Anda di halaman 1dari 160

DEPARTEMEN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM


BALAI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
Jl. Poros Maros – Bone Km. 12 Bantimurung Telp. : (0411) 3880252, 3881699 Fax : (0411) 3880139
Email : tnbabul@tnbabul.org Website : www.tnbabul.org
M A R O S

RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG


TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
PERIODE 2008 – 2027
KABUPATEN MAROS DAN PANGKEP
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Maros, Juni 2008


RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG
TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
PERIODE 2008 – 2027
KABUPATEN MAROS DAN PANGKEP
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Dinilai di : Jakarta Disusun di : Maros


Pada Tanggal : Pada Tanggal : 27 Juni 2008

Oleh : Oleh :
Direktur Konservasi Kawasan Kepala Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung

Ir. Noor Hidayat, M.Sc Ir. D a r s o n o


NIP. 080044011 NIP. 710007319

Disahkan di : Jakarta
Pada Tanggal :

Oleh :
Direktur Jenderal PHKA
Departemen Kehutanan

Ir. Darori, MM
NIP. 080049355
Rencana Pengelolaan

Ringkasan Eksekutif

Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah menetapkan
beberapa bagian dari kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Kawasan
konservasi sendiri, berdasarkan fungsi pokoknya dibagi menjadi kawasan suaka
alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman
nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya) serta taman buru.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha yang
terletak di wilayah administratif Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi
Selatan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Sebelum berubah
fungsi menjadi taman nasional, kawasan ini berfungsi sebagai cagar alam seluas
± 10.282,65 Ha, taman wisata alam seluas ± 1.624,25 Ha, hutan lindung seluas ±
21.343,10 Ha, hutan produksi tetap seluas ± 10.355 Ha serta hutan produksi
terbatas seluas ± 145 Ha. Alih fungsi kawasan-kawasan tersebut menjadi taman
nasional didasarkan atas pertimbangan bahwa : kawasan tersebut merupakan
ekosistem karst yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan jenis-
jenis flora dan fauna endemik, unik dan langka; keunikan fenomena alam yang
khas dan indah; serta ditujukan untuk perlindungan sistem tata air.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan segala potensi,
keunikan dan permasalahannya perlu dikelola sesuai kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan. Agar pengelolaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien,
maka tujuan, sasaran dan langkah-langkah implementasi pencapaiannya harus
dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi pedoman dan arahan dalam
pengelolaan jangka panjang.
Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung merupakan pedoman dan arahan pengelolaan dalam kurun waktu
20 tahun terhitung sejak tahun 2008 sampai dengan 2027. Rencana pengelolaan
ini bersifat komprehensif dan indikatif dengan tahapan pelaksanaannya yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung i


Rencana Pengelolaan

dikelompokkan kedalam rencana karya lima tahunan (RKL) I, II, III dan IV,
berdasarkan skala prioritas dan urutan kegiatan. Tahapan pelaksanaan kegiatan
untuk pencapaian tujuan dan sasaran pengelolaan juga dirumuskan dengan
mempertimbangkan potensi kawasan, kondisi ekosistem, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan beserta permasalahannya,
serta prediksi kondisi di masa yang akan datang.
Rencana pengelolaan ini menguraikan kondisi biofisik kawasan, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, kondisi
pengelolaan saat ini, permasalahan-permasalahan yang dihadapi, kebijakan
pemerintah yang terkait dengan pengelolaan taman nasional (baik di tingkat
regional maupun nasional), visi dan misi pengelolaan, hasil-hasil analisa dan
proyeksi, serta rencana kegiatan pengelolaan yang akan dilaksanakan dalam
kurun waktu 20 tahun ke depan.
Berdasarkan hasil-hasil evaluasi dan analisa lebih lanjut atas data dan
informasi serta kondisi faktual dan permasalahan pengelolaan kawasan secara
menyeluruh, maka disusunlah rancangan kegiatan pengelolaan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung secara makro dan indikatif yang memuat seluruh
aspek pengelolaan menuju taman nasional yang mandiri, mantap, lestari, serasi
dan harmonis bersama para stakeholder terkait. Aspek-aspek pengelolaan yang
termuat di dalam rencana pengelolaan jangka panjang ini terdiri dari upaya
pemantapan kawasan, pemantapan perencanaan pengelolaan, pengembangan
sarana dan prasarana pengelolaan, pengembangan pengelolaan data dan
informasi, pengelolaan potensi kawasan, upaya perlindungan dan pengamanan
kawasan, pengembangan pengelolaan kegiatan penelitian dan pendidikan,
pengelolaan wisata alam dan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan,
upaya pengembangan dan pemantapan koordinasi, integrasi dan kolaborasi,
upaya pengembangan dan pembinaan daerah penyangga kawasan, upaya
restorasi, rehabilitasi dan reklamasi ekosistem, serta upaya-upaya monitoring
dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ii


Rencana Pengelolaan

Tim Penyusun

Penanggung Jawab : Ir. Darsono (Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung)

Tim Pengarah : 1. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc (Fakultas Kehutanan


Universitas Hasanuddin)
2. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Sc (Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin)
3. Ir. Sri Winenang, MM
4. Ir. Suminarto (Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung)
5. Abdul Rajab, S.TP (Kepala Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah I Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung)
6. Dedy Asriady, S.Si (Kepala Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah II Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung)

Tim Pelaksana :
Iskandar, S.Hut Hariady Siswantoro, S.Si
Siti Maryam, S.Pi Erna Ristyanti, SP
Suci A. Handayani, S.Hut Ida Parida, S.Hut
Yopi Bali, S.TP Mahdi, S.Hut
Iqbal A. Rasjid, S.Pt Nur Buana, S.Hut
Chaeril, S.Hut Sahruddin, S.Hut
Tahari, S.Hut Rusman Mulyadi
Usman, S.Hut Saiful Bachri
Safiuddin, S.Hut Samsuriati Ahmad
Muh. Nur Hidayat Alamsyah
Muh. Yunus

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung iii


Rencana Pengelolaan

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karuniaNya yang telah diberikan kepada kami semua sehingga
dapat menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung Periode 2008 – 2027.
Penyusunan rencana pengelolaan ini memerlukan proses yang cukup panjang
dengan tidak sedikit sumber daya yang dicurahkan dalam pelaksanaannya. Sejak
pertengahan tahun 2006 telah dilakukan pengumpulan data dan informasi primer dan
sekunder serta penyusunan draft rencana pengelolaan ini. Pada tahun 2007, dilakukan
penyempurnaan-penyempurnaan dengan memanfaatkan data dan informasi terbaru,
hasil-hasil kajian di lingkup internal dan eksternal Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, serta hasil-hasil konsultasi publik yang diadakan pada berbagai tingkatan
(kalangan masyarakat dan birokrasi di tingkat kabupaten dan provinsi). Pada tahun 2008,
draft rencana pengelolaan jangka panjang ini kemudian kembali dicermati dan
disempurnakan karena banyaknya data dan informasi yang perlu diperbaharui serta
dengan memperhatikan perubahan kebijakan-kebijakan pembangunan, baik di tingkat
nasional maupun di tingkat regional.
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Periode 2008 – 2027 disusun berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor :
59/Kpts/DJ-VI/1993 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman
Nasional dan Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor : 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang
Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan
Hutan Lindung. Dalam perjalanannya, muatan dari rencana pengelolaan ini kemudian
disempurnakan dengan berpedoman pada draft Peraturan Menteri Kehutanan tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Kami sangat mengharapkan rencana pengelolaan ini dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien, serta diperoleh hasil dan manfaat yang optimal. Kepada seluruh pihak
yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan rencana
pengelolaan ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas kerja
kerasnya selama ini. Akhir kata, semoga rencana pengelolaan ini dapat bermanfaat.

Maros, 27 Juni 2008


Kepala Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung

Darsono
NIP. 710007319

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung iv


Rencana Pengelolaan

Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif........................................................................................................ i
Tim Penyusun ................................................................................................................. iii
Kata Pengantar ............................................................................................................... iv
Daftar Isi .......................................................................................................................... v
Daftar Tabel .................................................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Maksud dan Tujuan............................................................................................ 3
C. Ruang Lingkup ................................................................................................... 4
D. Batasan Pengertian............................................................................................ 5
II. DESKRIPSI KAWASAN ........................................................................................... 8
A. Risalah Kawasan ............................................................................................... 8
B. Kondisi Umum Kawasan .................................................................................... 27
C. Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat ......................................................... 43
D. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Telah Berkembang ............................. 47
E. Kelembagaan Masyarakat ................................................................................. 49
F. Permasalahan Kawasan .................................................................................... 49
III. KEBIJAKAN .............................................................................................................. 53
A. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional ........................................................... 53
B. Kebijakan Pembangunan Daerah ...................................................................... 86
IV. VISI DAN MISI PENGELOLAAN .............................................................................. 93
A. Visi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung .......................... 93
B. Misi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.......................... 94
V. ANALISA DAN PROYEKSI ...................................................................................... 98
A. Faktor Kekuatan, Kendala, Peluang dan Tantangan......................................... 98
B. Analisa ............................................................................................................... 99
VI. RENCANA KEGIATAN............................................................................................. 102
A. Pemantapan Kawasan ....................................................................................... 102
B. Perencanaan...................................................................................................... 105
C. Pengembangan Sarana dan Prasarana ............................................................ 106
D. Pengelolaan Data dan Informasi........................................................................ 106
E. Pengelolaan Potensi Kawasan .......................................................................... 107
F. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan......................................................... 110
G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan ............................................. 113
H. Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan ........................ 114
I. Pengembangan Integrasi, Koordinasi, dan Kolaborasi...................................... 118
J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga ....................................... 118
K. Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi Ekosistem............................................ 121
L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan .................................................................. 121
VII. PENUTUP................................................................................................................. 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 134
LAMPIRAN

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung v


Rencana Pengelolaan

Daftar Tabel
Tabel 1 : Kondisi Kependudukan pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006....................................................... 44
Tabel 2 : Kondisi Pendidikan Masyarakat pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006........................................ 45
Tabel 3 : Rencana Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung................................................................................................. 122

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung vi


I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Upaya yang dilakukan secara sistematis
ini bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui:
perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karenanya, berhasilnya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran
konservasi, yaitu : (1) menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan
manusia; (2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe
ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan
sumber daya alam hayati bagi kesejahteraannya; dan (3) mengendalikan cara-cara
pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat
sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana,
belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan lahan serta belum berhasilnya
Rencana Pengelolaan

sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat


mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, serta degradasi potensi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah
dengan menetapkan beberapa bagian dari kawasan hutan sebagai kawasan
konservasi. Kawasan konservasi sendiri, berdasarkan fungsi pokoknya dibagi
menjadi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan
pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), serta
taman buru.
Salah satu di antara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah
Republik Indonesia adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman
nasional ini ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung - Bulusaraung Seluas ± 43.750
(empat puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh) Hektar terdiri dari Cagar Alam Seluas ±
10.282,65 (sepuluh ribu dua ratus delapan puluh dua enam puluh lima perseratus)
Hektar, Taman Wisata Alam Seluas ± 1.624,25 (seribu enam ratus dua puluh empat
dua puluh lima perseratus) Hektar, Hutan Lindung Seluas ± 21.343,10 (dua puluh
satu ribu tiga ratus empat puluh tiga sepuluh perseratus) Hektar, Hutan Produksi
Terbatas Seluas ± 145 (seratus empat puluh lima) Hektar, dan Hutan Produksi Tetap
Seluas ± 10.355 (sepuluh ribu tiga ratus lima puluh lima) Hektar terletak di
Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Penunjukan kawasan ini sebagai taman nasional oleh
Menteri Kehutanan dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati dan
DPRD Kabupaten Maros, Bupati dan DPRD Kabupaten Pangkep, serta Gubernur
dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Kawasan Hutan Bantimurung Bulusaraung di Kabupaten Maros dan Pangkep
Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk menjadi taman nasional antara lain dengan
pertimbangan: keunikan ekosistemnya yang sebagian besar berupa ekosistem karst
yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati dengan keanekaragaman yang tinggi
serta keunikan dan kekhasan gejala alam dengan fenomena alam yang indah;
berbagai jenis flora dan fauna endemik, langka dan unik; serta untuk keperluan
perlindungan sistem tata air beberapa sungai besar dan kecil di Provinsi Sulawesi
Selatan. Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan bentang alam karst terluas
kedua di dunia setelah bentang alam karst yang ada di China bagian Selatan.
Atas dasar potensi dan keunikan itu pula maka kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung perlu dikelola dengan baik sesuai kaidah-kaidah atau

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 2


Rencana Pengelolaan

norma-norma yang berlaku, dengan arah, tujuan dan sasaran yang jelas, serta
sedapat mungkin mampu mengakomodir berbagai kepentingan berdasarkan fungsi
pokoknya secara lestari, seimbang dan berkesinambungan. Pengelolaan kawasan
taman nasional diarahkan pada pencapaian multi manfaat kawasan dengan tetap
mengacu para prinsip-prinsip kelestarian.
Pada awal pelaksanaan pengelolaan, telah dilaksanakan evaluasi dan analisa
terhadap kondisi pengelolaan kawasan dengan memanfaatkan data dan informasi
yang semakin faktual. Berdasarkan hasil evaluasi dan analisa tersebut, diperoleh
kesimpulan bahwa kondisi pengelolaan kawasan masih jauh dari kondisi optimal,
bahkan dapat dikategorikan sebagai kawasan yang masih dalam tahap pemantapan
prakondisi. Kondisi kelembagaan pengelola kawasan juga demikian adanya dengan
sekian banyak kelemahan dari segala aspek.
Agar pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat berjalan
pada arah yang benar, mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan secara efektif dan
efisien, serta pencapaian multi manfaat kawasan berdasarkan fungsi pokoknya,
maka diperlukan suatu dokumen perencanaan pengelolaan untuk keperluan jangka
panjang (dalam hal ini untuk keperluan 20 tahun) yang bersifat komprehensif dan
indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka
menengah, rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung disusun sebagai
perangkat lunak pengelolaan kawasan yang menyeluruh serta memperhatikan skala
prioritas dan kebutuhan pengelolaan di masa yang akan datang.
Dokumen perencanaan pengelolaan ini merupakan pedoman dan arahan
pengelolaan kawasan taman nasional dengan berbagai macam potensi di dalamnya
serta potensi sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya, yang sekiranya
berpengaruh terhadap kelestarian kawasan dan sebaliknya. Rencana pengelolaan
taman nasional ini diharapkan dapat mengakomodir dengan baik prinsip-prinsip
keilmuan (baik secara ilmiah maupun teknis) serta nilai-nilai estetika menuju kepada
kemandirian pengelolaan taman nasional,
keseimbangan berbagai komponen di dalamnya, juga Pintu Gerbang Bantimurung

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

B. Maksud dan Tujuan


Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dimaksudkan
untuk menyediakan perangkat lunak pengelolaan
taman nasional sebagai landasan untuk melaksanakan
upaya-upaya pengelolaan menuju kemantapan fungsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 3


Rencana Pengelolaan

dan manfaat kawasan, baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial dan budaya
secara serasi dan seimbang.
Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
bertujuan untuk memberikan pedoman dan arahan bagi pengelolaan kawasan dan
seluruh potensinya secara komprehensif dan indikatif untuk keperluan jangka
panjang (20 tahun), yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan
jangka menengah, rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis.

C. Ruang Lingkup
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2008-
2027 memuat :
1. Deskripsi kawasan, yang memuat informasi mengenai :
a. Risalah kawasan, meliputi sejarah kawasan, progres pengukuhan, dan
karakteristik penunjukan kawasan (flag species atau ekosistem);
b. Kondisi umum, meliputi kondisi fisik, dan bioekologi :
- Kondisi fisik kawasan, meliputi letak dan luas kawasan, letak
astronomis/geografis, administratif, uraian batas kawasan, iklim, geologi
dan tanah, topografi dan kelerengan, hidrologi, potensi wisata, sarana
prasarana, dan aksesibilitas;
- Kondisi bioekologi meliputi tipe ekosistem, flora dan fauna;
c. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di dalam/ sekitar kawasan;
d. Praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam yang telah berkembang;
e. Kelembagaan masyarakat yang ada;
f. Permasalahan kawasan.
2. Kebijakan, yang memuat informasi mengenai :
a. Kebijakan pengelolaan kawasan;
b. Kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten.
3. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan
4. Analisa dan proyeksi, yang berisi data dan informasi yang diolah dengan
mempertimbangkan berbagai aspek terkait secara komprehensif melalui analisa
SWOT, untuk mendapatkan alternatif kegiatan dalam perencanaan yang dapat
dituangkan berdasarkan prioritas.
5. Rencana kegiatan, yang menguraikan rencana kegiatan jangka panjang yang
dapat dijabarkan dalam rencana pengelolaan jangka menengah dan jangka
pendek, meliputi kegiatan-kegiatan antara lain:
a. Pemantapan kawasan (pengukuhan, pemeliharaan batas, penataan zona/
blok);
b. Penyusunan rencana;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 4


Rencana Pengelolaan

c. Pembangunan sarana dan prasarana;


d. Pengelolaan data dan informasi;
e. Pengelolaan potensi kawasan (pengelolaan, pembinaan, dan konservasi
genetik, spesies, komunitas, dan habitat/ ekosistem);
f. Perlindungan dan pengamanan;
g. Pengelolaan kegiatan penelitian dan pendidikan;
h. Pengelolaan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan;
i. Pengembangan integrasi, koordinasi, dan kolaborasi;
j. Pengembangan dan pembinaan daerah penyangga;
k. Restorasi, rehabilitasi, dan reklamasi ekosistem; serta
l. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan.
6. Peta-peta kawasan yang terdiri dari : peta situasi; peta topografi; peta geologi;
peta tanah; peta curah hujan; peta penutupan vegetasi; peta sebaran flora dan
fauna penting; peta sarana dan prasarana yang sudah ada serta peta rencana
pengembangan sarana dan prasarana (site-plan); dan peta sebaran obyek
wisata.

D. Batasan Pengertian
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah.
5. Hutan/ kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
6. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem.
7. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 5


Rencana Pengelolaan

8. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara
unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan
pengaruh mempengaruhi.
9. Tumbuhan alam adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara,
yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.
10. Satwa liar adalah semua binatang yang
hidup di darat, dan atau di air, dan atau
di udara yang masih mempunyai sifat-
sifat liar baik yang hidup bebas maupun
yang dipelihara oleh manusia.
11. Habitat adalah lingkungan tempat
Air Terjun Bantimurung tumbuhan atau satwa dapat hidup dan
berkembang secara alami.
12. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
14. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia.
15. Perencanaan kehutanan adalah proses
Giant Label
penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan
perangkat yang diperlukan dalam pengurusan
hutan secara lestari untuk memberikan
pedoman dan arahan guna menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan.
16. Sistem perencanaan kehutanan adalah
rangkaian penyusunan, penilaian dan
penetapan jenis-jenis rencana kehutanan yang
menyangkut substansi, mekanisme dan proses, dalam rangka mewujudkan
rencana-rencana kehutanan yang sinergi, utuh dan menyeluruh serta menjadi
acuan bagi pembangunan sektor kehutanan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 6


Rencana Pengelolaan

17. Penyusunan rencana pengelolaan adalah proses penetapan tujuan, penentuan


kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengelolaan kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam.
18. Rencana pengelolaan taman nasional adalah panduan yang memuat tujuan,
kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan taman
nasional.
19. Rencana pengelolaan jangka panjang taman nasional adalah rencana makro
yang bersifat komprehensif dan indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan
rencana pengelolaan jangka menengah, rencana pengelolaan jangka
pendek/tahunan dan rencana-rencana teknis di kawasan taman nasional.
20. Rencana pengelolaan jangka menengah taman nasional adalah rencana yang
bersifat strategis, kualitatif dan kuantitatif yang disusun berdasarkan rencana
pengelolaan jangka panjang.
21. Rencana pengelolaan jangka pendek/ tahunan adalah rencana pengelolaan yang
bersifat teknis operasional, kualitatif dan kuantitatif, yang disusun berdasarkan
dan merupakan penjabaran rencana pengelolaan jangka menengah.
22. Pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah upaya
terpadu dalam penataan, pengembangan, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengawasan, perlindungan, dan pengendaliannya.
23. Sistem zonasi/ blok adalah pembagian wilayah Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam menjadi zona-zona/ blok-blok guna menentukan
kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dalam rangka mencapai
tujuan dan sasaran sesuai dengan fungsinya.
24. Zona/ blok kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah wilayah di
dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang dibedakan
menurut fungsi dan kondisinya.

Bantimurung
“The Kingdom of Butterfly”

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 7


II
Deskripsi Kawasan

A. Risalah Kawasan
1. Sejarah Kawasan
Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang
pernah menjelajah Kepulauan Indo-Malaya dari tahun 1856 sampai dengan
1862. Wallace melakukan ekplorasi flora dan fauna di kawasan Bantimurung dari
tanggal 11 Juli 1857 sampai dengan awal Nopember 1857 dan berhasil
mengumpulkan cukup banyak koleksi speciemen di wilayah Maros. Sejak
kembalinya ke Inggris sampai dengan tahun 1886, Wallace menerbitkan delapan
belas dokumen, baik berupa catatan maupun proceeding untuk Linnaean
Zoological and Entomological Societies yang menggambarkan atau
mendeskripsikan koleksi speciemennya. Setelah itu, ia kemudian menuliskan dan
menerbitkan jurnal perjalanan selama enam tahunnya ke Kepulauan Indo-Malaya
yang berjudul “The Malay Archipelago”.
Sejak kembali ke Inggris dan mulai menuliskan laporan-laporan perjalanan
dan koleksi speciemennya sampai dengan terbitnya “The Malay Archipelago”,
sejak saat itu pulalah keanekaragaman hayati kawasan Indo-Malaya terutama
kawasan Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya mulai dikenal oleh para naturalis,
ilmuan serta masyarakat di kawasan Eropa bahkan mungkin ke seluruh dunia.
Deskripsi kawasan Karst Maros-Pangkep dan keanekaragaman faunanya
dianggap sudah cukup lengkap pada saat itu, dan Wallace sendiri memberikan
julukan “The Kingdom of Butterfly” untuk kawasan Bantimurung dan sekitarnya.
Rencana Pengelolaan

Begitu terkenalnya “The Malay Archipelago” karangan Wallace, buku ini dicetak
ulang sampai edisi yang kesepuluh pada bulan Oktober 1890 dan masih terus
direproduksi hingga saat ini.
Di masa-masa berikutnya deskripsi Wallace dijadikan acuan untuk
membatasi zona biogeografi di kawasan Indo-Malaya. Zona Oriental di bagian
Barat mencakup daratan Asia dan Kepulauan Sunda Besar yang terdiri dari
Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura serta Bali. Papua dan Kepulauan
Aru yang terletak di paparan benua Australia menjadi bagian dari Zona Australia.
Diantara kedua zona tersebut terdapat suatu zona peralihan yang terdiri dari
Sunda Kecil, Sulawesi, Kepulauan Maluku serta Wilayah Kepulauan Philipina.
Kawasan peralihan ini membentuk suatu zona geologis aktif yang sudah
terisolasi untuk sekurang-kurangnya beberapa ratus ribu tahun. Kawasan
peralihan ini disebut zona biogeografi Wallacea karena formasi faunanya yang
berbeda dari kedua zona tadi (Alikodra, 1990). Zona Wallacea merupakan
daerah peralihan yang dibatasi oleh Garis Wallace di sebelah Barat dan Garis
Lydekker di sebelah Timur (Sastrapradja dkk, 1989 dalam Alikodra, 1990).
Deskripsi yang dibuat oleh Wallace tentang kawasan Sulawesi dan pulau-
pulau satelitnya serta garis imaginer yang membatasi zona biogeografis antara
kawasan Oriental dengan kawasan Wallacea kemudian banyak mengundang
para ilmuan dari seluruh dunia datang ke Sulawesi. Para ilmuan tersebut selalu
saja kembali menapaki tempat-tempat yang digambarkan oleh Wallace serta
bagian lain pulau Sulawesi.
Hal lain yang menarik dari kawasan ini adalah bentang alam karst yang
berbangun menara. “The Spectacular Tower Karst”, begitu kemudian orang-
orang memberikan nama pada kawasan karst Maros-Pangkep. Memang berbeda
dengan kebanyakan kawasan The Spectacular Tower Karst
karst di tempat-tempat lain yang
pada umumnya berbentuk
Conicall Hill Karst, karst Maros-
Pangkep berbentuk menara-
menara yang berdiri sendiri
maupun berkelompok membentuk
gugusan pegunungan batu
gamping. Ko (2001) menginformasikan bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep
sudah dikenal oleh dunia internasional sejak sebelum perang dunia II. Kawasan
ini antara lain juga dikenal melalui publikasi ahli geografi Danes. Kawasan ini
dikatakan memiliki bentukan alam (geomorfologi) yang amat khas dan tidak
dijumpai di tempat lain.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 9


Rencana Pengelolaan

Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan kawasan karst menara yang


memiliki keunikan geomorfologi yang tiada duanya di Indonesia, keindahan
panorama alamnya serta potensi biodiversitynya juga sangat kaya. Di kawasan
ini terdapat tidak kurang dari 284 species tumbuhan berkayu, 103 species Kupu-
kupu yang beberapa diantaranya merupakan jenis endemik, serta 29 gua yang
dihiasi lukisan-lukisan manusia purba (Anonim, 2001). Karst Maros-Pangkep
menjadi kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena landsekapnya
yang spesifik dan ornamen gua terindah (ACS 1989; Anonim 1986, 1987, 1991;
Deharveng & Bedos 1999; McDonald 1976; Whitten et al. 1987 dalam
Suhardjono dkk 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng & Bedos 1999
dalam Suhardjono dkk 2007).
Di awal abad kedua puluh, tepatnya pada
tahun 1902-1903, Sulawesi Selatan kembali
ramai dibicarakan. Kali ini oleh para ahli
prasejarah. Frits Sarasin dan Paul Sarasin
berhasil menemukan sisa-sisa peralatan
manusia prasejarah berupa serpih, bilah, mata
panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di
Gua Cakondo, Ulu Leba dan Balisao Kabupaten
Maros. Berdasarkan temuan-temuan tersebut,
para ahli menyimpulkan bahwa pada masa
Situs Prasejarah
prasejarah, Sulawesi merupakan salah satu
daerah lintasan yang strategis bagi perpindahan penduduk dari daratan Asia
Tenggara ke kawasan Pasifik. Dalam perjalanan migrasi tersebut, Gua-gua
payung atau rock shelter merupakan satu-satunya tempat yang ideal untuk
berlindung. Baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit bagi para
imigran (Gunadi, 1997 dalam Achmad, 2001).
Gunadi (1997) dalam Achmad (2001) juga menginformasikan bahwa dari
hasil survey dan pendataan di kawasan Karst Maros-Pangkep yang dilakukan
oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan dan
Tenggara, diketahui sedikitnya ada 66 gua prasejarah yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Balocci, Pangkajene, Labbakkang dan Kecamatan
Bungoro. Berbeda dengan informasi tersebut, pada tahun 2007 Balai
Peninggalan Prasejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan melaporkan 27 Situs
Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-Pangkep dari total 89 gua
prasejarah yang ada (Muh. Natsir pers. Comm.).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 10


Rencana Pengelolaan

Peta Sebaran Situs Purbakala di Kawasan Karst Maros-Pangkep (Atas).


Lukisan-lukisan pada dinding gua prasejarah di Kawasan Karst Maros-Pangkep (bawah)

Pada awal abad keduapuluh, pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa


atas Kepulauan Nusantara saat itu mulai menertibkan status kepemilikan lahan
dan bukti-bukti administrasinya, termasuk pula penetapan dan penataan
kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di wilayah Sulawesi, seluruh
bagian kawasan karst Maros-Pangkep serta areal berhutan lain di sekitarnya
ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 11


Rencana Pengelolaan

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan


penyerahan kekuasaan secara penuh kepada Pemerintah Indonesia pada tahun
1949, Pemerintah Indonesia masih tetap menggunakan kelengkapan-
kelengkapan administrasi tersebut sebagai acuan pengelolaan sumber daya
hutan yang berupaya dimanfaatkan secara bijaksana sebagai salah satu modal
dasar pembangunan ekonomi. Belum adanya model pengurusan hutan yang
jelas pasca kemerdekaan Indonesia membuat pemerintah mulai berpikir untuk
menyusun suatu perangkat perundang-undangan yang mengatur hutan dan
kehutanan. Pada tahun 1967, diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan sebagai dasar
pengelolaan hutan dan kawasan hutan di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, kebutuhan akan lahan semakin
meningkat dan ada banyak keinginan, tujuan dan kepentingan dari berbagai
pihak terhadap hutan dan kawasan hutan. Bertolak dari kenyataan yang
demikian tersebut, pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dipandang perlu
untuk disinkronkan dengan kepentingan berbagai sektor. Untuk itulah kemudian
mulai dilakukan pengumpulan, pengolahan data dan penyusunan tata guna
hutan kesepakatan di Indonesia yang berisi peta kawasan hutan dan fungsinya
serta areal-areal cadangan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor
kehutanan. Tahun 1976, Menteri Pertanian RI yang menangani urusan
kehutanan pada saat itu menerbitkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di
seluruh wilayah Republik Indonesia. TGHK kemudian juga ditindaklanjuti dengan
pembagian kelompok-kelompok hutan di setiap wilayah propinsi. Pada tahun
1982, Menteri Pertanian menerbitkan Keputusan Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982
tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penetapan Kelompok-kelompok Hutan.
Kurang lebih dua dekade kemudian, Pemerintah menerbitkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
yang antara lain mengatur tentang adanya tata ruang sebagai wujud struktur dan
pola pemanfaatan ruang di suatu wilayah administratif pemerintahan. Tata ruang
tersebut dibedakan menjadi tata ruang nasional, tata ruang propinsi dan tata
ruang wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan perundang-undangan ini maka
setiap pemerintah propinsi dan kabupaten/kota kemudian menyusun rencana
tata ruang wilayah. Namun patut disayangkan, rencana tata ruang wilayah yang
disusun pada umumnya tidak sejalan dengan tata guna hutan kesepakatan yang
telah disusun sebelumnya.
Untuk menghindari berlanjutnya kontradiksi antara rencana tata ruang
wilayah dengan tata guna hutan kesepakatan, maka pada tahun 1997
Departemen Kehutanan kemudian mulai melakukan sinkronisasi kedua dokumen

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 12


Rencana Pengelolaan

tersebut di setiap propinsi. Sulawesi Selatan berhasil menyelesaikan Paduserasi


TGHK-RTRWP pada tahun 1999 dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor: 276/IV/Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 tentang
Penetapan Hasil Paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Tata
Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Berdasarkan surat keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut beserta peta
lampirannya, Menteri Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Keputusan
Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan Kembali
Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 3.879.771 Ha.
Berdasarkan semua dokumen tersebut, kawasan Karst Maros-Pangkep dan
kawasan lain di sekitarnya tetap merupakan kawasan hutan dengan fungsi
lindung, produksi dan konservasi.

Karst Maros-
Pangkep

Paduserasi TGHK – RTRWP Sulawesi Selatan (BPKH Wil. VII, 1999)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 13


Rencana Pengelolaan

Air terjun Bantimurung yang mulai terkenal sejak kunjungan Wallace


dijadikan kawasan konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan
Guvernements Besluits tanggal 21-2-1919 No. 6 Staatblad No. 90. Antara
dekade 1970-1980, di kawasan Karst Maros-Pangkep telah ditunjuk dan/atau
ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas ± 11.906,9 Ha. Sebagian kawasan
Bantimurung karena potensi wisata tirta, panorama alam dan gua-gua alamnya,
ditunjuk kembali menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama
TWA. Bantimurung seluas 118 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 237/Kpts/Um/3/1981 tanggal 30 Maret 1981. Kawasan hutan di sekitar
Pattunuang Asue ditetapkan menjadi kawasan konservasi taman wisata alam
dengan nama TWA. Gua Pattunuang seluas 1.506,25 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 59/Kpts-II/1987 tanggal 12 Maret 1987.
Penunjukan kawasan ini didasarkan pada potensi wisata tirta wilayah tersebut,
keanekaragaman hayatinya, panorama alamnya, fenomena tebing-tebing
karstnya yang ideal untuk wisata alam minat khusus, legenda tentang perahu
yang membatu (Biseang Labboro) di Sungai Pattunuang, serta gua-gua alamnya.
Sebagian kawasan karst Bantimurung (karena mempunyai
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, kondisi alam, baik biota maupun
fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, ciri khas
potensi yang merupakan contoh ekosistem karst yang keberadaannya
memerlukan upaya konservasi, komunitas tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya yang langka) ditunjuk menjadi kawasan konservasi cagar alam
dengan nama CA. Bantimurung seluas 1.000 Ha berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor : 839/Kpts/Um/11/1980 tanggal 23 Nopember 1980. Tidak jauh
berbeda dengan pertimbangan tersebut di atas, kawasan karst dan hutan pamah
primer di wilayah sebelah Timur Bantimurung ditunjuk menjadi kawasan
konservasi cagar alam dengan nama CA. Karaenta seluas 1.000 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 647/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober
1976. Berdasarkan hasil penataan batas CA. Karaenta yang dilaksanakan pada
tahun 1979/1980, luasnya definitifnya berubah menjadi 1.226 Ha.
Kawasan konservasi yang lain adalah CA. Bulusaraung. Kawasan ini
memiliki komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistem yang memerlukan
upaya konservasi. Kawasan ini terletak di wilayah paling Utara Kabupaten Maros
yang berbatasan dengan wilayah administratif Kabupaten Bone. Kawasan seluas
5.690 Ha yang merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Bulusaraung ini
ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 607/Kpts/Um/8/1980 tanggal 20 Agustus 1980. Berdasarkan hasil
penataan batas CA. Bulusaraung yang dilaksanakan pada tahun 1999/2000,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 14


Rencana Pengelolaan

luasnya definitifnya berubah menjadi 8.056,65 Ha. Pada sebagian besar


kawasan hutan konservasi tersebut beserta kawasan hutan dengan fungsi
lindung dan produksi telah dilaksanakan penataan batasnya antara tahun 1975
sampai dengan tahun 2001 sepanjang 432,52 Km.
Pada tahun 1989, kawasan-kawasan konservasi di Kabupaten Maros
tersebut beserta kawasan karst dan kawasan hutan lainnya di wilayah Kabupaten
Maros dan Kabupaten Pangkep diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan untuk diubah fungsinya menjadi taman
nasional dengan nama Taman Nasional Hasanuddin (melalui surat nomor
1238/Kwss-5/10/1989 tanggal 10 Oktober 1989 perihal Usulan Pembangunan
dan Pengembangan Taman Nasional Hasanuddin dan ditujukan kepada Direktur
Jenderal PHPA Departemen Kehutanan). Nama tersebut diambil dari nama
pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan yang juga Raja Gowa. Dalam proses
berikutnya, nama calon taman nasional ini berulang kali diubah berdasarkan
berbagai pertimbangan. Pada bulan Nopember 1989, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan kembali mengusulkan
pembangunan Taman Nasional Hasanuddin melalui Sekretaris Jenderal
Departemen Kehutanan (surat nomor 1418/Kwss-5/11/1989 tanggal 9 Nopember
1989).
Menindaklanjuti usulan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Propinsi Sulawesi Selatan tersebut, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Departemen Kehutanan kemudian mengusulkan kepada
Menteri Kehutanan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di
Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi Taman Nasional Hasanuddin dengan
terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap lokasi yang diusulkan (melalui
surat nomor : 83/DJ-VI/TN/90 tanggal 17 Januari 1990). Sedikit berbeda dengan
usulan sebelumnya dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi
Sulawesi Selatan, Direktur Jenderal PHPA mengusulkan agar nama taman
nasional di Sulawesi Selatan ini diberikan nama sesuai dengan nama wilayah
geografisnya. Sayangnya, usulan ini belum sepenuhnya mendapat dukungan
dari Menteri Kehutanan.
National Conservation Plan for Indonesia Volume 6D Sulawesi Selatan
Province (Juni 1995) yang merupakan review dan updating NCP 1982,
menguraikan bahwa pada tahun 1993, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan menetapkan gabungan dari CA.
Bulusaraung, TWA. Bantimurung, CA. Bantimurung, CA. Karaenta, TWA Gua
Pattunuang serta Hutan Lindung di sekitarnya sebagai calon kawasan konservasi
Taman Nasional Hasanuddin seluas 86.682 Ha (termasuk seluruh kawasan Dry

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 15


Rencana Pengelolaan

Lowland Forest on Limestone seluas 47.000 Ha dan Wet Lowland Forest on


Limestone seluas 1.000 Ha) dengan pertimbangan perlindungan flora dan fauna,
perlindungan fungsi hydrologis, pengembangan wisata alam serta membatasi
perluasan perladangan di kawasan tersebut. Tujuan utama NCP 1995, yaitu
untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas pengembangan kawasan
konservasi, dan Calon Taman Nasional Hasanuddin mendapatkan prioritas
pertama. Hasil skoring yang dilakukan memberikan nilai Genetik 115 dan socio-
economic justification 10.
International Union of Speleology menyelenggarakan Kongres
Internasional ke-11 di Beijing pada tanggal 8 Agustus 1993. Kongres ini dihadiri
oleh para ilmuwan dan pemerhati kawasan karst dan gua dari 34 negara.
Kongres ini secara aklamasi menyatakan karst Maros-Pangkep memiliki nilai
dunia. Dalam rapat pleno, Presiden dan Sekretaris Jenderal International Union
of Speleology mengesahkan surat himbauan kepada Pemerintah Indonesia agar
kawasan Karst Maros-Pangkep dikonservasi dan diusulkan sebagai bentukan
alam Warisan Dunia (Ko, 2001; Palaguna, 2001).
Berbagai organisasi dan keahlian semakin meningkatkan dukungan untuk
melindungi kawasan karst Maros-Pangkep yang unik untuk kepentingan
internasional karena terbatasnya luasan karst di dunia yang memiliki keunikan
layaknya Karst Maros-Pangkep. Alasan yang mendasari desakan tersebut
adalah karena para ahli berpendapat adanya asosiasi secara langsung antara
karst dengan kepurbakalaan serta antara karst dengan biodiversitynya.
Permintaan-permintaan tersebut ditanggapi dengan melakukan diskusi
internasional yang memfokuskan keadaan karst di Indonesia (Achmad, 2001).
Oleh karena keistimewaannya, kawasaan karst Maros-Pangkep disarankan
untuk diusulkan sebagai World Heritage Site (Achmad, 2001; Wong et al. 2001
dalam Suhardjono dkk 2006). Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas
Hasanuddin (Unhas) pada tanggal 19 Desember 1997 menyelenggarakan
Seminar Lingkungan Karst di Makassar. PSL Unhas kembali menekankan
pentingnya perlindungan ekosistem karst Maros-Pangkep dan melaporkan
sedikitnya terdapat 29 gua di kawasan Karst Maros-Pangkep yang layak
dilindungi.
Melanjutkan dan menindaklajuti usulan Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan dan NCP 1995, Unit Konservasi Sumber
Daya Alam (KSDA) Sulawesi Selatan I kemudian membentuk tim penilaian
potensi calon taman nasional yang melibatkan pihak Universitas Hasanuddin
pada tahun 1999. Hasil penilaian dan pengkajian yang dilakukan oleh tim ini

