Anda di halaman 1dari 23

Wikisource

Nasionalisme,
Islamisme, dan
Marxisme

Sebagai Aria Bima-put era, yang lahirnya dalam zaman perjoangan, maka INDONESIA-MUDA
inilah melihat cahaya hari pert ama-t ama dalam zaman yang rakyat -rakyat Asia, lagi berada
dalam perasaan t ak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib-ekonominya, t ak
senang dengan nasib-polit iknya, t ak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu.

Zaman baru: zaman muda, sudahlah dat ang sebagai fajar yang t erang cuaca.

Zaman t eori kaum kuno, yang mengat akan, bahwa “siapa yang ada di bawah, harus t erima-
senang, yang ia anggap cukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwayat , yang barang kemas-
kemasnya berguna unt uk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah t ak
men­dapat penganggapan lagi oleh rakyat -rakyat Asia it u. Pun makin lama makin t ipislah
kepercayaan rakyat -rakyat it u, bahwa rakyat -rakyat yang mempert uankannya it u, adalah
sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ont voogden” mereka; makin lama makin t ipislah
kepercayaannya, bahwa rakyat -rakyat yang mempert uankannya it u ada sebagai “saudara-t ua”,
yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-
balig”, at au “masak”.

Sebab t ipisnya kepercayaan it u adalah bersendi penget ahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang
menyebabkan kolonisasi it u bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat
dunia-asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang
menjalankan kolonisasi it u ada t erlampau sesak oleh banyaknya penduduk, – sebagai yang
t elah diajarkan oleh Gust av Klemm –, akan t et api asalnya kolonisasi ialah t erist imewa soal
rezeki.

“Yang pert ama-t ama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal – hidup
dalam t anah-airnya sendiri”, begit ulah Diet rich Schafer berkat a. Kekurangan rezeki, it ulah yang
menjadi sebab rakyat -­rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain! It ulah pula yang menjadi
sebab rakyat -rakyat it u menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki it u. It ulah
pula yang membikin “ont voogding”-nya ne­geri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang
menjajahnya it u, sebagai suat u barang yang sukar dipercayainya. Orang t ak akan gampang-
gampang melepaska bakul-nasinya, jika pelepasan bakul it u mendat angkan mat inya!

Begit ulah, bert ahun-t ahun, berwindu-windu, rakyat -rakyat Eropah it u mempert uankan negeri-
negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Terist imewa Eropah-Barat
lah yang bukan main t ambah kekayaannya.

Begit ulah t ragiknya riwayat -riwayat negeri-negeri jajahan!

Dan keinsyafan akan t ragik inilah yang menyadarkan rakyat -rakyat jajahan it u; sebab, walaupun
lahirnya sudah kalah dan t akluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Rokh Asia masih hidup
sebagai api yang t iada padamnya! Keinsyafan akan t ragik inilah pula yang sekarang menjadi
nyawa pergerakan rakyat di Indonesia-kit a, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada
mempunyai t iga sifat : NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS lah adanya.

Mempelajari, mencahari hubungan ant ara ket iga sifat it u, membukt ikan, bahwa t iga haluan ini
dalam suat u negeri jajahan t ak guna berset eruan sat u sama lain, membukt ikan pula, bahwa
ket iga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi sat u gelombang yang maha­besar dan
maha-kuat , sat u ombak-t aufan yang t ak dapat dit ahan t erjangnya, it ulah kewajiban yang kit a
semua harus memikulnya.

Akan hasil at au t idaknya kit a menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia it u, bukanlah kit a
yang menent ukan. Akan t et api, kit a t idak boleh put us-put us berdaya-upaya, t idak boleh habis-
habis ikht iar men­jalankan kewajiban ikut mempersat ukan gelombang-gelombang t ahadi it u!
Sebab kit a yakin, bahwa persat uanlah yang kelak kemudian hari membawa kit a ke arah
t erkabulnya impian kit a: Indonesia-Merdeka!

Ent ah bagaimana t ercapainya persat uan it u; ent ah pula bagaimana rupanya persat uan it u; akan
t et api t et aplah, bahwa kapal yang membawa kit a ke-Indonesia-Merdeka it u, ialah Kapal-
Persat uan adanya! Mahat ma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal-
Persat uan it u kini barangkali belum ada, akan t et api yakinlah kit a pula, bahwa kelak kemudian
hari must ilah dat ang saat nya, yang Sang-Mahat ma it u berdiri di t engah kit a! ...

It ulah sebabnya kit a dengan besar hat i mempelajari dan ikut merat akan jalan yang menuju
persat uan it u. It ulah maksudnya t ulisan yang pendek ini.

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!


Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-
faham yang menjadi rokhnya pergerakan-pergerakan di Asia it u. Rokhnya pula pergerakan-
pergerakan di Indonesia-kit a ini.

Part ai Boedi Oet omo, “marhum” Nat ionaal Indische Part ij yang kini masih “hidup”, Part ai
Sarekat Islam, Perserikat an Minahasa; Part ai Komunis Indonesia, dan masih banyak part ai-
part ai lain ... it u masing­- masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh Islamisme, at au rokh
Marxisme adanya. Dapat kah rokh-rokh ini dalam polit ik jajahan bekerja bersama-sama menjadi
sat u

Rokh yang Besar, Rokh Persat uan? Rokh Persat uan, yang akan membawa kit a ke lapang ke-
Besaran?

Dapat kah dalam t anah jajahan pergerakan Nasionalisme it u dirapat kan dengan pergerakan
Islamisme yang pada hakekat nya t iada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat
perjoangan int ernasional?

Dapat kah Islamisme it u, ialah sesuat u agama, dalam polit ik jajahan bekerja bersama-sama
dengan Nasionalisme yang mement ingkan bangsa, dengan mat erialismenya Marxisme yang
mengajar perbendaan?

Akan hasilkah usaha kit a merapat kan Boedi Oet omo yang begit u sabar-halus (gemat igd),
dengan Part ai Komunis Indonesia yang begit u keras sepaknya, begit u radical-milit an
t erjangnya? Boedi Oet omo yang begit u evolusioner, dan Part ai Komunis Indonesia, yang
walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begit u didesak dan dirint angi, oleh sebab rupa-
rupanya musuh-musuh it u yakin akan peringat an Al Cart hill, bahwa “yang mendat angkan
pemberont akan-pemberont akan it u biasanya bagian-bagian yang t erkecil, dan bagian-bagian
yang t erkecil sekali”?

Nasionalisme! Kebangsaan!

Dalam t ahun 1882 Ernest Renan t elah membuka pendapat nya t ent ang faham “bangsa” it u.
“Bangsa” it u menurut pujangga ini ada suat u nyawa, suat u azas-akal, yang t erjadi dari dua hal:
pert ama-t ama rakyat it u dulunya harus bersama-sama menjalani sat u riwayat ; kedua, rakyat it u
sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi sat u.

Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan but uh, bukannya
pula bat as-bat as negeri yang menjadikan “bangsa” it u.

Dari t empo-t empo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kaut sky dan
Karl Radek, t erist imewa Ot t o Bauerlah yang mempelajari soal “bangsa” it u.
“Bangsa it u adalah suat u persat uan perangai yang t erjadi dari persat uan hal-ikhwal yang t elah
dijalani oleh rakyat it u”, begit ulah kat anya.

Nasionalisme it u ialah suat u ikt ikad; suat u keinsyafan rakyat , bahwa rakyat it u ada sat u
golongan, sat u “bangsa”!

Bagaimana juga bunyinya ket erangan-ket erangan yang t elah diajarkan oleh pendekar-pendekar
ilmu yang kit a sebut kan di at as t ahadi, maka t et aplah, bahwa rasa nasionalist is it u menimbulkan
suat u rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali unt uk mempert ahankan
diri di dalam perjoangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kit a.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi ket eguhan hat i pada kaum Boedi Oet omo
dalam usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan
ket et apan hat i pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjoangannya mencari Hindia­Besar
at au Indonesia-Merdeka adanya.

