Anda di halaman 1dari 27

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umbi Ganyong (Canna edulis Ker)

Ganyong merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang dimanfaatkan

sebagai bahan pangan sebelum masyarakat mengenal padi dan singkong.

Kandungan gizi tiap 100 gram terdiri dari air 79,9 g, energi 77 kkal, protein 0,6 g,

lemak 0,2 g, karbohidrat 18,4 g, serat 0,8 g, abu 0, 9 g, kalsium 15 mg, fosfor 67

mg, besi 1,0mg, vitamin C 9 mg dan tiamin 0,10 mg (Ashary, 2010), sehingga

ganyong berpotensi sebagai sumber karbohidrat dengan total karbohidrat

mencapai 93,79% berat kering (Harmayani, E dkk., 2011).

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman ganyong

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)

Family : Cannaceae

Spesies : Canna edulis Ker.

Ganyong merupakan tanaman yang memiliki peluang peluang sebagai

sumber pangan alternatif. Tanaman ganyong kaya akan karbohidrat dan sumber

nutrisi lain. Tanman ini merupakan sumber karbohidrat yang setara dengan beras,

ubi jalar, jagung, singkong dan sagu dalam bidang ketahanan pangan. Sifat fisik

dan kimia terutama keseimbangan antara amilosa dan amilopektin sangat baik

berturut-turut 41% dan 53%. (Yulianti dan Erliana, 2012). Ganyong dapat

4
5

dibedakan atas dua jenis, yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Ganyong

merah memiliki warna daun hijau kemerahan, pinggiran daun ungu kemerahan,

tangkai daun dan pelepah daun merah hingga ungu, warna bunga merah, sisik

umbi kecoklatan hingga ungu). Sedangkan, ganyong putih memiliki warna sisik

umbi kecoklatan, warna daun hijau terang, tangkai dan pelepah daun hijau, dan

warna bunga ada dua macam, yaitu kuning dan orange. Kedua jenis ganyong

tersebut memiliki beberapa perbedaan karakter, antara lain tanaman ganyong

merah lebih tinggi, daun lebih panjang dan lebar (Suhartini dan Hadiatmi, 2010).

Ubi ganyong mengandung berbagai nutrisi yang dapat memberi kita

manfaat bagi kesehatan. Kandungan gizi dalam ubi ganyong seperti Vitamin A, C

dan E, beta karoten, magnesium, kalium dan kaya oksidan. Kita bisa menemukan

banyak jenis-jenis ini, tetapi biasanya kita tahu itu adalah oranye, putih, kuning,

merah dan warna ungu. Menurut sebuah artikel yang diterbitkan oleh Potato

North Carolina Sweet Commission, dari 58 jenis sayuran yang diteliti, ditemukan

bahwa ubi ganyong adalah makanan terbaik dalam daftar. Ubi ganyong adalah

makanan dengan rasa manis bebas lemak dan mengandung 76,9% dari nilai harian

vitamin A dan 65% vitamin C dalam satu porsi (sekitar satu cangkir).

Gambar 1. Umbi Ganyong (Tyas, 2014)

Tanaman ganyong akan tetap berwarna hijau saat umbinya belum dewasa.

Bila umbi telah cukup dewasa, daun dan batang mulai mengering, yang terlihat
6

seakan-akan bahwa tanaman mati, padahal tidak. Karena bila hujan tiba maka

rimpang atau umbi akan bertunas dan membentuk tanaman lagi. Tinggi tanaman

ganyong antara 0.9 – 1,8 meter. Di daerah Jawa, tinggi tanaman ganyong

umumnya 1,35 – 1,8 meter. Umumnya jangka waktu yang dibutuhkan tanaman

ganyong untuk siap panen dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Didataran tinggi

pada umur 6-8 bulan setelah penanaman biasanya umbi sudah siap panen. Hasil

panen ini belum dapat diambil patinya, tapi hanya untuk bahan makanan

sampingan seperti direbus. Pati yang hasilnya tinggi diperoleh dari umbi berumur

15-18 bulan. Di dataran rendah, kandungan patinya mencapai puncaknya pada

umur 12 bulan dan menurun dengan bertambahnya usia. Tanda yang mudah

dikenali kalau umbi telah masak adalah mengeringnya batang dan daun. Cara

panen dapat dilakukan dengan pencabutan jika batang tanamannya belum rapuh.

Jika sudah rapuh, panen dilakukan dengan cara mendongkel. (Koswara, 2006).

Umbi ganyong memiliki kandungan gizi yang berpotensi untuk dijadikan

sumber pangan alternatif pengganti beras karena tiap 100 gram terdiri dari kalori

95 kkal, protein 1 g, lemak 0.11 g, karbohidrat 22.60 g, kalsium 21 g, fosfor 70 g,

zat besi 1.90 mg, vitamin B1 0.10 mg, vitamin C 10 mg, air 75 g (Noriko dan

Risa, 2013). Umbi ganyong yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia

memiliki rata-rata kandungan karbohidrat, pati, dan amilosa berturut-turut adalah

78.9%, 26.5%, dan 35.1% (Richana dan Sunarti, 2004 dalam Astuti dan Rifda,

2011). Dalam pengujian secara in vitro dari ekstrak ganyong menggambarkan

adanya tingkat polifenol, flavonoid, dan antioksidan yang tinggi (Mishra et al.,

2011).
7

Berdasarkan hasil penelitian Widowati (2001) ganyong dapat diolah

menjadi produk antara dalam bentuk tepung dan pati ganyong. Apabila dianalisa

ternyata pati ganyong memilki komposisi gizi karbohidrat 84,34 %, protein 0,44

%, lemak 6, 43 %, serat kasar, 0,040%, amilosa 28%, air 7,42%, abu 1,37%.

Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Sri Nurmala (2005) dalam bentuk

beberapa produk pangan seperti kue kering, cake dan kerupuk. Dalam rangka

ketahanan pangan non beras, maka wujud pemanfaatannya perlu dikembangkan

lagi dengan mengolah ganyong dan serealia umbi-umbian lainnya menjadi

berbagai bentuk awetan yang memiliki rasa khas dan tahan lama disimpan.

2.2 Pati

Pati merupakan salah satu bentuk utama dari karbohidrat dalam makanan.

Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan

ikatan -glikosidik. Oleh karena itu, pati disebut juga karbohidrat kompleks. Pati

alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Butiran

pati mengandung amilosa berkisar antara 15–30%, sedangkan amilopektin

berkisar antara 70–85%. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan

berpengaruh pada sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati (BeMiller &

Whistler 2009).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat

pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai

molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yaang dapat dipisahkan dengan air panas,

fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Hee-

Joung An, 2005). Pati yang merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan,

adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman,


8

berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi.

Pati merupakan polisakarida yang tidak mempunyai rasa manis, dan merupakan

jenis karbohidrat yang paling sering digunakan sebagai sumber energi dalam

bentuk makanan pokok serta dalam bentuk makanan lain (Sajilata et al., 2006)

Struktur molekul pati dapat dilihat pada Gambar 2..

Gambar 2. Struktur molekul pati (Anonim, 2009)

Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena memiliki bentuk,

ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringent yang unik. Granula pati memiliki

sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat

kristal gelap dan terang, inilah yang disebut sifat birefringent. Granula pati yang

telah menyerap air, apabila dipanaskan akan mengalami pembengkakan yang pada

suhu tertentu bersifat irreversibel. Perubahan ini disebut proses gelatinisasi, dan

suhu saat terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi yang berbeda-beda pada

setiap jenis pati. Pada saat tergelatinisasi, sifat birefringent pati akan hilang. Pati

tergelatinisasi yang kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal

kembali, proses ini disebut retrogradasi (BeMiller and Whistler, 2009). Didalam

pati tersusun atas dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam

komposisi yang berbeda-beda. Dua fraksi ini dapat dipisahkan dengan air panas.

Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin.
9

Secara struktur amilosa mempunyai struktur lurus, sedang amilopektin bercabang

(Dian, 2010).

Menurut Smietana dan Wronkowska (2004), pati digolongkan menjadi

empat berdasarkan tingkat daya cernanya, kecepatan pelepasan molekul glukosa

saat terhidrolisa serta tingkat daya serap pati di dalam usus halus, yaitu:

a. Pati cepat tercerna (Readily Digestible Starch/RDS), secara cepat

meningkatkan kadar glukosadan hormone insulin dalam darah setelah makanan

tersebut dikonsumsi. Makanan seperti ini memiliki indeks glikemik yang tinggi

(Chung, 2005). Makanan yang mengandung pati ini akan dicerna tidak lebih

dari 20 menit (Smietana dan Wronkowska, 2004).

b. Pati lambat tercerna (Slowly Digestible Starch/SDS), pati ini membutuhkan

waktu yang lama untuk dicerna yaitu sekitar 3 jam (Smietana dan

Wronkowska, 2004), pelepasan glukosa lebih lambat, serta mencegah

terjadinya hiperglikemik (Chung et al., 2005).

c. Pati yang tahan degradasi oleh enzim amylase (Resistant Starch/RS), pati ini

lebih tahan terhadap hidrolisa asam, pati ini membutuhka waktu lebih dari 3

sampai 6 jam untuk dirombak (Smietana dan Wronkowska, 2004).

d. Very Resistant Starch (VRS), pati jenis ini baru akhir-akhir ini diketahui dan

diteliti lebih lanjut. Pati ini tidak dapat tercerna walaupun sudah 24 jam bahkan

lebih, berada di dalam sistem pencernaan (Smietana dan Wronkowska, 2004).

Sifat pati ganyong yang memiliki viskositas tinggi, mudah teretrogradasi

dan membentuk gel pada suhu ruang membatasi penggunaan pati ganyong sebagai

bahan baku pada industri pangan, seperti pangan mudah mengalami pengerasan

pada suhu ruang dan hanya sebagai bahan pembentuk gel. Oleh karena itu, perlu
10

dilakukan modifikasi pati ganyong agar dapat diaplikasikan lebih luas dalam

industri pangan. Penelitian modifikasi pati ganyong yang telah dilakukan hanya

sebatas menghasilkan pati dengan kristalinitas tinggi, sehingga tidak sesuai untuk

diaplikasikan pada pengolahan pangan yang memerlukan daya mengembang

(baking expansion), misalnya produk rerotian. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian untuk menghasilkan pati ganyong dengan struktur granula pati yang

kuat, mengembang, dan stabil selama pengolahan pangan.

