Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fiksi merupakan karya kreatif yang bermediakan bahasa. Bahasa dalam

karya fiksi menjadi media bagi pengarang dalam mengekspresikan pemikiran,

perasaan, hingga pengalaman kesehariannya. Sebagai media ekspresif, pengarang

berkesempatan—dan seharusnya—mengeksploiltasi berbagai potensi kebahasaan

yang dikuasai dan dipilih melalui karya fiksi yang ditulisnya. Ide-ide yang telah

diolah melalui proses kreatif kebahasaan ini sejatinya akan menghasilkan karya

fiksi yang ekspresif dan sarat makna.

Sebagai karya kreatif, penyajian fiksi selalu dilakukan dengan cara baru, cara

lain, dan cara yang belum digunakan pada karya lain (Al-Ma’ruf, 2010: 2).

Penyajian karya sastra, dalam hal ini fiksi, dengan cara baru, cara lain, dan cara

yang belum digunakan pada karya lain tersebut terkait dengan usaha menyajikan

karya secara lebih mendalam sekaligus lebih indah. Walaupun begitu, berbagai

kebaruan dan kekhasan itu tetap berpijak pada fungsi dasar bahasa, yaitu sebagai

media komunikasi. Oleh karena itu, betapa pun usaha pengarang untuk menyajikan

kebaruan, bahkan dengan sampai melakukan penyimpangan, tetap harus

memperhatikan konvensi yang ada untuk memastikan informasi yang tertuang

dalam bahasa dapat dicerna sekaligus dinikmati pembaca.

Keberhasilan pengarang dalam mengolah bahasa di antaranya dibuktikan

oleh keberterimaan dan ternikmatinya karya yang dilahirkan. Keberterimaan dalam

arti komunikatifnya bahasa yang dikreasinya sementara ternikmati dimaksudkan

1
sebagai orisinal dan estetisnya bahasa sebuah karya fiksi. Lebih jauh lagi,

keberterimaan dalam pengertian ini dimaksudkan bahwa karya yang dihasilkan

mampu menjangkau pembaca dengan beragam latar belakang, mulai usia,

pendidikan, hingga budaya. Pada konteks ini, khususnya ketika masuk ke dalam

dunia anak, remaja, pendidikan, atau pertimbangan moralitas, keberterimaan tidak

lagi dipahami sebatas tersampaikan atau tidaknya informasi melainkan sampai

kepada pemikiran atas nilai pendidikan (utile). Hal tersebut bukan perkara mudah,

pengarang harus secara kreatif memadukan antara kreativitas dengan moralitas

sehingga nilai estetis dan imajinatifnya juga dapat dinikmati pembaca dari berbagai

kalangan (dulce).

Di antara karya fiksi yang mendapat penerimaan cukup luas sejak sepuluh

tahun terakhir adalah novel Negeri 5 Menara (2009) yang ditulis oleh Ahmad

Fuadi. Penerbitan ini kemudian diikuti penerbitan dua novel lain yang merupakan

lanjutannya, yaitu Ranah 3 Warna (2011) dan Rantau 1 Muara (2013).

Secara tematik, Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara

mengangkat kehidupan kaum marginal, pendidikan di madrasah dan sekolah

umum, pendidikan pesantren, dan perjuangan mendapatkan akses pendidikan yang

lebih layak, mulai di daerah hingga luar negeri. Tema-tema tersebut sesungguhnya

telah banyak diangkat. Novel sebelumnya yang telah menyajikan tema sejenis

adalah tetralogi Laskar Pelangi (2009) yang ditulis oleh Andrea Hirata (Herfanda,

2009: 7a). Ahmad Fuadi pun secara tegas mengemukakan bahwa Andrea Hirata

adalah di antara orang-orang yang telah menginspirasinya dalam menulis.

Pascaterbitnya Negeri 5 Menara, terbitlah novel 9 Summers 10 Autums karya Iwan

2
Setyawan. Novel yang dipublikasikan tahun 2011 ini juga mengangkat kisah yang

dilatarbelakangi kehidupan pengarangnnya sendiri berkenaan dengan usaha

mengakses pendidikan yang lebih baik untuk meraih kehidupan yang lebih baik

pula. Jika Ahmad Fuadi terinspirasi oleh Andrea Hirata, Iwan Setyawan justru

banyak belajar (termotivasi) dari Ahmad Fuadi.

Kendati mengakui terinspirasi oleh Andrea Hirata, Ahmad Fuadi

membuktikan bahwa dia telah menyajikannya Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna,

dan Rantau 1 Muara dengan cara baru, cara lain, dan cara yang belum digunakan

pada karya pendahulunya. Dengan berbagai latar belakang yang dimilikinya, mulai

pendidikan, pengalaman, budaya, profesi, serta bacaan-bacaannya, peraih sepuluh

beasiswa luar negeri tersebut menunjukkan kemampuan olah bahasanya sehingga

melahirkan karya baru dengan kreativitas kebahasaan yang orisinal dan diminati.