Apakah rasa nasionalisme, – yang, oleh kepercayaan akan diri sendiri it u, begit u gampang
menjadi kesombongan-bangsa, dan begit u gampang mendapat t ingkat nya yang kedua, ialah
kesombongan-ras, walaupun faham ras (jenis) ada set inggi langit bedanya dengan faham
bangsa, oleh karena ras it u ada suat u faham biologis, sedang nat ionalit eit it u suat u faham
sosiologis (ilmu pergaulan hidup), – apakah nasionalisme it u dalam per­joangan-jajahan bisa
bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekat nya t iada bangsa, dan dalam lahirnya
dipeluk oleh bermacam­- macam bangsa dan bermacam-macam ras;- apakah Nasionalisme it u
dalam polit ik kolonial bisa rapat -diri dengan Marxisme yang int ernasional, int er-rasial it u?

Dengan ket et apan hat i kit a menjawab: bisa!

Sebab, walaupun Nasionalisme it u dalam hakekat nya mengecualikan segala fihak yang t ak ikut
mempunyai “keinginan hidup menjadi sat u” dengan rakyat it u; walaupun Nasionalisme it u
sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang t ak merasa “sat u golongan, sat u bangsa”
dengan rakyat it u; walaupun Kebangsaan it u dalam azasnya menolak segala perangai yang
t erjadinya t idak “dari persat uan hal-ikhwal yang t elah dijalani oleh rakyat it u”, – maka t ak boleh
kit a lupa, bahwa manusia-­manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan
Marxisme di Indonesia-kit a ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan
Nasionalisme it u semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi sat u”; – bahwa mereka dengan
kaum Nasionalis it u merasa “sat u golongan, sat u bangsa”; – bahwa segala fihak dari per­gerakan
kit a ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, berat us-rat us t ahun lamanya ada
“persat uan hal-ikhwal”, berat us-rat us t ahun lamanya sama-sama bernasib t ak merdeka! Kit a
t ak boleh lalai, bahwa t erist imewa “persat uan hal-ikhwal”, persat uan nasib, inilah yang
menimbulkan rasa “segolongan” it u. Bet ul rasa-golongan ini masih membuka kesempat an unt uk
perselisihan sat u sama lain; bet ul sampai kini, belum pernah ada persahabat an yang kokoh di
ant ara fihak-fihak pergerakan di Indonesia-kit a ini, – akan t et api bukanlah pula maksud t ulisan
ini membukt ikan, bahwa perselisihan it u t idak bisa t erjadi. Jikalau kit a sekarang mau berselisih,
amboi, t ak sukarlah mendat angkan perselisihan it u sekarang pula!

Maksud t ulisan ini ialah membukt ikan, bahwa persahabat an bisa t ercapai!

Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang t ak
t erbat as pada Nasionalisme, mengambil t eladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat saya,
maka cint a saya pada t anah-air it u, masuklah dalam cint a pada segala manusia. Saya ini seorang
pat riot , oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya t idak mengecualikan siapa juga.”
Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuat an mempersat ukan fihak Islam dengan fihak Hindu,
fihak Parsi, fihak Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari t igarat us jut a it u, lebih dari enam
kali jumlah put era Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!

Tidak adalah halangannya Nasionalis it u dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum
Islamis dan Marxis. Lihat lah kekalnya perhubungan ant ara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis
Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang wakt u pergerakan non-
cooperat ion India sedang menghaibat , hampir t iada pisahnya sat u sama lainnya. Lihat lah
geraknya part ai Nasionalis Kuomint ang di Tiongkok, yang dengan ridla hat i menerima faham-
faham Marxis: t ak set uju pada kemilit eran, t ak set uju pada Imperialisme, t ak set uju pada
kemodalan!

Bukannya kit a mengharap, yang Nasionalis it u supaya berobah faham jadi Islamis at au Marxis,
bukannya maksud kit a menyuruh Marxis dan Islamis it u berbalik menjadi Nasionalis, akan t et api
impian kit a ialah kerukunan, persat uan ant ara t iga golongan it u.

Bahwa sesungguhnya, asal mau sahaja ... t ak kuranglah jalan ke arah persat uan. Kemauan,
percaya akan ket ulusan hat i sat u sama lain, keinsyafan akan pepat ah “rukun membikin
sent ausa” (it ulah sebaik­- baiknya jembat an ke arah persat uan), cukup kuat nya unt uk melangkahi
segala perbedaan dan keseganan ant ara segala fihak-fihak dalam pergerakan kit a ini.

Kit a ulangi lagi: Tidak adalah halangannya Nasionalis it u dalam geraknya, bekerja bersama-sama
dengan Islamis dan Marxis.

Nasionalis yang sejat i, yang cint anya pada t anah-air it u bersendi pada penget ahuan at as
susunan ekonomi-dunia dan riwayat , dan bukan semat a-mat a t imbul dari kesombongan bangsa
belaka, – nasionalis yang bukan chauvinis, t ak boleh t idak, haruslah menolak segala faham
penge­c ualian yang sempit -budi it u. Nasionalis yang sejat i, yang nasionalismenya it u bukan
semat a-mat a suat u copie at au t iruan dari nasionalisme Barat , akan t et api t imbul dari rasa cint a
akan manusia dan kemanusiaan, – nasionalis yang menerima rasa-nasionalismenya it u sebagai
suat u wahyu dan melaksanakan rasa it u sebagai suat u bakt i, adalah t erhindar dari segala faham
kekecilan dan kesempit an. Baginya, maka rasa cint a­bangsa it u adalah lebar dan luas, dengan
memberi t empat pada lain-lain sesuat u, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi t empat
pada segenap sesuat u yang perlu unt uk hidupya segala hal yang hidup.

Wahai, apakah sebabnya kecint aan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi
kebencian, jikalau dihadapkan pada orang­- orang Indonesia yang berkeyakinan Islamist is?
Apakah sebabnya kecin­t aan it u lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada
orang-orang Indonesia yang bergerak Marxist is? Tiadakah t empat dalam sanubarinya unt uk
nasionalismenya Gopala Krishna Gokhat e, Mahat ma Gandhi, at au Chit a Ranjam Das?

Janganlah hendaknya kaum kit a sampai hat i memeluk jingo-nat ionalism, sebagai jingo-
nat ionalismnya Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persat uan Hindu-Muslim; sebab
jingo-nat ionalism yang semacam it u “akhirnya past ilah binasa”, oleh karena “nasionalisme
hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi at as azas-azas yang
lebih suci”.

Bahwasanya, hanya nasionalisme ke-Timur-an yang sejat ilah yang pant as dipeluk oleh
nasionalis-Timur yang sejat i. Nasionalisme Eropah, ialah suat u nasionalisme yang bersifat
serang-menyerang, suat u nasional­isme yang mengejar keperluan sendiri, suat u nasionalisme
perdagangan yang unt ung at au rugi, – nasionalisme yang semacam it u akhirnya past ilah kalah,
past ilah binasa.

Adakah keberat an unt uk kaum Nasionalis yang sejat i, buat bekerja bersama-sama dengan kaum
Islam, oleh karena Islam it u melebihi ke­bangsaan dan melebihi bat as-negeri ialah super-
nasional super-t erit orial? Adakah int ernat ionalit eit Islam suat u rint angan buat geraknya na­‐
sionalisme, buat geraknya kebangsaan?

