Anda di halaman 1dari 8

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI


DAN HUTAN LINDUNG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.12/PDASHL/SET/KUM.1/5/2019
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P.6/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016
TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DESAIN TAPAK PENGELOLAAN
PARIWISATA ALAM DI HUTAN LINDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah


Aliran Sungai dan Hutan Lindung Nomor P.6/PDASHL/
SET/KUM.1/11/2016 tentang Pedoman Penyusunan
Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Hutan
Lindung belum mengatur penyusunan desain tapak
dengan mekanisme kerjasama;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung Nomor P.6/PDASHL/SET/KUM.1/
11/2016 tentang Pedoman Penyusunan Desain Tapak
Pengelolaan Pariwisata Alam di Hutan Lindung;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
-2-

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor


1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3687);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan
Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22);
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-
II/2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan
Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
543);
5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.49/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2017 tentang
Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 1242);
6. Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung Nomor P.6/PDASHL/SET/
KUM.1/11/2016 tentang Pedoman Penyusunan Desain
Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di Hutan Lindung;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari Nomor P.4/PHPL/SET/4/2017 tentang Pedoman
-3-

Penyusunan Desain Tapak dan Desain Fisik, Pemberian


Tanda Batas, Pembangunan Sarana Prasarana
Pengusahaan Jasa Lingkungan Wisata Alam dan Tempat
Istirahat pada Hutan Produksi;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN


DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN
LINDUNG NOMOR P.6/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016
TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DESAIN TAPAK
PENGELOLAAN PARIWISATA ALAM DI HUTAN LINDUNG.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Nomor
P.6/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016 tentang Pedoman
Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di
Hutan Lindung diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1


berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
1. Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata alam, termasuk
pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang
terkait dengan wisata alam.
2. Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian
dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela
serta bersifat sementara untuk menikmati gejala
-4-

keunikan dan keindahan alam di hutan lindung.


3. Desain tapak adalah pembagian ruang pengelolaan
pariwisata alam di blok pemanfaatan.
4. Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan
untuk menyelenggarakan usaha pariwisata alam di
hutan lindung berdasarkan rencanapengelolaan.
5. Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok
orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
6. Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam yang
selanjutnya disebut IUPJWA adalah izin usaha yang
diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada
kegiatan pariwisata alam.
7. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam yang
selanjutnya disebut IUPSWA adalah izin usaha yang
diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta
pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan
pariwisata alam.
8. Blok pemanfaatan adalah bagian dari hutan lindung
yang dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan;
9. Ruang usaha adalah bagian dari blok pemanfaatan di
kawasan hutan lindung karena letak, kondisi dan
potensinya dimanfaatkan untuk kepentingan
pengusahaan pariwisata alam bagi usaha/kerjasama
penyediaan sarana wisata alam.
10. Ruang publik adalah bagian dari blok pemanfaatan di
kawasan hutan lindung karena letak, kondisi, dan
potensinya dimanfaatkan untuk kepentingan
pengunjung, pengelolaan dan pengusahaan pariwisata
alam bagi usaha/kerjasama penyediaan jasa wisata
alam serta sarana pendukung wisata alam.
11. Diagram analisis tapak adalah kajian dalam rangka
perumusan desain tapak yang ditampilkan/disajikan
dalam bentuk gambar peta.
12. Sarana pendukung wisata alam merupakan jenis
fasilitas untuk menunjang kepariwisataan dan
pengelolaan pengunjung.
13. Tim Kerja penyusunan desain tapak pengusahaan
-5-

