TAHUN 2016
Disusun Oleh:
2016
PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kegiatan Revisi Zonasi Taman
Nasional Baluran Tahun 2016 dapat terselesaikan sebagai mana yang diharapkan.
Kegiatan ini merupakan bagian dari pengelolaan kawasan Taman Nasional Baluran yang
secara umum diperlukan berkaitan berbagai dinamika kondisi kawasan baik secara internal
ataupun eksternal. Dimana zonasi yang ada saat ini merupakan hasil revisi tahun 2011-2012,
maka revisi zonasi pada tahun 2016 ini dimaksudkan sebagai upaya penataan kawasan sesuai
kondisi terkini dan berbagai kebutuhan pengelolaan seiring perubahan kondisi selama rentang
4-5 tahun terakhir ini.
Diharapkan dokumen ini dapat mengakomodir kepentingan para pihak, dan menjadi
acuan bersama para pemangku kepentingan di tingkat Balai Taman Nasional Baluran selaku
pengelola kawasan, Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo selaku pemegang otoritas
kewilayahan dan pembangunan masyarakat, serta pihak-pihak lainnya untuk berkolaborasi
dalam peningkatan pembangunan konservasi di Taman Nasional Baluran, serta peningkatan
kesejahteraan masyarakat di desa-desa penyangganya. Semoga Allah SWT memperkenankan
segala harapan.
Dalam proses pelaksanaan kegiatan ini perlu disampaikan juga penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berperan dan berkontribusi mendukung
penyelesaian dokumen ini.
.
Dinilai Oleh :
Disusun Oleh: Direktur Pemolaan dan Informasi
Balai Taman Nasional Baluran Konservasi Alam,
Disahkan oleh :
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Inisiasi wacana penunjukan kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa dimulai tahun
1928 oleh K.W. Dammerman. Kemudian tanggal 23 Januari 1930 Baluran ditetapkan sebagai
Hutan Lindung (Boschreserve) melalui SK. Pemerintah Hindia Belanda (Gouvernement Besluit
van 23 Januari 1930, No. 83). Pada bulan Maret 1934 K.W. Dammerman mengusahakan kembali
wacana penunjukan kawasan Baluran sebagai suaka margasatwa, hingga pada tahun 1937
Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25
September 1937, No. 9, Lembaran Negara Hindia Belanda 1937, No. 544, kawasan Baluran
ditunjuk sebagai SM (Wildreservaat) seluas 25.000 Ha.
Pada era pemerintahan Republik Indonesia, kawasan Baluran ditunjuk sebagai taman
nasional berdasarkan pengumuman Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 bertepatan
Kongres Taman Nasional sedunia di Bali, yang kemudian penunjukan secara resmi melalui
Keputusan Menteri Kehutanan No. 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 tanggal 23 Mei 1997
seluas 25.000 Ha. Penunjukan kembali melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.417/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Timur Seluas 1.357.206,30 Ha (kawasan Taman Nasional Baluran termasuk di dalamnya,
bagian dari Kawasan Pelestarian Alam), dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : :
SK.395/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No.417/Kpts-II/1999 dengan perubahan diantaranya :
1. Kawasan hutan dan konservasi perairan di wilayah Jawa Timur seluas ± 1.361.146 Ha.
2. Kawasan hutan dan konservasi perairan tersebut diantaranya terdiri dari Kawasan Suaka
Alam/Kawasan Pelestasrian Alam Daratan seluas ± 230.126 Ha (4,80%) dan Perairan
seluas ± 3.506 Ha (0,07%), kawasan Taman Nasional Baluran termasuk di dalamnya.
iii
Zonasi Taman Nasional Baluran Tahun 2012 (zona pengelolaan sebelumnya) disahkan
melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor :
SK.228/IV-Set/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Zonasi Taman Nasional Baluran.
Seiring dengan perkembangan dan dinamika yang ada, pada sebagian zonasi yang ada dinilai
perlu dilakukan evaluasi berkaitan kesesuaian peruntukan dan kondisinya saat ini untuk
kemudian dilakukan revisi. Beberapa hal khusus yang melatar belakangi diperlukannya revisi
zona pengelolaan Taman Nasional Baluran tersebut, diantaranya :
Berdasarkan hasil review tujuan pengelolaan, review dan evaluasi zonasi sebelumnya,
dan analisa kesesuaiannya dengan kondisi terkini kawasan dan kriteria zona pengelolaan taman
iv
nasional, berikut hasil penataan zona pengelolaan pada kawasan Taman Nasional Baluran tahun
2016 dan perubahannya dari zonasi sebelumnya :
1. Zona Inti seluas ± 6.920,18 Ha. Terdiri dari 2 lokasi. Lokasi pertama di daerah Gunung
seluas ± 5.411,03 Ha, mencakup keseluruhan wilayah gunung mulai daerah lereng,
punggung gunung, dasar kawah, dinding kawah hingga puncak gunung dan daerah sekitar
lereng yang ada di bawahnya. Di bagian timur melebar hingga Blok Curah Uling. Lokasi
kedua di daerah kering dataran rendah bagian timur kawasan seluas ± 1.509,15 Ha,
meliputi Blok Curah Uling sebelah timur jalan Batangan-Bekol, sebagian Ketokan Kendal,
Baha, Sumber Batu, Gunung Malang, gunung Montor, Popongan, Palongan, Grekan, Rowo
Jambe, hingga sebagian Blok Curah Jarak. Potensi penting daerah ini terutama oleh karena
adanya tipe ekosistem asli dalam kondisi alami yang merepresentasikan keragaman
ekosistem kawasan Baluran, selain pada daerah gunung fungsi penting terutama
berkaitan perannya sebagai daerah tangkapan air. Secara umum keseluruhan areal
merupakan daerah penting bagian dari habitat satwa prioritas dan berbagai satwa liar
lainnya.
2. Zona Rimba seluas ± 8.843,46 Ha, mengelilingi Zona Inti dan membatasi dengan zona-
zona lainnya. Di wilayah timur Zona Rimba memotong Zona Inti untuk memisahkannya
dengan area jalan Batangan-Bekol. Cakupan areal Zona Rimba meliputi daerah
bertutupan vegetasi hutan musim, savana, semak belukar, hutan pantai, hutan mangrove
dan hutan tanaman (hutan produksi) jati dan gmelina. Sebagaian dari cakupan daerah ini
juga merupakan bagian dari home range satwa prioritas atau penting yaitu banteng,
macan tutul, jalak putih dan merak. Pemanfaatan wisata alam secara terbatas sesuai
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.76/Menlhk-Setjen/2015,
perlu diatur kemudian secara detil berkaitan keberadaan jenis-jenis satwa prioritas dan
habitat-habitat sensitif lainnya di daerah-daerah tertentu.
v
3. Zona Perlindungan Bahari seluas ± 958,70 Ha berada di daerah perairan pantai Gatel – Air
Tawar, Secang – Merak, Kakapa – Balanan, Batu Sampan – Sirontoh, dan Sirokok – Jung
Bedi. Terutama ditujukan untuk perlindungan tipe ekosistem perairan, terumbu karang,
padang lamun hingga daerah peralihan laut dan daratan yang secara fisik ditandai oleh
cakupan daerah pasang surut.
4. Zona Pemanfaatan Luas ± 2.368,85 Ha. Terdiri dari wilayah daratan dan perairan. Zona
Pemanfaatan di wilayah daratan seluas ± 1.480,72 Ha, mencakup lokasi-lokasi yang
terdiri dari Karangtekok, Bilik-Sijile, Batuhitam–Kajang–Kalitopo–Bama–Batusampan,
Bekol, Candibang, Perengan, Jalan Batangan–Bekol–Bama, Batangan–Camping Ground–
Waduk Bajulmati, Bitakol. Di wilayah perairan Zona Pemanfaatan seluas ± 888,13 Ha,
mencakup lokasi-lokasi yang terdiri dari Bilik-Sijile, Bama, Candibang, Perengan.
5. Zona Tradisional Luas ± 1.804,82 Ha. Terdiri dari wilayah daratan dan perairan. Zona
Tradisional di wilayah daratan seluas ± 762,33 Ha, mencakup lokasi-lokasi yang terdiri
dari lokasi Watunumpuk – Gatel (seluas ± 74,22 Ha; berupa areal savana dekat batas
kawasan dengan wilayah Desa Sumber Waru), Daerah di sekitar areal eks HGU. PT.
Gunung Gumitir di Labuhan Merak, Widuri, Sumber Batok, Air Karang, Lempuyang,
Sirondoh, Simacan dan Balanan (seluas ± 469,55 Ha) dan lokasi Pal Boto – Tegal Wero
(seluas ± 218,56 Ha; tutupan lahan berupa hutan musim, telah sejak lama dimanfaatkan
oleh masyarakat desa Wonorejo berkaitan jenis-jenis bernilai ekonomi seperti asem jawa
(Tamarindus indica), ules-ules (Helicteres isora), madu, kroto.
6. Di wilayah perairan Zona tradisional seluas ± 1.042,49 Ha, mencakup lokasi-lokasi yang
terdiri dari wilayah perairan sekitar areal eks HGU dan wilayah perairan pantai Perengan
(telah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat desa Wonorejo berkaitan berbagai
aktivitas pelabuhan ikan).
7. Zona Rehabilitasi Luas ± 3.551,52 Ha. Terdiri dari 4 lokasi di wilayah daratan.
Keseluruhannya merupakan daerah bertipe ekosistem savana dan saat ini telah rusak
akibat invasi Acacia nilotica. Yaitu areal Karangtekok (Luas ± 973,31 Ha), areal Labuhan
Merak (Luas ± 385,01 Ha), areal Bekol dan sekitarnya (Luas ± 1.850,93 Ha) dan areal
Derbus dan sekitarnya (Luas ± 302,26 Ha).
8. Zona Khusus luas ± 592,47 Ha. Terdiri dari 6 (enam) lokasi di wilayah daratan. Yaitu :
vi
Diorientasikan mengakomodir kemungkinan pembangunan sarana prasarana umum
pendukung jalan secara terbatas sepanjang tidak mengganggu fungsi utama kawasan.
b. Areal Eks HGU. PT. Gunung Gumitir di Labuhan Merak – Balanan seluas ± 331,64 Ha.
