Anda di halaman 1dari 40

Sunday, May 08, 2005

Guru
Cerpen Putu Wijaya Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong. "Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk. "Betul Pak." Kami kaget. "Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?" "Ya." Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya. Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan. "Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!" "Tapi saya mau jadi guru." "Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya

deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!" "Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut. "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!" Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya. "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!" Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur. Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan. Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama. "Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis. "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?" Taksu tidak menjawab. "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah

puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?" Taksu tetap tidak menjawab. "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?" Taksu mengangguk. "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?" Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur. "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!" Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik. "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!" Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri. Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak. Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-

jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti. "Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak." Taksu melihat kunci itu dengan dingin. "Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum. "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?" Taksu memandang saya. "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?" Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali. "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!" Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi. "Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak." Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu. "Saya ingin jadi guru. Maaf." Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana. "Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar.

Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa." Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan! Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama. "Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?" "Mau jadi guru." Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya. "Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!" "Karena saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!" "Saya mau jadi guru." "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru." Taksu menatap saya. "Apa?" "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam. "Bapak tidak akan bisa membunuh saya." "Tidak? Kenapa tidak?" "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak." Saya tercengang. "O jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?" "Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati." Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup. "Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan

semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?" Taksu memandang kepada saya tajam. "Siapa Taksu?!" Taksu menunjuk. "Bapak sendiri, kan?" Saya terkejut. "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?" Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap. "Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!" Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah. "Ini satu milyar tahu?!" Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi. "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai

menukar nalar kamu!" Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan. "Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap. Saya bingung. "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!" Saya tambah bingung. "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!" Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur? "Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap. Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil: "Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru." Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak

kami itu, kami bertengkar keras. Tetapi itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barangbarang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara. "Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasajasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. *** Mataram, Jakarta, 22-10-01 Jakarta, 31-12-01 posted by imponk | 8:41:00 PM << Home

Monday, February 28, 2005


MOKSA
Cerpen Putu Wijaya Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyinyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon. "Hallo, ini pasti kamu Moksa!" "Bener, Pak." "Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?" "Moksa tidak jadi pulang." "Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu." "Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu." "Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!" "Udah beres!" "Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood." "Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu." "Tapi kamu kan butuh duit..." "Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!" "Tunggu!" "Tidak bisa, ini coinnya sudah habis." Telepon putus.

Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong. "Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop. "Kenapa, Dok?" "Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!" Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie. "Mari menyusun, bunga Seroja......" Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol. "Moksa nelpon ya?" Dokter menarik napas panjang. "Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang." Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran. "Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!" Istri dokter Subianto duduk di kursi. "Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi." "O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya." "Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu." "Apa lagi apologinya kali ini?" "Bukan apologi." "Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!" Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita. "Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan

terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang." Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar. "Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?" Nyonya dokter berhenti menangis. "Masak mencuri!" "Habis apa? Kamu kok menangis?" "Aku menangis karena terharu." "Kenapa terharu?" "Sebab anakmu ngamen di dalam bus!" "Apa?" "Ngamen!" Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan. "Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati." Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan. Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu. Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep. "Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam." Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang. "Kok banyak sekali Dokter?" "Bisa diambil separuhnya saja dulu." "Ini kira-kira berapa Dokter?" "Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali." Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran. "Kenapa?" "Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya

katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerakgeriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?" Dokter Subianto terkejut. "Ya, anak saya Moksa, indekos di situ." "Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?" "Ya betul." "Maaf, kalau tidak salah, kidal?" "Betul." Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong. "Kenapa? Bapak kesakitan?" Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita. "Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?" Dokter Subianto tercengang. "Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?" "Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?" "Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?" "Saya tidak tahu. Mungkin tidak." "Berapa isi dompet Bapak?" "Seratus ribu." Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu. "Ini. Tebuslah resep itu." Orang itu tercengang. Nampak agak malu. "Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya. Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu. "Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu." Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan. "Selamat malam." Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja. "Bangsat!" Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di

Depok. Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu. "Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?" Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman. "Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang." Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara. "Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado." "O Ibu udah cerita?" "Ya. Dapat berapa?" "Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya." "Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?" Moksa tersenyum. "Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?" "Ya bener dong, masak tidak." Subianto mengangguk. "Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?" Moksa mengerling. "Kok Bapak tahu?" "Ibu kamu menceritakan semuanya." "Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu." "O ya?" "Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu." "Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?" "Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit." "O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?" "Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salamsalaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang." Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil. "Kenapa Pak? Ngantuk?" Subianto menggeleng. "Nggak. Aku hanya terkejut." "Kenapa?"

"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang." "Ditipu bagaimana?" "Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!" "O ya? Kok bisa?" Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian. "Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?" "Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati." Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar. Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai. "Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!" Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat. "Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blakblakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram. Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang. "Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya. Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi. "Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?" "Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?" "Ya." Subianto memandangi Moksa tajam. "Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?" "Tidak." "Tidak? Lalu apa?"

Moksa terdiam. "Ada apa Moksa?" Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran. "Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?" Giliran Subianto yang terkejut. "Maksudmu apa?" "Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?" "Betul." "Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!" Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras. "Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?" Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit. "Kenapa Pak?" Subianto menghela napas. "Karena kasihan?" "Tidak. Kenapa kasihan?" "Kalau begitu kenapa?" "Karena aku percaya kepada kamu, Moksa." Moksa termenung beberapa lama. "Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?" "Ya dong!" "Jadi masih percaya?" Subianto menarik napas. "Ya dong! Kenapa tidak?" Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya. "Kamu menangis Moksa?" Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya. "Kenapa kamu menangis?" "Moksa malu, Pak." "Malu? Kenapa?" "Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku." Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya. "Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?" Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung. "Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!" Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya.

Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya. "Maap Pak." Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali. "Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!" Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk. Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk. "Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen." Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat. "Jangan, biar saja dia pergi." Perempuan itu bingung. "Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya." Subianto menggeleng. "Kita harus memberi dia kepercayaan." "Tapi...mungkin dia perlu uang!" Subianto menggeleng. "Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!" Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam. "Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan." Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu. "Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu. "Kita lawan semua ini dengan kepercayaan." "Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!" "Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!" Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia

tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. *** posted by imponk | 2:24:00 PM << Home

Sunday, July 04, 2004


Aku dan Perempuan Anganku
Cerpen Lan Fang 11.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm.tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku. Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara perempuanku sudah sejak tadi lena berpelukan dengan gulingnya. Buat aku, tidak terlalu penting, apakah aku harus tidur di sofa atau di ranjang yang sama dengan perempuanku. Sebetulnya, perempuanku tidak terlalu suka tidur seranjang denganku. Begitu pula aku. Menurutku, ia terlalu banyak aturan. Sedangkan menurutnya, aku terlalu jorok. Ia selalu menyuruhku mencuci muka, tangan dan kaki, menggosok gigi, memakai kaos dan celana tidur, lalu mengecupnya dan mengucapkan "Have a nice dream, honey" Bah! Ia memperlakukan aku seperti anak lima tahun! Bukankah lebih nyaman menyelonjorkan tubuh dengan posisi seenaknya di atas sofa, dengan perasaan puas karena aku telah menyelesaikan sebuah naskah yang baik, walaupun itu tanpa menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, kaki, lalu mengucapkan "Selamat tidur, sayang" kepada anganangan? Angan-angan? Hmaku meletakkan kedua lenganku di belakang kepala. Angan-angan? Hmaku memasuki sebuah caf di sebuah plaza di tengah kota Surabaya di sepotong senja kelabu yang bergerimis. Hanya beberapa orang duduk di dalam caf itu. Sepi. Sayup-sayup When I Need You mengalun dari suara Julio Iglisias. Angan-angan? Hmaku melihat seseorang perempuan duduk di meja paling sudut di dekat jendela kaca. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigiti ujung jari-jarinya, ia juga mengetukngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian menyilangkan kedua belah

