Anda di halaman 1dari 13

Organoklorida, senyawa organoklorin, klorokarbon, atau hidrokarbon

terklorinasi adalah kelompok senyawa organik yang mengandung setidaknya


satu atom klorin yang terikat secara kovalen sehingga berpengaruh pada sifat
kimia molekul tersebut. Kelas kloroalkana (alkana dengan satu atau lebih
hidrogen yang tersubstitusi klorin) menyediakan contoh-contoh yang umum.
Beragamnya struktur serta sifat kimia organoklorida mengarah pada banyaknya
penamaan serta aplikasi dari kelompok senyawaan ini. Organoklorida
merupakan senyawa yang berguna pada berbagai aplikasi, tetapi beberapa
diantaranya menimbulkan masalah lingkungan.[1]

Sifat fisik dan kimia


Klorinasi memodifikasi berbagai sifat fisik hidrokarbon. Senyawa ini biasanya
lebih padat daripada air karena massa atom klor yang lebih tinggi dibanding
hidrogen. Organoklorin alifatik adalah agen pengalkilasi karena klorida adalah
gugus pergi yang baik.

Keberadaan di alam
Banyak senyawa organoklorin yang diisolasi dari sumber alami mulai dari
bakteri hingga manusia.[2][3] Senyawa organik terklorinasi ditemukan di
hampir setiap kelas biomolekul termasuk alkaloid, terpena, asam amino,
flavonoid, steroid, dan asam lemak.[2][4] Organoklorida, termasuk dioksin,
diproduksi di lingkungan dengan suhu tinggi dari kebakaran hutan, dan dioksin
telah ditemukan dalam abu dari api yang dinyalakan oleh petir yang menjadi
prekursor dioksin sintetik.[5] Selain itu, berbagai hidrokarbon terklorinasi
sederhana termasuk diklorometana, kloroform, dan karbon tetraklorida telah
diisolasi dari ganggang laut.[6] Mayoritas klorometana di lingkungan diproduksi
secara alami oleh dekomposisi biologis, kebakaran hutan, dan gunung berapi
Organoklorida alami epibatidin, alkaloid yang diisolasi dari katak pohon,
memiliki efek analgesik yang kuat dan telah menstimulasi penelitian dalam
pengobatan nyeri baru. Namun, karena indeks terapinya yang tidak dapat
diterima, senyawa ini tidak lagi diteliti untuk penggunaan terapeutik yang
potensial.[8] Katak mendapatkan epibatidin melalui makanan mereka dan
kemudian membungkusnya di kulit mereka. Kemungkinan sumber makanan
tersebut adalah kumbang, semut, tungau, dan lalat
TUMPAHAN MINYAK (OIL SPILL)
A. Informasi
Oil Spill atau tumpahan minyak merupakan salah satu kejadian pencemaran
laut dapat diakibatkan dari hasil operasi kapal tanker (air ballast), perbaikan
dan perawatan kapal (docking), terminal bongkar muat tengah laut, air bilga
(saluran buangan air, minyak dan pelumas hasil proses mesin), scrapping kapal,
dan yang banyak terjadi adalah kecelakaan/tabrakan kapal tanker.
 