Terletak memanjang di daerah pesisir pantai daerah Labuhan Merak, Widuri, Sumber
Batok, Air Karang, Lempuyang, Sirondoh, Simacan dan Balanan. Diorientasikan
mendukung upaya penyelesaian konflik kepemilikan lahan.
c. Areal Translok AD di wilayah kerja Resort Perengan,Luas ± 62,05 Ha. Kondisi saat ini
berupa pemukiman dan areal pertanian dan beberapa sarana umum (masjid, jalan,
pemakaman umum dan makam pahlawan). Diorientasikan mendukung upaya
penyelesaian konflik kepemilikan lahan.
d. Jaringan SUTET lama (150 kV) Karangtekok – Batangan Luas ± 30,00 Ha. Telah ada
sebelumnya, memotong kawasan melintasi tutupan hutan jati.
e. Rencana jaringan SUTET baru (500 kV) Karangtekok – BatanganLuas ± 85,81 Ha.
Masih dalam tahap persiapan pelaksanaan. Di lokasi yang sama dengan jaringan
SUTET lama, memotong kawasan melintasi tutupan hutan jati.
f. Areal Tanah Gentong. Luas ± 30,17 Ha. Terletak di daerah Blok Gentong, di wilayah
kerja Resort Watunumpuk. Kondisi areal saat ini berupa lahan garapan untuk
pertanian. Diorientasikan mendukung upaya penyelesaian konflik kepemilikan lahan.
vii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan ................................................................................. 6
viii
III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN ZONA ........................ 30
3.1. Tata Waktu Pelaksanaan ......................................................................... 30
3.2. Kerangka Dasar ....................................................................................... 30
3.2.1. Pengelolaan Taman Nasional ...................................................... 30
3.2.2. Zona Pengelolaan Taman Nasional ............................................. 31
3.3. Tahapan Zonasi ....................................................................................... 33
3.4. Metode Penataan Zona Pengelolaan ....................................................... 34
ix
Balai Taman Nasional Baluran
I. PENDAHULUAN
Awalnya kawasan ini ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Boschreserve) pada tanggal 23
Januari 1930 melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Gouvernement Besluit van 23
Januari 1930, No. 83). Kemudian pada tahun 1937, melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tanggal 25 September 1937, No. 9, Lembaran Negara Hindia Belanda 1937, No.
544 (Besluit van Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indië van 25 September 1937, No. 9,
Staatsblad van Nederlandsch- Indië 1937, No. 544), areal Baluran ditunjuk sebagai Suaka
Margasatwa (wildreservaat) seluas 25.000 ha. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia
Kawasan Baluran dideklarasikan sebagai Taman Nasional berdasarkan pengumuman Menteri
pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 bertepatan dengan pelaksanaan kongres Taman Nasional
sedunia di Bali. Adapun surat penunjukkan kawasan sebagai taman nasional melalui SK. Menteri
Kehutanan Nomor : 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997.
Penunjukan Zonasi Taman Nasional Baluran pertama kali dilakukan pada tahun 1987
melalui Surat Keputusan Direktur JenderalPerlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)
nomor 51/Kpts/DJ-VI/1987. Duabelas tahun setelah itu zonasidiperbarui dengan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA) nomor 187/Kpts/DJ-
V/1999. Menurut surat keputusan tersebut kawasan TNB seluas + 25.000 ha terdiri dari : Zona
Inti + 12.000 ha, Zona Rimba + 5.637 ha, Zona Pemanfaatan Intensif + 800 ha, Zona Pemanfaatan
Khusus + 5.780 ha dan Zona Rehabilitasi + 783 ha. Kemudian pada tahun 2011 dilakukan Revisi
Zonasi yang memperbarui zonasi kawasan sebelumnya melalui Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor : SK.228/IV-SET/2012.
Menurut surat keputusan tersebut kawasan TNB seluas + 25.000 ha terdiri dari : Zona Inti
8.039,029ha, Zona Rimba 16.537,390 ha, Zona Pemanfaatan Intensif 2.156,68 ha yang mencakup
wilayah daratan (1.344,45 Ha) dan wilayah perairan (812,23 Ha), Zona Tradisional seluas
1.556,9 Ha yang terdiri dari wilayah daratan seluas 870,01 Ha dan wilayah perairan (laut) seluas
686,89 Ha, Zona Rehabilitasi 424,96 ha, dan Zona Khusus seluas 327,23 Ha.
Review dan evaluasi zona pengelolaan di beberapa bagian kawasan ini sepanjang dapat
dinilai masih relevan maka akan tetap dipertahankan sebagai bagian dari strategi pengelolaan
kawasan ke depan. Adapun pada bagian-bagian dimana status zona pengelolaannya dinilai
kurang sesuai dengan kondisi saat ini atau kurang mendukung strategi pengelolaan saat ini dan
ke depan maka akan dilakukan perubahan-perubahan atau revisi sehingga dapat tetap adaptif,
berfungsi efektif dan berkelanjutan.
Beberapa hal atau kondisi tersebut, yang dinilai penting sehingga memerlukan
tindakan pengelolaan yang cukup mendasar berupa penataan kembali (revisi) zonasi yang telah
ada, yaitu berkaitan :
Beberapa bentuk perubahan tutupan lahan atau tipe vegetasi, penurunan komposisi
jenis satwa, penurunan populasi beberapa jenis satwa di beberapa bagian kawasan secara
umum mengindikasikan adanya kerusakan ekosistem. Diantaranya yaitu:
Upaya perlindungan populasi dan habitat pada satwa prioritas Banteng (Bos javanicus)
telah dilakukan, secara konsep telah terepresentasikan pada zona pengelolaan sebelumnya
sehingga telah terproyeksi kebutuhan-kebutuhan perlakuan pengelolaannya pada perencanaan-
perencanaan pengelolaan hingga saat ini. Adapun berkaitan satwa prioritas Macan Tutul
(Panthera pardus), perkembangan pendataannya baru didapatkan di tahun 2015, yaitu populasi
diperkirakan 24 individu dengan confident interval antara 17 – 31 individu; dengan kondisi
distribusi yang relatif terkonsentrasi di daerah Perengan atau bagian tenggara kawasan
(Inventarisasi Macan Tutul di Taman Nasional Baluran tahun 2015).
Berkaitan areal-areal pada kawasan dengan kondisi adanya sarana parasarana fisik
yang bersifat strategis dan areal-areal konflik penggunaan dan kepemilikan lahan sebagai lahan
pertanian dan/atau pemukiman sebleum status penunjukannya sebagai taman nasional, secara
umum telah terakomodasi pada zonasi pengelolaan sebelumnya sebagai zona khusus. Revisi
pada zona khusus ini diperlukan berkaitan :
Revisi zonasi (zona pengelolaan) kawasan Taman Nasional Baluran pada kesempatan
ini, dengan demikian, secara umum diperlukan sebagai bentuk adaptasi atas segala bentuk
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|I. PENDAHULUAN 5
Balai Taman Nasional Baluran
dinamika kondisi kawasan dan lingkungan sekitar kawasan serta perkembangan regulasi dan
kebijakan yang ada sehingga pegelolaan dapat senantiasa adaptif dan efektif.
2.1.Lokasi
Eksistensi kawasan Baluran dalam kesejarahannya diawali pada taun 1920 dengan
usulan pencadangan hutan Bitakol seluas ± 1.553 Ha untuk ditetapkan sebagai areal hutan
produksi tanaman jati (jatibosch) (Wind dan Amir, 1977).
Upaya konservasi kawasan Baluran telah dilakukan sejak lama pada masa
pemerintahan Hindia Belanda. Rintisan penunjukannya menjadi suaka margasatwa telah
dilakukan oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928. Rintisan tersebut didasarkan pada usulan
A.H. Loedeboer (pemegang konsesi lahan perkebunan pada sebagian kawasan Baluran di daerah
Labuhan Merak dan Gunung Mesigit pada saat itu).
Pada tanggal 23 Januari 1930 diterbitkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda
No. 83 (Gouvernement Besluit van 23 Januari 1930, No. 83) Baluran ditetapkan sebagai Hutan
Lindung (Boschreserve).
Pada tanggal 8 Juni 1937, diproses areal-areal yang dimasukkan dalam HutanLindung
Baluran meliputi :
- Tanah Negara (darat)- Timur Laut dari Semburannya seluas + 219,8 Ha
- Tanah konsesi- gunung Masigit seluas + 227 Ha
- Tanah Negara (Rama)- Rama Masigit seluas + 107,5 Ha
- Hutan Produksi Jati Bitakol seluas + 3.164 ha
- Hutan Lindung Jati seluas + 1.523 ha.
Hindia Belanda 1937, No. 544 (Besluit van Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indië van 25
September 1937, No. 9, Staatsblad van Nederlandsch- Indië 1937, No. 544), areal Baluran ditunjuk
sebagai Suaka Margasatwa (wildreservaat) seluas ±25.000 ha.
Pada penunjukan kawasan Baluran sebagai wild resevaat (game reserve) pada tahun
1937, areal hutan produksi jati Bitakol dimasukkan juga sebagai bagian kawasan dimaksud
seluas total ±25.000 Ha. Namun demikian penebangan dan penanaman jati terus dilakukan
dalam skala kecil. Pada tahun 1949 jawatan kehutanan Banyuwangi membuat rencana
pengelolaan hutan untuk hutan Bitakol, diperluas hingga daerah lain di sepanjang jalan provinsi
meliputi total areal seluas 4.739 Ha.Areal ini tidak pernah dikeluarkan dari kawasan suaka oleh
pemerintah, dan meski disahkan oleh jawatan kehutanan di Jawa sebagai areal pemanfaatan
jangka pendek mulai tahun 1955 sampai 1964, kegiatan eksploitasi terus meningkat. Area hutan
seluas sekitar 1.000 Ha ditebang habis dan ditanami kembali dengan jati mulai tahun 1955
sampai 1965 dan selanjutnya pada areal seluas sekitar 2.000 Ha mulai tahun 1966 sampai 1976.
Kampung-kampung masyarakat juga dibuat di areal ini (masih dalam kawasan suaka) pada
periode tersebut untuk menyediakan tenaga kerja dalam pengelolaan areal hutan yaitu di blok
Panggang dan Sidorejo (Wind dan Amir, 1977).
Kemudian berkaitan lahan konsesi (HGU) di Labuhan Merak pada tanggal 11 Mei
1962melalui Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No.SR/II.P.A/1962, disebutkan tanah
konsesi Labuhan Merak seluas 293,6 ha dimasukkan kedalam Suaka Margasatwa Baluran.
Pada tanggal 6 Maret 1980 bertepatan dengan pelaksanaan kongres Taman Nasional
sedunia di Bali, Kawasan Baluran termasuk menjadi salah satu dari 5 (lima) kawasan yang
dideklarasikan sebagai taman nasional oleh Menteri Pertanian seluas ± 25.000 Ha. Yang
kemudian penunjukan secara resmi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas ± 25.000 Ha.