betisnya yang langsing. Angan-angan? Hmaku berjalan menuju perempuan itu. "Kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada perempuan itu. Ia menoleh. Tersenyum. Tetapi tetap muram. "Menunggumu. Akhirnya kamu datang juga," jawabnya gamang. "Sudah lama?" "Lama sekali. Bahkan hampir putus asa menunggumu." "Lalu kenapa terus menunggu?" "Karena aku yakin kamu pasti datang. Karena aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji selalu berada di sisimu." "Ah," aku menghela napas dan kemudian duduk di depannya. "Kenapa kau lakukan itu? Aku sudah dimiliki seorang perempuan," kataku sambil memandangnya lekat-lekat. Ia mengangkat bahu. "Kalau aku jawab karena aku cinta padamu, mungkin akan sangat terdengar klise. Kamu sudah pasti menulis terlalu banyak untuk sebuah kata cinta. Kalau aku jawab karena aku percaya padamu, mungkin akan sangat terdengar tolol. Kenapa bisa percaya kepada laki-laki yang telah memiliki dan dimiliki perempuan lain. Lalu menurutmu, aku harus menjawab apa?" ia balik bertanya. "Jawab saja sesuai kata hatimu. Bukankah kata hati adalah suara yang paling jujur?" "Hm," ia bergumam agak panjang sambil menghirup float avocado di depannya. "Karena ngeri sekali rasanya membayangkan bila harus kehilangan dirimu," jawabnya lugu tetapi menyentuh perasaanku. "Kenapa aku?" "Karena kamu memberikan rasa nyaman," sahutnya cepat. "Apakah kamu merasa nyaman menungguku sekian lama?" "Tidak." "Lalu?" Ia menikam manik mataku dengan tatapannya yang murung. "Tahukah kamu, kalau kangen itu adalah luka yang paling nikmat?" "Ah, sejak kapan kamu jadi puitis?" "Sejak bersamamu." Aku tertawa kecil. Bersama perempuan ini memang mengasyikkan. Jeda sejenak ketika aku memesan fruit punch kesukaanku. "Fruit punch? Cold? Tidak kedinginan? Di luar hujan. Apakah tidak lebih baik memesan cappuccino?" sergah perempuan itu. "Kamu selalu membuatku merasa hangat," sahutku. Olala, benarkah kata-kata pujangga bahwa dunia bisa terbalik kalau sedang jatuh cinta? Panas jadi dingin dan dingin jadi panas? Malam jadi siang dan siang jadi malam? Ah, itu kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang tepat! Sergahku dalam hati. Bagaimana kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang salah? Alamak, mungkin siang malam akan menjadi

panas dingin. Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi mengeong. "Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring tone mengeong seekor kucing. Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: elu di mna, honey? Gw lagi di Palem caf Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atur semuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :) "Seekor kucing yang kesepian," sahutnya dengan nada sumbang. "Seekor kucing?" "Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya. "Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian." "Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melek tidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnya sejurus setelah menghirup float avocado lagi. Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?" Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang, empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucing akan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus. Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakan sebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya kuat-kuat. Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan perempuan ini. "Hmitu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku sejurus kemudian. "Perempuan seperti anjing" "Anjing?!" aku terpana. "Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cowcow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu,

sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil tertawa. "Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sang anjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam penantiannya di stasiun itu." "Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik. "Hm, menurutku ironis!" sahutku. Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan caf, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokanselokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku. "Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku." "Kita?" "Ya. Kita. Kau dan aku." "Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti. "Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau." "Hah?" "Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di caf. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu." "Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi." "Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu." "Deja-vu?!" seruku tidak percaya. "Kau siapa?" aku masih bertanya. "Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada." "Aku siapa?" tanyaku lagi. "Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita." "Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu. Sekarang kita ber-deja-vu?" "Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?" "Bagaimana dengan perempuanmu?" "Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku." Dia tertawa manis. "Dasar kucing."

"Meonggg," sahutku. Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata anjing kau!. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata kucing kau!. Bagaimana menurutmu?" "Meonggg," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi. "Kamu birahi ya? Horny, darling?" "Meonggg" Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan. Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan. Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah! Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet. Olala! Aku separuh perempuan, separuh laki-laki. Astaga! Wajahku separuh anjing , separuh kucing. Alamak! Aku separuh menggonggong , separuh mengeong. Ber-deja-vu-kah aku? *** Surabaya, 2004 (I believe in you at all, oke?) posted by imponk | 6:18:00 AM << Home

Thursday, May 13, 2004


Mahasiswa Tio
Cerpen Arie MP Tamba Di masa depan, Tio akan mengulang-ulang terus pengalaman masa lalu seperti pada tengah hari yang nahas itu. Setelah gagal mendapatkan angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah, ia terdampar di sebuah mulut gang di pusat pertokoan dan perkantoran. Seorang anak lelaki dengan kaca mata hitam ditegakkan di kepala, menghampiri dengan tatapan curiga. Si anak mengenakan rompi kulit berwarna coklat longgar, membungkus belakang tubuhnya sampai ke pantat; kaus kuning melebihi ukuran badan sampai ke lutut; celana jins kepanjangan, hingga bagian kakinya digulung berkalikali; dan sepatu kets putih yang juga kebesaran, hingga ia menyeret kedua kakinya agar

sepatu itu tidak terlepas. Anak itu, dengan dua arloji di tangan kanan dan dua arloji di tangan kiri, mengeluarkan sebungkus coklat besar dari kantung rompi, merobek bungkusnya, lalu mengunyah dengan lahap, seraya menoleh ke arah keramaian yang bergemuruh di jalan besar pertokoan dan perkantoran yang tak jauh dari mulut gang itu. Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, membuka paksa pintu-pintu dorong dan jeruji toko-toko dengan tangan, linggis, dan berbagai peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di jalan atau sengaja dibawa dari rumah. Lalu, setelah toko-toko yang ditinggalkan para penghuninya dengan ketakutan itu terbuka menganga tanpa tuan, para penyerbu saling berebutan menjarah berbagai barang yang terhampar atau teronggok di hadapan, menyeretnya menjauh, mengangkatnya dengan kedua tangan, mengusungnya di pundak, langsung memasukkan ke dalam kantung plastik atau buntalan kain, membopongnya meninggalkan toko dengan tergesa, serabutan, namun bersiaga terhadap kemungkinan perampasan oleh yang lain; lalu berlari-lari, meliuk-liuk mengamankan barang-barang itu, di antara orangorang berseliweran dengan keperluan serupa. Maka, bergulung-gulung karpet, pakaian, benang; berkardus-kardus sepatu, rokok, kosmetik, minyak wangi, kalkulator, radio, taperecorder, kaset, CD, termos; berbuntalbuntal arloji, topi, buku, blangkon, tas; berbungkus-bungkus bumbu masak, keripik udang, permen, coklat, keju, kue bolu, beras, kopi, gula, mie instan, roti kaleng, kecap, sirup, panci; simpang-siur dalam bawaan orang-orang yang dengan sigap ingin cepatcepat menyembunyikan di pangkalan sementara, atau langsung menuju rumah bila rumah mereka tak jauh dari areal pertokoan tersebut. Lalu, mereka akan kembali lagi ke tokotoko atau perkantoran untuk mengambil barang-barang apa saja yang masih ada dan tersisa, sebelum didahului atau dihabiskan orang lain. Toko-toko dan perkantoran di pinggir jalan besar itu semuanya kini menjadi milik siapa saja, bebas dimasuki, dijarah, dan juga dibakar! Keributan suara-suara meneriakkan: "Hey, Min!", "Tigor!", "Asep!", "Gus!", "Jo!", "Bur!", "Ke sini!", "Bawa sekalian!", "Simpan di belakang kios!", "TV, TV!", "Kulkas", "Bir, bir!", "Wah, BH, celana dalam, sambal, kecap!", "Taruh, taruh langsung di kamar!", "Yang di plastik di dapur, yang di kardus di kamar!", "Jangan salah tempat!", "Hatihati!", "Jangan diambil orang!", "Ingat, harus segera ke rumah!", "Langsung kasikan ibu!", dan lain-lain, tumpang-tindih di sekitar, berlomba menyerbu pendengaran dan penglihatan Tio. Sementara anak itu menghabiskan coklatnya dengan tergesa, mulutnya belepotan coklat, sementara sepasang matanya secara samar mengawasi Tio, seraya ia kini mengeluarkan permen dari saku celana. Sedangkan suara-suara masih membahana, saling tindih, dan kali ini lebih bergelombang ke sebelah kiri mulut gang dan di seberang jalan. Suara-suara yang memekakkan Tio, di tengah kesendirian perasaan yang semakin menyesaki benaknya, di antara bayang-bayang pengalaman sebelumnya yang kembali membentang. Ia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya di wilayah barat kota,

ketika demonstrasi dan kekacauan semakin marak di jalan yang mereka lalui. Tio terpaksa turun dari bus kota yang ditumpanginya, karena sesuai permintaan sebagian besar penumpang yang umumnya orang kantoran, bus kota itu membatalkan perjalanan dan kembali ke terminal pemberangkatan mereka sejam yang lalu. Hidup sebagai penonton, yang sepatutnya tidak dirugikan, barangkali sangat penting bagi orang-orang kantoran itu. Mereka harus melindungi anak dan istri yang ditinggalkan di rumah, atau menyelamatkan hidup mapan mereka dengan menghindarkan kemungkinan bencana apa pun yang kelihatannya bisa menyerang, dari membesarnya huru-hara yang menimpa kota itu! Sebenarnya, beberapa penumpang sebelumnya telah turun dan pindah ke bus-bus lain yang sudah memutar sejak awal, dan beberapa penumpang terbirit-birit menyewa ojek yang tiba-tiba ramai berkeliaran mengepung bus. Sementara Tio enggan menyelamatkan diri, karena merasa tidak layak setakut mereka. Sebab, ia "terlibat" sebagai pelaku atau bagian dari demonstrasi dan kerusuhan di luar bus kota itu. Mengikuti gelombang perlawanan mahasiswa kepada rezim pemerintahan korup selama berminggu-minggu, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan kampus-kampus lain yang lebih besar dan terkenal di seluruh negeri. Dan, puncaknya, dalam suasana perkabungan, kemarin mereka mengantarkan lima orang mahasiswa ke pemakaman karena tertembak bersama rekan-rekan lainnya di dekat kampus mereka sehari sebelumnya. Tapi, pagi itu, rasa getir dan sinis kepada diri sendiri pun menggigit-gigit kesadaran Tio ketika ditinggalkan sendirian oleh orang-orang kantoran yang ketakutan meneruskan perjalanan. Tio tiba-tiba merasa memang tidak memiliki kehidupan berharga yang harus diselamatkan dari kekacauan itu. Ia hanyalah seorang mahasiswa yang tidak memiliki keperluan penting, datang ke pusat kota; kecuali berkumpul dengan teman-teman sekampus "mendengarkan" lanjutan rencana demonstrasi gabungan seluruh kampus kota mereka. Ia hanyalah seorang mahasiswa "pengikut" dengan kecerdasan terbatas, di sebuah perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. "Jangan sembunyi di sini!" Anak itu akhirnya menegur bimbang, ketika menyadari Tio yang jangkung itu masih bertahan dan bengong. Tio mengitarkan pandang. Mereka "ternyata" berada di belakang sebuah kios, dan ia melihat berbagai bungkusan dan buntalan-buntalan barang di samping kakinya. Tio membungkuk dan meraba sebuah buntalan. Tio menarik sebuah benda dingin dan keras dari mulut buntalan; sebuah walkman menyembul. Dengan wajah khawatir, anak itu merebut walkman dari pegangan Tio dan memasukkannya ke dalam buntalan. Tio merunduk. Matahari siang menyorot tajam. Tak jauh dari kios itu, di jalan besar, menggunduk timbunan sampah yang kelihatannya dibiarkan menumpuk dari hari ke hari. Bau sengitnya menyebar tapi orang-orang tak perduli dan kelihatan tidak terganggu. Mereka terus berseliweran di jalan besar membawa barang-barang dengan buntalanbuntalan penuh, kardus-kardus rapi, tas plastik dijejali barang, keluar masuk gang di sini dan di sana, memanggil-manggil, berteriak-teriak, simpang-siur di antara suara-suara "tembakan" yang sesekali terdengar menyela gemuruh siang.

Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan berlapis-lapis baju baru dan sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan besar dengan wajah berkeringat menghampiri persembunyian Tio dan si anak di belakang kios itu. Lelaki itu terkejut menemukan Tio, dan tampak kurang senang karena anak itu membiarkan seorang asing berada di dekat barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di samping bungkusan lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah Tio. Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket kulitnya yang tebal dan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku celana jinsnya yang baru, dan seperti sengaja memamerkan arlojinya, kalung emasnya, sepatu kulitnya, berdiri tegak menyalakan rokok, mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio. "Saya...saya..." "Takut terkena peluru nyasar, ya?" "Saya mau pulang, kalau sudah aman." "Tapi kenapa berhenti di sini?" "Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela. "Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap ke arah Tio. "Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi saya mau ke kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan perjalanan. Seandainya tadi malam saya tidak pulang ke rumah, tidur di kampus seperti yang lain, pasti sekarang saya tidak di sini, mungkin berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!" "Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah Tio. Lalu seperti teringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari saku celananya, kemudian melap keringat di keningnya, dan kembali memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan sepatu kets yang sudah kucel. "Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio "Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu lagi-lagi menatap tajam ke arah Tio, mengantungi selampe, segera mengambil beberapa arloji mahal dari sebuah buntalan, beberapa bungkus rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan semuanya ke saku celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lalu mengisyaratkan kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghilang di antara orang ramai. Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata itu, dan sempat dihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa walkman dan arloji, lalu berlari meninggalkan tempat itu, menerobos keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang rutenya ke arah rumahnya di pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masih mendengar suara tembakan demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya kembali