Banyak nasionalis-nasionalis di ant ara kit a yang sama lupa bahwa pergerakan-nasionalisme dan
Islamisme di Indonesia ini -ya, di seluruh Asia – ada sama asalnya, sebagai yang t elah kit a
uraikan di awal t ulisan ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat ”, at au lebih t egas, melawan
kapit alisme dan imperialisme Barat , sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawannya lah
adanya. Bet apa lebih luhurnyalah sikap nasionalis

Prof. T. L. Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis: “Jikalau Islam menderit a sakit ,
maka Rokh kemerdekaan Timur t ent ulah sakit juga; sebab makin sangat nya negeri-negeri
Muslim kehilangan kemerde­kaannya, makin lebih sangat pula imperialisme Eropah mencekek
Rokh Asia. Tet api, saya percaya pada Asia-sediakala; saya percaya bahwa Rokhnya masih akan
menang. Islam adalah int ernasional, dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kit a it u
adalah diperkuat oleh segenap kekuat annya ikt ikad int ernasional it u.”
Dan bukan it u sahaja. Banyak nasionalis-nasionalis kit a yang sama lupa, bahwa orang Islam, di
manapun juga ia adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja unt uk
keselamat an orang negeri yang dit empat inya. Nasionalis-nasionalis it u lupa, bahwa orang Islam
yang sungguh-sungguh menjalankan ke-Islam-annya, baik orang Arab maupun orang India, baik
orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja unt uk
keselamat an Indonesia it u. “Di mana-mana orang Islam bert empat , bagaimanapun juga jauhnya
dari negeri t empat kelahirannya, di dalam negeri yang baru it u ia masih menjadi sat u bahagian
daripada rakyat Islam, daripada Persat uan Islam. Di mana-mana orang Islam bert empat , di
sit ulah ia harus mencint ai dan bekerja unt uk keperluan negeri it u dan rakyat nya”.

Inilah Nasionalisme Islam! Sempit -budi dan sempit -pikiranlah nasionalis yang memusuhi
Islamisme serupa ini. Sempit -budi dan sempit ­- pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suat u azas,
yang, walaupun int ernasional dan int er-rasial, mewajibkan pada segenap pemeluknya yang ada
di Indonesia, bangsa apa merekapun juga, mencint ai dan bekerja unt uk keperluan Indonesia dan
rakyat Indonesia juga adanya!

Adakah pula keberat an unt uk kaum Nasionalis sejat i, bekerja bersama-sama dengan kaum
Marxis, oleh karena Marxisme it u int er­nasional juga?

Nasionalis yang segan berdekat an dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, –
Nasionalis yang semacam it u menunjukkan ket iadaan yang sangat , at as penget ahuan t ent ang
berput arnya roda-polit ik dunia dan riwayat . Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia
at au Asia it u, juga merupakan t empat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah
pergerakannya sendiri it u acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxist is
t ahadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxist is it u, samalah art inya dengan menolak
kawan-sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan t ak mengert i akan art i sikapnya
saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima
Nasionalis yang besar it u, yang dengan segala kesenangan hat i bekerja bersama-sama dengan
kaum Marxis walaupun beliau it u yakin, bahwa perat uran Marxis pada saat it u belum bisa
diadakan di negeri Tiongkok, oleh karena di negeri Tiongkok it u t idak ada syarat ­- syarat nya yang
cukup-masak unt uk mengadakan perat uran Marxis it u. Perlukah kit a membukt ikan lebih lanjut ,
bahwa Nasionalisme it u, baik sebagai suat u azas yang t imbulnya dari rasa ingin hidup menjadi
sat u; baik sebagai suat u keinsyafan rakyat , bahwa rakyat it u ada sat u golongan, sat u bangsa;
maupun sebagai suat u persat uan perangai yang t erjadi dari persat uan hal-ikhwal yang t elah
dijalani oleh rakyat it u, – perlukah kit a membukt ikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme it u, asal
sahaja yang memeluknya mau, bisa dirapat kan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kit a
lebih lanjut mengambil cont oh-cont oh sikapnya pendekar-­pendekar Nasionalis di lain-lain
negeri, yang sama bergandengan t angan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat -diri dengan
kaum-kaum Marxis?
Kit a rasa t idak! Sebab kit a percaya bahwa t ulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang
sempurna, sudahlah cukup jelas unt uk Nasionalis-nasionalis kit a yang mau bersat u. Kit a
percaya, bahwa semua Nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri di samping kit a. Kit a percaya
pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persat uan; hanyalah
kebimbangan mereka akan kekalnya persat uan it ulah yang mengecilkan hat inya unt uk
mengikht iarkan persat uan it u.

Pada mereka it ulah t erut ama t ulisan ini kit a hadapkan; unt uk mereka lah t erut ama t ulisan ini
kit a adakan.

Kit a t idak menuliskan rencana ini unt uk Nasionalis-nasionalis yang t idak mau bersat u.

Nasionalis-nasionalis yang demikian it u kit a serahkan pada pengadilan riwayat , kit a serahkan
pada put usannya mahkamah hist ori!

Islamisme, Ke-Islam-an!

Sebagai fajar sehabis malam yang gelap-gulit a, sebagai penut up abad-­abad kegelapan, maka di
dalam abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah di dalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua
pendekar, yang namanya t ak akan hilang t ert ulis dalam buku-riwayat Muslim; Sheikh
Mohammad Abdouh, Rekt or sekolah-t inggi Azhar, dan Seyid Jamaluddin El Afghani – dua
panglima Pan-Islam-isme yang t elah membangunkan dan menjunjung rakyat -rakyat Islam di
seluruh benua Asia daripada kegelapan dan kemun­duran. Walaupun dalam sikapnya dua
pahlawan ini ada berbedaan sedikit sat u sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih
radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi kenyat aan-
kenyat aan Islam t ent ang polit ik, t erut ama Seyid Jamaluddin, yang pert ama-t ama
membangunkan rasa-perlawanan di hat i sanubari rakyat ­- rakyat Muslim t erhadap pada bahaya
imperialisme Barat ; merekalah t erut ama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula
mengkhot bahkan suat u barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme
Barat it u.

Sampai pada wafat nya dalam t ahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau yang gagah-
berani it u, bekerja dengan t iada berhent inya, menanam benih ke-Islam-an di mana-mana,
menanam rasa-perlawanan t erhadap pada ket amaan Barat , menanam keyakinan, bahwa unt uk
perlawanan it u kaum Islam harus “mengambil t ekniknya kemajuan Barat , dan mempelajari
rahasia-rahasianya kekuasaan Barat ”. Benih-benih it u t ert anam! Sebagai ombak makin lama
makin haibat , sebagai gelombang yang makin lama makin t inggi dan besar, maka di se­luruh dunia
Muslim t ent ara-t ent ara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai
ke Marocco dan Kongo, ke Persia, Afghanist an ... membanjir ke India, t erus ke Indonesia ...
gelombang Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana!
Begit ulah rakyat Indonesia kit a ini, insyaf akan t ragik nasibnya, sebagian sama bernaung di
bawah bendera hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala kauwat a illa
billah dan Billahi fisabilil ilahi!

Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begit u t erang-benderang­lah jalan yang harus
diinjaknya, maka makin lama makin nyat a dan t ent ulah arah-arah yang diambilnya, makin lama
makin banyaklah hu­bungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri lain; makin
t eranglah ia menunjukkan perangainya yang int ernasional; makin mendalamlah pula pendiriannya
at as hukum-hukum agama. Karenanya, t ak hairanlah kit a, kalau seorang profesor Amerika,
Ralst on Hayden, menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini “akan berpengaruh besar at as
kejadiannya polit ik di kelak kemudian hari, bukan sahaja di Indo­nesia, t et api di seluruh dunia
Timur jua adanya”! Ralst on Hayden de­ngan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai
int ernasional dari pergerakan Sarekat Islam it u; ia menunjukkan pula suat u penglihat an yang
jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum t erjadi pada saat ia menulis it u. Bukankah
t ujuannya t elah t erjadi? Pergerakan Islam di Indonesia t elah ikut menjadi cabangnya Mu’t amar-
ul Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia t elah menceburkan diri dalam laut
perjoangan Islam Asia!

