Anda di halaman 1dari 3

Resensi Buku Antologi Cerpen

Kepergian, Kehilangan, kemudian Kematian


oleh Fitria Rahmawati

Judul buku : Mati di Jogjakarta


Penulis : Egha De Latoya
Penerbit : Mediakita
Tahun : 2019
Halaman : VIII + 212
ISBN : 978-979-794-598-5

Nantinya kau akan dihadapkan dengan pilihan. Memilih yang kau cintai atau kau
butuhkan.
–Egha De Latoya, “Luma di Mars”

Kalimat yang menjatuhkan seorang individu pada dua pilihan itu merupakan kutipan
dari cerpen yang berjudul “Luma di Mars” dalam antologi Mati di Jogjakarta. Antologi yang
terbit pada akhir tahun 2019 ini ditulis oleh seorang penulis sekaligus musisi bernama lengkap
Paramashinta Iga Latoya, atau dikenal sebagai Egha De Latoya. Cerita-cerita yang disajikan
dalam buku ini, dapat dinikmati dengan beberapa ilustrasi yang dibuat oleh penulis. Ilustrasi
abstrak, namun sangat berarti jika benar-benar dapat memaknainya. Ilustrasi yang dibuat
merupakan simbol atau gambaran dari suasana setiap cerpen. Ya, penulis membuat ilustrasi
untuk semua cerpen yang ia tulis dalam antologi ini, yaitu sebanyak 23 judul cerpen.

Penulis kelahiran 1993 ini juga pernah menerbitkan buku pertamanya berjudul Surat
Terakhir Ellena pada tahun 2017. Kemudian di tahun 2019, penulis berbakat ini melahirkan
antologi berjudul Mati di Jogjakarta. Judul yang diambil dari salah satu judul cerpen karyanya,
buku ini menyajikan berbagai cerita kesedihan yang diakibatkan dari perpisahan. Dari sejumlah
cerpen yang ia tulis, sebagian besar ceritanya ialah kisah-kisah pahit dalam kehidupan yang
harus menerima kenyataan bahwa hidup tidak akan selamanya bahagia. Ada kalanya kita harus
menerima perpisahan dengan sesuatu yang tidak harus kita miliki.

Kisah pahit ini diwakili oleh kata dari judul antologi ini, yakni “mati”. Mati di sini dapat
berarti kesedihan, dan suasana itulah yang ingin disampaikan penulis. Tertuang dalam salah
satu cerpennya yang berjudul “Punggung Dirannija”
Sebab, yang kutahu, di dunia ini segala cerita bahagia kalah dengan cerita tentang duka
lara.
(Egha De Latoya, Punggung Dirannija)

rasa sedih adalah rasa yang ingin penulis sampaikan kepada para pembaca ketika menikmati
karyanya. Meskipun hampir sebagian besar akhir dari cerita ini adalah perpisahan, tetapi
penulis kelahiran Jawa ini berhasil membuat berbagai kisah yang berbeda dan dapat memberi
kesan kekecewaan dengan melalui berbagai macam cara.

Pun dalam cerpen yang menjadi judul antologi ini. dalam cerpen “Mati di Jogjakarta”
ini, makna kata mati tidak semata-mata makna sebenarnya. Meski benar, ada tokoh yang
mengalami kematian, namun tokoh lain memaknai mati sebagai sebuah rasa yang tidak lagi
muncul. Rasa yang dapat menghidupkan sebuah raga. Walau raganya masih di bumi, namun
sang tokoh merasa dirinya sudah mati akibat dari perbuatannya sendiri. Cerita yang cukup
tragis, yang apabila terjadi di kehidupan sehari-hari entah akan dipercaya atau tidak.

Adapun kata “Jogjakarta”, mewakili cerita yang didominasi berlatar Jogjakarta. baik
digunakan sebagai latar cerita langsung, maupun hanya sebagai cerita. Seperti dalam penggalan
cerita berikut

Aku datang ke acara pernikahan Gandi, lalu memutuskan untuk pindah ke Jogjakarta.
(Egha De Latoya, Ruang)
penggalan kalimat tersebut merupakan bagian akhir cerita, tidak ada kelanjutan cerita yang
menjadikan Jogjakarta sebagai latar peristiwa.

Rasa Jogjakarta beberapa kali ditimbulkan dengan adanya beberapa percakapan antar
tokoh yang menggunakan bahasa Jawa, penyebutan tempat di Jogjakarta (seperti Malioboro,
Kota Gede, dll.), dan budaya Jawa yang diceritakan oleh tokoh dalam cerita. Maka pemilihan
judul “Mati di Jogjakarta” sudah sangat sesuai untuk mewakilkan beberapa suasana cerpen
dalam antologi tersebut.

Ketika menikmati cerpen dalam antologi ini, kerap ditemukan cara penulisan yang
terkadang dapat membingungkan ketika dibaca. Adalah penulisan kalimat langsung yang
diutarakan tokoh. Pemakaian uruf cetak miring (italic) untuk penulisan kalimat langsung
seringkali dijumpai dalam beberapa cerpen di buku ini. Penulisan ini pun dijumpai di dalam
satu paragraf utuh. Hal itu dapat memberi kesan bahwa kalimat tersebut hanya diutarakan
dalam hati, tetapi pada kalimat selanjutnya terdapat kalimat yang diutarakan oleh tokoh lain
sebagai respon dari kalimat tokoh sebelumnya. Misalnya
Aku menatapnya lama. Aku akan menetap di Bali.
“Seharusnya aku sendirian di gerbong itu, dari awal sampai sekarang.” Langkahku
melambat.
(Egha De Latoya, Punggung Dirannija)
penulisan cetak miring tersebut pun tidak diberi tanda kutip (“…”). Akan lebih baik jika
penulisan percakapan sepert yang seharusnya atau yang biasa dipakai, yaitu dengan tanda
kutip, dan penggunaan cetak miring dipakai hanya untuk kata yang menggunakan bahasa asing
atau bahasa daerah.

Meski begitu, cara penulisan lainnya―penggunaan kapital, tanda baca, dan imbuhan―
sangat rapi, dan enak untuk dibaca. Ditambah lagi dengan cara penulis yang menyediakan
berbagai cara tokoh menghadapi segala kerumitan yang muncul. Melalui kalimat dan peristiwa,
dapat memberi pesan dan membuka cara pikir pembaca yang kiranya selalu mendapat
kebuntuan saat menghadapi kesulitan. Dengan membaca karya-karya dalam buku ini,
seseorang akan lebih ikhlas dan menerima apabila ia mengalami kehilangan. Sebab, kita pun
harus tetap menjalani hidup kita sendiri.

Hilangkan rasa sungkan, kau harus memilih; kau hidup untnuk dirimu sendiri atau
untuk orang lain.

(Egha De Latoya, Aku Tidak Mengenal Nama Kekasihku)

Anda mungkin juga menyukai