Pada tanggal 21 Juli 2011, diterbitkan lagi Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : SK.395/Menhut-II/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 417/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur seluas 1.357.206,30 Ha. Perubahan tersebut
mencakup perubahan luas kawasan hutan dan konservasi perairan di wilayah Provinsi Jawa
Timur menjadi seluas ± 1.361.146 (satu juta tiga ratus enam puluh satu ribu seratus empat
puluh enam) hektar. Dimana kawasan Taman Nasional Baluran termasuk sebagai bagian di
dalam Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) seluas 230.126 Ha (4,8 %)
untuk wilayah daratan daratan dan 3.506 Ha (0,07 %) wilayah perairan.
A. Aksesibilitas
Secara umum aksesibilitas yang dapat menghubungkan kawasan Taman Nasional Baluran
dengan daerah lainnya cukup banyak dan relatif mudah. Akses darat relatif mudah karena
adanya jalur jalan raya propinsi (Jalur Pantura) yang melewati atau memotong kawasan bagian
selatan. Bandara udara terdekat adalah BandarUdara Blimbingsari di Banyuwangi, Bandar
Udara Ngurah Rai di Denpasar dan Bandar Udara Juanda di Surabaya. Adapun jalur laut selain
melalui Dermaga atau Pelabuhan Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk, akses langsung menuju
kawasan seperti Pantai Bama atau Pantai Perengan juga memungkinkan dilakukan dengan
kapal-kapal berukuran kecil atau perahu.
B.Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan TN Baluran beriklim kering tipe F
dengan temperatur berkisar antara 27,2ºC-30,9º C, kelembaban udara 77 %, kecepatan angin 7
nots dan arah angin sangat dipengaruhi oleh arus angin tenggara yang kuat. Musim hujan pada
bulan November-April, sedangkan musim kemarau pada bulan April-Oktober dengan curah
hujan tertinggi pada bulan Desember-Januari. Namun secara faktual, perkiraan tersebut sering
berubah sesuai dengan kondisi global yang mempengaruhi.
Secara geologi TN Baluran memiliki dua jenis golongan tanah, yaitu tanah pegunungan
yang terdiri dari jenis tanah aluvial dan tanah vulkanik, serta tanah dasar laut yang terbatas
hanya pada dataran pasir sepanjang pantai daerah-daerah hutan mangrove. Tanah vulkanik
berasal dari pelapukan basalt, debu vulkanik, batuan vulkanik intermedia yang berbentuk suatu
urutan bertingkat dari kondisi tanah yang berbatu-batu di lereng gunung yang tinggi dan curam
sampai tanah aluvial yang dalam di dataran rendah. Keadaan tanahnya terdiri dari jenis yang
kaya akan mineral tetapi miskin akan bahan-bahan organik, dan mempunyai kesuburan kimia
yang tinggi tetapi kondisi fisiknya kurang baik karena sebagian besar berpori-pori dan tidak
dapat menyimpan air dengan baik.
Tanah yang berwarna hitam yang meliputi luas kira-kira setengah dari luas daratan
rendah, ditumbuhi rumput savana. Daerah ini merupakan daerah yang sangat subur, serta
membantu keanekaragaman kekayaan makanan bagi jenis satwa pemakan rumput. Tanah-tanah
ini lebih mudah longsor dan sangat berlumpur pada musim penghujan. Sebaliknya pada saat
musim kemarau keadaan permukaannya menjadi pecah-pecah dengan patahan sampai
mencapai kedalaman 80 cm. Keadaan jenis tanah ini sangat menyulitkan untuk kontruksi jalan,
karena selalu terjadi pemuaian dan penyusutan sesuai dengan musim.
Taman Nasional Baluran mempunyai tata air radial, terdapat sungai-sungai besar
termasuk sungai Kacip yang mengalir dari kawah menuju Pantai Labuhan Merak, Sungai
Klokoran dan Sungai Bajulmati yang menjadi batas TN Baluran di bagian Barat dan Selatan.
Banyak dasar sungai yang berisi air selama musim penghujan yang pendek, akan tetapi banyak
air yang meresap melalui abu vulkanik yang berpori-pori sampai mencapai lapisan lava yang
keras di bawah tanah dan keluar lagi pada permukaan tanah sebagai mata air -mata air pada
sumber air di daerah pantai (Popongan, Kelor, Bama, Mesigit, Bilik, Gatal, Semiang dan Kepuh),
daerah kaki bukit (sumber air Talpat), pada daerah ujung pantai (teluk Air Tawar) dan air laut
(dekat Tanjung Sedano). Pada musim hujan, tanah hitam sedikit sekali dapat meloloskan air
sehingga air mengalir di permukaan tanah, membentuk banyak kubangan (terutama di sebelah
selatan daerah yang menghubungkan Talpat dengan Bama). Pada musim kemarau air tanah di
permukaan tanah menjadi sangat terbatas dan persediaan air pada beberapa mata air tersebut
menjadi berkurang.
2.3.2. Ekosistem
A. Ekosistem Perairan
a. Terumbu karang
Spot-spot lokasi dengan tutupan ekosistem terumbu karang cukup banyak dan tersebar
di sepanjang wilayah perairan pantai Baluran yang panjangnya ± 40 km. Yaitu di
daerah perairan Blok Gatel – Kajar - Air Tawar, Bilik - Sijile, sepanjang perairan pantai
Air Karang – Sirontoh (Air Karang, Demang, Lempuyang, Sirondo, Kakapa, Simacan,
Balanan, Batu Hitam, Kajang, Cemara, Kalitopo, Bama, Kelor, Batu Sampan, Popongan,
Sigedung dan Sirontoh). Spot di daerah Bama, Bilik dan Sijile merupakan spot dengan
kondisi terbaik dibanding spot-spot lainnya dan telah cukup dikenal dalam pengelolaan
wisata alam di baluran.
b. Padang lamun
Spot-spot lokasi dengan tutupan ekosistem padang lamun juga banyak tersebar di
sepanjang wilayah perairan pantai Baluran yang panjangnya ± 40 km. Yaitu di daerah
perairan Blok Gatel – Kajar - Air Tawar, Bilik - Sijile, Air Karang, Demang, Lempuyang,
Sirondo, Kakapa, Simacan, Balanan, Batu Hitam, Kajang, Kalitopo, Bama, Kelor, Batu
Sampan, Popongan, Sigedung dan Sirontoh. Tutupan padang lamun di daerah Bama
paling luas karena merupakan satu hamparan yang meliputi daerah pantai di Blok
Kajang – Kalitopo Bama – Kelor – Batu Sampan – Popongan – Sigedung hingga Sirontoh.
B. Ekosistem Pantai
a. Formasi Pes-caprae
Tipe vegetasi di daerah pantai berpasir, baik pantai berpasir putih ataupun hitam, yang
umumnya didominasi oleh jenis Tang Katang (Ipomoea Pes-caprae) dan Tikusan
(Spinifex littoreus). Terdapat di beberapa daerah pantai yaitu Pantai di Blok Gatel-Kajar,
Bilik-Sijile, Kakapa dan Perengan. Beberapa jenis asing dan jenis invasif juga dijumpai
tumbuh di beberapa lokasi yaitu jenis Salsola kali dan Tribulus terrestris di daerah
Pantai Bilik, Kakapa dan Batu Sampan.
b. Hutan mangrove
Tipe hutan alami di daerah pantai yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut,
baik di bawah garis pantai hingga wilayah sempadan pantai ke arah darat. Kawasan
Baluran yang lebih dari separuh batas kawasannya merupakan batas pantai (lebih dari
40 km), hutan mangrove ini umumnya tumbuh membentuk green belt (sabuk hijau) di
sepanjang pantai. Hutan pantai di daerah Blok Batu Sampan merupakan yang paling
tebal (hingga lebih dari 750 m ke arah darat) karena tumbuh di daerah tanjung
(Tanjung Batu Sampan). Hutan mangrove yang ada di daerah Perengan secara umum
juga membentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tidak terlalu tebal, tetapi di
daerah ini beberapa jenis mangrove sejati (Sonneratia caseolaris, Excoecaria agallocha)
dapat dijumpai tumbuh hingga jauh ke darat (hingga lebih dari 2 km dari pantai)
berasosiasi dengan vegetasi rawa atau formasi Barringtonia di daerah Blok Rowo
Jambe-Putatan.
Rekapitulasi hasil inventarisasi mangrove mulai tahun 2005 hingga tahun 2012 yang
meliputi keseluruhan areal tutupan hutan mangrove di Taman Nasional Baluran (hutan
mangrove di Resort Bama, Watunumpuk-Labuhan Merak, Perengan dan Balanan)
didapat luas hutan mangrove di seluruh kawasan ± 411,76 Ha dengan keragaman
sebanyak 26 jenis mangrove sejati yang tersebar di sepanjang pantai Baluran.
No Jenis No Jenis
1. Acanthus ilicifolius 14. Heritiera littoralis
2. Acrostichum aureum 15. Lumnitzera racemosa
3. Aegiceras courniculatum 16. Nypa fruticans
4. Aegiceras floridum 17. Osbornia octodonta
5. Avicennia alba 18. Pemphis accidula
6. Avicennia lannata 19. Rhizophora apiculata
7. Avicennia marina 20. Rhizophora mucronata
8. Bruguiera cylindrica 21. Rhizophora stylosa
9. Bruguiera gymnorrhyza 22. Sonneratia alba
10. Bruguiera sexangula 23. Sonneratia caseolaris
11. Ceriops decandra 24. Xylocarpus granatum
12. Ceriops tagal 25. Xylocarpus molluccensis
13. Excoecaria agallocha 26. Xylocarpus rumphii
Hingga saat ini belum dapat dilakukan monitoring dengan pendekatan yang tepat
namun keseluruhan luas areal hutan mangrove yang ada secara indikatif dapat
dikatakan cukup dinamik. Selain tutupan hutan mangrove yang rusak di masa lau oleh
adanya aktivitas pemanfaatan lahan di daerah eks HGU Labuhan Merak hingga Air
Karang, di beberapa lokasi seperti di pantai Blok Bilik-Sijile dan Kakapa tegakan muda
dijumpai juga dijumpai terbentuk ke arah laut. Di beberapa areal hutan mangrove yang
menjorok ke daerah daratan juga dijumpai adanya saltflats (hamparan garam) yang
terbentuk seperti di daerah Blok Alas Malang, Air Tawar-Bilik, Sumber Batu, Sigedung,
Sisrontoh dan Uyahan.
