Keberadaan di alam
Banyak senyawa organoklorin yang diisolasi dari sumber alami mulai dari
bakteri hingga manusia.[2][3] Senyawa organik terklorinasi ditemukan di
hampir setiap kelas biomolekul termasuk alkaloid, terpena, asam amino,
flavonoid, steroid, dan asam lemak.[2][4] Organoklorida, termasuk dioksin,
diproduksi di lingkungan dengan suhu tinggi dari kebakaran hutan, dan dioksin
telah ditemukan dalam abu dari api yang dinyalakan oleh petir yang menjadi
prekursor dioksin sintetik.[5] Selain itu, berbagai hidrokarbon terklorinasi
sederhana termasuk diklorometana, kloroform, dan karbon tetraklorida telah
diisolasi dari ganggang laut.[6] Mayoritas klorometana di lingkungan diproduksi
secara alami oleh dekomposisi biologis, kebakaran hutan, dan gunung berapi
Organoklorida alami epibatidin, alkaloid yang diisolasi dari katak pohon,
memiliki efek analgesik yang kuat dan telah menstimulasi penelitian dalam
pengobatan nyeri baru. Namun, karena indeks terapinya yang tidak dapat
diterima, senyawa ini tidak lagi diteliti untuk penggunaan terapeutik yang
potensial.[8] Katak mendapatkan epibatidin melalui makanan mereka dan
kemudian membungkusnya di kulit mereka. Kemungkinan sumber makanan
tersebut adalah kumbang, semut, tungau, dan lalat
TUMPAHAN MINYAK (OIL SPILL)
A. Informasi
Oil Spill atau tumpahan minyak merupakan salah satu kejadian pencemaran
laut dapat diakibatkan dari hasil operasi kapal tanker (air ballast), perbaikan
dan perawatan kapal (docking), terminal bongkar muat tengah laut, air bilga
(saluran buangan air, minyak dan pelumas hasil proses mesin), scrapping kapal,
dan yang banyak terjadi adalah kecelakaan/tabrakan kapal tanker.
B. Dampak
1. Kematian organisme, Untuk kasus oil spill di perairan terbuka,
konsentrasi minyak di bawah slick biasanya sangat rendah, dan
maksimum akan berada pada kisaran 0.1 ppm sehingga tidak
menyebabkan kematian massal organisme terutama ikan-ikan.
Permasalahannya, kebanyakan kasus tumpahan minyak ini terjadi di
perairan pantai atau perairan dalam. Resiko kematian massal akan lebih
besar lagi bagi ikan-ikan di tambak ataupun keramba serta jenis kerang-
kerangan yang kemampuan migrasi untuk menghindari spill tersebut
sangat rendah.
2. Perubahan reproduksi dan tingkah laku organisme, Uji laboratorium
menunjukkan bahwa reproduksi dan tingkah lau organisme ikan dan
kerang-kerangan dipengaruhi oleh konsentrasi minyak di air. Banyak jenis
udang dan kepiting membangun sistem penciuman yang tajam untuk
mengarahkan banyak aktifitasnya, akibatnya eksposur terhadap bahan
B3 menyebabkan udang dan kepiting mengalami gangguan di dalam
tingkah lakunya seperti kemampuan mencari, memakan dan kawin.
3. Dampak terhadap plankton, Limbah B3 ini akan berdampak langsung
pada organisme khususya pada saat masih dalam fase telur dan larva.
Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika spillage bertepatan dengan
periode memijah (spawning) dan lokasi yang terkena dampak adalah
daerah nursery ground. Akan lebih parah lagi ketika lokasi yang terkena
oil spill ini merupakan daerah yang tertutup/semi tertutup seperti teluk
yang tercemar.
4. Dampak terhadap ikan migrasi, Secara umum, ikan dapat menghindari
bahan pencemar, namun uniknya ada beberapa jenis ikan yang bersifat
territorial, artinya ikan tersebut harus kembali ke daerah asal untuk
mencari makan dan berkembang ikan meskipun daerah asalnya telah
terkontaminasi limbah B3.
5. Bau lantung (tainting), Bau lantung ini dapat terjadi pada jenis ikan
keramba dan tambang yang tidak memilki kemamuan bergerak menjauhi
bahan pencemar minyak sehingga menghasilkan bau dan rasa yang tidak
enak pada jaringannya.
6. Dampak pada kegiatan perikanan budidaya, Tumpahan minyak ini akan
berdampak langsung pada kegiatan budidaya, bahan selain organisme
yang akan terkena dampak, peralatan seperti jaring dan temali tidak
dapa digunakan lagi.
