Anda di halaman 1dari 31

TEKNIK KEJAKSAAN AGUNG DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK

PIDANA KORUPSI INVESTASI DANA PENSIUN (DAPEN) PT

PERTAMINA YANG DILAKUKAN OLEH ES

( Studi di Kejaksaan Agung )

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

HANIFAH ALYA HUSNA

E1A015189

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2019
1

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat

maupun di daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh

masyarakat.1

Pada perkembangan selanjutnya, seringkali akibat dari adanya tindak

pidana korupsi juga akan memicu timbulnya tindak pidana pencucian uang

(money loundering). Pencucian uang (money loundering) tersebut dilakukan

untuk menyembunyikan asal usul uang hasil korupsi agar tidak dapat dilacak

oleh aparat penegak hukum. Sehingga setelah proses pencucian uang tersebut

selesai, maka uang hasil korupsi tersebut secara formil yuridis adalah

merupakan uang yang berasal dari sumber yang sah. Upaya-upaya yang

dilakukan koruptor dengan melakukan pencucian uang (money loundering)

terhadap hasil korupsinya akan semakin membuat panjang jalan yang harus

dilalui oleh penyelidik dan penyidik untuk mengungkap suatu kasus korupsi.

Sebagai negara ketiga paling korup di dunia, Indonesia adalah termasuk

negara yang paling merasakan dampak buruk dari pelaksanaan korupsi.

Riwayat korupsi di Indonesia tampaknya sudah mengakar dan melibatkan

semua kesemua lini kehidupan, tidak saja di lingkungan publik saja tetapi

sudah merasuk ke dalam sektor swasta bahkan Badan Usaha Milik Negara (

BUMN ).

Upaya pemberantasan korupsi adalah merupakan agenda utama yang

harus segera diwujudkan. Agar dapat berjalan efektif, upaya tersebut harus

1
Martiman Prodjohamidjojo. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus
Korupsi. Mandar Maju, Bandung, hlm. 2.
2

bersifat preventif dan represif. Kedua upaya tersebut harus dijalankan secara

baik dan dapat saling sinergis, atau diibaratkan keduanya adalah dua sisi

dalam satu mata uang. Tanpa ada upaya yang sifatnya preventif, maka upaya

yang bersifat represif akan mengalami kegagalan dalam menjalankan

misinya. Demikian juga sebaliknya tanpa hal-hal yang bersifat represif, upaya

preventif hanyalah merupakan omong kosong belaka.

Dalam pelaksanaan upaya yang bersifat represif, sebagaimana halnya

penegakan hukum pidana di Indonesia, dikenal adanya tahapan-tahapan yang

harus dilalui oleh penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya. Tahapan

awal yang harus dilalui oleh penegak hukum adalah tahapan penyelidikan dan

penyidikan. Berdasarkan pasal 1 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah:

“serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menenumukan suatu


peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Sedangkan dalam ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa penyidikan

adalah :

“serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya”.
Subyek (pelaku) dari dua definisi mengenai penyelidikan dan

penyidikan tersebut adalah penyelidik dan penyidik. Pertanyaannya kemudian

adalah siapakah yang disebut dengan penyelidik dan penyidik ? Apabila

hanya mendasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam angka (3) dan (4)
3

pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, maka yang dapat bertindak sebagai penyidik dan

penyelidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi

apabila mencermati penjelasan pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yang menyebutkan adanya pengecualian terhadap

pemberlakuan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

yaitu terhadap pelaksanaan Undang-Undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-

Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dalam tindak

pidana khusus korupsi, selain polisi, jaksa juga berhak untuk bertindak

sebagai penyelidik dan penyidik. Dalam perkembangan selanjutnya,

penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak hanya ditangani oleh

kepolisian dan kejaksaan saja. Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian

penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju

pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak

pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari

adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidannanya. 2

Menarik diteliti adalah adanya kasus dugaan tindak pidana korupsi

yang dilakukan oleh Edward Seky Soeryadjaya, selanjutnya disebut ES,

selaku Direktur Oltus Holding yang merupakan pemegang saham mayoritas

PT Sugih Energy Tbk (SUGI). Kasus tersebut bermula pada 22 Desember

2014 sampai dengan bulan April 2015. Saat itu, Muhammad Helmi,

Presdir Dana Pensiun PT Pertamina, melakukan penempatan investasi dengan

2
Hibnu Nugroho, 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Media Aksara Prima, Jakarta, hlm. 67
4

pembelian saham PT Sugih Energy Tbk (SUGI) total sejumlah 2.004.843.140

lembar senilai 1,4 triliun. Helmi Kamal Lubis dikenalkan dengan ES oleh

Betty Halim selaku Komisaris PT Millenium Dana Sekuritas (MDS) yang

dimana peran Betty Halim sangat berpengaruh terhadap terjadinya tindak

pidana korupsi investasi dana pensiun (dapen) PT Pertamina. Betty halim

mengatur komisi atas transaksi pembelian saham, memindahkan uang ke

rekening lain dan membelanjakan uang untuk kepentingan diluar yang

seharusnya. Kejaksaan menilai investasi itu dilakukan tanpa melakukan

kajian, tidak mengikuti Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Saham

sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Direktur Dana

Pensiun Pertamina, serta tanpa persetujuan dari Direktur Keuangan dan

Investasi sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Presiden Direktur Dana

Pensiun Pertamina. Muhammad Helmi Kamal Lubis merupakan Presiden

Direktur Dana Pensiun Pertamina yang telah dijadikan terdakwa dalam kasus

ini sebelumnya, lalu penetapan ES sebagai tersangka merupakan

pengembangan dari kasus Helmi dan telah ditahan di Rumah Tahanan

(Rutan) Salemba cabang Kejagung.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian dengan judul “Teknik Kejaksaan Agung Dalam

Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Investasi Dana Pensiun (Dapen) PT

Pertamina Yang Dilakukan Oleh ES ( Studi di Kejaksaan Agung )”.


5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat dikemukakan

perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana teknik Kejaksaan Agung dalam pengungkapan tindak pidana

korupsi investasi Dana Pensiun (Dapen) PT Pertamina Tahun Anggaran

2014-2015 yang dilakukan oleh ES?

2. Bagaimana Hambatan yang dihadapi Kejaksaan Agung dalam

pengungkapan tindak pidana korupsi investasi Dana Pensiun (Dapen) PT

Pertamina Tahun Anggaran 2014-2015 yang dilakukan oleh ES?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui teknik Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus

tindak pidana korupsi investasi Dana Pensiun (Dapen) PT Pertamina

Tahun Anggaran 2014-2015 yang dilakukan oleh ES.

2. Untuk mengetahui hambatan Kejaksaan Agung dalam mengungkap

kasus tindak pidana korupsi investasi Dana Pensiun (Dapen) PT

Pertamina Tahun Anggaran 2014-2015 yang dilakukan oleh ES.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan

hukum dalam pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum Acara

Pidana dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan praktis
6

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada mahasiswa untuk mengetahui pengungkapan tindak pidana

korupsi.

E. Kerangka Teori

Hukum acara pidana yang merupakan aturan pelaksana dari hukum

pidana materil mempunyai tujuan dan fungsi, untuk mencari dan

mendapatkan kebenaran materil, untuk menjatuhkan putusan hakim dan

untuk melaksanakan putusan hakim3. Sehingga dengan berjalannya hukum

acara pidana akan menghindari terjadinya perbuatan main hakim sendiri

oleh korban atau masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas

diperlukan alat perlengkapan negara yang diberi wewenang untuk

menangani setiap terjadinya tindak pidana, dan KUHAP menetapkan

penyidik,penuntut umum dan hakim sebagai wakil dari negara untuk

menjalankan hal tersebut. Sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum

pidana akibat terjadinya tindak pidana, penyidik memegang peranan

penting dan secara tegas KUHAP secara tunggal menetapkan Kepolisian

sebagai penyidik.4

Penyidik dituntut agar menguasai segi teknik hukum dan ilmu

bantu lainnya dalam Hukum Acara Pidana untuk memperbaiki teknik

pemeriksaan dengan tujuan meningkatkan keterampilan dan disiplin

hukum demi penerapan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah,

menyatakan bahwa :

3
Yulies Tiena Masriani, 2008. Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
82-83
4
Laden Marpung, 2005. Azas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6
7

“Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan


yang mendukung karena Pelaksanaan penyidikan bertujuan memperoleh
kebenaran yang lengkap. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu
penguasaan beberapa pengetahuan tambahan disamping pengetahuan
tentang hukum pidana dan hukum acara pidana”.5

Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil,

tetapi hukum acara pidana itu barulah bekerja bila ada dugaan telah terjadi

suatu tindak pidana. Setelah itu dimulailah tugas penyidik yang bersifat

represif dengan melakukan penyusutan tentang apakah benar suatu tindak

pidana telah terjadi, guna menetapkan dapat atau tidaknya dilakukan

penyelidikan dan siapa bertanggungjawab atas terjadinya tindak pidana itu.