Secara umum tutupan ini merujuk pada tipe vegetasi di daerah pantai di luar hutan
mangrove hingga daerah yang berbatasan (peralihan) dengan vegetasi darat. Karena
secara fisik habitat yang ada merupakan pertemuan dua faktor lingkungan (laut dan
darat) dan umumnya memiliki kelembaban tinggi, daerah ini umumnya memiliki
keragaman jenis vegetasi tinggi karena terdiri dari tetumbuhan darat dan tetumbuhan
pantai yang umum dikenal sebagai mangrove associate (mangrove ikutan). Hutan
pantai di daerah Blok Gatel, Demang dan Perengen-Rowo Jambe merupakan daerah
yang merupakan kantong keragaman di kawasan Baluran sehingga merupakan daerah
penting secara ekologis.
C. Dataran Rendah
a. Savana
Merupakan tipe vegetasi dengan tutupan dominan rerumputan baik secara homogen
atau asosiasi vegetasi (perdu, pepohonan atau hutan musim), secara umum sangat
dipengaruhi oleh iklim dan sebagian besar merupakan bentuk klimaks api (karena
adanya kebakaran secara reguler). Dimungkinkan merupakan proporsi tutupan terluas
dari keseluruhan tutupan vegetasi pada kawasan Baluran. Wind dan Amir (1977)
memperkirakan luasnya sekitar 10.000 Ha.
Secara umum merupakan tipe vegetasi (tipe ekosistem) yang khas dan spesifik,
terutama di Pulau Jawa. Sehingga memiliki nilai penting yang tinggi dalam pengelolaan
kawasan Baluran baik secara ekologis ataupun secara ekonomis berkaitan potensi
pemanfaatannya dalam pengelolaan pariwisata alam.
Namun saat ini karena adanya invasi jenis asing Acacia nilotica, sebagian besar areal
tutupan savana telah terinvasi dan sebagiannya lagi telah mengalami kerusakan akibat
invasi dimana tingkat terparah dari dampak invasi ini adalah berubahnya tipe vegetasi
yang semula savana (tutupan dominan-homogen rerumputan) menjadi tegakan
homogen Acacia nilotica. Hasil pemetaan dan pengukuran sebaran invasi Acacia
nilotica pada kawasan Baluran tahun 2013 diperkirakan luas total areal terinvasi seluas
± 5.592,68 Ha meliputi tipe habitat/vegetasi savana, hutan musim dataran rendah,
semak belukar, hutan tanaman (jati), areal sekitar perkebunan kapuk randu PT.
Baluran Indah dan areal pertanian dan pemukiman masyarakat eks HGU di Labuhan
Merak-Balanan. Sebagian besar invasi Acacia niloticaterdapat di savana.
b. Hutan musim
Tipe vegetasi atau hutan yang secara umum sangat dipengaruhi oleh iklim (karena
adanya periode musim yang menyebabkan perbedaan kelembaban dan kekeringan
sangat signifikan, yaitu musim kemarau dan musim hujan). Dapat dibedakan menjadi
dua :
- Hutan musim di dataran rendah.
Secara umum membentuk hamparan yang luas di dataran rendah. Didominasi oleh
jenis-jenis vegetasi semusim (herba) dan vegetasi (perdu dan pepohonan) gugur
yang merepresentasikan respon adaptasi pada kondisi kekeringan yang panjang
dengan musim hujan yang pendek dalam setahun. Vegetasi yang ada di dominasi
oleh jenis walikukun (Schouthenia ovata), talok (Grewia spp.), asem (Tamarindus
indica), mimbo (Azadirachta indica), pilang (Acacia leucophloea), klampis (Acacia
tomentosa), laban (Vitex pubescens), kepuh (Sterculia foetida) dan lain-lain.
- Hutan musim di dataran tinggi hingga pegunungan
Hutan musim yang ada di daerah dataran tinggi hingga pegunungan. Memiliki
penampakan dan komposisi vegetasi yang signifikan berbeda dengan yang ada di
dataran rendah karena adanya kondisi edafik dan iklim (yang berbeda). Vegetasi
yang ada secara umum sebagian terdiri dari vegetasi gugur yang umum tumbuh di
daerah kering dataran rendah dan vegetasi evergreen (hijau sepanjang tahun)
seperti serut (Streblus asper), Ficus spp., Pterospermum spp., kawang (Palaquium
amboinense), trenggulun (Protium javanicum), kemiri (Aleurites molluccana) dan
lain-lain. Dapat dijumpai tumbuh di daerah punggung gunung Baluran bagian
selatan hingga barat laut dan dasar kawah.
c. Curah
Merupakan sungai tadah hujan yang terdistribusi secara radial hampir merata ke
seluruh bagian kawasan karena tempat tertinggi sebagai daerah tangkapan hujan
(gunung) ada di tengah-tengah kawasan. Hanya mengalirkan air pada saat hujan dan
beberapa saat sesudahnya karena segera meresap ke dalam tanah. Meski demikian
tetap saja daerah ini memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibanding dataran rendah
umumnya, sehingga memungkinkan bagi tumbuhnya lebih banyak keragaman vegetasi.
Sehingga secara umum tutupan vegetasi di areal ini merupakan alur-alur hijau hampir
sepanjang tahun. Berfungsi strategis secara ekologis baik sebagai bagian dari habitat
satwa atau sebagai sekat-sekat alami pada saat terjadinya kebakaran pada savana.
d. Sungai
Hanya terdapat di beberapa daerah saja yaitu di daerah gunung (dasar kawah) dan di
pinggir kawasan (Sungai Bajulmati, Sungai Klokoran). Karena ketersediaan air dan
kondisi kelembaban yang tinggi sepanjang tahun menyebabkan daerah ini menjadi
habitat yang kondusif bagi banyak jenis tumbuhan, selain perannya secara ekologis
sebagai penyedia air permanen bagi kelangsungan hidup satwa liar.
e. Telaga
Di daerah kering dataran rendah ekosistem telaga ini pada kawasan tidak cukup
banyak, sehingga hampir merupakan kondisi fenomenal yang khas di tengah-tengah
kondisi kawasan yang umumnya kering. Diantaranya yaitu telaga yang ada di Blok
Telogo dan Dung Biru. Di daerah Telogo jenis Nymphaea nouchali dijumpai tumbuh di
perairannya. Dan di daerah Dung Biru tumbuhan air Hydrilla verticillata dijumpai
tumbuh di perairannya. Secara umum tempat-tempat ini berfungsi ekologis sangat
strategis terutama bagi kelangsungan hidup satwa liar karena ketersediaan airnya
sepanjang tahun sebagai bagian dari komponen habitat.
Bentukan rawa dan kubangan-kubangan lami ini dpada kawasan Baluran umumnya
terdapat di daerah sepanjang pantai hingga peralihannya dengan dataran rendah. Tipe
vegetasi yang terbentuk umumnya juga spesifik karena ketersediaan air yang cukup
lama di sepanjang tahun atau bahkan beberapa berair sepanjang tahun. Seperti di
daerah Puyangan dan Semiang genangan air yang cukup lama membentuk tutupan
savana dengan komposisi vegetasi (terutama rerumputan) berbeda dengan savana
umumnya di Baluran.
D. Gunung
Selain hutan musim evergreen yang tumbuh di punggung gunung bagian selatan-barat laut
dan dasar kawah, bagian gunung lainnya pada punggung gunung sebelah utara hingga
tenggara secara umum beriklim kering sehingga bertipe vegetasi gugur tetapi berbeda
dengan tipe vegetasi kering/gugur di daerah kering dataran rendah. Demikian juga pada
bagian dinding kawah yang sangat curam dan berbatu juga didominasi oleh vegetasi
kering yang memiliki komposisi spesifik.
Daerah ini juga merupakan daerah yang secara umum terbebas dari aktivitas manusia.
Namun demikian karena tipe vegetasinya yang kering, kebakaran tahunan yang lazim
terjadi di daerah kering dataran rendah kawasan (terutama yang berasal dari savana dan
hutan musim) berpotensi besar menyebar hingga daerah-daerah ini.
2.3.3. Flora
Pada tahun 1977, Wind dan Amir (1977) mengemukakan keragaman jenis yang ada di
kawasan Baluran yang dikatakan sebagai list jenis flora permulaan (preliminary list of flora of
Baluran) sebanyak 444 jenis, dimana 25 jenis diantaranya merupakan jenis asing.
Upaya inventarisasi tumbuhan terus dilakukan, dan hingga saat ini telah tercatat
keragaman tumbuhan yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran 511 jenis. Tetumbuhan
tersebut tumbuh tersebar mulai daerah perairan pantai (padang lamun), pantai, dataran rendah
hingga gunung. Dari jenis-jenis tumbuhan tersebut, 26 jenis diantaranya merupakan jenis
mangrove sejati, 267 jenis diantaranya merupakan jenis tanaman obat (berkhasiat obat) dan 63
jenis diantaranya tercatat dan teridentifikasi sebagai jenis tumbuhan asing.
Dari jenis-jenis tumbuhan asing yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran tersebut,
sebagian diantaranya merupakan jenis invasif (jenis asing invasif). Acacia nilotica salah satu
diantaranya yang saat ini telah menginvasi kawasan dan menimbulkan dampak paling besar
dibanding jenis-jenis asing invasif lainnya.
Hasil kegiatan pemetaan sebaran invasi Acacia nilotica pada kawasan Taman Nasional
Baluran tahun 2013 (dengan pendekatan interpretasi citra satelit dan ground check),
diperkirakan luas sebaran invasi Acacia nilotica seluas ± 5.592,68 Ha. Daerah sebaran meliputi
tipe vegetasi savanna, hutan musim dataran rendah, semak belukar, hutan tanaman (hutan
produksi) di Blok Bitakol, areal sekitar perkebunan kapuk randu PT. Baluran Indah dan areal
pertanian dan pemukiman masyarakat eks pekerja HGU PT. Gunung Gumitir. Tingkat kepadatan
invasi bervariasi, dikelompokkan pada kepadatan rendah (low density) < 500 btg/Ha, kepadatan
sedang (medium density) 500 – 1.000 btg/Ha, hingga kepadatan tinggi (high density) > 1.000
btg/Ha.
Di beberapa lokasi dijumpai adanya kerapatan yang sangat tinggi. Di Derbus kerapatan
mencapai 3.478 btg/Ha, hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya perlakuan pemberantasan
yang kemudian tumbuh dan terinvasi kembali. Di daerah Watunumpuk, Lemahbang dan Alas
Malang kerapatan dapat mencapai 4.364-5.900 btg/Ha, hal ini karena adanya aktivitas
pemotongan (diantaranya perencekan) harian sehingga individu yang ada berupa trubusan
dengan batang cukup banyak membentuk rumpun serupa perdu.