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 16


Rencana Pengelolaan

kemudian memberikan rekomendasi layak untuk perubahan fungsi menjadi


taman nasional.
Pada tahun 2001, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi
Sulawesi Selatan kembali mengajukan usulan penunjukan taman nasional di
kawasan Maros-pangkep dengan nama Taman Nasional Karaenta (melalui surat
nomor 259/Kwl-5/2001 tanggal 22 Pebruari 2001). Dalam usulan kali ini, Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan juga
menyampaikan kronologis pengusulan kawasan ini sejak tahun 1989 serta
menyampaikan kembali kepada Menteri Kehutanan tentang rekomendasi dari
International Union of Speleology yang mendesak agar Pemerintah Indonesia
mengamankan dan melindungi ekosistem Karst Maros-Pangkep.
Pada tanggal 15 Maret 2001, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan
Nomor : 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status
dan Fungsi Hutan, yang mengatur bahwa perubahan fungsi kawasan hutan
didasarkan pada hasil penelitian Tim Terpadu. Usulan perubahan fungsi
dilampiri : (i) Rekomendasi Bupati/Walikota atau Gubernur untuk yang lintas
Kabupaten/ Kota; (ii) Persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan DPRD Propinsi
untuk yang lintas Kabupaten/Kota; serta (iii) Peta minimal skala 1 : 100.000.
Dengan demikian, maka penilaian potensi harus dilakukan kembali dari awal dan
dilaksanakan oleh Tim Terpadu. Yang dimaksud dengan Tim Terpadu adalah
sebuah tim yang diketuai oleh seorang Pakar dari Scientific Authority setempat
atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dengan beranggotakan para pihak
dari sektor yang terkait.
Pada bulan Mei 2001, IUCN Asia Regional Office dan UNESCO World
Heritage Centre mengadakan The Asia-Pasific Forum on Karst Ecosystems and
World Heritage di Gunung Mulu, Serawak, Malaysia. Forum ini dihadiri oleh para
ahli dari berbagai disiplin ilmu serta dihadiri pula oleh para pejabat tinggi
UNESCO dan World Bank. Forum ini bertekad menyatakan kawasan Karst
Maros-Pangkep sebagai Warisan Dunia. Forum ini memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Indonesia agar mengkonservasi kawasan-kawasan karst,
termasuk kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai-nilai warisan dunianya akan
ditinjau kemudian dan kelayakan status perlindungannya akan diidentifikasi
kemudian guna mendapatkan pengakuan internasional (Ko, 2001; Nitta, 2001;
Samodra, 2003).
Tanggal 12-13 Nopember 2001, Bapedal Regional III di Makassar
menyelenggarakan Simposium Karst Maros-Pangkep yang bertema “Menuju
Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World
Heritage di Era Otonomi Daerah”. Melalui acara ini, Bapedal Regional III

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 17


Rencana Pengelolaan

berusaha membangun kembali komitmen dan menggalang kerjasama dengan


berbagai pihak terkait dalam upaya mewujudkan kawasan Karst Maros-Pangkep
sebagai kawasan taman nasional dan situs warisan dunia. Beberapa kesimpulan
dari simposium ini adalah bahwa Kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki
berbagai potensi sumberdaya yang perlu mendapat perlindungan dan
pengelolaan secara seksama, terpadu dan menyeluruh; Pemerintah Sulawesi
Selatan, Maros dan Pangkep mendukung dan berkomitmen terhadap pengajuan
Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Taman Nasional maupun World
Heritage Site; serta membentuk tim terpadu untuk menyusun rencana aksi dalam
mewujudkan penetapan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Taman
Nasional dan World Heritage Site.
Untuk mempercepat proses penunjukan kawasan Karst Maros-Pangkep
menjadi taman nasional (dalam dokumen ini disebutkan Taman Nasional
Karaenta), Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak terkait di
Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Januari 2002. Hasil dari pertemuan ini adalah
adanya pembentukan Tim Terpadu yang terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi
Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Maros dan Pangkep, Unit KSDA
Sulawesi Selatan I, Bapedal Regional III dan diketuai oleh Universitas
Hasanuddin. Tim terpadu antara lain bertugas melakukan sosialisasi tentang
rencana penunjukan taman nasional, melaksanakan kajian (feasibility study),
mengusahakan penerbitan rekomendasi penunjukan taman nasional dari
pemerintah kabupaten dan propinsi, serta menyusun proposal penetapan
warisan dunia. Tim ini terus bekerja mengusahakan penunjukan taman nasional
sampai dengan tahun 2004.
Antara tahun 2002 sampai dengan 2004, terbitlah rekomendasi dari para
pengambil kebijakan di kalangan pemerintah (Propinsi Sulawesi Selatan,
Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep). Bupati Maros memberikan
rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660.1/532/Set
tanggal 13 Nopember 2002. DPRD Kabupaten Maros memberikan rekomendasi
penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal
17 Desember 2002. Bupati Pangkep memberikan rekomendasi penunjukan
taman nasional melalui surat nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003. Ketua
DPRD Kabupaten Pangkep memberikan rekomendasi penunjukan taman
nasional melalui surat nomor 005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003. Gubernur
Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui
surat nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003. Keputusan DPRD Provinsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 18


Rencana Pengelolaan

Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003 memberikan


rekomendasi penunjukan taman nasional.
Pada tanggal 5 Januari 2004, Gubernur Sulawesi Selatan (H.M. Amin
Syam) melalui suratnya nomor 660/27/Set yang ditujukan kepada Menteri
Kehutanan mengusulkan kembali kawasan Karst Maros-Pangkep untuk
ditetapkan menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (dokumen ini
menyebutkan nama Bantimurung Bulusaraung) dan menyampaikan Keputusan
DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember
2003 tentang Persetujuan Atas Rekomendasi Gubernur Sulawesi Selatan
tentang Kawasan Karst Sebagai Kawasan Taman Nasional Maros, Pangkep
Sulawesi Selatan. Pada tanggal 29 April 2004, Gubernur Sulawesi Selatan sekali
lagi mendesak Menteri Kehutanan agar memproses penetapan kawasan Karst
Maros-Pangkep menjadi taman nasional (surat nomor 660/1632/SET).
Direktur Jenderal PHKA melalui suratnya nomor S.103/IV-KK/2004 tanggal
25 Pebruari 2004 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Departemen
Kehutanan dan Kepala Badan Planologi Kehutanan mengusulkan kembali
perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi
taman nasional. Dalam proses koordinasi di Departemen Kehutanan yang
berjalan cukup lama, akhirnya pada 5 Oktober 2004, Kepala Pusat Pembentukan
Wilayah Pengelolaan dan Perubahan Kawasan Hutan Badan Planologi
Kehutanan mengundang seluruh anggota Tim Terpadu untuk hadir pada hari
Jumat tanggal 8 Oktober 2004 di Ruang Rapat Badan Planologi Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Pihak-pihak yang diminta untuk hadir
pada saat itu adalah Pusat Penelitian Biologi LIPI, Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam Balitbang Kehutanan, Asisten Deputi Ekosistem Darat
Kementerian Lingkungan Hidup, Direktur Konservasi Kawasan Ditjen PHKA,
Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Ditjen RLPS, Pusat
Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Badan Planologi Kehutanan,
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Ketua Bapedalda Provinsi Sulawesi
Selatan, Asisten Deputi Urusan Wilayah Sumapapua Kementerian Lingkungan
Hidup, Kepala Balai KSDA Sulawesi Selatan I, Ketua Tim Kajian Usulan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (Amran Achmad, Jurusan Kehutanan
Universitas Hasanuddin), dan beberapa pejabat eselon III di lingkungan Badan
Planologi Kehutanan serta Direktorat Jenderal PHKA.
Pada tanggal 8 Oktober 2004 tersebut, diadakanlah pengkajian dan
pembahasan oleh Tim Terpadu Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Bantimurung
Bulusaraung dengan hasil memenuhi syarat untuk diubah fungsi menjadi
kawasan pelestarian alam dengan fungsi taman nasional berdasarkan : (1)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 19


Rencana Pengelolaan

Laporan Hasil Pengkajian Tim Terpadu yang dipaparkan oleh Amran Achmad
(Universitas Hasanuddin) selaku Ketua Tim Terpadu Daerah; (2) Surat Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 660/27/Set tanggal 5 Januari 2004 dan Rekomendasi
nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003; (3) Rekomendasi Bupati Maros
nomor 660.1/532/Set tanggal 13 Nopember 2002; (4) Surat Bupati Pangkep
nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003; (5) Keputusan DPRD Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003; (6)
Rekomendasi DPRD Kabupaten Maros nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal 17
Desember 2002; serta (7) Surat Ketua DPRD Kabupaten Pangkep nomor
005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003.
Setelah pembahasan tersebut, usulan penunjukan kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung kemudian dicermati kembali oleh Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar. Dari hasil pencermatan
tersebut, dilakukan koreksi-koreksi terhadap peta yang disajikan. Usulan tim
terpadu seluas ± 48.720 Ha kemudian diubah menjadi ± 43.750 Ha karena pada
peta tersebut terdapat areal non kawasan hutan yang diusulkan menjadi taman
nasional.

Peta Paduserasi TGHK-RTRWP awal dan perubahan fungsi menjadi taman nasional

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 20


Rencana Pengelolaan

Pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan


Keputusan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha
terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas ±
1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas
seluas ± 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang terletak di
Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Menjadi Taman Nasional Bantimurung Sulawesi Selatan menjadi Taman
Bulusaraung Nasional Bantimurung Bulusaraung.
TWA; 1.624,25
Ha; 3,71%
Setelah penunjukan kawasan,
CA; 10.282,65
Ha; 23,50%
pemangkuan dan pengelolaan Taman
HP; 10.355 Ha;
23,67%
HL; 21.343,10
Nasional Bantimurung Bulusaraung
Ha; 48,78%
untuk sementara dilaksanakan oleh Balai

HPT; 145 Ha;


Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi
0,33%
Selatan I berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK.140/IV/
Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004. Pada Tahun 2006, Menteri Negara
Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia menyetujui usulan
pembentukan unit kerja pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dan kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan membentuk Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung beserta 15 balai taman nasional baru
lainnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional.
Pada tanggal 1 Pebruari 2007, Menteri Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang
kemudian menjadi dasar pengelolaan Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung saat ini. Walaupun telah ditetapkan pengelolanya dan
diserahterimakan pengelolaannya sejak Nopember 2006, Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung secara efektif baru beroperasional melaksanakan
tugas-tugas kepemerintahan dan pembangunan sejak April 2007 karena personil
dan sarana prasarana pendukungnya baru tersedia pada saat itu.

2. Progress Pengukuhan Kawasan


Berdasarkan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditetapkan bahwa Pemerintah
menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan guna memberikan kepastian

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 21


Rencana Pengelolaan

hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan-


kegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan
dan penetapan kawasan hutan. Sejalan dengan definisi tersebut maka ruang
lingkup pengukuhan kawasan hutan meliputi :
a. penunjukan kawasan hutan, yaitu penetapan awal suatu wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah
propinsi atau partial per kelompok hutan;
b. penataan batas kawasan hutan, yaitu kegiatan yang meliputi proyeksi batas,
inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara,
serta pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif;
c. pemetaan kawasan hutan, yaitu kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan
penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas;
d. penetapan kawasan hutan, yaitu suatu penegasan tentang kepastian hukum
mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah
ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap dengan
keputusan Menteri Kehutanan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Diktum KEDUA keputusan
tersebut berbunyi : ”Batas sementara Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
tersebut pada diktum PERTAMA, adalah sebagaimana terlukis pada peta
lampiran keputusan ini, sedangkan batas tetapnya akan ditentukan setelah
diadakan penataan batas di lapangan”.
Pada dasarnya, walaupun belum dilakukan penataan batas di lapangan,
perubahan fungsi suatu kawasan tetap berlaku karena batas-batas di atas peta
yang dilengkapi dengan referensi posisinya secara geografis dapat diproyeksikan
di lapangan. Namun demikian, sebagian besar kawasan hutan yang diubah
fungsinya menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berdasarkan
keputusan penunjukan tersebut sudah dilaksanakan penataan batas luarnya
sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2001. Batas luar kawasan hutan yang
telah di tata batas tersebut sebagian besar juga merupakan batas kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat ini. Batas-batas tersebut pada
tahun 2007 juga telah dilaksanakan rekonstruksinya oleh Balai Pemantapan
Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar bersama Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
Sampai dengan tahun 2008, perkembangan penataan batas kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah mencapai 432,52 Km atau

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 22


Rencana Pengelolaan

90,44% dari total batas luar sepanjang 478,22 Km. Trayek batas yang belum
dilaksanakan penataan batasnya secara definitif di lapangan hingga saat ini
hanya tersisa pada batas fungsi di sisi Utara (wilayah administratif Kabupaten
Pangkep) dan sisi Selatan (wilayah administratif Kabupaten Maros). Dengan
realisasi penataan batas yang belum temu gelang, maka proses penetapan
kawasan menjadi kawasan hutan tetap dengan keputusan Menteri Kehutanan
juga belum dapat dilaksanakan.

Peta perkembangan penataan batas Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Selain tata batas yang belum dirampungkan, penataan zonasi pengelolaan


kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga belum dapat
dilaksanakan sampai dengan tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
Pasal 30 ayat (2) menetapkan bahwa pengelolaan taman nasional didasarkan
pada sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 23


Rencana Pengelolaan

atau zona lainnya. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman
nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan
ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap
persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi,
konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat.
Perancangan zonasi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung hingga tahun 2008 belum dapat dilakukan karena terbatasnya
ketersediaan data potensi dan kondisi kawasan. Dengan kondisi keterbatasan
berbagai sumberdaya yang ada pada Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, maka dibutuhkan setidaknya beberapa tahun untuk
mempersiapkan perancangan zonasi, yang didahului dengan pengumpulan data
primer di lapangan dan data pendukung lainnya. Saat ini, untuk keperluan
pengelolaan kawasan, tersedia draft rancangan zonasi yang belum dapat
dikatakan sempurna karena penyusunannya yang dilakukan dengan
keterbatasan data dan informasi untuk bahan analisa.

3. Karakteristik Penunjukan Kawasan


Areal yang saat ini merupakan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung merupakan sebagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep yang
sudah terkenal ke seluruh dunia. Samodra (2003) menyampaikan bahwa
singkapan batu gamping yang luas di Sulawesi Selatan ini membentuk tipe karst
tersendiri. Bukit-bukit berlereng terjal (yang sebagian besar genesanya
dipengaruhi oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses
pelarutan atau Karstifikasi) membentuk bangun menara yang sangat khas (tower
karst). Bukit-bukit menara Karst Maros-Pangkep serupa dengan karst yang ada
di China Selatan dan Vietnam.
Tipe Karst Maros-Pangkep memang berbeda dengan karst yang ada di
tempat lain yang pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst atau perpaduan
dari keduanya. Karakteristik eksokarst-nya dikatakan sebagai bentukan karst
yang terindah kedua setelah kawasan karst yang telah ditetapkan sebagai
warisan alam dunia di Halong Bay Vietnam. Karst Maros-Pangkep juga
merupakan kawasan karst terluas kedua setelah karst yang ada di China
Selatan. Selain keindahan eksokarst, kawasan Karst Maros-Pangkep
(sebagaimana pada umumnya kawasan karst) juga dihiasi oleh endokarst yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 24


Rencana Pengelolaan

tidak ternilai. Tidak kurang dari 400 gua di kawasan ini yang dapat menyajikan
keindahan bentukan ornamen gua (speleotem).
Gua-gua di kawasan Karst Maros-Pangkep, terutama gua fosil mempunyai
nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia
prasejarah yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan budayanya
Samodra (2003). Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling
terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua
terindah (ACS 1989; Anonim 1986, 1987, 1991; Deharveng & Bedos 1999;
McDonald 1976; Whitten et al. 1987 dalam Suhardjono dkk 2007). Di samping
itu, Maros juga terkenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika
(Deharveng & Bedos 1999 dalam Suhardjono dkk 2007).
Dari segi keanekaragaman hayati, Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung dikenal dengan potensi Kupu-kupunya yang beranekaragam. Alfred
Russel Wallace, setelah kunjungannya yang pertama pada tanggal 2 Agustus
1856 sampai dengan 13 Desember 1856, pada tanggal 11 Juli 1857 Wallace
kembali ke Makassar untuk yang kedua kalinya. Setelah merampungkan
pengepakan koleksi speciemen dari Kepulauan Aru, Wallace kemudian
mengunjungi wilayah Maros yang berjarak kurang lebih 30 mil di utara Makassar,
dimana Jacob Mesman (seorang saudara sahabatnya) bermukim dan
membangunkan sebuah pondok penginapan tersendiri untuk Wallace di suatu
tempat yang sekarang dikenal sebagai Bantimurung.
Selama berada di wilayah Maros dan sekitarnya, Wallace menemukan
Rusa (Cervus timorensis), Babi (Sus celebensis), Kera Hitam Sulawesi
Cynopthecus nigrescens (sekarang Macaca maura), Rangkong (Rhyticeros
cassidix), Trichoglossus ornatus, burung Punai, Corvus advena, Idea tondana,
Kumbang Macan (Therates flavilabris) dan berbagai jenis kumbang lainnya, tiga
species Ornithoptera yang sayapnya berukuran 7 – 8 inchi (17 – 20 Cm), Papilio
miletus, P. telephus, P. macedon, Papilio rhesus (sekarang Graphium rhesus),
Papilio gigon, Tachyris zarinda (sekarang Appias zarinda), dan banyak lagi yang
lainnya.
Hal yang paling berkesan bagi Wallace di Bantimurung adalah
pertemuannya dengan “The Magnificent Butterfly” Papilio androcles (sekarang
Graphium androcles), salah satu jenis Kupu-kupu Swallow tailed terbesar dan
terjarang ditemukan. Di suatu siang ketika matahari bersinar terik dan udara
terasa sangat panas, setelah empat hari mengamati, pantai berpasir pada sisi
kolam di atas air terjun Bantimurung (mungkin tempat yang oleh masyarakat
sekarang disebut Kassi Kebo) menyajikan suatu pemandangan menakjubkan
bagi Wallace. Kassi Kebo dihiasi oleh segerombolan Kupu-kupu yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 25


Rencana Pengelolaan

memeriahkan suasana. Oranye, kuning, putih, biru dan hijau. Formasi ratusan
Kupu-kupu ini membentuk awan beraneka warna. Ketika makhluk yang indah ini
terbang, the long white tails berkelap-kelip layaknya melambai-lambai. Kurang
lebih begitulah yang dideskripsikan oleh Wallace tentang pertemuannya dengan
Graphium androcles.
Kolektor-kolektor lain kemudian
mengikuti jejak Wallace. 25 tahun kemudian,
di tahun 1882 Graphium androcles tidak bisa
lagi ditemukan, walaupun species-species lain
tetap ada (Guillemard, 1889 dalam Whitten,
2002). Hal ini mungkin merupakan pengaruh
iklim, sebab 45 tahun kemudian Kupu-kupu ini
kembali banyak ditemukan (Leefmans, 1927
Graphium androcles
dalam Whitten, 2002). Mattimu, dkk (1977)
kemudian melaporkan bahwa dari hasil penelitian di kawasan wisata
Bantimurung, ia berhasil menemukan 103 species Kupu-kupu.
Setelah kurang lebih empat bulan mengekplorasi wilayah Maros dan
sekitarnya, di awal Nopember 1857 Wallace kembali ke Makassar untuk
mengepak koleksinya lalu melanjutkan perjalanannya ke wilayah Ambon dan
Ternate serta tempat-tempat lainnya. Selama lebih dari enam tahun perjalanan
eksplorasi fauna di kawasan Kepulauan Indo-Malaya, Alfred Russel Wallace
berhasil mengumpulkan sebanyak 125.660 koleksi speciemen, yang terdiri dari
310 speciemen Mamalia, 100 speciemen Reptilia, 8.050 speciemen Burung,
7.500 speciemen Kerang, 13.100 speciemen (ordo) Lepidoptera, 83.200
speciemen (ordo) Coleoptera, serta 13.400 speciemen serangga lainnya. Setelah
lebih dari enam tahun di kawasan Indo-Malaya, pada musim semi di tahun 1862
Wallace tiba kembali ke negeri Inggris.
Alfred Russel Wallace (1890) melaporkan bahwa ia menemukan 256
species Kupu-kupu dari kawasan Bantimurung. Berbeda dengan laporan
tersebut, Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia
temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain adalah :
Papilio blumei, P. polites, P. sataspes, Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus,
dan Graphium androcles. Achmad (1998) telah meneliti secara khusus habitat
dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata Bantimurung selama
satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupu-kupu Troides haliphron dan
Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat
sempit, yakni hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 26


Rencana Pengelolaan

Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga terkenal sebagai


habitat beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin
menurun di alam. Dare atau Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah salah
satu jenis primata endemik Sulawesi yang habitatnya meluas hampir di seluruh
kawasan. Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus Kecil (Stigocuscus
celebensis) juga dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Primata terkecil di dunia,
Tarsius spectrum atau oleh masyarakat setempat diberikan nama Balao-cengke,
belum lama ini secara meyakinkan telah tercatat di dalam daftar jenis
keanekaragaman hayati Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan
ditemukannya beberapa sarang di dalam kawasan pada bulan Maret 2008 oleh
staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Dari aspek tata air, kawasan
karst merupakan reservoir air raksasa
yang sangat strategis kedudukannya
dalam menunjang berbagai
kepentingan. Kemampuan bukit karst
dan mintakat epikarst pada umumnya
mampu menyimpan air selama tiga
hingga empat bulan setelah berakhirnya
musim penghujan, sehingga sebagian Sungai Salenrang

besar sungai bawah tanah dan mata air di kawasan karst mengalir sepanjang
tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan formasi geologi utama berupa batuan
kapur, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan catchment
area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Beberapa sungai menghulu
di kawasan ini, antara lain sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai
yang mempengaruhi sistem hidrologi Danau Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai
Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung/Maros. Di samping itu juga
ditemukan beberapa mata air dan sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta
air bawah tanah pada sistem perguaan.

B. Kondisi Umum Kawasan


1. Kondisi Fisik Kawasan
a. Letak dan Luas Kawasan
Secara administrasi pemerintahan, kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung terletak di wilayah Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis areal ini terletak antara 119° 34’ 17” – 119° 55’ 13” Bujur

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 27


Rencana Pengelolaan

Timur dan antara 4° 42’ 49” – 5° 06’ 42” Lintang Selatan. Secara
kewilayahan, batas-batas TN. Babul adalah sebagai berikut :
¾ Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru dan Bone;
¾ Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten
Bone;
¾ Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros;
¾ Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkep.
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berbatasan atau
berhimpitan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten
Bone. Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi
kecamatan dan 40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Daftar kabupaten,
kecamatan dan kelurahan/desa yang berbatasan atau berhimpitan dengan
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilihat pada
lampiran 1.

Peta wilayah administrasi pemerintahan di dalam dan sekitar


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 28


Rencana Pengelolaan

b. Iklim
Berdasarkan perhitungan data curah hujan yang dikumpulkan dari
beberapa stasiun yang ada disekitar kawasan Taman Nasional, ditemukan
bahwa pada wilayah bagian Selatan terutama bagian yang berdekatan
ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk ke dalam iklim D
(Schmidt dan Ferguson) sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang
Labboro, Tonasa dan Minasa Te’ne termasuk kedalam iklim tipe C,
sementara pada bagian utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan
Mallawa termasuk kedalam tipe B.
Peta curah hujan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
memperlihatkan adanya empat zona curah hujan, yakni curah hujan 2.250
mm, 2.750 mm, 3.250 mm dan 3.750 mm. Dari gambar di bawah ini terlihat
bahwa curah hujan 2.250 mm sampai 2.750 mm berada dibagian timur
kawasan taman nasional, dimana di wilayah inilah masyarakat banyak
memanfaatkan kawasan hutan.
Sebaliknya, curah hujan yang lebih tinggi yakni 3.250 mm sampai
3.750 mm, berada di bagian barat taman nasional dimana sekitar 75 %
wilayah cakupannya merupakan arael karst. Di wilayah ini, pemanfaatan
lahan oleh masyarakat dalam kawasan hutan relatif kecil karena kondisi
tanah yang tidak memungkinkan. Sisanya 25 % yang berupa ekosistem non
karst dan menyebar di bagian selatan, juga banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai lahan pertanian. Tingginya pemanfaatan lahan areal
taman nasional oleh masyarakat pada wilayah yang mempunyai curah hujan
tinggi, adalah merupakan ancaman terhadap sumberdaya lahan di wilayah
taman nasional, terutama kaitannya dengan erosi tanah.

Puncak gunung Bulusaraung dengan ketinggian 1.353 m dpl

c. Geologi dan Tanah


Formasi geologi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dikelompokkan menurut jenis batuan, yang didasarkan pada ciri-ciri litologi
dan dominasi dari setiap satuan batuan. Formasi-formasi tersebut adalah
sebagai berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 29


Rencana Pengelolaan

ƒ Formasi Balang Baru. Formasi balang baru terdiri dari perselingan serpih
dengan batu pasir, batu lanau dan batu lempung, dengan struktur batuan
berlapis, menyerpih dan turbidit. Bentuk formasi ini menyebar di bagian
Utara yaitu di Kecamatan Mallawa. Satuan batuan ini adalah batuan
sedimen.
ƒ Batuan Gunung Api Terpropilitkan. Batuan ini terdiri dari breksi dan lava,
menyebar pada bagian Selatan, yaitu Kecamatan Tanralili Kabupaten
Maros. Lava umumnya bersifat andesitik, sebagian trakit dan basal.
ƒ Formasi Mallawa. Formasi ini terdiri atas batu pasir kuarsa, batu lanau,
batu lempung dan konglomerat, dengan sisipan atau lensa batubara.
Penyebarannya berada di Kecamatan Watang Mallawa, di daerah
Ammasangeng, dan Kecamatan Bantimurung. Batu pasir kuarsa
umumnya bersifat rapuh dan kurang kompak, berlapis tipis. Batubara
pada satuan batuan ini mempunyai ketebalan antara 0,5 - 1,5 meter.
ƒ Formasi Tonasa. Formasi ini terdiri dari batu gamping pejal, bioklastik,
kalkarenit, koral dan kalsirudit bersisik. Di daerah Kecamatan Watang
Mallawa batu gamping formasi tonasa ditemukan mengandung mineral
glauconit dan napal dengan sisipan breksi batu gamping.
ƒ Formasi Camba. Formasi ini terdiri dari perselingan batuan sedimen laut
dan batuan gunung api, yaitu batu pasir tufaan berselingan dengan tufa,
batu pasir, batu lanau dan batu lempung. Di beberapa tempat dijumpai
sisipan napal, batu gamping dan batu bara.
ƒ Batuan Gunung Api Formasi Camba. Batuan ini terdiri dari breksi, lava
dan konglomerat. Breksi dan konglomerat terdiri dari pragment andesit
dan basal, matriks dan semen tufa halus hingga pasiran.
ƒ Batuan Gunungapi Baturape-Cindako. Batuan ini terdiri dari lava dan
breksi gunung api, bersisipan tufa dan konglomerat. Breksi gunung api
umumnya berkomponen kasar berupa basal dan sedikit andesit dengan
ukuran fragment 15 - 60 cm, tersemen oleh tufa berbutir kasar hingga
lapilli dan banyak mengandung firoksin.
ƒ Batuan Terobosan. Batuan ini terdiri dari granodiorit, andesit, diorit, trakit
dan basal piroksin. Batuan ini menyebar setempat-setempat dan
menerobos batuan yang lebih tua di sekitarnya berupa retas, sill dan
stok.
ƒ Endapan aluvium. Batuan ini terdiri dari endapan aluvium sungai.
Endapan aluvium sungai berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan
lempung.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 30


Rencana Pengelolaan

Ada dua jenis tanah yang umum ditemukan pada kawasan karst
Maros-Pangkep, dimana keduanya kaya akan kalsium dan magnesium.
Tanah jenis Rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya
kandungan bahan organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang
landai, terutama di bagian Selatan dari karst Maros. Eutropepts merupakan
jenis tanah turunan dari inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang
mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat
dangkal dan berwarna terang.

d. Topografi dan Kelerengan


Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landskap karst, bentuk
permukaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bervariasi
dari datar, bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian
kawasan yang bergunung terletak pada sisi Timur Laut kawasan atau
terletak pada blok Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa
Kabupaten Maros dan Gunung Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci
Kabupaten Pangkep. Puncak tertinggi terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di
sebelah Utara Pegunungan Bulusaraung. Puncak Gunung Bulusaraung
sendiri terletak pada ketinggian 1.353 m.dpl. Sisi ini dicirikan oleh
kenampakan topografi relief tinggi, bentuk lereng yang terjal dan tekstur
topografi yang kasar.
Daerah perbukitan dicirikan oleh bentuk relief dan tekstur topografi
halus sampai sedang, bentuk lereng sedang sampai rendah, bentuk bukit
yang tumpul dengan lembah yang sempit sampai melebar. Daerah
perbukitan ini dapat dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan
sedimen dan perbukitan karst. Kawasan dengan topografi dataran dicirikan
oleh bentuk permukaan lahan yang datar sampai sedang dan sedikit
bergelombang, relief rendah dan tekstur topografi halus. Bentuk permukaan
seperti ini banyak dijumpai di antara perbukitan karst yang berbentuk
menara.

e. Hidrologi
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan
bagian dari hulu beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Sisi sebelah
Timur antara lain merupakan hulu Sungai Walanae yang merupakan salah
satu sungai yang mempengaruhi sistem Danau Tempe. Pada bagian Barat
terdapat Sungai Pangkep dan Sungai Bone di Kabupaten Pangkep, Sungai
Pute dan Sungai Bantimurung di Kabupaten Maros. Sungai Bantimurung

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 31


Rencana Pengelolaan

adalah merupakan sumber pengairan persawahan di Kabupaten Maros serta


dimanfaatkan untuk pemenuhan air bersih bagi masyarakat Kota Maros.
Disamping itu, juga ditemukan beberapa mata air dan sungai-sungai kecil,
terutama di wilayah karst, serta aliran air bawah tanah/danau bawah tanah
pada sistem perguaan. Mata air berdebit besar dijumpai pada batu gamping
pejal dengan debit 50 - 250 l/dtk, sedang mata air yang muncul di batuan
sedimen terlipat dan batuan gunung api umumnya kurang dari 10 l/dtk.
Fluktuasi debit air sungai-sungai besar dari dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih relatif stabil sepanjang
tahun, namun berbeda dengan debit pada sungai di permukaan karst.

Bentuk relief dan kondisi hidrologi di dalam dan sekitar


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

f. Potensi Wisata
Beragam jenis kegiatan wisata dapat dilakukan di dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Aktifitas wisata yang telah lama
berlangsung dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah kegiatan wisata
tirta pada Air Terjun Bantimurung. Telah banyak fasilitas wisata yang
tersedia di kawasan ini, yaitu antara lain tersedianya fasilitas Guest House,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 32


Rencana Pengelolaan

Baruga Bantimurung, kolam renang, shelter, pintu gerbang dan loket, jalan
trail, kantor pengelola, Butterfly Breeding, pusat informasi, toko cindera mata,
warung makan, fasilitas MCK, dan lain sebagainya. Aktifitas wisata tirta di
kawasan Air Terjun Bantimurung tersebut dapat dirangkaikan pula dengan
kegiatan penelusuran gua serta menikmati keindahan warna-warni Kupu-
kupu di habitat aslinya.
Selain pada kawasan Bantimurung, pada kawasan Pattunuang Asue/
Biseang Labboro juga dapat dilakukan aktifitas wisata yang beragam, mulai
dari wisata tirta sampai dengan pengamatan satwa unik. Untuk wisatawan
minat khusus, dapat dilakukan olah raga panjat tebing pada beberapa tempat
terpisah.
Tracking dapat dilakukan pada beberapa tempat, terutama banyak
dilakukan pada kompleks Pegunungan Bulusaraung. Kawasan ini telah
banyak dikenal oleh para pendaki gunung, terutama kalangan Pecinta Alam.
Kegiatan pendakian Gunung Bulusaraung dapat diperuntukkan bagi para
pendaki kelas pemula, bahkan dapat pula diperuntukkan bagi anak-anak dan
seluruh keluarga.
Caving atau selusur gua dapat dilakukan di banyak tempat pada
kawasan ekosistem karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada
beberapa tempat dapat ditemukan gua yang mempunyai nilai arkeologis dan
historis sehingga memungkinkan adanya kegiatan wisata, baik sebagai
obyek wisata khusus gua maupun sebagai usaha untuk mengembangkan
kegiatan speleologi serta wisata budaya. Menurut para ahli sejarah
kepurbakalaan, gua-gua merupakan bekas hunian manusia beribu-ribu tahun
silam, sebelum mereka mengenal cara membangun rumah tempat tinggal.
Sampai saat ini, telah tercatat 16 buah gua yang ditemukan pada eks
kawasan TWA. Bantimurung, yaitu antara lain : Gua Anjing (panjang lorong ±
60 m), Gua Bantimurung (panjang lorong ± 150 m), Gua Anggawati 1
(panjang lorong ± 170 m), Gua Towakala (panjang lorong ± 80 m), Gua
Baharuddin (panjang lorong ±137 m), dan Gua Watang (panjang lorong ±
440 m).
Pada wilayah eks CA. Bantimurung terdapat 34 gua, satu diantaranya
dan yang paling dikenal adalah Gua Mimpi yang panjangnya ± 1.415 meter
dengan kedalaman ± 48 meter. Keseluruhan gua tersebut mudah dijangkau
dan keindahannya sangat menarik. Di dalam gua terdapat stalaktit, stalakmit,
flow-stone, helektit, pilar, dan sodastraw. Gua lainnya yang ditemukan pada
eks CA. Bantimurung ini antara lain: Gua Lubang Air, Gua Lubang Kelu
(panjang lorong ± 90 m), Gua Buttu (panjang lorong ± 500 m), Gua Nasir

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 33


Rencana Pengelolaan

(panjang lorong ± 800 m). Keseluruhan gua tersebut memiliki keindahan


berupa stalaktit dan stalakmit serta sebagai tempat berkembang biak Burung
Walet (Collocalia sp), kelelawar, laba-laba, lipan dan lain-lain.
Pada eks TWA. Gua Pattunuang, telah ditemukan ± 40 gua. Gua-gua
ini masih alami dan belum mengalami perubahan oleh aktivitas manusia.
Panoramanya sangat indah, ornamen stalaktit dan stalakmitnya sangat
mengagumkan, sehingga dapat memberikan kesan khusus kepada para
pengunjung ataupun para peneliti yang datang ke kawasan ini. Umumnya,
gua di kawasan ini dapat dijangkau dengan mudah dengan panjang lorong
rata-rata 1.000 meter, dengan kedalaman 30 meter.
Gua yang ada pada eks TWA. Gua Pattunuang antara lain adalah :
Gua Anggawati 2 (panjang lorong ± 1.000 m), Gua Restaurant (panjang
lorong ± 1.400 m), Gua de Lapisaine (panjang lorong ± 300 m), Gua
Pattunuang 1 dan 2 (panjang lorong masing-masing 500 m), Gua Sambueja
1 dan 2 (panjang lorong masing-masing 300 m dan 1.400 m), Gua Kado
(panjang lorong ± 1.400 m), Gua Jaria (panjang lorong ± 900 m), Gua Aux-
main (panjang lorong ± 600 m) dan lain-lain.
Di wilayah eks CA. Karaenta juga ditemukan banyak gua. Di wilayah
inilah terdapat gua terpanjang di antara gua yang ada di Kabupaten Maros.
Gua yang paling banyak di kenal di wilayah tersebut adalah Gua Salukkang
Kallang. Menurut hasil ekspedisi gua ini, panjang lorongnya mencapai
12.463 m. Pemandangan di dalam gua ini sangat menakjubkan, terdapat
sangat banyak ornamen gua serta genangan air. Dalam air tersebut terdapat
ikan dan udang yang tidak mempunyai mata. Selain gua ini juga dikenal Gua
Tanette. Gua ini panjang lorongnya mencapai ± 9.700 meter dengan
ketinggian dinding ± 25 meter. Menurut hasil penelitian, Gua Tanette
merupakan satu kesatuan dengan Gua Salukkang Kallang. Penyebutan
nama hanya disebabkan oleh tempat di mana pintu gua berada. Apabila
kedua gua ini ditelusuri dari satu arah maka panjangnya lorongnya mencapai
± 22 Km dan diduga merupakan gua terpanjang di Indonesia.
Gua lainnya adalah Gua Gunung Batu, (panjang lorong ± 400 m), Gua
Artaga (panjang lorong ± 1.900 m), Gua Lubang Gula Merah (panjang lorong
± 3.900 m), Gua Saripa (panjang lorong ± 1.736 m), Gua Pangea (3 buah)
masing-masing panjang lorongnya 300 m, 500 meter, dan 1.000 m, Gua
Monyet (panjang lorong ± 112 m), Gua Batu Merah (panjang lorong ± 749
m), dan Gua Kabut (panjang lorong ± 1.095 m).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 34


Rencana Pengelolaan

Di areal karst Mallawa (eks CA. Bulusaraung) juga terdapat potensi


alam yang berupa gua, namun relatif sedikit jumlahnya dibandingkan dengan
areal yang telah dijelaskan sebelumnya. Gua yang ada di wilayah ini antara
lain adalah Gua Lumpia (panjang lorong ± 50 m), Gua Babi (panjang lorong ±
100 m), Gua Meocunge (panjang lorong ± 100 m), Gua Salame (panjang
lorong ± 150 m), Gua Karabice (panjang lorong ± 350 m), Gua Mellopungi
(panjang lorong ± 200 m), dan Gua Pangui (panjang lorong ± 760 m).
Selain gua-gua tersebut di atas yang berpotensi untuk wisata alam
selusur gua, pada kawasan TN.
Babul dapat pula dilakukan
selusur gua untuk tujuan wisata
budaya. Kawasan arkeologis atau
situs tersebut adalah kawasan
yang mengandung peninggalan
hasil budaya manusia di masa lalu
Flowstone atau cagar budaya yang harus
diamankan, dilindungi dan
dimanfaatkan. Pada dasarnya benda cagar budaya dan situs mempunyai
fungsi sebagai bukti sejarah, sumber sejarah, obyek ilmu pengetahuan,
cermin sejarah, media pembinaan nilai-nilai budaya, media pendidikan,
media untuk memupuk kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan
ketahanan nasional, serta obyek wisata budaya. Benda cagar budaya dan
situs mempunyai hubungan dengan beberapa faktor kepentingan lain seperti
riset ilmiah, seni yang kreatif, pendidikan, rekreasi dan turisme, representasi
simbolis, pengesahan tindakan, integrasi dan kesetiakawanan sosial,
keuntungan ekonomi dan moneter. Oleh karena itu benda cagar budaya dan
situs perlu diupayakan perlindungan dan pelestariannya.
Secara geologis, perbukitan karst yang ada di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung di dominasi oleh sebaran batu gamping
yang terbentuk di dasar laut sejak awal masa Eosen, kemudian secara
evolusi endapan ini terangkat ke permukaan laut. Sifat batu gamping yang
mudah tertembus air memungkinkan terjadinya rongga-rongga yang
kemudian membentuk gua-gua payung tersebut. Setelah ribuan atau bahkan
jutaan tahun berlalu, bersamaan pula dengan surutnya air laut, maka gua-
gua tersebut merupakan tempat hunian yang ideal pada saat itu. Bukti-bukti
temuan seperti alat-alat litik, sisa-sisa makanan, dan perhiasan dapat
memperkuat tentang fungsi gua pada suatu masa tertentu (masa
prasejarah).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 35


Rencana Pengelolaan

Ciri yang menarik dari gua-gua prasejarah yang ditemukan di wilayah


Maros-Pangkep, adalah adanya lukisan yang terdapat pada dinding-dinding
gua yang menggambarkan cap tangan, binatang, serta obyek–obyek lain
yang merupakan lambang kegiatan religi masyarakat pada masa itu, seperti
alat-alat berburu, pertanian, mengumpulkan makanan, nelayan dan
peternakan, yang kesemuanya terbuat dari batu atau tulang belulang.
Kegiatan wisata lain yang dapat dilakukan pada kawasan TN. Babul
adalah wisata atraksi satwa, terutama untuk jenis-jenis Kupu-kupu dan Kera
Hitam Sulawesi (Macaca maura). Hal menarik yang baru saja terungkap di
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah ditemukannya
jenis Tarsius spectrum. Jenis ini dapat dengan mudah diamati karena letak
sarangnya yang cukup mudah dijangkau. Selama ini, Tarsius hanya banyak
diketahui di wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Dalam beberapa
ekplorasi antara tahun 2007 hingga 2008, jenis ini banyak didokumentasikan
dengan menggunakan kamera. Pada bulan Maret tahun 2008, staf Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berhasil menemukan salah satu
sarangnya.

g. Sarana dan Prasarana


Sarana prasarana pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pada
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung hingga saat ini masih sangat
terbatas. Untuk kebutuhan perlindungan dan pengamanan kawasan hanya
tersedia sebuah pondok kerja berukuran 70 M2, serta tiga buah pos jaga
berukuran 20 M2. Untuk keperluan wisata pada Blok Bantimurung, telah
tersedia beberapa fasilitas wisata yang memadai untuk wisatawan lokal
namun belum representatif untuk wisatawan manca negara. Seluruh fasilitas
wisata yang telah tersedia pada Blok Bantimurung juga adalah investasi
Pemerintah Kabupaten Maros dan dikelola secara langsung oleh pemerintah
setempat bersama masyarakat sekitar.
Pada Blok Pattunuang telah tersedia loket karcis, beberapa shelter dan
MCK serta jalan trail namun belum dilengkapi dengan fasilitas wisata
penunjangnya, terutama jalan untuk akses mencapai loket, tempat parkir
serta pengenal kawasan atau biasanya berbentuk pintu gerbang. Pada
kawasan Pattunuang juga tersedia fasilitas demplot penangkaran Kupu-
kupu, namun kondisinya tidak lagi menarik karena kurangnya pemeliharaan
sejak dibangun pada tahun 1998. Pada Blok Bantimurung, tersedia sebuah
demplot penangkaran Kupu-kupu yang cukup diminati oleh berbagai

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 36


Rencana Pengelolaan

kalangan, baik untuk keperluan penelitian, pendidikan, serta untuk kegiatan


wisata bagi kalangan tertentu.
Untuk keperluan operasional pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, sampai saat ini hanya tersedia 2 unit kendaraan
roda-4 dan 5 unit kendaraan roda-2, serta sebuah kantor berukuran 800 M2
yang belum dilengkapi dengan sarana meubelair yang memadai. Sampai
saat ini, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yang masing-masing
berkedudukan di Balocci Kabupaten Pangkep dan Camba Kabupaten Maros
belum memiliki gedung kantor tersendiri.

h. Aksesibilitas
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dicapai
dari beberapa sisi, yaitu dari sisi Selatan (Bantimurung) dan dari sisi Barat
(Balocci). Sisi Selatan atau tepatnya obyek wisata Air Terjun Bantimurung
berjarak ± 42 Km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
Jarak ini dapat ditempuh selama ± 60 menit. Untuk pengunjung yang
berasal dari luar provinsi atau pengunjung manca negara, kawasan
Bantimurung berjarak ± 21 Km dari Bandar Udara Internasional Hasanuddin
atau dapat dicapai dalam waktu ± 30 menit. Tersedia banyak fasilitas
angkutan umum untuk dapat mencapai lokasi ini sepanjang hari.