Bahan-bahan yang diperoleh penyidik dengan beberapa cara merupakan

petunjuk untuk menemukan orang yang melakukan tindak pidana itu.

KUHAP juga tidak memberikan pengertian tentang alat bukti, akan tetapi

dalam Pasal 184 KUHAP, disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:

1. keterangan saksi,
2. keterangan ahli,
3. surat
4. petunjuk dan
5. keterangan terdakwa.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo yang dikutip Setyo Utomo

bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut

stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-

undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa

di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti

yang sah. Jadi bisa dikatakan alat bukti adalah untuk menjerat tersangka

dengan adanya barang bukti yang ditemukan. Pada proses penyelidikan

5
Andi Hamzah, 2003. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm 34
8

dan terdapat beberapa dasar hukum yang berkaitan untuk menjerat

tersangka, dasar hukum tersebut bisa dengan kumulasi maupun berdiri

sendiri.6

Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal

yang menyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan

penyidik ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai

peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka

yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas

akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan menusia yang

memiliki harkat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai

objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana

yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Pemeriksaan

tersebut ditujukan ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh

tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip

hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent) sampai diperoleh

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.7

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-

ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.

Jadi penegakan hukum pada hakikatnya proses dilakukannya upaya

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman pelaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Sistem penegakan hukum pidana adalah

6
Setyo Utomo, 2014, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas
Praduga Tak Bersalah dalam Negara Hukum), PT Sofmedia, Medan, hlm 19
7
M. Yahya Harahap, 2010. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, cet VII, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 110.
9

sistem kekuasaan atau kewenangan menegakan hukum pidana yang

mewujdukan dalam 4 (empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana,

yaitu:

1) Kekuasaan penyidikan ( oleh badan atau lembaga Penyidik)


2) Kekuasaan penuntutan (oleh badan atau lembaga penuntut umum)
3) Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana (oleh
badan atau lembaga peradilan)
Kekuasaan pelaksanaan putusan atau pidana (oleh badan atau aparat

pelaksana)

Keempat tahap atau subsistem itu merupakan suatu kesatuan sistem

penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan sistem

peradilan pidana terpadu.8 Sistem peradilan di Indonesia pada hakikatnya

identik dengan penegakan hukum karena proses peradilan pada hakikatnya

suatu proses penegakan hukum.

Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara

dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.9

Bila berbicara mengenai penegakan hukum, maka tidak akan terlepas

pula untuk berbicara masalah hukum. Dari hal tersebut, maka perlu

dijelaskan pengertian hukum yaitu sebagai suatu sistem kaidah, nilai,

dan pola tingkah laku yang pada hakekatnya merupakan pandangan

8
Barda Nawawi Arief, 2011. Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum dengan Pendekatan
Religius dalam Konteks Siskumas dan Bangkumas, dalam Buku Pendekatan keilmuan dan
pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di
Indonesia, Universitas Diponogoro, Semarang, hlm. 42.
9
Soerjono Soekanto, 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Rajawali Pers, Jakarta, hlm 3
10

10
untuk menilai atau patokan sikap tindak. Penegakan hukum sebagai

suatu bentuk proses untuk mencapai keadilan hukum, kepastian hukum

dan efisiensi sangatlah penting dewasa ini. Bila pengertian hukum

digabungkan dengan keadilan, mungkin orang tidak akan lagi

menyamakan hukum dengan larangan, melainkan akan memandangnya

sebagai bagian dari cita-cita hidup.11

KUHAP menegaskan bahwa proses penegakan hukum pada

umumnya adalah domain subjektif dari para penegak hukum, polisi,

jaksa, dan hakim.12 Pelaksanaan hukum dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari mempunyai makna dan arti yang sangat penting, karena apa