B. Dampak
1. Kematian organisme, Untuk kasus oil spill di perairan terbuka,
konsentrasi minyak di bawah slick biasanya sangat rendah, dan
maksimum akan berada pada kisaran 0.1 ppm sehingga tidak
menyebabkan kematian massal organisme terutama ikan-ikan.
Permasalahannya, kebanyakan kasus tumpahan minyak ini terjadi di
perairan pantai atau perairan dalam. Resiko kematian massal akan lebih
besar lagi bagi ikan-ikan di tambak ataupun keramba serta jenis kerang-
kerangan yang kemampuan migrasi untuk menghindari spill tersebut
sangat rendah.
2. Perubahan reproduksi dan tingkah laku organisme, Uji laboratorium
menunjukkan bahwa reproduksi dan tingkah lau organisme ikan dan
kerang-kerangan dipengaruhi oleh konsentrasi minyak di air. Banyak jenis
udang dan kepiting membangun sistem penciuman yang tajam untuk
mengarahkan banyak aktifitasnya, akibatnya eksposur terhadap bahan
B3 menyebabkan udang dan kepiting mengalami gangguan di dalam
tingkah lakunya seperti kemampuan mencari, memakan dan kawin.
3. Dampak terhadap plankton, Limbah B3 ini akan berdampak langsung
pada organisme khususya pada saat masih dalam fase telur dan larva.
Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika spillage bertepatan dengan
periode memijah (spawning) dan lokasi yang terkena dampak adalah
daerah nursery ground. Akan lebih parah lagi ketika lokasi yang terkena
oil spill ini merupakan daerah yang tertutup/semi tertutup seperti teluk
yang tercemar.
4. Dampak terhadap ikan migrasi, Secara umum, ikan dapat menghindari
bahan pencemar, namun uniknya ada beberapa jenis ikan yang bersifat
territorial, artinya ikan tersebut harus kembali ke daerah asal untuk
mencari makan dan berkembang ikan meskipun daerah asalnya telah
terkontaminasi limbah B3.
5. Bau lantung (tainting), Bau lantung ini dapat terjadi pada jenis ikan
keramba dan tambang yang tidak memilki kemamuan bergerak menjauhi
bahan pencemar minyak sehingga menghasilkan bau dan rasa yang tidak
enak pada jaringannya.
6. Dampak pada kegiatan perikanan budidaya,  Tumpahan minyak ini akan
berdampak langsung pada kegiatan budidaya, bahan selain organisme
yang akan terkena dampak, peralatan seperti jaring dan temali tidak
dapa digunakan lagi.
7. Kerusakan ekosistem,  Ekosistem pesisir dan laut (mangrove, delta
sungai, estuary, lamun, dan terumbu karang) memiliki fungsi dan peran
yang penting secara ekologis. Masuknya limbah B3 pada perairan pesisir
laut ini dapat mengganggu ekosisitem, karena wilayah pesisir tersebut
merupaka daerah perkembangbiakan, penyedia habitat dan makanan
untuk organisme dewasa bagi habitat lain di sekitarnya.
 
C. Regulasi
Beberapa regulasi yang dipakai dalam penanganan oil spill, adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut
2. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
54/KEPMEN-KP/2016 tentang Tim Penanggulangan Dampak Tumpahan
Minyak terhadap Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup

D. Penanggulangan
- Menggunakan In-situ burning  
In-situ burning  аdаlаh pembakaran minyak pada permukaan air sehingga
mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dаrі permukaan laut,
penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut уаng terasosiasi, уаng
dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara іnі membutuhkan
ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau
barrier уаng tahan api.  
Bеbеrара kendala dаrі cara іnі аdаlаh pada peristiwa tumpahan besar уаng
memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan
pada ketebalan уаng cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen
minyak уаng mudah terbakar.  
Sisi lain, residu pembakara уаng tenggelam dі dasar laut аkаn memberikan
efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api уаng tіdаk
terkontrol.
- Menggunakan teknik memisahkan minyak
Cara kedua уаіtu penyisihan minyak secara mekanis ,Penyisihan minyak secara
mekanis  mеlаluі dua tahap уаіtu melokalisir tumpahan dеngаn menggunakan
booms dan melakukan pemindahan minyak kе dalam wadah dеngаn
menggunakan peralatan mekanis уаng disebut skimmer.
 
Upaya іnі terhitung sulit dan mahal mеѕkірun disebut ѕеbаgаі pemecahan ideal
tеrutаmа untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan
daerah уаng sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya,
keberadaan angin, arus dan gelombang mengakibatkan cara іnі menemui
banyak kendala.
- Menggunakan bioremediasi
Cara ketiga аdаlаh bioremediasi уаіtu mempercepat proses уаng terjadi secara
alami, misalkan dеngаn menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi
sejumlah komponen menjadi produk уаng kurаng berbahaya seperti CO2 , air
dan biomass.  
Sеlаіn memiliki dampak lingkunga kecil, cara іnі bіѕа mengurangi dampak
tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara іnі hаnуа bіѕа diterapkan pada
pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tіdаk efektif
untuk diterapkan dі lautan.
- Menggunakan Sorbent  
Cara keempat dеngаn menggunakan sorbent уаng bіѕа menyisihkan minyak
mеlаluі mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent)
dan absorpsi (penyerapan minyak kе dalam sorbent).  
Cara kerja dari Sorbent іnі adalah perubahan kimia dimana Sorben berfungsi
mengubah fasa minyak dаrі cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan
dan disisihkan. Walaupun minyak sudah padat tetapi masih di atas permukaan
air laut.
Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah
disebarkan dі permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang.  
Ada 3 jenis sorbent уаіtu  
- Sorbent organik alami berasal dari bahan alami seperti kapas, jerami, rumput
kering, serbuk gergaji
- Sorbent anorganik alami berasala dari alam tetapi hanya sifatnya yang
berbeda dengan organik bahan ini seperti lempung, vermiculite, pasir
- Sorbent sintetis berasal dari bahan pabrikan seperti busa poliuretan,
polietilen, polipropilen dan serat nilon.
- Menggunakan dispersan kimiawi  
Cara kelima dеngаn menggunakan dispersan kimiawi уаіtu dеngаn memecah
lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi
kemungkinan terperangkapnya hewan kе dalam tumpahan.  

