Anda di halaman 1dari 7

Teks II

Tersebutlah seorang raja Parikesit namanya, putra Abimanyu dari perkawinan dengan
Dewi Utari, menjadi murid Begawan Kersa, selesai dalam banyak pengetahuan.
Gowindapriyah samyktah, sempurna kasih Bhatara Kresna, dihidupkan oleh beliau ketika
terkena anak panah sang Aswatama, ketika itu beliau sedang berada di dalam perut Dewi Utari.
Lahirlah dia diberkahi supaya hidup oleh Bhatara Kresna, dirawat oleh Maharaja Yudhistira.
Dialah yang menggantikan raja di Kerajaan Hastina, pada waktu perginya sang Pandawa
menyelinap di hutan belantara.
Şaşţiwarşāny apālayat, lama sudah mereka memerintah selama enam puluh tahun.
Yathā Pāņdu mahābāhuh, tetapi Maharaja Pandu gemar berburu. Tiap gunung dan hutan
didatanginya untuk mencari binatang liar. Ada juga kijang yang mengikuti mereka, menjadi
lelahlah beliau karenanya.
Kşutpipāçramā, beliau hendak meminum air. Beliau menjumpai seorang pendeta di ladang
ketika di tepi biara, di tempat menggembala sapi. Ketika sang Resi sedang tidak memakan buih
dari anak lembu, beliaulah yang ditanya tentang arah dari kijang. Maka tidak menjawablah
Sang pendeta ini, karena beliau sedang tapa bisu, nama pendeta tersebut Begawan Samiti.
Maka marahlah Sang Parikesit karena tidak menjawab pertanyaannya, terdapatlah sebuah
bangkai ular deles, kemudian diambillah olehnya dengan ujung busurnya, dikalungkan di leher
Begawan Samiti. Berdiam dirilah sang pendeta. Sesudah maharaja Parikesit berbuat demikian,
pulanglah beliau ke istananya. Terdapatlah putra Begawan Samiti dari pada lembunya, bernama
Sang Srenggi, kebetulan bertanduklah dia, tetapi memuncak tapanya manjur mantranya dia,
dapat masuk ke dalam tempat dewa-dewa, selalu menghadap kepada Bathara Brahma.
Disebabkan yang bernama Sang Srenggi ini bertabiat pemarah. Mereka kemudian diajak
bercakap oleh sang Kresna:
“putra dari Brahmana “
Bukan karena dia marah, tetapi bermaksud bersenda gurau beliau berkata itu :
“ Çrnggin garwito bhawa. Kamu Srenggi, jangan kamu mudah marah, mabuk oleh kepandaian,
tidak melihat yang sebenarnya, kamu sungguh sabar”.
Pituh kanthe ‘pi dundubhi. Pada suatu waktu, Maharaja Parikesit, raja dari Kerajaan Hastina
membelit-belitkan kepada beliau, yaitu ayahmu bangkai ular deles, sekalipun begitu tidak
marah dia; akan ada dia suatu saat nanti mengalungkan ular tesebut ke lehernya; begitulah
hendaknya perbvuatanmu, mencontoh bapakmu. “
Begitulah sabda sang Krsa. Amarah sang Srenggi terdengar hilang oleh sang Krsa
Teks III

Hai kamu Krsa, terlihat sakti karena tapaku juga! Bahwa ratu Parikesit seperti yang kau
beriahukan pada kami, membelit-belitkan kepada bapakku ular yang tak berdosa kepadanya,
menghina dia kepada sang pendeta. Ada seekor naga, Taksaka namanya.
Martawyam saptarâtrena. Pastikan datang karena kutukanku pada hari sesudah tujuh malam
akan menggigit Ratu Parikesit.”
Begitulah sang Srenggi mengutuknya. Pulanglah beliau, dijumpai sang bapa tak bergerak dalam
tempat menggembala dari tempatnya dulu, disebabkan bangkai dari sang ular berbau busuk di
leher beliau. Berteriaklah sang Srenggi menangisi kepada bapanya. Lalu diambillah bangkai dari
ular itu, berkatalah dia :
“ Crutwemam dharsanām taia. Aduhai bapa hamba! Mendengarlah hamba dari penghinaan oleh
Ratu parikesit kepada tuan. Pemberitahuan sang Krsa kepada kami, sudahlah hamba mengutuk
supaya dimakan oleh Naga Taksaka pada akhir tujuh malam, dosanya bahwa mengalungi tuan
dengan ular.”
