Anda di halaman 1dari 12

INTERVENSI PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR

PERTANIAN SEBAGAI SEKTOR BASIS

(Studi Kasus Subsektor Tanaman Bahan Makanan

Kabupaten Ponorogo)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Aqib Fardiansyah
10502010711028

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
INTERVENSI PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
SEBAGAI SEKTOR BASIS (Studi Kasus Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten
Ponorogo)
Aqib Fardiansyah (105020107111028)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: Aqibfardiansyahx@gmail.com

ABSTRAK

Pemerintah sebagai stabilisator ekonomi mempunyai peran penting dalam perkembangan maupun
pertumbuhan nilai ekonomi. Sektor basis merupakan salah satu faktor yang paling krusial sebagai
pondasi pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sektor
pertanian sebagai sektor basis, dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengarui
perkembangan subsektor tabama sebagai subsektor yang paling berpengaruh dan sejauh mana
intervensi pemerintah daerah didalamnya. Metode analisis yang digunakan adalah Location
Qoutient (LQ) dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan sektor pertanian maupun
subsektor Tabama berdasarkan LQ tergolong sektor basis. Intervensi pemerintah dalam
perkembangan sektor pertanian maksimal baik dari program penyuluhan, subsidi pupuk,
teknologi, dan bibit akan tetapi implementasinya dinilai kurang dirasakan oleh petani. Tenaga
kerja dan modal menjadi permasalahan lain yang menghambat perkembangan Tabama
Kata kunci: Sektor Basis, Intervensi Pemerintah, Pertumbuhan Ekonomi Daerah

A. PENDAHULUAN

Pada tahun 1999 Indonesia mengalami transisi pemerintahan dari otoriter menjadi demokrasi.
Beralihnya masa pemerintahan yang bersifat sentralisasi menuju desentralisasi memberikan
wewenang yang lebih terhadap pemerintah daerah dalam mengelola keuangan maupun sumber
daya yang dimiliki. Dengan penggunaan penganggaran secara efisien dan tetap sasaran,
pemerintah daerah dapat menjadi penggerak maupun mobilisator dalam memicu berkembangnya
berbagai sektor, yang nantinya akan meningkatkan perekonomian daerah.

Menurut Prof. Syahrizal (2008) sektor basis mempunyai peran penting dalam pertumbuhan
perekonomian regional. Sektor basis juga dapat dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian
daerah karena mempunyai keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) yang cukup tinggi.
Struktur ekonomi Ponorogo terdiri dari sektor Primer (Pertanian, pertambangan dan penggalian)
Sektor sekunder (industri pengolahan, Listrik gas dan air bersih, bangunan) dan sektor sektor
tersier (perdagangan hotel dan restoran, angkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, jasa dan
perusahaan)
Diagram 1. Struktur Perekonomian Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
7,67 Jasa
5,51 13,09
Pertanian
30,95 32,48
Pertambangan dan Penggalian
2,39 1,22 4,88 1,81

Sumber: BPS Kabupaten Ponorogo 2014


Adanya dominasi sektor pertanian sebanyak 32,48% dalam strukur ekonomi mengidikasikan
bahwa pertumbuhan ekonomi sendiri sangat dipengaruhi oleh sektor pertanian. Sub Sektor
Tabama memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan sektor pertanain apabila dilihat
dari PDRB berdasarkan ADHK sebesar 964.946,89 juta mengingat lahan pertanian yang masih
subur dan kondisi masyarakat ponorogo yang masih agraris. Akan tetapi pertumbuhan pertanian

1
yang terus mengalami fluktuafif bahkan cenderung mengalamu penurunan memberikan dampak
negatif bagi pertumbuhan ekonomi oleh sebab itu perlu adanya intervensi yang lebih dari
pemerintah daerah dalam mengembangkan sektor pertanain khususnya subsektor tabama.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Peran Desentralisasi Dalam Perkembangan Sektor Basis


Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1955
(Tarigan: 2005). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui
sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat,
baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk
dikembangkan. Dengan adanya sistem pemerintahan yang bersifat desentralisasi tentunya hal ini
akan mempermudah daerah dalam mengembangkan bahkan meningkatkan ekonomi daerahnya,
mengingat dalam sistem desentralisasi sendiri pemerintah daerah lebih mempunyai wewenang
dalam mengelola setiap sektor basis yang dimiliki. Pemerintah daerah yang dituntut lebih mandiri
akan mengetahui sektor ataupun komoditi mana yang mempunyai potensi besar yang nantinya
perlu untuk dikembangkan.