Pencemaran pestisida
Dampak lingkungan dari pestisida bersifat baik maupun buruk. Pestisida
berdampak baik pada peningkatan hasil pertanian, tetapi juga berdampak
buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Lebih dari 98% insektisida dan
95% herbisida menjangkau tempat selain yang seharusnya menjadi target,
termasuk spesies non-target, perairan, udara, makanan, dan sedimen.[1]
Pestisida dapat menjangkau dan mengkontaminasi lahan dan perairan ketika
disemprot secara aerial, dibiarkan mengalir dari permukaan ladang, atau
dibiarkan menguap dari lokasi produksi dan penyimpanan.[2] Penggunaan
pestisida berlebih justru akan menjadikan hama dan gulma resistan terhadap
pestisida.
Sejarah
Kepedulian terhadap ekotoksikologi mulai muncul ketika terjadi kasus
keracunan akut di akhir abad ke 19 melalui tulisan Rachel Carson, Silen Spring
yang menggambarkan dampak pada lingkungan yang tidak menyenangkan
akibat bahan kimia. Tidak lama setelah itu, DDT digunakan untuk melawan
malaria di negara miskin dan negara berkembang namun menyebabkan
dampak terhadap satwa burung di tingkat populasi. Studi lalu dilakukan di
negara maju untuk memahami dampak mematikan dari pestisida terutama
pada burung dan ikan.[3]

Persebaran di udara

Angkatan Udara Amerika Serikat menyemprotkan pestisida pembasmi nyamuk


di New Orleans, 2005
Lihat pula: Arus pestisida
Pestisida berkontribusi pada polusi udara ketika disemprotkan melalui pesawat
terbang. Pestisida dapat tersuspensi di udara sebagai partikulat yang terbawa
oleh angin ke area selain target dan mengkontaminasinya.[4] Pestisida yang
diaplikasikan ke tanaman dapat menguap dan ditiup oleh angin sehingga
membahayakan ekosistem di luar kawasan pertanian.[5] Kondisi cuaca seperti
temperatur dan kelembaban juga menjadi penentu kualitas pengaplikasian
pestisida karena seperti halnya fluida yang mudah menguap, penguapan
pestisida amat ditentukan oleh kondisi cuaca. Kelembapan yang rendah dan
temperatur yang tinggi mempermudah penguapan. Pestisida yang menguap ini
dapat terhirup oleh manusia dan hewan di sekitar.[6] Selain itu, tetesan
pestisida yang tidak larut atau tidak dilarutkan oleh air dapat bergerak sebagai
debu[7] sehingga dapat mempengaruhi kondisi cuaca dan kualitas presipitasi.

Penyemprotan pestisida dekat dengan tanah memiliki risiko persebaran lebih


rendah dibandingkan penyemprotan dari udara.[8] Petani dapat menggunakan
zona penyangga di sekitar tanaman pertanian yang terdiri dari lahan yang
kosong atau ditumbuhi tanaman non-pertanian seprti pohon yang berfungsi
sebagai pemecah angin yang menyerap pestisida dan mencegah persebaran ke
area lain.[9] Di Belanda, para petani diperintahkan untuk membangun
pemecah angin.[9]
Persebaran di perairan

Jalur pergerakan pestisida


Di Amerika Serikat, pestisida diketahui telah mencemari setiap aliran sungai
dan 90% sumur yang diuji oleh Survei Geologi Amerika Serikat.[10] Residu
pestisida juga telah ditemukan di air hujan dan air tanah.[11] Pemerintah
Inggris juga telah mempelajari bahwa konsentrasi pestisida di berbagai sungai
dan air tanah melebihi ambang batas keamanan untuk dijadikan air minum.
[12]

Dampak pestisida pada sistem perairan sering kali dipelajari menggunakan


model transportasi hidrologi untuk mempelajari pergerakan dan akhir dari
pergerakan zat kimia di aliran sungai. Pada awal tahun 1970-an, analisis
kuantitatif aliran pestisida dilakukan dengan tujuan untuk memprediksi jumlah
pestisida yang akan mencapai permukaan air.[13]