2.2.1 Amilosa

Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-(1,4) dari unit

glukosa dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, membentuk

rantai lurus yang umumnya dikatakan sebagai linier dari pati (Hee-Joung An,

2005). Karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan

membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak

melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa membentuk

warna biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi pati (Hee-Joung

An, 2005). Perbedaan antara amilosa dan amilopektin terletak pada pembentukan

percabangan pada struktur linearnya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul

dan pengaturan posisi pada granula pati. Amilosa dan amilopektin berperan dalam

menentukan karakteristik fisik, kimia dan fungsional pati. Amilosa berkontribusi

terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap

pembentukan gel. (Parker, 2003).Struktur rantai amilosa cenderung membentuk

rantai yang linear seperti terlihat pada Gambar 2.3 .


11

Gambar 3. Struktur Amilosa (Chaplin, 2006)

2.2.2 Amilopektin

Sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-

(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya. Setiap

cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa . Selain perbedaan struktur, panjang

rantai polimer, dan jenis ikatannya, amilosa dan amilopektin mempunyai

perbedaan dalam hal penerimaan terhadap iodin. Amilosa akan membentuk

kompleks berwarna biru sedangkan amilopektin membentuk kompleks berwarna

ungu-coklat bila ditambah dengan iodine (Hee-Joung An, 2005).

Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai

lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai

amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat pada

Gambar 2.. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5 % dari seluruh

lkatan yang ada pada amilopektin (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Biasanya

amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap

rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai bervariasi

tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung

sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon ke 6 dari cincin glukosa

(Koswara, 2006).
12

Proporsi amilosa dan amilopektin dari berbagai sumber pati berbeda-beda

demikian juga dengan bentuk dan ukuran granula yang disusunnya. Umumnya

pati memiliki proporsi amilopektin yang jauh lebih besar jika dibandingkan

dengan amilosa. Kandungan amilosa pada kebanyakan sumber pati biasanya

berkisar antara 20-30% dan amilopektin 70-80% (Chaplin, 2006). Dalam produk

makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing)

dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya

tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan

kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal,

karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee- Joung An, 2005 dalam

Pudjihastuti, 2010).

Gambar 4. Struktur Amilopektin (Chaplin, 2006)

Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin ini tersusun dalam

suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16,

ada yang merupakan cincin lapisan amorf dan cincin yang merupakan lapisan

semikristal. Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula pati

letaknya tidak pada satu tempat, tergantung dari jenis pati. Secara umum amilosa
13

terletak diantara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-

seling diantara daerah amorf dan kristal (Hustiany, 2006).

2.2.3 Pati Ganyong (Canna edulis Ker)

Berdasarkan hasil penelitian Widowati (2009) ganyong dapat diolah

menjadi produk antara dalam bentuk tepung dan pati ganyong. Apabila dianalisa

ternyata pati ganyong memilki komposisi gizi karbohidrat 84,34 %, protein 0,44

%, lemak 6,43 %, serat kasar, 0,040%, amilosa 28%, air 7,42%, abu 1,37%.

Wujud lain dari ganyong ini ternyata dapat meningkatkan nilai ekonomisnya

menjadi 10 kali lipat dari harga umbi segar yang hanya Rp 300/kg. Berdasarkan

hasil rendemen, maka ganyong lebih prospektif untuk dikembangkan untuk

produk pati. Suweg dan gembili mempunyai prospek untuk produk tepung

maupun pati sedangkan umbi kelapa untuk tepung. Ditinjau dari sifat fisiko

kimianya ganyong dan suweg mempunyai amilosa rendah (18,6% dan 19,2%),

sehingga baik dikembangkan untuk bahan pengental maupun pengisi. Kadar pati

pada tepung ganyong 40,18% dan tepung pati 55,32% (Richana, 2004). Ganyong

(Canna discolor L. Syn. C edulis, suku kana-kanaan atau Cannaceate) memiliki

kandungan pati lebih tingi (mencapai 30-40%) dibandingkan dengan ubi (hanya

sekitar 20%) (Kurniawan, 2011)

Tepung ganyong sangat mudah dicerna dan memiliki karakteristik yang

cukup baik untuk dikembangkan dalam industri bakery. Ganyong memiliki tekstur

dan rasa mirip umbi jalar. Hanya, kelemahan ganyong jika dikonsumsi langsung

adalah banyaknya kandungan serat di dalamnya, sedang bentuk patinya akan

membentuk gel ketika dimasak. Beberapa uji coba sudah membuktikan bahwa

untuk produksi cookies, tepung ganyong dapat diandalkan sebagai pengganti


14

tepung terigu, hingga 100%. Pada pembuatan cookies, jumlah pati ganyong yang

diperlukan bahkan hanya 1/3 dari jumlah terigu yang biasa dipakai. Sedangkan

dalam pembuatan biskuit dapat dilakukan dengan mencampur 50% tepung atau

pati ganyong dan 50% tepung terigu. Kajian tentang sifat-sifat fisiko kimia

menunjukkan bahwa pati ganyong memiliki potensi yang bagus untuk produk

bakery karena memiliki viskositas yang tinggi, gel yang kuat dan tinggi

kandungan fosfornya. Produk bakery yang dibuat dari pati ganyong lebih cerah,

lebih crispy dan lebih berasa dibandingkan yang dibuat dari gandum. Kelebihan

ganyong dibandingkan dengan gandum adalah ganyong bebas gluten. Gluten

merupakan salah satu substansi yang banyak dijumpai di tepung terutama

gandum. Pati ganyong termodifikasi ini memiliki sifat yang beda dengan yang

bentuk alaminya, yaitu mudah larut dalam air dingin. (Hidayat,Nur, 2013).