yang menjadi tujuan hukum itu terletak pada pelaksanaan hukum itu

sendiri. Penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses

yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan

instansi atau aparat penegak hukum lainnya (di bidang penegakan

hukum pidana melibatkan aparat penyidik atau kepolisian, aparat

penuntut umum/kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana

pidana).13

Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya ialah

tercapainya kesejahteraan masyarakat baik itu materiil dan spiritual,

maka perbuatan yang tidak dikehendaki ialah perbuatan yang

10
Purnadi Purbacaraka, 2007. Badan Kontak Profesi Hukum Riau, Penegakan Hukum
dalam Mensukseskan Pembangunan. Alumni, Bandung, hlm. 77
11
Widia Edorita, 2010. “Menciptakan Sebuah Sistem Hukum Yang Efektif : Dimana Harus
Di Mulai?” Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Edisi I, No. 1, Agustus 2010,
hlm 83.
12
Erdianto, 2010. “Makelar Kasus/Mafia Hukum, Modus Operandi dan Faktor
Penyebabnya”, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Edisi I, No. 1, Agustus
2010, hlm.29.
13
Barda Nawawi Arief, 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijaksanaan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 4
11

mendatangkan kerugian atas warga masyarakatnya. Kalau apa yang

dikemukakan ini berlaku untuk pembentukan hukum pada umumnya,

lebih perlu lagi mendapat perhatian ialah pembentukan hukum pidana,

karena menyangkut nilai-nilai kehidupan manusia tidak hanya yang

mengenai diri pribadi, rasa, dan kejiwaan seseorang, serta nilai-nilai

masyarakat pada umumnya.14 Sebagai upaya dalam penegakan hukum

agar tercipta tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat

maka perlu adanya peraturan hukum yang jelas.

Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah di dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi, mulai dari pembentukan dan

pembaharuan undang-undang sampai dengan pembentukan Badan atau

Komisi untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, namun

kenyataannya suara sumbang masyarakat tetap bergaung dan sorotan

terhadap pemerintah berlangsung dari waktu ke waktu.15 Upaya

pemerintah tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, justru sebaliknya

malah tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada pemerintah

khususnya kepada penegak hukum, karena dipandang tidak mampu

merespons tuntutan masyarakat. Pembentukan Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun

2002, tidak serta merta dapat melakukan penindakan terhadap tindak

pidana korupsi karena kewenangan tersebut ada pada penyidik dan

14
Sudarto, 1986, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal. 35.
15
Marwan Effendy. 2010. Pemberantasan Korupsi Dan Good Governance. Timpani
,Jakarta, hlm. 2.
12

penuntut umum yang masing-masing diambil dari Kepolisian RI dan

Kejaksaan RI. 16

Pergantian HIR dengan KUHAP telah mengakibatkan terjadinya

perubahan yang fundamental dalam hukum acara pidana. Perubahan

tersebut antara lain di bidang penyidikan, dimana kewenangan penyidikan

yang selama ini berada pada Kejaksaan RI telah beralih kepada Kepolisian

RI kecuali terhadap tindak pidana tertentu. Oleh Pasal 284 ayat (2)

KUHAP masih dipercayakan kepada Kejaksaan RI khususnya penyidikan

terhadap tindak pidana korupsi, yang kemudian ditegaskan melalui Pasal

30 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI.17

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa :

“Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang


melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang”.

Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa kewenangan itu

sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dari ketentuan

undang-undang tersebut dapat dikatakan bahwa Jaksa (Kejaksaan)

berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi. 18

16
Ibid
17
Ibid
18
Ahmad Harmaen. 2013. Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Dalam Tindak Pidana
Korupsi Menurut Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram,
hlm. 5.
13

Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah

dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara tindak

pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka (2 dan 5) Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan pengertian

tentng penyidikan dan penyelidikan. Dari kedua rumusan pengertian

hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya, hanya bersifat

gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi

mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi

berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap

pemeriksaan sidang pengadilan nantinya.19

Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP jo Pasal 284 ayat (2)

KUHAP jo Pasal 7 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP,

terdapat benang merah yang dapat ditarik, meskipun KUHAP menyatakan

dalam Pasal 6 ayat (1) (secara a contrario) bahwa Jaksa bukanlah penyidik,

tetapi KUHAP dalam Pasal 284 ayat (2) jo Pasal 17 PP No. 27 Tahun

1983 tentang Pelaksanaan KUHAP memberikan peluang bagi Jaksa

melakukan penyidikan dengan syarat jika ditunjuk langsung oleh Undang-

undang yang secara khusus mengaturnya. 20

Berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi, maka Undang-

undang tindak pidana korupsi yang berlaku sekarang ini yaitu UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah

19
Yahya Harahap.2012. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan. Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 109.
20
Guse Prajudi, Op-Cit, hlm. 30.
14

dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dalam Pasal 26 menyatakan

bahwa :