Terdapat empat jalur utama bagi pestisida untuk mencapai perairan: terbang
ke area di luar yang disemprotkan, melalui perkolasi menuju ke dalam tanah,
dibawa oleh aliran air permukaan, atau ditumpahkan secara sengaja maupun
tidak.[14] Pestisida juga bergerak di perairan bersama dengan erosi tanah.[15]
Faktor yang mempengaruhi kemampuan pestisida dalam mengkontaminasi
perairan mencakup tingkat kelarutan, jarak pengaplikasian pestisida dari badan
air, cuaca, jenis tanah, keberadaan tanaman di sekitar, dan metode yang
digunakan dalam mengaplikasikannya.[16] Fraksi halus sedimen penyusun
dasar perairan juga berperan dalam persebaran pestisida DDT dan turunannya.
[17]

Berbagai negara membatasi konsentrasi maksimum pestisida yang diizinkan di


perairan umum, seperti di Amerika Serikat yang diatur oleh Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat,[11][16] di Inggris yang diatur oleh
Environmental Quality Standards,[18] dan Uni Eropa.[18]

Persebaran di tanah
Berbagai senyawa kimia yang digunakan sebagai pestisida merupakan bahan
pencemar tanah yang persisten, yang dapat bertahan selama beberapa
dekade.[19] Penggunaan pestisida mengurangi keragaman hayati secara umum
di tanah. Tanah yang tidak disemprot pestisida diketahui memiliki kualitas yang
lebih baik,[20] dan mengandung kadar organik yang lebih tinggi sehingga
meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air.[11] Hal ini diketahui
memiliki dampak positif terhadap hasil pertanian di musim kering. Telah
diketahui bahwa pertanian organik menghasilkan 20-40% lebih banyak
dibandingkan pertanian konvensional ketika musim kering berlangsung.[21]
Kadar organik yang rendah juga meningkatkan kemungkinan pestisida
meninggalkan lahan dan menuju perairan, karena bahan organik tanah mampu
mengikat pestisida. Bahan organik tanah juga bisa mempercepat proses
pelapukan bahan kimia pestisida.[11]

Tingkat degradasi dan pengikatan merupakan faktor yang mempengaruhi


tingkat persistensi pestisida di tanah. Tergantung pada sifat kimiawi pestisida,
proses tersebut mengendalikan perpindahan pestisida dari tanah ke air secara
langsung, yang lalu berpindah ke tempat lainnya termasuk udara dan bahan
pangan. Pengikatan mempengaruhi bioakumulasi pestisida yang tingkat
aktivitasnya bergantung pada kadar organik tanah. Asam organik yang lemah
diketahui memiliki kemampuan pengikatan oleh tanah yang rendah karena
tingkat keasaman dan strukturnya. Bahan kimia yang telah terikat oleh partikel
tanah juga telah diketahui memiliki dampak yang rendah bagi mikrorganisme,
dan bahan organik tanah mempercepat pengikatan tersebut. Mekanisme
penyimpanan dan pelapukan pestisida di tanah masih belum diketahui banyak,
namun lamanya waktu singgah di tanah sebanding dengan peningkatan
resistensi degradasi pestisida.[22]

Dampak-dampaknya
Manusia & pertaniannya

Pestisida berimplikasi dalam kesehatan manusia karena polusi


Dalam penerapannya, tidak semua pestisida sampai ke sasaran. Kurang dari
20% pestisida sampai ke tumbuhan. Selebihnya lepas begitu saja. Akumulasi
dari pestisida dapat mencemari lahan pertanian dan apabila masuk dalam
rantai makanan, dapat menimbulkan macam-macam penyakit, misalnya
kanker, mutasi, bayi lahir cacat, dan CAIDS.[23] Pestisida yang paling merusak
adalah pestisida sintesis, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang
dihasilkan lebih tinggi ketimbang senyawa lain, mengingat jenis ini peka akan
sinar matahari dan tidak mudah terurai. Di Indonesia, kasus pencemaran
karena pestisida telah menimbulkan kerugian. Di Lembang dan Pangalengan,
tanah disekitar pertanian kebun wortel, tomat, kubis dan buncis tercemar oleh
organoklorin. Sungai Cimanuk juga tercemar akibat hasil-hasil pertanian yang
tercemar pestisida.[23]