2. Kondisi Bioekologi
a. Tipe Ekosistem
Berdasarkan tipe ekosistem hutan yang ada (mengikuti Sastrapradja
dkk dan Whitten et al), kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dibagi ke dalam tiga tipe ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan di atas
batuan karst (forest over limestone/ hutan di atas batu gamping) atau lebih
dikenal dengan nama ekosistem karst, ekosistem hutan dataran rendah,
serta ekosistem hutan pegunungan bawah. Batas ketiga tipe ekosistem ini
sangat jelas karena hamparan batuan karst yang berdinding terjal dengan
puncak menaranya yang relatif datar, sangat berbeda dengan topografi
dataran rendah yang mempunyai topografi datar sampai berbukit, serta
kondisi ekosistem hutan pegunungan yang ditandai oleh bentuk relief yang
terjal atau terkadang bergelombang.
Pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, terdapat
dua lokasi ekosistem karst yang saling terpisah, yaitu di wilayah Maros -
Pangkep pada bagian barat taman nasional, dan di ujung Utara, yakni di
wilayah Mallawa. Para ahli geologi membedakan kedua kelompok karst ini,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 37


Rencana Pengelolaan

yakni yang pertama dikenal dengan kelompok Pangkajene dan yang kedua
disebut kelompok pegunungan bagian Timur. Kedua lokasi ini merupakan
wilayah penyebaran vegetasi bukit karst (vegetasi bukit kapur) dan lainnya
merupakan areal penyebaran vegetasi hutan dataran rendah.
Geomorfologi karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
berbentuk karst menara (pada beberapa referensi disebut sebagai The
Spectacular Tower Karst), yang merupakan satu-satunya di Indonesia dan
berbeda dengan tempat-tempat lain yang pada umumnya berbentuk karst
kerucut (conicall hill karst) atau peralihan antara karst menara dan kerucut.
Seperti pada umumnya kawasan karst, ekosistem karst Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung memiliki sangat banyak gua dengan ornamen
stalagtit dan stalagmit serta ornamen endokarst lainnya.

b. Flora dan Fauna


Tingginya kandungan kalsium dan magnesium dari batuan kapur yang
mendominasi areal karst di wilayah Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, menyebabkan terbatasnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat
hidup pada ekosistem tersebut. Achmad (2001) melakukan penelitian
vegetasi pada empat tipe habitat, yakni daerah puncak, tebing, lereng dan
lorong patahan di wilayah yang dulu merupakan areal Taman Wisata Alam
Gua Pattunuang. Ia melaporkan adanya variasi jenis yang menyusun
kelompok vegetasi pada ke empat tipe habitat tersebut. Bahkan ada jenis
yang ditemukan sangat spesifik berdasarkan tempat tumbuhnya.
Jenis flora yang terdapat di dalam Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sangat beraneka ragam dan di antaranya terdapat jenis-jenis
dominan seperti palem wanga (Piqafetta filaris dan Arenga sp.) yang tidak
dijumpai lagi pada ketinggian di atas 1.000 m.dpl. Jenis kayu-kayuan antara
lain terdiri dari Uru (Elmerillia sp.), Casuaria sp., Duabanga moluccana,
Vatica sp., Pangium edule, termasuk dijumpai tegakan murni Eucalyptus
deglupta. Pada hutan pegunungan bawah dijumpai Litsea sp., Agathis
philippinensis, berbagai jenis bambu dan Ficus sumatrana.
Hutan primer bukan pada batuan kapur ditemukan pada kompleks
Pegunungan Bulusaraung, hutan pendidikan Bengo-Bengo dan formasi
hutan di Kecamatan Camba dan Mallawa, serta sedikit di bagian Selatan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Berdasarkan hasil eksplorasi,
diketahui bahwa pada hutan dataran rendah tersebut dihuni oleh jenis-jenis
Vitex cofassus (bitti), Palaquium obtusifolium (nyatoh), Pterocarpus indicus
(cendrana), Ficus spp. (beringin), Sterqulia foetida, Dracontomelon dao

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 38


Rencana Pengelolaan

(dao), Dracontomelon mangiferum, Arenga pinnata (aren), Colona sp.,


Dillenia serrata, Aleurites moluccana (Kemiri), Pterospermum celebicum
(bayur), Mangifera spp. Cananga odoratum (kenanga), Duabanga
moluccana, Eugenia spp., Garcinia spp., Zizigium cuminii, Arthocarpus spp.,
Diospyros celebica (kayu hitam), Buchanania arborescens, Antocephalus
cadamba, Myristica sp., Knema sp., dan Calophyllum inophyllum.
Masih sangat banyak potensi fauna yang belum berhasil diidentifikasi
dengan baik di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Kegiatan eksplorasi, identifikasi dan inventarisasi masih perlu lebih sering
dilakukan, baik oleh pengelola, peneliti maupun pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya. Jenis mamalia yang telah berhasil diidentifikasi di
dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung antara lain
beberapa jenis kelelawar, Kera Hitam Sulawesi, Tarsius, Kuskus Beruang,
Kuskus Sulawesi, Musang Sulawesi, Babi Hutan dan Rusa.
Kelelawar adalah jenis penting yang karena kedudukannya dalam
ekosistem, satwa ini digolongkan sebagai “Key stone species” (Primarck,
1993). Ia menjelaskan bahwa keluarga kelelawar terdiri dari hampir 200
jenis, dimana 25% diantaranya adalah genus Pteropus. Jenis-jenis dari
genus ini mempunyai peranan yang penting, dan mungkin hanya mereka
yang melakukan penyerbukan dan penyebaran biji dari kurang lebih 100
jenis tumbuhan di daerah tropis. Di samping itu, kelelawar membawa sisa-
sisa makanan ke dalam gua yang sangat dibutuhkan oleh organisme
penghuni gua lainnya.
Kuskus merupakan satu-satunya komponen mamalia Irian-Australia
yang sebarannya sampai ke kawasan Sulawesi (batas bagian Barat).
Wirawan (1993) menginformasikan bahwa Kuskus yang berada di Karaenta
adalah jenis endemik Sulawesi, yakni Kuskus Sulawesi (Strigocuscus
celebencis) dan Kuskus Beruang (Ailurops ursinus).
Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii) adalah satwa yang
terdiri dari satu genera dengan satu species, dan merupakan satwa endemik
Sulawesi. Wirawan (1993) melaporkan bahwa Mastura (1993) telah
menemukan satwa ini di wilayah Karaenta. Panjang kepala dan badannya
kira-kira 1 meter, dengan panjang ekor 0,6 meter. Bagian tubuh atas
(punggung) berwarna coklat muda sampai coklat tua, bagian bawah putih
dengan dada kemerah-merahan dan bercak-bercak coklat di sisi kiri dan
kanan badannya. Strip coklat dan coklat muda melingkari ekor. Musang ini
memakan mamalia kecil dan buah-buahan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 39


Rencana Pengelolaan

Tarsius adalah merupakan primata terkecil di dunia. Wirawan (1993)


melaporkan bahwa ia pernah melihat Tarsius di wilayah Karaenta.
Walaupun hanya melihat 1 ekor, namun berdasarkan suara-suaranya ia
yakin jika populasinya lebih dari satu. Hal ini diperkuat oleh seorang pegawai
PPA di Karaenta yang pernah mengantar ahli Tarsius ke lokasi di mana
satwa ini berada. Ada 2 species Tarsius yang hidup di Sulawesi, namun
belum ada informasi tentang jenis apa yang ada di wilayah Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung pada saat itu. Panjang kepala dan badan satwa ini
berkisar antara 8,5-16,0 cm,
sedangkan ekornya bervariasi
antara 13,5-27,0 cm. Kera mungil ini
memiliki mata bulat yang besar,
serta jari-jari yang panjang untuk
berpegangan. Mereka hidup di
pohon dan mencari makan
Tarsius spectrum (serangga dan binatang kecil
lainnya) di malam hari.
Dalam beberapa eksplorasi antara tahun 2007 hingga 2008, jenis ini
banyak didokumentasikan dengan menggunakan kamera. Tim eksplorasi
kawasan karst IPB untuk kelompok Mamalia yang dipimpin oleh A. Haris
Mustari pada bulan Agustus 2007 untuk pertama kali berhasil
mendokumentasikan keberadaan Tarsius di dalam Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Cahyo Alkantana dalam sebuah seminar kegiatan
speleologi yang di selenggarakan oleh HIKESPI bekerja sama dengan Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada tanggal 16 Agustus 2007,
menginformasikan bahwa menemukan Tarsius di kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sangat mudah dan tidak sesulit di wilayah
Sulawesi Utara dan Tengah. Pada bulan Maret tahun 2008, beberapa orang
staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berhasil menemukan
salah satu sarangnya dan berhasil membuat dokumentasi yang menarik.
Meskipun belum ada laporan tentang species tikus yang ada di wilayah
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, namun Whitten et al (1987)
menginformasikan adanya sebaran tikus yang cukup luas di Sulawesi. Ada
18 jenis tikus endemik di Sulawesi, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa
ada diantara jenis-jenis tersebut yang juga hidup dalam wilayah Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Berbagai jenis burung dapat ditemukan di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Achmad (2000) pernah melaporkan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 40


Rencana Pengelolaan

jenis-jenis burung yang ada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung. Jenis-jenis yang ditemukan di kawasan ini antara lain
Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix), Kangkareng Sulawesi
(Penelopides exarhatus), Elang, Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Kurcica
(Saxicola caprata), Raja Udang (Halcyon chloris), Punai (Treron sp.), Pelatuk
(Dendrocarpus teiminkii), Srigunting (Dicrurus hottentotus), Walet (Collocalia
spp.), Burung hantu (Otus manadensis), Burung pipit 3 jenis (Loncura
molucca, Loncura malacca, dan Loncura vallida), Burung tekukur (Micropaga
amboinensis), Capili (Turacaena manadensis), Kakaktua Putih Jambul
Kuning (Cacatua sulphurea), Kakaktua Hijau “Danga” (Tanignatus
sumatranus), serta Ayam Hutan (Ghallus gallus).
Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) “Phyton” HIMAKOVA Institut
Pertanian Bogor melakukan survey keanekaragaman herpetofauna sebagai
bagian dari program Konservasi Herpetofauna di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Survei ini dilakukan selama 2 bulan, yakni pada
bulan Juli sampai Agustus 2007. Berdasarkan hasil survei ditemukan 37 jenis
herpetofauna, yang terdiri dari 24 jenis reptil dan 13 jenis katak, termasuk 3
jenis yang belum teridentifikasi. Di antara jenis yang dijumpai, termasuk
jenis-jenis endemik Sulawesi seperti Kodok Bufo celebensis dan Rana
celebensis, serta reptil endemik seperti Ular Kepala Dua (Cylindrophis
melanotus), Calamaria muelleri dan Cicak Hutan (Cyrtodactylus jellesmae).
Kadal akuatik yang disebut Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis) dapat
dijumpai berjemur di batu-batu besar sepanjang sungai di Pattunuang. Di
Bontosiri (Pegunungan Bulusaraung), katak jenis Limnonectes modestus
meletakkan telurnya di daun-daun pada tumbuhan bawah sepanjang sungai,
dan terkadang terdapat jantan yang sedang menjaga telurnya. Jenis lain
yang dapat dijumpai adalah kadal terbang (Draco sp.) yang sering diawetkan
dan dijual sebagai souvenir.
Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia
temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain
adalah : Papilio blumei, P. polites, P.sataspes, Troides haliphron, T. helena,
T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad (1998) telah meneliti secara
khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata
Bantimurung selama satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupu-
kupu Troides haliphron dan Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang
mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni hanya pada habitat berhutan
di pinggiran sungai.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 41


Rencana Pengelolaan

Sampai dengan tahun 2008, pada kawasan Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung telah terdaftar sebanyak 356 species satwa liar.
Daftar jenis satwa liar tersebut dihimpun dari berbagai sumber yang dapat
dipercaya serta hasil dari kegiatan identifikasi jenis yang dilakukan oleh Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sendiri. Jenis-jenis satwa liar
tersebut terdiri dari 6 species Mamalia, 73 species Aves, 7 species Amphibi,
19 species Reptilia, 224 species Insecta, serta 27 species Collembola,
Pisces, Moluska dan lain sebagainya. Dari 356 species satwa liar yang telah
terdaftar pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 30 species
diantaranya adalah species satwa liar yang dilindungi undang-undang, 1
species diantaranya adalah species satwa liar yang termasuk dalam
Appendix I CITES, 9 species diantaranya adalah species satwa liar yang
termasuk dalam Appendix II CITES, dan 1 species diantaranya adalah
species satwa liar yang termasuk dalam Appendix III CITES.
Selain jenis-jenis satwa liar, terdapat juga 302 species tumbuhan alam
telah terdaftar pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
yang terdiri dari 2 family kelas Monocotyledonae dan 43 family kelas
Dicotyledonae. Dari 302 species tumbuhan alam yang telah terdaftar pada
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 1 species diantaranya adalah
species tumbuhan alam yang dilindungi undang-undang, 1 species
diantaranya adalah species tumbuhan alam yang termasuk dalam Appendix
II CITES, dan 1 species diantaranya adalah species tumbuhan alam yang
termasuk dalam Appendix III CITES. Suatu hal yang cukup unik dari
keberadaan tumbuhan alam tersebut adalah adanya 43 species/ sub species
tumbuhan alam dari marga Ficus. Jenis-jenis Ficus ini adalah makanan
utama bagi banyak jenis satwa liar termasuk pula yang paling umum Kera
Hitam Sulawesi/ Dare (Macaca maura). Daftar kekayaan jenis flora dan
fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara lengkap dapat
dilihat pada lampiran 2.
Daftar keanekaragaman hayati di dalam Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung masih akan terus bertambah panjang seiring dengan semakin
intensifnya pelaksanaan identifikasi, inventarisasi ataupun sensus di dalam
kawasan. Daftar jenis keanekaragaman hayati tersebut, hingga saat ini
masih sebatas menjadi daftar. Upaya-upaya konservasi keanekaragaman
hayati di dalam kawasan masih dalam tahap pengumpulan dan pengolahan
data, serta pemetaan sebaran habitatnya di dalam kawasan. Kajian lebih
lanjut tentang bagaimana kondisi populasinya di dalam kawasan, daya
dukung habitat terhadap kelangsungan populasi jenis tersebut, serta hal-hal

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 42


Rencana Pengelolaan

lain yang terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati belum dapat


diupayakan hingga saat ini. Belum lagi upaya untuk pengamanan populasi
yang ada saat ini, serta peluang pemanfaatan atraksi keanekaragaman
hayati untuk ikut mendukung pengembangan pariwisata alam.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dikenal ke segala penjuru
dunia dengan potensi Kupu-kupunya. Jenis-jenis tersebut malah dapat
dikatakan sebagai Flag Species taman nasional ini yang sudah dikenal sejak
Alfred Russel Wallace mempublikasikan jurnal perjalanannya yang berjudul
“The Malay Archipelago” pada tahun 1890. Namun sayang, karena
termashurnya potensi tersebut, eksploitasi Kupu-kupu dilakukan secara
berlebihan dengan memanfaatkan ‘stock alam’. Sampai dengan tahun 2004,
belum ada upaya untuk membudidayakan jenis-jenis Kupu-kupu, sedangkan
pemanfaatannya semakin berkembang dan merajalela. Untuk itu, telah
dilakukan upaya penangkaran sebagai demplot percontohan bagi
masyarakat sejak tahun 2005 dan terus beroperasi hingga saat ini. Sampai
saat ini, sedikitnya ada empat species yang telah ditangkarkan pada demplot
percontohan tersebut. Selain untuk keperluan budidaya, demplot
penangkaran tersebut juga berfungsi sebagai tempat pengamatan atraksi
Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk masyarakat
umum.

Telur Ulat Pre-Pupa

Kupu-kupu
Pupa Dewasa

Siklus Metamorfosis Kupu-Kupu

C. Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung berada di dalam tiga wilayah administrasi kabupaten.
Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan
40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Secara keseluruhan di tiap kecamatan yang
berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat
populasi penduduk sebanyak 171.785 jiwa yang terdiri dari 83.286 jiwa pria dan
88.499 jiwa wanita. Kepadatan populasi penduduk rata-rata di seluruh wilayah
2
kecamatan sebanyak 97 jiwa/Km . Dari setiap kecamatan, kepadatan populasi
penduduk tertinggi berada di Kecamatan Minasa Te’ne Kabupaten Pangkep dan
Kecamatan Simbang Kabupaten Maros, sedangkan kepadatan populasi penduduk

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 43


Rencana Pengelolaan

terendah berada di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone dan Kecamatan


Tompobulu Kabupaten Maros.
Kecamatan Minasa Te’ne Kabupaten Pangkep dihuni oleh banyak populasi
manusia karena di wilayah ini terdapat pusat-pusat perindustrian dan perdagangan.
Sebagian wilayah Kecamatan Minasa Ten’e juga sangat dekat dengan wilayah
Ibukota Kabupaten Pangkep. Di kecamatan ini terdapat pusat pemukiman
perusahaan pertambangan milik PT. Semen Tonasa yang berkapasitas cukup besar.
Berbeda dengan Kecamatan Minasa Te’ne, Kecamatan Simbang Kabupaten Maros
juga memiliki kepadatan populasi penduduk yang cukup tinggi karena di wilayah ini
telah lama berkembang kegiatan-kegiatan pariwisata, kegiatan pertanian yang
Tambang yang berada di sekitar Taman Nasional intensif serta kegiatan-kegiatan
Bantimurung Bulusaraung
pelayanan jasa. Pada kecamatan ini
juga terdapat markas sebuah batalyon
infanteri milik TNI Angkatan Darat.
Kantor Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung juga berada
di dalam wilayah administrasi
Kecamatan Simbang.
Adapun kondisi kependudukan di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone
dan Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros yang cukup rendah, diasumsikan
karena bentuk topografi yang berbukit dan bergunung, fasilitas infrastruktur yang
minim, serta tingkat aksesibilitasnya yang rendah. Kondisi kependudukan pada
wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada akhir
tahun 2006 diuraikan pada tabel 1.

Tabel 1 : Kondisi Kependudukan pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006
Penduduk Luas
Kabupaten/ Kepadatan
No. Pria Wanita Jumlah Sex Wilayah 2
Kecamatan 2 (Jiwa/Km )
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) Ratio (Km )
A. MAROS
1. Bantimurung 13.640 14.333 27.973 95 173,70 161
2. Simbang 10.667 11.251 21.918 95 105,31 208
3. Cendrana 6.576 7.570 14.146 87 180,97 78
4. Camba 6.858 7.263 14.121 94 145,36 97
5. Mallawa 5.687 6.043 11.730 94 235,92 50
6. Tompobulu 7.121 6.572 13.693 108 287,66 48
B. PANGKEP
1. Balocci 8.008 8.286 16.294 97 143,48 114
2. Minasa Te'ne 13.835 15.589 29.424 89 76,48 385
3. Tondong Tallasa 4.567 4.966 9.533 92 111,20 86
C. BONE
1. Tellu Limpoe 6.327 6.626 12.953 95 318,10 41

Jumlah 83.286 88.499 171.785 94 1.778,18 97


Sumber : BPS, 2007

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 44


Rencana Pengelolaan

Kondisi pendidikan masyarakat pada wilayah-wilayah di sekitar kawasan


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai dengan tahun 2006 dapat
dianggap masih cukup rendah. Berdasarkan data kondisi pendidikan sebagaimana
tabel 2 di bawah, prosentase jumlah pelajar dari total populasi penduduk hanya
sebesar 19,07%. Sebagai bahan perbandingan, jumlah populasi masyarakat seluruh
Kabupaten Maros yang berada dalam usia sekolah (dengan asumsi usia 5 hingga 19
tahun) sebanyak 102.836 jiwa atau ± 34,56% dari total populasi 297.618 jiwa.
Dengan menggunakan angka prosentase populasi penduduk seluruh Kabupaten
Maros yang berada dalam usia sekolah, dibandingkan dengan prosentase jumlah
pelajar dari total populasi penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung yang hanya sebanyak 19,07%, maka terdapat sekitar 55% atau lebih
dari separuh penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di sekitar kawasan taman
nasional. Kenyataan yang demikian ini dapat digunakan sebagai salah satu
peringatan atau indikasi bahwa tekanan terhadap kawasan taman nasional masih
akan tetap tinggi hingga dua atau tiga dekade yang akan datang. Populasi penduduk
ini sebagian besar masih akan menggantungkan kebutuhan ekonominya dari bidang-
bidang pertanian (yang membutuhkan lahan), yang disebabkan oleh lemahnya daya
saing untuk memperoleh jenis pekerjaan lain yang mempersyaratkan pendidikan.

Tabel 2 : Kondisi Pendidikan Masyarakat pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman


Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006
Populasi Jumlah Pelajar (orang) Prosentase
Kabupaten/
No. Penduduk Pelajar dari
Kecamatan TK SD SLTP SLTA Jumlah
(Jiwa) Populasi

A. MAROS
1. Bantimurung 27.973 270 3666 1.606 808 6.350 22,70
2. Simbang 21.918 210 2985 687 62 3.944 17,99
3. Cendrana 14.146 157 1860 380 0 2.397 16,94
4. Camba 14.121 269 1673 530 487 2.959 20,95
5. Mallawa 11.730 92 1577 375 147 2.191 18,68
6. Tompobulu 13.693 0 1637 353 0 1.990 14,53

B. PANGKEP
1. Balocci 16.294 162 2443 973 523 4.101 25,17
2. Minasa Te'ne 29.424 186 3610 1.137 263 5.196 17,66
3. Tondong Tallasa 9.533 191 1083 307 91 1.672 17,54

C. BONE
1. Tellu Limpoe 12.953 20 1813 130 0 1.963 15,15

Jumlah 171.785 1.557 22.347 6.478 2.381 32.763 19,07


Sumber : BPS, 2007

Masyarakat Kabupaten Maros, Pangkep dan Bone yang bermukim di sekitar


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada umumnya merupakan Etnis Bugis-
Makassar yang menganut agama Islam. Kabupaten Maros dan Pangkep merupakan
daerah peralihan antara wilayah etnis Bugis dengan wilayah etnis Makassar,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 45


Rencana Pengelolaan

sehingga masyarakat yang berada di wilayah tersebut umumnya mampu berbahasa


Bugis dan Makassar. Pada beberapa kecamatan di Kabupaten Maros dan Pangkep,
terdapat komunitas yang menggunakan bahasa Dentong dan bahasa Makassar
berdialek Konjo. Sistem kepercayaan dan budaya masyarakat Maros, Pangkep dan
Bone sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Bugis-Makassar dan Islam. Nilai-nilai
budaya yang berlaku masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah tersebut.

Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Pelajar di sekitar TN Babul

30.000

25.000

20.000

15.000

10.000

5.000

e
sa
lu

e
g

ba
ng

i
a

cc

po
'n
un

an

bu
w

lla
am
ba

Te
lo

m
la
ur

po
dr

Ta
Ba
m

al

Li
C
im

en

a
m
M
Si

as

ll u
ng
nt

To
C

in

Te
Ba

o
nd
M

To

Jumlah penduduk Pelajar TK Pelajar SD Pelajar SLTP Pelajar SLTA

Sebagai masyarakat agraris, dikenal berbagai kegiatan kebudayaan yang


berkaitan dengan aktifitas pertanian, mulai dari persiapan lahan, penanaman dan
panen. Semangat gotong royong dalam pembuatan atau perbaikan saluran air, jalan
desa dan ritual budaya masih terpelihara dengan baik. Dalam penentuan waktu
musim tanam dilakukan kegiatan Tudang Sipulung yang dihadiri oleh masyarakat
dan aparat desa. Sedangkan kegiatan Mappadendang merupakan acara syukuran
yang dilaksanakan setelah musim panen padi. Disamping itu, dikenal berbagai
budaya lokal yang terkait dengan sistem kepemilikan (sanra, teseng, dan pewarisan)
dan perkawinan yang berkaitan dengan budaya agraris.
Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional selain bekerja sebagai
petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan hidupnya dari hasil
hutan. Bisa saja dikatakan bahwa tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari
hasil hutan, karena pada umumnya masyarakat ini juga mempunyai mata
pencaharian ganda. Aktifitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan
taman nasional umumnya adalah pembuatan gula aren, mencari madu, menangkap
kupu-kupu, memungut kemiri, dan mengambil kayu bahan bangunan, bahkan
sebagian masyarakat berkebun atau berladang di dalam kawasan taman nasional

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 46


Rencana Pengelolaan

karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang status lahan (pada umumnya
di wilayah-wilayah yang dulunya adalah hutan lindung dan produksi). Pemungutan
hasil hutan ikutan seperti gula aren, kemiri dan madu merupakan aktifitas yang
memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat.
Penangkapan kupu-kupu juga merupakan sumber pendapatan masyarakat yang
bermukim di sekitar kawasan wisata Bantimurung (Kecamatan Bantimurung dan
Simbang).

D. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Telah Berkembang


Pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan sekitarnya,
terutama di wilayah Kabupaten Maros dan Pangkep karena kedekatannya dengan
ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, telah berkembang berbagai kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam terutama untuk keperluan di bidang pertanian,
kehutanan, perikanan, perkebunan, pertambangan, serta sektor perindustrian dan
perdagangan.
Di bidang pertanian, usaha persawahan dan pertanian lahan kering sangat
berkembang dan masyarakat pada umumnya masih sangat menggantungkan
hidupnya pada usaha ini. Areal persawahan di Kabupaten Maros dan Pangkep
merupakan areal sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menghasilkan dua kali
panen dalam satu tahun. Di Kecamatan Bantimurung sendiri, pada tahun 2006
mampu memproduksi Gabah sebanyak 41.606,36 Ton, Jagung sebanyak 1.714,50
Ton, Ubi Jalar sebanyak 768,54 Ton, Ubi Kayu sebanyak 717,70 Ton, Kacang Tanah
sebanyak 81,87 Ton, Kacang Kedelai sebanyak 852,69 Ton serta Kacang Hijau
sebanyak 169,33 Ton (BPS, 2007).
Dari aspek pertambangan, cadangan tereka endapan batuan karbonat di
Indonesia yang jumlahnya mencapai 39 trilyun ton merupakan aset negara yang
sangat menggiurkan bagi sektor pertambangan (Surono dkk, 1999 dalam Samodra,
2001). Batuan sebanyak itu memang tidak semuanya berupa batu gamping.
Sebagian merupakan batuan sedimen gampingan (yang bercampur dengan material
lain (pasir, lempung, tuf) serta dolomit. Dari seluruh singkapan batugamping yang
ada di Indonesia, sekitar 70% mempunyai bentang alam karst (Samodra, 2001).
Sebagai bahan galian, batu gamping di kawasan karst Maros-Pangkep
mempunyai aneka manfaat. Masyarakat sekitar memanfaatkan sumber daya yang
ada di sekitarnya sebagai bahan bangunan, terutama untuk keperluan pembuatan
fondasi rumah, jalan, jembatan dan isian bendungan, serta bahan pembuatan kapur
yang digunakan dalam konstruksi. Secara ekonomis, pemanfaatan seperti ini kurang
menguntungkan namun masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah kebawah
yang ada di sekitar kawasan karst Maros-Pangkep tidak punya pilihan lain. Model

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 47


Rencana Pengelolaan

pemanfaatan yang demikian ini terkadang juga menjadi salah satu kendala dalam
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, karena sedikit banyaknya
akan menjadi ancaman di masa yang akan datang.
Batu gamping yang merupakan bahan baku utama industri semen
dimanfaatkan oleh dua industri besar di kawasan Maros-Pangkep, yaitu PT. Semen
Tonasa dan PT. Semen Bosowa. Areal kontrak karya kedua perusahaan ini berada di
luar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Untuk menghasilkan
semen dibutuhkan batu gamping, lempung dan pasir kuarsa yang kesemuanya itu
tersedia di kawasan karst Maros-Pangkep.
Batu Pualam atau di masyarakat awam lebih populer dengan sebutan marmer
banyak tersedia di kawasan karst Maros-Pangkep. Menurut Samodra (2001) di dunia
pertambangan, marmer mempunyai dua arti. Pertama sebagai hasil pemalihan
batuan karbonat oleh suhu yang tinggi dan yang kedua adalah sebagai nama dagang
untuk setiap batu gamping yang telah digosok menjadi mengkilap. Di kawasan karst
Maros-Pangkep terdapat banyak perusahaan pertambangan yang mengusahakan
batu gamping sebagai bahan pembuatan marmer. Usaha seperti ini banyak dilirik
oleh kalangan investor karena keuntungan ekonomi yang menjanjikan.
Dari segi pariwisata, kawasan karst Maros-Pangkep yang merupakan satu-
satunya karst menara di Indonesia menawarkan berbagai keindahan dan keunikan
yang mempunyai nilai jual tinggi. Tidak hanya eksokarst yang menampilkan
panorama alam yang indah dan unik, endokarst dengan berbagai ornamen
spleleothem juga merupakan pesona alam yang indah di dalam perut bumi. Kawasan
karst Maros-Pangkep, terutama yang berada di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sejak lama telah menjadi idola bagi para petualang.
Kegiatan panjat tebing, penelusuran gua, hiking dan berbagai macam kegiatan
kepecintaan alam telah banyak dilakukan. Selain gua-gua yang masih alami, terdapat
pula sedikitnya 89 gua di kawasan karst Maros-Pangkep yang merupakan situs
kepurbakalaan. Gua-gua ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata.
Di kawasan Bantimurung terdapat air terjun yang sudah sangat di kenal
kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Obyek wisata ini merupakan idola
masyarakat Sulawesi Selatan karena tingkat aksesibilitasnya yang tinggi. Pada tahun
2007, tercatat 569.103 orang pengunjung yang terdiri dari 2.152 orang wisatawan
mancanegara dan 566.951 orang wisatawan domestik. Obyek wisata ini di tahun
2007 mampu menghasilkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Maros sebesar Rp.
2.460.168.800,- hanya dari karcis pengunjung (belum termasuk jasa penggunaan
lahan parkir, jasa penggunaan fasilitas penunjang dan lain sebagainya). Obyek
wisata Bantimurung hingga tahun 2008 masih dikelola oleh Pemerintah Kabupaten
Maros yang sejak era 1970-an sudah dibuka untuk wisata. Setelah perubahan fungsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 48


Rencana Pengelolaan

kawasan menjadi taman nasional, kawasan ini diupayakan untuk dapat dikelola
bersama karena sarana pendukung kegiatan wisata di kawasan ini adalah
merupakan aset Pemerintah Maros, termasuk pula lahan di sekitar kawasan,
sedangkan obyek wisata air terjun dan gua-gua sendiri berada di dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Upaya untuk pengelolaan secara
kolaboratif ini telah dirintis sejak tahun 2007
dan pada tahun 2008 sudah tercapai
kesepahaman tentang pengelolaan obyek
wisata ini antara pihak Pemerintah
Kabupaten Maros dan Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (hingga
Maret 2008, kesepahaman tersebut belum

Towakala, Bantimurung
dapat direalisasikan karena belum
mendapat persetujuan dari Bupati Maros).

E. Kelembagaan Masyarakat
Masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung merupakan masyarakat yang tergolong sudah dipengaruhi
oleh modernisasi karena letaknya yang tidak jauh dari ibukota provinsi. Selain
letaknya secara geografis, infrastruktur yang umumnya tersedia di wilayah perkotaan
juga telah banyak tersedia di desa-desa sekitar kawasan. Sarana komunikasi telepon
(termasuk juga telepon seluler) sudah menjangkau hampir seluruh bagian kawasan.
Fasilitas listrik (baik yang disediakan oleh PLN maupun swadaya masyarakat) juga
telah menjangkau pelosok pedesaan.
Walaupun demikian, kebersahajaan hidup masyarakat pedesaan masih dapat
dilihat di wilayah-wilayah tertentu, terutama di wilayah yang tingkat aksesibilitasnya
masih rendah. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah tersebut
pada umumnya berupa LKMD, kelompok tani dan koperasi. Pada daerah penyangga
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, di tahun 2006 dan 2007 telah
dibentuk dua sentra penyuluhan kehutanan pedesaan (SPKP), yaitu di Desa
Samangki Kecamatan Simbang dan Desa Pattanyamang Kecamatan Camba. Kedua
desa tersebut juga merupakan model desa konservasi yang dicanangkan sejak tahun
2006.

F. Permasalahan Kawasan
Berbagai permasalahan masih menyelimuti upaya-upaya pengelolaan kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Permasalahan-permasalahan tersebut
pada dasarnya merupakan dampak dari upaya pembangunan ekonomi yang belum

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 49


Rencana Pengelolaan

berpihak kepada upaya konservasi, dampak dari populasi dan semakin tingginya
kebutuhan manusia akan sumber daya alam hayati, lemahnya koordinasi di kalangan
pemerintah serta masih lemahnya kelembagaan Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :

1. Kawasan-kawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya menjadi Taman


Nasional Bantimurung Bulusaraung belum clear and clean. Masih terdapat
tumpang tindih penggunaan atau kepemilikan lahan di dalam kawasan.
Berdasarkan penafsiran citra satelit SPOT 4 hasil akuisisi tahun 2006, pada
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat setidaknya 1.195
Ha lahan kawasan yang bermasalah (2,73% dari total luas kawasan). Lahan-
lahan tersebut antara lain telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman,
areal persawahan, lahan pertanian dan perkebunan serta areal yang ditumbuhi
semak belukar. Pada tahun 2007, telah diupayakan pelaksanaan sosialisasi
kepada masyarakat dan aparat pemerintah daerah untuk mencari solusi atas
permasalahan tersebut. Awalnya, masyarakat dan pemerintah daerah pada
umumnya menginginkan enclave di dalam kawasan, namun kemudian telah
bersedia untuk menjadikannya zona khusus di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.

2. Penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum


temu gelang. Sampai dengan tahun 2008, realisasi tata batas sudah mencapai
432,52 Km (90,44%) dari total panjang batas luar 478,22 Km. Penataan batas
direncanakan akan dirampungkan hingga temu gelang pada tahun 2009. Karena
belum terselesaikannya penataan batas maka penetapan kawasan juga belum
dapat dilakukan. Dengan demikian, status hukum kawasan belum bersifat final
dan pada umumnya kalangan awam belum paham tentang proses pengukuhan
kawasan hutan (termasuk pula sebagian aparat pemerintah). Sebagian aparat
pemerintah menganggap bahwa dengan belum adanya penetapan kawasan
maka perubahan fungsi -atau bahkan pelepasan kawasan- masih dapat
dilakukan.