Piyachomkwan dkk., (2002) membandingkan sifat-sifat pati ganyong

dengan pati singkong. Pati ganyong mempunyai ukuran granula yang lebih besar,

viskositas puncak pada pati ganyong lebih tinggi, namun pasta pati ganyong lebih

stabil dan bila didinginkan mengalami peningkatan viskositas. Gelatinisasi pati

ganyong juga cepat membentuk gel yang lebih baik bila didinginkan. Tanaman

ganyong tumbuh baik di dataran rendah maupun tinggi. Tumbuhan ini tahan

beragam penyakit dan bisa ditanam di daerah perkebunan atau kehutanan. Oleh

sebab itu, tanaman ini mudah dibudidayakan di Indonesia (Drajat, 2008).

2.3 Pati Termodifikasi

Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat

suatu reaksi kimia atau dengan mengganggu struktur asalnya. Pati diberi

perlakuan tertentu dengan tujuan menghasilkan sifat yang lebih baik untuk
15

memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya

atau sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali,

zat oksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru

atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Pati dapat dimodifikasi

melalui cara hidrolisis, oksidasi, cross-linking atau cross bonding dan subtitusi

(Koswara, 2006).

Sifat-sifat penting yang diinginkan dari pati termodifikasi (yang tidak

dimiliki oleh pati alam) diantaranya adalah: kecerahannya lebih tinggi (pati lebih

putih), retrogradasi yang rendah, kekentalannya lebih rendah, gel yang terbentuk

lebih jernih, tekstur gel yang dibentuk lebih lembek, kekuatan regang yang

rendah, granula pati lebih mudah pecah, waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih

tinggi, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah lebih rendah (Jane, 1995).

Pati alami dapat dimodifikasi sehingga mempunyai sifat-sifat yang diinginkan

seperti di atas. Modifikasi disini dimaksudkan sebagai perubahan struktur molekul

dari yang dapat dilakukan secara kimia, fisik maupun enzimatis (James N.

BeMiller dkk., 2009). Pati alami dapat dibuat menjadi pati termodifikasi atau

modified starch, dengan sifat-sifat yang dikehendaki atau sesuai dengan

kebutuhan (Sangseethong dkk., 2009). Pati termodifikasi banyak digunakan dalam

pembuatan salad cream, mayonaise, saus kental, jeli marmable, produk-produk

konfeksioneri (permen, coklat dan lain-lain), breaded food, lemon curd, pengganti

gum arab dan lain-lain (Koswara, 2006).

2.3.1 Metode Pati Termodifikasi

Dewasa ini metode yang banyak digunakan untuk memodifikasi pati

adalah modifikasi dengan asam, modifikasi dengan enzim, modifikasi dengan


16

oksidasi dan modifikasi ikatan silang (Klanarong Sriroth dkk., 2002; Miyazakia

dkk., 2006). Setiap metode modifikasi tersebut menghasilkan pati termodifikasi

dengan sifat yang berbeda-beda.

2.3.1.1 Fisik

Menurut Manuel (1996) perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter

fisik pati disebabkan adanya hubungan antara faktor berikut, yaitu: (i) terjadinya

perubahan struktur pada area berkristal dan area tak beraturan pada granula pati,

serta (ii) terjadinya modifikasi fisik pada bagian permukaan granula pati selama

proses HMT berlangsung. Modifikasi pati dengan teknik HMT dapat merusak

bentuk granula pati hingga terbentuk lubang di bagian permukaannya. Proses

pemanasan pati dan keberadaan air saat HMT berlangsung mengakibatkan area

amosphous pati mengembang, kemudian menekan keluar area berkristal sehingga

terjadi kerusakan dan pelelehan area berkristal granula pati, serta menghasilkan

bentuk granula pati yang lebih stabil terhadap panas. Ilustrasi Struktur Granula

Pati dan lapisan-lapisan penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Ilustrasi Struktur Granula Pati (Manuel, 1996)

2.3.1.2 Modifikasi Asam

Dalam penelitian Alsuhendra dan Ridawati (2010) tepung termodifikasi

asam dibuat dengan cara menghidrolisis pati yang terdapat dalam tepung
17

menggunakan asam di bawah suhu gelatinisasi, yaitu pada suhu sekitar 52oC.

Reaksi dasar meliputi pemotongan ikatan α-1,4-glikosidik dari amilosa α-1,6-D-

glikosidik dari amilopektin, sehingga ukuran molekul pati menjadi lebih rendah

dan meningkatkan kecenderungan pasta untuk membentuk gel. Irisan atau tepung

umbi gembili yang diperoleh dari dua metode pengeringan terdahulu ditimbang

sebanyak 50 gram kemudian direndam dalam larutan asam asetat dengan berbagai

konsentrasi (A1: 0,05%; A2: 0,10%; A3: 0,15%) dan lama reaksi (B1: 30 menit;

B2: 60 menit; B3: 90 menit) pada suhu 35oC. Irisan atau endapan suspensi yang

diperoleh dicuci sebanyak 3 kali dan disaring lalu dikeringkan, dihaluskan dan

diayak. Alsuhendra dan Ridawati (2010) juga menyatakan bahwa Perlakuan

modifikasi asam dapat meningkatn kelarutan pada tepung umbi gembili dengan

sangat nyata. Kelarutan tepung yang dimodifikasi asam asetat 0.05% selama 30

menit adalah 79.21%. Terjadinya pemutusan rantai pati oleh asam diduga menjadi

penyebab meningkatnya kelarutan tepung umbi gembili termodifikasi.