Makin mendalamnya pendirian at as keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan


keseganan kaum Marxis unt uk merapat kan diri dengan pergerakan Islam it u; dan makin ke
mukanya sifat int ernasional it ulah oleh kaum Nasionalis “kolot ” dipandang t ersesat ; sedang
hampir semua Nasionalis, baik “kolot ” maupun “muda”, baik evolusioner maupun revolusioner,
sama berkeyakinan bahwa agama it u t idak boleh dibawa-­bawa ke dalam polit ik adanya.
Sebaliknya, kaum Islam yang “fanat ik”, sama menghina polit ik kebangsaan dari kaum Nasionalis,
menghina polit ik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang polit ik kebangsaan it u
sebagai sempit , dan mengat akan polit ik kerezekian it u sebagai kasar. Pendek kat a, sudah
“sempurna”- lah adanya perselisihan faham!

Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis t ahadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-
negeri Islam it u kini begit u rusak keadaannya, begit u rendah derajat nya, hampir semuanya di
bawah pemerint ahan negeri-negeri Barat .

Mereka kusut -faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab
dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialist is, maka t inggi derajat dunia Islam pada
mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam
bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam it u ialah oleh karena rusaknya budi-
pekert i orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah mengut amakan azas
dinast is-keduniawian unt uk at uran Chalifah, sesudahnya “Chalifah-chalifah it u menjadi Raja”,
maka padamlah t abiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul
pert anggungan jawab at as rusaknya t abiat Islam yang nyat a bersifat sosialist is dengan
sebenar-benarnya”, begit ulah Oemar Said Tjokroaminot o berkat a. Dan, dipandang dari pendirian
nasional, t idakkah Islam t elah menunjukkan cont oh-cont oh kebesaran yang mencengang­kan
bagi siapa yang mempelajari riwayat -dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari
riwayat -kult ur?

Islam t elah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi-­pekert inya. Negeri-negeri Barat
t elah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan it u kaum Islam kurang
t ebal t auhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan susunan pergaulan-hidup bersama,
sudah sat u “hist orische Not wendigkeit ”, sat u keharusan-riwayat , yang negeri-negeri Barat it u
menjalankan perampasan t ahadi. Tebalnya t auhid it ulah yang memberi ket eguhan pada bangsa
Riff menent ang imperialisme Sepanyol dan Perancis yang bermeriam dan lengkap bersen­jat a!

Islam yang sejat i t idaklah mengandung azas ant i-nasionalis; Islam yang sejat i t idaklah bert abiat
ant i-sosialist is. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan
Marxisme yang benar, selama it u kaum Islamis t idak berdiri di at as Sirot hol Must aqim; selama
it u t idaklah ia bisa mengangkat Islam dari.kenist aan dan kerusakan t ahadi! Kit a sama sekali
t idak mengat akan yang Islam it u set uju pada Mat erialisme at au perbendaan; sama sekali t idak
melupakan yang Islam it u melebihi bangsa, super-nasional. Kit a hanya mengat akan, bahwa
Islam yang sejat i it u mengandung t abiat -t abiat yang sosialist is dan menet apkan kewajiban-
kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya na­sionalis pula!

Bukankah, sebagai yang sudah kit a t erangkan, Islam yang sejat i mewajibkan pada pemeluknya
mecint ai dan bekerja unt uk negeri yang ia diami, mencint ai dan bekerja unt uk rakyat di ant ara
mana ia hidup, selama negeri dan rakyat it u masuk Darul-Islam?

Seyid Jama­luddin El Afghani di mana-mana t elah mengkhot bahkan nasionalisme dan


pat riot isme, yang oleh musuhnya lant as sahaja disebut kan “fanat isme”; di mana-mana pendekar
Pan-Islamisme ini mengkhot bahkan hormat akan diri sendiri, mengkhot bahkan rasa luhur-diri,
mengkhot bahkan rasa kehormat an bangsa, yang oleh musuhnya lant as sahaja dinamakan
“chauvinisme” adanya.

Di mana-mana, t erut ama di Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme it u;
Seyid Jamaluddin lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagian­-
bagiannya”.

Dan bukan Seyid Jamaluddin sahajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cint a-
bangsa. Arabi Pasha, Must afa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff,
Mohammad Ali dan Shaukat Ali ... semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajar­kan cint a-
bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing­- masing negerinya! Hendaklah
pemimpin-pemimpin ini menjadi t eladan bagi Islamis-islamis kit a yang “fanat ik” dan sempit -
budi, dan yang t idak suka menget ahui akan wajibnya merapat kan diri dengan gerakan bangsanya
yang nasionalist is. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian it u ingat , bahwa pergerakannya
yang ant i-kafir it u, past ilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan
yang disebut kan kafir it u adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia!
Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah Islamisme yang sejat i;
Islamisme yang demikian it u adalah Islamisme yang “kolot ”, Islamisme yang t ak mengert i aliran
zaman!

Demikian pula kit a yakin, bahwa kaum Islamis it u bisalah kit a rapat kan dengan kaum Marxis,
walaupun pada hakekat nya dua fihak ini berbeda azas yang lebar sekali. Pedihlah hat i kit a, ingat
akan gelap­- gulit anya udara Indonesia, t at kala beberapa t ahun yang lalu kit a menjadi saksi at as
suat u perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permu­suhan ant ara kaum Marxis dan
Islamis; menjadi saksi bagaimana t ent ara pergerakan kit a t elah t erbelah jadi dua bahagian yang
memerangi sat u sama lainnya. Pert arungan inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari
buku-riwayat kit a! Pert arungan saudara inilah yang mem­buang sia-sia segala kekuat an
pergerakan kit a, yang must inya makin lama makin kuat it u; pert arungan inilah yang
mengundurkan pergerakan kit a dengan puluhan t ahun adanya!

Aduhai! Alangkah kuat nya pergerakan kit a sekarang umpama pert arungan saudara it u t idak
t erjadi. Niscaya kit a t idak rusak-susunan sebagai sekarang ini; niscaya pergerakan kit a maju,
walaupun rint angan yang bagaimana juga!

Kit a yakin, bahwa t iadalah halangan yang pent ing bagi persahabat an Muslim-Marxis it u. Di at as
sudah kit a t erangkan, bahwa Islamisme yang sejat i it u ada mengandung t abiat -t abiat yang
sosialist is. Walaupun sosialist is it u masih belum t ent u bermakna Marxist is, walaupun kit a
menget ahui bahwa sosialisme Islam it u t idak bersamaan dengan azas Marxisme, oleh karena
sosialisme Islam it u berazas Spirit ualisme, dan sosialismenya Marxisme it u berazas
Mat erialisme (perbendaan); walaupun begit u, maka unt uk keperluan kit a cukuplah agaknya
jikalau kit a membukt ikan bahwa Islam sejat i it u sosialist islah adanya.

Kaum Islam t ak boleh lupa, bahwa pemandangan Marxisme t ent ang riwayat menurut azas-
perbendaan (mat erialist ische hist orie opvat t ing) inilah yang seringkali menjadi penunjuk-jalan
bagi mereka t ent ang soal-soal ekonomi dan polit ik-dunia yang sukar dan sulit ; mereka t ak
boleh pula lupa, bahwa caranya (met hode) Hist oris-Mat erialisme (ilmu perbendaan
berhubungan dengan riwayat ) menerangkan kejadian-keja­dian yang t elah t erjadi di muka-bumi
ini, adalah caranya menujumkan kejadian-kejadian yang akan dat ang, adalah amat berguna bagi
mereka!