Peran Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Peningkatan Sektor Basis


Teori Basis dalam Syafrizal (2004) dipelopori oleh Douglas C. North (1995) dan kemudian
dikembangkan oleh Tiebout (1956) menyatakan dimana faktor penentu dalam pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah adalah permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Priyarsono (2007)
menyatakan sektor basis maupun non basis tidak bersifat statis tapi dinamis sehingga dapat
mengalami peningkatan atau bahkan kemunduran dan definisinya dapat bergeser setiap tahunnya.
Adapun sebab-sebab kemajuan sektor basis adalah:
1. Perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi;
2. Perkembangan pendapatan dan penerimaan daerah;
3. Perkembangan teknologi;
4. Pengembangan prasarana ekonomi dan sosial.
Faktor-faktor tersebut dapat tercapai apabila didukung oleh intervensi maupun kebijakan
pemerintah dalam pembangunan barang-barang publik seperti jalan ataupun penggunaan kebijakan
pemerintah daerah dalam pemberian bantuan barang subsidi

Pengeluaran Pemerintah Dalam Perkembangan Sektor Basis


Dalam model interregional diasumsikan bahwa selain ekspor, pengeluaran pemerintah dan
investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari
beberapa daerah yang berhubungan erat. Dengan memanipulasi rumus pendapatan yang pertama
kali ditulis Keynes, oleh Richardson merumuskan model interregional ini menjadi :
Yi = Ci + li + Gi + Xi -Mi
dimana :
Yi = regional income
Ci = regional consumption
Ii = regional investment
Gi = regional government expenditure
Xi = regional exports
Mi = regional import

C. METODE PENELITIAN

Bungin (2006) Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam dalamnya
melaui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Sedangkan metode kuantitatif adalah riset yang
menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Untuk
kuantitaf menggunakan analisis LQ digunakan untuk mengetahui apakah sektor pertanian
merupakan sektor basis atau non basis dalam pembangunan adapun rumusnya adalah:
LQ= (Vi/Vt)/ (Pi/Pt)
Dimana:
Vi : Total pendapatan sektor/tenaga kerja pertanian Kabupaten Ponorogo

2
Vt : Total pendapatan sektor/tenaga kerja pertanian Provinsi Jawa Timur
Pi : Total pendapatan seluruh sektor/tenaga kerja di kabupaten Ponorogo
Pt : Total pendapatan seluruh sektor di Provinsi Jawa Timut
Sedangkan kualitatif menggunakan wawancara yang kemudian dianalisis dengan SWOT
dimana metode ini digunakan untuk mengetahui kelemahan, kekuatan, ancaman maupun
kesempatan dalam sektor pertanian dan sejauh mana intervensi pemerintah didalamnya

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ponorogo adalah salah satu daerah di Jawa Timur yang berjarak sekitar 200 Km sebelah timur
ibu kota Negara Indonesia. Ponorogo merupakan wilayah kabupaten yang mempunyai luas
5.119.905 ha dan secara umum masih didominasi oleh areal persawahan (lebih dari 50% dari luas
total Kabupaten Ponorogo). Peruntukan dominan penggunaan luas lahan kedua setelah sawah
adalah untuk perumahan dan pekarangan, serta ladang dan tegal. Jumlah penduduk Kabupaten
Ponorogo 863.900 Sebagian besar masyarakat Ponorogo bekerja sebagai petani. Dari tahun ke
tahun usaha pertanian di daerah Ponorogo sendiri terus mengalami kenaikan.
Nilai LQ Sektor Pertanian Kabupaten Ponorogo
Pada tahun 2013 struktur perekonomian Ponorogo 32,48 % masih dipengaruhi oleh sektor
pertanian dimana berdasarkan ADHK kontribusi dalam pembentukkan PDRB sebesar
1.236.700,93 juta sedangkan 964.029,72 diantaranya dipengaruhi oleh subsektor Tabama.
Berdasarkan perhitungan LQ Subsektor Tabama merupakan sebuah sektor basis dengan nilai LQ
lebih dari 1. Adapun table LQ Subsektor Tabama sebagai berikut:

Tabel 1: Nilai LQ sektor Tabama


Basis/Non
No Tahun V1 Vt P1 Pt LQ
Basis
1 2007 26,077.04 46,852.11 844,912.95 1,044,309.79 1.45 Basis
2 2008 26,778.74 48,315.11 877,497.02 1,086,735.97 1.46 Basis
3 2009 27,776.01 50,208.90 916,426.18 1,137,560.47 1.46 Basis
4 2010 28,231.66 51,329.55 940,414.64 1,174,625.55 1.46 Basis
5 2011 28,774.27 52,684.33 942,292.45 1,193,914.57 1.45 Basis
6 2012 29,602.96 54,463.94 967,388.93 1,231,941.59 1.45 Basis
7 2013 29,912.98 55,330.10 964,029.72 1,236,700.93 1.44 Basis
Sumber: BPS Kabupaten Ponorogo 2014Keterangan:

Vi : Total pendapatan subsektor Tabama Kabupaten Ponorogo


Vt : Total pendapatan subsektor Tabama Provinsi Jawa Timur
Pi : Total pendapatan sektor Pertanian Kabupaten Ponorogo
Pt : Total pendapatan sektor Pertanian Provinsi Jawa Timut

Sebagai subsektor yang tergolong basis perlu adanya perhatian khusus bagi pemerintah daerah
mengingat hal inii berhubungan dengan perkembangan ekonomi kedepannya terkait sektor basis
dapat dikatakan sebagai pondasi dalam pertumbuhan ekonomi. Adapun produktivitas subsektor
tabama per komoditi sebagai berikut:

Tabel 2: Potensi Keunggulan Sektor Tabama Kabuten Ponorogo Tahun 2013


Produksi (Ku)
Komoditi
2012 2013
Padi 3,266,681 4,276,523
Jagung 1,760,592 2,413,303
Ubi Kayu 5,645,945 6,817,795
Ubi Jalar 7,273 6,149
Komoditi 2012 2013
Kacang Tanah 34,996 48,795
Kacang Hijau 23,020 15,711
Kedelai 309,536 222,541

3
Buah- Buahan 292,270 345,406
Komoditi Produksi (Ku)
2012 2013
Sayuran 1,597,058 1,087,829
Sumber: BPS KabupatenPonorogo 2014

Intervensi Pemerintah Dalam Peningkatan Sektor Tabama


Di Kabupaten Ponorogo intervensi pemerintah untuk peningkatan sektor pertanian banyak
dilakukan dari berbagai aspek, baik dari penyuluhan, teknologi, maupun arah pembangunan yang
yang masih berbasis pertanian Selain itu anggaran yang diberikan oleh pemerintah daerah terus
mengalami peningkatan di tiap tahunnya. Anggaran tersebut berasal dari APBD maupun APBN.
Strategi maupun kegiatan pemerintah daerah dalam pembangunan pertanian sudah dirancang
secara tersetuktur sebagai bentuk adanya intervensi pemerintah dalam sektor pertanian.

1. Kegiatan Penyuluhan
Intervensi pemerintah melalui penyuluhan dinilai sangat krusial mengingat penyuluhan sebagai
mediator antara petani dengan pemerintah daerah. Melalui penyuluhan petani juga dibekali ilmu
pertanian sehingga petani dapat berinteraksi secara langsung dan mencari solusi mengenai
permasalahan-permasalahan pertanian yang ada.
Seperti yang dikemukakan oleh Sugiono salah satu petani di Jetis dimana PPL sendiri memberikan
pengetahuan terhadap petani sepertihalnya cara bertanam yang benar pelatihan teknologi maupun
tata cara pemberian pupuk. Pada setiap bulannya PPL memberikan penyuluhan atau ketika terjadi
permasalahan pertanian PPL datang ke kelompok-kelompok tani setempat. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2006 pasal 14 menyatakan Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota merupakan
kelembagaan independen yang dibentuk oleh bupati/walikota yang terdiri atas para pakar dan/atau
praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan atau pembangunan
perdesaan.