merisaukan keselamatannya di antara tiang-tiang asap kebakaran yang menghitam, membubung, meliuk, di sini, di sana, di kejauhan --seakan mengabarkan bencana ke ketinggian awan putih di atas sana-- sekaligus mengotori cakrawala bening kota besar, yang dulu terkenal ramah itu. Lalu, suara tembakan demi tembakan meletus nyaring, tak jauh dari mulut gang. Orangorang buyar ke kiri dan ke kanan, berteriak-teriak panik menggondol erat buntalan dan bungkusan di tangan dan di pundak. Dan tembakan meletus lagi, meletus lagi, kali ini berturut-turut, semakin nyaring, semakin memekakkan pendengaran Tio. Orang-orang berteriak-teriak kalap, orang-orang simpang-siur menyelamatkan diri. Saling menabrak dan mendorong, ingin melarikan diri atau bersembunyi. Yang limbung terjepit, terseret, yang jatuh tertindih, terinjak. "Aduh, aduh, aduukhh!" jeritan anak itu mengoyak pendengaran Tio, dan ia menampak anak itu memuntahkan permen dari mulutnya dan kaca mata hitamnya terlontar dari kepala. Sesaat anak itu seakan lunglai kehilangan tenaga, tapi secara aneh dan berkekuatan besar, terhempas ke tubuh Tio. Sebuah hentakan berat menghantam Tio. Kepala anak itu membentur perutnya. Keduanya kemudian terlontar ke atas tumpukan kardus, buntalan dan bungkusan. Beberapa buntalan dan bungkusan yang tidak terikat kencang, terbuka, dan isinya berupa walkman, arloji, gulungan kain, baterai, gunting, coklat, pisau cukur, minyak wangi, kecap, sambal, detergen, dan barang lainnya berserakan. Tio merasakan punggungnya sakit, menindih berbagai botol dan barang-barang keras terbungkus kardus, dengan tubuh anak itu membebaninya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Tio pun melihat wajah seorang anak seusia adiknya, namun begitu asing baginya --sesaat begitu dekat-- lalu menjauh dan terkulai di samping tubuhnya. Lalu, ketika ia menarik tangannya dari tindihan tubuh anak itu, untuk pertama kalinya pula ia melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat di telapak tangannya, membercak membasahi kausnya, dan membercak bundar merah tua, memenuhi bagian dada kaus anak itu. Darah. Darah merah berceceran. Anak itu tertembak. Anak itu tergeletak. Peluru nyasar menjarahnya. Sementara ayah anak itu entah ke mana. Anak itu mendesis ketakutan dan mengerang kesakitan. Mulut anak itu kini penuh darah, darah. Tatapannya nanar ke arah Tio yang sedang bangkit, dan menoleh gelisah ke arah barang-barang jagaannya yang kini berserakan. Anak itu mengangkat tangan kanannya yang lunglai, diberati empat arloji; entah kapan ia menambahinya. Anak itu berusaha menggapai sebungkus coklat, tapi Tio tak dapat lagi menatap berlama-lama. Tio sudah berdiri gelisah. Hiruk-pikuk manusia di sekitar semakin ramai dan sebagian kini berkerumun menghampiri. Wajah-wajah asing penuh keringat memandang kalap dan ingin tahu, berganti-ganti dengan bayang-bayang wajah ibunya, adik-adiknya, temannya sekampus, tetangganya, anak itu, ayah anak itu, orang-orang berebutan barang, rokok luar negeri, sepatu kulit, jaket hitam, mancis baru, walkman, arloji, gulungan kain, kaca mata hitam, permen, coklat, botol kecap, bir, sirup, bumbu masak, bus kota yang kabur menghindari penumpang, orang-orang berlarian, suara-suara tembakan --semuanya

berdenyar dan mengabur di depan, di samping, di belakang-- berupa cahaya menyalanyala, sinar menyambar-nyambar, dan suara hingar-bingar menggelapi dan menggedori kesadaran Tio. Orang-orang masih berkelebat-kelebat, sementara Tio kemudian memaksakan diri untuk berlari, berlari, terus berlari ke arah tepi keriuhan dan keramaian di sekitar. Tapi tepi keramaian dan keriuhan itu tak juga tampak. Ia masih saja terhadang oleh keramaian dan keriuhan, orang-orang berseliweran, suara-suara tembakan, teriakan-teriakan kalap, dan bau asap, bau asap, bau daging terbakar, bau daging terbakar. Dan langkahnya kemudian semakin berat dan melambat, berat dan melambat, meskipun ia telah berlari menggunakan segenap kemauan dan tenaganya. Tak tahan lagi, tubuhnya kini limbung dikuyupi keringat dan darah, wajahnya kotor disaput debu tengah hari, dan perasaannya rusuh dilanda cemas mengerikan, ketika rasa perih akibat luka menganga di bagian perutnya --semakin nyata dan menyakitkan. Di masa depan, bila ia masih dapat mengulang-ulang peristiwa nahas pada siang mengesalkan itu, sungguh tak ada tempat terjauh baginya saat itu, kecuali rumah!*** posted by imponk | 7:16:00 AM << Home

Monday, September 16, 2002


Buku-Buku Kutu Buku
Cerpen: Pamusuk Eneste SEBETULNYA sudah berulang kali istri Kolbuher memperingatkan agar buku-buku di perpustakaan suaminya tidak ditambah lagi. Namun, peringatan itu tampaknya seperti angin lalu saja. Tiap hari ada saja buku yang datang. Tiap hari ada saja majalah atau jurnal yang datang. "Lama-lama uang pensiunanmu habis untuk membeli buku, Pak," kata sang istri. "Lo, aku kan tidak beli buku-buku itu, Bu. Mereka yang mengirimi aku buku. Masa aku tolak? Tidak mungkin toh," ujar Kolbuher. Sejak pensiun beberapa bulan yang lalu, Kolbuher sebetulnya sudah tidak pernah membeli buku. Itu kesepakatan dengan istrinya dan dengan dirinya sendiri. "Lagi pula, usia Bapak kan sudah lanjut. Kasihan Bapak harus mengurus sendiri bukubuku itu."