Kaum Islamis t idak boleh lupa, bahwa kapit alisme, musuh Marxisme it u, ialah musuh Islamisme
pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakekat nya t idak lainlah daripada
riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, ialah t eori: memakan hasil pekerjaan lain orang, t idak
memberikan bahagian keunt ungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekerja
mengeluarkan unt ung it u, – t eori meerwaarde it u disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels
unt uk menerangkan asal-asalnya kapit alisme t erjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi nyawa
segala perat uran yang bersifat kapit alist is; dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum
Marxisme memerangi kapit al­isme sampai pada akar-akarnya!

Unt uk Islamis sejat i, maka dengan lekas sahaja t eranglah baginya, bahwa t ak layaklah ia
memusuhi faham Marxisme yang melawan perat uran meerwaarde it u, sebab ia t ak lupa, bahwa
Islam yang sejat i juga memerangi perat uran it u; ia t ak lupa, bahwa Islam yang sejat i melarang
keras akan perbuat an memakan riba dan memungut bunga. Ia mengert i, bahwa riba ini pada
hakekat nya t iada lain daripada meerwaardenya faham Marxisme it u!

“Janganlah makan riba berlipat -ganda dan perhat ikanlah kewajibanmu t erhadap Allah, moga-
moga kamu berunt ung!”, begit ulah t ert ulis dalam Al Qur’an, surah Al ‘Imran, ayat 129!

Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengert i akan kebut uh­an-kebut uhan perlawanan
kit a, past ilah set uju akan persahabat an dengan kaum Marxis, oleh sebab ia insyaf bahwa
memakan riba dan pemungut an bunga, menurut agamanya adalah suat u perbuat an yang
t erlarang, suat u perbuat an yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam memerangi
kapit alisme sampai pada akar dan benihnya, oleh karena, sebagai yang sudah kit a t erangkan di
muka, riba ini sama dengan meerwaarde yang menjadi nyawanya kapit alisme it u. Ia insyaf,
bahwa sebagai Marxisme, Islam pula, “dengan kepercayaannya pada Allah, dengan
pengakuannya at as Kerajaan Tuhan, adalah suat u prot es t erhadap kejahat annya kapit alisme”.

Islamis yang “fanat ik” dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang t ak kenal akan
larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian it u t ak menget ahui, bahwa, sebagai
Marxisme, Islamisme yang sejat i melarang penumpukan uang secara kapit alist is, melarang
penimbunan hart a-benda unt uk keperluan sendiri. Ia t ak ingat akan ayat Al Qur’an: “Tet api
kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakan dia t idak
menurut jalannya Allah khabarkanlah akan mendapat sat u hukuman yang celaka!” Ia menge­‐
t ahui, bahwa sebagai Marxisme yang dimusuhi it u agama Islam dengan jalan yang demikian it u
memerangi wujudnya kapit alisme dengan set erang-t erangnya!

Dan masih banyaklah kewajiban-kewajiban dan ket ent uan-ket ent uan dalam agama Islam yang
bersamaan dengan t ujuan-t ujuan dan maksud-maksud Marxisme it u! Sebab t idakkah pada
hakekat nya faham kewajiban zakat dalam agama Islam it u, suat u kewajiban si kaya
membagikan rezekinya kepada si miskin, pembagian-rezeki mana dikehen­daki pula oleh
Marxisme, – t ent u sahaja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-
anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan Marxisme yang dimusuhi oleh
banyak kaum Islamis it u? Tidakkah Islam yang sejat i t elah membawa “segenap peri-kemanu­‐
siaan di at as lapang kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri
t elah mengajarkan persamaan it u dengan sabda: “Hai, aku ini hanyalah seorang manusia sebagai
kamu; sudahlah dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang sat u?” Bukankah
persaudaraan ini diperint ahkan pula oleh ayat 13 Surah Al-Hujarat , yang bunyinya: “Hai manusia,
sungguhlah kami t elah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami
jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang keluarga, supaya kamu berkenal­- kenalan
sat u sama lain?” Bukankah persaudaraan ini “t idak t inggal sebagai persaudaraan di dalam t eori
sahaja”, dan oleh orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang beberapa
kaum Islamis memusuhi suat u pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi “kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan”?

Hendaklah kaum Islam yang t ak mau merapat kan diri dengan kaum Marxis, sama ingat , bahwa
pergerakannya it u, sebagai pergerakan Marxis, adalah suat u gaung at au kumandangnya jerit dan
t angis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit
rumah t angganya. Hendaknya kaum it u sama ingat , bahwa pergerakan­nya it u dengan
pergerakan Marxis, banyaklah persesuaian cit a-cit a, banyak lah persamaan t unt ut an-t unt ut an.

Hendaklah kaum it u mengambil t eladan akan ut usan kerajaan Islam Afghanist an, yang t at kala ia
dit anyai oleh suat u surat khabar Marxis t elah menerangkan, bahwa, walaupun beliau bukan
seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang sesungguh-sungguhnya” dari kaum
Marxis, oleh karena beliau adalah suat u musuh yang haibat dari kapit alisme Eropah di Asia!

Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia-kit a ini bermusuhan dengan pergerakan
Marxis it u! Belum pernahlah di Indo­nesia-kit a ini ada pergerakan, yang sesungguh-sungguhnya
merupakan pergerakan rakyat , sebagai pergerakan Islam dan pergerakan Marxis it u! Belum
pernahlah di negeri-kit a ini ada pergerakan yang begit u mengget ar sampai ke dalam urat -
sungsumnya rakyat , sebagai pergerakan yang dua it u! Alangkah haibat nya jikalau dua
pergerakan ini, dengan mana rakyat it u t idur dan dengan mana rakyat it u bangun, bersat u
menjadi sat u banjir yang sekuasa-kuasanya!

Bahagialah kaum pergerakan-Islam yang insyaf dan mau akan persa­t uan. Bahagialah mereka,
oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguh­nya menjalankan perint ah-perint ah agamanya!

Kaum Islam yang t idak mau akan persat uan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian
it ulah sikap yang benar, – wahai, moga-mogalah mereka it u bisa mempert anggungkan sikapnya
yang demikian it u di hadap­an Tuhannya!

Marxisme!

Mendengar perkat aan ini, maka t ampak sebagai suat u bayang-bayangan di penglihat an kit a
gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat -muka
dan kurus-badan, pakaian berkoyak­- koyak ; t ampak pada angan-angan kit a dirinya pembela dan
kampiun si­mudlarat t ahadi, seorang ahli-fikir yang ket et apan hat inya dan keinsyafan akan
kebisaannya “mengingat kan kit a pada pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno
Germania yang sakt i dengan t iada t eralahkan it u”, suat u manusia yang “geweldig” (haibat ) yang
dengan sesungguh-sungguhnya bernama “groot meest er” (maha guru) pergerakan kaum buruh,
yakni: Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai pada wafat nya, manusia yang haibat ini t iada berhent i-hent inya membela dan
memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka it u sudah menjadi sengsara dan
bagaimana mereka it u past i akan mendapat kemenangan; t iada kesal dan capainya ia berusaha
dan bekerja unt uk pembelaan it u: duduk di at as kursi, di muka meja-t ulisnya, begit ulah ia dalam
t ahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarlah kit a di mana-mana negeri suaranya men­dengung sebagai gunt ur,
t at kala ia dalam t ahun 1847 menulis seruannya :

“Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi sat u!” Dan sesungguhnya! Riwayat -dunia
belumlah pernah mencerit erakan pendapat dari seorang manusia, yang begit u cepat masuknya
dalam keyakinan sat u golongan pergaulan-hidup, sebagai pendapat nya kampiun kaum buruh ini.
Dari puluhan menjadi rat usan, dari rat usan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ket ian,
jut aan .. begit ulah jumlah pengikut nya bert ambah-t ambah. Sebab, walaupun t eori-t eorinya ada
sangat sukar dan berat unt uk kaum yang pandai dan t erang-fikiran, t et api “amat lah ia gampang
dimengert i oleh kaum yang t ert indas dan sengsara: kaum melarat fikiran yang berkeluh-kesah
it u”.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cit a-cit a mereka it u dapat t ercapai
dengan jalan persahabat an ant ara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand
Lassalle, yang t eriaknya it u ada suat u t eriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam t ulisan-
t ulisannya t idak sat u kali mempersoalkan kat a asih at au kat a cint a, membeberkan pula faham
pert ent angan golongan; faham klassenst rijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum
buruh dari nasibnya it u, ialah oleh perlawanan-zonder-damai t erhadap pada kaum “bursuasi”,
sat u perlawanan yang t idak boleh t idak, must i t erjadi oleh karena perat uran yang kapit alist is it u
adanya.