Menurut Windrati dkk., (2000), asam dapat menyebabkan terjadinya

hidrolisis rantai pati, sehingga gel yang terbentuk tidak kuat. Sejumlah pati yang

dimodifikasi asam diduga telah terhidrolisis, sehingga proses gelatinisasi terjadi

lebih cepat dan viskositas pasta pati juga akan turun karena terjadi hidrolisis

pengenceran pada pati. Berdasarkan penelitian terdahulu pada pati sagu dengan

menggunakan asam asetat dapat meningkatkan karakteristik dari pati sagu seperti

swelling power (10,1468 g/g menjadi 36,6066 g/g), solubility (15,7555% menjadi

33,1876), dan freeze thaw stability (1,6973 menjadi 1,3847%). (Teja W dkk.,

2009). Ninin (2010) melaporkan bahwa modifikasi pati jagung dengan proses

asetilasi asam asetat mendapatkan perlakuan terbaik terdapat pada konsentrasi


18

asam asetat 2 % dan lama perendaman 105 menit, dengan kadar air pati 11.625 %,

kekuatan pembengkakan 12.62 %, kelarutan 28 %, viskositas 71,5 cps dan

ketahanan pati 42,5 cps.

2.3.1.3 Enzim

Modifikasi pada pati juga dapat dilakukan dengan hidrolisis enzim.

Hidrolisis pati dengan metode enzimatis. Pada modifikasi pati dengan metode

enzimatis ini dapat dilakukan dengan berbagai tahapan yaitu likuifaksi,

sakarifikasi dan isomerisasi. Langkah yang pertama adalah likuefaksi 30-40%

suspensi padatan untuk menghasilkan maltodekstrin dengan menggunakan enzim

α-amilase. Setelah likuifaksi dilakukan sakarifikasi menggunakan enzim

glukoamilase atau pullulanase untuk menghasilkan sirup glukosa atau sirup

maltosa. Hasil sakarifikasi dilakukan isomerisasi dengan enzim glukosa isomerase

untuk menghasilkan sirup fruktosa. Hidrolisis dengan enzim dapat menghasilkan

beberapa produk hidrolisat pati dengan sifat-sifat tertentu yang didasarkan pada

nilai DE (ekuivalen dekstrosa). Nilai DE 100 adalah murni dekstrosa sedangkan

nilai DE 0 adalah pati alami. Hidrolisat dengan nilai DE 50 adalah maltosa, nilai

DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, sedangkan hidrolisat dengan DE berkisar

antara 20-100 adalah sirup glukosa. Beberapa jenis enzim yang sering digunakan

dalam menghidrolisis pati yaitu: α-amilase, β-amilase, pullunase, dan

amiloglukosidase (AMG) yang memiliki karakteristik yang berbedabeda satu-

sama lainnya (Bastian, 2012).

Dalam proses hidrolisis pati secara enzimatis, terdapat beberapa enzim

penghidrolisis pati yang bekerja spesifik yaitu ikatan glikosidik yang diputus, pola

pemutusan, aktivitasnya dan spesifitas substrat serta produk yang dihasilkan.


19

Tingginya keragaman jenis pati dan spesifiknya kerja enzim penghidrolisis pati,

maka produk yang dibentuk akan mempunyai komposisi karbohidrat yang

beragam (Bastian, 2012).

Hal-hal yang mempengaruhi hidrolisa enzim antara lain konsentrasi asam,

temperatur, dan waktu pemasakan (O.S Azeez, 2002). Hidrolisis disini adalah

dengan memecah rantai pada pati baik amilosa maupun amilopektin. Enzim yang

memecah yaitu α - amilase. terdapat pada tanaman, jaringan mamalia, jaringan

mikroba. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis. Laju

hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis

akan lebih cepat pada rantai lurus. Hidrolisis amilosa lebih cepat dibanding

hidrolisis terhadap amilopektin (Niba L.L dkk., 2002). Cara kerja enzim α -

amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : pertama, degradasi amilosa menjadi

maltosa dan amiltrotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat

cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula. Kedua, relatif

sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan

caranya tidak acak. Keduanya merupakan kerja enzim α - amilase pada molekul

amilosa (Koswara, 2006).

2.4 Asam Asetat

Nama asam asetat berasal dari kata Latin asetum, “vinegar”. Asam asetat,

asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang

merupakan asam karboksilat yang paling penting di perdagangan, industri, dan

laboraturium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.

Asam cuka memiliki rumus kimia CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H.

Struktur Asam Asetat :


20

Gambar 6. Struktur Asam Asetat

Bentuk murni dari asam asetat ialah asam asetat glacial. Asam asetat

glasial mempunyai ciri-ciri tidak berwarna, mudah terbakar (titik beku 17°C dan

titik didih 118°C) dengan bau menyengat, dapat bercampur dengan air dan banyak

pelarut organik. Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat glacial sangat korosif

terhadap kulit dan jaringan lain suatu molekul asam asetat mengandung gugus –

OH dan dengan sendirinya dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Karena

adanya ikatan hidrogen ini, maka asam asetat yang mengandung atom karbon satu

sampai empat dan dapat bercampur dengan air (Hewitt, 2003). Asam asetat

merupakan asam lemah yang terionisasi sebagian dalam air, walaupun demikian,

keasaman asam asetat tetap lebih tinggi dibanding dengan keasaman air (Kohar,

2004).