"Harusnya memang aku menggaji seseorang untuk mengurus perpustakaanku." Pada saat lain, istri Kolbuher mengatakan, "Lama-lama perpustakaanmu tidak bisa lagi menampung buku. Jangan-jangan, rumah kita juga bisa tenggelam karena buku-bukumu." Namun, buku tetap saja mengalir ke rumah Kolbuher. Oleh karena itu, istri Kolbuher malah pernah berkata, "Hati-hati lo, Pak. Suatu ketika Bapak bisa ditelan buku-buku itu." *** KALAU sudah masuk ke perpustakaan merangkap ruangan kerjanya itu, Kolbuher memang tidak mau diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh istrinya sendiri! Ia juga tidak suka ada orang lain masuk ke ruangan itu meski hanya untuk membersihkan debu atau mengepel lantainya sekalipun. Ia tidak mau ada orang yang memindah-mindahkan susunan buku di perpustakaannya itu. Menurut Kolbuher, "Kalau letak buku di ruangan itu berubah maka aku akan bingung mencarinya nanti bila diperlukan." Perpustakaan Kolbuher berukuran 4x6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari kecuali jika turun hujan. Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak, dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak. Di tengah ruangan menghadap ke jendela, membelakangi pintu masuk, terdapat kursi empuk dan meja kerja Kolbuher. Di meja itu ada komputer. Namun, meja itu pun terasa sumpek karena kiri kanannya penuh dengan buku. Istri Kolbuher sudah mengingatkan agar buku di meja itu disingkirkan sebagian. Dengan demikian, Kolbuher bisa lebih lega membaca, menulis, ataupun menggunakan komputer. Namun, Kolbuher cuek saja. Bahkan, Kolbuher juga bergeming ketika istrinya berkata sambil meninggalkan perpustakaan yang sumpek itu, "Suatu saat, buku-buku itu bisa menelanmu hidup-hidup, lo Pak." *** BUKU-BUKU itu pula yang menyebabkan istri Kolbuher kini berada di kantor polisi. "Ketika Ibu meninggalkan Bapak menuju warung, apakah Bapak masih sehat?" istri Kolbuher mengangguk. "Waktu itu, Bapak tidak mengatakan apa-apa?"

"Tidak, Pak." "Barangkali memesan sesuatu dari warung?" Istri Kolbuher menggeleng lagi. "Misalnya minta dibelikan rokok?" "Suami saya tidak merokok, Pak." "Setahu Ibu, apa Bapak punya penyakit?" "Setahu saya Bapak tidak mengidap penyakit apa-apa." "Jantung, misalnya?" Istri Kolbuher menggeleng. "Atau penyakit lain barangkali?" "Tidak." "Paru-paru?" Istri Kolbuher untuk kesekian kalinya menggeleng dan kemudian berkata, "penyakitnya cuma satu, Pak...." "Apa itu, Bu?" "Penyakitnya suka baca dan dia kutu buku." *** ISTRI Kolbuher memang tidak habis mengerti. Meski sudah bersepakat untuk tidak membeli satu eksemplar buku pun, koleksi buku Kolbuher tetap saja bertambah dari hari ke hari. Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi Kolbuher buku baru mereka. Ada saja kenalan Kolbuher yang baru pulang dari luar negeri dan mengoleh-olehinya buku. Ada saja tetangga Kolbuher yang bekerja di penerbit dan percetakan yang menghadiahinya buku baru. "Lha, rumah kita ini jadi kayak perpustakaan saja, Pak," kata istrinya pada suatu ketika. "Ya, tak apa kan, Bu?"

"Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar tidur, ke ruang keluarga." "Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya." Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan Kolbuher. "Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya. Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku koleksinya yang tak sempat dibaca selama ini. Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca buku itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan untuk menambah uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi buku. Bukan hanya itu. Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi direktur sebuah perusahaan. Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan SDM, dan macam-macam. Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun. Pasti banyak kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih sering diundang berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi pengalaman'. Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman, serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyak memakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman. "Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya yang pernah mengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian. *** SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia menemani istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher selalu menyempatkan diri ke toko buku. Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau tidak beli buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma tapi tidak ke Koloseum". Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti beli buku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30 pagi Kolbuher sudah meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di rumah pukul 18.00, kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau ada rapat mendadak). Sudah

capek! Kapan mau baca buku? "Kalau tak sempat dibaca buat apa beli, Pak?" kata istrinya. "Siapa tahu bukunya dilarang kelak," jawab Kolbuher. "Jadi, aku tak perlu heboh mencari bukunya kalau nanti diberedel penguasa." Pada saat lain, Kolbuher memberi alasan lain, "Siapa tahu buku itu tidak cetak ulang. Jadi, aku sudah punya bukunya." Istrinya masih belum paham jalan pikiran Kolbuher. "Kalau tidak dibaca, kita kan cuma buang-buang uang, Pak. Lebih baik ditabung duitnnya. Mana memenuhi rumah lagi, padahal Bapak sendiri tahu, rumah kita sudah penuh dengan buku." "Nanti akan kubaca setelah pensiun." *** KOLEKSI buku Kolbuher aneka ragam. Buku apa saja dia koleksi, baik buku antik maupun buku baru. Dia punya buku History of Java Raffles. Ada buku Mein Kampf-nya Hitler. Ada juga Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta edisi 1952. Ada pula novel Siti Nurbaya Marah Roesli cetakan 1922. Ada buku Also sprach Zarathustranya Nietzsche. Atlas juga dia koleksi, termasuk atlas kuno semisal Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin. Itu pula yang membingungkan istri Kolbuher. "Untuk apa sih menyimpan buku-buku kuno itu, Pak? Cuma buang-buang duit dan membuat rumah kita kayak gudang." "Siapa tahu anak cucu kita nanti membutuhkannya." "Kalau anak cucu kita tidak membutuhkan, bagaimana?" "Mungkin tetangga kita membutuhkannya." "Kalau mereka tidak membutuhkannya?" "Siapa tahu anggota masyarakat lain membutuhkan. Pokoknya, aku yakin Bu, orang, entah siapa, suatu ketika pasti membutuhkan buku yang aku koleksi ini." ***

DALAM kenyataannya, memang banyak orang yang membutuhkan buku koleksi Kolbuher. Uniknya, Kolbuher selalu rela meminjamkan bukunya tanpa bayar dan tanpa jaminan. "Lo, kok bisa?" Anda barangkali tak percaya. "Saya percaya, kalau seseorang meminjam buku saya dan tidak mengembalikannya, orang itu akan kualat dan tak berani datang ke sini lagi," kata Kolbuher. Memang, semua buku yang dipinjamkan Kolbuher selalu dikembalikan tepat pada waktunya. Tidak pernah ada yang mangkir atau hilang atau sobek halaman-halamannya. Dengan begitu, banyak orang berutang budi pada Kolbuher. Sering orang mencari buku ke Perpustakaan Kota atau Perpustakaan Nasional, namun tak menemukannya. "Kalau sudah begitu, bahagia rasanya dapat membantu orang yang memerlukan buku itu," kata Kolbuher. Namun, istri Kolbuher merasa perilaku suaminya itu malah sia-sia saja. "Rumah kita jadi kayak perpustakaan umum saja, Pak." "Tidak apa kan kita membantu orang lain." "Ya, tapi rumah kita kan jadi ribet terus. Tiap hari saja ada orang yang mencari buku ini dan buku itu." *** DARI hari ke hari, koleksi buku Kolbuher bertambah terus. Makin lama makin penuh rumahnya. Hanya kamar mandi dan dapur saja yang tidak dikepung buku. Tempat tidur Kolbuher yang bagian kepalanya ada raknya dan bisa diisi buku sampai ke atas pun dipenuhi buku. Pernah suatu malam, Kolbuher terbangun secara mendadak karena kepalanya kejatuhan buku. Pernah pula seorang cucu Kolbuher terpeleset karena kebetulan ada buku yang jatuh. Pada saat lain, seorang tamu pernah menabrak buku ketika hendak ke toilet. Pendek kata, bagaimana istri Kolbuher menolak bertambahnya koleksi buku di rumahnya, ada saja alasan Kolbuher untuk membantahnya. Sampai-sampai istri Kolbuher kehabisan akal untuk menyetop aliran buku ke rumah mereka. Kata sang istri, "Terserah Bapak saja. Pokoknya, aku sudah peringatkan Bapak, lo. Kalau ada apa-apa, aku tidak tanggung, lo...." Tak! Ada sesuatu yang berdetak dalam dada Kolbuher. Kalau ada apa-apa, kata istrinya. Ada