Dampak terbesar dari invasi Acacia niloticapada kawasan Taman Nasional Baluran ini
terutama pada habitat savana, dimana dampak terparah yang ditimbulkan mengakibatkan
kerusakan ekosistem atau vegetasi hingga berubahnya secara total tipe vegetasi yang ada. Yaitu
tipe vegetasi yang semula savana berubah totalmenjadi tegakan homogen Acacia nilotica.
Sehingga penanganan invasi pada tingkatan dampak seperti terebut diatas, tidak cukup hanya
dengan perlakuan pengendalian saja tetapi juga harus diikuti dengan perlakuan pemulihan
ekosistem untuk mengembalikan tutupan semula yaitu tipe vegetasi savana.
Peta daerah sebaran invasi Acacia nilotica pada kawasan Taman Nasional Baluran (tahun 2013).
2.3.4. Fauna
Secara umum keragaman keseluruhan fauna yang ada di kawasan Baluran belum di
dapatkan (terutama insekta, mollusca, reptil dan lain-lain). Dari Wind dan Amir (1977)
didapatkan angka keragaman jenis mamalia 26 jenis, diantaranya yaitu Banteng (Bos javanicus
javanicus), Kerbau Liar (Bubalus bubalis), Ajag (Cuon alpinus javanicus), Kijang (Muntiacus
muntjak muntjak), Rusa (Cervus timorensis russa), Macan Tutul (Panthera pardus melas), Kancil
(Tragulus javanicus pelandoc), dan Kucing Bakau (Prionailurus viverrinus). Keseluruhan jenis
tersebut masih memerlukan monitoring untuk kepastian keberadaannya saat ini di kawasan
Baluran. Seperti jenis kucing bakau (Prionailurus viverrinus) sangat langka baik secara global
atau secara spesifik di kawasan Taman Nasional Baluran, hingga saat ini belum ada laporan yang
dapat menjadi justifikasi atau bukti keberadaannya.
Upaya review keragaman jenis fauna di kawasan Taman Nasional Baluran terus
dilakukan hingga saat ini. Keragaman jenis satwa mamalia diketahui terdapat 28 jenis. Jenis
kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) 158 jenis. Jenis burung 234 jenis. Ikan-ikan karang 358
jenis.
Adapun jenis burung dari hasil inventarisasi didapatkan 196 spesies, dari 58 family, 17
ordo. Beberapa diantaranya merupakan jenis dilindungi seperti Elang Jawa (Spizaetus bartlesi),
Merak Hijau (Pavo muticus), Rangkong Badak (Buceros rhinoceros), Bangau Tong-tong
(Leptoptilos javanicus), Jalak Putih (Sturnus melanopterus).
Beberapa jenis satwa yang merupakan bagian dari satwa target peningkatan populasi
secara nasional juga terdapat di Baluran yaitu Banteng (Bos javanicus), Macan Tutul (Panthera
pardus melas) dan Elang Jawa (Spizaetus bartlesi).
Dari keseluruhan jenis satwa yang ada, dua jenis satwa termasuk jenis prioritas
nasional yang ditargetkan peningkatan populasinya sebesar 10 % di tahun 2019. Yaitu jenis
Banteng (Bos javanicus) dan Macan Tutul (Panthera pardus).
Berikut gambaran kondisi populasi satwa prioritas Banteng (Bos javanicus) dan Macan
Tutul (Panthera pardus) dan beberapa jenis satwa penting lain hasil inventarisasi hingga tahun
2016 :
Cakupan daerah sebaran Macan Tutul (hasil pendataan sementara hingga tahun 2015).
Secara umum permasalahan yang berpotensi besar menjadi gangguan dan tekanan
pada kawasan, ekosistem dan hidupan liar didalamya disebabkan oleh adanya berbagai aktivitas
masyarakat baik yang ada di dalam ataupun dari luar kawasan. Diantaranya yaitu :
1. Bencana alam
Erosi, abrasi di beberapa lokasi (masih dalam skala kecil).
2. Kebakaran
3. Pemanfaatan kawasan oleh masyarakat
a. Pemukiman dan pertanian
b. Penggembalaan ternak dan pengembilan rumput
c. Pencurian kayu (ilegal logging), kayu bakar, bambu dan rotan
d. Pemanfaatan hasil hutan non kayu
e. Perburuan
Daerah Penyangga TN Baluran terdiri atas 5 (lima) desa penyangga yaitu Sumberwaru,
Sumberanyar, Wonorejo yang masuk Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo; dan
Bajulmati dan Watukebo yang masuk Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi. Tetapi
yang secara geografis berbatasan langsung dengan kawasan hanya 2 (dua) desa yaitu Desa
Sumberwaru dan Desa Wonorejo. Kedua desa inilah yang sering berinteraksi nyata dengan
hutan Baluran.
Pada umumnya di tingkat desa telah terdapat aparat/perangkat desa yang terdiri dari
kepala desa, sekretaris dan staf serta adapula BPD (Badan Perwakilan Desa) yang terdiri dari
tokoh-tokoh masyarakat. Administrasi umum desa telah berjalan teratur namun di sebagian
besar desa, pelaksanaan administrasi kependudukan dan administrasi keuangan masih banyak
yang tidak teratur.
Luas Kecamatan Banyuputih adalah 481.670Km2 atau 48.167 Ha, yang memiliki pantai
dan sebagian besar wilayah Kecamatan Banyuputih merupakan tanah datar dengan ketinggian
0-10 m dari permukaan laut. Rata – rata curah hujan adalah 172 mm tahun 2010 dengan
keadaan tanah datar dan sifat tanah legosol.
2.5.1.Jumlah Penduduk
2.5.2.Agama
2.5.3.Pendidikan
Meskipun lokasi desa Sumberwaru dan Wonorejo berada di sekitar hutan yang jauh
dari kota Situbondo, tetapi tingkat pendidikan masyarakat setempat dapat dikatakancukup
memadai. Sudah banyak sekali lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Sekolah
dasar hingga sekolah menengah sudah banyak yang berdiri. Terbukti di Sumberwaru terdapat 8
(delapan) sekolah dasar negeri, 3 sekolah Tsanawiyah (setingkat SLTP) dan 1 Aliyah (setingkat
SLTA). Sedangkan di Wonorejo terdapat kurang lebih 5 sekolah dasar negeri, 1 SLTP Negeri, 1
SLTP swasta dan 1 SMK. Disamping sekolah formal, juga terdapat beberapa lembaga non-formal
seperti Pondok Pesantren, Diniyah dan Lembaga Kursus bahasa.
Berdasarkan data yang tersaji di atas, secara umum dapat diketahui bahwa angka
masyarakat yang mengenyam pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga sarjana (S-1) lebih
banyak di Desa Wonorejo. Masyarakat Desa Sumberwaru yang tamat sekolah dasar hanya 901
orang sedangkan di Desa Wonorejo terdapat 1.504 orang. Hal ini yang menyebabkan
pemerintah daerah mulai memperbanyak sekolah dasar lagi hingga sekarang terdapat 8 sekolah
dasar. Tamatan SLTP maupun SLTA di Desa Sumberwaru masih terbilang kalah dibandingkan
masyarakat di Desa Wonorejo.
Penduduk dengan tingkat pendidikan hingga S-1 di Desa Wonorejo mencapai 89 orang
sedangkan di Sumberwaru mencapai 41 orang. Kebanyakan masyarakat Desa Wonorejo
mengejar pendidikan hingga bangku kuliah dengan tujuan keluar kota Situbondo. Kebanyakan
dari mereka menempuh kuliah di Jember, Surabaya, Malang hingga Bali. Walaupun terkadang
orang tua hanya berprofesi sebagai petani biasa, namun semangat orang tua ini sangat tinggi di
dalam menyekolahkan anak-anaknya. Semangat ini lah yang membedakan antara masyarakat
Desa Wonorejo dengan Sumberwaru.
Ketika melihat tingkat pendidikan pasca SMU baik mulai dari D-1 hingga S-3 kita dapat
melihat bahwa di Desa Sumberwaru masyarakatnya lebih variatif. Masyarakat Desa
Sumberwaru sebagian kecil sangat fanatik dengan pendidikan terlebih dalam pendidikan agama.
Setelah tamat SMU kebanyakan orangtua menyekolahkan anaknya ke bangku D-1 atau yang lain.
Namun di masyarakat Desa Wonorejo, kebanyakan setelah tamat SMU sudah berani mulai
mencari pengalaman kerja. Rata-rata masyarakat Wonorejo lulusan SMU banyak bekerja ke
Pulau Bali.
2.5.4.Pola Pemukiman
Secara umum pola pemukiman di Desa Sumberwaru dapat dinyatakan sebagai pola
pemukiman yang tersebar. Namun tidak dalam artian tersebar seperti layaknya pola
pemukiman di wilayah perkebunan atau lahan-lahan pertanian. Sebagian wilayah Desa
Sumberwaru masih ada yang membentuk pola pemukiman terpusat dan memanjang mengikuti
aliran sungai dan jalan. Pemukiman tersebar mencapai sekitar 60 %, sedangkan pemukiman
terpusat sekitar 25% dan yang memanjang mencapai 15%.
Berbeda dengan di Desa Sumberwaru, justru di Desa Wonorejo hampir sebagian besar
pola pemukimannya terpusat atau mengelompok. Bisa dilihat bahwa pola pemukiman di desa ini
terkumpul secara rapat dan padat. Pola pemukiman terpusat dapat diperkirakan mencapai 70%
sedangkan beberapa pola pemukiman yang mengkuti jalan desa dan laut mencapai sekitar 30 %.
Dapat disimpulkan bahwa pola pemukiman penduduk di Desa Wonorejo merupakan
pemukiman terpusat.
2.5.5.Mata Pencaharian
Kondisi sosial masyarakat dalam suatu daerah sangat ditentukan oleh status sosial
yang baik. Menurut ilmu sosiologi pedesaan disebutkan bahwa status sosial masyarakat
ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya yang paling mendasar yaitu faktor tingkat
penghasilan masyarakat. Tingkat penghasilan dapat terukur melalui parameter mata
pencaharian atau pekerjaan masyarakatnya. Melalui mata pencaharian inilah dapat dilihat
kesejahteraan masyarakat suatu tempat.
Mata pencaharian masyarakat Desa Sumberwaru dan Wonorejo dapat dikatakan sangat
bervariatif. Mulai dari mata pencaharian petani, peternak, nelayan hingga pegawai negeri sipil
serta pengusaha pun ada. Apabila kita melihat angka buruh tani di Desa Wonorejo sangat tinggi
(2.676 orang) dibandingkan di Sumberwaru (347 orang). Hal ini disebabkan bahwa masyarakat
Desa Wonorejo hanya sebagian kecil orang yang mempunyai lahan pertanian. Sedangkan
kebanyakan dari pemilik lahan menggarapkan lahannya kepada tetangga sekitarnya. Hal ini
berbeda dengan di Sumberwaru, walaupun banyak warga yang memiliki lahan tetapi mereka
mayoritas digarap sendiri.
Pada tahap awal setelah taman nasional ditunjuk, perencanaan akan terfokus pada
pembentukan organisasi pengelolaan, rekonstruksi kawasan dan pengadaan sarana-prasarana
serta alat-alat inventaris pengelolaan. Rekonstruksi kawasan meliputi penatan batas luar
kawasan dan penataan ruang atau zonasi. Tata batas diperjelas untuk menegaskan eksistensi
kawasan taman nasional dalam jaringan lansekap disekitarnya, dimana otoritas pemangkuanya
dan peruntukannya juga beragam. Sementara tata ruang kawasan atau sistem zonasi tidak saja
sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di
taman nasional, tetapi juga merupakan ”penumpahruahan” konsep-konsep dan tujuan-tujuan
sistem perlindungan dan pelestarian yang akan mengendalikan kegiatan-kegiatan di dalamnya.
Pada dasarnya kegiatan-kegiatan pengelolaan dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
kelompok manajemen kawasan, manajemen sumberdaya alam, dan manajemen kelembagaan.
Secara umum kegiatan dalam tiga dimensi manajemen tersebut adalah :
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 30
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Keistimewaan ekologis menjadi faktor terpenting dalam proses zonasi yang biasanya
dilakukan dengan pendekatan jenis dan pendekatan keanekaragaman atau komunitas. Pada
pendekatan jenis, unsur-unsur pertimbangannya adalah endemisitas, kelangkaan, status
konservasi suatu jenis, fungsinya dalam ekosistem, dan simbolisme atau jenis flagship.
Sementara pada pendekatan keanekaragaman atau komunitas unsur-unsur yang
dipertimbangkan adalah kekayaan jenis, keterancaman komunitas, dan fragmentasi habitat.
Proses zonasi juga mempertimbangkan faktor ketinggian dengan unsur-unsur berupa landscape
(pegunungan, air terjun, dan pemandangan), igir sungai (termasuk persebaran penduduk yang
tergantung pada aliran sungainya), dan kemiringan.
Faktor sosial, ekonomi, dan budaya dikonsepkan dalam zona pemanfaatan dan zona
lain, yaitu zona tradisional, zona religi, dan zona khusus yang ditelaah dari sejarah masyarakat
kaitannya dengan ketergantungannya terhadap kawasan. Aspek pemanfaatan yang didesain
dalam sistem taman nasional secara formal adalah turisme, sehingga berbagai sumberdaya
turisme juga menjadi prioritas dalam proses zonasi, misalnya area yang memiliki pemandangan
indah, air terjun, jalur observasi dan interpretasi hidupan liar, dan lain-lain.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 31
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
1. Zona inti adalah kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan
adanya perubahan berupamengurangi, menghilangkan fungsi dan menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
2. Zona rimba adalah bagian Taman Nasional yang ditetapkan karena letak, kondisi dan
potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona
pemanfaatan.
3. Zona Perlindungan Bahari adalah bagian dari kawasan perairan laut yang ditetapkan
sebagai areal untuk perlindungan jenis tumbuhan, satwa dan ekosistem serta sistem
penyangga kehidupan.
4. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang ditetapkan karena letak, kondisi
dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam
dan kondisilingkungan lainnya.
5. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan sebagai areal untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-temurun
mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
6. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan sebagai areal untuk
pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
7. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan
sebagai areal untuk kegiatan keagamaan, kegiatan adat-budaya, perlindungan nilai-nilai
budaya atau sejarah.
8. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan sebagai areal untuk
pemukiman kelompok masyarakat dan aktivitas kehidupannya dan/atau bagi kepentingan
pembangunan sarana telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi dan lain-lain yang
bersifat strategis.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 32
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Tahapan penataan zona pengelolaan taman nasional diatur pada BAB IV Pasal 20
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.76/Menlhk-Stjen/2015 meliputi
tahapan :
1. Penyusunan
Penyusunan rancangan zona pengelolaan dilakukan oleh unit pengelola (Taman Nasional
Baluran), dengan cara menggabungkan hasil inventarisasi potensi kawasan dengan
kriteria masing-masing zona pengelolaan.
Hasil penyusunan rancangan berupa dokumen rancangan zona pengelolaan, yang
kemudian dibahas melalui konsultasi publik dengan para pihak. Dokumen rancangan zona
pengelolaan hasil konsultasi publik disusun dalam bentuk dokumen zona pengelolaan
yang dilampiri peta zona pengelolaan.
2. Penilaian
Penilaian dokumen zona pengelolaan dilakukan oleh Direktur Jenderal yang dalam hal ini
dapat menugaskan Direktur Teknis. Penilaian meliputi aspek administrasi dan substansi,
dan unsur-unsur yang meliputi deskripsi kawasan, analisis dan pembahasan serta
deskripsi masing-masing zona.
3. Pengesahan dan penetapan
Dalam hal hasil penilaian tidak memenuhi unsur-unsur penilaian, dokumen zona
pengelolaan dikembalikan untuk dilakukan penyempurnaan. Tetapi apabila telah
memenuhi unsur-unsur penilaian dokumen zona pengelolaan disampaikan oleh Direktur
Teknis kepada Direktur Jenderal untuk dilakukan pengesahan dengan menerbitkan surat
keputusan penetapan zona dengan tembusan kepada para pihak.
4. Penandaan batas
Penandaan batas dilakukan setelah penetapan zona pengelolaan, oleh unit pengelola
(Balai Taman Nasional Baluran). Penandaan batas dapat dilakukan secara bertahap sesuai
prioritas pengelolaan.
Lebih lanjut dijelaskan pula pada Pasal 26 ayat 1 dan 2, bahwa penetapan zona
pengelolaan menjadi dasar penyusunan rencana pengelolaan. Dan khusus untuk zona
pemanfaatan digunakan sebagai dasar penyusunan desain tapak.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 33
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
pengelola (Pasal 21, ayat 1), dengan cara menggabungkan hasil inventarisasi potensi kawasan
dengan kriteria masing-masing zona pengelolaan (Pasal 21, ayat 3). Kriteria zona pengelolaan
taman nasional disusun sebagai acuan dalam penataan kawasan guna terwujudnya pengelolaan
yang efektif dan efisien (Pasal 2). Ruang lingkup kriteria zona pengelolaan taman nasional diatur
pada Pasal 3 meliputi tujuan pengelolaan, jenis dan kriteria, peruntukan, tata cara penataan,
pemantauan dan evaluasi zona pengeloaan (Pasal 3). Tujuan pengelolaan ditentukan
berdasarkan hasil inventarisasi kawasan yang meliputi keunikan, keanekaragaman hayati,
ekosistem, geomorfologi, kondisi lingkungan, sejarah dan/atau budaya (Pasal 4, ayat 2).
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 34
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
A. Visi
Mengembalikan kondisi satwa dan habitatnya seperti pada kondisi awal tahun 1960-an,
serta mampu memberikan manfaat secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
C. Sasaran Strategis
a. Tujuan 1
Melakukan pengelolaan dan perlindungan habitat banteng dan peningkatan kapasitas
breeding Banteng secara efektif, efisien, dan lestari dengan sasaran :
Meningkatnya kualitas savanna dan habitat banteng.
Memperkuat kapasitas sistem breeding yang sedang dikembangkan untuk
menghasilkan individu-individu banteng baru dengan vitalitas tinggi yang siap
dilepas liarkan di TNB.
Meningkatkan dukungan dan kepedulian masyarakat dan stakeholder dalam
konservasi banteng. Meningkatkan kompetensi dan kecakapan staf dalam
pengelolaan, perlindungan dan manajemen breeding site
b. Tujuan 2
Melakukan pengelolaan wisata alam secara lestari dengan sasaran :
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 35
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Zonasi pengelolaan Taman Nasional Baluran yang terakhir disahkan tahun 2012
melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA)
Nomor : SK.228/W-Set/2012 tanggal 26 Desember 2012. Zonasi pengelolaan tersebut yang
didapat melalui penilaian zonasi (dengan metode scoring untuk menilai tingkat sensitivitas dan
tekanan ekologis sehingga dapat diketahui tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan pada
penegalolaan kawasan), penyamaan visi dan pencapaian kesepahaman dengan berbagai pihak.
Zonasi pengelolaan tersebut terdiri dari Zona Inti (ZI) +6.920,18 Ha (27,68 %), Zona Rimba (ZR)
+12.604,14 Ha (50,42 %), Zona Pemanfaatan (ZP)+1.856,51 Ha (7,43 %), Zona Tradisional (ZTr)
+1.340,21 Ha (5,36 %), Zona Khusus (ZKh) + 738,19 Ha (2,95 %), Zona Perlindungan Bahari
(ZB) ± 1.174,96 Ha (4,70 %) dan Zona Rehabilitasi (ZRe) +365,81 Ha (1,46 %).
Secara umum zona pengelolaan yang telah ada tersebut masih cukup relevan untuk
dijadikan dasar penerapan pengelolaan kawasan hingga saat ini. Kecuali beberapa zona di
beberapa bagian kawasan, karena adanya beberapa perubahan kondisi juga memerlukan
perubahan sebagai bentuk adaptasi pengelolaan. Yaitu :
A. Zona Inti
Zona Inti seluas 6.920,18 Ha (27,68 %). Sebaran spasial zona inti menutup semua wilayah
Gunung Baluran melebar ke arah timur kawasan sampai Bukit Malang, Bukit Motor dan
savanna Palongan. Dengan tujuan penetapan :
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 36
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
- Perlindungan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, savanna dataran rendah
dan dataran tinggi, hutan musim dataran rendah.
Pertimbangan penting penetapan daerah ini sebagai zona inti diantaranya adalah :
- Keberadaan potensi berikut upaya perlindungan habitat dan jenis satwa banteng
dan jenis mamalia besar lainnya (rusa timor, kijang, kerbau liar, macan tutul).
Pada perkembangannya hingga saat ini perlindungan pada skala prioritas tertinggi
terhadap potensi-potensi penting di daerah tersebut masih diperlukan. Namun demikian
relevansi area zona inti ini pada kondisi saat ini terutama berkaitan kebutuhan
pengelolaan dengan adanya invasi Acacia nilotica yang telah cukup luas (5.592,62 Ha di
tahun 2013). Dimana areal terinvasi Acacia niloticatersebut telah meluas hingga ke
daerah-daerah bertipe habitat savana di lereng Gunung Baluran yang berdampak
berubahnya tipe vegetasi savana menjadi tegakan homogen Acacia niloticasehingga
menuntut adanya perlakuan penanganan invasi dan pemulihan ekosistem.
B. Zona Rimba
Seluas 12.604,14 Ha (50,42 %). Mencakup wilayah yang sangat luas, mengelilingi Zona Inti
dan memisahkan dengan zona-zona lainnya. Di wilayah timur Zona Rimba membelah Zona
Inti di sepanjang jalan Batangan-Bekol (500 meter kanan dan 500 meter kiri jalan
Batangan-Bekol).Tujuan penetapan untuk pemanfaatan secara terbatas atas potensi jasa
lingkungan berupa kegiatan wisata alam, wisata bahari, wisata budaya, dan kegiatan
penelitian, pelatihan, demplot tanaman obat, tanaman keras dan tanaman budidaya.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 37
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
- Lahan Basah di sisi Barat Laut merupakan lokasi persinggahan burung air migrant
yang melintasi pulau Jawa.
Secara umum status zona rimba di daerah ini yang sesuai dengan kriteria zona
pengelolaan taman nasional pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor : P.76/Menlhk-Setjen/2015 ditetapkan karena letak, kondisi dan potensinya
mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan pemanfaatan, juga masih
dapat dinilai cukup relevan. Beberapa perubahan di perlukan pada daerah berstatus zona
rimba pada kondisi saat ini terutama berkaitan :
Zona Perlindungan Bahari berada di semua perairan Taman Nasional Baluran kecuali di
blok Bilik-Sijile (antara Tanjung Air Tawar sampai Tanjung Merak), dan sekitar pantai
Bama (antara Tanjung Batusampan sampai Blok Kajang).
E. Zona Tradisional
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 38
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Seluas total 1.340,21 Ha, meliputi areal di daerah Watunumpuk-Gatel di Karangtekok, dan
areal di daerah Blok Pal Boto hingga hutan pantai Perengan. Perubahan pada areal zona
tradisional ini terutama diperlukan di daerah Perengan, berkaitan perkembangannya saat
ini yang kemudian diketahui (dari hasil inventarisasi kawasan) merupakan daerah
konsentrasi satwa target (prioritas yaitu macan tutul). Selain itu tutupan daerah ini yang
berupa hutan pantai, secara umum masih merepresentasikan bentuk hutan primer dan
juga kantong keragaman vegetasi karena merupakan daerah peralihan dengan gradasi
perubahan vegetasi yang cukup panjang mulai hutan mangrove, hutan pantai (formasi
Barringtonia) hingga vegetasi daratan.
F. Zona Khusus
Seluas 738,19 Ha (2,95 %). Meliputi areal eks HGU. PT Gunung Gumitir di daerah Labuhan
Merak hingga Balanan, areal Translok AD di daerah Perengan, dan Tanah Gentong.
Pertimbangan penetapan berkaitan adanya sengketa kepemilikan lahan, dimana telah ada
pemanfaatan lahan sebagai pemukiman dan lahan pertanian pada saat masih berstatus
suaka margasatwa. Status zona khusus pada areal-areal ini masih diperlukan karena
upaya penyelesaiannya masih terus diupayakan hingga saat ini.Upaya tersebut meliputi
pendataan, monitoring, perlindungan areal kawasan sekitarnya sehingga tidak meluas
hingga terbentuknya tim terpadu untuk upaya penyelesaian mencakup pihak-pihak terkait
di tingkat kabupaten hingga propinsi.
Selain itu beberapa areal karena adanya sarana prasarana strategis memerlukan
penerapan status yang tepat guna mendukung efektivitas pengelolaannya ke depan yaitu :
Jalur jaringan SUTET lama (150 kV) melintasi daerah bertutupan hutan tanaman
(jati, gmelina) di Bitakol sejauh 22 km.
G. Zona Rehabilitasi
Seluas 365,81 Ha (1,46 %). Meliputi areal savana di daerah Karangtekok (Tanah Gentong,
savana Lemahbang hingga savana Alasmalang.
Relevansi keberadaannya saat ini terutama berkaitan dengan perkembangan laju invasi
Acacia nilotica pada areal bertipe vegetasi savana. Dimana sebagian besar areal terinvasi
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 39
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
A. Zona Inti :
a. Tujuan :
Perlindungan ekosistem atau merupakan perwakilan tipe ekosistem atau
fenomena/gejala alam dan formasi geologi yang masih asli atau alami;
Perlindungan daerah konsentrasi komunitas tumbuhan/biota target dan/atau
area dengan keragaman jenis yang tinggi;
Perlindungan daerah tempat kawin dan bersarang satwa target dan/atau tempat
berpijah dan pembesaran satwa dan/atau biota target;
Perlindungan daerah tempat singgah satwa migran secara periodik.
b. Peruntukan :
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 40
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 41
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 44
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Setelah tujuan pengelolaan dan beberapa kondisi tertentu (diatur pada Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.76/Menlhk-Setjen/2015) diatur
kesesuaian ruangnya pada skema zona pengelolaan ditentukan, bahan ini digunakan untuk
menentukan penempatan berbagai potensi dan kondisi kawasan sesuai dengan tujuan dan zona
pengelolaan. Sehingga dengan demikian akan terlihat, daerah atau bagian-bagian kawasan
setelah ditempatkan ruangnya pada skema zona pengelolaan memiliki kondisi dan potensi yang
saling bertentangan atau tidak.
Dapat dicontohkan suatu daerah atau bagian kawasan karena potensi keindahan
alamnya potensial untuk adanya pengembangan pemanfaatan tetapi di sisi lain juga merupakan
daerah konsentrasi satwa target. Pada daerah seperti ini harus dipertimbangkan secara khusus
untuk ditentukan prioritasnya, atau diakomodir kedua potensinya dengan perlakuan tertentu.
Sehingga dengan demikian bisa didapatkan bentuk atau konsep dimana antara tujuan
pengelolaan dengan kriteria zona dan dengan kondisi/potensi kawasan saat ini saling
berkesesuaian.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 45
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Tradisional) berpotensi
kontraproduktif pada
upaya peningkatan
populasinya.
4 Perlindungan daerah tempat Burung migran, elang jawa (ht pantai Keberadaannya di daerah
singgah satwa migran secara gatel, Semiang, Kacip) potensial konflik
periodik (Zona Inti) (interaksi tinggi dengan
manusia) perlu
perlakuan khusus.
5 Perlindungan daerah sebaran Banteng (Talpat, Bekol, Bama - Penempatan Zona
tumbuhan dan daerah jelajah Sumber Batu, Derbus, Evergreen; Tradisional di daerah
satwa serta Palongan – Semiang – Putatan - dengan kondisi/potensi
perkembangbiakan jenis Grekan; Tengkong – Bitakol – ini (terutama berkaitan
target (Zona Rimba, Panjaitan - Telogo) keberadaan banteng)
Perlindungan Bahari atau Macan Tutul (hutan musim daerah berpotensi
Tradisional) gunung, hutan pantai seluruh kontraproduktif pada
kawasan); upaya peningkatan
elang jawa (Kacip dsk.) populasinya.
Jalak Putih (savana-hutan musim
Bekol dan sekitarnya);
Kucing Bakau (ht.pantai seluruh
kawasan);
Pohon bayur, aren, Trenggulun, Kemiri
(hutan musim daerah gunung)
6 Perlindungan daerah zona inti Kondisional; mengikuti ploting Zona
dengan zona lainnya (Zona Inti
Rimba, Perlindungan Bahari)
7 Pemanfaatan daerah yang Entry gate dan VC (Karang tekok); Beberapa daerah dengan
memiliki potensi keindaham, Wisata Bahari, terumbu karang, potensi tinggi
daya tarik alam atau nilai lanskap pantai-savana-gunung, atraksi pemanfaatan merupakan
sejarah dengan aksesibilitas satwa, dll (Bilik-Sijile); daerah konsentrasi atau
yang dapat mendukung Wisata Bahari, terumbu karang, home range satwa target,
aktivitas pemanfaatan, lanskap pantai-savana-gunung, atraksi diantaranya macan tutul
memungkinkan pembangunan satwa, fasilitas akomodasi dll (Batu dan kucing bakau (hutan
sarana prasarana penunjang Hitam, Kajang, Cemoro, Kalitopo, pantai Batu Hitam,
pemanfaatan, bukan Bama, Kelor, Manting, Batusampan); Kajang, Cemoro, Kalitopo,
merupakan daerah atraksi satwa, lanskap savana, fasilitas Bama, Kelor, Manting,
konsentrasi biota target dan akomiodasi (Bekol); Sumber Nyamplung,
bukan merupakan areal lanskap mangrove-salflats, savana Sumber Batu), banteng
dengan keragaman jenis tinggi pantai, tegakan lontar, bird watching, (Bekol, Sumber
(Zona Pemanfaatan atau wisata bahari, wisata religi Nyamplung, Sumber
Tradisional) (Candibang); Batu) dan jalak putih
wisata bahari, entry gate dan VC, (Bekol).
treking hutan pantai, atraksi satwa, Prioritas pengelolaan
sunrise (Pantai Perengan); pada kedua potensi
entry gate dan VC, camping ground, tersebut harus disertai
waduk, bird watching, goa Jepang perlakuan atau syarat-
(Batangan-Waduk-Panggang); syarat khusus untuk
menara pandang, lanskap woodland menjamin
savana, rest area, wana wisata, bird keberlangsungan
watching, treking, entry gate dan VC keduanya.