3. Masih terkait dengan batas, hasil tata batas sebagian kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung yang dilaksanakan antara tahun 1975 sampai dengan
tahun 2001, telah mengalami banyak perubahan. Pada tahun 2007 dilaksanakan
rekonstruksi batas kawasan dan banyak ditemukan tumpang tindih penggunaan
lahan di sekitar batas kawasan. Terkait dengan batas-batas kawasan di
lapangan, sementara waktu ini sedang dilakukan identifikasi lahan-lahan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 50


Rencana Pengelolaan

bermasalah di sekitar batas untuk kemudian akan diupayakan untuk review/


reposisi batas apabila memungkinkan.

4. Di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat tanaman


Kemiri (Aleurites moluccana) yang bagi masyarakat setempat merupakan
komoditas penunjang usaha ekonominya. Selain itu terdapat pula tanaman Jati
(Tectona grandis). Tanaman ini pada umumnya berada di dalam kawasan yang
sebelumnya berfungsi lindung dan produksi. Masyarakat di sekitar kawasan
mengakui tanaman kemiri dan jati tersebut sebagai milik mereka walaupun diakui
berada di dalam kawasan hutan. Karena klaim kepemilikan tersebut, kelompok-
kelompok masyarakat ini menuntut untuk dapat memanfaatkan hasilnya.

5. Data dan informasi potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


masih minim. Untuk itu, sampai dengan tahun 2008 telah diupayakan untuk terus
menghimpun data dan informasi yang ada serta terus diupayakan untuk
melaksanakan eksplorasi secara langsung di lapangan.

6. Terkait dengan data dan informasi potensi kawasan yang masih terbatas, maka
perancangan zonasi pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung juga belum dapat diselesaikan. Untuk sementara waktu,
pelaksanaan pengelolaan kawasan didasarkan pada fungsi kawasan hutan
sebelum penunjukan sebagai kawasan taman nasional. Dengan demikian maka
pelaksanaan pemanfaatan untuk keperluan wisata alam tetap dilakukan pada
wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan taman wisata alam.

7. Bentang alam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang


sebagian besar adalah kawasan karst menyebabkan sulitnya aksesibilitas ke
dalam kawasan untuk berbagai keperluan, terutama untuk identifikasi dan
inventarisasi potensi serta kondisi aktual kawasan. Penggunaan teknologi
penginderaan jauh untuk keperluan ini telah dilakukan namun belum dapat
memberikan gambaran yang detail tentang kondisi aktual kawasan. Untuk
keperluan ini dibutuhkan penggunaan citra satelit resolusi tinggi pada kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Citra Satelit Quickbird, Ikonos atau
SPOT 5).

8. Fenomena alam di bawah permukaan karst (endokarst) sangat khas dan unik
namun belum semua dapat diekplorasi karena keterbatasan sumberdaya.

9. Pemanfaatan Kupu-kupu dari habitat alaminya masih terus terjadi di kawasan


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung karena harga jualnya yang cukup
menjanjikan serta masih tingginya permintaan pasar. Untuk mengatasi
permasalahan ini, telah diupayakan untuk mensosialisasikan upaya-upaya

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 51


Rencana Pengelolaan

penangkaran jenis Kupu-Kupu, termasuk salah satunya dengan pengembangan


demplot penangkaran Kupu-kupu di kawasan Bantimurung.

10. Pengelolaan secara kolaboratif Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

11. Pengelolaan kawasan wisata Bantimurung masih dilakukan oleh Pemerintah


Kabupaten Maros. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, serta Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004. Atas permasalahan ini, telah diupayakan
komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan pihak pemerintah kabupaten.
Upaya ini belum berhasil dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sampai dengan akhir tahun 2007. Pada tahun 2008 terus
diupayakan koordinasi dengan pihak Pemerintah Kabupaten Maros dan untuk
sementara waktu telah tercapai kesepahaman untuk melakukan pengelolaan
secara kolaboratif pada obyek wisata Bantimurung antara pihak Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan pihak Pemerintah Kabupaten Maros.
Kesepahaman ini belum dapat ditindaklanjuti karena belum adanya persetujuan
dari Bupati Maros dan sementara waktu sedang diupayakan untuk
mengkoordinasikan hal ini secara langsung kepada Bupati Maros.

12. Kelembagaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum mapan.


SDM yang ada masih sangat terbatas, sarana dan prasarana pengelolaan juga
demikian adanya. Selain itu, struktur organisasi yang ada belum mampu
mendukung kebutuhan pengelolaan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 52


III
Kebijakan

A. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional


Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya antara lain
ditempuh melalui penetapan wilayah-wilayah tertentu, baik di daratan dan/atau
perairan, sebagai kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA)
yang merupakan perwakilan habitat keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
kawasan untuk pemeliharaan keutuhan sumber plasma nutfah, serta sebagai
kawasan untuk tujuan pemeliharaan keseimbangan ekosistem, keunikan dan
keindahan alam, sehingga dapat terus mendukung pembangunan dan menunjang
peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan hidup.
Kebijakan penetapan dan pengelolaan KSA dan KPA ditujukan terutama untuk
melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya agar dapat mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu,
berfungsinya suatu KSA dan KPA sesuai dengan tujuan penetapannya merupakan
suatu indikator keberhasilan pengelolaan kawasan tersebut. Upaya pencapaian
tujuan pembangunan KSA dan KPA sesuai fungsinya selalu dikaitkan dengan
embanan utama upaya konservasi, yaitu :

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan


Merupakan upaya untuk menjaga dan memelihara berbagai proses ekologis
esensial guna kelangsungan kehidupan bagi kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia, melalui usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan
Rencana Pengelolaan

jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan


daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan
alam dan lain-lain.

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya


Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan
non-hayati (baik fisik maupun non-fisik). Semua unsur ini sangat berkaitan dan
saling mempengaruhi. Hilang atau punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti
dengan unsur lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin
keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah
dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar
senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan
(konservasi in-situ) atau di luar kawasan (konservasi ex-situ). Upaya pencegahan
dari kepunahan, menjaga dan memelihara kemurnian genetik dan
keanekaragaman serta memelihara keseimbangan ekosistem, secara
keseluruhan ditujukan untuk kesejahteraan dan kehidupan manusia secara
berkelanjutan.

3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya


Sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pemanfaatan kawasan
konservasi, khususnya jenis pemanfaatan yang dikategorikan dapat menunjang
budidaya, dimungkinkan untuk dapat dilaksanakan di dalam kawasan konservasi
dengan embanan konservasi sebagai arahan pelaksanaannya. Sepanjang suatu
kegiatan masih berada dalam kisaran bobot embanan konservasi, kegiatan
tersebut dapat dilaksanakan, namun tentunya dengan tetap memperhatikan segi
positif dan negatifnya.

Pembangunan KSA dan KPA merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional yang dalam pelaksanaannya tidak dapat mengabaikan
kepentingan masyarakat sekitar dan/atau di dalam KSA dan KPA. Oleh karena itu,
pelaksanaan kegiatan pada KSA dan KPA hendaknya selalu terintegrasi dan
terkoordinasi dengan pembangunan sektor lainnya. Keterlibatan mitra atau
stakeholders terutama masyarakat sekitar dan/atau di dalam kawasan harus
dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan KSA dan
KPA dan selalu diupayakan pembinaannya agar dapat berperan aktif di dalam setiap
upaya konservasi disamping upaya-upaya peningkatan kesejahteraan perekonomian
sekitar kawasan dimaksud.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 54


Rencana Pengelolaan

Secara umum, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi ditetapkan untuk :


(1) mengupayakan terwujudnya tujuan dan embanan upaya konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya; (2) meningkatkan pendayagunaan potensi hayati
kawasan konservasi untuk kegiatan yang menunjang budidaya; (3) memberdayakan
peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; (4) peningkatan integrasi dan
koordinasi; serta (5) mengupayakan pelaksanaan evaluasi fungsi kawasan. Untuk
mengupayakan perwujudan kebijakan tersebut, ditetapkan strategi :

1. Eksternal
a. Peningkatan Peran Serta Stakeholders
Sesuai kebijakan pembangunan KSA dan KPA yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat luas, maka partisipasi masyarakat sekitar dan/atau
di dalam KSA dan KPA, Pemda setempat, para pelaku ekonomi (BUMN,
koperasi, swasta, dan perorangan) perlu terus dikembangkan.

b. Integrasi dan Koordinasi


Pembangunan konservasi dan wilayah yang terintegrasi dengan baik
dapat menjadi potensi dan kekuatan pembangunan nasional. Koordinasi
pembangunan di tingkat regional berada pada BAPPEDA Provinsi/
Kabupaten/ Kota.

c. Dukungan dan Perhatian Internasional


Konsekuensi logis dari ratifikasi konvensi keanekaragaman hayati
adalah Indonesia mendapat dukungan dan perhatian internasional terutama
terkait dalam pendanaan, bantuan tenaga ahli, pelatihan dan pendidikan,
maupun dukungan terhadap penyelesaian kasus-kasus kawasan.

2. Internal
a. Peningkatan Daya Guna KSA dan KPA
Daya guna KSA dan KPA dapat ditingkatkan melalui optimasi
beberapa kegiatan, yaitu : peningkatan kegiatan inventarisasi dan kajian
potensi kawasan; peningkatan kualitas dan kuantitas pengelola; penciptaan
iklim swadana dalam menunjang kegiatan pengelolaan dan peningkatan
manfaat kawasan; penegakan peraturan perundang-undangan dan
penyiapan perangkat lunak yang mendukung berhasilnya tujuan penetapan
kawasan; serta pemantapan sarana dan prasarana pengelolaan.

b. Penelitian dan Pendidikan Konservasi


Kegiatan penelitian pada KSA dan KPA dititikberatkan pada pengkajian

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 55


Rencana Pengelolaan

potensi hayatinya yang hasil-hasilnya digunakan untuk perencanaan


pengelolaan kawasan. Kegiatan penelitian dan pendidikan konservasi
diharapkan akan meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat
terhadap upaya konservasi.

c. Pengkajian Fungsi Kawasan


Terhadap KSA dan KPA yang diperkirakan telah mengalami
pergeseran pemanfaatan dan fungsi serta tujuan penetapannya, harus
dilakukan pengkajian untuk menetapkan penanganan pengelolaannya.

Secara umum, arahan pengelolaan kawasan konservasi ditetapkan sebagai


berikut :

1. Perencanaan
Perencanaan yang merupakan tahap awal dari suatu kegiatan dapat
dijadikan piranti analisis yang strategis dalam pengambilan keputusan dan
sekaligus dapat pula dijadikan indikator keberhasilan pencapaian kegiatan. Jenis
rencana, cakupan wilayah perencanaan, dan mekanisme penyusunan, penilaian,
dan pengesahannya, merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebaik-
baiknya.
a. Jenis Rencana
Dalam pengelolaan kawasan konservasi diperlukan adanya beberapa
rencana, yaitu rencana pengelolaan dan rencana teknis. Rencana
pengelolaan kawasan konservasi sendiri terdiri dari rencana pengelolaan
jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Rencana
pengelolaan jangka panjang merupakan rencana yang bersifat indikatif
perspektif dan kualitatif-kuantitatif untuk jangka waktu dua puluh tahun.
Rencana pengelolaan jangka menengah merupakan rencana yang memuat
semua kegiatan yang akan dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun.
Rencana pengelolaan jangka pendek merupakan rencana yang memuat
semua kegiatan yang harus dilaksanakan dalam tahun yang bersangkutan.
Rencana teknis merupakan penjabaran dari salah satu atau beberapa
kegiatan teknis yang telah termuat dalam rencana pengelolaan. Berbeda
dengan rencana pengelolaan, rencana-rencana teknis memuat detail
pelaksanaan suatu kegiatan, yang antara lain berisi latar belakang
pelaksanaan kegiatan, maksud dan tujuan kegiatan, metode pelaksanaan
kegiatan, serta kebutuhan waktu dan segala sumber daya untuk
pelaksanaannya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 56


Rencana Pengelolaan

b. Cakupan Wilayah Perencanaan


Pada dasarnya, setiap unit kawasan konservasi perlu dilengkapi
dengan rencana pengelolaan, baik jangka panjang, menengah, ataupun
tahunan. Namun demikian berdasarkan luas dan intensitas pengelolaannya,
rencana pengelolan beberapa lokasi kawasan konservasi yang letaknya
berdekatan dan dalam satu unit pengelolaan dapat disajikan dalam satu
rencana pengelolaan.

2. Pengorganisasian
Implementasi pengelolaan kawasan yang ideal dimulai sejak suatu areal
ditunjuk sebagai kawasan konservasi yang kemudian disusul dengan kegiatan
penyusunan rencana pengelolaan, penyelesaian pengukuhan dan penataan, dan
pelaksanaan pengelolaan dan pengembangannya. Namun demikian, sesuai
kondisi kawasan konservasi yang ada saat ini, yang mempunyai variasi potensi
dan intensitas pengelolaan masing-masing, implementasi penyusunan rencana
dan pelaksanaan pengelolaan dan pengembangannya dapat dilakukan secara
simultan dengan memperhatikan kondisi tersebut.
Organisasi pengelola cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam,
dan taman buru adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Taman nasional
pada prinsipnya dikelola oleh unit pelaksana teknis taman nasional, dan bagi
taman nasional yang belum dikelola oleh unit pelaksana teknis taman nasional
dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Kawasan taman hutan raya
dan hutan lindung, pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan
a. Tahapan Pengelolaan
(1) Tahap Pembangunan Prakondisi
ƒ Pemantapan status hukum kawasan, yang merupakan proses
penyelesaian pengukuhan kawasan sampai dengan penetapan
kawasan sebagai kawasan hutan tetap dan bersifal final.
ƒ Penataan kawasan, yang mencakup inventarisasi dan identifikasi
kondisi kawasan yang dilanjutkan dengan penetapan zona atau blok
pengelolaan. Hasil-hasil identifikasi, inventarisasi dan eksplorasi
potensi kawasan dijadikan bahan rujukan untuk kegiatan penataan
kawasan yang sebelumnya melalui proses pengkajian aspek ekologi,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 57


Rencana Pengelolaan

ekonomi dan sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar


kawasan.
ƒ Pembangunan sarana dan prasarana dasar yang diperlukan dalam
tahap awal pelaksanaan pengelolaan, yang terdiri dari sarana dan
prasarana kelembagaan pengelola, sarana dan prasarana
perlindungan dan pengamanan kawasan, sarana dan prasarana
penelitian dan pendidikan, serta wisata alam.

(2) Tahap Pengembangan Pengelolaan Kawasan


Pengembangan pengelolaan kawasan mencakup : pengelolaan
potensi kawasan; perlindungan dan pengamanan kawasan; pengelolaan
pemanfaatan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, wisata alam, dan
kegiatan yang menunjang budidaya; serta pemantapan koordinasi dan
integrasi.

b. Arahan Pengelolaan
Pengelolaan kawasan konservasi, sesuai dengan ragam situasi dan
kondisinya, dapat dilakukan secara simultan dengan arahan-arahan sebagai
berikut :
(1) Pemantapan Kawasan
Untuk terselenggaranya pengelolaan kawasan yang mantap,
seluruh kawasan konservasi harus memiliki status legal formal yang
kuat, yaitu status penetapan. Berangkat dan kondisi saat ini, secara
bertahap kawasan konservasi yang ada harus segera diselesaikan
proses pengukuhannya, dimulai dari proses penunjukan, penataan batas
sampai temu gelang, penerbitan berita acara tata batas, dan
penyelesaian penetapannya. Tanda atau pal batas yang sudah ada perlu
dipelihara dan direkonstruksi bila tanda-tanda tersebut hilang atau rusak.
Berdasarkan pada pentingnya fungsi dan
tujuan pengelolaan kawasan, penetapan zona
atau blok bukan hanya dapat dilakukan di
kawasan pelestarian alam melainkan dapat pula
dilakukan di kawasan suaka alam. Penetapan
zona atau blok pengelolaan harus selalu
didasarkan pada aspek potensi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat, dan rencana
Pal batas Taman Nasional
pembangunan wilayah.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 58


Rencana Pengelolaan

(2) Penyusunan Rencana Pengelolaan


Sesuai dengan amanat pembangunan nasional bahwa
pembangunan kawasan konservasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan sektor-sektor lain, maka penyusunan
rencana pengelolaan diupayakan dapat mengakomodir berbagai peluang
pembangunan. Dengan demikian, dalam persiapan dan penyusunan
rencana pengelolaan, upaya pelibatan peran serta masyarakat
merupakan prasyarat untuk efektif dan efisiennya rencana pengelolaan
yang disusun.

(3) Pembangunan Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana pengelolaan merupakan kebutuhan dasar
untuk terselenggaranya kegiatan pengelolaan yang berdaya guna dan
berhasil guna. Di setiap kawasan konservasi, khususnya suaka alam dan
hutan lindung, yang sampai saat ini banyak yang belum terjamah oleh
kegiatan pengelolaan, diperkenankan dibangun berbagai bentuk sarana
dan prasarana pengelolaan sepanjang untuk kepentingan pencapaian
tujuan penetapannya. Dalam pelaksanaannya, pembangunan fasilitas
tersebut dapat dikerjasamakan dengan mitra kerja atau pihak-pihak
lainnya.
Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan pelestarian alam
dan taman buru, terutama sarana dan prasarana wisata alam, harus
mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat, serta memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(4) Pengelolaan Potensi Kawasan


Pengelolaan potensi kawasan, yaitu tumbuhan, satwa, dan
ekosistemnya diarahkan pada upaya untuk mempertahankan
keberadaan dan pemanfaatannya melalui :
ƒ Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan serta penanganan
hasil-hasilnya melalui sistem managemen database;
ƒ Pengembangan sistem pemantauan, evaluasi perkembangan, dan
pelaporan data;
ƒ Untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan habitat tumbuhan,
satwa, atau ekosistem, di setiap kawasan konservasi pada
prinsipnya dapat dilakukan pembinaan habitat yang dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 59


Rencana Pengelolaan

pelaksanaannya harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip


konservasi;
ƒ Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa
agar tetap berada dalam keadaan seimbang dan dinamis, di setiap
kawasan konservasi pada prinsipnya dapat dilakukan pembinaan
populasi yang dalam pelaksanaannya harus tetap memperhatikan
prinsip-prinsip konservasi;
ƒ Plasma nutfah, baik tumbuhan maupun satwa, yang ada di dalam
kawasan konservasi dapat digunakan sebagai sumber genetik untuk
kegiatan pemuliaan, penangkaran, dan budidaya di luar kawasan
konservasi;
ƒ Di dalam kawasan konservasi diperkenankan adanya kegiatan
penangkaran dan pembinaan jenis sepanjang menggunakan jenis
asli dari kawasan yang bersangkutan, tidak mengurangi dan
merusak ekosistem kawasan, dan untuk tujuan penelitian;
ƒ Hasil hutan ikutan dan non-kayu di dalam kawasan hutan lindung
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya dengan pengaturan
tertentu;
ƒ Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan di setiap kawasan konservasi
dengan tetap memperhatikan segi teknis dan ilmiah. Rehabilitasi
dilakukan atas dasar adanya kebutuhan untuk memperbaiki kondisi
kawasan yang rusak atau menurun potensinya. Penggunaan jenis
asli merupakan syarat utama penyelenggaraan rehabilitasi di dalam
cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, dan taman wisata
alam. Rehabilitasi di taman buru diarahkan pada kegiatan
pembinaan habitat dan populasi satwa buru, sedangkan rehabilitasi
di hutan lindung ditujukan pada pembinaan atau peningkatan fungsi
hidrologisnya.

(5) Perlindungan dan Pengamanan Kawasan


Perlindungan dan pengamanan kawasan pada dasarnya adalah
upaya melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia,
baik yang berada di sekitar maupun yang jauh dari kawasan namun
mempunyai akses yang tinggi terhadap kawasan tersebut, atau bentuk
gangguan lainnya, seperti kebakaran, gangguan ternak, hama, dan
penyakit. Oleh karena itu, kegiatan perlindungan dan pengamanan perlu
diarahkan pada : perlindungan dan pengamanan fisik kawasan;
identifikasi daerah-daerah rawan gangguan; sosialisasi batas kawasan;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 60


Rencana Pengelolaan

pengembangan kemitraan dengan masyarakat; pemasangan


pengumuman dan tanda-tanda
larangan; penegakan hukum secara
represif; pencegahan kebakaran;
serta pemusnahan hama dan penyakit
serta jenis-jenis penggangu lainnya.

Pemusnahan barang bukti


(6) Kegiatan Penelitian dan Pendidikan
Sesuai dengan fungsi kawasan konservasi, yang salah satunya
adalah mengakomodasi kegiatan penelitian dan pendidikan, bentuk dan
materi penelitian dan pendidikan perlu diarahkan dan diselaraskan
dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bentuk penelitian terapan, misalnya penelitian tentang teknologi
konservasi sumber daya
alam, atau penelitian murni,
misalnya penelitian tentang
tingkah laku satwa, dapat
dilaksanakan di dalam
kawasan konservasi. Untuk
efektifitas dan efisiensi,
pengelolaan penelitian dan
Kegiatan penelitian Biota Gua
pendidikan diarahkan pada
kegiatan, sebagai berikut :
ƒ Identifikasi objek dan jenis tumbuhan, satwa, ekosistem, dan sosial
ekonomi serta budaya masyarakat;
ƒ Penyusunan skala prioritas pelaksanaan penelitian yang
disesuaikan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan
konservasi;
ƒ Pengembangan bentuk kerjasama dengan masyarakat; serta
ƒ Pengembangan sistem promosi rencana penelitian dan hasil
penelitian kepada masyarakat luas.

(7) Pengelolaan Wisata Alam


Kegiatan wisata alam di dalam kawasan konservasi diarahkan
pada upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan tetap
memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan
dan pelestarian alam. Dengan demikian, kegiatan wisata alam dalam
kawasan konservasi diarahkan pada beberapa kegiatan berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 61


Rencana Pengelolaan

ƒ Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata alam di


dalam kawasan konservasi;
ƒ Inventarisasi, identifikasi, dan analisis sosial ekonomi dan budaya
masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan
daerah, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung yang berada
di sekitar kawasan;
ƒ Pengembangan obyek wisata alam tetap memperhatikan aspek
sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar,
kebijakan sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana
dan prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan;
ƒ Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya
pemanfaatan kawasan konservasi, khususnya kawasan pelestarian
alam dan taman buru, diarahkan pada upaya peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat
sekitar kawasan.

(8) Pengembangan Koordinasi dan Integrasi


Koordinasi dan integrasi memegang peranan penting dalam upaya
memperkenalkan berbagai bentuk pembangunan kawasan konservasi
kepada rnasyarakat luas. Oleh karena itu, integrasi dan koordinasi lintas
sektor perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :
ƒ Integrasi dan koordinasi lintas sektor harus dimulai sejak
penyusunan rencana pengelolaan kawasan sampai pada tahap
pengembangannya;
ƒ Pengembangan sistem promosi tepat guna, baik melalui jalur resmi,
misalnya pendidikan, maupun jalur informal, misalnya melalui brosur,
leaflet, dan fasilitas elektronik, dilakukan bersama-sama organisasi
pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam maupun luar negeri,
serta masyarakat;
ƒ Pembinaan daerah penyangga dititikberatkan pada upaya
peningkatan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan
kawasan konservasi yang sedemikian rupa sehingga kehadiran
kawasan konservasi dapat dirasakan manfaatnya.

4. Pemantauan dan Evaluasi


Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap seluruh tahap pengelolaan
kawasan, yaitu sejak kegiatan perencanaan sampai pada tahap pengembangan
potensinya yang diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 62


Rencana Pengelolaan

a. Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan kawasan konservasi


dilakukan oleh unit kerja pengelola, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya
Alam, Balai Taman Nasional, dan Dinas Kehutanan;
b. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi, unit kerja tersebut dapat
bekerjasama dengan masyarakat, perguruan tinggi, atau lembaga lainnya;
c. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan disampaikan kepada Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam;

Berdasarkan arahan pengelolaan kawasan konservasi secara umum


sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pengelolaan kawasan taman nasional
sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi diarahkan secara khusus
berdasarkan fungsi dan tujuan pengelolaannya. Arahan khusus pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :

1. Fungsi
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditunjuk dan
ditetapkan untuk dikelola dengan fungsi sebagai : kawasan perlindungan sistem
penyangga kehidupan; kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa; dan sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagaimana karakter
penunjukannya, maka kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
terutama diperuntukkan bagi perlindungan sistem-sistem alam yang ada di ketiga
tipe ekosistem utama yang diwakilinya, dan secara lebih spesifik lagi di
peruntukkan bagi perlindungan contoh ekosistem karst dengan geomorfologi
menara yang terbatas sebarannya di Indonesia.
Potensi keanekaragaman hayati yang diupayakan untuk dipelihara
keberadaannya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
terdiri dari berbagai jenis tumbuhan alam dan satwa liar yang khas, unik dan
terbatas sebarannya di wilayah mintakat biogeografi Sulawesi, bahkan di
kepulauan nusantara. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung setidaknya merupakan habitat dari
sedikitnya 356 species satwa liar serta 302 species tumbuhan alam. Jumlah
keanekaragaman hayati tersebut masih akan terus bertambah seiring dengan
semakin intensifnya dilakukan identifikasi, inventarisasi dan eksplorasi di dalam
kawasan.
Terkait dengan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
mampu menyediakan sumber-sumber plasma nutfah yang dapat mendukung
pengembangan budidaya, pengembangan ilmu pengetahuan serta menunjang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 63


Rencana Pengelolaan

budaya masyarakat. Dari segi ekonomi, kawasan ini menyimpan kekayaan yang
tidak ternilai harganya apabila dapat dimanfaatkan secara bijaksana. Kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mampu menyediakan jasa-jasa
lingkungan yang sangat potensial bagi pengembangan usaha ekonomi
masyarakat secara keseluruhan, terutama dari bidang pengembangan pariwisata
serta penyediaan sumber-sumber air.

2. Tujuan Pengelolaan
Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dilakukan dengan
tujuan utama untuk : menjamin dan memelihara keutuhan dari keberadaan
kawasan dan ekosistem taman nasional; menjamin dan memelihara keberadaan
potensi dan nilai-nilai dari keanekaragaman tumbuhan, satwa, komunitas, dan
ekosistem penyusun kawasan taman nasional; serta optimalisasi pemanfaatan
kawasan dan potensi taman nasional secara berkelanjutan, lestari dan bijaksana
untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, budaya, dan pariwisata alam
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Umumnya setiap lokasi kawasan taman nasional ditunjuk dan ditetapkan
untuk kepentingan perlindungan, pengawetan, dan pelestarian dari keperwakilan
keanekaragaman hayati, komunitas atau ekosistem, yang sangat khas dan
spesifik. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dalam hal ini ditunjuk dan
ditetapkan untuk kepentingan perlindungan, pengawetan, dan pelestarian potensi
ekosistem karst di Kabupaten Maros dan Pangkep serta berbagai jenis
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

3. Prinsip Dasar Pengelolaan


Prinsip-prinsip dasar pengelolaan taman nasional yang dilakukan, secara
umum mencakup prinsip-prinsip pengelolaan :
a. Pendayagunaan potensi taman nasional untuk kepentingan kegiatan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan konservasi
alam, penyediaan plasma nutfah untuk menunjang kepentingan budidaya,
pariwisata alam dan rekreasi, serta pemanfaatan jasa lingkungan, melalui
metoda dan cara yang diupayakan dan dilaksanakan dengan tidak merusak
dan mengurangi luas kawasan, tidak menyebabkan berubahnya fungsi, dan
tidak memasukkan jenis tumbuhan maupun satwa yang tidak asli (exotic
species).
b. Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan, kawasan taman nasional
ditata ke dalam zona inti, zona rimba/zona bahari, zona pemanfaatan, dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 64


Rencana Pengelolaan

zona lainnya. Zona lain ditetapkan berdasarkan kebutuhan untuk


kepentingan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Penetapan zona pada kawasan taman nasional dilakukan sangat variatif
sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta berdasarkan kajian yang
mendalam terkait dengan aspek
ekologi, ekonomi dan sosial budaya
masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
c. Masyarakat sekitar kawasan secara
aktif diikutsertakan dan dilibatkan
dalam pengelolaan kawasan taman
nasional baik sejak proses
perencanaan, pelaksanaan, maupun pendayagunaan pemanfaatannya.
d. Dalam hal dijumpai adanya kerusakan habitat dan/atau penurunan populasi
satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi peraturan perundangan di
dalam taman nasional, maka setelah dilakukan studi dan kajian yang
seksama dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi dan restorasi habitat, populasi
dan ekosistem taman nasional, yang antara lain mencakup : pembinaan
habitat dan pembinaan populasi; rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli;
reintroduksi jenis satwa sejenis dan asli; serta pengendalian dan/atau
pemusnahan jenis tumbuhan dan/atau satwa yang tidak asli yang
diidentifikasi telah dan akan mengganggu keutuhan dan kelestarian
ekosistem kawasan.

4. Bidang Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional


Bidang kegiatan pengelolaan taman nasional secara umum mencakup
kegiatan : administrasi pengelolaan taman nasional; eksplorasi, survei dan
inventarisasi potensi kawasan; pengelolaan data dan informasi; pemantapan
kawasan dan penetapan status hukum taman nasional; perencanaan
pengelolaan; penataan kawasan; perlindungan dan pengamanan kawasan;
pengelolaan dan pembinaan konservasi jenis; restorasi dan rehabilitasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya; pengembangan sarana dan prasarana
pengelolaan; pemanfaatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan; pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan dan peningkatan
kesadaran konservasi; pemanfaatan untuk kepentingan pariwisata;
pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan; pengembangan pemanfaatan
untuk menunjang kepentingan budidaya; pengembangan koordinasi, integrasi
dan kemitraan; serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 65


Rencana Pengelolaan

Bidang kegiatan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


diuraikan sebagai berikut :

a. Administrasi Pengelolaan Taman Nasional


Merupakan kegiatan administrasi pendukung pelaksanaan teknis
kegiatan pengelolaan taman nasional di lapangan. Kegiatan ini secara umum
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya fisik berupa administrasi
persuratan, administrasi organisasi dan kepegawaian, administrasi sarana
prasarana dan pengaturan urusan rumah tangga organisasi, administrasi
keuangan dan anggaran, guna mendukung pelaksanaan pengelolaan taman
nasional.

b. Eksplorasi, Survei dan Inventarisasi Potensi Taman Nasional


Eksplorasi merupakan kegiatan penjelajahan setiap bagian dari
kawasan taman nasional untuk memperoleh pengetahuan status dan
keadaan dari fisik lapangan, jenis flora dan fauna, tipe komunitas atau
ekosistem, kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan taman nasional, disertai dengan identifikasi dan koleksi atas
specimen unsur-unsur penyusun sumber daya alam hayati dan ekosistem.
Kegiatan eksplorasi pada seluruh kawasan agar direncanakan dilakukan
setiap lima tahun sekali.
Survei lapangan merupakan kegiatan untuk pengumpulan data dan
informasi secara spesifik dari komponen-komponen penyusun sumber daya
alam hayati dan ekosistem, yang mencakup pengukuran atas jenis, populasi,
penyebaran, sex-ratio, kerapatan/kelimpahan populasi, status kelangkaan,
permasalahan dan sebagainya dari potensi dan kekayaan sumber daya alam
hayati dan ekosistem, termasuk sosial ekonomi budaya masyarakat di dalam
dan di sekitar kawasan taman nasional. Kegiatan survei lapangan pada
seluruh kawasan sebaiknya diselesaikan bertahap maksimal dalam tiga
tahun dengan selang waktu tiga tahun sekali.
Inventarisasi potensi merupakan kegiatan untuk mengetahui dan
memperoleh data dan informasi mengenai potensi dan kekayaan sumber
daya alam hayati dan ekosistem beserta lingkungannya secara lengkap.
Inventarisasi potensi umumnya dilakukan melalui tahapan kegiatan
eksplorasi dan survei lapangan.
Praktek kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian
dan monitoring mencakup pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan
dengan penggunaan metoda dan teknik dalam pelaksanaan kegiatan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 66


Rencana Pengelolaan

eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring atas


sumber daya alam dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat yang ada
di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Penggunaan metoda dan
teknik pelaksanaan kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi,
evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut di dalam pengelolaan taman
nasional umumnya sangat bervariasi tergantung kepada kondisi spesifik dari
jenis flora fauna, baik yang hidup di dalam perairan, lantai hutan, tajuk hutan
maupun puncak pohon. Oleh karena variasi persyaratan dan teknik
eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut
sangat beragam dan banyak, maka diharapkan seseorang yang bekerja di
kawasan taman nasional minimal memahami satu sampai tiga keahlian di
bidang pembuatan disain ilmiah skema pelaksanaan kegiatan eksplorasi,
survei, inventarisasi, evaluasi/ penilaian dan monitoring atas aspek biologi
konservasi, valuasi sumber daya alam, dan kondisi sosial ekonomi budaya
masyarakat. Kemampuan penguasaan atas metoda dan teknis pelaksanaan
kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring
tersebut penting untuk menjadi perhatian, karena banyak data dan informasi
sumber daya alam hayati dan ekosistem yang telah lama tidak diperbarui
kembali. Walaupun telah tersedia, terkadang data yang ada kurang akurat
akibat kurang diperhatikannya metode dan teknik pengumpulan data di
lapangan.
Dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi,
evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut ada beberapa kaitan aspek
kepentingan yang dapat diidentifikasi untuk membantu pengembangan
pengelolaan taman nasional, yang antara lain berhubungan dengan :
(1) Aspek potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem
ƒ Memiliki ekosistem global yang terancam rusak/punah
ƒ Memiliki species global, regional dan lokal yang jarang, terancam
punah atau punah
ƒ Memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi
ƒ Memiliki jumlah species endemik yang tinggi
ƒ Merupakan suatu fungsi ekosistem/landsekap yang kritis
ƒ Cukup luas untuk mampu mendukung minimal viabilitas populasi dari
species payung atau species kunci atau relatif cukup luas untuk
suatu wilayah
ƒ Merupakan ekosistem yang utuh dan dapat dijadikan percontohan
ƒ Memberikan sumbangan yang berarti terhadap keperwakilan suatu
sistem konservasi kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 67


Rencana Pengelolaan

ƒ Merupakan habitat terpenting dan berkualitas untuk kehidupan


species kunci
(2) Aspek sosial ekonomi dan kondisi masyarakat sekitar kawasan
ƒ Menyajikan kesempatan ekonomi bagi kehidupan masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan taman nasional
ƒ Memiliki kesempatan sebagai percontohan pembangunan
berkelanjutan dan konsisten dengan tujuan pengelolaan kawasan
taman nasional
ƒ Memiliki potensi untuk mendukung pemanfaatan secara subsisten
atau tradisional bagi masyarakat setempat
ƒ Memiliki nilai-nilai kepercayaan/agama dan spiritual
ƒ Memiliki keajaiban alam dan pemandangan/keindahan alam (seperti
air terjun, sumber air panas, panorama alam, struktur geologi, dan
lain-lain.)
ƒ Memiliki species tumbuhan dan satwa bernilai ekonomi tinggi (seperti
bernilai bahan obat, bahan kimia, bahan makanan, keindahan, dan
lain-lain.)
ƒ Memiliki nilai ilmu pengetahuan, penelitian dan pendidikan yang
tinggi
ƒ Memiliki nilai-nilai rekreasi yang menarik
ƒ Memiliki fungsi ekosistem yang memberikan sumbangan berarti bagi
kepentingan kehidupan sosial atau ekonomi masyarakat (seperti
penyedian sumber daya air, pengaturan iklim, penyerapan bahan
polutan, dan lain-lain.)
ƒ Memiliki sumber daya alam yang menjadi tumpuan kehidupan
masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung
(3) Aspek pengaruh kondisi lokal, regional dan global terhadap kawasan
taman nasional
ƒ Adanya konflik kepentingan antara penggunaan tradisional,
agama/kepercayaan dan praktek budaya dengan tujuan pengelolaan
kawasan taman nasional
ƒ Adanya nilai-nilai sumber daya alam kawasan taman nasional yang
bernilai tinggi (seperti potensi kayu komersial berkualitas tinggi, kaya
sumber daya mineral, potensial sebagai sumber daya energi, dan
lain-lain.)
ƒ Adanya kemudahan akses untuk mencapainya (dekat dengan jalan
raya utama, lapangan terbang, perkotaan, jalur perhubungan sungai/
perairan, dan lain-lain.)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 68


Rencana Pengelolaan

ƒ Adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap produk-produk yang


dapat diperoleh dari kawasan taman nasional (seperti species satwa
yang memiliki nilai estetika tinggi, species kayu yang khas dan unik,
species langka, tanaman hias, tumbuhan obat, dan lain-lain.)
ƒ Areal sekitar kawasan taman nasional berada dalam pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan atau pertumbuhan populasi penduduk yang
tinggi (seperti kepemilikan lahan sempit per KK, kekurangan lahan
pertanian, penguasaan lahan oleh orang/ kelompok tertentu,
kekurangan bahan makanan, populasi penduduk yang padat,
banyaknya pengangguran, dan lain-lain.)

Hasil kegiatan inventarisasi potensi taman nasional selanjutnya


dihimpun sebagai bahan penyusunan inventarisasi sumber daya alam hayati
dan ekosistem pada tingkat unit pengelolaan, tingkat pemerintah kabupaten/
kota/ provinsi, tingkat daerah aliran sungai, tingkat bio-regional pulau, dan
tingkat nasional. Hasil kegiatan inventarisasi potensi taman nasional antara
lain dipergunakan pula sebagai dasar di dalam penyusunan rencana
pengelolaan, kegiatan pengukuhan kawasan, kegiatan penataan zonasi
kawasan, penyusunan neraca sumber daya alam hayati dan ekosistem, dan
input data untuk sistem informasi konservasi alam taman nasional.

c. Pengelolaan Data dan Informasi Taman Nasional


Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan teknologi
informasi, terutama dalam penggunaan aplikasi perangkat lunak dan
perangkat keras yang berkaitan dengan pengelolaan dan komunikasi data
dan informasi taman nasional. Praktek kegiatan ini mencakup
pengembangan data base dan sistem informasi yang on-line, operasional
dan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis (SIG), disain grafis
untuk keperluan promosi dan informasi, dan lain sebagainya.
Data dan informasi yang diperoleh dari hasil inventarisasi potensi,
dihimpun, dikelola dan dikembangkan dalam sistem informasi pada kawasan
taman nasional, yang mencakup jenis data dan informasi, kecepatan proses
pengolahan data menjadi informasi, tingkat detail informasi, performa
informasi, volume dan transaksi informasi, penanggung jawab pengelola
informasi dan sebagainya. Pengelolaan sistem informasi berupa kegiatan
pengelolaan suatu kumpulan atau totalitas komponen-komponen yang saling
berhubungan, pengaruh-mempengaruhi, sehingga dapat dihasilkan dan
dialirkan suatu informasi yang berguna (akurat, terpercaya, detail, cepat,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 69


Rencana Pengelolaan

relevan dan sebagainya) untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam


perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan taman nasional.

d. Pemantapan Kawasan dan Penetapan Status Hukum Taman Nasional


Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan proses pengukuhan
status hukum kawasan taman nasional. Pengukuhan kawasan taman
nasional merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas keberadaan dari kawasan taman nasional. Pelaksanaan
kegiatan tersebut memerlukan keterlibatan dan partisipasi secara aktif dari
masyarakat, pemerintah daerah, dan berbagai pihak terkait dan
berkepentingan. Kegiatan pengukuhan kawasan tersebut mencakup :
(1) Penataan batas kawasan
Merupakan kegiatan pemancangan tanda batas kawasan taman
nasional di lapangan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak
pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan
pengukuran tanda batas definitif.