apa-apa maksudnya? Kolbuher tidak bisa menduga apa makna kata-kata terakhir istrinya. Ketika Kolbuher mau bertanya, istrinya sudah ngeloyor pergi. "Saya mau ke warung sebentar," kata istrinya. *** "BERAPA lama Ibu di warung?" tanya polisi. "Tidak lama, Pak." "Kira-kira lima belas menit, Pak." "Ketika Ibu pulang, apa yang Ibu saksikan?" "Pintu ruang perpustakaan Bapak tidak bisa dibuka." "Lantas apa yang Ibu lakukan?" "Saya ketok-ketok, sambil memanggil-manggil, 'Pak, Pak. Tolong buka pintunya'." "Apa reaksi Bapak?" "Tak ada reaksi. Biasanya kalau saya ketok-ketok, Bapak menyahut dari dalam, atau melongok sebentar...." "Lalu, apa yang Ibu lakukan selanjutnya?" "Saya ke rumah tetangga." "Lantas?" "Tetangga saya sudah melongok dari jendela...." *** SETELAH beristirahat beberapa menit, karena istri Kolbuher minta minum, polisi melanjutkan pemeriksaan. "Setelah tetangga melongok dari jendela, apa yang dia lihat?" "Kata tetangga perpustakaan Bapak seperti baru diguncang gempa hebat. Semua bubrah, berantakan, amburadul, dan berjumpalitan. 'Seperti kapal pecah, Bu', kata tetangga itu." "Bapak sendiri di mana?"

"Itulah yang tidak saya tahu, Pak." Polisi diam sebentar. Lantas, istri Kolbuher hanya mengatakan "jangan-jangan ..." tanpa melanjutkan katakatanya. Selanjutnya, istri Kolbuher memejamkan mata. Seperti menahan sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terduga telah terjadi pada suaminya. *** KEESOKAN harinya, setelah pintu ruang perpustakaan Kolbuher dibongkar paksa, tekateki yang menimpa Kolbuher terkuak. TV 24 menyajikan berita: "Seorang pensiunan telah mati ditelan buku-bukunya. Kejadian itu baru diketahui setelah istrinya pulang dari warung. Ketika istrinya pergi ke warung, suaminya sedang mencari buku di ruang kerjanya yang penuh dengan buku. Entah bagaimana, rak-rak buku di keempat sisi ruangan kerja itu ambruk secara bersamaan waktunya dan menimpa orang yang ada di ruangan itu. Korban yang merupakan kolektor buku kesohor di negeri ini bernama Kolbuher." Beberapa menit kemudian, SMS di HP orang-orang yang pernah meminjam buku dari Kolbuher secara berantai berbunyi. isi teksnya: "Pak Kolbuher sudah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Besok kita melayat ke rumahnya, teman-teman." Koran Pagi menurunkan kepala berita 'Perpustakaan Hidup Itu Telah Tiada'. Pada Akhir disebutkan, "Negeri ini telah kehilangan kolektor buku ulung dan tak ada tandingannya. Ia meninggalkan seorang istri, 4 anak, 12 cucu." Menurut berita itu, "koleksi buku Kolbuher sudah pantas dijadikan museum tersendiri dan dikelola oleh pemerintah dan swasta. Selain itu, Kolbuher pun pantas dianugerahi Bintang Mahaputra Kelas I karena sumbangannya bagi generasi muda. Banyak orang yang meraih gelar sarjana, megister, dan doktor di negeri ini yang pernah memanfaatkan perpustakaan kolbuher. Secara gratis lagi!" Tabloid Kesohor memberitakan bahwa setelah polisi memeriksa perpustakaan Kolbuher, polisi sampai pada kesimpulan bahwa tiang penyangga keempat rak buku ternyata keropos akibat banjir bandang beberapa waktu lalu. Berita itu ditutup dengan kalimat, "Dengan demikian, sangkaan polisi bahwa istrinya dengan sengaja membunuh Kolbuher tidaklah terbukti." Rumah Kolbuher memang terletak sekitar 50 meter dari pinggir sungai yang selalu menerima limpahan air dari Bogor-Puncak, yang hutannya banyak ditumbuhi beton dan pohon-pohonnya banyak ditebangi secara liar. Jakarta, 4 September 2002 posted by imponk | 3:45:00 AM

<< Home

Sunday, September 15, 2002


Percakapan Patung-Patung
Cerpen: Indra Trenggono BULAN sebesar semangka tersepuh perak, tergantung di langit kota, dini hari. Cahayanya yang lembut, tipis berselaput kabut, menerpa lima sosok patung pahlawan yang berdiri di atas Monumen Joang yang tak terawat dan menjadi sarang gelandangan. Cahaya bulan itu seperti memberi tenaga kepada mereka untuk bergerak-gerak, dari posisi mereka yang berdiri tegak. Mereka seperti mencuri kesempatan dari genggaman warga kota yang terlelap dirajam kantuk dalam ringkus selimut. Lima patung yang terdiri dari tiga lelaki dan dua perempuan itu, menggoyang-goyangkan kaki, menggerakkan tangan, kemudian duduk dan bahkan ada yang tiduran. Mungkin, mereka sangat letih karena selama lebih dari empat puluh tahun berdiri di situ. Wajah mereka yang kaku, dengan lipatan-lipatan cor semen yang beku pun kerap bergerak-gerak seperti orang mengaduh, mengeluh, menjerit dan berteriak. Tentu, hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengarnya. "Dulu, ketika jasad kita terbujur di sini, kota ini sangat sunyi. Hanya beberapa lampu berpendar bagai belasan kunang-kunang yang membangunkan malam. Kini, puluhan bahkan ratusan lampu, bependar-pendar seterang siang. Negeri ini benar-benar megah," ujar patung lelaki yang dikenal dengan nama Wibagso sambil mengayun-ayunkan senapannya. "Tapi lihatlah di sana, Bung Wibagso. Kumpulan gelandangan tumpang-tindih bagi jutaan cendol sedang makan bangkai anjing dengan lahap. Dan di sana, lihatlah deretan gubug-gubug reyot menyatu dengan gelandangan yang berjejal bagai benalu menempel di tembok gedung-gedung. Mulut mereka menganga menyemburkan abab bacin serupa aroma mayat, mengundang jutaan lalat terjebak di dalamnya. Ya, Tuhan, mereka mengunyah lalat-lalat itu..." desis patung lelaki bernama Durmo. Ratri, patung perempuan yang dulu dikenal sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menukas, "Itu biasa rekan Durmo. Dalam negeri yang gemerlap, selalu dirawat kemiskinan sebagai ilham bagi kemajuan. Kita mesti bangga, negeri ini sangat kaya. Lihatlah di sana deretan rumah mewah menyimpan jutaan keluarga bahagia. Ada mobilmobil mewah, ada lapangan golf pribadi, bahkan ada pesawat terbang pribadi... Dan lihatlah di sana, orang-orang berdansa-dansi sampai pagi. Yaaa... ampun malah ada yang orgi..."