Walaupun pembaca t ent unya semua sudah sedikit -sedikit menget ahui apa yang t elah diajarkan
oleh Karl Marx it u, maka berguna pulalah agaknya, jikalau kit a di sini mengingat kan, bahwa
jasanya ahli-fikir ini ialah:- ia mengadakan suat u pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada
perbendaan (Mat erialist ische Dialect iek) ; – ia membent angkan t eori, bahwa harganya barang-
barang it u dit ent ukan oleh banyaknya “kerja” unt uk membikin barang-barang it u, sehingga “kerja”
ini ialah “wert ­bildende Subst anz”, dari barang-barang it u (arbeids-waardeleer); – ia
membeberkan t eori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang it u adalah
lebih besar harganya daripada yang ia t erima sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan
suat u pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi-­‐
akal manusialah yang menent ukan keadaannya, t et api sebaliknya keadaan­nya berhubung
dengan pergaulan-hiduplah yang menent ukan budi-akalnya” (mat erialist ische geschiedenis-
opvat t ing) ; – ia mengadakan t eori, bahwa oleh karena “meerwaarde” it u dijadikan kapit al pula,
maka kapit al it u makin lama makin menjadi besar (kapit aals-accumulat ie), sedang kapit al-
kapit al yang kecil sama mempersat ukan diri jadi modal yang besar (kapit aals-cent ralisat ie), dan
bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan­- perusahaan yang kecil sama mat i t erdesak oleh
perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma t inggal
beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapit aals-concent rat ie); – dan ia mendirikan
t eori, yang dalam at uran kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin t ak
menyenangkan dan menimbulkan dendam­hat i yang makin lama makin sangat (Verelendungs-
t heorie); – t eori-t eori mana, berhubung dengan kekurangan t empat , kit a t idak bisa
menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum begit u menget ahuinya.

Meskipun musuh-musuhnya, di ant ara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx
yang kit a sebut kan di at as ini, meskipun lebih dulu, dalam t ahun 1825, Adolphe Blanqui dengan
cara hist oris-mat erialist is sudah mengat akan, bahwa riwayat it u “menet apkan kejadian-
kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa ke­jadian-kejadian it u t erjadi”;
meskipun t eori meerwaarde it u sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi,
Thompson dan lain-lain; meskipun pula t eori konsent rasi-modal at au arbeidswaardeleer it u ada
bagian-bagiannya yang t ak bisa mempert ahankan diri t erhadap krit ik musuhnya yang t ak jemu-
jemu mencari-cari salahnya; – meskipun begit u, maka t et aplah, bahwa st elselnya Karl Marx it u
mempunyai pengert ian yang t idak kecil dalam sifat nya umum, dan mempunyai pengert ian yang
pent ing dalam sifat bagian-bagiannya. Tet aplah pula, bahwa, walaupun t eori-t eori it u sudah
lebih dulu dilahirkan oleh ahli­fikir lain, dirinya Marxlah, yang meski “bahasa”nya it u unt uk kaum
“at asan” sangat berat dan sukarnya, dengan t erang-benderang meng­uraikan t eori-t eori it u bagi
kaum “t ert indas dan sengsara yang me­larat -fikiran” it u dengan pahlawan-pahlawannya,
sehingga mengert i dengan t erang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suat u soal
yang “sudah-must inya-begit u”, mereka lalu mengert i t eorinya at as meer­waarde, lalu mengert i,
bahwa si majikan it u lekas menjadi kaya oleh karena ia t idak memberikan semua hasil-pekerjaan
padanya; mereka lalu sahaja mengert i, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menet ap­‐
kan keadaan manusia t ent ang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia it u: erist was
erist ; mereka lant as sahaja mengert i, bahwa kapit alisme it u akhirnya past ilah binasa, past ilah
lenyap digant i oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil, – bahwa kaum “burjuasi” it u
“t erist imewa mengadakan t ukang-t ukang penggali liang kuburnya”.
Begit ulah t eori-t eori yang dalam dan berat it u masuk t ulang-sungsum­nya kaum buruh di Eropah,
masuk pula t ulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “t idakkah sebagai suat u hal yang
ajaib, bahwa keper­c ayaan ini t elah masuk dalam berjut a-jut a hat i dan t iada suat u kekuasaan
juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya”. Se­bagai t ebaran benih yang
dit iup angin ke mana-mana t empat , dan t umbuh pula di mana-mana ia jat uh, maka benih
Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama menyiapkan
diri dan berusaha membasmi t umbuh-t umbuhan “bahaya prolet ar” yang makin lama makin subur
it u. Benih yang dit ebar-t ebarkan di Eropah it u, seba­gian t elah dit erbangkan oleh t ofan-zaman
ke arah khat ulist iwa, t erus ke Timur, hingga jat uh dan t umbuh di ant ara bukit -bukit dan gunung-
gunung yang t ersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud”, yang bernama Indo­nesia.
Dengungnya nyanyian “Int ernasionale”, yang dari sehari-ke-sehari mengget arkan udara Barat ,
sampai-kuat lah haibat nya bergaung dan ber­kumandang di udara Timur ...

Pergerakan Marxist is di Indonesia ini, ingkarlah sifat nya kepada pergerakan yang berhaluan
Nasionalist is, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman. Malah beberapa t ahun
yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suat u pert engkaran perselisihan faham dan
pert engkaran sikap, menjadi suat u pert engkaran saudara, yang, – sebagai yang sudah kit a
t erangkan di muka, – menyuramkan dan menggelapkan hat i siapa yang mengut amakan
perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hat i siapa yang mengert i, bahwa dalam
pert engkaran yang demikian it ulah let aknya kekalah­an kit a. Kuburkanlah nasionalisme,
kuburkanlah polit ik cint a t anah-air, dan lenyapkanlah polit ik-keagamaan, – begit ulah seakan-
akan lagu-perjoangan yang kit a dengar. Sebab kat anya: Bukankah Marx dan Engels t elah
mengat akan, bahwa “kaum buruh it u t ak mempunyai t anah-air”? Kat anya: Bukankah dalam
“Manifes Komunis” ada t ert ulis, bahwa “komu­nisme it u melepaskan agama”? Kat anya:
Bukankah Babel t elah mengat akan, bahwa “bukan-lah Allah yang membikin manusia, t et api
manusialah yang membikin-bikin Tuhan”?

Dan sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis t ak berhent i-hent i pula mencaci-maki fihak Marxis,
mencaci-maki pergerakan yang “berseku­t uan” dengan orang asing it u, dan mencaci-maki
pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil t eladan akan
negeri Rusia yang menurut pendapat nya: azasnya sudah palit dan t erbukt i t ak dapat
melaksanakan cit a-cit anya yang memang suat u ut opi, bahkan mendat angkan “kalang-kabut nya
negeri” dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih
limabelas jut a manusia, suat u jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang
binasa dalam peperangan besar yang akhir it u.