Sebagai pengarang yang dilahirkan di Minangkabau, Ahmad Fuadi hadir

dengan eksplorasi atas keindahan budaya Minangkabau dan kualitas karyanya

dipandang mampu mengimbangi karya-karya para pendahulunya. Hal ini

diungkapkan oleh Gamawan Fauzi pada pernyataan dukungan (endorsement) atas

Negeri 5 Menara. Tokoh kelahiran Sumatra Barat tersebut mengemukakan bahwa

kehadiran Ahmad Fuadi mengingatkan para penikmat sastra kepada sastrawan-

sastrawan besar Minangkabau sebelumnya (Fuadi, 2011a: 407).

Pernyataan Gamawan Fauzi itu bukanlah tanpa alasan. Selain

mengeksplorasi bahasa Minang, layaknya pengarang Minangkabau pendahulunya,

Ahmad Fuadi juga menghadirkan berbagai konteks budaya Minangkabau dalam

menceritakan kehidupan tokoh Alif Fikri yang merepresentasikan dirinya sendiri.

3
Sehubungan dengan perbedaan zaman antara Ahmad Fuadi dengan para pengarang

Minangkabau pendahulunya, gaya bahasa (stile) dan konteks penceritaan Ahmad

Fuadi terlihat khas. Sebagai seorang lulusan madrasah tsanawiyah, pesantren,

universitas umum dalam dan luar negeri, gaya Ahmad Fuadi lekat dengan berbagai

kondisi tersebut yang secara otomatis juga lekat dengan kehidupan tokoh Alif Fikri.

Alasan-alasan itu turut berkontribusi dalam mendorong pemakaian bahasa

Minangkabau, Melayu, Sunda, Inggris, Perancis, bahkan Arab selain bahasa

Indonesia yang menjadi bahasa utama pada trilogi Negeri 5 Menara. Selain latar

belakang tersebut, Ahmad Fuadi juga mantan jurnalis yang telah banyak bergelut

dengan tulisan yang cenderung lugas dan menarik. Gaya jurnalis ini sedikit-banyak

turut mewarnai stile trilogi Negeri 5 Menara.

Dua hal yang merupakan potensi pengkajian karya fiksi adalah makna dan

stile. Hal ini sesuai dengan pandangan dualisme yang memisahkan dan

membedakan antara makna dengan stile (Nurgiyantoro, 2014b: 90-91).

Berdasarkan pandangan golongan dualisme ini, sebuah gagasan, pikiran, dan

perasaan dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk ungkapan kebahasaan.

Pandangan ini secara implisit menunjukkan bahwa bahasa memiliki peran strategis

atas keberterimaan sebuah karya fiksi. Hal ini sekaligus mengamini pernyataan Jean

Paul Sartre yang mengatakan bahwa seseorang menjadi sastrawan bukan karena

telah mengatakan sesuatu, melainkan karena talah memilih cara untuk mengatakan

sesuatu (Nurgiyantoro, 2014b: 71). Cara pada konsep ini dapat dimaknai sebagai

gaya atau stile yang merupakan wilayah kajian stilistika.

4
Berdasarkan pembacaan awal, Negeri 5 Menara syarat dengan istilah dan

kekhasan yang disampaikan dalam bahasa yang disesuaikan dengan situasi dan

konteks penceritaan. Hal tersebut dikemas secara kreatif oleh Ahmad Fuadi dengan

sentuhan keahlian jurnalisme yang dimiliknya. Dengan begitu, hal-hal yang

sesungguhnya biasa, oleh Ahmad Fuadi mampu disajikan secara dramatis bahkan

jenaka (Herfanda, 2009: 7a). Tanpa adanya kreativitas, dialog, peribahasa, pesan

moral, dan nilai pendidikan yang notabene permasalahan klasik, serta istilah dalam

bahasa asing yang digunakan justru akan kontraproduktif sehingga menurunkan

keestetisan karya sekaligus menurunkan tingkat keberterimaannya.