Begitulah ucap sang Srenggi. Menjawablah bapanya yang didapati setelah tapa bisu beliau,
karena sibuk beliau mengutuk sang prabu:
“ Naisa dharmas tapaswinam. Jangan begitu anakku, bukan kewajibanseorang pendheta
memang marah namanya. Janganlah anakku marah, bahkan kepada sesamanya juga, pula
kepada sang prabu, beliaulah yang memiliki pertapaan ini, hutan inilah hutan tempatmu
mencari bunga dan kayu bakar ini, air beliau adalah air yang engkau minum, beliau menjaga
kamu bertapa, oleh karena itu janganlah kamu menggangu, sempurna juga hendaknya, siapa
yang menyebabkan kekuatan dia? Bukankah sang prabu berjasa kepadanya bagi orang seperti
tuan pendeta; terkutuk jugalah kamu, tidak pantas perbuatannya. Pendeknya aku, aku
menyuruh supaya meminta pelenyapan sumpah, janganlah benci kepada beliau.
Begitulah ucap sang Begawan Samiti, memberitahu kepada anak beliau. Terdapatlah muridnya
sang Aghoramuka namanya, dia disuruhnya menyampaikan kepada maharaja parikesit dengan
panah sang Srenggi. Tetapi malulah sang prabu untuk meminta penawaran sumpah. Sungguh-
sungguh menjaga badab beliau juga dia. Adalah menara yang luar biasa tingginya, seperti
gunung rupanya kuatnya, dia dilindungi dari empat penjuru mata angin, bukan saja sang
brahmana mempunyai mantra yang kuat tetapi juga tabib penawar bisa, semua dengan
berhati-hati mengelilingi menara itu. Maharaja berada di dalam. Sampailah pada saat hari ke
tujuhnya, hendak berjalanlah dia Begawan kasyapa menolong sang Parikesit, bukan Kasyapa
ayah garuda karena beliau kasyapa yang lain. Beliaulah yang melihat kepada mantra obat bisa
ular; mengapa maksud beliau hendak menobati sang prabu, agar supaya diberi emas, intan dan
perhiasan raja. Ketika berada di siangnya, disitulah beliau ditegur dengan ramah tamah oleh
naga taksaka, katanya : dwijo bhutwa wayo’tigah, pura-pura menjadi pendeta rupanya:
“ Kwa bhawams twarito yali?” Begitu katanya :
“ Kemanakah tujuan tuanku sehingga tergesa-gesa cara tuanku berjalan, dan apakah yang
menjadi maksu tuanku?
Begitulah perkataan naga Taksaka. Menjawablah Begawan Kasyapa:
“ Nrpam Kurukulotpannam. Beliau maharaja Parikesitlah yang akan menjadi tujuanku sekarang,
yang akan digigit oleh naga Taksaka katanya yang akan ku lakukan sekarang, beliaulah yang
akan diobati maksud hamba, karena dia anak sang Kuru, keturunan yang menghidupkan segala
kebajikan. “
“ Benar tuanku, aku ini bernama Taksaka di dunia, disuruh oleh sang Srenggi dijawablah oleh
sang Parikesit, apakah yang menjadi obat ketika sudah didatangi matinya oleh hamba?”

Teks IV
Berujarlah Begawan Kasyapa, “ hai kamu naga Taksaka, lihatlah pohon beringin itu
sangat sempurna tumbuhnya, ada juga orang masih mengapak kayu yang dipanjatnya lewat
pohon beringin itu, dialah itu dihanguskan olehmu, obatilah aku dengan penawar racun ular,
ketahuilah olehmu tentang kesaktiannya.