Patung Sidik, yang sejak tadi menyidik dunia sekitar dengan mata nanar melenguh bagai sapi di ruang jagal, "Ternyata mereka hanya sanggup mengurus perut dan kelamin mereka sendiri. Aku jadi menyesal, kenapa dulu ikut memerdekakan negeri ini." "Aku pun jadi tidak lagi pede sebagai pahlawan," timpal Durmo, "Kita bediri di sini tak lebih dari hantu sawah. Ternyata mereka tak sungkan apalagi hormat kepada kita. Buktinya, mereka menggaruk apa saja." "Kamu jangan terlalu sentimentil. Aku rasa mereka tetap hormat kepada kita. Buktinya, mereka membangunkan kita monumen yang megah," tukas Wibagso. Tapi kenapa kita hanya diletakkan di sini, di tempat njepit ini. Mosok monumen pahlawan kok cuma dislempitkan," gugat patung perempuan bernama Cempluk, yang dulu dikenal sebagai pejuang dari dapur umum. Angin bertiup mengabarkan hari sudah pagi. Gelandangan-gelandangan yang tidur melingkar di kaki monumen itu menggeliat. Mulut mereka menguap kompak. Aroma abab bacin yang membadai dari sela gigi-gigi kuning, menguasai udara sekitar. Tercium oleh para patung pahlawan. Sontak mereka serempak berdiri, dan masing-masing kembali pada tempatnya, sebelum keheningan pagi dirajam hiruk-pikuk kota, sebelum udara bersih pagi dicemari deru nafas kota yang keruh. Dalam posisi asal, patung-patung pahlawan itu terus bergumam. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu menangkapnya. YU Seblak, pelacur senior yang dikenal sebagai danyang alias "penunggu" monumen itu, duduk takzim di kaki monumen. Tangannya di angkat di atas kepala. Tergenggam dupa yang mengepulkan asap. Kepulan asap itu menari-nari mengikuti gerak tangan Yu Seblak. Ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Gerakan Yu Seblak diikuti lima-enam orang yang duduk di belakang perempuan berdandan menor itu. Yu Seblak bergumam meluncurkan kata-kata mantera. "Aku mendengar ada banyak orang mendoakan kita. Mereka memberi kita sesaji. Ada bunga-bunga, ada jajan pasar, ada juga rokok klembak menyan," Mata Wibagso terus mengikuti upacara yang dipimpin Yu Seblak. "Kurang ajar! Kita dianggap dhemit! Malah ada yang minta nomer buntut segala! Ini apaapaan Wibagso!" teriak Durmo. "Ssssttt. Tenanglah. Apa susahnya kita membikin mereka sedikit gembira. Anggap saja ini intermezzo dalam perjalanan kita menuju jagat keabadian," ujar Wibagso. "Tapi kalau pahlawan sudah disuruh ngurusi togel itu kebangeten!" protes Cempluk. "Hidup mereka gelap rekan Cempluk. Mereka hanya bisa mengadu kepada kita, karena

yang hidup tak pernah mengurusi nasib mereka. Justru menghardik mereka...," tukas Ratri. Yu Seblak terus mengucapkan doa dalam irama cepat, diikuti orang-orang di belakangnya. Selesai memimpin doa, Yu Seblak menerima berbagai keluhan para "pasiennya". "Wah kalau pahlawan disuruh ngurusi garukan pelacur, ya enggak bisa. Punya permintaan itu mbok yang sopan gitu lho..." "Habis, saya selalu kena garuk, Yu. Jadinya 'dagangan' saya sepi. Ehhh siapa tahu, para petugas ketertiban kota itu takut dengan Kanjeng Wibagso dan semua pahlawan di sini. Tolong ya... Yu..." ujar Ajeng, perempuan berparas malam itu, sambil menyerahkan amplop di genggaman Yu Seblak. "Yaahhh akan saya usahaken. Semoga saja Kanjeng Wibagso dan rekan bisa mempertimbangken..." Wibagso tersenyum. Sidik manggut-manggut. Durmo tampak tersinggung. "Mereka ini payah. Garuk-menggaruk itu kan bukan urusan kita. Mestinya mereka mengadu ke anggota dewan..." "Ah anggota dewan kan lebih senang kasak-kusuk untuk saling menjatuhkan...," ujar Sidik. "Tampung saja keluhan itu," sahut Wibagso. "Tapi urusan kita banyak, Bung! Kita masih harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita selama hidup. Jujur saja, waktu berjuang dulu, aku menembaki musuh tanpa ampun seperti aku membasmi tikus," mata Durmo menerawang jauh. "Perang memungkinkan segalanya, Bung. Kita tidak mungkin bersikap lemah lembut terhadap musuh, yang mengincar nyawa kita. Kita membunuh bukan demi kepuasan melihat mayat-mayat mengerjat-ngerjat karena nyawanya oncat. Kita hanya mempertahankan hak yang harus digenggam," Wibagso mencoba menghibur Durmo. "Kita yakin saja, malaikat penghitung pahala pasti mencatat seluruh kebaikan kita," Ratri menimpali. Dari penjual rokok di seberang jalan, sayup-sayup terdengar warna berita dari radio: "Monumen Joang untuk mengenang lima pahlawan yang gugur dalam pertempuran Kota Baru melawan pasukan Belanda akan dipugar. Status mereka pun sedang diusulkan untuk ditingkatkan dari pahlawan kota telah menyiapkan anggaran sebesar tiga milyar." Lima patung itu mendengarkan berita dengan takzim. Wibagso meloncat girang. Ratri menarinari. Cempluk hanya diam terpekur. Durmo masih dibalut perasaan gelisah. Sidik berdiri

mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung. "Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso. "Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintir orang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisasisa pesta," ujar Sidik. "Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso. "Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukulmukul rongga batinku." "Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa." "Tapi perasaanku masih hidup!" "Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa. Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!" "Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri. "Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup. Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongku tanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng." "Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kota yang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan pertempuran. Ini semua berkat aku!" "Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu, aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebut sedang bergerilya!" "Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajar itu!" "Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebih dari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi pimpinan produksi perang!" hardik Durmo. "Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!"