Tabel 1. Jumlah Maskimal Asam Organik yang dapat dimakan per hari oleh
manusia

Asam Organik Batasan (mg/kg Berat Badan)


Asam asetat Tidak terbatas
Sodioum diasetat 0-15
Asam fumarat 0-6
Asam laktat Tidak terbatas
Asam propionat Tidak terbatas
Asam tartarat 0-30
Sumber : Doores, Organic Acid, Antimicrobials in Foods. 1993
21

2.5 Cookies

Menurut SNI 2973:2011,biskuit adalah produk makanan kering yang

dibuat dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu,

lemak, dan dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar

terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan

makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan biskuit dibagi menjadi

4 jenis, antara lain:

1. Biskuit keras

Biskuit keras adalah jenisbiskuit yang dibuat dari adonan keras berbentuk

pipih, bila dipatahkan penampang potongnya bertekstur padat dapat berkadar

lemak tinggi atau rendah.

2. Crackers

Crackers adalah jenis biskuit yang dalam pembuatannya memerlukan

proses fermentasi atau tidak, serta melalui proses aminasi sehingga menghasilkan

bentuk pipih dan apabila dipatahkan penampangnya tampak berlapis-lapis.

3. Cookies

Cookies adalah jenisbiskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar

lemak, tinggi, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongnya bertekstur

kurang padat.

4. Wafer

Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori–pori kasar

dan bila dipatahkan penampangnya tampaknya berlapis-lapis.


22

5. Pai

Pai merupakan jenisbiskuit berserpih (flaky) yang dibuat dari adonan

dilapis dengan lemak padat, apabila dipatahkan penampangnya tampak berlapis-

lapis.

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai mutu serta cara uji

biskuit (SNI 01-2973-1992), biskuit adalah produk pangan yang terbuat dari

bahan tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lainnya, melalui proses

pemanasan dan pencetakan. Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, crackers,

cookies dan wafer keempat jenis biskuit ini tidak sama bentuk dan adonan

pembuatannya. Cookies merupakan sejenis biskuit yang berasal dari adonan

lunak, renyahdan jika dipatahkan bagian penampang potongannyaakan berubah

tekstur menjadi kurang padat. Crackers merupakan salah satu jenis biskuit yang

dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi dengan yeast dan memiliki

struktur yang berlapis-lapis. Wafer adalah jenis biskuit yang berpori-pori kasar,

renyahdan bila dipatahkan penampang potongannya berongga sedangkan biskuit

keras adalah salah satu jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras dengan bentuk

pipih memiliki rasa manis (Manley, 2000)

Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar

lemak tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya

bertekstur kurang padat (Standar Nasional Indonesia, 2011). Cookies pada

umumnya diproduksi dengan menggunakan soft wheat flour yang memiliki

kandungan gluten yang rendah. Karakteristik cookies dibentuk oleh formula yang

tinggi kandungan gula dan sorteningnya, serta rendah kandungan airnya (Kulp

and Ponte, 2000). Semua biskuit tipe cookies termasuk dalam kelompok soft
23

dough yang dibuat dari tepung terigu dengan kandungan protein 8%-9% (Faridah,

2008). Adonan cookies sederhana dibuat dari mentega, tepung dan gula. Bahan-

bahan baku yang digunakan untuk pembuatan cookies secara garis besar bisa

digolongkan menjadi dua kategori, yang pertama adalah bahan-bahan yang

berfungsi sebagai pengikat dan pembentuk struktur cookies, seperti terigu, air,

garam, susu tanpa lemak dan putih telur. Sedangkan golongan kedua adalah

bahan-bahan yang digunakan sebagai pelembut tekstur seperti margarin, gula

(sampai batas tertentu), bahan-bahan pengembang pati (pati jagung, gandum,

tapioka dan sebagainya) serta kuning telur (Hui, 2000).

Menurut (Faridi, 1991 dalam Faridah, 2008), cookies yang sudah diolah

mempunyai kadar air yang rendah, dengan tingkat kekerasan, kerapuhan dan

kerenyahan yang bervariasi. Perbedaan kadar air yang diperoleh cookies akan

menunjukkan pengaruh yang nyata pada berbagai aspek dari pengukuran tekstur

cookies. Tekstur cookies dikatakan rapuh bila dapat dipatahkan dengan mudah

tanpa didahului oleh adanya perubahan bentuk saat diberi tekanan, sedangkan

kerenyahan cookies ditentukan oleh adanya bunyi yang dikeluarkan saat cookies

diberi akan menyebabkan meningkatnya penyebaran cookies.

Menurut Wijaya (2010) cookies adalah produk yang diperoleh dengan

memanggang adonan dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain

dan dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan.

Syarat mutu cookies adalah air maksimum 5%; protein minimum 9%; lemak

minimum 9,5%; karbohidrat minimum 70%; abu maksimum 1,5%; logam

berbahaya negatif; serat kasar maksimum 0,5%; kalori minimum 400 kal/ 100
24

gram; jenis tepung adalah terigu; bau dan rasa normal, tidak tengik dan warnanya

normal.