(2) Pemetaan kawasan


Merupakan kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas
kawasan taman nasional berupa peta tata batas yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas kawasan
taman nasional.

(3) Penetapan kawasan


Merupakan kegiatan untuk penegasan tentang kepastian hukum
mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah
ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap sesuai fungsinya sebagai kawasan
taman nasional dengan Keputusan Menteri Kehutanan.

Apabila kawasan taman nasional telah ditetapkan secara pasti,


pengelola taman nasional berkewajiban pula untuk melakukan kegiatan
pemeliharaan batas dan tanda batas kawasan, yaitu suatu kegiatan untuk
melakukan pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan jalur batas dan tanda
batas kawasan, termasuk kegiatan rekonstruksi batas dan tanda batas
kawasan. Kegiatan pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan alur batas
dan tanda batas kawasan di lakukan minimal setiap tahun sekali dan
kegiatan rekonstruksi batas dan tanda batas kawasan dilakukan minimal lima
tahun sekali.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 70


Rencana Pengelolaan

e. Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional


Untuk kepentingan pengelolaan taman nasional diperlukan adanya
rencana pengelolaan, yang menurut jenis dan jangka waktunya, terdapat :
rencana pengelolaan jangka panjang; rencana pengelolaan jangka
menengah; rencana pengelolaan jangka pendek; serta rencana teknis.
Cakupan dan ruang lingkup rencana pengelolaan taman nasional umumnya
meliputi seluruh kawasan taman nasional, serta memuat perencanaan,
kegiatan pengelolaan, sarana dan prasarana, organisasi dan personil,
pengusahaan, pembinaan masyarakat, kemitraan dan koordinasi,
pemantauan, pengawasan dan evaluasi.

f. Penataan Kawasan Taman Nasional


Merupakan kegiatan rancang bangun pembagian kawasan taman
nasional sesuai potensi dan fungsi pemanfaatannya dari sumber daya alam
dan ekosistem di dalam setiap unit pengelolaan kawasan taman nasional,
dengan memperhatikan hak-hak masyarakat setempat. Penataan kawasan
taman nasional mencakup kegiatan pembagian dan pengelompokan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan tipe dan potensi yang
terkandung di dalam ekosistem, fungsi dan rencana pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dengan tujuan untuk efektifitas dan
efisiensi pengelolaan serta memperoleh manfaat fungsi sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan masyarakat secara bijaksana, lestari dan berkelanjutan.
Penataan kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai
dengan kebutuhan pengelolaan dan spesifikasi kawasan taman nasional,
karena itu penataan pembagian kawasan taman nasional ke dalam zonasi
kawasan tidak selalu harus lengkap dan tidak selalu sama pada setiap
kawasan taman nasional. Secara umum, prinsip pembagian zonasi pada
kawasan taman nasional terdiri dari :
(1) Zona inti
ƒ Di dalam zona inti hanya dapat dilakukan kegiatan monitoring
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
ƒ Di dalam zona inti dapat dibangun sarana dan prasarana untuk
kegiatan monitoring seperti tersebut pada butir di atas.
ƒ Di dalam zona inti tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat
merubah bentang alam.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 71


Rencana Pengelolaan

(2) Zona rimba


ƒ Di dalam zona rimba dapat dilakukan kegiatan penelitian,
pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan-kegiatan lain yang
menunjang budidaya.
ƒ Di dalam zona rimba dapat dibangun sarana dan prasarana
sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata
terbatas.
ƒ Zona rimba tidak dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan yang bersifat merubah bentang alam.
ƒ Di dalam zona rimba diperkenankan adanya pemanfaatan yang
bersifat tradisional.

(3) Zona pemanfaatan


ƒ Di dalam zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan
kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan penelitian,
pendidikan, dan wisata alam.
ƒ Kegiatan pengusahaan pariwisata alam dapat diberikan kepada
pihak ketiga, baik koperasi, BUMN, swasta maupun perorangan.
ƒ Zona pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, dan restocking.
ƒ Di dalam zona pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana
pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam yang dalam
pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur daerah
setempat.
ƒ Zona pemanfaatan tidak dapat digunakan sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan yang merubah bentang alam.
ƒ Di dalam zona pemanfaatan diperkenankan adanya pemanfaatan
tradisional.

Untuk selanjutnya pembagian zona tersebut dapat dikembangkan


sesuai derivatifnya menurut kondisi dan spesifikasi di setiap kawasan taman
nasional, seperti adanya zona pemanfaatan khusus, zona pemanfaatan
tradisional, zona rehabilitasi dan restorasi, zona khusus, dan lain-lain.
Penataan kawasan taman nasional umumnya dibuat berdasarkan
kajian data dan informasi kawasan dan potensi sumber daya alam hayati dan
ekosistem disertai bantuan penggunaan teknologi penginderaan jauh dan
analisis sistem informasi geografis. Teknik pelaksanaan kegiatan ini adalah

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 72


Rencana Pengelolaan

dengan memanfaatkan jasa survei dan pemetaan dalam penataan ruang


atau dikenal sebagai zonasi kawasan taman nasional. Kegiatan tersebut
secara umum mencakup :
(1) Pengumpulan data dan informasi berupa potensi fisik kawasan, sumber
daya alam hayati dan ekosistem, serta kondisi sosial ekonomi budaya
masyarakat (baik yang tercermin dalam bentuk data sekunder spatial
maupun non-spatial) yang akan melengkapi kepentingan analisis data
keruangan (spatial) dari penggunaan teknologi penginderaan jauh
(interpretasi citra satelit) maupun analisis informasi geografis.
(2) Interpretasi citra satelit.
(3) Analisa spatial.
(4) Konsultasi dan pembahasan konsep zonasi kawasan taman nasional.
(5) Finalisasi konsep usulan pengesahan penataan zonasi kawasan taman
nasional dengan diskripsi pengelolaan dan pemanfaatannya.
(6) Konsultasi publik usulan pengesahan penataan zonasi kawasan taman
nasional kepada masyarakat dan berbagai pihak terkait.
(7) Usulan pengesahan zonasi kawasan taman nasional.

Pengesahan zonasi kawasan taman nasional akan memuat peta


penunjukan yang bersifat arahan tentang batas penataan zonasi dari
kawasan taman nasional berikut diskripsi pengelolaan dan pemanfaatannya,
yang disusun oleh pengelola taman nasional, dinilai oleh Direktur Konservasi
Kawasan dan disahkan oleh Direktur Jenderal PHKA, yang selanjutnya
ditindak lanjuti oleh pengelola melalui kegiatan penataan batas zonasi
kawasan taman nasional di lapangan.
Berdasarkan pengesahan penataan zonasi kawasan taman nasional
oleh Direktur Jenderal PHKA, pengelola taman nasional menindaklanjutinya
di lapangan dengan kegiatan :
(1) Penataan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan
kegiatan pemancangan tanda batas zonasi kawasan di lapangan yang
meliputi proyeksi batas, pemancangan tanda batas, dan pengukuran
tanda batas zonasi definitif.
(2) Pemetaan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan
kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas zonasi kawasan
berupa peta tata batas zonasi yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan laporan kegiatan tata batas zonasi kawasan taman
nasional.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 73


Rencana Pengelolaan

(3) Penetapan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan


kegiatan untuk penegasan tentang kepastian hukum mengenai status,
letak, batas, luas zonasi, dan ketentuan peraturan penggunaan dan
pengelolaan setiap zonasi kawasan yang telah ditetapkan sesuai fungsi
dan kepentingan pengelolaannya sebagai taman nasional dengan
Keputusan Menteri.

g. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Konservasi


Perlindungan dan pengamanan kawasan merupakan upaya
melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia maupun
gangguan lainnya, seperti kebakaran hutan, gangguan ternak, hama dan
penyakit, perburuan liar, perambahan hutan, dan penebangan liar. Oleh
karena itu, kegiatan perlindungan dan pengamanan diarahkan pada hal-hal
sebagai berikut :
(1) Penjagaan, patroli, operasi fungsional dan gabungan dalam rangka
perlindungan dan pengamanan fisik kawasan;
(2) Perlindungan dan pengamanan fisik kawasan;
(3) Identifikasi daerah-daerah rawan gangguan;
(4) Ceramah, konsultasi dan sosialisasi batas dan peraturan perundang-
undangan pengelolaan taman nasional;
(5) Pengembangan peran serta dan kemitraan dengan masyarakat;
(6) Pemasangan pengumuman dan tanda-tanda larangan;
(7) Penegakan hukum;
(8) Pengendalian kebakaran hutan;
(9) Pemusnahan dan/atau pengendalian hama dan penyakit serta jenis
pengganggu lainnya; dan
(10)Penyusunan rencana strategis, dan kebijakan perlindungan dan
pengamanan kawasan.

Dalam kaitan tersebut, perlu diperhatikan bahwa ancaman dan


tekanan perusakan terhadap kawasan dan potensi taman nasional telah
cukup tercatat dan termonitor dengan baik selama sepuluh tahun terakhir.
Data dan informasi tersebut dikaji dan dianalisis sehingga dapat
menunjukkan kemungkinan : (a) peningkatan secara tajam, (b) peningkatan
secara perlahan-lahan, (c) peningkatan secara tetap, (d) berkurang perlahan-
lahan, (e) berkurang secara tajam, dan kemungkinan bentuk dampak
kerusakan yang dapat ditimbulkannya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 74


Rencana Pengelolaan

h. Pengelolaan dan Pembinaan Konservasi Jenis


Merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan
habitat dan populasi hidupan liar, agar keberadaannya sebagai komponen
ekosistem tetap dalam keadaan seimbang dan dinamis secara alami di
dalam kawasan taman nasional. Hal tersebut juga merupakan upaya untuk
menjaganya dari berbagai gangguan, agar keutuhan dan keaslian dari
kawasan tersebut beserta keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa
serta ekosistemnya dapat berjalan secara alami, yang dilaksanakan sesuai
dengan sistem zonasi pengelolaannya, yaitu :
(1) Kegiatan konservasi jenis di zona inti taman nasional :
ƒ Perlindungan dan pengamanan.
ƒ Inventarisasi potensi kawasan.
ƒ Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan,
terutama untuk pemantauan dan evaluasi habitat dan populasi
hidupan liar.

(2) Kegiatan konservasi jenis di zona pemanfaatan taman nasional :


ƒ Perlindungan dan pengamanan.
ƒ Inventarisasi potensi kawasan.
ƒ Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pariwisata alam.

(3) Kegiatan konservasi jenis di zona rimba taman nasional :


ƒ Perlindungan dan pengamanan.
ƒ Inventarisasi potensi kawasan.
ƒ Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan,
terutama untuk pemantauan dan evaluasi habitat dan populasi
hidupan liar.
ƒ Pembinaan habitat dan populasi satwa, yaitu kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk menjaga dan memulihkan
keberadaan populasi dan keragaman jenis satwa tertentu agar terjadi
keseimbangan dengan daya dukungnya, yang dilaksanakan antara
lain melalui kegiatan : pembinaan habitat/vegetasi, pembinaan
populasi satwa, pembuatan fasilitas air minum dan/atau tempat
berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-
pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa,
penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa
asli, serta pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 75


Rencana Pengelolaan

Upaya pengawetan taman nasional dilaksanakan dengan ketentuan


dilarang untuk melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
fungsi taman nasional, seperti kegiatan merusak kekhasan potensi sebagai
pembentuk ekosistemnya, merusak keindahan alam dan gejala alam taman
nasional, melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana
pengelolaan dan/ atau rencana pengusahaan.
Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan yang dapat
mengakibatkan perubahan fungsi taman nasional, apabila melakukan
perbuatan tanpa izin berupa : memotong, memindahkan, merusak atau
menghilangkan tanda batas kawasan; membawa alat yang lazim
dipergunakan untuk mengambil, menangkap, menebang, merusak, berburu,
memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam
kawasan; melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam
kawasan; memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam
kawasan; memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan
tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan; menggali atau membuat lubang
pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam
kawasan; serta mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau
mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Kegiatan dalam rangka
pembinaan habitat dan populasi satwa, pembinaan dan pengkayaan
tumbuhan atau satwa tidak termasuk kegiatan seperti tersebut.

i. Restorasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem


Merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan
tumbuhan, satwa atau ekosistem, agar tetap berada pada keadaan
seimbang dan dinamis secara alami pada kawasan taman nasional. Kegiatan
pembinaan, restorasi dan rehabilitasi tersebut umumnya dilaksanakan
dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi, aspek teknis dan
ilmiah konservasi, serta dilakukan atas dasar adanya kebutuhan untuk
memperbaiki kondisi kawasan yang rusak atau menurun potensinya.
Penggunaan jenis asli merupakan syarat utama penyelenggaraan kegiatan
tersebut di kawasan taman nasional dan diarahkan pada kegiatan
pembinaan habitat dan populasi satwa liar. Upaya tersebut merupakan
proses untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman dan
dinamika ekosistem guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan taman
nasional yang dilindungi.
Terdapat empat tipe tindakan untuk mengembalikan komunitas hayati
dan ekosistem ke fungsi semula di dalam kawasan taman nasional, yaitu :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 76


Rencana Pengelolaan

(1) Tanpa tindakan, karena upaya pemulihan terlalu mahal dan selalu gagal.
Pengalaman menunjukkan bahwa ekosistem alami akan dapat pulih
dengan sendirinya;
(2) Restorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara aktif
dengan species yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan
komposisi species seperti semula;
(3) Rehabilitasi, merupakan pemulihan dari sebagian fungsi-fungsi
ekosistem dan species asli, seperti memperbaiki hutan yang
terdegradasi melalui penanaman, sulaman, dan pengkayaan jenis ; serta
(4) Penggantian, merupakan upaya penggantian suatu ekosistem
terdegradasi dengan ekosistem lain yang lebih produktif, seperti
mengganti hutan yang terdegradasi dengan padang rumput, dimana
ekosistem tersebut telah ada sebelumnya.

j. Pengembangan Sarana dan Prasarana


Merupakan kegiatan melengkapi sarana dan prasarana untuk
kepentingan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengusahaan di kawasan
taman nasional. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan taman
nasional, harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat serta memperhatikan ketentuan peraturan
yang berlaku, keberadaannya diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan
pengelolaan, pelayanan pengunjung dan pengusahaan, serta kemudahan
pengunjung mencapai lokasi-lokasi yang menarik atau menjadi obyek
kunjungan.
Sarana dan prasarana tersebut umumnya dibangun di zona
pemanfaatan taman nasional dan secara terbatas di zona rimba taman
nasional, dengan tata letak didasarkan pada rencana tapak, atau sesuai tata
letak sarana dan parasarana pada rencana karya pengusahaan pariwisata
alam (RKPPA) yang telah disahkan. Pembangunan sarana dan prasarana
tersebut diutamakan dapat menggunakan bahan-bahan dari daerah
setempat yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi lingkungan. Apabila
tidak memungkinkan maka dipergunakan bahan bangunan dari luar yang
tidak merusak kelestarian lingkungan alam.
Bentuk sarana dan prasarana yang dibangun agar bergaya arsitektur
budaya setempat dan harmonis dengan lingkungan alam, dengan
ketentuan :
(1) Ukuran panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana prasarana
disesuaikan dengan perbandingan/ proporsi untuk setiap bentuk

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 77


Rencana Pengelolaan

arsitektur daerah/ lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan


tersebut.
(2) Pembangunan sarana yang diperkenankan maximum 2 (dua) lantai.
(3) Tidak merubah karakteristik bentang alam yang ada.
(4) Jenis-jenis sarana dan prasarana yang boleh dibangun di kawasan
taman nasional, khususnya di zona pemanfaatan dan secara terbatas di
zona rimba/bahari adalah berupa :
ƒ Sarana dan prasarana pokok pengelolaan :
9 Kantor pengelola
9 Pondok kerja/jaga/penelitian
9 Jalan patroli
9 Pusat informasi
9 Wisma cinta alam
9 Menara pengawas kebakaran
9 Menara pengintaian satwa
9 Stasiun rehabilitasi satwa
9 Kandang transit satwa
9 Peralatan navigasi
9 Peralatan komunikasi
9 Peta dasar dan peta kerja
9 Peralatan transportasi
9 Perlengkapan kerja
9 Laboratorium penelitian

ƒ Sarana dan prasarana penunjang pengelolaan :


9 Akomodasi
9 Transportasi
9 Pertunjukan kebudayaan
9 Sistem sanitasi
9 Fasilitas rekreasi alam

ƒ Jenis sarana dan prasarana pemanfaatan dan pariwisata alam :


9 Sarana pariwisata alam :
- Pondok wisata alam
- Bumi perkemahan
- Karavan
- Fasilitas akomodasi, terdiri dari :
o Ruang pertemuan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 78


Rencana Pengelolaan

o Ruang makan dan minum


o Fasilitas untuk bermain anak
o Gudang
- Fasilitas pelayanan umum dan kantor, terdiri dari :
o Fasilitas pelayanan informasi
o Fasilitas pelayanan telekomunikasi
o Fasilitas pelayanan administrasi
o Fasilitas pelayanan angkutan
o Fasilitas pelayanan penukaran uang
o Fasilitas pelayanan jasa pencucian
o Fasilitas peribadatan
o Pos PPPK/Poliklinik
o Menara untuk pengintai dan pemandangan
o Tempat sampah
o Kantor
o Mess karyawan
o Pemadam kebakaran
- Rumah makan dan minum, meliputi :
o Restoran.
o Kedai.
o Kios-kios.
- Sarana wisata tirta, meliputi semua fasilitas kegiatan wisata
tirta
- Sarana wisata budaya, meliputi panggung pertunjukan seni
budaya tradisional setempat
- Kios cenderamata, berupa bangunan-bangunan yang
dipergunakan untuk mamajang dan menjual cinderamata
- Sarana angkutan umum/transportasi
9 Sarana prasarana pengusahaan pariwisata alam :
- Jalan :
o Jalan utama, dengan ukuran maksimum lebar badan
jalan 5 meter ditambah bahu jalan 1 meter kiri kanan,
dengan sistim pengerasan menggunakan batu dan
lapisan permukaan aspal.
o Jalan cabang, dengan ukuran maksimum lebar jalan 3
meter, dengan sistim pengerasan batu dan lapisan
permukaan aspal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 79


Rencana Pengelolaan

o Jalan setapak, dengan ukuran maksimum lebar jalan 2


meter, dengan menggunakan bahan yang disesuaikan
dengan kondisi setempat.
o Jalan patroli, dengan ukuran maksimum lebar jalan 0,6
meter yang dibuat tanpa pengerasan.
o Jalan pengaman, dibuat sebagai jalan alternatif untuk
kondisi darurat yang pembangunannya dengan
menggunakan bahan yang disesuaikan dengan kondisi
setempat.
- Jembatan, dilaksanakan dengan ketentuan bahwa bentang
jembatan disesuaikan dengan lebar sungai atau lebar
halangan.
- Areal parkir, dibangun dengan ketentuan :
o Sejauh mungkin tidak menebang/merusak pohon.
o Pengerasan areal harus dilakukan dengan konstruksi
yang tidak mengganggu penyerapan air ke dalam tanah.
- Jaringan listrik, diupayakan dibangun di dalam tanah dengan
berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang
berwenang.
- Jaringan air minum, diupayakan dibangun di dalam tanah
dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi
yang berwenang.
- Jaringan telepon, diupayakan dibangun di dalam tanah
dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi
yang berwenang.
- Jaringan drainase/saluran, dibangun dengan cara terbuka
dan menggunakan pengerasan. Jika tidak memungkinkan
maka dapat :
o Dilakukan dengan sistem tertutup dalam hal
drainase/saluran air yang melewati bangunan atau untuk
penggunaan lain.
o Dilakukan pengerasan apabila kondisi tanah mudah
terjadi erosi atau longsor.
o Dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.
- Sistim pembuangan dan pengolahan limbah, dibangun
dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sistim ini terdiri dari :
o Sistim pembuangan dan pengolahan limbah padat.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 80


Rencana Pengelolaan

o Sistim pembuangan dan pengolahan limbah cair.


- Helipad, dapat dibangun dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan teknis dari instansi yang berwenang
dan lokasinya berdasarkan rencana pengelolaan.
9 Fasilitas pelengkap sarana dan prasarana pengusahaan
pariwisata alam :
- Penataan tanaman yang dibangun pada bagian-bagian
tertentu dengan ketentuan hanya mempergunakan tanaman
species asli yang ada pada kawasan tersebut.
- Papan-papan petunjuk, berupa :
o Papan nama
o Papan informasi
o Papan petunjuk arah
o Papan larangan/peringatan
o Papan bina cinta alam
o Papan rambu lalu-lintas
- Ornamen-ornamen, monumen, bangku dan meja piknik,
dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
budaya setempat.
- Fasilitas umum :
o Toilet
o Hidran air minum

k. Pengelolaan Pemanfaatan Untuk Penelitian dan Ilmu Pengetahuan


Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan upaya untuk
mengakomodir kepentingan fungsi kawasan taman nasional untuk kegiatan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil kegiatan penelitian
perlu diarahkan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan berkembang.
Kegiatan penelitian terapan umumnya diarahkan untuk memberikan
dukungan bagi upaya membantu penyelesaian masalah pengelolaan
kawasan taman nasional, dan penelitian murni umumnya dilakukan dan
diarahkan kepada upaya untuk pengembangan lebih lanjut dari ilmu
pengetahuan, yang dapat dilangsungkan dalam kawasan taman nasional.
Penelitian untuk menunjang pemanfaatan, meliputi :
(1) Penelitian yang hasilnya untuk mendukung dan diperlukan untuk
menunjang pemanfaatan jenis dan satwa serta budidaya di luar

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 81


Rencana Pengelolaan

kawasan, seperti penelitian dalam menunjang pengawetan dan


penangkaran jenis.
(2) Penelitian yang hasilnya untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya,
ditujukan terhadap seleksi jenis tumbuhan dan satwa yang karena
kandungan unsur kimia maupun sifat genetiknya dapat dimanfaatkan,
misalnya untuk :
ƒ Industri obat-obatan, zat pewarna, dan lain-lain.
ƒ Benih atau bibit unggul dalam menunjang peningkatan produksi
pangan, sandang dan papan.
ƒ Perbanyakan dan peningkatan kualitas jenis melalui rekayasa
genetik.

Ketentuan tentang kegiatan penelitian di kawasan taman nasional


diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri dan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu ketentuan yang
mengatur tentang tata cara dan instansi yang berwenang memberi
rekomendasi dan/ atau izin untuk melaksanakan penelitian. Kewenangan
yang terkait dengan penelitian pada saat ini dikoordinasikan oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tidak mengurangi kewenangan Menteri
Kehutanan yang bertanggung jawab untuk mengatur tata cara pelaksanaan
penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi di kawasan taman nasional.
Untuk mendukung pelayanan kegiatan penelitian, pengelola taman
nasional antara lain melaksanakan :
(1) Identifikasi obyek penelitian mengenai tumbuhan, satwa, ekosistem,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
(2) Penyiapan sistem pelayanan dan materi kegiatan penelitian.
(3) Ketersediaan dan dukungan berupa penyediaan stasiun penelitian.
(4) Penyiapan sistem data dasar informasi kegiatan penelitian.
(5) Penyusunan rencana dan skala prioritas program penelitian.
(6) Pengembangan bentuk kerjasama dalam penelitian.
(7) Pengembangan sistem dokumentasi, publikasi dan promosi hasil-hasil
kegiatan penelitian maupun referensi yang terkait.

l. Pengelolaan pemanfaatan untuk pendidikan dan kesadaran konservasi


Merupakan upaya pendayagunaan potensi kawasan taman nasional
untuk kepentingan pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi atau
dikenal sebagai bina cinta alam kepada penduduk dan pengunjung taman
nasional. Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 82


Rencana Pengelolaan

(1) Pengenalan melalui program pemanduan dan interpretasi ekosistem


taman nasional, berupa pengenalan secara langsung di lapangan
mengenai tipe-tipe ekosistem maupun pengenalan jenis tumbuhan
dan/atau satwa liar, atau komponen-komponen penyusun ekosistem
alam;
(2) Peragaan ekosistem taman nasional, melalui wujud fisik dan fungsinya
yang dapat dilihat secara visual baik melalui material asli seperti
spesimen herbarium dan satwa, maupun audiovisual, multimedia, slide,
booklet, leaflet, dan poster;
(3) Pendidikan yang dilakukan dalam bentuk karya wisata, widya wisata dan
pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang
potensi taman nasional;
(4) Kunjungan untuk memberikan pendidikan ke sekolah-sekolah dan forum
pertemuan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional, mengenai
kepentingan, tujuan dan sasaran pengelolaan taman nasional dan
potensi sumber daya alamnya.

m. Pengelolaan Pemanfaatan Pariwisata dan Rekreasi Alam


Merupakan upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan
tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan
pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di
dalam kawasan taman nasional diarahkan pada beberapa kegiatan berikut :
(1) Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata alam dalam
kawasan taman nasional;
(2) Inventarisasi, identifikasi dan analisis sosial ekonomi dan budaya
masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan
daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang berada
di sekitar kawasan;
(3) Pengembangan obyek wisata alam tetap memperhatikan aspek sosial
ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan
sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung di sekitar kawasan;
(4) Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya
pemanfaatan potensi obyek wisata alam kawasan taman nasional, dan
diarahkan pada upaya peningkatan penyediaan lapangan kerja dan
peluang berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan dan pihak investor.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 83


Rencana Pengelolaan

Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan dalam rangka


mempertahankan dan/atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, pengelola taman nasional dapat menghentikan kegiatan
tertentu dan/atau menutup kawasan taman nasional sebagian atau
seluruhnya untuk jangka waktu tertentu bagi pengunjung taman nasional.
Penghentian kegiatan dimaksud antara lain :
(1) Keadaan dan situasi yang terjadi di kawasan taman nasional, karena
bencana alam (antara lain gunung meletus, gas beracun, bahaya
kebakaran) serta kerusakan akibat pemanfaatan terus-menerus yang
dapat membahayakan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa.
(2) Dalam hal pengaturan jumlah pengunjung, dimana jumlah pengunjung
yang masuk ke dalam kawasan harus disesuaikan dengan daya dukung
kawasan yang bersangkutan. Untuk itu dalam rangka pengendalian
pengunjung yang masuk ke dalam kawasan, pemerintah menetapkan
syarat dan tata cara memasuki kawasan.

n. Pengelolaan Pemanfaatan Jasa Lingkungan


Merupakan upaya pemanfaaatan dan pendayagunaan potensi jasa
lingkungan (sumber daya air, udara, oksigen, carbon, keindahan,
kenyamanan dan spiritual) dengan tetap memperhatikan prinsip
keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam.
Kegiatan tersebut di dalam kawasan taman nasional diarahkan pada :
(1) Inventarisasi dan identifikasi lokasi potensi jasa lingkungan seperti
sumber daya air, udara, oksigen, carbon, keindahan, kenyamanan dan
spiritual di dalam kawasan taman nasional;
(2) Inventarisasi, identifikasi dan analisis sosial ekonomi dan budaya
masyarakat, kecenderungan pasar, dan ketersediaan sarana dan
prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan untuk
pendayagunaan jasa lingkungan;
(3) Pengembangan potensi jasa lingkungan, seperti sumber daya air, udara,
keindahan, kenyamanan dan spiritual dengan tetap memperhatikan
aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar,
kebijakan sektor di daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung yang berada di sekitar kawasan;
(4) Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya
pemanfaatan potensi jasa lingkungan, yang diarahkan pada upaya
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi
masyarakat sekitar kawasan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 84


Rencana Pengelolaan

o. Pengelolaan Pemanfaatan untuk Menunjang Kepentingan Budidaya


Merupakan upaya pemanfaatan dan pendayagunaan potensi flora dan
fauna di kawasan taman nasional yang telah digunakan masyarakat
setempat dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara
kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan tersebut umumnya
dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan dan atau penggunaan
plasma nutfah (unsur-unsur genetik yang menentukan sifat kebakaan suatu
jenis) tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan taman nasional.
Dalam pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan
plasma nutfah terikat pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan tentang
pembenihan tanaman. Kegiatan tersebut di dalam kawasan taman nasional
diarahkan pada :
(1) Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa
agar tetap berada pada keadaan seimbang yang dinamis serta dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari dengan tetap
memperhatikan prinsip konservasi;
(2) Plasma nutfah, baik tumbuhan maupun satwa yang ada untuk dapat
digunakan sebagai sumber bibit dan genetik untuk kegiatan pemuliaan,
penangkaran dan budidaya di luar kawasan taman nasional;
(3) Kegiatan penangkaran dan pembinaan jenis di dalam kawasan taman
nasional sepanjang menggunakan jenis asli dari kawasan yang
bersangkutan, tidak mengurangi dan merusak ekosistem kawasan, dan
untuk tujuan penelitian dan pengembangan budidaya;
(4) Pemanfaatan hasil hutan ikutan dan non-kayu di dalam kawasan taman
nasional oleh masyarakat sekitarnya dengan pengaturan tertentu yang
disepakati masyarakat dan pengelola taman nasional.

p. Pengembangan Integrasi, Koordinasi dan Kemitraan


Integrasi dan koordinasi memegang peranan penting dalam upaya
memperkenalkan berbagai bentuk pembangunan kawasan taman nasional
kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, integrasi dan koordinasi lintas
sektoral perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :
(1) Integrasi dan koordinasi lintas sektor harus dimulai sejak penyusunan
rencana pengelolaan taman nasional sampai pada tahap
pengembangannya;
(2) Identifikasi dan pemetaan permasalahan sosial, ekonomi, budaya, politik,
serta interaksi masyarakat dengan akses pemanfaatan sumber daya

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 85


Rencana Pengelolaan

alam taman nasional yang mempengaruhi keutuhan dan eksistensi


taman nasional;
(3) Pengembangan sistem promosi tepat guna, baik melalui jalur resmi,
misalnya pendidikan maupun jalur informal misalnya melalui brosur,
leaflet dan fasilitas elektronik, dilakukan bersama-sama organisasi
pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam maupun luar negeri dan
masyarakat;
(4) Pembinaan daerah penyangga dititikberatkan pada upaya peningkatan
hubungan yang harmonis antara masyarakat dan kawasan taman
nasional sedemikian rupa sehingga kehadiran kawasan taman nasional
dapat dirasakan manfaat dan kepentingannya oleh masyarakat dan
pemerintah daerah;
(5) Upaya menjalin kerjasama (collaborative management) dengan berbagai
pihak di dalam upaya memperkuat kelembagaan pengelolaan taman
nasional.

q. Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan


Pemantauan, evaluasi dan pelaporan merupakan upaya yang
dilakukan oleh pengelola taman nasional untuk mengamati, mencermati,
menelusuri dan menilai pelaksanaan pengelolaan taman nasional, sehingga
tujuan pengelolaan dapat tercapai secara optimal dan sekaligus merupakan
umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengelolaan taman
nasional di masa mendatang.

B. Kebijakan Pembangunan Daerah


Pengembangan wilayah adalah suatu proses, bagaimana status ekonomi dan
sosial budaya dari suatu wilayah dapat dibangun melalui inisiatif pemerintah maupun
swasta. Untuk wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia, khususnya di luar Jawa,
aktivitas pengembangan wilayahnya dilaksanakan oleh pemerintah karena umumnya
sektor swasta belum berkembang dengan baik. Pemerintah mencanangkan
pembangunan ekonomi yang merupakan suatu kebijakan terpenting untuk mencapai
tujuan dimaksud. Anggaran yang disiapkan untuk pengembangan wilayah di
Indonesia mencakup program-program pembangunan yang sangat luas seperti
infrastruktur, proyek-proyek sektoral, dan lain sebagainya.
Pengembangan wilayah dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, tergantung
pada ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, kebijakan
pemerintah, serta berbagai kombinasi dari aktivitas pembangunan yang ditargetkan.
Perencanaan dan pengembangan wilayah merupakan dua dari banyak faktor yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 86


Rencana Pengelolaan

menciptakan lingkungan dimana taman nasional dikelola, serta membuat tugas dari
pengelola taman nasional menjadi mudah atau bahkan lebih sulit untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan pembangunan dapat saja disesuaikan dengan pola pengelolaan taman
nasional akan tetapi harus disadari bahwa pemerintah pada dasarnya lebih
memprioritaskan program pembangunan ekonomi secara umum.
Secara umum kebijakan pengelolaan kawasan karst tidak terlepas dari
kebijakan pengelolaan lingkungan. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan bahwa tujuan pengelolaan
lingkungan hidup adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan dengan sasaran antara lain adalah tercapainya keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; tercapainya
kelesetarian fungsi lingkungan hidup; dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya
secara bijaksana.
Perspektif Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan adalah bahwa pengelolaan
kawasan Karst Maros – Pangkep harus dilakukan secara terpadu oleh setiap pelaku
pembangunan yaitu instansi pemerintah (propinsi dan kabupaten), lembaga
penelitian termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat
dan masyarakat luas. Selain itu juga harus terpadu dengan penataan ruang,
perlindungan sumber daya non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya dan keanekaragaman
hayati. Sehubungan dengan hal tersebut maka Kawasan Karst Maros – Pangkep
hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem yang mempunyai kaitan
erat dengan kawasan yang lain maupun dengan komponen-komponen lingkungan
seperti : siklus hidrologi dan iklim (komponen fisik/kimia), flora dan fauna (komponen
hayati), serta pengaruhnya terhadap sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
setempat (komponen sosekbud). Dengan demikian pengelolaan Kawasan Karst
Maros-Pangkep harus diarahkan pada sasaran tercapainya keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan antara manusia dengan kawasan tersebut; tercapainya
kelestarian fungsi kawasan karst; dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya
kawasan karst secara bijaksana. Dalam hal ini perlu adanya keterpaduan di dalam
pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep dengan mempertimbangkan kebijakan-
kebijakan di sektor lain, agar dampak lingkungan yang terjadi dari kegiatan-kegiatan
di sektor lain dapat memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
Sejalan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, maka kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam nasional, termasuk sumberdaya karst, yang berada di
wilayahnya menjadi kewenangan daerah dan daerah bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 87


Rencana Pengelolaan

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka bidang lingkungan hidup merupakan
salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah.
Kajian terhadap kebijakan dan peraturan perudangan-perundangan yang ada
menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa kawasan karst sebagai sumber daya alam,
baik sumber daya alam hayati maupun non hayati, dapat dipandang dari berbagai
sudut, yaitu (Nurlini et. al, 1999 dalam Palaguna dan Rahman, 2001) : (1) sebagai
suatu ruang, dengan batasan ruang seperti yang ditegaskan pada pasal 1 ayat (5)
Undang-undang Penataan Ruang, yaitu “Wilayah adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional”,
sedangkan ayat (7) menguraikan bahwa “Kawasan lindung adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan”; (2) ekosistem sumber daya
alam hayati dan batasannya sebagaimana pada Pasal 1 ayat (1) dan (3) Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990, yaitu : (a) Sumber daya alam hayati adalah unsur-
unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati dan sumber daya
alam hewani yang bersama ekosistem, dan (b) Ekosistem sumber daya alam hayati
adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun
non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi; (3) Dari sudut
pandang ruang, kawasan karst dapat berfungsi sebagai kawasan lindung maupun
kawasan budidaya. Sedangkan dari segi ekosistem sumberdaya alam hayati,
kawasan karst dapat berfungsi sebagai hutan konservasi maupun hutan produksi,
dimana keadaannya sangat dinamis.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa komitmen Pemerintah Propinsi
Sulawesi Selatan terhadap pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep sangat jelas
dan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, fungsi dan potensi
ekosistem karst, serta pemanfaatan dan perlindungan yang berkelanjutan.
Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan suatu ekosistem yang wilayahnya
mencakup Kabupaten Maros dan Pangkep. Berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai
daerah otonom, maka Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai
kewenangan terhadap pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep, setidaknya
dalam perannya sebagai koordinator dalam perencanaan kebijakan pengelolaan dan
pengawasan. Berbagai peran koordinasi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan antara lain dalam bidang-bidang koordinasi data dan
informasi, kepastian hukum peruntukan kawasan karst, serta peningkatan peran
serta masyarakat.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 88


Rencana Pengelolaan

Data dan informasi merupakan masalah paling mendasar dalam pengelolaan


kawasan karst yang berwawasan lingkungan. Data dan informasi mengenai semua
potensi yang ada di kawasan karst masih sangat jarang atau bahkan sulit sekali
diperoleh. Data dan informasi yang ada sifatnya belum utuh, tapi tergantung dari
sumber data dan kepentingan yang sifatnya sektoral. Sebagai contoh data dan
informasi kawasan karst yang bersumber dari Dinas Pertambangan, yang muncul
adalah data dan informasi kawasan karst sebagai bahan galian/tambang bahan baku
semen, marmer, atau batu kapur. Informasi mengenai potensi sumberdaya air,
kekayaan keanekaragaman hayati, sarang burung walet, potensi wisata alam, dan
lain sebagainya sulit didapatkan. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh perguruan
tinggi sifatnya juga masih parsial, belum komprehensif, mengingat keterbatasan dana
penelitian dan tujuan penelitian itu sendiri. Untuk kepentingan koordinasi data dan
informasi ini, Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan menugaskan kepada Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) guna melaksanakan koordinasi dengan
pihak-pihak yang terkait.
Permasalahan pengelolaan karst yang juga penting untuk segera diselesaikan
adalah ketidakjelasan peruntukan kawasan karst. Sejauh ini belum cukup tersedia
kebijakan yang jelas tentang peruntukan suatu kawasan karst baik di tingkat
nasional, apalagi di tingkat daerah. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan dapat
berperan dalam memberi kepastian peruntukan di dalam kawasan Karst Maros-
Pangkep sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Secara teknis
masalah ini akan bisa diatasi bila masalah ketidaklengkapan data dan informasi bisa
diselesaikan. Penyusunan penatagunaan Kawasan Karst Maros – Pangkep perlu
dilakukan dengan koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang berperan.
Beberapa waktu yang lalu, paradigma pembangunan yang ada lebih bersifat
top-down dan sentralistik. Akibatnya peran masyarakat dan pemerintah daerah di
tingkat lokal sangat lemah dalam menentukan kebijakan pembangunan, termasuk
dalam menentukan peruntukan/ pendayagunaan suatu kawasan karst. Penyertaan
masyarakat yang diwakili oleh LSM atau pakar dalam pembahasan AMDAL untuk
pemanfaatan/eksploitasi suatu kawasan karst sering kurang bisa mewakili aspirasi
masyarakat lokal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 89


Rencana Pengelolaan

Peran sumber daya manusia dalam pengelolaan kawasan karst tidak saja
meliputi satu macam aspek yang terdapat dalam pengelolaan itu sendiri, melainkan
meliputi berbagai macam aspek seperti
halnya kebijakan yang berlaku pada
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, bahwa pengelolaan kawasan karst
tidak terlepas dari proses perencanaan
yang perlu mempertimbangkan peran
sumber daya manusia secara bottom-up
planning. Oleh karena itu perlu adanya
Foto : HIMAKOVA-IPB
pengembangan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia dalam pengelolaan
lingkungan kawasan karst secara terpadu
dan berkelanjutan.
Menyikapi kebutuhan peningkatan
peran serta masyarakat dan sumber daya
manusia di bidang pengelolaan kawasan
karst, Pemerintah Propinsi Sulawesi
Foto : HIMAKOVA-IPB
Selatan akan melakukan koordinasi
dengan instansi terkait dan perguruan
tinggi, guna melakukan berbagai
sosialisasi dan pelatihan, baik untuk
aparat pemerintah kabupaten maupun
masyarakat luas.
Untuk melaksanakan pengelolaan
kawasan Karst Maros-Pangkep, konsep
Foto : HIMAKOVA-IPB
kebijakan pengelolaan kawasan karst
bagi Pemerintah Propinsi Sulawesi
Selatan pada dasarnya adalah sama
dengan pengelolaan sumber daya alam
secara umum yaitu : (a) Pengelolaan
sumberdaya alam yang terbarukan di
kawasan Karst Maros-Pangkep, yang
meliputi flora, fauna, lahan, air dan udara
Foto : HIMAKOVA-IPB
dilakukan secara bijaksana sehingga
daya dukung dan kemampuannya berproduksi dapat dipelihara sepanjang waktu.
Asasnya adalah bahwa dalam perspektif tatanan lingkungan hidup yang serasi,
pelestarian dan konservasi harus setara dengan pemanfaatannya; (b) Pengelolaan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 90


Rencana Pengelolaan

sumberdaya alam yang tak terbarukan di wilayah Karst Maros-Pangkep yaitu


kegiatan penambangan harus dilakukan secara hemat dan dengan menggunakan
teknologi yang aman dan tidak merusak lingkungan. Kegiatan ini hendaknya diikuti
dengan upaya pemulihan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan
penambangan.
Strategi pengelolaan kawasan karst pada dasarnya harus memperhatikan jenis
dan kawasan karst itu sendiri. Masing-masing tipe kawasan akan mempunyai cara
pengelolaan yang berbeda. Secara umum pengelolaan kawasan karst dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) kawasan karst sebagai kawasan lindung, dan
(2) kawasan karst sebagai kawasan budidaya dan eksploitasi (pertambangan).
Penetapan kawasan karst sebagai kawasan lindung didasarkan pada bentang
alam dan luasannya, kondisi biogeografi, dan fungsinya dalam ekosistem kawasan.
Dengan mengacu pada peraturan perudangan yang ada, bentuk kawasan lindung
yang dapat diterapkan untuk kawasan karst adalah : taman nasional, cagar alam,
taman wisata alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan situs warisan dunia
(world heritage). Selain itu, dalam rangka perlindungan kawasan lain atau
perlindungan setempat, kawasan karst juga dapat ditetapkan sebagai kawasan hutan
lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai, kawasan perlindungan danau/
waduk dan mata air.
Mengingat kawasan karst merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap
gangguan lingkungan, budidaya yang mungkin dapat dilakukan adalah budidaya
tanaman kehutanan dan perkebunan. Sedangkan untuk kawasan karst yang tidak
mengalami perkembangan karstifikasi, bentang alam umum dan banyak dijumpai
ditempat lain, kondisi air bawah tanah tidak berkembang, tidak mempunyai
ekosistem/ biota yang khas, bukan daerah perlindungan kawasan yang lain, dan
bukan daerah untuk pengawetan keanekaragaman hayati dapat dilakukan
penambangan secara terkendali dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan
terutama pada pasca penambangan.
Perencanaan Penataan ruang kawasan karst Kabupaten Maros dan Pangkep
belum dibuat secara khusus, dan sementara ini masih mengacu kepada arahan-
arahan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten (RUTRK), meskipun demikian
pemerintah kedua kabupaten telah menyusun beberapa pokok pikiran mengenai
arahan peruntukan dan pemanfaatan ruang di kawasan karst, sebagai berikut :

1. Penentuan Kawasan Lindung


a. Kawasan perlindungan setempat ; penekanannya pada daerah sekitar mata
air, sungai, bendungan, waduk buatan, dan sungai bawah tanah.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 91


Rencana Pengelolaan

b. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan ; penekanannya pada daerah


yang memiliki situs prasejarah, dan situs geologi.
c. Kawasan rawan bencana alam ; penekanannya pada daerah yang rawan
tanah longsor dan rawan intrusi air laut.

2. Penentuan Kawasan Budidaya


a. Kawasan hutan dapat dikonversi ; penekanannya pada daerah-daerah
ketinggian dan atau lembah yang memiliki potensi kehutanan, dan secara
teknis dapat dikonversi menjadi hutan tanaman industri, perkebunan, serta
hutan produktif lainnya, sehingga secara langsung dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
b. Kawasan pertanian lahan basah ; penekanannya pada daerah-daerah
disekitar aliran sungai, sekitar mata air, sekitar waduk buatan, dan atau
dataran rendah yang secara teknis dapat dikembangkan sebagai lahan
pertanian.
c. Kawasan pertambangan ; penekanannya pada daerah-daerah yang memiliki
potensi bahan galian yang layak untuk dikembangkan, baik secara teknis,
ekonomis, dan ekologis.
d. Kawasan industri ; penekanannya pada daerah-daerah yang secara teknis
dapat dijadikan kawasan industri, dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, terutama kawasan permukiman.
e. Kawasan permukiman ; penekanannya pada daerah-daerah yang secara
teknis dapat dikembangkan menjadi kawasan permukiman, serta memiliki
tingkat aksesibilitas tinggi, dan ditunjang oleh sarana / prasarana lingkunga
yang memadai.
f. Kawasan pariwisata ; penekanannya pada daerah-daerah yang memiliki
potensi pariwisata ; baik wisata alam, maupun wisata budaya dan ilmu
pengetahuan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 92


IV
Visi dan Misi Pengelolaan

A. Visi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai unit pelaksana teknis
Departemen Kehutanan yang merupakan pengelola atau pemangku kawasan
konservasi taman nasional baru berdiri sejak Nopember 2006 dan secara efektif baru
mulai beroperasi pada bulan April 2007. Walau demikian, pada awal pelaksanaan
pengelolaan, setelah diserahterimakan dari Balai KSDA Sulawesi Selatan I, telah
dilakukan evaluasi efektifitas pengelolaan kawasan berdasarkan Kriteria dan
Indikator Pengelolaan Taman Nasional. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut,
diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan Taman Nasional Bantimurung belum
benar-benar efektif bahkan masih dalam tahap penyiapan prakondisi. Atas dasar
hasil evaluasi pengelolaan ini pula, maka Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung mulai merancang suatu rencana pengembangan pengelolaan yang
berisi langkah-langkah terukur untuk mencapai suatu visi jangka panjang.
Karena kondisi pengelolaan yang masih jauh dari mapan, maka visi
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk jangka panjang
adalah :

“Terwujudnya Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


yang Mantap, Serasi dan Seimbang
dengan Dukungan Kelembagaan yang Efektif”
Rencana Pengelolaan

Dalam visi tersebut terkandung tiga kunci pokok landasan pemikiran dalam upaya
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, yaitu :
1. Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang mantap.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang baru ditunjuk sebagai kawasan
konservasi pada tanggal 18 Oktober 2004, proses penyiapan prakondisi
pengelolaannya belum tercapai, terutama pengukuhan dan pemantapan status
hukum kawasan yang merupakan pondasi utama upaya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistem yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
sampai dengan tahun 2009, prakondisi pengelolaan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung harus dituntaskan hingga terselesaikannya
pengukuhan kawasan serta tersedianya rancangan zonasi pengelolaan
kawasan. Untuk tahap selanjutnya, pengelolaan akan diarahkan kepada
pengembangan dan pemantapan pengelolaan sesuai dengan pemintakatan
yang telah disusun, terutama pengembangan sarana dan prasarana
pengelolaan, pengembangan pengelolaan ekosistem dan keanekaragaman
hayati, serta pengembangan pemanfaatan dan perlindungan kawasan;
2. Keseimbangan dan keserasian. Pengelolaan sumber daya alam hayati dan
ekosistem yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditujukan untuk menciptakan keseimbangan dan keserasian antar
berbagai fungsi dan nilai kawasan. Keseimbangan dan keserasian nilai dan
fungsi dimaksud diukur dari sisi ekologi, hidrologi, estetika, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat.
3. Kelembagaan yang efektif. Kesiapan internal pengelola Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sangat bergantung pada ketersediaan SDM yang
proporsional (kualitas dan kuantitas), ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, struktur organisasi dan prosedur kerja yang mantap, serta pendukung
lainnya. Selain kesiapan internal lembaga pengelola, sinergitas dengan lembaga
masyarakat serta stakeholder lain juga diperlukan guna mendukung pencapaian
fungsi dan peran kawasan. Dengan kesiapan kelembagaan yang mantap maka
upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem pada Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilakukan secara efektif.

B. Misi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


Dalam langkahnya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, diperlukan
bentuk nyata implementasinya sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan.
Dengan demikian, ditetapkan misi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sebagai berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 94


Rencana Pengelolaan

1. Memantapkan status kawasan dan pengelolaan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
2. Mengoptimalkan perlindungan hutan dan penegakan hukum;
3. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berdasarkan prinsip kelestarian;
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Status legal formal dan batas kawasan yang jelas merupakan prasyarat utama
untuk mengimplementasikan upaya pengelolaan kawasan. Hal ini ditujukan untuk
mengatasi adanya konflik terkait dengan penggunaan, kepemilikan dan status hukum
kawasan. Seiring dengan pemenuhan prasyarat tersebut, upaya konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya juga dapat diimplementasikan. Pada
tahap awal ini, upaya konservasi jenis dan ekosistemnya dititikberatkan pada
pemenuhan data dan informasi keanekaragaman hayati dan ekosistem pada Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Zonasi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga
merupakan suatu bagian yang penting untuk mulai dipersiapkan karena taman
nasional dikelola dengan sistem zonasi. Dengan tidak adanya rambu-rambu
pengelolaan secara keruangan tersebut, sulit untuk mengefektifkan pelaksanaan
pengelolaan. Dikhawatirkan, pelaksanaan pengelolaan tidak dapat mencapai
keseimbangan apabila batas-batas pelaksanaan kegiatan dan pemanfaatan ruang di
dalam kawasan tidak segera disediakan.
Konflik penggunaan dan kepemilikan lahan di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih sangat tinggi. Karenanya, kawasan
ini rentan terhadap gangguan keamanan, terutama kasus perambahan kawasan.
Kejadian-kejadian gangguan keamanan cukup menyita banyak waktu dan tenaga
untuk penyelesaiannya. Gangguan tersebut juga menjadi faktor penghambat
pemantapan pengelolaan kawasan menuju pencapaian fungsi secara optimal.
Dengan demikian, maka gangguan terhadap kawasan dan sumber daya alam hayati
yang terkandung di dalamnya harus diupayakan sedemikian rupa untuk dieliminir.
Upaya konservasi tidak terlepas dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam,
namun agar tercapai keadilan dan kelestarian dalam pemanfaatannya, maka perlu
dikelola dengan bijaksana dan dikembangkan secara optimal. Sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya adalah kekayaan alam yang harus dikelola oleh negara
demi kepentingan seluruh rakyat, dan karenanya untuk mendistribusikan hasil dan
nilainya secara adil, maka diterapkan sistem provisi atas sumber daya alam yang
dimanfaatkan. Di dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, provisi dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 95


Rencana Pengelolaan

bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diterapkan untuk berbagai kegiatan
pemanfaatan kawasan.
Sebagai organisasi yang baru terbentuk, aspek kelembagaan merupakan
bagian penting yang harus ditata dengan baik. Dukungan peraturan perundang-
undangan, pedoman dan arahan pengelolaan perlu diterapkan dengan baik agar
pengelolaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Karena pengelolaan kawasan
yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pengelola/pemangku kawasan serta dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, maka penggalangan
kemitraan dan kolaborasi harus senantiasa menjadi perhatian. Kondisi sumber daya
manusia yang ada juga perlu terus dikembangkan kapasitas serta kuantitasnya.
Dalam rangka mencapai sasaran pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, kebijakan pembangunannya mengacu pada Lima
Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Walaupun tidak secara keseluruhan,
namun sebagian besar kebijakan dimaksud terkait dengan pengelolaan taman
nasional, yaitu : (1) Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan
Perdagangan Kayu Ilegal; (2) Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan; (3)
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan; (4) Pemantapan
Kawasan Hutan.
Mengacu pada program nasional sebagaimana tertuang dalam RPJP
Kehutanan, RPJM serta program Departemen Kehutanan yang disarikan oleh
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, maka dalam
pencapaian Visi dan Misi Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditetapkan
beberapa program dan fokus kegiatan yang akan dilaksanakan. Program dan fokus
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :

1. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri


Program ini berisikan fokus kegiatan pengamanan hutan yang
dimaksudkan untuk melindungi kawasan dari berbagai tindakan illegal. Secara
umum, fokus kegiatan ini merupakan upaya pencegahan, penanganan dan
penyelesaian konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistem di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara
khusus, fokus kegiatan ini berisikan upaya-upaya perlindungan dan pengamanan
hutan secara preemtif, preventif, persuasif dan tindakan represif. Sebelum
terselesaikannya pengukuhan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, maka upaya-upaya perlindungan dan pengamanan kawasan lebih
dititikberatkan pada tindakan preemtif, preventif dan persuasif. Adapun tindakan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 96


Rencana Pengelolaan

represif hanya dilakukan pada pelanggaran yang secara nyata melanggar


peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam kawasan.

2. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam


Program perlindungan dan konservasi sumber daya alam terdiri dari empat
fokus kegiatan, yaitu pengendalian kebakaran hutan, pengelolaan kawasan
konservasi, pengelolaan keanekaragaman hayati dan TSL, serta pemanfaatan
jasa lingkungan dan wisata alam. Fokus kegiatan pengendalian kebakaran hutan
dimaksudkan untuk mencegah, memadamkan kebakaran hutan yang terjadi di
dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung serta melakukan
tindakan-tindakan penanganan pasca kebakaran hutan. Upaya ini dilaksanakan
baik secara internal maupun dengan melatih dan melibatkan masyarakat yang
ada di dalam dan sekitar kawasan taman nasional.
Pengelolaan kawasan konservasi dimaksudkan sebagai upaya untuk
mewujudkan pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
yang didasarkan pada status hukum yang kuat, pengelolaan data dan informasi
yang berbasiskan kawasan, mengembangkan pembinaan keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Pengelolaan keanekaragaman hayati dan produk-produk tumbuhan dan
satwa liar dimaksudkan untuk menjaga, mengawetkan dan mempercepat
pemulihan jenis dan populasi di dalam kawasan. Pemanfaatan jasa lingkungan
dan wisata alam ditujukan untuk mengembangkan pemanfaatan produk-produk
jasa lingkungan, memacu pengembangan pemanfaatan kawasan untuk tujuan
wisata dan lain sebagainya.

3. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan


Lingkungan Hidup
Program ini menampung kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pemantapan kelembagaan dan perangkat penunjang pengelolaan kawasan.

4. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan


Program ini menampung kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin untuk
menunjang pelaksanaan administrasi perkantoran.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 97


V
Analisa dan Proyeksi

A. Faktor Kekuatan, Kendala, Peluang dan Tantangan


Untuk keperluan penyusunan rencana pengelolaan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor kekuatan,
kendala, peluang dan tantangan. Hasil-hasil dari identifikasi kemudian digunakan
untuk menyusun rincian kegiatan berdasarkan analisa SWOT.
1. Kekuatan
a. Eksistensi Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA, Balai Taman
Nasional Bantimurung, serta perangkat yang ada di bawahnya.
b. Perangkat peraturan perundang-undangan serta kebijakan Pemerintah
Indonesia yang terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya serta lingkungan hidup.
c. Perangkat kebijakan internasional yang terkait dengan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya serta lingkungan hidup.
d. Potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
merupakan ekosistem unik serta keanekaragaman hayati yang ada di
dalamnya.
e. Ketersediaan sumber daya manusia.

2. Kendala
a. Belum terselesaikannya proses pengukuhan kawasan sehingga status
hukum kawasan belum bersifat final.
Rencana Pengelolaan

b. Lemahnya kelembagaan pengelola Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung dari segi kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana
serta prosedur kerja.
c. Birokrasi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi.
d. Lemahnya peran serta dan kelembagaan masyarakat.
e. Isu permasalahan dan konflik di dalam kawasan yang lebih menonjol
dibandingkan dengan potensi kawasan yang ada.
f. Masih lemahnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
g. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi yang lemah antar berbagai sektor.

3. Peluang
a. Komitmen para penentu kebijakan di tingkat nasional dan regional terhadap
pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
b. Komitmen dan dukungan masyarakat internasional terhadap pelestarian
sumber daya alam dan lingkungan.
c. Dukungan lembaga-lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal terhadap
pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
d. Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang unik, langka, dan
bernilai ekonomi tinggi serta tingginya minat masyarakat lokal dan manca
negara.
e. Peluang investasi ke kawasan konservasi dalam rangka pengembangan
wisata alam.

4. Tantangan
a. Masih tingginya tingkat kerawanan kawasan, baik dari aktifitas penebangan
liar dan perdagangan kayu illegal, perambahan kawasan, kebakaran hutan
dan kegiatan pertambangan tanpa izin.
b. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan.
c. Kondisi perekonomian masyarakat yang masih sangat bergantung kepada
ketersediaan sumber daya alam di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
d. Kebutuhan lahan yang sangat tinggi.
e. Kebijakan investasi di dalam kawasan konservasi yang tidak menarik bagi
para investor.

B. Analisa
Berdasarkan hasil identifikasi faktor kekuatan, kendala, peluang dan tantangan
serta dengan menggunakan analisa SWOT, diperoleh alternatif-alternatif strategi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 99


Rencana Pengelolaan

pengembangan melalui empat pengelompokan, yaitu : (1) strategi menggunakan


kekuatan untuk memanfaatkan peluang; (2) strategi menanggulangi kendala/
kelemahan dengan memanfaatkan peluang; (3) strategi menggunakan kekuatan
untuk menghadapi tantangan; serta (4) strategi memperkecil kelemahan/kendala dan
menghadapi tantangan. Alternatif strategi untuk pengembangan pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung secara lengkap diuraikan sebagai berikut :

1. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Memanfaatkan Peluang


a. Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait di pusat
dan daerah dalam pengembangan pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
b. Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional dan
lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal yang peduli terhadap pelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
c. Pemberian insentif dan peluang sebesar-besarnya untuk merangsang minat
investasi swasta pada pengembangan pengelolaan pariwisata alam di dalam
dan sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
d. Pengembangan pemanfaatan aneka fungsi kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
e. Percepatan pengembangan pengelolaan data dan informasi, serta promosi
pemanfaatan berbagai sumber daya di dalam kawasan secara bijaksana.

2. Strategi Menanggulangi Kendala/Kelemahan dengan Memanfaatkan Peluang


a. Percepatan proses pengukuhan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sampai dengan penetapan.
b. Penyusunan rancangan zonasi pengelolaan kawasan dan implementasinya
di lapangan.
c. Penyusunan rencana tapak pengembangan pengelolaan dan
implementasinya di lapangan.
d. Penguatan kelembagaan pengelola Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dibarengi
dengan peningkatan kuantitasnya, pengembangan sarana dan prasarana
pengelolaan, serta penyusunan prosedur kerja yang aplikatif, efektif dan
efisien.
e. Mempermudah birokrasi dalam pengelolaan melalui usulan desentralisasi
kewenangan perijinan dan pelayanan masyarakat kepada Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 100


Rencana Pengelolaan

f. Mendorong peningkatan peran serta masyarakat dengan dukungan


kelembagaan yang mantap.
g. Pengembangan model desa konservasi.
h. Percepatan penyelesaian permasalahan dan konflik yang terjadi di dalam
dan sekitar kawasan.
i. Merangsang pelaksanaan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
j. Peningkatan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pembangunan
antar berbagai sektor agar terjalin sinergisitas yang tinggi.

3. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Menghadapi Tantangan


a. Optimalisasi perlindungan dan pengamanan kawasan yang dibarengi dengan
pengembangan kualitas dan kuantitas Polisi Kehutanan, PPNS serta sarana
dan prasarana penunjang operasionalnya.
b. Optimalisasi penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran bidang
kehutanan dan lingkungan hidup di dalam dan sekitar kawasan.
c. Peningkatan pelaksanaan pendidikan konservasi bagi masyarakat di dalam
dan sekitar kawasan.
d. Koordinasi pengusulan pemberian insentif beasiswa bagi pelajar yang
potensial di dalam dan sekitar kawasan untuk mengikuti pendidikan yang
lebih tinggi.
e. Optimalisasi pemanfaatan potensi jasa lingkungan yang bernilai ekonomis
untuk mendukung peningkatan perekonomian masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan.
f. Penciptaan lapangan kerja baru melalui pengembangan pengelolaan
pariwisata alam.
g. Pemberian masukan bagi perumusan regulasi pengembangan investasi
swasta di dalam dan sekitar kawasan.
h. Percepatan penyiapan data, informasi dan hasil-hasil kajian sebagai bahan
penyusunan proposal pengajuan World Heritage Site pada kawasan Karst
Maros-Pangkep.

4. Strategi Memperkecil Kelemahan/Kendala dan Mengatasi Tantangan


a. Mendorong pengembangan usaha kecil dan koperasi masyarakat lokal untuk
dapat ikut berinvestasi di dalam kawasan.
b. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 101


VI
Rencana Kegiatan

A. Pemantapan Kawasan
Pemantapan kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
diharapkan dapat direalisasikan sedini mungkin sampai dengan penetapan kawasan
sebagai kawasan hutan konservasi tetap serta penetapan pembagian ruang
kelolanya. Pengukuhan kawasan sebagai salah satu bagian dari kegiatan
pemantapan kawasan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan taman nasional. Oleh karenanya, esensi dari kegiatan pengukuhan
kawasan menjadi sangat penting. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 merupakan perubahan dari
beberapa fungsi kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan tersebut, sebagian besar
telah dilaksanakan penataan batas luarnya antara tahun 1975 sampai dengan tahun
2001.
Sampai dengan penyusunan rencana pengelolaan ini, kemajuan pelaksanaan
penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah
mencapai 432,52 Km atau 90,44% dari total batas luar sepanjang 478,22 Km. Batas-
batas yang telah ditata tersebut, karena sebelumnya merupakan batas luar berbagai
fungsi kawasan hutan, juga telah dilakukan rekonstruksinya pada tahun 2006 dan
2007, sehingga secara de facto di lapangan telah berubah menjadi batas kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Sisa dari batas kawasan yang belum
dilaksanakan penataannya ditargetkan akan segera direalisasikan hingga temu
gelang pada tahun 2009.
Rencana Pengelolaan

Dengan target penyelesaian penataan batas Pal batas taman nasional


tersebut, kemudian direncanakan akan diupayakan
untuk segera dilakukan penetapan kawasan
sebagai kawasan hutan konservasi tetap.
Penetapan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung akan diupayakan untuk dapat
direalisasikan pada tahun 2010, dengan terlebih
dahulu dilakukan reposisi batas yang disesuaikan
dengan kondisinya secara nyata di lapangan.
Batas-batas kawasan di lapangan, karena
perannya yang begitu penting, perlu diupayakan
untuk terus berfungsi sebagaimana mestinya dan
dalam keadaan seperti sedia kala pada saat
pelaksanaan penataan batas. Untuk keperluan
tersebut, akan diupayakan untuk melakukan
pemeliharaan batas-batas kawasan di lapangan
Dusun Tallasa di dalam
serta rekonstruksi batas secara berkala. kawasan taman nasional

Pemeliharaan batas diupayakan untuk


Sekolah di Dusun Tallasa
dilaksanakan setiap tahun secara bergantian
dengan tetap memperhatikan prioritas lokasinya
berdasarkan kondisi kerawanan kawasan. Adapun
kegiatan rekonstruksi batas diupayakan untuk
dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung masih terdapat konflik
tumpang tindih kepemilikan lahan. Kawasan-
kawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya
menjadi Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung belum clear and clean, sehingga
dibutuhkan upaya pencarian solusi yang paling
Sekolah di Dusun Tallasa

tepat untuk penyelesaian permasalahan ini.


Peninjauan lokasi konflik
Beberapa alternatif solusi atas permasalahan ini
telah diupayakan untuk terus didiskusikan dengan
para pihak terkait, termasuk dengan masyarakat
yang menghuni kawasan hutan tersebut. Pada
tahun 2008 sampai dengan 2010, akan dilakukan
pengkajian yang difokuskan pada permasalahan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 103


Rencana Pengelolaan

ini, dan diharapkan dapat terselesaikan sampai dengan tercapainya kesepakatan


penyelesaian masalah.
Selain tata batas yang belum dirampungkan, penataan zonasi pengelolaan
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga belum dilaksanakan.
Pengelolaan taman nasional yang didasarkan pada sistem zonasi menjadikan
kegiatan ini penting untuk segera dilaksanakan pada tahap awal. Zonasi taman
nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-
zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data,
penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan
penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Taman nasional adalah kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem
zonasi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dengan demikian,
zonasi taman nasional merupakan suatu perangkat penting dalam upaya-upaya
pengelolaan. Dengan kata lain, zonasi taman nasional merupakan rule of the game
atau management order. Penataan zonasi pada kawasan taman nasional diperlukan
dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya secara efektif guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan
lestari. Penataan zonasi tersebut merupakan upaya penataan ruang untuk
optimalisasi fungsi dan peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem
pada setiap bagian kawasan taman nasional, serta penerapan dan penegakan
ketentuan hukum yang dilaksanakan atas sanksi pelanggaran di setiap zona taman
nasional secara tegas dan pasti. Penataan zonasi tersebut merupakan prakondisi
yang harus diprioritaskan dalam kegiatan pemantapan kawasan, sebelum kawasan
taman nasional tersebut dapat dikembangkan, dimanfaatkan, dan dikelola secara
efektif sesuai fungsinya.
Setelah penyusunan rancangan penataan zonasi dirampungkan sampai
dengan pengesahannya oleh Direktur Jenderal PHKA, maka pada tahap selanjutnya
akan dilaksanakan penataan batas zonasi. Penataan batas zonasi dilakukan dengan
tujuan agar tersedia tanda batas secara pasti di lapangan yang dapat dipedomani
oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan taman nasional. Serupa
dengan penataan batas kawasan dalam proses pengukuhan, hasil penataan batas
zonasi juga dilakukan penetapan atau pengesahannya oleh Menteri Kehutanan.
Atas zonasi yang telah ditetapkan, secara berkala dalam rentang waktu tiga
tahun dilakukan pemantauan dan evaluasi efektifitas penggunaan ruang berdasarkan
zonasi yang ada. Apabila dalam perkembangan pengelolaan kawasan ditemukan
adanya ketidaksesuaian pengaturan penggunaan ruang, maka zonasi kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat ditinjau kembali dan dilakukan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 104


Rencana Pengelolaan

perubahan-perubahan sebagaimana mestinya. Peninjauan kembali zonasi ini


dilakukan berdasarkan kajian ilmiah terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial
budaya masyarakat dengan menggunakan metode-metode tertentu berdasarkan
konsep analisa spasial.

B. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan
yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia. Adapun rencana pengelolaan taman nasional adalah panduan yang
memuat tujuan, kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan
kawasan taman nasional. Rencana pengelolaan taman nasional terdiri atas rencana
pengelolaan jangka panjang, rencana pengelolaan jangka menengah, rencana
pengelolaan jangka pendek, serta rencana-rencana teknis untuk keperluan tertentu
secara spesifik.
Rencana pengelolaan jangka panjang taman nasional adalah rencana makro
yang bersifat komprehensif dan indikatif, untuk keperluan 20 tahun, yang menjadi
acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka menengah, rencana
pengelolaan jangka pendek/ tahunan dan rencana-rencana teknis di kawasan taman
nasional. Rencana pengelolaan jangka menengah taman nasional adalah rencana
yang bersifat strategis, kualitatif dan kuantitatif, untuk keperluan 5 tahun, yang
disusun berdasarkan rencana pengelolaan jangka panjang. Rencana pengelolaan
jangka pendek adalah rencana pengelolaan yang bersifat teknis operasional,
kualitatif dan kuantitatif, untuk keperluan pengelolaan tahunan, yang disusun
berdasarkan dan merupakan penjabaran rencana pengelolaan jangka menengah.
Rencana aksi atau rencana teknis merupakan penjabaran dari salah satu atau
beberapa kegiatan. Jenis rencana ini memuat detail pelaksanaan suatu kegiatan
yang merupakan kebutuhan pengelolaan. Rencana-rencana teknis yang sekiranya
dibutuhkan dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung antara
lain berupa rencana pengembangan pariwisata alam, rencana tapak, rencana
pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan kawasan, rencana pembinaan
dan pengembangan daerah penyangga, rencana kegiatan rehabilitasi dan restorasi
kawasan serta rencana-rencana lainnya. Dalam periode 2008-2027, terdapat
sedikitnya 34 judul rencana pengelolaan yang akan disusun, yang terdiri dari rencana
pengelolaan jangka panjang, menengah, rencana pengelolaan tahunan, serta
rencana teknis.
Efektifitas pencapaian target dan sasaran yang tercakup di dalam setiap
rencana tersebut akan dilakukan evaluasinya setiap lima tahun. Selain pencapaian
target dan sasaran, tidak tertutup pula kemungkinan adanya perubahan kebijakan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 105


Rencana Pengelolaan

pemerintah di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam
periode perencanaan. Berdasarkan kepada hasil-hasil evaluasi yang telah dilakukan,
maka tidak tertutup kemungkinan untuk diadakannya peninjauan kembali atas
rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya.

C. Pengembangan Sarana dan Prasarana


Dalam pengelolaan taman nasional, terdapat setidaknya tiga kelompok utama
sarana dan prasarana yang dibutuhkan, yaitu sarana dan prasarana pokok, sarana
dan prasarana penunjang pengelolaan, serta sarana dan prasarana pariwisata alam.
Keseluruhan sarana dan prasarana ini saling terkait satu sama lain, dan di lain sisi
terdapat keterbatasan dalam penyediaan anggaran untuk pemenuhannya, sehingga
dibutuhkan kecermatan dalam menentukan skala prioritas pengembangan sarana
dan prasarana tersebut.
Untuk kepentingan efektifitas pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan setidaknya 1 unit kantor balai taman nasional
berukuran 600 M2 dan 2 unit kantor seksi pengelolaan taman nasional wilayah yang
berukuran 400 M2. Karena pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan hingga
kepada unit-unit terkecil maka telah dibentuk 7 resort taman nasional yang
keseluruhan juga membutuhkan pondok kerja masing-masing berukuran 70 M2.
Dalam rangka peningkatan efektifitas perlindungan
dan pengamanan kawasan, dibutuhkan pula pos-
pos jaga pengamanan hutan di sekeliling kawasan.
Untuk kebutuhan tersebut, pada kawasan Taman

Pondok Kerja Taman Nasional


Nasional Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan
Bantimurung Bulusaraung sedikitnya 10 unit pos jaga pengamanan hutan.
Secara keseluruhan, kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilihat pada tabel 3.

D. Pengelolaan Data dan Informasi


Agar data dan informasi yang terkait dengan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung dan segala aspek pengelolaannya dapat diakses dengan mudah oleh
seluruh pihak yang berkepentingan, diperlukan suatu media yang tepat dan efisien.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang telah begitu pesat saat ini, situs web
merupakan media yang tepat untuk keperluan ini, agar data dan informasi dapat
diakses oleh siapa saja, di mana saja dan kapan pun diperlukan. Selain
pembangunan awal basis data dan informasi pada media ini, diperlukan pula
pemutakhiran dan pemeliharaannya secara rutin sesuai dengan kebutuhan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 106


Rencana Pengelolaan

Disamping media penyebarluasan data dan informasi, pengumpulan dan


pengolahan data dan informasi menduduki peranan yang lebih penting lagi.
Pembangunan database manajemen sistem bukan suatu hal yang mudah, melainkan
memerlukan proses yang cukup panjang serta ketersediaan berbagai sumber daya
pendukungnya. Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
berhubungan dengan pemanfaatan ruang di atas permukaan bumi, sehingga selain
data dan informasi yang sifatnya deskriptif dan naratif, diperlukan pula data dan
informasi yang bereferensi keruangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan data
spasial. Sangat diharapkan bahwa berbagai jenis data dan informasi yang telah
disebutkan di atas dapat terintegrasi ke dalam suatu sistem perdataan yang dapat
diakses dengan mudah. Untuk itulah kemudian dibutuhkan suatu perangkat lunak
basis perdataan yang dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan oleh
siapa saja tanpa memerlukan keterampilan khusus. Pada masa-masa selanjutnya,
penyempurnaan dan pemutakhiran data dan informasi pada sistem basis data
sebaiknya dapat dilakukan secara berkala.
Media-media manajemen dan penyebarluasan data dan informasi seperti yang
telah disebutkan di atas masih mempunyai kelemahan-kelemahan, terutama terkait
dengan kebutuhan perangkat kerasnya serta belum familiernya teknologi informasi
kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, pada saat ini masih dibutuhkan
penyediaan media penyebarluasan data dan informasi secara manual berupa hard-
copy. Media cetakan seperti itu antara lain dapat berbentuk buku informasi, booklet
ataupun brosur-brosur.
Hal lain yang juga perlu untuk mendapat perhatian adalah faktor ketersediaan
perangkat keras dan sumber daya manusia pengelola data dan informasi. Untuk
keperluan pengelolaan data dan informasi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung diperlukan setidaknya komputer dengan spesifikasi yang khusus serta
perangkat penunjangnya (antara lain Large Printer/Plotter), sumber data atau data
dasar yang mutakhir, serta sumber daya manusia yang terlatih dengan baik.

E. Pengelolaan Potensi Kawasan


Dalam rangka pengelolaan potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, hal pertama yang perlu untuk segera dilakukan adalah identifikasi dan
pemetaan tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan. Hal ini menjadi penting,
karena pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya didasarkan kepada potensi
ekosistemnya serta potensi sumber daya alam yang ada di dalam ekosistem. Setiap
tipe ekosistem mempunyai komponen-komponen penyusun yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Apabila batas-batas setiap tipe ekosistem serta komponen
penyusunnya tidak diketahui secara pasti, maka dapat saja terjadi kekeliruan dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 107


Rencana Pengelolaan

manajemen kawasan. Contoh kekeliruan manajemen yang telah sering terjadi adalah
pelaksanaan penanaman pohon pada ekosistem savana ataupun penanaman jenis
bukan asli di dalam kawasan yang kemudian pada akhirnya menjadi species
impasif/eksotik dan merusak tatanan alami ekosistem itu sendiri.
Species yang ada di dalam kawasan, baik
satwa liar maupun tumbuhan alam memerlukan
pengelolaan yang baik. Oleh karenanya, pada
tahap awal dibutuhkan data dan informasi yang
valid terkait dengan kondisi populasi, sebaran dan
keadaan habitatnya secara umum. Untuk
memenuhi hal tersebut, diperlukan kegiatan
identifikasi dan inventarisasi yang intensif dan
secara menyeluruh di dalam kawasan. Pada
CLP-KPH HIMAHOVA IPB
dasarnya, upaya ini memerlukan dukungan
sumber daya yang cukup besar. Dengan
keterbatasan-keterbatasan yang terjadi selama ini,
maka kegiatan-kegiatan pengumpulan data di
lapangan sebaiknya dilaksanakan secara bertahap
sehingga pada akhirnya akan dirampungkan pada Boiga dendrophylla

suatu waktu tertentu. Pengulangan-pengulangan


dalam rangka pemutakhiran data sebaiknya
dilaksanakan dalam jangka waktu setiap lima
tahun.
Tidak hanya sebatas itu, data-data dan
informasi yang telah dikumpulkan dari lapangan
sebaiknya dipetakan dengan baik. Dengan
langkah-langkah seperti itu maka kemudian dapat
dikaji hubungan atau interaksi antar species di
dalam habitat ataupun ekosistem (persaingan,
predasi, dan komensalisme). Dapat saja
hubungan-hubungan antar species di dalam
ekosistem tersebut bersifat positif namun
terkadang juga bersifat negatif. Apabila dampak
dari interaksi antar species mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan
degradasi populasi suatu species secara cepat, maka dengan segera dibutuhkan
adanya intervensi dari pengelola melalui berbagai metode perbaikan ekosistem dan
habitat, dalam hal ini dapat dilakukan pembinaan populasi dan habitat atau melalui
upaya restorasi dan rehabilitasi.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 108


Rencana Pengelolaan

Di dalam suatu habitat atau ekosistem, terdapat jenis-jenis yang kemudian


menjadi species kunci (Key Species). Species kunci tersebut memegang peranan
penting di dalam ekosistem karena keberadaannya mendukung hampir semua
komponen hayati yang ada di dalam habitat atau ekosistem tersebut. Sebagai
contoh, jenis-jenis dari marga Ficus yang jumlahnya di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung mencapai 43 species (atau sub species), yang
dikumpulkan dan diidentifikasi oleh Rasplus pada tahun 2007 (Deharveng et al,
2007). Jenis-jenis tersebut dikatakan sebagai species kunci pada kawasan ekosistem
hutan di atas batu gamping (termasuk kawasan yang telah terkarstifikasi), karena
kedudukannya sebagai makanan utama berbagai species yang mendiami ekosistem
ini.
Dari sudut pandang lain, di dalam suatu kawasan terdapat pula jenis-jenis yang
kemudian dijuluki sebagai Flag Species, yaitu jenis-jenis hayati yang merupakan ciri
khas potensi di dalam kawasan tersebut. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dikenal oleh berbagai kalangan di seluruh dunia dengan potensi kupu-kupunya.
Dengan demikian, maka hingga saat ini species bendera Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung adalah kupu-kupu, walaupun masih banyak species lain di
dalam kawasan ini yang tidak kalah menariknya.
Jenis-jenis yang merupakan Key Species dan Flag Species tersebut karena
tingkat kepentingannya dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung perlu untuk terus diupayakan identifikasi dan inventarisasinya. Hasil-
hasil dari pelaksanaan kegiatan ini hendaknya pada suatu saat akan terpetakan
sebarannya dengan baik dan cermat sehingga dapat dimanfaatkan dalam penentuan
kebijakan pengelolaan serta dalam rangka promosi pengembangan wisata alam di
dalam kawasan.
Untuk selanjutnya, dalam selang waktu tertentu perlu diupayakan untuk
melaksanakan pemantauan dan evaluasi keseluruhan tahapan pengelolaan
kawasan. Pemantauan dan evaluasi ini dilaksanakan secara bertingkat dari species,
habitat sampai dengan ekosistem di dalam kawasan. Pada suatu waktu tertentu di
mana terjadi ketidaksesuaian antara potensi kawasan, pemanfaatan dan kondisinya
secara nyata di lapangan, maka diperlukan suatu upaya untuk mengevaluasi potensi
kawasan. Evaluasi fungsi kawasan ini bertujuan untuk memberikan bahan-bahan
masukan bagi perumusan kebijakan perlu atau tidaknya dilakukan rasionalisasi
kawasan konservasi. Rekomendasi yang dihasilkan dari evaluasi fungsi kawasan
akan menjadi bahan untuk pelaksanaan rasionalisasi, yang mungkin saja akan
menambah, mengurangi atau bahkan merubah penataan pemanfaatan ruang di
dalam kawasan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 109


Rencana Pengelolaan

Obyek-obyek wisata yang potensial di dalam kawasan, baik yang berpeluang


untuk dimanfaatkan dalam rangka wisata alam maupun wisata budaya perlu untuk
diidentifikasi dengan baik. Selain identifikasi, dilakukan pula pengkajian atau study
tentang kelayakannya untuk dikembangkan pemanfaatannya. Karena pengelolaan
kawasan konservasi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan ekologi, ekonomi dan
kondisi sosial budaya masyarakat, maka pengkajian atau study tersebut dilakukan
dengan membuat permodelan hubungan dari ketiga unsur kepentingan tersebut.
Ketiga unsur kepentingan tersebut seharusnya berjalan dengan seimbang dan
kegiatan pengembangan tidak berpengaruh negatif terhadap salah satunya. Begitu
pula dengan potensi obyek pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di dalam
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pengelolaan sampai dengan
pemanfaatannya juga perlu untuk diidentifikasi dan dikaji sedemikian rupa sehingga
pengaruh negatif dari kegiatan pemanfaatannya dapat ditekan seminimal mungkin
terhadap kelangsungan proses ekologis di dalam ekosistem.

F. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan


Perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditujukan untuk mencegah dan membatasi kerusakan kawasan yang
antara lain disebabkan oleh perbuatan manusia, kebakaran hutan, daya-daya alam,
hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas
kawasan konservasi, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan kawasan. Pada prinsipnya, kegiatan ini meliputi pencegahan kerusakan
kawasan serta mempertahankan hak-hak negara yang ada di dalam kawasan.
Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sejauh ini masih
difokuskan pada tataran perlindungan dan pengamanan serta pengkajian potensi
(saving and studying), belum sampai pada upaya-upaya pemanfaatan secara intensif
dan lestari (using). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan pada kawasan
yang baru ditunjuk atau diubah fungsinya menjadi taman nasional, seperti Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kawasan yang ditunjuk menjadi taman nasional
pada tanggal 18 Oktober 2004 ini, baru secara efektif dikelola oleh pemangku
kawasan tersendiri, dalam hal ini Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,
pada sekitar awal April 2007.
Oleh karena kawasan ini baru pada tahap awal dikelola sebagai taman
nasional, maka sudah barang tentu bahwa perhatian lebih ditujukan pada penyiapan
prakondisi kawasan serta prakondisi sumber daya pengelolanya. Walaupun
demikian, upaya perlindungan dan pengamanan kawasan dari segala macam
gangguan tetap perlu mendapat perhatian serius secara terus menerus. Hal ini
mengingat di masa reformasi yang lebih banyak ditunggangi oleh eforia, kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 110


Rencana Pengelolaan

hutan dan segala potensinya banyak mengalami tekanan dari berbagai pihak untuk
dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi, baik secara legal maupun illegal.
Gangguan dan tekanan ini tentu saja tidak mengenal kawasan yang masih dalam
tahap prakondisi ataupun kawasan yang telah dikelola secara mapan.
Kawasan baru dengan pengelola yang juga masih baru, kelembagaan yang
masih lemah, sumber daya yang terbatas (terutama SDM dan sarana prasarana)
menjadi kendala dan hambatan dalam mempertahankan fungsi dan tujuan utama
penunjukan kawasan sebagai taman nasional. Oleh karenanya diperlukan strategi-
strategi khusus untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk
meminimalisir gangguan dan tekanan yang berat tersebut. Salah satu strategi yang
digunakan untuk mengefektifkan penggunaan sumber daya yang terbatas untuk
mengoptimalkan upaya perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional ini
adalah dengan menyiapkan perangkat-perangkat sistem peringatan dini (early
warning system). Perangkat dimaksud dalam hal ini berupa identifikasi dan pemetaan
indikasi kerawanan kawasan taman nasional. Peta Indikasi kerawanan kawasan ini
dimanfaatkan sebagai salah satu perangkat yang dapat mengarahkan personil dan
sarana prasarana yang terbatas ke lokasi-lokasi yang benar-benar memerlukan
penjagaan dan patroli karena indikasi intensitas gangguannya yang telah diketahui.
Identifikasi kerawanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dimaksudkan untuk mengumpulkan data, mengolah dan menyajikan informasi yang
dapat menggambarkan tingkat kerawanan kawasan dari berbagai macam gangguan
dengan menggunakan indikator-indikator yang berpengaruh terhadap kemungkinan
terjadinya macam gangguan tersebut. Indikator-indikator yang dimaksud dalam hal
ini terdiri dari kondisi penutupan lahan, tipe iklim, jarak dari pusat pemukiman
masyarakat, tingkat aksesibilitas, kelas kelerengan serta potensi kawasan yang
berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Identifikasi kerawanan
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditujukan sebagai salah satu
bahan masukan perumusan kebijakan bagi upaya-upaya perlindungan dan
pengamanan kawasan secara dini, efektif dan efisien serta lebih berorientasi pada
upaya-upaya preventif. Output dari kegiatan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai
pelengkap tools pengambilan keputusan manajemen tentang perlunya tindakan-
tindakan pencegahan serta tingkat kesiagaan para personil.
Upaya perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung dilakukan dengan berbagai tingkatan, yaitu dari tingkat preemtif,
preventif, persuasif, dan represif. Sosialisasi tentang keberadaan kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, kebijakan pengelolaan dan pemanfaatannya,
serta hal-hal lain yang terkait dengan kawasan dilakukan terhadap seluruh komponen
pemangku kepentingan yang ada di sekitar kawasan. Sosialisasi penting dilakukan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 111


Rencana Pengelolaan

agar terjalin kesepahaman di antara para pemangku kepentingan tentang


pengelolaan kawasan. Dengan kesepahaman yang telah terbangun, maka
pengelolaan kawasan dan wilayah di sekitarnya dapat tersinskronisasi dengan baik.
Sosialisasi sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pengamanan secara
preemtif, persuasif dan preventif tidak hanya dilakukan terhadap para pemangku
kepentingan di tingkat birokrasi, tetapi juga dilakukan secara langsung kepada
masyarakat serta pemuda dan pelajar yang ada di dalam dan sekitar kawasan.
Salah satu upaya preventif lain yang dilakukan dalam rangka perlindungan dan
pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah patroli di
dalam dan sekitar kawasan serta penjagaan pada tempat-tempat strategis. Kegiatan
ini dilaksanakan oleh seluruh personil yang tersedia dan tersebar sampai ke resort
pengelolaan. Untuk kepentingan ini pula, maka penguatan sumber daya perlu
dilakukan sampai ke tingkat resort, bahkan apabila memungkinkan dapat dijadikan
prioritas.
Apabila ditemukan adanya indikasi kuat terjadinya pelanggaran hukum di
dalam kawasan dan sekitarnya, maka berdasarkan data intelijen yang valid dapat
dilakukan operasi pengamanan hutan. Operasi ini dapat bersifat fungsional dengan
melibatkan aparat internal Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung atau
bersifat gabungan dengan bantuan aparat penegak hukum eksternal. Bila gangguan
yang terjadi dapat diselesaikan oleh aparat internal, maka operasi pengamanan
hutan cukup dilakukan secara fungsional, namun apabila gangguan cukup besar dan
memerlukan sumber daya yang besar untuk penyelesaiannya maka operasi
pengamanan hutan dilakukan secara gabungan.
Hasil akhir dari pelaksanaan upaya represif adalah adanya alat-alat bukti dan
tersangka pelaku pelanggaran hukum di dalam kawasan. Hasil ini kemudian
ditindaklanjuti dengan pelaksanaan operasi yustisi. Operasi yustisi dilakukan secara
berjenjang dari tahap penyelidikan, penyidikan, gelar perkara, persidangan sampai
dengan terbitnya putusan pengadilan atas kasus tersebut.
Salah satu persoalan lingkungan yang muncul hampir setiap tahun di
Indonesia adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah
satu bentuk bencana yang makin sering terjadi, dan dampak yang ditimbulkan sangat
merugikan bila dilihat dari aspek fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi maupun aspek
ekologi (Syumanda, 2003 dalam Pratondo et. al, 2006; Anonim, 2007; Simanjuntak,
2007; Supriatna, 2007). Kebakaran hutan dan lahan juga kuat indikasinya untuk
terjadi di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung apabila dilihat dari
struktur vegetasi yang ada di atas kawasan karst.
Kebakaran hutan dan lahan berakibat pada kerusakan sumber daya alam serta
lingkungan. Kerugian yang ditimbulkannya tidak sedikit, mulai dari hilangnya sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 112


Rencana Pengelolaan

plasma nutfah penting, meningkatnya penderita penyakit infeksi saluran pernafasan


akut, hilangnya materi berharga milik masyarakat dan sebagainya. Dampak negatif
yang dirasakan beragam, mulai dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial budaya.
Lingkup dampak negatifnya beragam pula, mulai dari tingkat regional, nasional
maupun internasional. Bencana kebakaran hutan dan lahan menghasilkan polusi
asap yang dapat melintasi batas negara (transboundary haze pollution) yang
menyebabkan banyaknya protes dari negara-negara tetangga kepada Pemerintah
Indonesia.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan
yang seharusnya dapat diantisipasi secara komprehensif oleh seluruh komponen
yang terkait, baik pemerintah, masyarakat maupun kalangan swasta yang turut
memberikan kontribusi terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Faktor-faktor
yang berpengaruh ini sebaiknya diantisipasi sedini mungkin, karena antisipasi atau
pencegahan kebakaran secara dini mungkin akan lebih menghemat penggunaan
berbagai sumber daya dibandingkan apabila harus melakukan pemadaman.
Untuk keperluan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di dalam dan
sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, maka setidaknya
diperlukan personil yang terlatih untuk keperluan tersebut, sarana dan prasarana
pendukungnya serta dukungan pembiayaan. Hal ini perlu mendapat perhatian
mengingat sebagian besar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
adalah kawasan yang sangat rawan kebakaran hutan dan lahan.
Dalam upaya perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, salah satu hal penting yang sebaiknya diperhatikan
adalah kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang ada. Selain itu, diperlukan
pula sarana dan prasarana yang memadai untuk pelaksanaan tugas yang tidak dapat
dikatakan ringan ini. Kedua jenis sumber daya ini sebaiknya diperhatikan dengan
terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta pengembangan
sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan hutan.
Terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia yang terbatas, maka salah
satu alternatif yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah
dengan memanfaatkan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan.
Tenaga pengamanan hutan swakarsa serta masyarakat peduli api adalah dua
perangkat pendukung yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan
perlindungan dan pengamanan hutan yang efektif.

G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan


Pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tidak
terlepas dari perlunya dukungan penelitian dan pengembangan. Penelitian dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 113


Rencana Pengelolaan

pengembangan ini tidak hanya terbatas pada penelitian dasar namun termasuk pula
kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi terapan. Agar kegiatan penelitian
dan pengembangan yang seharusnya dilaksanakan oleh lembaga penelitian dan
perguruan tinggi dapat benar-benar mendukung upaya pengelolaan kawasan, maka
diperlukan identifikasi dan penyusunan skala prioritas kebutuhan penelitian dan
pengembangan di dalam kawasan. Hasil dari kegiatan ini dijadikan prioritas kegiatan
penelitian dan pengembangan di dalam kawasan dan disosialisasikan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan agar dapat terjalin sinkronisasi antara kebutuhan di
dalam kawasan dan program penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan
perguruan tinggi. Pengembangan kerjasama dengan lembaga penelitian dan
perguruan tinggi juga perlu dirintis dengan baik agar kontinuitas kegiatan penelitian
dan pengembangan di dalam kawasan dapat berjalan dengan baik.
Pendidikan konservasi bagi masyarakat lokal menjadi esensial peranannya dan
perlu diupayakan terus-menerus. Jika memungkinkan, pendidikan konservasi bagi
masyarakat ini dilakukan sejak usia dini sehingga kesadaran konservasi dan
pentingnya pengelolaan lingkungan yang baik sudah menjadi bagian dari hidup
generasi bangsa ini. Pendidikan konservasi bagi masyarakat dapat dilakukan melalui
berbagai wadah. Upaya untuk menjadikan pendidikan konservasi sebagai muatan
lokal pada program pendidikan dasar dan menengah adalah suatu hal yang penting
untuk dilakukan. Dengan demikian, maka upaya konservasi tidak hanya dilaksanakan
oleh pengelola kawasan konservasi melainkan juga menjadi bagian yang terintegrasi
di dunia pendidikan.
Metode lain yang dapat ditempuh untuk memasyarakatkan upaya konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah dengan membentuk kader-kader
penggerak upaya konservasi di kalangan masyarakat. Untuk itulah kemudian
diperlukan upaya pembentukan kader konservasi serta pembinaan kalangan pecinta
alam. Kader-kader konservasi dan pecinta alam ini akan turut menyuarakan
pentingnya konservasi secara mandiri, dan dengan demikian maka pelaksanaan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya menjadi bagian
dari tanggung jawab pemerintah.

H. Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan


Dalam rangka pengembangan pemanfaatan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, obyek-obyek wisata yang ada di dalam kawasan perlu
dikembangkan dan ditata sedemikian rupa agar dapat menarik kunjungan wisatawan.
Obyek-obyek wisata yang ada di dalam kawasan dapat dikelompokkan menjadi
obyek wisata budaya, obyek wisata tirta, obyek wisata alam serta obyek wisata minat
khusus. Keseluruhan obyek tersebut memerlukan pengelolaan dan pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 114


Rencana Pengelolaan

agar dapat bermanfaat secara optimal. Jalur-jalur wisata di dalam kawasan


memerlukan rancangan yang memadai agar kunjungan dapat disesuaikan dengan
waktu yang tersedia serta kebutuhan pembiayaan.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk pariwisata yang saat ini sedang trend
dan banyak digunakan sebagai konsep dasar pengembangan suatu objek dan daya
tarik wisata. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini konsep ekowisata merupakan
salah satu konsep pengembangan pariwisata yang memperhatikan banyak hal.
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang selalu melekat dalam konsep pengembangan,
ekowisata antara lain selalu memperhatikan:
1. Pengembangan yang dilakukan harus menguntungkan secara ekonomi bagi
semua pihak yang berperan secara langsung ataupun tidak langsung;
2. Secara langsung dan tidak langsung harus memberikan kontribusi pada upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya);
3. Menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, bukan hanya sebagai
objek yang tidak akan mendapat keuntungan. Menjadi subjek pembangunan
dalam artian masyarakat juga harus diajak dalam proses perencanaan
pengembangan, pengelolaan atau pelaksanaan dan pengontrol kegiatan
pengembangan serta pelaksanaan;
4. Memberikan nilai pendidikan, baik pada para pengunjungnya, pelaku dan
masyarakat sekitarnya, melalui program-program atau paket-paket yang dibuat
yang harus memiliki bobot pendidikan yang dapat diterapkan oleh para
pengunjung, pengelola dan masyarakat sekitar;
5. Memberikan nilai hiburan/rekreasi, seperti halnya pengembangan pariwisata
lainnya yang salah satu tujuannya adalah memberikan nilai hiburan atau
rekreasi. Dengan demikian maka pengembangan ekowisata juga harus memiliki
porsi yang seimbang antara hiburan, pendidikan dan pelestarian alam.

Selain memperhatikan unsur-unsur tersebut, pengembangan ekowisata, juga


harus mempertimbangkan beberapa faktor-faktor penting, antara lain:
1. Karakteristik lingkungan alam dan keanekaragaman hayati, hal tersebut harus
dipertimbangkan karena akan sangat berpengaruh pada daya dukung lahan
kawasan yang akan dikembangkan. Apabila hal tersebut diabaikan maka akan
terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas dan tema kawasan dengan produk yang
dikembangkan;
2. Karakterisitik daya tarik wisata dan sarana-prasarana pendukung, tema utama
dari daya tarik wisata yang ada dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung harus diperhatikan, hal ini akan sangat berhubungan dengan konsep
pengembangan ekowisata yang efektif dan efisien (dalam arti pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 115


Rencana Pengelolaan

yang dilakukan akan sedikit banyak menyesuaikan dengan hal-hal yang sudah
tersedia dan tidak harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengadakan hal-
hal yang belum ada);
3. Karakteristik budaya, tradisi dan agama setempat, yang sekaligus dapat
dijadikan batasan-batasan dan pengatur cara-cara bersikap, cara berpakaian
dan batas-batas waktu yang harus diperhatikan;
4. Pola pergerakan wisatawan, dari pola pergerakan wisatawan dapat ditetapkan
program atau paket wisata yang seperti apa yang akan cocok atau sesuai untuk
dikembangkan di daerah yang bersangkutan;
5. Pola pengembangan paket wisata, seperti telah tersebut di atas harus memiliki
kesesuaian dengan kondisi pasar. Masing-masing segmen pasar yang dituju
memiliki karakteristik tersendiri yang harus dipertimbangan dalam penyusunan
paket, misalnya wisatawan yang kebanyakan kaum berumur akan lebih
menyukai kegiatan di alam yang sifatnya ringan (soft), tidak menuntut
penggunaan fisik terlalu tinggi, wisatawan dengan usia muda (anak sekolah)
akan lebih menyukai kegiatan yang lebih aktif (mengandung tantangan).
Pengembangan paket juga harus memperhatikan faktor kompetitif dari pesaing
sehingga tidak mengulang tema yang sama yang telah dipakai oleh paket wisata
lainnya;
6. Pola pengembangan sistem transportasi;
7. Pola pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan. Pola pengembangan
wilayah tata ruang kawasan harus diperhatikan karena pengembangan
pariwisata yang dilakukan akan menyesuaikan dengan pola pengembangan
wilayah dan tata ruang kawasan yang sudah ada;
8. Zonasi, zonasi akan mempengaruhi kawasan-kawasan mana saja yang boleh
dan bisa dikembangkan.

Arahan pengembangan yang terutama dalam pengembangan ekowisata di


kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah untuk meningkatkan
pendapatan alternatif bagi masyarakat di sekitar. Tujuan utama tersebut akan
mengarahkan pembangunan kepada :
1. Mengupayakan pencapaian rencana strategis dan rencana pembangunan jangka
panjang kehutanan;
2. Membuka peluang kerja baru, baik di sektor pariwisata secara umum maupun
sektor penunjang pariwisata lainnya;
3. Mendorong investasi di sektor pariwisata dari para investor lokal maupun investor
dari luar kawasan atau daerah (dan juga investor asing);
4. Mendorong upaya pelestarian sumber daya alam, tradisi dan budaya setempat;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 116


Rencana Pengelolaan

5. Mendorong pemerataan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan melalui


pelibatan masyarakat secara merata.

Agar pengembangan pemanfaatan wisata di dalam kawasan Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung dapat berjalan secara efektif dan efisien, dibutuhkan suatu
rencana tapak yang sudah dilengkapi dengan desain teknis (engineering design)
infrastruktur yang dibutuhkan. Rencana tapak dimaksudkan sebagai pedoman bagi
pengelola kawasan sendiri dan para pihak yang berkepentingan dalam
mengoptimalkan dan memantapkan pemanfaatan potensi objek dan daya tarik wisata
alam di dalam kawasan.
Lebih lanjut, tujuan penyusunan rencana tapak kawasan ini diharapkan akan
memberikan arahan bagi upaya:
1. Mengembangkan potensi kepariwisataan dan ekowisata kawasan sehingga
dapat tumbuh dan berkembang sebagai destinasi wisata yang memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif secara regional dan nasional;
2. Meningkatkan peran dan kontribusi pariwisata dalam upaya pencapaian tujuan-
tujuan yang telah tertuang dalam rencana strategis kehutanan sebagai salah satu
sektor pembangunan yang handal yang mampu meningkatkan arus kunjungan
dan pembelanjaan wisatawan ke kawasan taman nasional, peningkatan lama
tinggal wisatawan, mendorong peningkatan kesejahteraan, serta membuka
kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas;
3. Mengembangkan potensi kepariwisataan kawasan melalui perencanaan secara
terpadu dan dapat berinteraksi secara komplementer dengan rencana
pengembangan pariwisata pada tingkat kawasan, tingkat nasional maupun
rencana pengembangan sektoral di wilayah;
4. Mendorong perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan budaya,
khususnya potensi alam dan budaya serta sejarah dengan pengelolaan dan
pengembangan kegiatan yang relevan dan terkontrol, baik yang berkaitan
dengan pengembangan kegiatan pariwisata maupun kehutanan;
5. Mendorong pengembangan wilayah melalui pengembangan kegiatan ekowisata
serta pemberdayaan masyarakat setempat (community based development).

Dalam pengembangan pemanfaatan kawasan taman nasional di bidang


pariwisata, dibutuhkan sumber daya pendukung yang tidak sedikit jumlahnya.
Pemerintah sendiri, dengan kondisi moneter yang belum benar-benar stabil, belum
tentu mampu untuk menyediakan kebutuhan sumber daya tersebut. Oleh karena itu,
pengembangan kerjasama perlu terus-menerus diupayakan dengan berbagai pihak
yang berkepentingan. Kepada para investor yang berminat dalam pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 117


Rencana Pengelolaan

wisata di dalam kawasan taman nasional, perlu diberikan stimulan-stimulan khusus,


baik dari segi kebijakan atau regulasi pemerintah maupun dari segi-segi lain yang
sekiranya dapat meningkatkan minat investasi.
Informasi dan promosi menduduki peran yang signifikan dalam upaya
pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Informasi dan promosi sebagaimana telah dibahas sebelumnya dibuat sedemikian
rupa dan melalui berbagai media agar dapat mencapai berbagai tingkatan atau
segmen pasar pariwisata.

I. Pengembangan Integrasi, Koordinasi, Kolaborasi


Integrasi pengelolaan bersama seluruh pihak, koordinasi yang mantap serta
pengembangan kolaborasi perlu dilakukan secara konsisten dalam pengembangan
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pihak-pihak terkait,
terutama kalangan birokrat serta kalangan swasta dan masyarakat perlu terlibat
secara aktif dalam pengembangan pengelolaan. Dengan demikian, pihak Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung perlu secara proaktif melaksanakan
koordinasi dengan pihak-pihak tersebut.

J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga


Dalam kehidupan manusia, peran alam tidak perlu dipertanyakan lagi nilai
pentingnya. Namun seiring kemajuan peradaban manusia, kerusakan alam justru
semakin menjadi. Bahkan era reformasi yang ditujukan untuk perbaikan, ternyata
malah menjadi era perusakan terhadap alam yang tidak terkendali. Evoria reformasi
dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung mempercepat degradasi sumber daya
alam. Demikian pula halnya dengan kebijakan pengembangan ekonomi yang kurang
memperhatikan kepentingan sosial dan ekologis. Walaupun tidak dapat dikatakan
dalam kondisi prima, ekosistem kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
masih cukup utuh dan layak untuk mendapat perlindungan yang lebih baik lagi.
Apabila tidak mendapatkan penanganan yang serius dan terstruktur, maka lambat
laun kawasan ini juga akan mengalami kerusakan yang cukup parah. Potensi bentang
alam karst di kawasan ini bernilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan untuk kepentingan
penyediaan bahan tambang Marmer serta bahan baku pembuatan semen. Selain itu
juga terdapat potensi tambang Batu Bara (walaupun tidak banyak) di dalam kawasan ini.
Demikian pula halnya dengan potensi keanekaragaman hayati di dalamnya yang
mempunyai nilai jual cukup tinggi dan banyak diminati oleh masyarakat domestik dan
manca negara.
Hal tersebut merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kelestarian
ekosistem kawasan Bantimurung Bulusaraung. Potensi kawasan yang begitu

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 118


Rencana Pengelolaan

menggiurkan untuk kepentingan peningkatan perekonomian dengan mengeksploitasi


sumber daya yang ada, memerlukan upaya-upaya secara serius untuk penanganannya
dengan tetap mengedepankan keseimbangan antara faktor ekonomi, sosial dan
ekologis. Dukungan dari berbagai pihak harus tetap dan terus dipupuk agar dapat
membendung ancaman kerusakan kawasan. Disinilah peran-peran masyarakat di
sekitar kawasan taman nasional menjadi sangat signifikan dan merupakan salah satu
kunci keberhasilan perlindungan dan pelestarian kawasan. Sebuah peran yang bisa
merupakan dukungan atau bahkan sebaliknya, sebagai ancaman atas kelestarian
kawasan.
Sebagai taman nasional definitif baru, Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung masih menjadi perdebatan pro-kontra bagi sebagian besar masyarakat
di sekitarnya yang secara pasti menjadi penerima ekses terbesar dari penunjukan ini.
Dukungan dan kepedulian masyarakat lokal terhadap upaya konservasi kawasan
merupakan hal yang sangat diperlukan bagi terwujudnya kelestarian ekosistem dan
fungsi kawasan. Untuk tetap menggalang dukungan dari masyarakat, salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah adanya suatu bentuk kompensasi atas
pembatasan akses masyarakat untuk memanfaatkan secara langsung barang
produktif yang selama ini disediakan oleh alam di dalam kawasan taman nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan
diversifikasi bentuk usaha ekonomi masyarakat. Bentuk usaha ekonomi ini
diupayakan untuk tidak berbenturan dengan kepentingan perlindungan dan
pelestarian kawasan, sehingga masyarakat dapat berinteraksi secara positif dengan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Dibutuhkan waktu,
tenaga, pemikiran ekstra dan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Luasan kawasan dan
jumlah populasi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan akan menjadi
faktor pembatas. Apabila akan dilakukan secara keseluruhan dalam waktu yang
bersamaan, maka upaya ini hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk
direalisasikan menjadi sebuah kenyataan. Oleh karenanya, upaya tersebut harus
dilakukan secara bertahap dari desa satu ke desa yang lainnya dengan
mempertimbangkan tingkat prioritasnya.
Penggalian alternatif kegiatan usaha yang lebih produktif secara ekonomi dan
ramah lingkungan adalah salah satu strategi untuk mengurangi gangguan kawasan
taman nasional. Pengembangan kapasitas dan keterampilan masyarakat desa di
berbagai bidang, baik pengembangan alternatif usaha lain maupun peningkatan
kesadaran dan pengetahuan konservasi merupakan strategi implementasinya di
lapangan. Melalui pengembangan usaha perekonomian masyarakat, diharapkan akan
terbentuk masyarakat yang mandiri dan sejahtera secara sosial ekonomi yang mampu

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 119


Rencana Pengelolaan

menjadi pendukung bahkan lebih jauh lagi sebagai pioneer kelestarian kawasan
konservasi di sekitarnya.
Tujuan akhir (goal) dari upaya pengembangan usaha ekonomi masyarakat di
daerah penyangga kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung ini adalah
mewujudkan “Masyarakat Desa yang Mandiri Ekonominya dan Peduli Konservasi
yang Dapat Menjamin Hutan Lestari”. Tujuan antara yang diharapkan dapat
mewujudkan goal tersebut adalah : (1) Mengembangkan jenis-jenis usaha ekonomi
lokal produktif yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian alam; (2) Menumbuhkan budaya bertukar pikiran,
berbagi pengalaman dan terciptanya kader-kader di kampung tepi kawasan
konservasi yang mampu mengapresiasi dan menjaga kelestarian lingkungan alam
sekitarnya; (3) Membangun kesepahaman pengelolaan dan perencanaan bersama
mengenai pembangunan desa yang berwawasan lingkungan; serta (4) Meningkatkan
kesadaran konservasi masyarakat sekitar kawasan konservasi, terutama pada generasi
muda sebagai tumpuan harapan bangsa di masa depan.
Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan
konservasi Taman Nasional Bantimurung akan melibatkan sumber daya desa secara
keseluruhan, dengan sasaran utama yaitu : (1) Pemerintah setempat, terutama
aparat pemerintahan di tingkat desa selaku salah satu penentu kebijakan; (2) Para
tokoh masyarakat di desa bersangkutan sebagai suri teladan masyarakat; (3) Para
pelaku perekonomian desa, terutama penangkap kupu-kupu, pengolah aren, petani
kemiri, penjual cindera mata, dan lain-lain; (4) Para pemuda desa sebagai
penggerak, pengemban dan penentu arah gerak peradaban dan budaya di masa
yang akan datang; (5) Para pelajar di tingkat dasar guna menanamkan secara dini
pemahaman dan kecintaan terhadap lingkungan; serta (6) Aparat pemerintah terkait,
para akademisi, LSM dan kalangan swasta guna memfasilitasi dan memperlancar
proses pencapaian tujuan.
Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan
konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diharapkan akan bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui usaha ekonomi produktif yang
mampu bersaing, yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak pada menurunnya ketergantungan masyarakat dan tekanan terhadap
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada akhirnya, diharapkan
akan tercipta suatu kondisi dimana kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung akan terlindungi secara lestari dengan dukungan penuh dari
masyarakat yang mantap perekonomiannya, dan kawasan dapat berfungsi sebagai
penopang kehidupan secara luas.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 120


Rencana Pengelolaan

K. Restorasi, Rehabilitasi dan Reklamasi Ekosistem


Upaya restorasi, rehabilitasi dan reklamasi ekosistem kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung diawali dengan pelaksanaan identifikasi dan
inventarisasi kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan taman nasional.
Identifikasi ini ditujukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan ekosistem di
dalam kawasan. Apabila ditemukan kerusakan-kerusakan yang terjadi di dalam
ekosistem, faktor penyebabnya serta sejauh mana dampaknya terhadap keseluruhan
proses ekologis di dalam kawasan, maka akan dihasilkan rekomendasi tentang
bentuk-bentuk intervensi pengelola yang perlu dilakukan untuk permasalahan
tersebut. Pemetaan penutupan vegetasi dan batas-batas ekosistem serta sebaran
keanekaragaman species menjadi penting sebagai dasar untuk menentukan tindakan
intervensi yang dibutuhkan.
Selain identifikasi dan inventarisasi kondisi habitat dan ekosistem, monitoring
habitat dan populasi jenis di dalam kawasan juga perlu dilakukan secara berkala.
Hasil dari kegiatan ini juga berperan dalam menentukan tindakan apa yang akan
dilakukan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi di dalam kawasan.
Pembinaan habitat dan populasi terutama diprioritaskan terhadap species kunci dan
species penting lainnya. Rehabilitasi kawasan yang akan dilaksanakan sebaiknya
dengan terlebih dahulu telah melalui kajian yang seksama tentang kondisi ekosistem,
perkembangan suksesi ekosistem dan jenis di dalam ekosistem serta kesejarahan
proses geologi dan edafologi kawasan.

L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan


Agar pelaksanaan pengelolaan kawasan beserta potensinya tetap berjalan
pada arah yang benar secara efektif dan efisien, dibutuhkan pelaksanaan monitoring
dan evaluasi secara berkala. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap segala
aspek pengelolaan dan setidaknya dilaksanakan setiap akhir atau awal tahun. Agar
monitoring dan evaluasi dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan perangkat-
perangkat lunak monitoring dan evaluasi. Salah satu perangkat yang layak untuk
digunakan adalah adanya suatu kriteria dan indikator pengelolaan kawasan yang
efektif, yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu menggambarkan
sejauhmana efektifitas pengelolaan telah dilakukan.
Monitoring dan evaluasi juga dilaksanakan terhadap realisasi pelaksanaan
rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya, termasuk pula rencana
pengelolaan jangka panjang. Terhadap rencana-rencana yang telah disusun,
monitoring dan evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir periode perencanaan. Hasil-
hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi kemudian juga dijadikan bahan
penyusunan laporan yang dilakukan secara berjenjang.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 121


Tabel 3 : Rencana Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

A. Pemantapan Kawasan
1. Penataan Batas KM 45,7 - - -
2. Reposisi Batas Kawasan Paket 1 - - -
3. Penetapan Kawasan Paket 1 - - -
4. Pemeliharaan Batas KM 478,22 478,22 478,22 478,22
5. Rekonstruksi Batas KM - 478,22 478,22 478,22
6. Penyelesaian Konflik Kawasan Paket 1 - - -
7. Penyusunan Rancangan Zonasi Paket 1 - - -
8. Penataan Batas Zonasi Paket 1 - - -
9. Penetapan Batas Zonasi Paket 1 - - -
10. Pemantauan dan Evaluasi Zonasi Paket - 1 1 1
11. Review Zonasi Paket - PM PM PM

B. Perencanaan
1. Penyusunan Rencana Pengelolaan Judul 1 - - 1
Jangka Panjang (20 Tahun)
2. Penyusunan Rencana Pengelolaan Judul 1 1 1 1
Jangka Menengah (5 Tahun)
3. Penyusunan Rencana Pengelolaan Judul 5 5 5 5
Jangka Pendek (1 Tahun)

122
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

4. Penyusunan Rencana Pengembangan Judul 1 - - 1


Pariwisata Alam (RPPA) dan Rencana
Tapak
5. Penyusunan Rencana Pengembangan Judul 1 - - 1
Sarana dan Prasarana Pengelolaan
6. Penyusunan Rencana Pembinaan dan Judul 1 - - 1
Pengembangan Daerah Penyangga
7. Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan Judul 1 - - 1
Restorasi Kawasan
8. Evaluasi Rencana Pengelolaan Jangka Paket - 1 1 1
Panjang dan Menengah
9. Review Rencana Pengelolaan Jangka Judul - 1 1 1
Panjang

C. Pengembangan Sarana dan Prasarana


1. Sarana dan Prasarana Pokok :
a. Kantor SPTN Wilayah I & II (tipe 400) Unit 2 - - -
2
M 800
b. Rumah Jabatan SPTN Wilayah I dan Unit 2 - - -
2
II (Tipe 70) M 140
c. Pondok Kerja (Tipe 70) Unit 2 5 - -
2
M 140 350

123
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

d. Pos Jaga (Tipe 20) Unit - 5 5 -


2
M 100 100
e. Pusat Informasi dan Penelitian Unit - 2 - -
2
M 240
f. Wisma Unit - 2 - -
2
M 300
g. Jalan Patroli KM - 150 150 -
h. Menara Pengawas Kebakaran Unit 1 5 - -
i. Menara Pengintai Satwa Unit - 2 - -
j. Stasiun Penyelamatan dan Unit - - 2 -
Rehabilitasi Satwa
k. Kandang Transit Satwa Buah - 3 3 3
l. Peralatan Navigasi (GPS Navigasi) Unit 25 - 25 -
m. Peralatan Navigasi (GPS Geodetic) Unit - 2 2 2
n. Peralatan Komunikasi (SSB) Unit 3 5 - 8
o. Peralatan Komunikasi (RICK) Unit - 5 5 10
p. Peralatan Komunikasi (HT) Unit 30 20 20 20
q. Peta Dasar dan Peta Kerja Paket 2 2 2 2
r. Citra Satelit Resolusi Tinggi Km2 250 250 250 250
s. Kendaraan Roda 4 Unit 5 - 5 -
t. Kendaraan Roda 2 Unit 14 - 14 -

124
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

u. Perlengkapan Lapangan Paket 3 3 3 3


v. Meubelair Paket 7 21 7 10
2. Sarana dan Prasarana Penunjang
Pengelolaan :
a. Pembangunan Fasilitas Akomodasi Unit - - 1 1
2
M 300 300
b. Transportasi Pengunjung Unit - - 2 2

3. Sarana dan Prasarana Pariwisata Alam :


a. Pondok Wisata Unit - 2 2 2
2
M 200 200 200
b. Bumi Perkemahan Unit 1 - 2 2
c. Ruang Pertemuan Unit - 1 - -
d. Fasilitas Permainan Anak Unit - 2 2 -
e. MCK Unit 10 15 15 15
f. Loket Unit 1 2 - -
g. Jalan Trail Wisata Km 5 5 5 5
h. Areal Parkir Buah 1 2 1 1
i. Jalan Utama Km 0,5 2 1 1
j. Jembatan Unit 1 - - -
k. Karst Bridge Unit - 1 1 1

125
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

l. Bronjong Unit 1 - - -
m. Kolam Renang Unit - 2 - -
n. Early Warning System Banjir pada Unit 1 1 - -
Blok Bantimurung dan Pattunuang
o. Jaringan Listrik Paket 1 2 - 2
p. Papan nama kawasan Buah 1 1 1 1
q. Papan informasi/petunjuk/larangan Buah 16 10 10 10
r. Pintu Gerbang Kawasan Buah 2 1 1 1
s. Papan Nama dan Pagar Mulut Gua Buah 10 20 20 20

D. Pengelolaan Data dan Informasi


1. Pembuatan Website Paket 1 - - -
2. Pemeliharaan dan pemutakhiran informasi Paket 5 5 5 5
pada Website
3. Pengembangan dan pemutakhiran Paket 5 5 5 5
database spasial dan non spasial
4. Penerbitan Buku Informasi Taman Judul 1 1 1 1
Nasional Bantimurung Bulusaraung
5. Penerbitan Leaflet dan Booklet Judul 10 10 10 10

126
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

6. Pengembangan sarana dan prasarana Paket 1 1 1 1


pengelolaan data dan informasi
(perangkat keras dan perangkat lunak)
7. Peningkatan kapasitas pengelola data Paket 2 2 2 2
dan informasi

E. Pengelolaan Potensi Kawasan


1. Identifikasi dan pemetaan tipe ekosistem Paket 1 - - -
2. Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan Paket 5 5 5 5
sebaran species satwa
3. Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan Paket 5 5 5 5
sebaran species tumbuhan alam
4. Identifikasi dan inventarisasi Key Species Paket - 1 1 1
dan Flag Species
5. Evaluasi fungsi kawasan Paket 1 1 1 1
6. Pemantauan dan evaluasi species, habitat Paket - 1 1 1
dan ekosistem
7. Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan Paket 2 2 -
sebaran potensi obyek wisata alam dan
wisata budaya

127
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

8. Identifikasi dan inventarisasi potensi jasa Paket 1 1 - -


lingkungan kawasan taman nasional
9. Valuasi ekonomi sumber daya alam di Paket 2 2 2 2
dalam taman nasional (beserta
monitoringnya setiap lima tahun)
10. Identifikasi kondisi sosial dan budaya Paket 1 2 2 2
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

F. Perlindungan dan Pengamanan


Kawasan
1. Identifikasi tingkat kerawanan kawasan Paket 5 5 5 5
(penebangan liar, perburuan liar,
perambahan kawasan, kebakaran hutan,
dan penambangan liar)
2. Sosialisasi kawasan taman nasional Paket 5 5 5 5
3. Patroli rutin dan penjagaan Kali 1.825 1.825 1.825 1.825
4. Operasi fungsional Kali 25 25 25 25
5. Operasi gabungan Kali 5 5 5 5
6. Operasi yustisi Kali 5 5 5 5
7. Pengendalian kebakaran hutan Kali 5 5 5 5
8. Pengendalian hama, penyakit dan jenis Kali 5 5 5 5
eksotik