7. Kerusakan ekosistem, Ekosistem pesisir dan laut (mangrove, delta
sungai, estuary, lamun, dan terumbu karang) memiliki fungsi dan peran
yang penting secara ekologis. Masuknya limbah B3 pada perairan pesisir
laut ini dapat mengganggu ekosisitem, karena wilayah pesisir tersebut
merupaka daerah perkembangbiakan, penyedia habitat dan makanan
untuk organisme dewasa bagi habitat lain di sekitarnya.
C. Regulasi
Beberapa regulasi yang dipakai dalam penanganan oil spill, adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan
Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut
2. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
54/KEPMEN-KP/2016 tentang Tim Penanggulangan Dampak Tumpahan
Minyak terhadap Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup
D. Penanggulangan
- Menggunakan In-situ burning
In-situ burning аdаlаh pembakaran minyak pada permukaan air sehingga
mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dаrі permukaan laut,
penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut уаng terasosiasi, уаng
dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara іnі membutuhkan
ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau
barrier уаng tahan api.
Bеbеrара kendala dаrі cara іnі аdаlаh pada peristiwa tumpahan besar уаng
memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan
pada ketebalan уаng cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen
minyak уаng mudah terbakar.
Sisi lain, residu pembakara уаng tenggelam dі dasar laut аkаn memberikan
efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api уаng tіdаk
terkontrol.
- Menggunakan teknik memisahkan minyak
Cara kedua уаіtu penyisihan minyak secara mekanis ,Penyisihan minyak secara
mekanis mеlаluі dua tahap уаіtu melokalisir tumpahan dеngаn menggunakan
booms dan melakukan pemindahan minyak kе dalam wadah dеngаn
menggunakan peralatan mekanis уаng disebut skimmer.
Upaya іnі terhitung sulit dan mahal mеѕkірun disebut ѕеbаgаі pemecahan ideal
tеrutаmа untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan
daerah уаng sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya,
keberadaan angin, arus dan gelombang mengakibatkan cara іnі menemui
banyak kendala.
- Menggunakan bioremediasi
Cara ketiga аdаlаh bioremediasi уаіtu mempercepat proses уаng terjadi secara
alami, misalkan dеngаn menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi
sejumlah komponen menjadi produk уаng kurаng berbahaya seperti CO2 , air
dan biomass.
Sеlаіn memiliki dampak lingkunga kecil, cara іnі bіѕа mengurangi dampak
tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara іnі hаnуа bіѕа diterapkan pada
pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tіdаk efektif
untuk diterapkan dі lautan.
- Menggunakan Sorbent
Cara keempat dеngаn menggunakan sorbent уаng bіѕа menyisihkan minyak
mеlаluі mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent)
dan absorpsi (penyerapan minyak kе dalam sorbent).
Cara kerja dari Sorbent іnі adalah perubahan kimia dimana Sorben berfungsi
mengubah fasa minyak dаrі cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan
dan disisihkan. Walaupun minyak sudah padat tetapi masih di atas permukaan
air laut.
Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah
disebarkan dі permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang.
Ada 3 jenis sorbent уаіtu
- Sorbent organik alami berasal dari bahan alami seperti kapas, jerami, rumput
kering, serbuk gergaji
- Sorbent anorganik alami berasala dari alam tetapi hanya sifatnya yang
berbeda dengan organik bahan ini seperti lempung, vermiculite, pasir
- Sorbent sintetis berasal dari bahan pabrikan seperti busa poliuretan,
polietilen, polipropilen dan serat nilon.
- Menggunakan dispersan kimiawi
Cara kelima dеngаn menggunakan dispersan kimiawi уаіtu dеngаn memecah
lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi
kemungkinan terperangkapnya hewan kе dalam tumpahan.
Pencemaran pestisida
Dampak lingkungan dari pestisida bersifat baik maupun buruk. Pestisida
berdampak baik pada peningkatan hasil pertanian, tetapi juga berdampak
buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Lebih dari 98% insektisida dan
95% herbisida menjangkau tempat selain yang seharusnya menjadi target,
termasuk spesies non-target, perairan, udara, makanan, dan sedimen.[1]
Pestisida dapat menjangkau dan mengkontaminasi lahan dan perairan ketika
disemprot secara aerial, dibiarkan mengalir dari permukaan ladang, atau
dibiarkan menguap dari lokasi produksi dan penyimpanan.[2] Penggunaan
pestisida berlebih justru akan menjadikan hama dan gulma resistan terhadap
pestisida.