(Bitakol-Panjaitan)
8 Pemanfaatan potensi jasling Sumber air artesis dengan kualitas Tidak ada potensi
(Zona Pemanfaatan, baik (Pantai Perengan) pertentangan
Tradisional)
9 Pemanfaatan daerah atau Rumput hijauan pakan ternak; hingga
bagian kawasan karena telah saat ini msh digunakan sbg areal
adanya pemanfaatan untuk penggembalaan (Gatel-Watunumpuk);
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 46
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Dari hasil analisa kesesuaian antara tujuan pengelolaan dengan kriteria zona dan
dengan kondisi/potensi kawasan saat ini sebagaimana terurai di atas, berikut penyimpulan
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 47
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
analisa tersebut dengan menempatkan daerah atau bagian-bagian kawasan berdasarkan potensi
dan kondisinya saat ini pada skema zona pengelolaan,yaitu :
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 48
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
4.5. Proyeksi Peta Hasil Ploting Lokasi Zona Pengelolaan dan Penentuan Luasnya
pada Kawasan Taman Nasional Baluran
Hasil akhir dari analisa sebagaimana terurai diatas adalah penempatan zona-zona
pengelolaan pada bagian-bagian kawasan Taman Nasional Baluran yang diorientasikan pada :
1. Tujuan pengelolan umum yang telah ditetapkan pada dokumen-dokumen perencanaan
sebelumnya,
2. Potensi atau kondisi kawasan pada saat ini, dan
3. Tujuan pengelolaan yang merupakan bentuk adaptasi pada dinamika atau perkembangan
kondisi dan potensi kawasan saat ini.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 49
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
Adapun luas dari masing-masing zona pengelolaan yang telah ditempatkan pada
bagian-bagian kawasan tersebut, dijelaskan pada tabel berikut :
PROPORSI
No ZONA PENGELOLAAN LUAS JUMLAH
(%)
1 Zona Inti 6.920,18 27,68
a. Wilayah Gunung 5.411,03
b. Daerah kering dataran rendah bagian timur 1.509,15
2 Zona Rimba 8.843,46 35,37
3 Zona Perlindungan Bahari 958,70 3,83
4 Zona Pemanfaatan
a. Zona Pemanfaatan Daratan 1.480,72 5,92
- Karang Tekok 5,07
- Bilik-Sijile 355,04
- Batuhitam-Bama-Batusampan 434,98
- Bekol 17,56
- Candibang 93,14
- Perengan 3,63
- Jalan Batangan-Bekol-Bama 25,81
- Batangan-Camping-Ground-Waduk 407,12
- Bitakol 138,37
b. Zona Pemanfaatan Perairan 883,13 3,55
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|III. METODOLOGI DAN TAHAPAN PENENTUAN 50
ZONA PENGELOLAAN
Balai Taman Nasional Baluran
- Bilik-Sijile 210,63
- Batu Hitam – Bama – Batu Sampan 474,01
- Candibang 138,48
- Perengan 65,00
5 Zona Tradisional
a. Zona Tradisional Daratan 762,33 3,05
- Watunumpuk-Gatel 74,22
- Daerah sekitar areak eks HGU 469,55
Palboto-Tegalwero 218,56
b. Zona Tradisional Perairan 1.042,49 4,17
- Perairan Sekitar Areal Eks HGU 924,31
- Perengan 118,18
6 Zona Rehabilitasi 3.511,52 14,05
a. Karangtekok 973,31
b. Labuhan Merak 385,01
c. Bekol dsk 1.850,93
d. Derbus dsk 302,26
7 Zona Khusus 592,47 2,37
a. Jalan Raya Banyuwangi-Surabaya 52,80
b. Areal Eks HGU (Labuhan Merak-Balanan) 331,64
c. Areal Translom AD di Perengan 62,05
d. Jaringan SUTET (150 kV) Karangtekok-Batangan 30,00
e. Jaringan SUTET (500kV) Karangtekok-Batangan 85,81
f. Areal Translok AD di daerah Blok Gentong 30,17
JUMLAH 25.000,00 100,00
Dari hasil analisis dan pembahasan dalam penyusunan rancangan zona pengelolaan,
zona-zona yang ada atau diterapkan dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Baluran ada 7
zona yaitu Zona Inti, Zona Rimba, Zona Perlindungan Bahari, Zona Pemanfaatan, Zona
Tradisional, Zona Rehabilitasi dan Zona Khusus. Zona Religi tidak diterapkan pada pengelolaan
kawasan bukan karena tidak ada. Aktivitas religi ada, yaitu yang berupa aktivitas ziarah pada
situs makam Nyai Fatimah yang ada di Candibang dan Pucuk Sera yang ada di Sirontoh, tetapi
aktivitas diakomodir berupa Zona Pemanfaatan dimana arealnya mencakup wilayah di
sekitarnya, sehingga mencakup aktivitas yang lain juga terutama yang berupa aktivitas wisata.
Pembagian zona tersebut berikut proporsi luasnya pada keseluruhan kawasan dan
perbandingannya dengan zona pengelolaan sebelumnya sebagai berikut :
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 52
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
Kedua lokasi Zona Inti ini dipisahkan oleh Zona Rimba yang diperuntukkan sebagai
buffer karena adanya jalan Batangan-Bekol-Bama.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 53
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
campuran baik dan didominasi oleh jenis-jenis Lapis kanopi hutan paling atas tersusun
oleh jenis-jenis pepohonan tinggi (> 30 m) seperti gebang (Corypha utan), gedrek
(Gyrocarpus americanus), kepuh (Sterculia foetida), Apak (Ficus sp.) dan trembesi (Albizia
saman). Pada lapis kanopi kedua didominasi oleh timongo (Kleinhovia hospita), serut
(Streblus asper), Peltophorum pterocarpum, Grewia spp. Dan lain-lain. Dan selain itu
berbagai jenis liana juga banyak dijumpai tumbuh di daerah ini.
Tutupan vegetasi daerah ini lazim dan sangat ideal dimanfaatkan oleh satwa sebagai
daerah cover, diantaranya yaitu banteng, macan tutul, lutung, kerbau liar, kijang dan lain-
lain.
d. Savana
Meski umum dijumpai di daerah kering dataran rendah, beberapa lokasi pada cakupan
Zona Inti ini berupa tutupan savana. Tumbuh mulai dataran rendah, lereng hingga
peralihan dengan hutan musim di bagian punggung gunung sebelah utara hingga timur.
Merupakan habitat utama bagi satwa pembentuk ekosistem savana seperti banteng, rusa,
kerbau liar, kijang, babi hutan, macan tutul, ajag, merak, ayam hutan dan lain-lain.
Keseluruhan sub-tipe vegetasi savana yang ada di Baluran dapat dijumpai pada cakupan
areal Zona Inti ini, yaitu :
Sub-tipe trees savana
Bentuk savana (dominasi rerumputan) berasosiasi dengn pepohonan jarang.
Terutama tersebar di daerah lereng hingga peralihannya dengan hutan musim di
bagian punggung gunung sebelah utara hingga timur.
Sub-tipe grass savana
Bentuk savana homogen rerumputan. Terutama tersebar di daerah puncak gunung.
Sub-tipe woodland savanna
Bentuk asosiasi vegetasi savana dengan hutan musim (hutan terbuka). Tersebar di
daerah kering dataran rendah pada sebaran hutan musim, hingga daerah lereng,
hingga peralihan dengan hutan musim di bagian punggung gunung sebelah utara
hingga timur.
Sub-tipe Shrub savanna
Bentuk asosiasi savana dengan perdu. Tersebar di daerah dinding kawah.
e. Semak belukar pegunungan
Terutama tersebar di daerah dinding kawah yang secara fisik habitatnya berupa tanah
bebatuan yang sangat curam dan sangat rentan erosi.
f. Hutan pantai
Sebagian kecil dari areal Zona Inti ini di bagian tenggara merupakan tutupan hutan pantai.
Yaitu daerah Grekan, Rowo Jambe, Putatan, dan Sumber Batu. Sebagian merupakan hutan
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 54
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
rawa tawar-payau atau umum dikenal sebagai formasi Barringtonia. Beberapa jenis
mangrove juga dijumpai tumbuh di aerah ini yaitu Sonneratia alba dan Excoecaria
agallocha. Secara fisik bahkan menunjukkan penampakan sebagai hutan primer yang
masih alami.
Selain merupakan daerah cover yang ideal, daerah ini juga merupakan daerah sumber air
dan kubangan alami satwa. Dan menjadi sangat strategis peran ekologisnya karena
berdekatan dengan daerah savna, yaitu Savana Palongan dan Savana Semiang. Jenis-jenis
satwa yang ada diantaranya banteng, kerbau liar, rusa, babi hutan, macan tutul, ajag,
lutung, kangkareng, tando, berbagai jenis musang dan lain-lain.
g. Hutan mangrove
Sebagian kecil dari areal Zona Inti ini di bagian tenggara juga dapat dujumpai tutupan
hutan mangrove. Yaitu di daerah Sirokok dan Sumber Batu. Berbagai jenis satwa yang
berhabitat di hutan pantai umumnya juga menggunakan tutupan vegetasi ini sebagai
habitat.
Secara umum nilai penting tertinggi dari daerah yang tercakup pada Zona Inti ini
adalah adanya tipe ekosistem/vegetasi yang cukup beragam, asli, secara umum masih
merepresentasikan kondisi alami, dengan keragaman jenis (flora-fauna) yang cukup tinggi.
Tetapi mengingat status perlindungan tertinggi yang diterapkan pada daerah ini untuk menjaga
keutuhan kondisinya, aktivitas pemanfaatan hendaknya harus sangat dibatasi. Untuk
kepentingan pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam pada daerah ini
sebagaimana diatur pembolehannya menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor : P.76/Menlhk-Stjen/2015), harus diringi dengan aturan yang ketat.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 55
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 56
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 57
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
Luas ± 93,14 Ha. Wisata religi, sun rise, atraksi satwa, bird watching, treking (hutan pantai,
savana).
f. Perengan
Luas ± 3,63 Ha. Sun rise, vew gunung.
g. Jalan Batangan – Bekol – Bama
Luas ± 25,81 Ha. Hutan musim-evergreen forest – savana – hutan pantai, bird watching.
h. Batangan – Camping – Ground – Waduk Bajulmati
Luas ± 407,12 Ha. Pintu masuk kawasan, pusat informasi, camping ground, bird watching,
waduk Bajulmati.
i. Bitakol
Luas ± 138,37 Ha. Rest area, treking, bird watching.
Di wilayah perairan Zona Pemanfaatan seluas total ± 888,13 Ha, mencakup lokasi-
lokasi yang terdiri dari :
a. Bilik-Sijile
Luas ± 210,63 Ha. Fishing, kanoing, snorkling, diving.
b. Bama
Luas ± 474,01 Ha. Fishing, kanoing, snorkling, diving.
c. Candibang
Luas ± 138,48 Ha. Fishing, sun rise.
d. Perengan
Luas ± 65,00 Ha. Sun rise, kanoing, fishing.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 58
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
Luas ± 30,17 Ha. Terletak di daerah Blok Gentong, di wilayah kerja Resort Watunumpuk.
Kondisi areal saat ini berupa lahan garapan untuk pertanian.
Zona Pengelolaan Taman Nasional Baluran Tahun 2016|V. ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 61
BALURAN
Balai Taman Nasional Baluran
Penetapan status zona khusus pada areal ini secara umum diorientasikan mendukung
upaya penyelesaian konflik kepemilikan lahan.