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan


terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”.21

Melihat rumusan Pasal 26 ini, maka yang dimaksud dengan

“berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku” adalah UU No. 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dengan penunjukan tersebut, ketentuan KUHAP khususnya ketentuan

dalam Bab XIV, Bab XV dan Bab XVI KUHAP berlaku dalam

pengananan perkara tindak pidana korupsi baik dalam tahapan penyidikan,

penuntutan maupun dalam pemeriksaan di persidangan.22

Dari ketentuan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diperoleh

konstruksi hukum khusus mengenai penyidikan tindak pidana korupsi. UU

No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur secara khusus mengenai

penyidikan, tetapi dinyatakan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan

pada KUHAP, sehingga dengan demikian, ketentuan dalam KUHAP

khususnya Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengikat dan berlaku bagi penyidikan

tindak pidana korupsi. Penunjukan Jaksa sebagai penyidik dalam tindak

21
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, 1999, hlm. 16
22
Guse Prajudi, Loc-Cit, hlm. 31.
15

pidana khusus, penegasannya dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (1) hurub b

KUHAP yang berbunyi :

“Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi


wewenang khusus oleh undang-undang”
Dari makna bunyi Pasal 6 ayat (1) huruf b ini maka, Jaksa diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.23

Rumusan pasal-pasal dalam UU No.30 Tahun 2002 di atas, secara

gramatikal telah menunjukkan kewenangan Jaksa untuk melakukan

penyidikan. Kewenangan menyidik ini berlaku untuk perkara-perkara yang

disidik oleh Kejaksaan baik sesudah maupun sebelum berlakunya UU No.

30 Tahun 2002. Alasannya karena kewenangan Komisi mengambil ailh

penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa tidak ditentukan batasan waktunya

kejadian dan pelaksanaan penyidikan. Kejaksaan berwenang melakukan

penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Kewenangan ini sesuai dengan

ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas dan terkait dengan

alasan-alasan Komisi mengambil alih penyidikan dan penuntutan tindak

pidana korupsi yang sedang dilakukan penyidikan dan penuntutan oleh

Kepolisian atau Kejaksaan. 24

Untuk melihat kewenangan Jaksa melakukan Penyidikan tentunya

harus tetap mengacu kepada ketentuan dalam Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan

bahwa “Dalam hal ditemukannya tindak pidana korupsi yang sangat

23
Yahya Harahap. Op-Cit, hlm. 113.
24
Ibid, hlm. 153.
16

sulit pembuktianya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah

koordinasi Jaksa Agung”. Jika melihat pasal diatas Jaksa Agung dapat

memgkoordinasikan berbagai instansi yang terkait dalam proses

penyidikan.

Sebagai salah satu komponen alat penegak hukum, Kejaksaan

mempunyai peran penting dalam sistem peradilan di Indonesia. Dalam

upaya menjaga tegaknya hukum, Kejaksaan mempunyai karateristik

tersendiri dibandingkan dengan instansi lainnya, dimana jaksa adalah

pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.25

Dalam rangka menunjang dan memberikan landasan hukum dalam

melaksanakan tugasnya, Pemerintah kemudian mengesahkan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI. Dalam Undang-

Undang tersebut telah dibuat stratifikasi Kejaksaan yang terdiri dari:

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri.

Sebagai sebuah organisasi, Kejaksaan tentu tidak terlepas dari

adanya birokrasi. Sistem birokrasi di sini berperan penting karena di

sanalah proses atau alur-alur penanganan tindak pidana korupsi

dilaksanakan. Dalam Keputusan Jaksa Agung No.KEP-

225/A/J.A/05/2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung

No.KEP-115/A/J.A/10/1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata

25
Pasal 1 Ayat (6) butir a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
17

Kerja Kejaksaan RI disebutkan bahwa, untuk menunjang kinerja

kejaksaan maka dibentuklah beberapa seksi yaitu: Sub bagian

Pembinaan, Seksi Intelijen, Seksi Tindak Pidana Umum, Seksi Tindak

Pidana Khusus, Seksi Perdata dan TUN.26 Suatu perkara tindak pidana

korupsi, dalam kejaksaan diperlukan kerjasama antar bagian tersebut.

Tidak mungkin atau bahkan sulit apabila dalam internal kejaksaan

tersebut bekerja sendirisendiri. Dalam lingkup internal kejaksaan,

penanganan perkara korupsi ditangani oleh seksi Tindak Pidana

Khusus.27 Akan tetapi, untuk mendapatkan keterangan awal jelas perlu

kinerja dari seksi lain yakni seksi intelijen. Jadi tidak dapat dipungkiri

bahwa kesatuan pola kerja di dalam internal kejaksaan akan sangat

mempengaruhi pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi. Oleh

karena itu perlu adanya kerjasama antar Seksi di dalam internal

kejaksaan agar dapat menemukan bagaimana cara untuk meningkatkan

dan mengoptimalkan kinerja kejaksaan kedepannya, khususnya di

bagian seksi intelijen.

Dalam proses pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia,

jaksa selaku salah satu lembaga penegak hukum yang diberikan

wewenang oleh undang - undang untuk memberantas dan menyelesaikan

tindak pidana korupsi tersebut, dituntut baik oleh pemerintah dan

masyarakat agar dapat melaksanakan wewenangnya itu secara baik dan

tegas, agar pelaku - pelaku korupsi dapat dihukum sesuai dengan

26
Keputusan Jaksa Agung No.KEP-225/A/J.A/05/2003 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Jaksa Agung No.KEP-115/A/J.A/10/1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia.
27
Ibid, Pasal 667.
18

perbuatannya itu.

Wewenang jaksa dalam penyelesaian tindak pidana korupsi adalah

sebagai penyidik dan penuntut umum. Dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya sebagai penyidik, terdapatlah berbagai hambatan dan

kendala untuk kewenangannya serta proses penyidikan yang dilakukan

oleh jaksa. Adanya berbagai aturan mengenai wewenang lembaga -

lembaga lain untuk melakukan penyidikan pun menjadi kendala karena

membawa kepada tumpang tindih kewenangan serta persepsi yang

berbeda dalam melaksanakan proses penyidikan itu.

Selain itu, jaksa dalam melakukan proses penyidikan memiliki

hambatan dan kendala antara lain sebagai berikut :29

1. Lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga

seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di

bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan

kesaksian.

2. Kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap

berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara.

Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat - pejabat eksekutif dan

legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut

izin pemeriksaan terhadap pejabat - pejabat yang terindikasi korupsi,

kesulitan dalam pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pejabat

pemerintah, contohnya seperti ketentuan :

1) Pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan : “Tindakan


19

penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan atau Wakil

Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari

Presiden atas permintaan penyidik.” Dan apabila persetujuan tertulis

tidak diberikan dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak

diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan

dapat dilakukan. Di samping itu tindakan penyidikan yang dilanjutkan

dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan

ketentuan.30

2) Pasal 53 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004

menetapkan sebagai berikut: “ Tindakan penyidikan terhadap anggota

DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Mentri

Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari

Gubernur atas nama Mendagri bagi anggota DPRD kabupaten/kota Dan

apabila persetujuan tertulis tidak diberikan dalam


20

waktu 60 ( enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan,

proses penyidikan dapat dilakukan”.31

3. Integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan

prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan

penyidikan upaya pemberantasan korupsi

4. Pelaku tindak pidana korupsi umumnya memiliki tingkat pendidikan

yang tinggi, serta umumnya merupakan pejabat pemerintah

sehingga mampu menyembunyikan perbuatannya dan mampu

menyembunyikan barang bukti,

5. Pemanggilan saksi membutuhkan waktu yang lama, dan secara

berulang-ulang karena saksi sering berpindah tempat, atau bahkan telah

berpindah tempat, ataupun keterangan saksi yang berbelit - berlit

6. Sulitnya menemukan barang bukti yang sah menurut hukum, karena

perkara korupsi telah dilakukan dalam kurun waktu yang telah lama

lewat, ataupun bukti surat karena kemungkinan besar surat - surat

yang rahasia itu telah dihilangkan dan dimusnahkan

7. Sulitnya penyidik menemukan harta benda tersangka atau keluarga

yang didapat dari hasil – hasil korupsi, karena harus meminta

keterangan pada bank, yang harus berdasarkan ijin dari Gubernur Bank

Indonesia

8. Masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang

korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun,

disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya

malu.32
21

Profesionalisasi Jaksa dalam pengumpulan bukti-bukti terjadinya kasus

korupsi, haruslah cermat dan kuat secara yuridis tanpa terkontaminasi

aspek lain yang bukan ranah kewenangannya, seorang yang

berpredikat Jaksa dituntut untuk memberikan yang terbaik

kepada bangsa dan Negara sebagai wujud pengabdian.33

Dalam penyidikan tindak pidana korupsi juga mempunyai

faktor-faktor yang menjadi kendala, ternyata mengalami berbagai

kelemahan dan kendala dipandang dari sistem hukum pidana secara

komprehensif. Meliputi :28

1. Lemahnya penerapan hukum sebagai implikasi dari rendahnya

moralitas penegak hukum. Kendala utama penegak hukum

adalah lemahnya penerapan hukum sebagai implikasi dari

rendahnya integritas moral penegak hukum yang tidak konsisten

dengan kaidah UUD 1945,

2. Kontroversi putusan pengadilan kasus KKN. Sebagaimana

dalam praktik penegakkan hukum terhadap pelaku korupsi,

sering kali hasilnya justru melawan rasa keadilan masyarakat

yang dalam evaluasi radikal yang dapat dicermati adanya

gerakan mafia hukum dalam bentuk makelar kasus atau jual beli

perkara dapat menjadi kenyataan hukum dan mempengaruhi

moralitas penegak hukum dalam memberantas korupsi.

3. Tingginya kebocoran uang Negara dari kekayaan Negara. Arah

28
Lintang Tesalonika Natalia Luntungan, Kewenangan

Jaksa Dalam PenyidikanTindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, 2013, hlm 201.
22

atau idealisme penerapan hukum dan moralitas penegak hukum

dalam proses penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi

adalah menyelamatkan keuangan Negara. Menurut Prof.

Dr.Soemitro Djoyoadikoesomo tiap tahun mencapai 30%

bahkan data terakhir menunjukkan bahwa Indonesia tergolong

sebagai Negara terkorup ke enam didunia dan nomor 2 di Asia.

4. Kompleksitas dalam proses penegakkan hukum terhadap tindak

pidana korupsi menjadi kendala dalam rangka upaya

pemberantasan korupsi itu sendiri, oleh karena itu proses

penegakkan hukun tersebut membutuhkan waktu yang cukup

panjang.

5. Kurangnya intensitas pengawasan fungsional

pengungkapan kasus-kasus korupsi. Volume intensitas

pengawasan baik satuan-satuan pengawas internmaupun

institusi pengawas eksteren dipusat maupun di daerah-

daerah selama ini kurang memberikan masukan kepada

aparat (jaksa) penyidik korupsi.

Berdasarkan berbagai hal yang dapat menyebabkan terhambatnya

kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi serta hambatan

dalam proses penyidikan tersebut, dirasa tidak akan mengurangi kepastian

hukum untuk memberantas dan menjerat para pelaku tindak pidana

korupsi. Dan tidak akan mengurangi dan membatasi eksistensi dan

profesionalisasi kewenangan jaksa dalam menangani proses penyidikan

korupsi. Agar negara Indonesia mampu terus berkembang terlepas dari


23

korupsi yang sangat mengancam perekonomian bangsa dan negara,

sehingga akan terciptanya bangsa yang makmur dan taat hukum.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis sosiologis yaitu pendekatan yang menekankan pada pencarian-

pencarian. Yuridis itu sendiri adalah suatu penelitian yang menekankan

pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga sosiologis yaitu berusaha

menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat. Hukum tidak

dimaknai sebagai kaidah-kaidah normatif yang eksistensinya berada secara

ekslusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal, melainkan sebagai

gejala empiris yang teramati di alam pengalaman.

Keajegan-keajegan (regularities) ataupun keseragaman-

keseragaman (uniformaties) dalam gejala empiris tersebut, berkonsekuensi

pada dapat diamatinya hukum, dan melalui proses induksi, pertalian-

pertalian kausalnya dengan gejala-gejala lain non-hukum di dalam

masyarakat akan dapat disimpulkan.29

Dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus pada teknik

pengungkapan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengusaha

Edward Soeryadjaya terkait Investasi Dana Pensiun (Dapen) PT Pertamina

untuk memperoleh kejelasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

di Kejaksaan Agung.