Tabel 2. Syarat Mutu Cookies sesuai SNI 2973:2011


No. Kriteria Uji Satuan Kadar
1. Keadaan
1.1 Bau Normal
1.2 Rasa
1.3 Warna Normal
1.4 Tekstur Normal
Normal
2. Air % b/b Maks 5
3. Protein % b/b Min 5
4. Abu % b/b Maks 2
5. Bahan Tambahan Makanan
5.1 pewarna Sesuai SNI 022-M
No.722/Men.Kes/Per/IX/88
5.2 Pemanis Tidak boleh ada
6. Cemaran logam
6.1 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10.0
6.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks 0.5
6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40.0
6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0.05
6.5 Arsen (As) mg/kg Maks 0.5
7. Cemaran Makroba
7.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 1.0 x 104
7.2 Coliform APM/g Maks 20
7.3 E.coli APM/g <3
7.4 Salmonella sp. Negative 25 g
7.5 Sthapylococcus arsens Koloni/g Maks 1.0 x 102
7.6 Bacillus cereus Koloni/g Maks 1.0 x 102
7.7 Kapang Koloni/g Maks 2.0 x 102
Sumber : SNI 2973:2011 (2011)
25

2.6 Bahan Baku Pembuatan Cookies

Menurut Faridah (2008) bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies

dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut

(tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih

telur dan cocoa. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak

(shortening), bahan pengembang dan kuning telur.

2.6.1 Gula

Gula merupakan bahan yang dibutuhkan dalam proses pembuatan cookies

untuk memberi rasa manis, renyah dan membentuk pori-pori kecil pada cookies.

Penambahan gula pada cookies akan memperpanjang daya simpan karena bersifat

menyerap air. Penambahan gula harus sesuai dengan takaran resep karena

penambahan gula terlalu banyakmaka cookiesakanmelebar dan cepat gosong saat

dipanggangsedangkan kurang gula akan mengakibatkan cookies berwarna pucat,

matangnya lama, dan aromanya kurang halus. Gula yang sering digunakan dalam

pembuatan cookies adalah gula halus (Sutomo, 2012).

Gula pasir terbuat dari pohon tebu, molekul penyusun tebu ini adalah

sukrosa. Sukrosa merupakan senyawa kimia golongan karbohidrat, memiliki rasa

manis, berwarna putih, bersifat anhidrat. Pada suhu 20°C hanya 66,7% sukrosa

murni yang dapat larut. Bila larutan sukrosa 80% dimasak hingga 109,6°C dan

kemudian didinginkan hingga 20°C, maka 66,7% sukrosa akan terlarut dan 13,3%

terdispersi. Bagian sukrosa yang terdispersi ini akan menyebabkan kristalisasi

pada produk akhir (Suwito, 2013).


26

2.6.2 Telur

Telur pada penambahan cookies memiliki fungsi sebagai pelembut dan

pengikat semua adonan sehingga memberikan rasa yang merata. Telur terdiri dari

dua bagian yaitu bagian putih dan bagian kuning.Putih telur memiliki sifat

mengeraskan adonan sedangkan kuning telur memberi effek empuk, merapuhkan

dan meningkatkan cita rasa. Telur yang biasa digunakan adalah telur ayam (Sufi,

2009).

2.6.3 Susu

Penambahan susu pada adonan akan memberi aroma, memperbaiki

teksturdan memperbaiki warna permukaan cookies. Kandungan laktosa yang ada

dalam susu akan mereduksi protein melalui reaksi maillarddan dengan pemanasan

akan memberikan warna coklat pada permukaan cookies setelah pemanggangan

(Manley, 2000). Susu yang digunakan adalah susu bubuk full cream untuk

memberikan rasa yang lebih gurih, beraroma harum dan bertekstur rapuh

(Sutomo, 2012). Susu yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah susu

bubuk. Susu ini memiliki reaksi mengikat terhadap protein tepung. Dalam

pembuatan cookies susu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma

biskuit serta menambah nilai gizi produk (Faridah, 2008).

2.6.4 Tepung Terigu

Tepung terigu adalah tepung atau bubuk halus yang bersal dari biji gandum

(Tritikum vulgare) dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi, dan roti.

Tepung terigu mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam

menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Kadar protein

ini menentukan elastisitas dan tekstur sehingga penggunaanya disesuaikan dengan


27

jenis dan spesifikasi adonan yang akan dibuat. Kalsifikasi pertama adalah tepung

terigu protein tinggi, yang mengandung kadar protein 11%-13% atau bahkan

lebih. Bila terkena bahan cair maka glutennya akan mengembang dan saling

mengikat dengan kuat membentuk adonan yang sifatnya liat. Kedua, protein

sedang, yang mengandung kadar protein antara 8%-10%, digunakan pada adonan

lembut namun masih bisa mengembang sepeti cake. Tepung terigu jenis ini sangat

fleksibel penggunaannya. Ketiga adalah protein rendah, yang mengandung kadar

proteinsekitar 6%-8%, diperlukan untuk membuat adonan yang bersifat renyah

sangatcocok untuk membuat kue kering (cookies). Terigu ini biasanya disebut

dengan soft wheatatau terigu lunak. Kandungan proteinnya yang rendah

membantu selama proses pencampuran karena lebih mudah menyatu dengan

bahan-bahan lain (Sutomo, 2006).