Kembalilah naga itu kepada bentuk semulanya, jawabnya dari belakang pohon beringin itu,
keluarlah bisa dari api yang berasal dari mulutnya, hanguslah pohon beringin itu terbakar
menjadi abu dengan yang memanjat membawa kapaknya. Apalagi segala dahan dari beringin
dan daunnya semua menjadi abu. Dihimpunkanlah oleh sang Kasyapa, dimantrakannyalah dia
oleh obat racun ular, yaitu pemberian beliau sang Brahmana. Tak berdaya oleh racun,
sempurnalah dia yang pohon beringin, bersama dengan orang yang memanjat bersama
kapaknya, tak ada perubahannya. Heranlah naga Taksaka melihat kesaktian Begawan Kasyapa.
Oleh karena itu menyembahlah naga Taksaka disuruh kembalilah dia, memberi mas dan
permata. Kembalilah beliau sang Kasyapa, tidaklah gembira si Taksaka oleh kemblinya sang
Resi. Berjalanlah sang Taksaka menuju Kerajaan Hastina. Mendengarlah sang prabu bahwa
sudang berjaga-jaga, tinggal di dalam menara, dijaga oleh para mantra dan bendahara beliau
semua, yang membawa bermacam-macam senjata, tak usah dibicarakan lagi sang pendeta
yang manjur mantranya pada bisa ular. Memikir-mikirkan naga Taksaka tentang penjagaan
sang prabu di hastina, mencari akallah sang taksaka, lantarannya datang di tempat sang prabu
dijaga oleh
Bendahara dan mentri serta tentara, dengan hati-hati mengelilingi menara dari bawahnya.
Sudah dia pikir-pikir dengan akal yang terhalus oleh naga Taksaka, berubah memakai wujud
pendeta yang pura-pura membawa buah jambu persembahannya untuk sri maharaja; langkah
eloknya buah persembahan itu, luar biasa menurutnya; tak khawatir sang prabu yang didatangi
oleh Taksaka berwujud pendeta. Selanjutnya buah persembahan berupa yang berupa jambu;
diterima oleh sri maharaja. Tetapi diceritakan yang membawa buah jambu adalah saudara dari
naga Taksaka, yang mengikuti dari dunia bawah, dan si Taksaka tinggal di bulu jambu itu. Dan
si Brahmana yang membawa jambu itu sudah dipersembahakan, membacakan kitab keramat
yang membawa berkat, memuji-muji dengan memberi berkah dengan mantra, dijamu dengan
upah. Sesudah kitab keramat ynag membawa berkah disuruhnya mereka itu kembali ke tempat
bertapanya oleh sang prabu Parikesit. Lagipula senja telah tiba, naik di atas gunung juga sang
matahari. Berkatalah panglima tentaranya, ditanyakannya apakah matahari sudah terbenam.
Sembah sang mantra baru saja naik gunung. Sudah hilang sangkanya, mencarilah beliau jambu
satu demi satu, persembahan dari yang memakai wujud orang pertapa, tak terhinggalah
tertarik hati, senang hatinya sri maharaja. Ada ulat di dalam jambu, kecil dan hitam, terlihat
merah melotot olehnya, ditarik dibuangnya. Dia itulah yang tertawa-tawa dan berkatalah dia.
Tetapi pasti penghinaan oleh beliau adalah cacing yang menjadi lantaran kematiannya sudang
datang, ucapnya :
“ Benar yang dikatakan sang Resi; begitu si naga Taksaka tinggal di dalam buah jambu, inilah
serangan membunuh kami. “
Begitulah pikirannya maharaja Parikesit; seperti diperingatkan oleh cacing kecil; kembalilah dia
dengan wujud naga Taksaka, diserangnya leher maharaja Parikesit,
mengantarkan bhasmibhutake badan beliau menjadi abu. Meloncat menghilang sang Taksaka
menuju angkasa, berpulanglah dia ke nagaloka. Ketika maharaja Parikesit meninggal, ramailah
tangisan di istana. Kepada beliau (jenazah Parikesit) dipersembahkan penyucian jenazah pada
waktu senja serta upacara-upacara sesuai dengan yang diharuskan, dibaringkan. Pada
keesokan harinya dirajakanlah anak beliau bernama sang Jayamejaya. Masih kanak-kanak
beliau, tetapi dirajakan oleh karena dianugerahi dengan kebajkan bersifat keelokan, dianugerahi
dengan kepandaian dalam kesaktian. Semakin sakti juga beliau, melihat dalam tingkah laku dan
bentuk hasrat yang bagaimanapun. Oleh karena itu berkatalah semua bendahara yang mulia :

Teks V
Oleh karena itu berkatalah semua bendahara yang mulia :

Setelah dinobatkan sang janamejaya diberkati oleh pendeta yang terhormat itu. Kemudian
Sang Brahmana dari pendeta istana itu tahu benar tentang buku Weda.