Napas Wibagso naik-turun. "Tapi strategi tanpa nyali bagai kepala tanpa kaki!" kilah Durmo. "Bung Wibagso," tukar Sidik, "Kenapa kamu sibuk menghitung-hitung jasa yang sesungguhnya hampa?!" Bulan mengerjap, seperti tersentak. Wajah Wibagso memerah. "Sidik! Belajarlah kamu menghargai jasa orang lain. Jangan anggap kamu paling pahlawan di antara para pahlawan!" "Kapan aku membangga-banggakan diri? Kapan? Kamu ingat, waktu berjuang dulu, aku justru menghilang ketika ada Panglima Besar mengunjungi kawan-kawan kita yang berhasil menggempur musuh. Kalau aku mau, bisa saja aku mencatatkan diri menjadi prajurit resmi. Dan aku yakin, ketika negeri ini merdeka, aku mampu jadi petinggi yang bisa mborongi proyek. Tapi, puji Tuhan, maut keburu menjemputku," ujar Sidik. "Begitu juga aku," sergah Durmo, "Aku berpesan kepada anak-anakku, kepada seluruh keturunanku, untuk tidak mengungkit-ungkit jasa kepahlawananku, demi uang tunjangan yang tak seberapa banyak. Itu pun masih banyak potongannya!" "Munafik. Kalian ini munafik!" bentak Wibagso. Bulan kembali mengerjap. Angin terasa mati. Napas kota kembali berhembus. Jantung kota kembali berdegup. Gelandangan, pelacur dan copet kembali menggeliat. Mulut mereka kompak menguap menyemburkan abab bacin penuh bakteri. "Aku yakin, kalau monumen ini jadi dipugar, kita akan kehilangan tempat," ujar Kalur, pencopet bertubuh tinggi kurus itu. "Kita harus turun ke jalan. Kita kerahkan semua gelandangan di kota ini. Kita demo besar-besaran!" timpal Karep yang dijuluki "gelandangan intelektual" karena gemar mengutip kata-kata gagah. Percakapan mereka dihentikan suara radio milik Yu Seblak yang menyiarkan warta berita: "Drs Ginsir, Kepala Kotapraja yang menggantikan RM Picis, membatalkan rencana pemugaran Monumen Joang. Menurut Drs Gingsir, proyek itu mubazir. Bertenangan dengan azas kemanfaatan bagi publik. Apalagi pengajuan perubahan status menjadi pahlawan nasional, ditolak Tim Pakar Sejarah Nasional. Dana sebesar tiga milyar dialihkan untuk memberikan bantuan pangan kepada masyarakat prasejahtera." Gelandangan-gelandangan sontak bersorak. Mereka menari. Beberapa orang menenggak minuman oplosan alkohol. Bahkan ada yang mencampurinya dengan spritus. Jantung

mereka berdetak cepat. Gerakan tubuh mereka semakin rancak, semakin panas. Bulan pucat di angkasa berselimut kabut. Kota kembali tidur. Tapi di sebuah gedung pemerintahan kotapraja, tampak lampu masih menyala. "Saya setuju saja, jika Den Bei Taipan mau bikin mall di sini," ujar Drs Ginsir sambil minum anggur. "Terima kasih... terima kasih. Bapak Ginsir ternyata welcome. Eeee soal pembagian keuntungan, itu dinegosiasikan. Biasanya, 30:60." Den Bei menenggak anggur merah. "Tapi tunggu dulu, Den Bei. Saya mesti mengusulkan masalah ini pada Dewan. Dan biasanya itu agak lama. Maklum..." "Eeee bagaimana kalau 35:65. Tidak ada konglomerat gila macam saya." "Tapi masih banyak konglomerat lain yang lebih gila, Den Bei..." "Bagaimana kalau 40:60. Ini peningkatan yang sangat progresif." "Well...well...well... Saya kira Den Bei bisa bikin mall tidak hanya satu. Tanah di sini masih sangat luas." "Bapak ini ternyata cerdas. Setidaknya, mendadak cerdas." Keduanya tertawa berderai. "Den Bei tinggal pilih. Alun-alun, bekas benteng Rotenberg atau di Monumen Joang." "Semuanya akan saya ambil." "Terima kasih. Sulaplah kota kami ini jadi metropolitan." Keduanya berjabat tangan. *** "PENGKHIANAT! Culas! Licik dan sombong! Penguasa demi penguasa datang, ternyata hanya bertukar rupa. Mereka tetap saja menikamkan pengkhianatan demi pengkhianatan di tubuh kita!" Wibagso menggebrak, hingga tubuh monumen bergetar. "Mereka menganggap kita sekadar bongkahan batu yang beku. Mereka hendak menggerus kita menjadi butiran-butiran masa silam yang kelam!" hardik Ratri. Sidik, Durmo, dan Cempluk tersenyum.

"Kenapa kalian hanya diam? Kita ini hendak diluluhlantakkan. Lihatlah buldoserbuldoser itu datang. Berderap-derap. Kita harus bertahan. Bertahan!" teriak Wibagso. Di bawah monumen, Yu Seblak memimpin penghadangan penggusuran. "Kita harus bertahan! Kita lawan buldoser-buldoser itu! Ajeng, Karep, Kalur, di mana kalian?" teriak Yu Seblak. "Kami di sini. Di belakangmu!" jawab mereka kompak. "Kita lawan mereka. Kita pertahankan liang-liang kita. Lebih baik mati daripada selamanya dikutuk jadi kecoa!" Deru buldoser-buldoser mengepung monumen. Beberapa orang berseragam memberi aba-aba. Buldoser-buldoser terus merangsek. "Lihatlah, mereka yang hanya gelandangan saja membela kita. Mestinya kalian malu!" hardik Wibagso. "Wibagso! Kalau kami akhirnya melawan mereka, itu bukan untuk membela kepongahan kita sebagai pahlawan. Tapi membela mereka yang juga punya hak hidup!" teriak Sidik. "Aku tak butuh penjelasan. Tapi butuh kejelasan sikap kalian untuk melawan mereka Ratri, meloncatlah kamu. Dan masuklah ke ruang kemudi. Cekik leher sopir-sopir itu. Cempluk, tahan moncong buldoser itu. Ganjal dengan tubuhmu. Sidik, dan kamu Durmo hancurkan mesin buldoser-buldoser itu. Cepat!" Wibagso mengatur perlawanan seperti ketika menghadapi tentara-tentara penjajah. Buldoser terus merangsek. Meluluhlantakkan badan monumen. Menerjang orang-orang yang mencoba bertahan. Kalur, Karep, Ajeng, dan orang-orang lainnya lari lintang pukang. "Kalian benar-benar pengecut!" teriak Yu Seblak. "Sia-sia melawan mereka! Mereka ternyata buaanyaakkk sekali!" teriak Kalur. "Kita menyingkir saja. Pahlawan saja mereka gilas, apalagi kecoa makam kita! Menyingkir... Menyingkir saja!!!" Karep mencoba menarik Yu Seblak yang berdiri beberapa sentimeter dari moncong-moncong buldoser. Tapi Yu Seblak tetap bertahan, sambil terus mengibar-ngibarkan kain dan kutangnya. Tak ada yang menahan Yu Seblak untuk telanjang. Buldoser-buldoser itu dengan rakus dan bergairah menggilas tubuh Yu Seblak. Tubuh kuning langsat itu bagaikan buah semangka yang dilumat blender. Wibagso tersentak. Ratri menjerit histeris. Durmo dan Sidik berteriak-teriak penuh amarah. Mereka mencoba menghadang buldoser-buldoser itu. Tapi mesin penghancur itu terlalu kuat buat dilawan. Patung-patung itu dilabrak dan dihajar hingga lumat.

Bulan di angkasa mengerjap, Angin mati. "Kalian telah membunuh kami untuk yang kedua kalinya..." ujar Wibagso lirih. Ucapan itu terus bergema, hingga mall itu selesai dibangun, dan diresmikan Kepala Kotapraja, Drs Gingsir. Hingga kini, suara-suara itu terus mengalun. Tapi hanya telinga setajam kesunyian yang mampu mendengar gugatan itu.* Jogja, awal Juli 2002 (Terima kasih untuk Joko DH dan Menthol Hartoyo) posted by imponk | 3:26:00 AM << Home

Anda mungkin juga menyukai