Demikianlah dengan bert ambahnya t uduh-menuduh at as dirinya masing-masing pemimpin,


duduknya perselisihan beberapa t ahun yang lalu: sat u sama lain sudah salah mengert i dan saling
t idak mengindahkan.
Sebab t akt ik Marxisme yang baru, t idaklah menolak pekerjaan­bersama-sama dengan
Nasionalis dan Islamis di Asia. Takt ik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-
pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih sahaja
bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis
yang demikian it u t ak mengikut i aliran zaman, dan t ak mengert i akan t akt ik Marxisme yang
sudah berobah.

Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “failliet nya” Marxisme it u, dan
yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabut an dan bencana-kelaparan yang t elah
t erjadi oleh “prac­t ijknya” faham Marxisme it u, – mereka menunjukkan t ak mengert inya at as
faham Marxisme, dan t ak mengert inya at as sebab t erpeleset nya “prac­t ijknya” t ahadi. Sebab
t idakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialismenya it u hanya bisa t ercapai dengan
sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar it u semuanya di-“sosialis”-kan?

Bukankah “kejadian” sekarang ini jauh berlainan daripada “voor­waarde” (syarat ) unt uk
t erkabulnya maksud Marxisme it u?

Unt uk adilnya kit a punya hukuman t erhadap pada “pract ijknya” faham Marxisme it u, maka
haruslah kit a ingat , bahwa “failliet ” dan “kalang­- kabut ” – nya negeri Rusia adalah dipercepat
pula oleh penut upan at au blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh
han­t aman dan serangan pada empat belas t empat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris,
Perancis, dan jenderal-jenderal Kolt chak, Denikin, Yudenit ch dan Wrangel; dipercepat pula oleh
ant i-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat -khabar di seluruh dunia.

Di dalam pemandangan kit a, maka musuh-musuhnya it u pula harus ikut bert anggungjawab at as
mat inya limabelas jut a orang yang sakit dan kelaparan it u, di mana mereka menyokong
penyerangan Kolt chak, Denikin, Yudenit ch dan Wrangel it u dengan hart a dan benda; di mana
umpamanya negeri Inggeris, yang membuang-buang berjut a-jut a rupiah unt uk menyokong
penyerangan-penyerangan at as diri sahabat nya yang dulu it u, t elah “mengot orkan nama
Inggeris di dunia dengan menolak memberi t iap-t iap bant uan pada kerja-penolongan” si sakit
dan si lapar it u; di mana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat t erjadinya bencana it u
pula, karena t erlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum it u unt uk kayu-bakar,
sedang di negeri Rusia orang-orang di dist rik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh
karena laparnya.

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Ing­geris yang masyhur it u, seorang
yang bukan Komunis, di mana ia dengan t ak memihak pada siapa juga, menulis, bahwa,
umpamanya kaum bolshevik it u “t idak dirint ang-rint angi mereka barangkali bisa menyelesaikan
suat u experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi peri-kemanusiaan ...

Tet api mereka dirint ang-rint angi”.


Kit a yang bukan komunis pula, kit apun t ak memihak pada siapa juga! Kit a hanyalah memihak
kepada Persat uan­- persat uan-Indonesia, kepada persahabat an pergerakan kit a semua!

Kit a di at as menulis, bahwa t akt ik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan t akt ik
Marxisme yang dulu. Takt ik Marxisme, yang dulu sikapnya begit u sengit ant i-kaum-kebangsaan
dan ant i-kaum-keagamaan, maka sekarang, t erut ama di Asia, sudahlah begit u berobah, hingga
kesengit an “ant i” ini sudah berbalik menjadi persahabat an dan penyo­kongan. Kit a kini melihat
persahabat an kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kit a melihat
persahabat an kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afghanist an.

Adapun t eori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begit u! Marx dan Engels
bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan at uran-at uran yang bisa t erpakai unt uk segala
zaman. Teori-t eorinya haruslah diobah, kalau zaman it u berobah; t eori-t eorinya haruslah diikut ­‐
kan pada perobahannya dunia, kalau t idak mau menjadi bangkrut . Marx dan Engels sendiripun
mengert i akan hal ini; mereka sendiripun dalam t ulisan-t ulisannya sering menunjukkan
perobahan faham at au perobahan t ent ang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.
Ban­dingkanlah pendapat -pendapat nya sampai t ahun 1847; bandingkanlah pendapat nya
t ent ang art i “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan
pendapat t ent ang art i perkat aan it u dalam “Das Kapit al”, maka segeralah t ampak pada kit a
perobahan faham at au perobahan perindahan it u. Bahwasanya: benarlah pendapat sosial
demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengat akan, bahwa “revisionisme it u t idak mulai
dengan Bernst ein, akan t et api dengan Marx dan Engels adanya”.

Perobahan t akt ik dan perobahan t eori it ulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang
“muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, t erut ama di Asia, sama menyokong pergerakan
nasional yang sungguh­- sungguh. Mereka mengert i, bahwa di negeri-negeri Asia, di mana belum
ada kaum prolet ar dalam art i sebagai di Eropah at au Amerika it u, per­gerakannya harus diobah
sifat nya menurut pergaulan-hidup di Asia it u pula. Mereka mengert i, bahwa pergerakan
Marxist is di Asia haruslah berlainan t akt ik dengan pergerakan Marxis di Eropah at au Amerika
[sic, Amerika], dan harus­lah

“bekerja bersama-sama dengan part ai-part ai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang
pert ama-t ama perlu bukan kekuasaan t et api ialah perlawanan t erhadap pada feodalisme”.

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang
sosialist is sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri it u merdeka, perlu sekali
kaum it u mempunyai nat ionale aut onomie (ot onomi nasional). “Nat ionale aut onomie adalah
suat u t ujuan yang harus dit uju oleh perjoangan prolet ar, oleh karena ia ada suat u upaya yang
perlu sekali bagi polit iknya”, begit ulah Ot t o Bauer berkat a. It ulah sebabnya, maka ot onomi
nasional ini menjadi suat u hal yang pert ama-t ama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan
buruh di Asia it u. It ulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia it u wajib beker­ja bersama-sama dan
menyokong segala pergerakan yang merebut ot onomi nasional it u juga, dengan t idak
menghit ung-hit ung, azas apakah pergerakan-pergerakan it u mempunyainya. It ulah sebabnya,
maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kit a
yang Nasionalist is dan Islamist is yang mengambil ot onomi it u seba­gai maksudnya pula.

Kaum Marxis harus ingat , bahwa pergerakannya it u, t ak boleh t idak, past ilah menumbuhkan rasa
Nasionalisme di hat i-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia it u
kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan it u menumbuhkan suat u
rasa t ak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” t erhadap pada rakyat yang
di-“at as”-nya, dan menumbuhkan suat u keinginan pada nat ionale macht s-polit iek dari rakyat
sendiri.Mereka harus ingat , bahwa rasa-int ernasionalisme it u di Indonesia niscaya t idak begit u
t ebal sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham
int ernasionalisme it u pert ama-t ama ialah sebagai t akt ik, dan oleh karena bangsa Indonesia it u
oleh “gehecht heid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat
meninggalkan Indonesia, unt uk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan ikt ikad: “ubi bene, ibi
pat ria: di mana at uran-kerja bagus, di sit ulah t anah-air saya”, – sebagai kaum buruh di Eropah
yang menjadi t idak t et ap-rumah dan t idak t et ap t anah-air oleh karenanya.

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya
memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalist is adanya. Niscaya mereka ingat pula akan
t eladan-t eladan pemimpin‑pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-
sama dengan kaum-kaum nasionalis at au kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan t eladan
pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hat i sama menyokong
usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok it u pert ama-t ama
but uh persat uan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.