Diizinkan untuk beristrikan anak dari sang raja kaci, tak terhingga sifatnya yang baik dan
berwajah cantik, makanya sang Brahmustiman terpilih menjadi puteri raja. Dia diperistri raja,
sehingga membuat pesta kurban ular.
Demikian Sang Brahmana, menyetujui kepada para menteri, bahwa beliau memperistri
putri dari Sang Raja Kaci. Dikawinkan disaat yang baik, pada waktu itu juga saat sang jaratkaru
sedang pergi kemana- mana mencari istrinya, bersamaan dengan perkawinan raja Janamejaya.
Setelah lamanya sang Prabu memerintah, makmurlah negaranya, beliau sangat saleh, cerdas
dan disukai banyak orang.
Sedikit kekalahannya saat melawan raja besar Yudhistira dan unggul atas musuhnya.
Sesudah beliau mengalahkan desa Talsila, lalu begawan uttangka memberitahukan bahwa ayah
beliau mati oleh naga taksaka. Kemudian beliau memerintahkanlah untuk menyelidiki sang
prabu kepada menterinya apakah betul almarhum maharaja mati dimakan oleh ular, seperti
yang dikatakan oleh begawan uttangka yang sebenarnya adalah kata sang menteri semua.
Itulah sebabnya beliau menghendaki diadakannya pesta kurban ular, yang hendak membalas
dendam kepada naga yang jahat taksaka. Bertanya kepada menterinya, barang siapa yang
melihat bhagawan kacyapa, bahwa ketika bercakap melawan taksana yang baru saja berjalan.
Memberitahu kepada sang menteri barang siapa yang bisa naik pohon beringin ikut menjadi
hangus.
Oleh karenanya Taksaka akhirnya hiduplah mereka dari mantra bhagawan kacyapa. Mereka ikut
pulang ke Kerajaan Hastina, disambutlah kedatangannya dan kesempurnaan dari bhagawan
Kacyapa. Maharaja Janamejaya kebingungan karena kemarahan beliau Taksaka untuk iyu
sebabnya beliau mencari seluruh Brahmana sepertinya guru agama yang mulia dari pendeta
istana ditanya oleh beliau apakah ada suatu pesta yang dinamakan korban ular, jawab Sang
Brahmana;” Sang ratu menyediakan sesaji serta mantra seluruh pelaksanaanya, diajarkan oleh
buku weda yang kramat, dan sri maharaja konon kabarnya diundang. Sejak dulu tidak ada ratu
yang lainnya dalam kurban ular. Demikian pula kebaikan ratunya kepada pegawai/ pekerja
dalam kurban ular. Begitu pula kebaikan ratunya kepada pekerja pesta korban ular itu. Dengan
demikian sang Brahma, pada waktu itu yang diperintahkan kepada semua menterinya konon
pegawai dalam sarpan peryai.
Dengan perintah Sang Brahmana yang diatur sesuai dengan tempat sarpan luasnya
tempat itu mengadakan sajian luasnya dengan ukuran dua yajana diukur oleh sang Brahmana
yang dipasangi mantra manjur dari pencipta kitab suci ketika beliau mengukur tempat
pengadaan upacara penyajianoda suara diangkosa sihapatir bahisampenna wastuwidya wi
coradah.
Bermusuhan:” sang prabu bijaksanaa, mahir tentang ilmu bangun- membangun yang ia
kehendaki, pandai dalam mengukur tempat”
Yang demikian Brahmana pengukur sekarang dan nanti, diberi petunjuk keinginan bahwa
Brahmana mendapat rintangan, tak tau malu barang siapa mengajarkan kurban seperti
Maharaja Jajamejaya, akan mendapat rintangan Brahmana dalam kurban sampai pada teman
yad. Tidak enak budi bahwa diberi petunjuk akhir pada periuk atau tempayan buatan, kepada
dia, empu dia sang pimpinan, pelindung para parayan kurban.