29
Ibid.hlm.76
24

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan

manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan

keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang

berlaku umum. Menurut Bambang Sunggono penelitian deskriptif yaitu:

”penelitian dimana analisis data tidak keluar dari lingkup sample,


bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum
yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau
menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data yang lain”

Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk

memperoleh gambaran tentang teknik pengungkapan tindak pidana

korupsi dan kendala yang dihadapi oleh penyidik Kejaksaan dalam

mengungkap kasus tersebut.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kejaksaan Agung Jl. Sultan Hasanuddin No.1

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

4. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu :

a. Data Primer

Data Primer atau data dasar yang diperoleh langsung dari

masyarakat, dalam hal ini dari informan penelitian, bisa berupa

uraian lisan atau tertulis yang ditunjukkan oleh informan. Data

primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data yang
25

diperoleh dari hasil uraian yang akan diberikan oleh penyidik di

Kejaksaan Agung.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan

kepustakaan. Data sekunder yang digunakan dalm penelitian ini

yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Bambang Sunggono membedakan ketiga data tersebut

yaitu:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat, yang terdiri dari perundang-undangan, bahan hukum

yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, serta bahan

hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab

Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP).

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum

sekunder terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, rancangan

peraturan perundang-undangan, artikel-artikel ilmiah, baik dari

media massa maupun internet.


26

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan

Kamus Hukum.

5. Metode Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil menggunakan purpose sampling, yaitu teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.

Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling

tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa

sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang

diteliti.30 Sampel yang dimaksud adalah penyidik di Kejaksaan Agung.

6. Metode Pengumpulan Data

a. Data primer diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian. Data

primer diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan

observasi.

1) Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu.31

30
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D. CV Alfabeta : Bandung, hlm. 146
31
Lexy J Moleong, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya, hlm.
135.
27

Dalam penelitian ini, teknik wawancara yang dipilih adalah

dalam bentuk “wawancara terstruktur” dan “wawancara tak

terstruktur”. Wawancara terstruktur yaitu menetapkan sendiri

masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sedangkan

wawancara tak terstruktur adalah wawancara dimana peneliti

mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tanpa

terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan

sebelumnya.32 Wawancara dilakukan dengan Penyidik

Kejaksaan Agung.

2) Observasi

Observasi berarti peneliti melihat dan mengamati apa yang

dilakukan atau dikerjakan oleh obyek penelitian dalam teknik

pengungkapan tindak pidana penghinaan lambang negara.

Tujuan dari observasi ini adalah untuk mendiskripsikan kegiatan

yang terjadi, orang yang terlibat dalam kegiatan, waktu kegiatan

dan makna yang diberikan dan diamati tentang suatu peristiwa

yang bersangkutan.

b. Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan

studi dokumen terhadap dokumen peraturan perundang-undangan,

buku-buku literatur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan

dengan obyek atau materi penelitian. Studi pustaka merupakan cara

memperoleh data-data dengan memfokuskan pada data yang ada

32
Lexy, J. Moleong. 2014. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung. Edisi
Revisi PT Rejama Rosdakarya, hlm.72
28

pada pustaka-pustaka baik terorganisir maupun yang tidak. Studi

pustaka dimaksudkan untuk mencari data-data sekunder yang

dibutuhkan guna menjelaskan data-data primer. Sedangkan studi

dokumentasi untuk memperoleh data yang bersifat dokumen-

dokumen resmi baik dari lembaga pemerintah maupun non

pemerintah. Studi dokumen bertujuan menerangkan data primer dan

juga data sekunder.

7. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks naratif,

yaitu menguraikan data secara sistematis, logis dan rasional yang diawali

dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Tujuan penyajian data ini dilakukan agar memudahkan bagi

pembaca secara kronologis memahami isi data yang dapat diungkapkan

melalui penafsiran-penafsiran yang digunakan. Data disajikan dalam

bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional.

Keseluruhan data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dihubungkan

satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang

diteliti sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.


29

DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Effendy, Marwan. 2010. Pemberantasan Korupsi Dan Good Governance.


Timpani. Jakarta

Harahap, Yahya. 2012. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP:


Penyidikan dan Penuntutan,Edisi kedua. Sinar Grafika. Jakarta.

Harmaen, Ahmad. 2013. Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik Dalam Tindak


Pidana Korupsi Menurut Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya. Bandung.

Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di


Indonesia. Media Aksara Prima. Jakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam


Kasus Korupsi. Mandar Maju. Bandung.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R&D. CV Alfabet. Bandung.

Zulkarnain. 2013. Praktek Peradilan Pidana Panduan Praktis Memahami


Peradilan Pidana. Setara Press. Malang

Peraturan Perundang-Undangan :
30

UU No. 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

UU Nomor 8 Tahun 1961 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Anda mungkin juga menyukai