Pada akhir semester, saya mengalami dilema saat memberikan nilai pada seorang siswa yang bernama Marsel. Tuntutan kurikulum sekolah mengharuskan murid harus mendapatkan nilai tuntas. Namun jika saya memberikan nilai tuntas, saya mengkhawatirkan siswa tersebut akan mengalami ketertinggalan baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan sehingga siswa tersebut kompetensinya akan kurang. Hal ini dikarenakan Marsel sering tidak hadir karena ikut bekerja membantu orang tua. Menjadi sebuah dilema saat memberikan nilai tuntas melihat hasil belajar Marsel, namun di satu sisi merasa kasihan dengan siswa tersebut karena Marsel ikut bekerja saat jam sekolah karena keterbatasan ekonomi. Akhirnya saya tetap memberikan nilai tuntas, dengan memanggil Marsel dan membuat surat pernyataan, bahwa harus menyelesaikan tugas yang tertinggal di akhir pelajaran. Paradigma yang saya ambil yaiu rasa keadilan lawan rasa kasihan. Studi Kasus Nyata 2 : Oleh (Jokwan Efedy, S.Sos) Pada minggu lalu, kami melakukan rapat persiapan Penilaian tengah Semester (PTS). Pada rapat ini, kami juga membahas mengenai kesepakatan bersama tentang kegiatan arisan keluarga, kunjungan ke rumah guru yang sakit atapun lahiran. Sebelumnya sekolah kami memiliki suatu kesepakatan bersama selain iuran uang sosial juga melakukan arisan keluarga, kunjungan bersama jika ada rekan guru yang lahiran ataupun sakit. Namun ketika covid melanda, kegiatan kunjungan tersebut terhenti namun iuran uang sosial tetap berjalan. Untuk saat ini, dikarenakan kasus covid sudah mulai mereda, maka dewan guru sepakat untuk melakukan kembali kegiatan arisan keluarga dan kunjungan tersebut. Hal ini dikarenakan banyak hal positif dari kegiatan silaturahmi tersebut, yaitu mempererat rasa kekeluargaan. Namun kepala sekolah tidak menyetujui kegiatan arisan keluarga dan kunjungan tersebut dilanjutkan, tetapi hanya berupa iuran uang sosial untuk rekan yang lahiran ataupun sakit. Paradigma keputusan yang diambil oleh kepala sekolah yaitu individu lawan kelompok. Studi Kasus Nyata 3 : Oleh (Hermi Susanti, M.Pd) Saya pernah mengalami dilematis pada saat pengambilan keputusan, apakah akan diadakan belajar tambahan atau tidak kepada murid kelas VI yang akan menghadapi ujian akhir. Beberapa rekan lain, menyampaikan pendapat bahwa tidak perlu diadakan belajar tambahan, penuntasan belajar cukup dilakukan oleh wali kelas VI karena tidak ada anggaran untuk pelaksanaan tersebut. Namun saya berusaha untuk mengajak bermusyawarah dan berdiskusi bersama dengan dipimpin Bapak Kepala Sekolah, jika memang siswa kelas VI sangat membutuhkan belajar tambahan agar mereka lebih siap dan matang dalam menghadapi ujian meskipun minim anggaran dengan beberapa rekan guru yang mau berkolaborasi. Melalui rapat, akhirnya diputuskan diberikan belajar tambahan meskipun dengan keterbatasan dana. Paradigma yang saya ambil yaiu rasa keadilan lawan rasa kasihan. Studi kasus nyata 4 : yang termuat di sebuah media yang disepakati menjadi studi kasus kelompok untuk dianalisis. Ibu Y adalah kepala sekolah di salah satu SD di Kabupaten Bengkulu Selatan. Ibu Y dikenal sebagai kepala sekolah yang rajin, ramah, baik dan peduli dengan rekan kerjanya. Sekitar bulan Desember pada tahun 2020, terjadi suatu peristiwa yang cukup menggemparkan dunia pendidikan di kabupaten tersebut. Melalui media massa, Ibu Y dikabarkan melakukan pemotongan gaji guru honorer yang menerima SK Bupati. Dimana penggajiannya bersumber dari Badan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Ibu Y diduga telah melakukan pelanggaran yang berdampak pada pengaduan beberapa guru honorer penerima SK Bupati kepada pihak pengawas hingga berlanjut ke pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkulu Selatan. Hal tersebut terjadi karena guru honorer penerima SK Bupati merasa keberatan dengan perlakuan Ibu Y yang telah melakukan pemotongan gaji mereka. Menurut pengakuan dari Ibu Y, beliau melakukan hal tersebut dikarenakan di sekolah tempat beliau pimpin, terdapat empat orang guru honorer, dua diantaranya adalah penerima SK Bupati yang mendapatkan gaji tambahan dari dana BOSDA. Sementara dua guru honorer lainnya bukan penerima SK Bupati. Melihat hal tersebut, Ibu Y berinisiatif untuk melakukan pemotongan gaji kedua honorer penerima SK Bupati tersebut untuk dibagi kepada guru honorer lainnya yang tidak menerima SK Bupati. Hal ini dilakukan Ibu Y karena merasa kasihan dengan guru yang bukan penerima SK Bupati, dengan pertimbangan keempat guru honorer tersebut memiliki tupoksi yang sama. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, akhirnya Ibu Y melakukan pemotongan gaji sepihak tanpa adanya diskusi dengan guru honorer penerima SK Bupati. Permasalahan ini tidak berlanjut ke ranah hukum, karena sudah dilakukan mediasi dan sudah diselesaikan secara baik-baik. Kesimpulan : Berdasarkan kesepakatan bersama, kelompok kami sepakat untuk mengangkat kasus yang termuat di media massa sebagai kasus dilema etika yang akan dianalisis dalam pengambilan keputusan berdasarkan 4 paradigma, 3 prinsip, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan.