Anda di halaman 1dari 2

Baka Jataka

Dahulu kala, Bodhisatta terlahir di sebuah hutan yang angker sebagai dewa pohon dari sebatang
pohon yang tumbuh dekat sebuah kolam teratai. Saat itu, setiap kali musim panas tiba, air kolam
mengering sehingga yang tersisa hanya sebuah kolam kecil yang dipenuhi oleh sejumlah ikan. Melihat
ikan-ikan tersebut, seekor bangau berkata kepada dirinya, “Saya harus menemukan cara untuk membujuk
dan menyantap ikan-ikan ini.” Maka ia duduk dan berpikir keras di pinggir kolam tersebut.

Saat ikan-ikan melihat keberadaan bangau tersebut, mereka berkata, “Apa yang sedang Anda
pikirkan, Tuan, dengan duduk termenung di sana?” “Saya sedang memikirkan kalian,” jawabnya. “Apa
yang Anda pikirkan tentang kami, Tuan?” “Air di kolam akan semakin kering, makanan semakin sedikit
dan kondisi semakin panas, saya berpikir sendiri, saat duduk di sini, apa yang akan kalian lakukan dengan
berada di sini?” “Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” “Baik, jika kalian mau mendengarkan nasihatku,
saya akan membawa kalian satu per satu dengan menggunakan paruh saya, memindahkan kalian semua
ke sebuah kolam besar yang dipenuhi oleh lima jenis teratai, dan meninggalkan kalian di sana.”
“Tuanku,” kata ikan-ikan itu, “tidak ada bangau yang memikirkan kesejahteraan ikan-ikan, walaupun
sedikit, sejak dunia ini mulai terbentuk. Engkau hanya ingin memangsa kami satu per satu.” “Tidak, saya
tidak akan menyantap kalian jika kalian memercayaiku,” kata bangau tersebut. “Jika kalian tidak percaya
ada kolam seperti apa yang saya katakan, kirimkan seekor ikan untuk ikut denganku dan melihat sendiri
keberadaan kolam itu.” Percaya pada ucapan bangau itu, ikan-ikan itu menyerahkan seekor ikan besar
kepada bangau (sebelah mata ikan ini buta), yang menurut mereka cocok dengan bangau tersebut baik
saat berada di air maupun di darat. Mereka berkata, “Bawalah ikan ini bersamamu.”

Bangau membawa ikan tersebut pergi dan menurunkan ikan tersebut di kolam besar yang
dikatakannya; setelah menunjukkan keseluruhan tempat itu kepada ikan tersebut, bangau membawanya
kembali dan menurunkannya di kolam lama tempat teman-temannya berada. Ikan itu membicarakan
keindahan kolam baru itu kepada teman-temannya. Mendengar hal tersebut, timbullah keinginan mereka
untuk pergi ke sana. Mereka berkata kepada bangau itu, “Baiklah, Tuan, tolong bawa kami
menyeberang.”

Pertama-tama, bangau membawa ikan besar bermata satu itu dan membawanya ke tepi kolam,
sehingga ia bisa melihat kolam tersebut, namun sebenarnya ia hinggap di pohon varaṇa yang tumbuh di
pinggir sungai. Ia melemparkan ikan tersebut ke cabang pohon dan mematuknya hingga mati, setelah itu,
ia mencungkil bersih dagingnya dan membiarkan tulang ikan tersebut jatuh di kaki pohon. Kemudian ia
kembali lagi ke kolam itu dan berkata, “Saya telah membawanya masuk ke dalam kolam. Siapa
berikutnya?” Dengan cara itulah ia membawa ikan itu satu per satu, dan melahap mereka semua hingga
saat terakhir ia kembali, tidak ada satu ikan pun yang terlihat olehnya. Namun masih ada seekor kepiting
di kolam itu. Bangau yang berniat menyantap kepiting itu berkata, “Tuan Kepiting, saya telah
memindahkan semua ikan ke sebuah kolam besar yang permukaannya dipenuhi oleh bunga teratai.
Ikutlah bersama saya; Saya akan membawamu ke sana.” “Bagaimana caramu membawa saya
menyeberang?” tanya kepiting itu. “Tentu saja dengan paruhku,” jawab bangau. “Ah, dengan cara seperti
itu saya bisa terjatuh,” kata kepiting, “saya tidak akan pergi bersamamu.” “Jangan takut, saya akan
memegangmu eraterat di sepanjang perjalanan.” Kepiting itu berpikir, “Ia tidaklah memindahkan ikan-
ikan itu ke dalam kolam. Akan tetapi, jika ia benar-benar membawa saya ke sana, itu adalah
keberuntunganku. Jika ia tidak melakukannya, yah, saya akan menggigit kepalanya hingga putus dan
membunuhnya.” Ia berkata seperti ini kepada bangau tersebut, “Kamu tidak akan bisa memegangku
dengan erat, Teman, karena kami, bangsa kepiting, dikaruniai dengan cangkang yang kerasnya sangat
mencengangkan. Jika saya bisa memegang lehermu dengan capit saya, saya bisa memegangmu dengan
erat dan bisa pergi bersamamu.” Tidak menduga kalau kepiting itu akan menjebaknya, bangau menyetujui
hal itu. Dengan capitnya, kepiting itu menjepit leher bangau seperti jepitan seorang tukang besi, dan
berkata, “Sekarang, kamu bisa mulai terbang!” Bangau itu membawanya dan menunjukkan kolam itu
awalnya, namun kemudian ia hinggap di sebuah pohon.

“Kolam itu berada di arah itu, Paman,” kata kepiting, “engkau membawaku ke arah yang lain.”
“Saya benar-benar adalah pamanmu!” jawab bangau, “dan kamu benar-benar keponakanku! Kamu
mengira saya adalah budak yang harus mengangkat dan membawamu? Lihatlah tumpukan tulang-tulang
di kaki pohon ini; seperti semua ikan yang telah saya makan, saya akan memakanmu juga.” Kepiting
berkata, “Karena kebodohan mereka sendiri mereka dimakan olehmu, namun saya tidak akan
memberikan kesempatan itu kepadamu. Tidak, yang akan saya lakukan adalah membunuhmu. Dan kamu,
cukup bodoh dengan tidak melihat bahwa saya sedang menipumu. Jika harus mati, kita akan mati
bersama. Saya akan membuat kepalamu putus.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menjepit leher
burung bangau itu dengan capitnya yang seperti penjepit. Dengan mulut terbuka lebar, dan air mata yang
bercucuran dari matanya, bangau yang nyawanya terancam itu berkata, “Tuanku, saya tidak akan
memakanmu! Lepaskanlah saya!” “Baiklah, turunkan saya ke kolam itu,” kata kepiting. Bangau itu
berputar dan turun ke kolam seperti yang diperintahkan, menempatkan kepiting itu di atas lumut di
pinggir kolam. Namun sebelum turun, kepiting itu menjepit kepala bangau tersebut hingga putus, dengan
gerakan setangkas saat kita memotong tangkai bunga teratai menggunakan pisau. Dewa pohon yang
menetap di pohon itu, melihat kejadian yang menarik tersebut, membuat seisi hutan dipenuhi suara tepuk
tangan, melalui pengulangan syair ini dengan suaranya yang merdu:

Tipu muslihat tidak akan membawa keuntungan bagimu,

Orang yang penuh tipuan.

Lihatlah apa yang diperoleh bangau

yang penuh muslihat itu dari kepiting.

Anda mungkin juga menyukai