Permasalahan Penyuluhan
Permasalahan struktural menjadi permasalah utama dalam pengembangan pertanian melalui
penyuluhan. Sistem lembaga yang masih tumpang tindih menjadi penghambat ketika sebuah
subsektor sudah siap untuk dikembangkan. Seperti yang dikemukakan oleh Kepala Staff Dinas
Pertanian Kabupaten Ponorogo Bapak Maksun dimana permasalahan lebih mengarah pada struktur
organisasi dibandingkan dengan teknis. Secara tidak langsung hal ini akan berimbas pada kegiatan
penyuluhan yang kurang maksimal. Seperti yang dikemukakan Bapak Jamin salah satu Petani di
Desa Ngunut dimana penyuluh hanya memberikan pengetahuan tanpa terjun langsung ke
lapangan.
Apabila mengacu pada teori Edward III tentang bagaimana keberhasilan implementasi, hal ini
lebih mengarah tentang bagaimana struktur birokrasi yang ada. Struktur birokrasi ini menurut
Edward III mencakup aspek-aspek seperti organisasi, pembagian wewenang, hibungan antara unit-
unit organisasi yang bersangkutan.

2. Bantuan Teknologi Pertanian


Teknologi yang lebih modern dapat mempermudah petani dalam mengolah usaha pertaniannya,
hal ini membuat siklus usaha pertanian akan bergerak lebih cepat dan tentunya berdampak pada
produktifitas pertanian yang meningkat. Dengan penggunaan teknologi pertanian yang lebih
modern, petani dapat mengurangi cost yang dikeluarkan.
Alat teknologi berupa traktor, alat penyemprot benih, maupun bantuan teknologi lainnya
pemerintah telah mengintervensi dengan cara memberikan pada setiap kelompok tani. Hal ini
diperkuat dengan penjelasan informan dari salah satu petani di Desa Jetis dimana setiap kelompok
tani diberi satu bahkan dua traktor. Alat tersebut digunakan waktu musim tanam datang sedangkan
solar dan tenaga kerja ditanggung petani. Traktor digunakan secara bergantian dengan cara
menyewa dimana biaya penyewaan masuk ke kas kelompok tani.

Permasalahan Teknologi Pertanian


Alat teknologi yang modern seperti alat penanaman kembali secara otomatis untuk area daerah
Kabupaten Ponorogo belum satupun kelompok tani yang mendapatkannya. Seperti yang

4
dikemukakan oleh Ketua Kelompok Tani daerah Ngunut I dimana gapoktan untuk daerah Madiun
sudah mendapatkan mesin pemanen otomatis sedangkan untuk daerah Ponorogo belum ada.
Adanya pandangan miring terhadap pemerintah daerah yang mungkin dikarenakan sistem
birokrasi yang terlalu berbelit membuat pandangan para petani mengenai bantuan yang diberikan
masih dinilai kurang transparan keinginan masyarakat petani untuk pemberian bantuan diberikan
secara percuma tidak sesuai dengan yang dilakukan pemerintah daerah dengan bantuan secara
subsidi.

3. Subsidi Pupuk
Pupuk merupakan salah satu faktor yang menyentuh langsung kegiatan pertanian. Ketika
terjadi kelangkaan maupun kenaikan harga pupuk maka akan terjadi permasalahan tersendiri bagi
petani dalam mengelola lahan pertaniannya. Dengan penggunaan pupuk bersubsidi petani dapat
mendapatkan pupuk dengan harga yang relatif murah. Mengingat petani di wilayah Ponorogo
merupakan petani gurem dengan kondisi ekonomi yang rendah maka penggunaan pupuk subsidi
sangat diperlukan.
Pemerintah mengintervensi penggunaan pupuk baik pupuk kimia maupun organik. Untuk
pupuk organik seperti yang dikemukakan oleh Ketua Kelompok Tani Iwik Desa Ngunut I
mengatakan dimana bantuan pemerintah dari pupuk organik salah satunya berupa bantuan rumah
kompos untuk setiap gapoktan tertentu. Sedangkan untuk pupuk kimia pemerintah memberikan
bantuan subsidi melalui mekanisme yang selektif sehingga pemberian pupuk dapat tepat sasaran.
Peran pupuk bersubsidi di kabupaten sangat berkaitan langsung dengan pemerintah daerah yang
terkait, seperti yang tercantum dalam peraturan mendagri no 122 pasal 5 ayat 1 yaitu: Kebutuhan
Pupuk Bersubsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dirinci lebih lanjut menurut kecamatan,
jenis, jumlah, sub sektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.