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dipublikasikan


pada tahun 1990, dampak dan risiko penggunaan pestisida kimia selama ini 25
juta kasus dan meningkat pada tiap tahunnya. Data lain dari Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1996 menunjukkan 14% pekerja di
pertanian terkena bahaya pestisida dan 10%-nya terkena bahaya yang fatal.
Fenomena seperti ini juga terjadi di sentra pertanian Indonesia seperti Brebes
dan Tegal. Penelitian dari Organisasi Pangan dan Pertanian pada tahun 1992
juga menunjukkan adanya 19 gejala keracunan yang disebabkan pestisida pada
petani cabe dan bawang. Di perkebunan Luwu, Sulawesi Selatan menunjukkan
bahwa 80-100% petani yang memeriksakan dirinya ke rumah sakit
mengindikasikan keracunan pestisida.[24]

Tumbuhan

Penyemprotan pestisida pada tanaman


Pestisida menghalangi proses pengikatan nitrogen yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman.[25] Insektisida DDT, metil paration, dan
pentaklorofenol diketahui mengganggu hubungan kimiawi antara tanaman
legum dan bakteri rhizobium.[25] Dengan berkurangnya hubungan simbiotik
antara keduanya menyebabkan pengikatan nitrogen menjadi terganggu
sehingga mengurangi hasil tanaman pertanian.[25] Bintil akar pengikat
nitrogen yang terbentuk pada tanaman ini diketahui telah berkontribusi US$
10 miliar setiap tahunnya dalam penghematan pupuk nitrogen sintetis.[26]

Pestisida dapat membunuh lebah dan berakibat buruk terhadap proses


penyerbukan tumbuhan, hilangnya spesies tumbuhan yang bergantung pada
lebah dalam penyerbukannya, dan keruntuhan koloni lebah.[27][28][29][30]
Penerapan pestisida pada tanaman yang sedang berbunga dapat membunuh
lebah madu yang akan hinggap di atasnya.[4] USDA dan USFWS
memperkirakan petani di Amerika Serikat kehilangan setidaknya US$ 200 juta
per tahunnya akibat berkurangnya penyerbuk untuk tanaman mereka.[1]

Di sisi lain, pestisida juga memiliki dampak langsung yang merugikan bagi
tumbuhan, seperti rendahnya pertumbuhan rambut akar, penguningan tunas,
dan terhambatnya pertumbuhan.[31]

Burung
United States Fish and Wildlife Service memperkirakan 72 juta burung di
Amerika Serikat terbunuh karena pestisida setiap tahunnya.[32] Burung
pemangsa merupakan hewan yang terdampak secara tidak langsung karena
berada di puncak rantai makanan; residu pestisida terus terakumulasi dari satu
tingkatan predatori ke tingkatan berikutnya. Di Inggris, populasi sepuluh
spesies burung berkurang hingga 10 juta ekor sejak tahun 1979 hingga 1999,
sebuah fenomena yang diperkirakan akibat hilangnya keanekaragaman hayati
tanaman dan inverteberata yang menjadi makanan burung tersebut.[33] Di
seluruh Eropa, 116 spesies burung saat ini dalam status terancam.[33]
Pengurangan populasi burung diketahui terkait dengan waktu dan tempat di
mana pestisida tersebut digunakan.[33] Pestisida DDE diketahui menyebabkan
penipisan cangkang telur pada burung di Amerika Utara dan Eropa.[34]

Fungisida yang digunakan pada usaha budi daya kacang tanah diketahui dapat
membunuh cacing tanah, sehingga mengancam keberadaan burung dan
mamalia yang memangsa mereka.[8] Beberapa pestisida tersedia dalam wujud
butiran, sehingga burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut
karena disangka sebagai biji-bijian.[8] Herbisida ketika mengalami kontak
dengan telur burung, akan mengakibatkan pertumbuhan embrio yang
abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.[8] Herbisida juga
dapat mengurangi populasi burung karena begitu banyaknya tumbuhan
penunjang habitat mereka yang mati.[8]

Amfibi
Pada beberapa dekade yang lalu, penurunan populasi amfibi terjadi di seluruh
dunia, karena alasan yang tak bisa dijelaskan yang bervariasi tapi beberapa
pestisida kemungkinan ikut menjadi penyebab.[35]

Campuran beberapa pestisida menunjukkan efek racun yang kumulatif pada


kodok.[36] Kecebong dari kolam dengan beberapa pestisida menunjukkan di
dalam air bahwa si kecebong bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih kecil,
menurunkan kemampuan mereka dalam menangkap mangsa dan menghindar
dari predator.[36]