pariwisata alam adalah tim penyusunan desain tapak


yang dibentuk oleh Kepala UPTD/Perangkat Daerah
untuk pelaksanaan penyusunan desain tapak
pengusahaan pariwisata alam di KPHL.
14. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya
disebut KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai
fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola
secara efisien dan lestari.
15. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung yang
selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang luas
wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari
kawasan hutan lindung.
16. Rencana Pengelolaan Hutan adalah rencana pada KPH
yang disusun oleh Kepala KPH, berdasarkan hasil tata
hutan dan rencana kehutanan, dengan
memperhatikan aspirasi, peran serta dan nilai budaya
masyarakat serta kondisi lingkungan, memuat semua
aspek pengelolaan hutan dalam kurun jangka panjang
dan jangka pendek.
17. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang yang
selanjutnya disingkat RPHJP adalah rencana
pengelolaan hutan untuk seluruh wilayah kerja KPHL
atau KPHP dalam kurun waktu 10 (sepuluh ) tahun .
18. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek
selanjutnya disingkat RPHJPd adalah rencana
pengelolaan hutan untuk kegiatan KPHL atau KPHP
dalam kurun waktu 1 (satu) tahun, yang
penyusunannya didasarkan atas RPHJP.
19. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa
lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan
bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan
bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariaannya.
20. Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak
-6-

merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi


utamanya.
21. Kerjasama adalah kesepakatan pada KPH dengan
BUMN, BUMD, BUMSI, BUMDesa, UMKM, koperasi,
masyarakat setempat atau perorangan mengenai
pemanfaatan hutan pada KPHL atau KPHP yang
dibuat secara tertulis.
22. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah yang selanjutnya disingkat PPK-BLUD adalah
pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan
praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada
umumnya.
23. Perorangan adalah warga negara Indonesia orang yang
cakap bertindak menurut hukum yang tinggal di
dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di
dalam dan di sekitar kawasan hutan.
24. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang
terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang
tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang
bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan
yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan
mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan
aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem
hutan.
25. Koperasi adalah koperasi masyarakat setempat yang
bergerak dibidang usaha kehutanan atau peternakan.
26. Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut
BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset,
jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-
-7-

besarnya kesejahteraan masyarakat desa.


27. Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang selanjutnya
disingkat UMKM adalah usaha produktif atau usaha
ekonomi produktif yang diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
28. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat
BUMN adalah badan usaha yang berbadan hukum
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
29. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia yang selanjutnya
disingkat BUMSI adalah perseroan terbatas yang
berbadan hukum Indonesia.
30. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
31. Pemerintah Daerah adalah gubernur dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
32. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang
diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
pengendalian daerah aliran sungai dan hutan lindung
atau di bidang pengelolaan hutan produksi lestari.
33. Kepala Dinas Provinsi adalah kepala dinas yang
diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan di wilayah provinsi.
34. Kepala UPT adalah kepala unit pelaksana teknis
Direktorat Jenderal yang diserahi tugas dan
bertanggung jawab di bidang pengelolaan hutan
lindung atau hutan produksi di daerah.

2. Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi


sebagai berikut:

Pasal 2
(1) Tujuan penyusunan pedoman Desain Tapak Pengelolaan
Pariwisata Alam di hutan lindung untuk
terselenggaranya pelaksanaan penyusunan Desain
-8-

Tapak pengelolaan Pariwisata Alam secara serasi dan


harmonis dengan lingkungan alam yang berada di hutan
lindung baik pengelolaan pariwisata alam melalui
mekanisme izin maupun kerja sama.
(2) Sasaran penyusunan pedoman Desain Tapak
Pengelolaan Pariwisata Alam di hutan lindung yaitu
tersusunnya rancangan peta Desain Tapak pengelolaan
Pariwisata Alam sesuai kaidah, prinsip, dan fungsi
hutan lindung baik pengelolaan pariwisata alam melalui
mekanisme izin maupun kerja sama.

3. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,


yakni Pasal 32A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32A
Penyusunan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam di
hutan produksi mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang Pedoman Penyusunan
Desain Tapak dan Desain Fisik, Pemberian Tanda Batas,
Pembangunan Sarana Prasarana Pengusahaan Jasa
Lingkungan Wisata Alam dan Tempat Istirahat pada Hutan
Produksi.

Pasal II
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Mei 2019 2019

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BAGIAN HUKUM DIREKTUR JENDERAL,
DAN KERJASAMA TEKNIK,

ttd. ttd.

ARIEF SETIYO UTOMO IDA BAGUS PUTERA PARTHAMA

Anda mungkin juga menyukai