Adapun namanya masing-masing: Bhagawan Candabhargawa, anak Bhagawan Tri mahotar,
membicarakan regweda.
Bhagawan Kaca udyatar, membacakan sumaweda, Bhagawan Janmani Budha Brahmadinatha,
membuatkan atherweda, bhagawan Jyotisinggalam bayu, membacakan Yajurweda, Bhagawan
Byasa menjadi pelindung, sabyasya, ditempat alun- alun dan murid ayahanda masing-masing
semua. Brahmana mengikuti pada waktu kurban, semua yanng utama dia sendiri. Ketika mpu
Brahmana semua membacakan permohonan, disana ditempat ini saya berbagai macam naga.
Terbang dari angkasa, sesampai pada sang hyang Kunda, tak terhitung banyaknya, tidak
berhak menghitung, banyaknya. Ada hitam, ada putih, ada biru.
Kecintaan tidak tau terhadap kekuatannya, ada ditanggang musuh sahabatnya, ada pertanda,
ada muda, ada tua, pasti mati menumpuh raja Api, bercahaya berkubar-kubar, dituangkannya
minyak dari lemak ular yang berbisa. Tanpa kayu bakar yang terdiri dari badan naga yang
dipakai sebagai untuk menyalakan api. Oleh karena itu menimbulkan api yang menyala dan
bersinar-sinar, berbau hangus ditempat naga, bergetarlah sang Taksaka, telah menjadi pucat
tak tahu kekuatannya, bergoyang- goyang badannya itu, seperti didorong. Berusaha untuk
mencari perlindungan ditempat surga, meminta pertolongan kepada Sang raja Indra.
Kasihanlah mengeluh raja Coka Kratu, karena betul-betul teman sang Raja Taksaka.
Jangan takut kamu dengan ular Taksaka, pakailah olehmu pakaian yang berkancing, agar
supaya engkau tidak jatuh kedalam tungku api kurban.
Puaslah sang Taksaka, tetapi Sang Wasuki gemetar ditempat duduknya, karena bau hangus
yang terbawa angin karena ular meminta bantuan pada api. Meminta kasihan beliau kepada
sang Astika ujarnya.
Tasyasih tinaku sang Astika. Kamu memang ditolong oleh ular supaya bebas dari penderitaan
korban ular seperti yang telah diberitahukan oleh ular supaya bebas dari penderitaan korban
ular, seperti yang telah diberitahu oleh dewa kepada hambanya, tolonglah saudara- saudaraku
semua sekarang hamba ingin tahu kemuliaan hati itu anakku.
Sang Astika menjawab: jangan tuanku, hamba takut menghadap Raja besar Jana Mejaya
hendak membatalkan korbannya tidak pantas beliau bersanda gurau pula, hati hamba dikuasai
rasa tenang.
Begitulah ujar sang astika, berjuanglah beliau berkorban. Datanglah beliau menempatkan
sajian-sajian dengan itu ular terbalik berduyun- duyun melewati jatuh melewati tungku api,
seperti kelekatu-kelekatu mengetahui cahaya dari lampu dimalam hari. Begitulah persamaanya
jatuh kepada sang hyang agni. Maka memuji- muji maharaja Jana mejaya ujarnya.
“ Sejukan Raja, luar biasa sempurnanya oleh korban sri Maharaja nyata. Nyata korban Dewa
Bulan, seperti korban Sang Hyang Buruna, sama seperti yang lain, bahkan yang menjadi
peserta oleh korban Dewa kresna Dwaipayana, beliau itu merupakan lautan Weda, para dewa
tidak melihat kepada raja adapun Sri Maharaja kresna, kenyataanya kamu dewa Kresna diberi
sifat meliputi segala-galanya.
“Rama Yathastracastrawit, dewa Rama Pandita, melihat- lihat mempelajari bermacam-macam
panah.
Sang Maharaja Bhagiratna kesucianku, tidak bisa di halang-halang. Berlangsung tidak lama,
semua Maharaja pergi ketempat mempercayakan puji- pujian.

Anda mungkin juga menyukai