasti akan dihajarnya.
Aku benar-benar kecewa.
“Tak ada yang benar-benar nonton bola piala dunia dan mengerti
mengapa Spanyol menang,” kataku pada Ami. “Semua orang menganggap
kemenangan adalah tanda kejagoan. Hanya aku yang tetap melihat
olahraga bukan pertandingan kehebatan, tetapi arena pemeliharaan
kejujuran yang sudah semakin punah di dunia ini karena digoreng politik
dan dagang.”
Seperti biasa, Ami juga tidak peduli.
Untuk menjaga agar pikirannya tidak rusak, aku membuang jauh-jauh
masalah bola. Aku tidak peduli lagi apakah anak-anak itu akan terus
mengacau main bola di tengah jalan. Biarin saja berapa banyak lagi
pengendara motor yang akan jatuh disodok bola. Peduli amat ada anak
nanti yang mati ditabrak truk karena ngejar bola.

Tapi aneh, sore itu jalanan yang biasa ribut oleh pekik anak-anak setan itu
jadi sunyi-senyap. Hanya suara motor satu dua. Tapi makin sore, suara
kendaraan mulai ramai. Dan pada pukul 18.00 jalanan jadi riuh-rendah.
Erangan mesin, knalpot dan pekik klakson riuh-rendah.
Rupanya melihat tidak ada lagi anak-anak main di jalanan, arus lalu-lintas
yang selalu padat mulai mengambil jalan pintas, mengalir ke jalan depan
rumahku. Udara pun kontan bau dan kotor. Kebisingan itu terus
berkelanjutan makin marah sampai larut malam.
“Ya Tuhan, kalau begini, kita panggil anak-anak itu lagi, jangan main di
tanah kosong milik Pak Haji, main di jalan raya saja!” kataku menghasut
tetangga, “Mereka lebih paham dari kita, kenapa Spanyol menang!” (*)
Jakarta, 14 Juli 2010

***

Rasa
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 27 Juni 2010)

MEMANDANGI koran, melahap foto doktor termuda Indonesia I Gusti


Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27 tahun, mataku tidak berkedip. “Cantik,
badannya bagus, senyumnya mempesona,” gumanku memuji. “Kalau aku
masih muda, aku akan datang kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, “Begitu ya? Bagaimana
kalau ditolak?” Aku mengangguk.
“Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum
di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi
doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari
tanganku.
“Seorang wanita adalah sebuah cahaya,” kataku selanjutnya
menggembungkan pujian, “Hanya cahaya yang bisa membuat negeri ini
bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi bukan
hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya,
tetapi membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin
negara yang sudah bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah
menjadi perempuan, Ami!”
Tak ada jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam
kamar.
“Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
“Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
“Tidak punya perasaan bagaimana?”
“Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
“Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima
kenyataan!”
“Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku
terus ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring.
“Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak boleh memuji
kalau memang ada orang cantik yang pintar. Biasanya orang cantik kan
bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang pintar, tapi jarang yang
cantik. Karena kecantikan dan kepintaran seperti air dan minyak, sulit
digabung. Itu fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah realita!”

Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya setelah Ami
ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya terkunci. Berarti ia bolos
ke kampus.
“Anakmu kenapa, Bu?”
“Pasti sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa
dia perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya, orang sakit
atau hanya pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan mau menjawab
kalau ditanya. Aku cepat pergi ke apotek dan membeli obat maag.
“Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah
sambil curhat.
“Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?”
“Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya
dengar sudah hampir lulus sarjana?”
“Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya
memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang warung itu, ketawa.
“Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik dan pintarnya
bukan main?”
Aku tertegun.
“Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak
kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya jantungku terpukul. Setelah beli
tablet kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu kamar
Ami sudah terbuka. Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku langsung
ke dapur.
“Ami mana Bu?”
“Ke rumah temannya. Kenapa?”
“Lho, bukannya sakit?”
“Katanya sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar Ami.
Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-buku Ami.
Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang akan melihatnya.
Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan memicu persoalan lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-
was.
“Kok Ami belum pulang, Bu?”
“Ya kan belajar di rumah temannya!”
“Tapi ini sudah malam.”
“Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
“O ya? Menginap di ruman teman?”
“Memang.”
“Kenapa?”
Istriku membentak. “Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang
tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut
malam belum pulang.
“Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang kemari. Aku
susul saja ya?!”
“Jangan! Memang kenapa?!”
“Masak anak gadis nginap di rumah teman?”
“Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti Nurbaya? Ami itu bukan anak-
anak lagi Pak. Dia sudah bisa mandiri. Biar saja belajar di situ supaya
dapat nilai A plus, nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah
jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya
yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi
sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku
tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa.
Kenapa aku selalu memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus
selalu dilindungi?
Tengah malam.
Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi
menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami
menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali,
celakanya istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak
sampai hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan
tidur.
Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah
Rani. Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat
bapaknya datang.
“Ngapain ke mari Pak?”
“Mau jemput kamu.”
“Ami belum selesai belajar.”
“Tapi ibu kamu sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku
jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu
bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan
aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.
Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.

“Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”


“Tenang! Nanti Bapak ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku
terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
“Bapak kok minta maaf sama aku?”
“Ya. Harus!”
“Kenapa?”
“Aku salah!”
“Apa salah Bapak?”
“Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan
kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung
perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan.
Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan
dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata
tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
“Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
“Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
“Salah alamat bagaimana?”
“Bapak menyangka saya sudah tersinggung?”
“Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti
hanya muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu.
Bapakmu ini memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu
orang tua untuk merangsang anaknya maju biasanya dengan cara
membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya
daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak bangga pada
kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”
Ami tertawa.
“Salah alamat, Pak!”
“Salah alamat bagaimana?”
“Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
“Ah?”
“Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam
di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”
Aku terpesona.

“Jadi ibu kamu?”


“Ya!”
Aku bengong.
“Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus
sampai pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di
situ. Biar Bapak pulang!”
“Tapi ibu?”
“Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
“Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.”
“Tidak usah!”
“Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!”
“Ami sudah selesai ujian.”
“O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”
“Di suruh ibu!”
Aku terhenyak lagi.
“Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak
jangan mau!”
“O begitu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”
“Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan
pakai singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.”
Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti
kukira, tapi dia menunggu di teras rumah.
“Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi
Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya
itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan
perempuan-perempuan sekarang yang memang harus berani mengutarakan
perasaan, karena zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah
ditunggu.”
“Kamu?”
“Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya
ketawa sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon.
Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah
ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan
istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah
naik kelas.
“Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke
boncengan Rani dan melambai.
“Besok saya nginap lagi semalam!”
“Jangan!”
“Itu perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal
aku. Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras.
Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda
yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah
pulang. Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru
karena tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan
mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa sendirian. Itu di
situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu. Bagaimana aku tidak
akan mencintainya. (*)

Jakarta, 9 Pebruari 2010


(buat sahabatku Iskan)