Sejarah
Kepedulian terhadap ekotoksikologi mulai muncul ketika terjadi kasus
keracunan akut di akhir abad ke 19 melalui tulisan Rachel Carson, Silen Spring
yang menggambarkan dampak pada lingkungan yang tidak menyenangkan
akibat bahan kimia. Tidak lama setelah itu, DDT digunakan untuk melawan
malaria di negara miskin dan negara berkembang namun menyebabkan
dampak terhadap satwa burung di tingkat populasi. Studi lalu dilakukan di
negara maju untuk memahami dampak mematikan dari pestisida terutama
pada burung dan ikan.[3]
Persebaran di udara
Terdapat empat jalur utama bagi pestisida untuk mencapai perairan: terbang
ke area di luar yang disemprotkan, melalui perkolasi menuju ke dalam tanah,
dibawa oleh aliran air permukaan, atau ditumpahkan secara sengaja maupun
tidak.[14] Pestisida juga bergerak di perairan bersama dengan erosi tanah.[15]
Faktor yang mempengaruhi kemampuan pestisida dalam mengkontaminasi
perairan mencakup tingkat kelarutan, jarak pengaplikasian pestisida dari badan
air, cuaca, jenis tanah, keberadaan tanaman di sekitar, dan metode yang
digunakan dalam mengaplikasikannya.[16] Fraksi halus sedimen penyusun
dasar perairan juga berperan dalam persebaran pestisida DDT dan turunannya.
[17]
Persebaran di tanah
Berbagai senyawa kimia yang digunakan sebagai pestisida merupakan bahan
pencemar tanah yang persisten, yang dapat bertahan selama beberapa
dekade.[19] Penggunaan pestisida mengurangi keragaman hayati secara umum
di tanah. Tanah yang tidak disemprot pestisida diketahui memiliki kualitas yang
lebih baik,[20] dan mengandung kadar organik yang lebih tinggi sehingga
meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air.[11] Hal ini diketahui
memiliki dampak positif terhadap hasil pertanian di musim kering. Telah
diketahui bahwa pertanian organik menghasilkan 20-40% lebih banyak
dibandingkan pertanian konvensional ketika musim kering berlangsung.[21]
Kadar organik yang rendah juga meningkatkan kemungkinan pestisida
meninggalkan lahan dan menuju perairan, karena bahan organik tanah mampu
mengikat pestisida. Bahan organik tanah juga bisa mempercepat proses
pelapukan bahan kimia pestisida.[11]
Dampak-dampaknya
Manusia & pertaniannya
Tumbuhan
Di sisi lain, pestisida juga memiliki dampak langsung yang merugikan bagi
tumbuhan, seperti rendahnya pertumbuhan rambut akar, penguningan tunas,
dan terhambatnya pertumbuhan.[31]
Burung
United States Fish and Wildlife Service memperkirakan 72 juta burung di
Amerika Serikat terbunuh karena pestisida setiap tahunnya.[32] Burung
pemangsa merupakan hewan yang terdampak secara tidak langsung karena
berada di puncak rantai makanan; residu pestisida terus terakumulasi dari satu
tingkatan predatori ke tingkatan berikutnya. Di Inggris, populasi sepuluh
spesies burung berkurang hingga 10 juta ekor sejak tahun 1979 hingga 1999,
sebuah fenomena yang diperkirakan akibat hilangnya keanekaragaman hayati
tanaman dan inverteberata yang menjadi makanan burung tersebut.[33] Di
seluruh Eropa, 116 spesies burung saat ini dalam status terancam.[33]
Pengurangan populasi burung diketahui terkait dengan waktu dan tempat di
mana pestisida tersebut digunakan.[33] Pestisida DDE diketahui menyebabkan
penipisan cangkang telur pada burung di Amerika Utara dan Eropa.[34]
Fungisida yang digunakan pada usaha budi daya kacang tanah diketahui dapat
membunuh cacing tanah, sehingga mengancam keberadaan burung dan
mamalia yang memangsa mereka.[8] Beberapa pestisida tersedia dalam wujud
butiran, sehingga burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut
karena disangka sebagai biji-bijian.[8] Herbisida ketika mengalami kontak
dengan telur burung, akan mengakibatkan pertumbuhan embrio yang
abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.[8] Herbisida juga
dapat mengurangi populasi burung karena begitu banyaknya tumbuhan
penunjang habitat mereka yang mati.[8]
Amfibi
Pada beberapa dekade yang lalu, penurunan populasi amfibi terjadi di seluruh
dunia, karena alasan yang tak bisa dijelaskan yang bervariasi tapi beberapa
pestisida kemungkinan ikut menjadi penyebab.[35]
Kehidupan akuatik
limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai atau sisa dari usaha
kegiatan manusia yang berdampak negatif terhadap manusia dan
lingkungan jika tidak dikelola dengan baik