Permasalahan Subsidi Pupuk


Miss komunikasi maupun kesalahan petani dalam perhitungan kebutuhan pupuk menjadi
permasalahan dalam pemberian pupuk bersubsidi ketika pemerintah daerah menjadi mediator yang
paling penting bagi petani kepada pemerintah pusat dalam hal pemberian pupuk bersubsidi yang
terikat pada sistem hukum.
Seperti yang dikemukakan oleh Kepala Staff Pertanian Bappeda Ponorogo mengatakan dimana
terjadi kesalahan perhitungan oleh kelompok tani sehingga terjadi kekurangan pupuk disejumlah
daerah. Pupuk yang dimaksud adalah pupuk kimia mengingat kebutuhan pupuk kimia cenderung
lebih besar dibandingan dengan pupuk organik. Hal ini dikarenakan kondisi SDA yang sudah tidak
memungkinkan penggunaan pupuk organik secara murni sehingga perlu bahan campuran kimia.
Disamping itu hasil yang didapat lebih menguntungkan penggunaan pupuk kimia walaupun dalam
jangka panjang petani sudah menyadari akan dampak negative dari penggunaan pupuk kimia.

4. Benih Bersubsidi
Dalam rangka peningkatan kualitas maupun pertumbuhan tanaman pangan pemerintah
memberikan bantuan berupa benih bersubsidi untuk mempertahankan bahkan meningkatkan
kualitas dari produktifitas tanaman bahan makanan itu sendiri. seperti yang dikemukakan oleh
kepala staff pertanian BAPPEDA dimana pertanian sudah mulai mencoba actionnya di bibit
unggul sehingga apabila sebelumnya menanam satu hektar dapat menghasilkan sekian ton dengan
penemuan bibit unggul tersebut hasilnya bisa lebih meskipun dengan lahan terbatas. Intensifikasi
sebegai salah satu alasan penemuan-penemuan bibit dengan bersubsidi perlu digalakkan,
Harga benih bersubsidi yang dibeli oleh petani/kelompok tani ditetapkan dalam bentuk HET
(Harga Eceran Tertinggi). HET tersebut merupakan batas maksimal harga benih yang dibeli oleh
petani sampai dengan titik bagi (petani/kelompok tani). HET itu sendiri ditetapkan oleh
pemerintah/ menteri pertanian berdasarkan pertimbangan tertentu. Dengan penggunaan benih
bersubsidi maka petani akan mendapatkan harga yang lebih murah sehingga petani dapat
meminimalisir biaya yang seharusnya dikeluarkan.

Permasalahan Subsidi Benih


Dalam mekanisme penyaluran maupun pembayaran benih subsidi sendiri sudah jelas dimana
petani untuk mendapatkan benih subsidi harus melalui kelompok tani akan tetapi dalam
implementasinya petani yang tidak masuk dalam kelompok tani dapat memperoleh benih subsidi.

5
Berdasarkan informasi dari Jamin salah satu petani Ngunut II mengatakan bahwasanya tidak ada
pengawasan dari pemerintah untuk mendapatkan benih bersubsidi petani yang tidak masuk
kelompok tani masih bisa mendapatkan benih yang bersubsidi. Tentu hal seperti ini dapat
merugikan bagi petani karena tidak menutup kemungkinan fluktuatif harga dapat terjadi sewaktu-
waktu sedangkan disamping itu alur modal petani harus tetap berjalan.
Seperti yang dikemukakan oleh Akib (2004) dimana perlu adanya diseminasi untuk memperlancar
sebuah kebijakan. Terdapat empat syarat dalam pengelolaan diseminasi salah satunya adalah
adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan
melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis.