***

2010
Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 3 Januari 2010)
TAK terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?
“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur
pulas semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para
dermawan yang rajin menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan,
yang akhirnya jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan
korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, segala bencana yang menimpa kita itu
sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab saya, “Bayangkan, dengan
adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para cendekiawan kita,
para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata, jadi terlatih
untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu
berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat.
Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari
sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya
kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk pemimpin-
pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat banyak
bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”
Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang
dan menjual kembali obrolan itu di rumah.
“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah terjadi,
karena berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau tidak ada
pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan pasang terali besi,
sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh pencuri, satu-satunya
yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya berpidato di depan siapa
lagi kalau bukan istri.
Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa
mencari anak saya.
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
“Tentang apa?”
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”
“Hanya satu!”
“Apa?”
“Bapak beli mobil!”
Saya kecewa.
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada
kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!”
Ami tertawa.
“Habis yang ditanya harapan.”
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya
ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang
ada hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan
diri sendiri, thok!”
Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul
dari rumah tetangga.
“Bapak kok belum berangkat juga?”
“Ke mana?”
“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”
“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”
“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi.
Kalau terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau
jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang
paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”
Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.
“Naik apa?”
“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
“Cepet!”
Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya
ramai tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya menunggu, tak
satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena tidak sabar, akhirnya
saya naik angkot.
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang tiap
beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot sengaja
masuk ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk
menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.
Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar
yang menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di
tempat tidurnya sudah ada pasien lain.
“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah tetangga
yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga rumah,
semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat
membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi
saya masuki salah.
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya
terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama
memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk mengobati
hati saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga tidak ada
gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba menenangkan otak
dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa mal-mal
yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah
membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi
hiburan buat rakyat jelata.
Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam
goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu.
Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang
sebugar itu kok masuk rumah sakit.
“Pak Amat mau ke mana?”
“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja
pulang. Sudah sembuh ya?”
Dia tertawa.
“Belum.”
“Belum kok sudah gentayangan di mal?”
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata
dan cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”
Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.
“Jadi?”
“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya
judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger.
Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan.
Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
“O, begitu?”
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati. Buat
apa kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah
didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan
muntah terus habis makan.”
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah
nengok!”
Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan
cepat yang sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah
bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.
“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang ke
rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan dapat
pelayanan yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk
memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah bersenang-
senang.”
Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya tidak
ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di
tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan
perasaan saya.
Ami jadi penasaran.
“Bapak kenapa?”
“Kamu percaya tidak, Ami?”
“Apa?”
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk
mendapat kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”
“Memang.”
Saya tercengang.
“O ya, jadi kamu setuju?”
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”
Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang
makhluk lain yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri
saya.
“Kok Bapak melotot begitu?”
“Kamu aneh!”
“Saya atau Bapak yang aneh?”
Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa
aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan
itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari
dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami berbagai hal.
Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun
2010 itu hanya mobil.”
“O begitu?”
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu
Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan
dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status
sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan bekerja,
seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena kecepatan adalah
tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.”
Ami ketawa.
“Salah.”
“Salah?”
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat
kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
“Persis!”
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”
Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama.
Ami kontan mengejar.
“Apa coba?”
Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia sudah
mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.
“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali
berhasil memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang
saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia
juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini,
terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan
dalih masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu
kenyamanan orang lain.
“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di
mal makan ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok
makan makanan sampah di mal!”
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di dalam
rumah. Yang penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu kebahagiaan
saya. Besoknya saya jumpai tetangga.
“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang
tertunda sebelumnya.
Tetangga itu tercengang.
“Apanya yang betul?”
“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator
dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”
Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan
warga itu?”
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam
sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap
hari itu?”
Saya tertegun.
“Ya Pak?”
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja
profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu
profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk
menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan
sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan
pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga
pada pekerjaannya dan menjadi profesional!”
Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak
ingat, yang dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam
adalah saya. Karena saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur
bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak,
saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan
gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam
yang kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan.
Supaya meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti
masuk ke telinga mereka.
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada obat
yang mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan terus
bertambah, kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya. Dan
itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca
mata yang berbeda-beda.
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang
keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu,
memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak
khawatir juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,”
komentar hati kecil saya.
Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah tahan
banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu
senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa
ramah!”
Anak saya juga nimbrung.
“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya.
Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau tidak
setuju, tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara jantan!”
Saya mencoba tertawa.
Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur dan
tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan siang?
Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang buruk?
Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado? Berbagai
unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya
dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.
Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya.
Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah
merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan
menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak
memutuskan riwayatnya.
Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010
sudah datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita
tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib.
Kita adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana
cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki
mungkin terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka
sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk
membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi
semuanya juga atas kehendak-Nya.”
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
“Aku,” bisik 2010.
Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir. (*)
Jakarta, 16 Desember 09

***

Anda mungkin juga menyukai