Anda di halaman 1dari 2

[24/5 20.

13] Tika 21: Sejarah Sayyang Pattudduq

Sejarah dimulainya tradisi ini tidak diketahui secara pasti, siapa yang menciptakan atau siapa yang
memulai dan kapan dimulainya. Ada sumber yang mengatakan bahwa Saiyyang Pattudduq sudah ada
sejak abad ke-14, pada masa pemerintahan raja pertama Kerajaan Balanipa, Imanyambungi yang
bergelar Todilaling. Disebutkan bahwa pada masa itu, kuda merupakan satu-satunya alat transportasi
dan masyarakat berinisiatif untuk sekaligus menjadikannya sarana hiburan sehingga lahirlah Sayyang
Pattudduq.

Versi lain mengatakan bahwa Sayyang Pattudduq baru mulai dikembangkan saat Islam menjadi agama
resmi di beberapa kerajaan di tanah Mandar, yaitu pada abad ke-16. Dikisahkan bahwa sejak dahulu
berkuda sudah menjadi tradisi, dan kuda identik dengan kekerasan, kekuasaan, kekuatan dan
kemewahan. Setelah Islam masuk, kuda kemudian dididik, dilatih, sekaligus menjadi alat pendidikan.
Bagi putera bangsawan keterampilan berkuda menjadi sebuah keharusan. Demikian halnya para santri,
kemampuan untuk membuat kuda patuh kepadanya menjadi salah satu tolak ukur keberhasilannya
sebagai santri yang telah menamatkan pengajian. Karenanya para santri melatih dan mendidik kuda
untuk bergerak mengikuti irama rebana ataupun senandung shalawatan. Dari sini Sayyang Pattudduq
mulai berkembang di lingkungan istana dan disakralkan, dan hanya dimainkan pada upacara-upacara
ritual yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Dalam perkembangannya, Sayyang Pattudduq menjadi tradisi untuk merayakan penamatan Al Qur’an.
Seorang anak yang telah khatam bacaan Qur’an akan diupacarakan dengan menunggangi Sayyang
Pattudduq dan diarak keliling kampung untuk disaksikan oleh masyarakat. Sayyang Pattudduq pun
menjadi motivasi bagi anak-anak untuk segera menamatkan Al Qur’an.

Pada masa sekarang, fungsi Sayyang Pattudduq mengalami pergeseran mengikuti zaman. Sayyang
Pattudduq tidak hanya digelar pada penamatan Quran, namun juga digelar untuk penyambutan tamu
kehormatan dan untuk kepentingan atraksi wisata.

Bagaimana Kuda Menari

Dalam atraksi Sayyang Pattudduq, kuda akan bergoyang dan bergerak mengikuti tabuhan rebana. Di atas
punggungnya duduk seorang gadis dengan posisi khusus; salah satu lutut kaki agak ditegakkan dan
tangan ditopangkan di atasnya sambil memegang kipas. Kaki lainnya ditekuk ke belakang dengan lutut
menghadap ke depan.
Selayaknya seorang penari, sang kuda dihias dengan berbagai aksesoris. Demikian pula gadis
penunggangnya yang disebut dengan Pesaweang, berhias dengan pakaian adat khas mandar yaitu Baju
Pokko dan dinaungi dengan payung kehormatan. Pembawa payung disebut dengan Palla’lang. Untuk
penamatan Qur’an, dalam bahasa setempat disebut mappatamma Qur’an, anak yang diupacarakan akan
berada di belakang penunggang atau Pesaweang dengan memakai pakaian haji, atau pakaian khas yang
dikenakan seseorang yang telah bergelar haji. Untuk laki-laki memakai sorban dan perempuan
mengenakan selendang penutup kepala.

[24/5 20.13] Tika 21: Tradisi Sayyang Pattudduq telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Nasional oleh pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2013 dengan
nomor penetapan 201300046 dengan domain seni pertunjukan. Dengan demikian maka tradisi ini telah
menjadi milik rakyat Indonesia dan adalah menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga dan
melestarikannya.

[24/5 20.13] Tika 21: Saat tetabuhan rebana mulai berbunyi sang kuda akan mengehentak-hentakkan
kaki dan mengangguk-anggukkan kepala, dan sesekali mengangkat setengah badannya di udara. Suara
gemerincing dari hiasan kuda berpadu dengan hentakan kaki kuda dan tabuhan rebana, semakin
menambah semangat sang kuda dan penonton yang menyaksikan. Untuk menjaga kestabilan gerakan
kuda, seorang laki-laki bertugas sebagai penuntun kuda sekaligus memberi instruksi kepada kuda, dan
disebut Sawi. Empat orang sebagai pendamping yang disebut Passarung, masing-masing dua orang di
samping kanan dan kiri kuda bertugas menjaga kestabilan gadis penunggang. Pengiring musik yaitu
kelompok rebana disebut Parrawana, berada di bagian depan bersama seorang Pangkalindaqdaq atau
pelantun syair Mandar. Sesekali suara tabuhan akan diselingi dengan syair-syair yang dilantunkan
Pangkalindaqdaq yang berisikan nasehat-nasehat agama, pendidikan dan pantun pergaulan muda-mudi.

Anda mungkin juga menyukai