Di antara objek kajian kestilistikaan yang relevan dalam menunjang kualitas

dan keberterimaan sebuah karya fiksi adalah aspek leksikal, gramatikal, kohesi,

pemajasan, penyiasatan struktur, citraan, deviasi bahasa, serta nada dan suasana. Di

wilayah inilah Ahmad Fuadi dipandang banyak “bermain”. Sebagai contoh,

peribahasa man jadda wajada, man shabara zhafira, dan man saara ala darbi

washala sesungguhnya sudah dikenal lama dalam tradisi Islam. Secara semantis,

ketiganya juga banyak terkandung pada peribahasa sejenis dalam berbagai bahasa

di Indonesia. Menariknya, ketiga peribahasa dalam bahasa Arab tersebut dikenal

luas serta mencerahkan banyak orang justru pascaditerbitkannya novel Negeri 5

Menara. Kenyataan ini tentu saja menambah bukti keberterimaan trilogi Negeri 5

Menara yang sekaligus menunjukkan keberhasilan Ahmad Fuadi dalam menghibur

dan mengedukasi para pembacanya.

Hal-hal tersebut memperlihatkan strategisnya peranan bahasa dalam sebuah

karya fiksi, khususnya pada novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau

5
1 Muara. Sebagai aspek yang strategis, kebahasaan dalam karya fiksi sudah

selayaknya mendapat perhatian dan pengkajian serius dan komprehensif. Dalam

kaitan dengan kesadaran itulah penelitian ini dilakukan.

B. Identifikasi Masalah

Bidang kajian stilistika meliputi aspek yang cukup luas. Secara umum karya

sastra terbagi menjadi fiksi, puisi, dan drama. Beberapa aspek kestilistikaan dapat

digunakan untuk pengkaji ketiganya, sementara aspek tertentu hanya dapat

diterapkan untuk mengkaji jenis tertentu pula. Dalam kaitannya dengan kajian

kebahasaan Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara, aspek stilistika

yang mungkin dianalisis adalah aspek leksikal, gramatikal, kohesi, pemajasan,

penyiasatan struktur, citraan, nada dan suasana, deviasi bahasa, beserta fungsinya.

C. Fokus dan Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, aspek-aspek yang mungkin diteliti

berkaitan dengan stilistika dalam novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan

Rantau 1 Muara meliputi aspek leksikal, gramatikal, kohesi, pemajasan,

penyiasatan struktur, citraan, nada dan suasana, deviasi bahasa, beserta fungsi stile

pada masing-masing aspek tersebut.

Ruang lingkup kajian aspek deviasi bahasa meliputi deviasi leksikal,

fonologis, gramatikal, semantis, grafologi, dialek, register, dan historis. Wilayah

kajian deviasi bahasa tersebut bersinggungan dengan kajian aspek-aspek lain.

Untuk efektivitas kerja penelitian, aspek deviasi bahasa tidak diteliti secara khusus

6
melainkan terintegrasi dengan aspek-aspek lain begitu juga dengan nada dan

suasana yang terintegrasi dengan fungsi stile. Oleh karena itu, fokus sekaligus

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah wujud dan fungsi stile aspek leksikal dalam novel Negeri 5

Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?

2. Bagaimanakah wujud dan fungsi stile aspek gramatikal dalam novel Negeri 5

Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?

3. Bagaimanakah wujud dan fungsi stile aspek kohesi dalam novel Negeri 5

Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?

4. Bagaimanakah wujud dan fungsi stile aspek pemajasan dalam novel Negeri 5

Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?

5. Bagaimanakah wujud dan fungsi stile aspek penyiasatan struktur dalam novel

Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?

6. Bagaimanakah wujud dan fungsi stile aspek citraan dalam novel Negeri 5

Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi?

D. Tujuan Penelitian

Berdasakan fokus penelitian tersebut, tujuan penelitian ini adalah mendes-

kripsikan hal-hal berikut.

1. Wujud dan fungsi stile aspek leksikal dalam novel Negeri 5 Menara, Ranah 3

Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

2. Wujud dan fungsi stile aspek gramatikal dalam novel Negeri 5 Menara, Ranah

3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

7
3. Wujud dan fungsi stile aspek kohesi dalam novel Negeri 5 Menara, Ranah 3

Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

4. Wujud dan fungsi stile aspek pemajasan dalam novel Negeri 5 Menara, Ranah

3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

5. Wujud dan fungsi stile aspek penyiasatan struktur dalam novel Negeri 5

Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

6. Wujud dan fungsi stile aspek citraan dalam novel Negeri 5 Menara, Ranah 3

Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoretis dan praktis. Secara

teoretis penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pemikiran bagi

pengembangan ilmu sastra, khususnya stilistika yang dipandang relatif belum

mendapatkan perhatian luas dan mendalam dibanding bidang lain dalam kajian atau

penelitian sastra. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini juga dapat

memperkaya khasanah studi stilistika di Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini adalah (1) menjelaskan fungsi keindahaan

penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan pada novel Negeri 5 Menara, Ranah 3

Warna, dan Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi dan (2) menjadi referensi untuk

kajian sastra dari sudut pandang stilistika di sekolah dan perguruan tinggi.

Anda mungkin juga menyukai