Sebuah studi dari Kanada menunjukkan bahwa kecebong yang terpapar


endosulfan, sebuah pestisida organoklorida pada level yang sepertinya
menunjukkan kematian pada habitat dekat bidang yang disiram dengan
pembunuhan kimia pada kecebong dan menyebabkan keanehan pada perilaku
pertumbuhan.[37]

Herbisida atrazin telah menyebabkan perubahan kodok jantan hermafrodit,


menurunkan kemampuan mereka untuk berreproduksi.[36] Baik efek
reproduktif maupun nonreproduktif pada reptil dan amfibi air telah
ditemukan. Buaya, beberapa spesies kura-kura, dan beberapa kadal tidak
memiliki kromosom pembeda seks hingga peristiwa organogenesis pasca
fertilisasi terjadi, tergantung pada temperatur lingkungan. Paparan berbagai
PCB (poly chlorinated biphenyl) pada tahap embrio pada kura-kura
menunjukan gejala pembalikan kelamin. Di berbagai tempat di Amerika Serikat
dan Kanada, berbagai gejala seperti berkurangnya jumlah telur yang menetas,
feminisasi, luka pada kulit, dan ketidaknormalan pertumbuhan terjadi.[38]

Kehidupan akuatik

Penggunaan algisida, pestisida untuk alga


Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan yang
terkontaminasi pestisida.[39] Aliran permukaan yang membawa pestisida
hingga sungai membawa dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan,
dan dapat membunuh ikan dalam jumlah besar.[40]
Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika tanaman yang
mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak oksigen
di dalam air, sehingga membuat ikan kesulitan bernafas.[39] Beberapa
herbisida mengandung tembaga sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air
lainnya.[39] Penerapan herbisida pada perairan dapat mematikan tanaman air
yang menjadi makanan dan penunjang habitat ikan,[39] menyebabkan
berkurangnya populasi ikan.

Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu


membunuh zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil.[41] Beberapa
ikan memakan serangga; kematian serangga akibat pestisida dapat
menyebabkan ikan kesulitan mendapatkan makanan.[39]

Semakin cepat pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya semakin


berkurang.[39] Selain itu, telah diketahui bahwa insektisida secara umum
memiliki dampak yang lebih berbahaya bagi biota akuatik dibandingkan
herbisida dan fungisida.[39]

Pengganti & solusi


Ada beberapa tumbuhan yang berguna sebagai biopestisida. Misalnya, tahi
kotok (Tagetes erecta Linn.). Tumbuhan ini, selain berguna sebagai obat, dapat
pula dipergunakan sebagai insektisida alami. Caranya, giling bunga hingga
halus, tambah seliter air. Saringlah dan siap dipergunakan sebagai pembasmi
serangga.[42] Sejumlah catatan menyebutkan, lebih dari seribu tanaman
berpotensi sebagai pestisida. Tanaman-tanaman pengobatan tradisional yang
asalnya dari familia Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan
Rutaceae. Minyak atsiri dari tumbuhan-tumbuhan ini punya senyawa aktif yang
bisa digunakan sebagai bahan-baku insektisida. Berdasarkan hal itu, ada
sebuah penelitian mengenai keefektifan biopestisida terhadap hama thrips
pada kentang yang berusia 45 hari. Dipergunakan cengkih, serai wangi, dan
kayu manis sebagai biopestisida sebanyak 2ml/l dan terbukti efektif dalam
mengendalikan hama Thrips palmi sebanyak 82%.[43]
Dapat pula digunakan mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai pestisida
nabati. Mimba dipergunakan sebagai pestisida dengan dua cara, cara pertama
memakai serbuk dan dilarutkan ke dalam air. Cara kedua dapat dipakai dengan
cara industri, diambil sari pati azadirakhtin 0,8-1,2 %.[44] Menurut peneletian,
pestisida nabati dari mimba terhadap ulat jarak (Achea janata) dapat
menyebabkan kematian larva hingga 79-100%. Larva ulat grayak (Spodoptea
litura) dan ulat tembakau (Helicoverpa armigera) menjadi terganggu
pertumbuhan larvanya karena mimba ini

limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai atau sisa dari usaha
kegiatan manusia yang berdampak negatif terhadap manusia dan
lingkungan jika tidak dikelola dengan baik

Anda mungkin juga menyukai