5. Permasalahan Tenaga Kerja


Fenomena dimana Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu penyumbang TKI terbesar di
Jawa Timur berimbas pada kurangnya tenaga kerja terhadap sektor pertanian khususnya pada
musim panen.
Ketua kelompok tani Iwik Desa Ngunut I mengatakan dimana seiring bertambahnya tahun minat
masyarakat dalam bekerja pada sektor pertanian khususnya buruh tani semakin berkurang.
Akibatnya tidak sedikit petani lebih memilih tenaga kerja dari kota Pacitan, Ngawi, dan sekitarnya
untuk menggarap sawahnya ketika musim panen datang

Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman dalam Pembangunan dan Pengembangan


Sektor Pertanian Kabupaten Ponorogo.
Untuk mempermudah dalam mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, maupun ancaman
dalam subsektor tabama perlu adanya table SWOT. Dengan tabel SWOT dapat diketahui langkah
apa yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan kekuatan maupun peluang yang ada untuk
menutupi kelemahan maupun memperkecil ancaman. Adapun table SWOT untuk Subsektor
Tabama sebagai berikut:

Tabel 3: Matriks Faktor Internal dan Eksternal Subsektor Tabama Kabupaten Ponorogo
Kekuatan Kelemahan
- Letak geografis yang - Lemahnya sosialisasi terkait
Faktor Internal strategis. pertanian.
- Ketersediaan saranan dan - Ketersediaan buruh tani yang
prasaranan dalam terbatas.
penunjang pengembangan - Terdapat petani yang tidak
sektor pertanian. masuk kelompok tani.
- Nilai LQ berdasarkan
indikator pendapatan
wilayah tergolong basis.
- Bertambahnya usaha
Faktor Eksternal
petani di Kabupaten
Ponorogo.
- Kondisi Masyarakat yang
dinamis
Peluang Strategi S-O Strategi W-O
- Gabungan Kelompok Tani - Pengembangan sektor - Sosialisasi lebih optimal
- Bantuan Pupuk dan Benih pertanian baik skala terkait pentingnya kelompok
Bersubsidi besar/kecil hingga tani sebagai media
- Bantuan alat panen dan pengolahan tingkat akhir pengembangan pertanian
tanam kembali (S1,S2,S3,S4,,O1,O4) yang lebih
- Program pemerintah daerah - Penyuluhan secara efisien(W1,W3,O1,O2,O3,O4)
berkala, terorganisir, dan - Pengembangan teknologi
intensif pertanian khususnya
.(S4,S5,O2,O3,O4) pengembangan teknologi
panen maupun tanam kembali
untuk mengurangi kebutuhan
tenaga kerja (W2,O3)
Ancaman Strategi S-T Strategi W-T

6
- Lahan sawah yang terus - Melakukan inovasi- - Perlu adanya peraturan yang
mengalami penyusutan. inovasi baru terkait lebih selektif, tegas, dan
- Kompetisi antar daerah perkembangan pertanian transparasi terkait
Ancaman Strategi S-T Strategi W-T
seperti adanya bibit pengalihan lahan ataupun
dalam pengembangan
maupun pupuk yang perizinan bangunan
maupun pertumbuhan
berkualitas yang - (T1,W1)
- ekonomi daerah.
menghasilkan kuantitas - Pengotimalan produktifitas
produksi yang lebih pertanain melalui sosialasi,
banyak(S1,S3,S4,T1,T2) dan pengawasan secara
- Pemanfaatan sektor - berkala terkait produktifitas
pertanian sebagai optimal pertanian( W2,T1,T2,T3)
sebagai sektor basis
untuk meningkatkan
pertumbuahan ekonomi
daerah(S1,S2,3,T2)
Sumber: Data Diolah
Dari tabel diatas dapat diketahui bagaimana untuk mengoptimalkan peluang dan kekuatan
dengan strategi S-O, bagaimana mengatasi kelemahan dengan mengandalkan peluang dengan
strategi W-O, meminimalisir ancaman dengan kekuatan melalui strategi S-T, ataupun bagaimana
solusi dalam mengatasi ancaman maupun kelemahan dengan strategi W-T. Adapun bobot setiap
kelemahan, kekuatan, ancaman maupun peluang sebagai berikut:

Tabel 4: Penentuan tingkat kepentingan unsur SWOT dilakukan berdasarkan persepsi


peneliti
NO Unsur SWOT Bobot
1 S1. Letak geografis yang strategis. 5
S2. Ketersediaan saranan dan prasaranan dalam 5
2
penunjang pengembangan sektor pertanian.
S3. Nilai LQ berdasarkan indikator pendapatan 5
3
wilayah tergolong basis.
S4. Bertambahnya usaha petani di Kabupaten 4
4
Ponorogo
5 S5. Kondisi Masyarakat yang dinamis 4
6 W1. Lemahnya sosialisasi terkait pertanian. 4
7 W2. Ketersediaan buruh tani yang terbatas. 4
W3. Terdapat petani yang tidak masuk kelompok 5
8
tani
9 O1. Gabungan Kelompok Tani 5
10 O2. Bantuan Pupuk dan Benih Bersubsidi 5
11 O3. Bantuan alat panen dan tanam kembali 4
12 O4. Program pemerintah daerah 5
T1. Lahan sawah yang terus mengalami 4
13
penyusutan.
T2. Kompetisi antar daerah dalam pengembangan 4
14
maupun pertumbuhan ekonomi daerah.
Sumber: Data Diolah
Setiap permasalahan yang ada mempunyai bobot tersendiri sehingga menghasilkan prioritas
pemecahan masalah berdasarkan bobot yang diperoleh. Adapun prioritas atas pemecahan
permasalahan yang ada dalam subsektor tabama sebagai berikut:

Tabel 5: Alternatif Srtategi yang diperlukan


NO Alternatif Strategi Bobot Prioritas
- Pengembangan sektor pertanian baik skala 29 1
1 besarkecil hingga pengolahan tingkat akhir
(S1,S2,S3,S4,,O1,O4)

7
- Penyuluhan secara berkala, terorganisir, dan 22 3
2
intensif .(S4,S5,O2,O3,O4)
3 - Sosialisasi lebih optimal terkait pentingnya 28 2
NO Alternatif Strategi Bobot Prioritas
kelompok tani sebagai media pengembangan
pertanian yang lebih
efisien(W1,W3,O1,O2,O3,O4)
- Pengembangan teknologi pertanian khususnya 9 7
pengembangan teknologi panen maupun tanam
4
kembali untuk mengurangi kebutuhan tenaga
kerja (W2,O3)
- Melakukan inovasi-inovasi baru terkait 22 4
perkembangan
5 Alternatif Strategi
- pertanian seperti adanya bibit maupun pupuk
yang berkualitas yang menghasilkan kuantitas
produksi yang lebih banyak(S1,S3,S4,T1,T2)
- Perlu adanya peraturan yang lebih selektif, 8 6
6 tegas, dan transparasi terkait pengalihan lahan
ataupun perizinan bangunan (T1,W1)
- Pengotimalan produktifitas pertanain melalui 12 5
7 sosialasi, dan pengawasan secara berkala terkait
produktifitas pertanian(( W2,T1,T2)
Sumber: Data Diolah
Berdasarkan prioritas yang ada dapat terlihat pemecahan masalah apa yang perlu dilakukan
terlebih dahulu. Skala prioritas yang ada bukan berarti menunjukkan prioritas yang terakhir
ketidakpentingan solusi dalam pengembangan subsektor tabama akan tetapi solusi apa yang perlu
didahulukan karena hal ini akan berpengaruh terhadap pemecahan solusi selanjutnya.

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Penelitian ini dengan menggunakan metode LQ dan SWOT
maka dapat disimpulkan hasil penelitiann sebagai berikut:
1. Intervensi Pemerintah Daerah Ponorogo dalam mengembangkan subsektor dinilai
maksimal baik dari sisi penyuluhan, bantuan teknologi pertanian, subsidi pupuk maupun
benih, akan tetapi implementasi dinilai kurang dirasakan oleh petani adapun
permasalahannya sebagai berikut:
a. Penyuluhan:
(a) Kegiatan penyuluhan kurang sesuai dengan keinginan petani seperti tidak
adanya percontohan dilapangan secara langsung.
(b) Struktur organisasi dari pemerintahan yang masih tumpah tindih berdampak
pada kurang efektifnya kegiatan penyuluhan.
b. Subsidi Benih:
(a) Tidak ada pengawasan dalam benih bersubsidi sehingga petani yang tidak
tertmasuk dalam kelompok tani bisa membeli benih bersubsidi secara bebas.
(b) Fluktuatif harga memberikan keresahan bagi petani untuk melakukan
perencanaan penanaman kembali.
c. Subsidi Pupuk: Kelangkaan pupuk di sejumlah daerah diakibatkan miss
komunikasi antara pemerintah daerah setempat dengan petani.
d. Bantuan Teknologi: Pemberian teknologi pertanian tidak diberikan secara
langsung dan sistem birokrasi yang masih membingungkan petani.
2. Minimnya buruh tani memaksa petani untuk memakai jasa buruh tani dari luar daerah hal
ini dikarenakan upah buruh tani dinilai sedikit oleh masyarakat sekitar.
3. Pemilihan alternative dalam pengembangan sektor tabama yaitu
a. Pengembangan sektor pertanian baik skala besarkecil hingga pengolahan tingkat
akhir .
b. Penyuluhan secara terorganisir, dan intensif.

8
c. Pengembangan teknologi pertanian khususnya pengembangan teknologi panen
maupun tanam kembali untuk mengurangi kebutuhan tenaga kerja.
d. Melakukan inovasi-inovasi baru terkait perkembangan pertanian seperti adanya
bibit maupun pupuk yang berkualitas yang menghasilkan kuantitas produksi
yang lebih banyak.
e. Perlu adanya peraturan yang lebih selektif, tegas, dan transparasi terkait
pengalihan lahan ataupun perizinan bangunan.
f. Pengotimalan produktifitas pertanain melalui sosialasi, dan pengawasan secara
berkala terkait produktifitas pertanian.

Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian ini maka rekomendasi yang dapat diberikan diantaranya:
1. Perlu adanya pengawasan yang lebih terhadap pembelian benih maupun pupuk
bersubsidi, pengawasan ini tidak hanya dilakukan pemerintah daerah setempat tapi
juga oleh petani maupun distributor. Diperlukan adanya data setiap anggota kelompok
tani dalam pembelian pupuk maupun benih dan dilakukan secara transparasi sehingga
setiap anggota dapat ikut serta mengawasi.
2. Perbaikan struktur organisasi dalam pemerintahan daerah khususnya yang berkaitan
langsung dengan kegiatan penyuluhan pertanian sehingga tidak menimbulkan
ekternalitas negative terhadap kegiatan pertanian dan implementasi dapat berjalan
secara maksimal. Seperti dalam kegiatan penyuluhan perlu percontohan dilapangan
sehingga petani lebih memahami, perlu adanya penyuluhan secara efektif sehingga
petani dapat bertukar pendapat tentang permasalahan pertanian yang dialami.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga
panduan ini dapat terselesaikan.Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Dosen
Pembimbing Prof. Agus Suman, SE.,DEA, seluruh Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya,
serta Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang
memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA
Akib, Haedar dan Anton Tarigan. 2004. Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif,
Model dan Kriteria Pengukurannya. Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar, STIA-LAN dan UNISMUH Makassar.
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan Edisi ke-4. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi YKPN.
BAPPEDA. 2013. Struktur Perekonomian Ponorogo 2008-2012: Ponorogo.
Boediono. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE UGM.
Bungin, Burhan. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Media Group
Hariasti, Santi.2004. Peranan Sektor Perikanan dan Kelautan Dalam Pembangunan Wilayah Kota
Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Untuk Mendukung Otonomi Daerah Program Studi
Managemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Kuncoro, Mudrajat. 2006. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN.
Priyarsono, D. S. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka
Syafrizal. 2008. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Padang: Boduese Media .
Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Todaro, Michael P. Dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi edisi kesembilan.
Terjemahan oleh Harris Munandar. Jakarta: Erlangga.
Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Widodo, Joko. 2007. Analisis kebijakan publik. Malang: Bayumedia Publishing.

9
Widyasari, Niken Elvok. 2012. Tidak diterbitkan. Implementasi Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Studi Kasus Rencana Tata Ruang Wilayah Di Kecamatan Kenjeran Surabaya,
Jurusan PMPKN Ilmu Adiministrasi Negara Universitas Negeri Surabaya.
Winarno, Budi. 2007. Teori dan praktek kebijakan publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

10

Anda mungkin juga menyukai