Demikian pula, t ak pant aslah kaum Marxis it u bermusuhan dan ber­bent usan dengan pergerakan
Islam yang sungguh-sungguh.

Tak pant as mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kit a uraikan di at as,
dengan set erang-t erangnya bersikap ant i-kapit alisme; t ak pant as mereka memerangi suat u
pergerakan yang dengan sikapnya ant i-riba dan ant i-bunga dengan set erang-t erangnya ialah
ant i-meerwaarde pula; dan t ak pant as mereka memerangi suat u pergerakan yang dengan
set erang­- t erangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan set erang-
t erangyya mengejar nat ionale aut onomie. Tak pant as mereka bersikap demikian it u, oleh
karena t akt ik Marxisme-baru t erhadap agama adalah berlainan dengan t akt ik Marxisme-dulu.
Marxsme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari t ahun 1847, yang dalam “Manifes Ko­‐
munis” mengat akan, bahwa agama it u harus di-“abschaffen” at au dile­paskan adanya.
Kit a harus membedakan Hist oris-Mat erialisme it u daripada Wijsgerig-Mat erialisme; kit a harus
memperingat kan, bahwa maksudnya Hist oris-Mat erialisme it u berlainan dari pada maksudnya
Wijsgerig-Mat erialisme t ahadi. Wijsgerig-Mat erialisme memberi jawaban at as pert anyaan:
bagaimanakah hubungannya ant ara fikiran (denken) dengan benda (mat erie), bagaimanakah
fikiran it u t erjadi, sedang Hist oris-Mat erialisme memberi jawaban at as soal: sebab apakah
fikiran it u dalam suat u zaman ada begit u at au begini; wijsgerig-mat erialisme menanyakan
adanya (wezen) fikiran it u; hist oris-mat erialisme menanya­kan sebab-sebabnya fikiran it u
berobah; wijsgerig-mat erialisme men­c ari asalnya fikiran, hist oris mat erialisme mempelajari
t umbuhnya fikiran; wijsgerig mat erialisme adalah wijsgerig, hist oris mat erialisme adalah hist oris.

Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, t erut ama kaum gereja, senant iasa
dit ukar-t ukarkan, dan senant iasa dikelirukan sat u sama lain. Dalam propagandanya ant i-
Marxisme mereka t ak berhent i­- hent i mengusahakan kekeliruan faham it u; t ak berhent i-hent i
mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme it u ialah kaum yang mempela­jarkan, bahwa
fikiran it u hanyalah suat u pengeluaran sahaja dari ot ak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai
empedu dari limpa; t ak berhent i­- hent i mereka menamakan kaum Marxis suat u kaum yang
menyembah benda, suat u kaum yang bert uhankan mat eri.

It ulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropah t erhadap kaum gere­ja, asalnya sikap perlawanan
kaum Marxis Eropah t erhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bert ambah sengit nya,
bert ambah kebenciannya, di mana kaum gereja it u memakai-makai agamanya unt uk melindung-
lindungi kapit alisrne, memakai-makai agamanya unt uk membela keperluan kaum at asan,
memakai-makai agamanya unt uk menjalankan polit ik yang reak­sioner sekali.

Adapun kebencian pada kaum agama yang t imbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner it u,
sudah dijat uhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali
sikapnya dan berlainan sekali sifat nya dengan kaum gereja di Eropah it u. Di sini agama Islam
adalah agama kaum yang t ak merdeka; di sini agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah”.
Sedang kaum yang memeluk agama Krist en adalah kaum yang bebas; di sana agama Krist en
adalah agama kaum yang di-“at as”. Tak boleh t idak, suat u agama yang ant i-kapit alisme, agama
kaum yang t ak merdeka, agama kaum yang di-“bawah” ini; agama yang menyuruh mencari
kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan”, – agama yang demikian it u past ilah
menimbulkan sikap yang t idak reaksioner, dan past ilah menimbulkan suat u perjoangan yang
dalam beberapa bagian sesuai dengan perjoangan Marxisme it u.

Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum
Islam di Indonesia ini, maka niscaya mere­ka mengajukan t angannya, sambil berkat a: saudara,
marilah kit a bersat u. Jikalau mereka menghargai akan cont oh-cont oh saudara-saudaranya­‐
seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang t erjadi di lain-lain
negeri, maka niscayalah mereka mengikut i cont oh­- cont oh it u pula. Dan jikalau mereka dalam
pada it u juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis at au kaum kebangsaan, maka
mereka dengan t ent eram-hat i boleh berkat a: kewajiban kit a sudah kit a penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda t ahadi it u, dengan memperhat ikan
segala perobahan t eori azasnya, dengan menja­lankan segala perobahan t akt ik pergerakannya
it u, mereka boleh menye­but kan diri pembela rakyat yang t ulus-hat i, mereka boleh
menyebut kan diri garamnya rakyat .

Tet api Marxis yang ingkar akan persat uan, Marxis yang kolot -t eori dan kuno-t akt iknya, Marxis
yang memusuhi pergerakan kit a Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, – Marxis yang
demikian it u jangan­lah merasa t erlanggar kehormat annya jikalau dinamakan racun rakyat
adanya!

Tulisan kit a hampir habis.

Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kit a mencoba membukt ikan, bahwa faham
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme it u dalam negeri jajahan pada beberapa bagian
menut upi sat u sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kit a menunjukkan t eladan
pemimpin­- pemimpin di lain negeri. Tet api kit a yakin, bahwa kit a dengan t erang­- benderang
menunjukkan kemauan kit a menjadi sat u. Kit a yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia
semuanya insyaf, bahwa Persat uan­lah yang membawa kit a ke arah ke-Besaran dan ke-
Merdekaan. Dan kit a yakin pula, bahwa, walaupun fikiran kit a it u t idak mencocoki semua
kemauan dari masing-masing fihak, ia menunjukkan bahwa Persat uan it u bisa t ercapai. Sekarang
t inggal menet apkan sahaja organisasinya, bagaimana Persat uan it u bisa berdiri; t inggal mencari
organisat ornya sahaja, yang menjadi Mahat ma Persat uan it u. Apakah Ibu-Indonesia, yang
mempunyai Put era-put era sebagai Oemar Said Tjokroaminot o, Tjipt o Mangunkusumo dan
Semaun, – apakah Ibu-Indonesia it u t ak mempunyai pula Put era yang bisa menjadi Kampiun
Persat uan it u?

Kit a harus bisa menerima; t et api kit a juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persat uan it u.
Persat uan t ak bisa t erjadi, kalau masing­- masing fihak t ak mau memberi sedikit -sedikit pula.

Dan jikalau kit a semua insyaf, bahwa kekuat an hidup it u let aknya t idak dalam menerima, t et api
dalam memberi; jikalau kit a semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian it u let aknya benih
perbudakan kit a; jikalau kit a semua insyaf, bahwa permusuhan it ulah yang menjadi asal kit a
punya “via dolorosa” ; jikalau kit a insyaf, bahwa Rokh Rakyat Kit a masih penuh kekuat an unt uk
menjunjung diri menuju Sinar yang Sat u yang berada dit engah-t engah kegelapan-gumpit a yang
mengelilingi kit a ini, – maka past ilah Persat uan it u t erjadi, dan past ilah Sinar it u t er­c apai juga.

Sebab Sinar it u dekat !


“Suluh Indonesia Muda”, 1926

Diperoleh dari
"https://id.wikisource.org/w/index.php?
title=Nasionalisme,_Islamisme,_dan_Marxisme&
oldid=83433"


Terakhir disunting 7 bulan yang lalu oleh Bennylin

Wikisource

Anda mungkin juga menyukai