Tepung terigu adalah bahan utama dalam pembuatan biskuit dan

mempengaruhi proses pembuatan adonan. Fungsi tepung adalah sebagai struktur

biskuit. Sebaiknya dalam pembuatan biskuit menggunakan tepung terigu protein

rendah (8-9%). Jika menggunakan tepung terigu jenis ini akan menghasilkan kue

yang rapuh dan kering merata (Faridah, 2008).

2.6.5 Lemak

Lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah yang berasal

dari lemak susu (butter) atau dari lemak nabati (margarine). Lemak merupakan

salah satu komponen penting dalam pembuatan cookies. Kandungan lemak dalam

adonan cookies merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada variasi

berbagai tipe cookies. Di dalam adonan, lemak memberikan fungsi shortening


28

dan fungsi tesktur sehingga biskuit menjadi lebih lembut. Selain itu, lemak juga

berfungsi sebagai pemberi flavor (Faridah, 2008).

2.7 Proses Pembuatan Cookies

Proses pembuatan cookies meliputi empat tahapan yaitu persiapan,

pencampuran adonan, pencetakan adonan dan pemanggangan (Muchtadi dan

Sugiono, 1992 dalam Rokhmawati, 2006).

2.7.1 Pencampuran

Dalam pembuatan adonan, bahan-bahan di campur jadi satu dan diaduk

dengan tujuan untuk menyeragamkan semua bahan jadi suatu macam yang

membuat adonan jadi elastis (Bloksma, 1971 dalam Rokhmawati, 2006). Pada

pembuatan adonan, bahan pembentuk stuktur (telur dan tepung) diseimbangkan

dengan bahan pengempuk (lemak dan gula), bahan cair (susu, lemak, telur)

diseimbangkan denga bahan kering (tepung). Peningkatan salah satu sumber

pengembang memerlukan penurunan pada bahan yang lain. Peningkatan telur

akan berpengaruh terhadap rasio cairan dan gula, sehingga akan berpengaruh pada

temperature pemanggangan dan stuktur cookies yang terbentuk (Charley, 1970)

Pencampuran bahan–bahan dilakukan untuk membentuk adonan yang

dikehendaki. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah tercapainya

konsistensi adonan sesuai dengan jenis biskuit yang dibuat (Muchtadi, 1992).

2.7.2 Pembuatan Lembaran

Dalam pembentukkan lembaran adonan diharapkan adonan mempunyai

ketebalan yang sama, tidak terdapat lubang dan tepinya rata. Selama pembuatan

lembaran, adonan mengalami penekanan, pelepasan udara, perubahan konsistensi

gluten dan peningkatan densitas (Muchtadi,1992).


29

2.7.3 Pencetakan Adonan

Proses pencetakan adonan dilakukan dengan cara membuat lempengan

adonan dan menekan cetakan cookies diatasnya. Pencetakan bertujuan untuk

memberikan bentuk biskuit sesuai dengan yang diinginkan (Matz, 1968)

2.7.4 Pemanggangan

Desrosier (1977), menyatakan bahwa proses pemanggangan merupakan

aspek kritis karena sangat menentukan kualitas produk. Pada pemanggangan

terjadi reaksi antara lain :

a. Adonan masuk dalam oven, terjadi kontak dengan udara panas sehingga

terbentuk lapisan tipis pada permukaan, terjadi pengembangan cookies 30 %

b. Pengembangan cookies terjadi karena pengaruh fisis sebagai akibat dari panas

terhadap gas, sehingga menaikkan tekanan dan gas terperangkap dalam gluten

c. Pengaruh pemanasan lainnya adalah CO2 yang terlarut dibebaskan akibat

kenaikkan suhu sampai 450C

d. Pada suhu 540C granula bertambah ukurannya, akibatnya terjadi pelepasan air

dari gluten ke dalam system pati. Gelatinisasi terjadi pada suhu sekitar 770C yaitu

awal pecahnya granula pati

e. Jaringan gluten mengalami denaturasi karena pembakaran berlangsung terus.

Dan pengembangan yang terjadi pada permukaan berlangsung sampai pada titik

terdalam, dan pelan-pelan kulit berubah berwarna coklat keemasan disertai aroma

dan tekstur yang menyenangkan

f. Selama pemanggangan terjadi beberapa perubahan yaitu penurunan densitas dan

terbentuknya tekstur porus, penurunan kadar air 1-4 % dan perubahan warna

karena reaksi maillard dan karamelisasi. Selama pemanggangan pati akan


30

mengalami perubahan gelatinisasi dan protein mengalami denaturasi, gas CO2 dan

komponen aroma dibebaskan. Gula dan lemak akan mengalami perubahan

konsistensi. Lepasnya air dan gas dapat menyebabkan pengembangan volume

(Muchtadi, 1992) .

2.7.5 Pendinginan

Pendinginan diperlukan untuk memudahkan pemanggangan, mengeraskan

tekstur, memberi kesempatan kelebihan air untuk menguap. Pendinginan perlu

dilakukan secara bertahap untuk menghindari keretakan produk karena distribusi

air yang belum merata (Muchtadi,1992) .

2.7.6 Pengemasan

Pengemasan bertujuan untuk melindungi dari kerusakan, penyerapan uap

air, mempertahankan cita rasa dan memperbaiki penampakan. Bahan kemasan

yang dapat digunakan adalah kemasan yang kedap udara seperti film fleksibel

(plastik), kertas dan karton, gelas dan kaleng (Muchtadi, 1992).

Anda mungkin juga menyukai