128
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

9. Pengembangan kapasitas petugas Paket 2 2 2 2


perlindungan dan pengamanan kawasan
10. Pengembangan sarana dan prasarana Paket 5 5 5 5
perlindungan dan pengamanan kawasan
11. Pembentukan Pamhut Swakarsa Orang 90 30 30 30
12. Pembentukan MPA Orang 60 60 60 60
13. Fasilitasi pembentukan forum masyarakat Paket 1 1 - -
peduli lingkungan taman nasional

G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan


Pendidikan
1. Identifikasi dan penyusunan skala Paket 1 1 1 1
prioritas kebutuhan penelitian dan
pengembangan
2. Pengembangan kerjasama dengan Paket 1 1 1 1
lembaga penelitian
3. Pengembangan pendidikan konservasi Paket 1 1 1 1
bagi masyarakat lokal
4. Pembentukan dan pembinaan kader- Orang 150 150 150 150
kader konservasi dan kelompok pecinta
alam

129
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

5. Pemantauan dan evaluasi kegiatan Kali 1 1 1 1


penelitian dan pengembangan serta
pendidikan konservasi

H. Pengelolaan Wisata Alam dan


Pemanfaatan Jasa Lingkungan
1. Pengembangan pemanfaatan obyek Paket 1 1 1 1
wisata alam
2. Pengembangan kerjasama pengelolaan Paket 1 1 1 1
obyek wisata alam
3. Pemberian stimulan kepada investor di Paket 1 1 1 1
bidang pengembangan wisata alam
4. Promosi produk-produk wisata alam Paket 5 5 5 5
5. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam Paket 1 1 1 1
pengembangan wisata alam
6. Pengembangan percontohan Paket 1 1 1 1
pemanfaatan jasa lingkungan

130
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

I. Pengembangan Integrasi, Koordinasi


dan Kolaborasi
1. Pengembangan pengelolaan kolaboratif Paket 1 1 1 1
obyek wisata alam di dalam kawasan
taman nasional
2. Pengembangan sistem promosi Paket 1 1 1 1
3. Pemantapan koordinasi Paket 5 5 5 5

J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah


Penyangga
1. Penyusunan master plan pembangunan Judul 1 - - 1
model desa konservasi
2. Identifikasi dan inventarisasi potensi desa- Paket 2 1 1 1
desa di dalam dan sekitar kawasan taman
nasional
3. Pembentukan Sentra Penyuluhan Paket 10 10 10 10
Kehutanan Pedesaan
4. Pembinaan usaha ekonomi produktif Paket 5 5 5 5
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
5. Pengembangan percontohan (demplot) Paket 1 2 2 2
pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati

131
Satuan Volume Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)
No. Jenis Kegiatan
Kegiatan RKL I RKL II RKL III RKL IV

6. Peningkatan kapasitas masyarakat pada Paket 2 2 2 2


daerah penyangga kawasan taman
nasional

K. Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi


Ekosistem
1. Identifikasi dan inventarisasi kerusakan Paket 1 1 1 1
habitat dan ekosistem di dalam kawasan
taman nasional
2. Monitoring habitat dan populasi jenis di Paket - 2 2 2
dalam kawasan
2. Restorasi habitat dan ekosistem Paket PM PM PM PM
3. Rehabilitasi kawasan taman nasional Ha PM PM PM PM

L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan


1. Monitoring dan evaluasi efektifitas Paket 5 5 5 5
pengelolaan taman nasional
2. Pelaporan rutin Paket 5 5 5 5

132
VII
Penutup

Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


ini merupakan pedoman dan arahan pelaksanaan pengelolaan yang masih bersifat
makro dan indikatif. Karena sifat dan cakupan dari rencana ini, maka untuk selanjutnya
masih diperlukan penjabaran lebih lanjut ke dalam rencana-rencana yang lebih rinci dan
cakupan masa perencanaannya pendek.
Rencana pengelolaan yang telah disusun ini diharapkan dapat dipedomani dengan
baik, diaplikasikan secara konsisten serta terus dimonitor pencapaian pelaksanaanya.
Perlu disadari bahwa masa perencanaan ini cukup panjang sedangkan kebijakan
pemerintah akan terus berubah dan mengarah kepada perbaikan-perbaikan di masa
yang akan datang. Review terhadap rencana ini perlu terus dilakukan agar tetap sinkron
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Daftar Pustaka

Achmad, Amran. 2001. Potensi dan Kondisi Kawasan Karst Maros-Pangkep. Prosiding
Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan
Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Alikodra, H.S.. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 1995. National Conservation Plan for Indonesia. Volume 6D Sulawesi Selatan
Province. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation
Ministry of Forestry. Jakarta.
Anonim. 2001. Kerangka Acuan (Term of Reference) Simposium Karst Maros-Pangkep.
Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan
Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era
Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III.
Makassar.
Badan Pusat Statistik. 2005. Data GIS Kemiskinan Indonesia 2005. Sub Direktorat
Pemetaan BPS. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Maros Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Maros. Maros.
Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Pangkep Dalam Angka Tahun 2007. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkajene.
Rencana Pengelolaan

Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bone Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bone. Watampone.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Formulir Data Non Spasial
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Rencana Strategis Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung 2007-2009. Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Rencana Kerja Tahun 2008.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Kondisi Kawasan Konservasi
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Laporan Tahunan 2007 Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. LAKIP Tahun 2007 Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Statistik Tahunan 2007 Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Deharveng, et al. 2007. Zoological Investigations in The Karst of South and Southeast
Sulawesi. Project Report. Museum National d’Histoire Naturelle de Paris. Paris.
Unpublished.
Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.56/Menhut-
II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Direktorat Jenderal PHPA. 1996. Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor :
129/Kpts/DJ-VI/1996 Tentang Pola Pengelolaan KSA, KPA, Taman Buru, dan
Hutan Lindung. Direktorat Jenderal PHPA, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Karim, Amiruddin. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Kabupaten Maros
Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst Maros-
Pangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep:
Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional III. Makassar.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 135


Rencana Pengelolaan

Ko, R.K.T. 2001. Kawasan Karst Maros-Pangkep, Nilai Lebihnya dalam Bidang Non
Pertambangan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju
Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World
Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Regional III. Makassar.
Lubis, M. Irfansyah, dkk. 2007. Kekayaan Jenis Herpetofauna Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor
dan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Laporan sementara. Tidak
dipublikasikan.
Mattimu, A.A., H. Sugondo dan H. Pabittei. 1977. Identifikasi dan Inventarisasi Jenis
Kupu-kupu di Daerah Bantimurung Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian
Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Nitta, K dan P. Delanghe. 2001. Introduction on Cultural and Natural World Heritage and
World Heritage in Karst Areas. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep:
Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional III. Makassar.
Palaguna, H.Z.B dan Haruna Rachman. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber
Daya Alam Karst Maros-Pangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium
Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst
Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Patappe, H.A. Gaffar. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Kabupaten Pangkep
Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst Maros-
Pangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep:
Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional III. Makassar.
Pratondo, B. J., Hadi S. Alikodra, Bambang H. Sahardjo, Priyadi Kardono. 2006. Aplikasi
Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimatan Barat). Jurnal Ilmiah
Geomatika Vol. 12 No. 2 Desember 2006. Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional. Cibinong.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 136


Rencana Pengelolaan

Samodra, Hanang. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia, Pengelolaan dan
Perlindungannya. Publikasi Khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Nomor 25 Tahun 2001. Badan Litbang ESDM Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral. Bandung.
Samodra, Hanang. 2003. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia dan Usaha
Pengelolaannya Secara Berkelanjutan. Suplemen tulisan pada Pelatihan Dasar
Geologi untuk Pecinta Alam dan Pendaki Gunung, kerjasama IAGI dengan Klub
Pecinta Alam. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Bogor.
Simanjuntak, T. 2007. Hutan Terbakar Pasti Berlalu. Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM). Tersedia online pada www.elsam.or.id diakses pada
tanggal 19 Desember 2007.
Sriyanto, Agoes. 2002. Pengelolaan Taman Nasional. Materi Pendidikan dan Pelatihan
Dasar-Dasar Konservasi. Tidak dipublikasikan.
Suhardjono, Yayuk R. Dkk. 2007. Laporan Teknik 2006. Inventarisasi dan Karakterisasi
Biota Karst dan Gua Pegunungan Sewu dan Sulawesi Selatan. Proyek 212.
Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi - LIPI.
Bogor.
Supriatna, J. 2007. Strategi Menanggulangi Kebakaran Hutan. Tropika/Conservation
International Indonesia. Tersedia online pada www.conservation.or.id diakses
pada tanggal 19 Desember 2007.
Wallace, Alfred Russel. 1890. The Malay Archipelago. Periplus Editions (HK) Ltd.
Singapore.
Whitten et al. 2002. The Ecology of Indonesia Series Volume IV: The Ecology of
Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 137


Rencana Pengelolaan

L ampir an 1 :

Wilayah Administrasi Pemerintahan

Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Keterangan

I. Maros A. Bantimurung 1. Leang-leang


2. Kalabbirang
B. Simbang 3. Jenetaesa
4. Sambueja
5. Samangki
C. Cendrana 6. Lebbotengngae
7. Labuaja
8. Limampoccoe
9. Rompegading
D. Camba 10. Pattanyamang
11. Mario Pulana
12. Pattiro
13. Cempaniga
14. Timpuseng
E. Mallawa 15. Bentenge
16. Barugae
17. Tellumpanuae
18. Sabila
19. Padaelo
20. Samaenre
21. Uludaya
22. Gattarengmatinggi
23. Wanuawaru
F. Tompobulu 24. Bontomanai
25. Bontomatinggi
26. Bontosomba
II. Pangkep G. Tondong Tallasa 27. Bantimurung
28. Malaka
29. Lanne
H. Balocci 30. Tonasa
31. Majannang
32. Balocci Baru
33. Baleanging
34. Tompobulu
I. Minasate’ne 35. Panaikang
36. Bontokio
37. Kabba
38. Biraeng
III. Bone J. Tellu Limpoe 39. Bontomasunggu
40. Polewali

Sumber : Data primer setelah diolah, 2008

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 138


Rencana Pengelolaan

L ampir an 2 :

Daftar Flora dan Fauna

A. Daftar Fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
Mamalia
1 Macaca maura √ II - ?
2 Macrogalidia musschenbroeckii √ I - ?
3 Strigocuscus celebensis √ - - ?
4 Ailurops ursinus √ - - ?
5 Cervus timorensis √ - - ?
6 Tarsius spectrum √ II - ?
Aves
7 Fregata sp. √ - - ?
8 Penelopides exarhatus √ II - ?
9 Rhyticeros cassidix √ - - ?
17 Spizaetus lanceolatus √ - - ?
10 Pycnonotus aurigaster - - √ ?
11 Saxicola caprata - - √ ?
12 Treron sp. - - √ ?
13 Dendrocarpus teiminkii - - √ ?
14 Collocalia sp - - √ ?
15 Collocalia esculenta - - √ ?
16 Otus manadensis - - √ ?
17 Loncura molluca - - √ ?
18 Loncura malacca - - √ ?
19 Loncura vallida - - √ ?
20 Turacaena manadensis - - √ ?
21 Tanignatus sumatranus √ - - ?
22 Ghallus gallus - - √ ?
23 Halcyon cloris √ - - ?
24 Oriolus chinensis - - √ ?
25 Ardea purpurea - - √ ?
26 Egretta sacra √ - - ?
27 Bubulcus ibis - III √ ?
28 Ardeola speciosa √ - - ?
29 Butorides striatus - - √ ?
30 Nycticorax caledonicus √ - - ?
31 Ixobrychus cinnamomeus - - √ ?
32 Spilornis rufipectus √ - - ?
33 Ictinaetus malayensis √ - - ?
34 Falco peregrinus √ II - ?
35 Turnix suscitator - - √ ?
36 Pluvialis fulva - - √ ?
37 Arenaria interpres - - √ ?
38 Tringa ochropus - - √ ?
39 Tringa glareola - - √ ?
40 Actitis hypleuca - - √ ?
41 Himantopus leucocephalus √ - - ?
42 Numenius phaepus √ - - ?
43 Ptilinopus melanospila - - √ ?
44 Trichoglossus ornatus √ - - ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 139


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
45 Loriculus stigmatus - - √ ?
46 Phaenicophaeus calyorhynchus - - √ ?
47 Centropus celebensis - - √ ?
48 Centropus bengalensis - - √ ?
49 Caprimulgus affinis - - √ ?
50 Apus affinis - - √ ?
51 Actenoides monachus - - √ ?
52 Alcedo meninting √ - - ?
53 Merops philippinus - - √ ?
54 Merops ornatus - - √ ?
55 Coracias temminckii - - √ ?
56 Mulleripicus fulvus - - √ ?
57 Hirundo tahitica - - √ ?
58 Coracina morio - - √ ?
59 Lalage leucopygialis - - √ ?
60 Lalage sueurii - - √ ?
61 Dicrurus hottentottus - - √ ?
62 Oriolus chinensis - - √ ?
63 Corvus typicus - - √ ?
64 Trichastoma celebense - - √ ?
65 Zosterops chloris - - √ ?
66 Zosterops anomalus - - √ ?
67 Cyornis rufigastra - - √ ?
68 Hypothymis azurea - - √ ?
69 Artamus leucorynchus - - √ ?
70 Streptocitta albicollis - - √ ?
71 Basilornis celebensis - - √ ?
72 Myzomela saguinolenta √ - - ?
73 Nectarinia aspasia √ - - ?
74 Nectarinia jugularis √ - - ?
75 Aethopyga siparaja √ - - ?
76 Dicaeum aureolimbatum - - √ ?
77 Dicaeum celebicum - - √ ?
78 Passer montanus - - √ ?
79 Padda oryzivora - II √ ?
Amphibi
80 Bufo melanostictus - - √ ?
81 Bufo celebensis - - √ ?
82 Phryne sp - - √ ?
83 Polypedates leucomystax - - √ ?
84 Fejervarya limnocharis - - √ ?
85 Fejervarya crancrivora - - √ ?
86 Rana celebensis - - √ ?
Reptilia
87 Eutropis rudis - - √ ?
88 Sphenomorphus variegans - - √ ?
89 Sphenomorphus variagatum - - √ ?
90 Lamprolepis smaragdinum - - √ ?
91 Cyrtodactylus jellesmae - - √ ?
92 Cyrtodactylus sp - - √ ?
93 Draco sp - - √ ?
94 Draco volans - - √ ?
95 Hydrosaurus amboinensis √ - - ?
96 Ahaetulla prasina - - √ ?
97 Boiga dendrophyla - - √ ?
98 Boiga irregularis - - √ ?
99 Dendrelaphis pictus - - √ ?
100 Rhapdophis chrysargoides - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 140


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
101 Psammodynastes pulverulentus - - √ ?
102 Tropidolaemus wagleri - - √ ?
103 Ramphotyphlops braminus - - √ ?
104 Python reticulatus - II √ ?
105 Varanus salvator - - √ ?
Insecta
106 Morphotaenaris schoembargi - - √ ?
107 Faunis menado - - √ ?
108 Taenaris catops leanas - - √ ?
109 Danaus chrysippus - - √ ?
110 Danaus genetia - - √ ?
111 Danaus melucina cythia - - √ ?
112 Eupoea algae - - √ ?
113 Eupoea blossomae - - √ ?
114 Eupoea fibrician - - √ ?
115 Eupoea leucostictos - - √ ?
116 Eupoea modesta lagans - - √ ?
117 Eupoea phaenereta unibrunnea - - √ ?
118 Eupoea wallacei - - √ ?
119 Eupoea sp - - √ ?
120 Eupoea sp - - √ ?
121 Idea blanchardi - - √ ?
122 Idea tambusisi - - √ ?
123 Idea idea - - √ ?
124 Idea idea oza - - √ ?
125 Idea novella - - √ ?
126 Ideopsis juventa - - √ ?
127 Ideopsis klassica - - √ ?
128 Ideopsis vitrea - - √ ?
129 Ideopsis sp - - √ ?
130 Parantica aspasia - - √ ?
131 Parantica cleona - - √ ?
132 Pareronia valeria - - √ ?
133 Lybithea geoffreyi - - √ ?
134 Lybithea geoffreyi antipoda - - √ ?
135 Azanus moriqua - - √ ?
136 Bindahara phocides - - √ ?
137 Denorix epiyarbas - - √ ?
138 Freyeria trochilus - - √ ?
139 Hypochrysops mioswara - - √ ?
140 Jamides cyta amphissina - - √ ?
141 Liphyra brassoli - - √ ?
142 Argynnis sp - - √ ?
143 Argyreus hyperbius - - √ ?
144 Argyreus hyperbius inconstan - - √ ?
145 Cethosia myrina √ - - ?
146 Cethosia biblis - - √ ?
147 Charaxes solon - - √ ?
148 Charaxes affinis - - √ ?
149 Charaxes nitebis - - √ ?
150 Cirrochroa regina filder - - √ ?
151 Cirrochroa regina princesa - - √ ?
152 Cupha erymanthis - - √ ?
153 Cupha maedonis - - √ ?
154 Cyrestis acilia - - √ ?
155 Cyrestis thyenneus - - √ ?
156 Cyrestis strigata - - √ ?
157 Euthalia aetes - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 141


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
158 Euthalia amanda - - √ ?
159 Euripus robustus - - √ ?
160 Hypolimnas bolina - - √ ?
161 Hypolimnas domea - - √ ?
162 Helcyra celebensis - - √ ?
163 Junenia almana - - √ ?
164 Junenia atlites - - √ ?
165 Junenia orithya - - √ ?
166 Junenia erigone - - √ ?
167 Junenia hedonia - - √ ?
168 Limenitis lymire - - √ ?
169 Melanitis ismene - - √ ?
170 Mycalesis duphonceli - - √ ?
171 Mycalesis malsarida - - √ ?
172 Neptis nandina - - √ ?
173 Neptis praslini - - √ ?
174 Parthenos silvia - - √ ?
175 Parthenos tigriana - - √ ?
176 Phalanta alcippe araca - - √ ?
177 Polyura clitarchus - - √ ?
178 Polyura alpius - - √ ?
179 Polyura cognata - - √ ?
180 Pontoporia eulimene baudora - - √ ?
181 Rohana macar - - √ ?
182 Vagrans egista - - √ ?
183 Vindula cycnei - - √ ?
184 Vindula erota - - √ ?
185 Vindula erota cycnea - - √ ?
186 Vindula erota ricussa - - √ ?
187 Vindula sp - - √ ?
188 Yoma sabina sabina - - √ ?
189 Yoma algina - - √ ?
190 Yanesa buana - ?
191 Papilio peranthus - - √ ?
192 Papilio gigon - - √ ?
193 Papilio sataspes - - √ ?
194 Papilio ascalapus - - √ ?
195 Papilio fuscus - - √ ?
196 Papilio polytes - - √ ?
197 Papilio adamanthus - - √ ?
198 Papilio albinos - - √ ?
199 Papilio blumei - - √ ?
200 Papilio canopsis - - √ ?
201 Papilio castor - - √ ?
202 Papilio cedrusmedon - - √ ?
203 Papilio deiphobus dliphylus - - √ ?
204 Papilio galucus turnus - - √ ?
205 Papilio lorquinianus - - √ ?
206 Papilio lowii - - √ ?
207 Papilio memnon - - √ ?
208 Papilio polites - - √ ?
209 Papilio polyphontes - - √ ?
210 Papilio sarpedon - - √ ?
211 Troides hipolythus √ II - ?
212 Troides helena √ II - ?
213 Troides haliphron √ II - ?
214 Graphium androcles - - √ ?
215 Graphium cordus - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 142


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
216 Graphium eupharates - - √ ?
217 Graphium euryphylus - - √ ?
218 Graphium milon - - √ ?
219 Graphium agamemnon - - √ ?
220 Graphium doson - - √ ?
221 Graphium mendana - - √ ?
222 Graphium meyery - - √ ?
228 Graphium rhesus - - √ ?
229 Graphium deucalion - - √ ?
230 Graphium sarpedon - - √ ?
231 Graphium tilacha - - √ ?
232 Atrophaneura dixoni - - √ ?
233 Lamproptera meges - - √ ?
234 Pachlioca iris - - √ ?
235 Appias albina - - √ ?
236 Appias celastina - - √ ?
237 Appias lyncida - - √ ?
238 Appias nero - - √ ?
239 Appias paulina - - √ ?
240 Appias placidia - - √ ?
241 Appias zarinda - - √ ?
242 Appias hombroni - - √ ?
243 Amathusia phidippus - - √ ?
244 Delias alepa - - √ ?
245 Delias hapalina - - √ ?
246 Delias hyparete - - √ ?
247 Delias isocharis - - √ ?
248 Delias melusina - - √ ?
249 Delias mesebloma - - √ ?
250 Delias omytion - - √ ?
251 Delias pasithoe - - √ ?
252 Delias poecilia - - √ ?
253 Cepora celebensis - - √ ?
254 Cepora timnatha - - √ ?
255 Chirrochoa semiramis - - √ ?
256 Chirrochoa thule - - √ ?
257 Delias rosenbergi - - √ ?
258 Euploea eupator - - √ ?
259 Euploea eleusina - - √ ?
260 Euploea hewitsoni - - √ ?
261 Euploea algea - - √ ?
262 Euploea westwodi - - √ ?
263 Delias sacha - - √ ?
264 Delias zebuda - - √ ?
265 Delias shupi - - √ ?
266 Dixeia doxo costata - - √ ?
267 Discopora bambusa - - √ ?
268 Elodina equatia - - √ ?
269 Eurema candida - - √ ?
270 Eurema drona - - √ ?
271 Eurema celebensis - - √ ?
272 Gandaca harina niguina - - √ ?
273 Hebomia glaucippe - - √ ?
274 Hebomia glaucippe aurantiaca - - √ ?
275 Hebomia leucippe daemonis - - √ ?
276 Hestina divona - - √ ?
277 Ixias reinwardti - - √ ?
278 Ixias vollenhovii - - √ ?
279 Leptosias nina - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 143


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
280 Lamesia lyncides - - √ ?
281 Papreronia valeria - - √ ?
282 Saletara cyninna - - √ ?
283 Saletara leberia - - √ ?
284 Saletara panda - - √ ?
285 Terias candida - - √ ?
286 Terinos taxiles - - √ ?
287 Tirumala choaspes - - √ ?
288 Tirumala hamata - - √ ?
289 Tacola eulimine - - √ ?
290 Valeria argotis - - √ ?
291 Valeria chinki - - √ ?
292 Valeria jobaea abiiana - - √ ?
293 Dicalleneura ekeike - - √ ?
294 Dicalleneura rebbei arfalensis - - √ ?
295 Praetaxilla segesia cariya - - √ ?
296 Praetaxilla statira dhyana - - √ ?
297 Praetaxilla statira statira - - √ ?
298 Attacus atlas - - √ ?
299 Elymnias thryallis - - √ ?
300 Elymnias hewitsoni - - √ ?
301 Geitoneura mynyas - - √ ?
302 Melanitis leda - - √ ?
303 Melanitis velutina - √ ?
304 Mycalesis sirius - - √ ?
305 Batocera sp. - - √ ?
306 Aegus sp. - - √ ?
307 Catopsilia scylla - - √ ?
308 Catopsilia pomona - - √ ?
309 Pareronia tritaea - - √ ?
310 Parthenos sylvia - - √ ?
311 Dichorragia sp - - √ ?
312 Doleshallia bisaltios - - √ ?
313 Estina divona - - √ ?
314 Hypolimnas diomea - - √ ?
315 Lexias aetes - - √ ?
316 Moduza procris - - √ ?
317 Moduza lymire - - √ ?
318 Moduza libinites - - √ ?
319 Moduza licone - - √ ?
320 Mynes talboti - - √ ?
321 Mynes geoffroyi - - √ ?
322 Parthenos tigrina - - √ ?
323 Prothoe frank - - √ ?
324 Rhinipalpa polynice - - √ ?
325 Gehyra matilata - - √ ?
326 Mubaya rudis - - √ ?
327 Cosymbatus sp - - √ ?
328 Pachliopta polyponthes - - √ ?
329 Deudorix epijarbus - - √ ?
Collembola, Pisces, Moluska
dan lain-lain
330 Aracnida - - √ ?
331 Collembola - - √ ?
333 Polydesmida - - √ ?
333 Trombididoee - - √ ?
334 Armadillidia - - √ ?
335 Doratodesmidae - - √ ?
336 Amblipigii - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 144


Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
Prediksi
No. Jenis Fauna
UU 5 / Tidak Populasi
CITES
1990 dilindungi
337 Heteropodidae - - √ ?
338 Scutigeridae - - √ ?
339 Rhaphidophora - - √ ?
340 Pnaria sp - - √ ?
341 Eustra sp - - √ ?
342 Eustra saripaensis - - √ ?
343 Cyclotus longipilus - - √ ?
344 Cyclotus politus - - √ ?
345 Cyclotus guttatus - - √ ?
346 Hesta sp - - √ ?
347 Planispira - - √ ?
348 Leptopoma celebesianum - - √ ?
349 Trichoptera - - √ ?
350 Cancrocaeca xenomorpha - - √ ?
351 Bostrychus sp 1 - - √ ?
352 Bostrychus sp 2 - - √ ?
353 Cirolana marosina - - √ ?
354 Marosina longirostris - - √ ?
355 Marosina brevirostris - - √ ?
356 Pseudosinella maros - - √ ?

Sumber : Data Primer BTN Babul dan dihimpun dari berbagai sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 145


Rencana Pengelolaan

B. Daftar Flora Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Status perlindungan
Prediksi
No. Jenis Flora UU Tidak
CITES populasi
5/1990 dilindungi
1 Agathis philippinensis - - √ ?
2 Arthocarpus integra - - √ ?
3 Arthocarpus communis - - √ ?
4 Arthocarpus altiliis - - √ ?
5 Arthocarpus elestica - - √ ?
6 Arthocarpus incise - - √ ?
7 Anthochepalus cadamba - - √ ?
8 Anthochepalus macrophyllus - - √ ?
9 Alstonia scholaris - - √ ?
10 Anacardium occidentale - - √ ?
11 Albizia saponaria - - √ ?
12 Arenga pinnata - - √ ?
13 Aleurites moluccana - - √ ?
14 Annona muricata - - √ ?
15 Aglaia lawii - - √ ?
16 Aglaia odorattisima - - √ ?
17 Aglaia tomentosa - - √ ?
18 Aglaia korthalsii - - √ ?
19 Aglaia argentea - - √ ?
20 Aglaia ganggo - - √ ?
21 Aglaia sp - - √ ?
22 Archidendron sp - - √ ?
23 Actinodaphne sp - - √ ?
24 Abelmoschus moschatus - - √ ?
25 Acmena acuminatissima - - √ ?
26 Adina sp - - √ ?
27 Alchornea rugosa - - √ ?
28 Antiaris taxicaria - - √ ?
29 Antidesma montanum - - √ ?
30 Apania senegalensis - - √ ?
31 Aporosa sp - - √ ?
32 Arcangelisia flava - - √ ?
33 Ardicia lanceolata - - √ ?
34 Alangium salvinifolium - - √ ?
35 Allophylus cobbe - - √ ?
36 Aphanamixis polystachya - - √ ?
37 Ardisia sp - - √ ?
38 Alsodaphne sp - - √ ?
39 Alphitonia incana - - √ ?
40 Aralia sp - - √ ?
41 Buchanania arborescens - - √ ?
42 Bombax malabaricum - - √ ?
43 Bambusa sp - - √ ?
44 Bauhunia arborea - - √ ?
45 Baringtonia asiatica - - √ ?
46 Baccauirea sp - - √ ?
47 Bischofia javanica - - √ ?
48 Breidelia insulana - - √ ?
49 Beilschmiedia gemmiflora - - √ ?
50 Beilschmiedia sp - - √ ?
51 Breynia virgata - - √ ?
52 Casuarina junghuhniana - - √ ?
53 Castanea acuminatissima - - √ ?
54 Colona sp - - √ ?
55 Cananga odorata - - √ ?
56 Calophyllum inophyllum - - √ ?
57 Calophylum sp - - √ ?
58 Klenhovia hospita - - √ ?
59 Ceiba petandra - - √ ?
60 Citronella suaveoleus - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 146


Rencana Pengelolaan

Status perlindungan
Prediksi
No. Jenis Flora UU Tidak
CITES populasi
5/1990 dilindungi
61 Citronella sp - - √ ?
62 Chionanthus celebicus - - √ ?
63 Cinnamomum sp - - √ ?
64 Cynometra ramiflora - - √ ?
65 Chionanthus ramiflora - - √ ?
66 Cratoxylon cochinchinensis - - √ ?
67 Claoxylon sp - - √ ?
68 Clorodendrum sp - - √ ?
69 Canarium balsamiferum - - √ ?
70 Canarium maluence - - √ ?
71 Canthium didyma - - √ ?
72 Caryota mitis - - √ ?
73 Cassia siamea - - √ ?
74 Celtis cinamomea - - √ ?
75 Cleistanthus myrianthus - - √ ?
76 Canthium didyma - - √ ?
77 Chisocheton ceramicus - - √ ?
78 Codiaeum variegatum - - √ ?
79 Castanopsis buruana - - √ ?
80 Castanopsis sp - - √ ?
81 Coffea sp - - √ ?
82 Caseria grewiaefolia - - √ ?
83 Duabanga moluccana - - √ ?
84 Dracontomelon dao - - √ ?
85 Dracontomelon mangiferum - - √ ?
86 Dillenia serrata - - √ ?
87 Diospyros celebica √ - - ?
88 Diospyros ferrea - - √ ?
89 Diospyros korthalsiana - - √ ?
90 Diospyros venenosa - - √ ?
91 Dracaena multiflora - - √ ?
92 Dehaasia caesia - - √ ?
93 Dehaasia celebica - - √ ?
94 Didymocheton nutans - - √ ?
95 Drypetes glabridiscus - - √ ?
96 Drypetes globosa - - √ ?
97 Drypetes longifolia - - √ ?
98 Drypetes subcubica - - √ ?
99 Drypetes sp - - √ ?
100 Dysoxylum densiflorum - - √ ?
101 Denrocdine stimulans - - √ ?
102 Derris trifoliate lour - - √ ?
103 Dolichandrone spathacea - - √ ?
104 Elmerillia sp - - √ ?
105 Eucalyptus deglupta - - √ ?
106 Eugenia jambolana - - √ ?
107 Eugenia acuminatissima - - √ ?
108 Eugenia cuminii - - √ ?
109 Eugenia everettii - - √ ?
110 Eugenia polycephaloides - - √ ?
111 Euonymus javanicus - - √ ?
112 Elastostema sinuatum - - √ ?
113 Euvodia accendens - - √ ?
114 Eupotarium odoratum - - √ ?
115 Exocarpus latifolius - - √ ?
116 Erythrina pusca - - √ ?
117 Ellatostachys verrucosa - - √ ?
118 Endiandra rubescens - - √ ?
119 Ficus benjamina - - √ ?
120 Ficus variegata - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 147


Rencana Pengelolaan

Status perlindungan
Prediksi
No. Jenis Flora UU Tidak
CITES populasi
5/1990 dilindungi
121 Ficus deltoidea - - √ ?
122 Ficus subulata - - √ ?
123 Ficus obcsura - - √ ?
124 Ficus subtrinervia - - √ ?
125 Ficus callosa - - √ ?
126 Ficus anastomosans - - √ ?
127 Ficus grewiifolia - - √ ?
128 Ficus pisifera - - √ ?
129 Ficus tinctoria - - √ ?
130 Ficus virgata - - √ ?
131 Ficus ampelas - - √ ?
132 Ficus copiosa - - √ ?
133 Ficus cumingii - - √ ?
134 Ficus elmeri - - √ ?
135 Ficus gul - - √ ?
136 Ficus heteropoda - - √ ?
137 Ficus adenosperma - - √ ?
138 Ficus fistulosa - - √ ?
139 Ficus hispida - - √ ?
140 Ficus septica - - √ ?
141 Ficus racemosa - - √ ?
142 Ficus elestica - - √ ?
143 Ficus miguelii - - √ ?
44 Ficus callophylla - - √ ?
145 Ficus chrsolepis - - √ ?
146 Ficus cordatula - - √ ?
147 Ficus crassiramea - - √ ?
148 Ficus forstenii - - √ ?
149 Ficus lawesii - - √ ?
150 Ficus microcarpa - - √ ?
151 Ficus subcordata - - √ ?
152 Ficus sumatrana - - √ ?
153 Ficus virens - - √ ?
154 Ficus superba - - √ ?
155 Ganopyllum falcatum - - √ ?
156 Ganopyllum sp - - √ ?
157 Garcinia mangostana - - √ ?
158 Garcinia gaudichaudii - - √ ?
159 Garcinia laterriflora - - √ ?
160 Garcinia forbesi - - √ ?
161 Garuga floribunda - - √ ?
162 Gnetum gnemon - - √ ?
163 Grewia acuminata - - √ ?
164 Gendarussa vulgaris - - √ ?
165 Gomphandraa mappioides - - √ ?
166 Gluta rengas - - √ ?
167 Glycosmis cochinchinensis - - √ ?
168 Glycosmis pentapyllla - - √ ?
169 Glycosmis sp - - √ ?
170 Hernandia sp - - √ ?
171 Hymenodyction excelsum - - √ ?
172 Heriteria littorolis - - √ ?
173 Hopea celebica - - √ ?
174 Heckeria umbellata - - √ ?
175 Hydnocarpus heterophylla - - √ ?
176 Horsfieldia sp - - √ ?
177 Homalium celebicum - - √ ?
178 Ixora gandifolia - - √ ?
179 Ixora javanica - - √ ?
180 Ixora timorensis desaisne - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 148


Rencana Pengelolaan

Status perlindungan
Prediksi
No. Jenis Flora UU Tidak
CITES populasi
5/1990 dilindungi
181 Ixonanthes petiolaris - - √ ?
182 Itoa stapffi - - √ ?
183 Jatropa curcas - - √ ?
184 Knema cinerea - - √ ?
185 Kadsura sp - - √ ?
186 Laportea stimulans - - √ ?
187 Leea indica - - √ ?
188 Leea angulata - - √ ?
189 Lepiniopsis ternatensisi - - √ ?
190 Lepisanthes fruticosa - - √ ?
191 Lepisanthes sp - - √ ?
192 Leucosyke capitellata - - √ ?
193 Lagerstromia speciosa - - √ ?
194 Lagerstromia ovatifolia - - √ ?
195 Lantana camara - - √ ?
196 Lysianthes sp - - √ ?
197 Litsea mappacea - - √ ?
198 Litsea timoriana - - √ ?
199 Litsea sp - - √ ?
200 Mangifera indica - - √ ?
201 Mangifera foetida - - √ ?
202 Mangifera pedicellata - - √ ?
203 Myristica fragras - - √ ?
204 Mollutus floribondus - - √ ?
205 Mollutus subpeltatus - - √ ?
206 Mollotus sp - - √ ?
207 Macaranga gigantea - - √ ?
208 Matthaea sansta - - √ ?
209 Meliosma nitida - - √ ?
210 Memecylon edule - - √ ?
211 Maranthes corymbosa - - √ ?
212 Nauclea orientalis - - √ ?
213 Nephelium lappaceum - - √ ?
214 Orophea celebica - - √ ?
215 Orophea hexandra - - √ ?
216 Octomeles sumatrana - - √ ?
217 Pangium edule - - √ ?
218 Pangium obovatum - - √ ?
219 Pinus merkusii - - √ ?
220 Pandanus sp - - √ ?
221 Palaquium obtusifolium - - √ ?
222 Palaquium obovatum - - √ ?
223 Pterocarpus indicus - - √ ?
224 Pometia pinnata - - √ ?
225 Pterospermum celebicum - - √ ?
226 Pterospermum diversifolium - - √ ?
227 Pterospermum javanicum - - √ ?
228 Pometia acuminate - - √ ?
229 Pometia serrata - - √ ?
230 Polyalthia celebica - - √ ?
231 Polyalthia coffeoides - - √ ?
232 Polyalthia sp - - √ ?
233 Polycias nodusa - - √ ?
234 Pimeleodendron ambainicum - - √ ?
235 Pseudoclausena chrisogyne - - √ ?
236 Planchonia valida - - √ ?
237 Planchonia natida - - √ ?
238 Pisonia umbelifera - - √ ?
239 Premna sp - - √ ?
240 Psychotria sp - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 149


Rencana Pengelolaan

Status perlindungan
Prediksi
No. Jenis Flora UU Tidak
CITES populasi
5/1990 dilindungi
241 Plectronia glabra - - √ ?
242 Plectronia sp - - √ ?
243 Riporosa caesia - - √ ?
244 Phaleria capitata - - √ ?
245 Picrasma javanica - - √ ?
246 Pittosporum ramiflorum - - √ ?
247 Poikilospermum sp - - √ ?
248 Popowia sp - - √ ?
249 Pothos rumpii - - √ ?
250 Pavetta sp - - √ ?
251 Podocarpus neriifolius - III √ ?
252 Podocarpus imbricatus - - √ ?
253 Podocarpus sp - - √ ?
254 Phyllocladus hypophyllus - - √ ?
255 Planchonella moluccana - - √ ?
256 Planchonella firma - - √ ?
257 Pterocymbium javanicum - - √ ?
258 Schleichera oleosa - - √ ?
259 Spatudea campanulata - - √ ?
260 Sterqulia foetida - - √ ?
261 Sterqulia comosa - - √ ?
262 Sterqulia insularis - - √ ?
263 Sterqulia oblongata - - √ ?
264 Samanea saman - - √ ?
265 Swietenia macrophylla - II √ ?
266 Spondias pinnata - - √ ?
267 Schefflera polybatrya - - √ ?
268 Schefflera elliptica - - √ ?
269 Sageraea lanceolata - - √ ?
270 Sagerae glabra - - √ ?
271 Solacia sp - - √ ?
272 Santiria laevigata - - √ ?
273 Santiria sp - - √ ?
274 Scolopia spinosa - - √ ?
275 Sloetia sp - - √ ?
276 Strobilanthes blumei - - √ ?
277 Semecarpus sp - - √ ?
278 Tristania sp - - √ ?
279 Tamarindus indicus - - √ ?
280 Tectona grandis - - √ ?
281 Talauma singaporensis - - √ ?
282 Terminalia microcarpa - - √ ?
283 Terminalia sp - - √ ?
284 Tetrameles nudiflora - - √ ?
285 Tarenna teysmanii - - √ ?
286 Tarenna sp - - √ ?
287 Timonius sp - - √ ?
288 Tricalysia singularis - - √ ?
289 Tristiropsis canaroides - - √ ?
290 Tristiropsis sp - - √ ?
291 Trichospermum pleiostigma - - √ ?
292 Tabarnaemontana sp - - √ ?
293 Tomoniu sp - - √ ?
294 Vatica sp - - √ ?
295 Vitex cofassus - - √ ?
296 Vitex pubescens - - √ ?
297 Villebrunea rubescens - - √ ?
298 Vernonia arborea - - √ ?
299 Walsura pinnata - - √ ?
300 Wrightia pubescens - - √ ?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 150


Rencana Pengelolaan

Status perlindungan
Prediksi
No. Jenis Flora UU Tidak
CITES populasi
5/1990 dilindungi
301 Xanthophyllum sp - - √ ?
302 Xylopia sp - - √ ?

Sumber : Data Primer BTN Babul dan dihimpun dari berbagai sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 151

Anda mungkin juga menyukai