Anda di halaman 1dari 160

DEPARTEMEN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

BALAI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG


Jl. Poros Maros Bone Km. 12 Bantimurung Telp. : (0411) 3880252, 3881699 Fax : (0411) 3880139
Email : tnbabul@tnbabul.org Website : www.tnbabul.org

M A R O S

RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG


TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
PERIODE 2008 2027
KABUPATEN MAROS DAN PANGKEP
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Maros, Juni 2008

RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG


TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
PERIODE 2008 2027
KABUPATEN MAROS DAN PANGKEP
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Dinilai di
Pada Tanggal

:
:

Jakarta

Disusun di
Pada Tanggal

: Maros
: 27 Juni 2008

Oleh :

Oleh :

Direktur Konservasi Kawasan

Kepala Balai Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung

Ir. Noor Hidayat, M.Sc


NIP. 080044011

Ir. D a r s o n o
NIP. 710007319

Disahkan di : Jakarta
Pada Tanggal :
Oleh :
Direktur Jenderal PHKA
Departemen Kehutanan

Ir. Darori, MM
NIP. 080049355

Rencana Pengelolaan

Ringkasan Eksekutif
Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah menetapkan
beberapa bagian dari kawasan hutan sebagai kawasan konservasi. Kawasan
konservasi sendiri, berdasarkan fungsi pokoknya dibagi menjadi kawasan suaka
alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman
nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya) serta taman buru.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas 43.750 Ha yang
terletak di wilayah administratif Kabupaten Maros dan Pangkep Provinsi Sulawesi
Selatan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Sebelum berubah
fungsi menjadi taman nasional, kawasan ini berfungsi sebagai cagar alam seluas
10.282,65 Ha, taman wisata alam seluas 1.624,25 Ha, hutan lindung seluas
21.343,10 Ha, hutan produksi tetap seluas 10.355 Ha serta hutan produksi
terbatas seluas 145 Ha. Alih fungsi kawasan-kawasan tersebut menjadi taman
nasional didasarkan atas pertimbangan bahwa : kawasan tersebut merupakan
ekosistem karst yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan jenisjenis flora dan fauna endemik, unik dan langka; keunikan fenomena alam yang
khas dan indah; serta ditujukan untuk perlindungan sistem tata air.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan segala potensi,
keunikan dan permasalahannya perlu dikelola sesuai kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan. Agar pengelolaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien,
maka tujuan, sasaran dan langkah-langkah implementasi pencapaiannya harus
dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi pedoman dan arahan dalam
pengelolaan jangka panjang.
Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung merupakan pedoman dan arahan pengelolaan dalam kurun waktu
20 tahun terhitung sejak tahun 2008 sampai dengan 2027. Rencana pengelolaan
ini bersifat komprehensif dan indikatif dengan tahapan pelaksanaannya yang
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

dikelompokkan kedalam rencana karya lima tahunan (RKL) I, II, III dan IV,
berdasarkan skala prioritas dan urutan kegiatan. Tahapan pelaksanaan kegiatan
untuk pencapaian tujuan dan sasaran pengelolaan juga dirumuskan dengan
mempertimbangkan potensi kawasan, kondisi ekosistem, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan beserta permasalahannya,
serta prediksi kondisi di masa yang akan datang.
Rencana pengelolaan ini menguraikan kondisi biofisik kawasan, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, kondisi
pengelolaan saat ini, permasalahan-permasalahan yang dihadapi, kebijakan
pemerintah yang terkait dengan pengelolaan taman nasional (baik di tingkat
regional maupun nasional), visi dan misi pengelolaan, hasil-hasil analisa dan
proyeksi, serta rencana kegiatan pengelolaan yang akan dilaksanakan dalam
kurun waktu 20 tahun ke depan.
Berdasarkan hasil-hasil evaluasi dan analisa lebih lanjut atas data dan
informasi serta kondisi faktual dan permasalahan pengelolaan kawasan secara
menyeluruh, maka disusunlah rancangan kegiatan pengelolaan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung secara makro dan indikatif yang memuat seluruh
aspek pengelolaan menuju taman nasional yang mandiri, mantap, lestari, serasi
dan harmonis bersama para stakeholder terkait. Aspek-aspek pengelolaan yang
termuat di dalam rencana pengelolaan jangka panjang ini terdiri dari upaya
pemantapan kawasan, pemantapan perencanaan pengelolaan, pengembangan
sarana dan prasarana pengelolaan, pengembangan pengelolaan data dan
informasi, pengelolaan potensi kawasan, upaya perlindungan dan pengamanan
kawasan, pengembangan pengelolaan kegiatan penelitian dan pendidikan,
pengelolaan wisata alam dan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan,
upaya pengembangan dan pemantapan koordinasi, integrasi dan kolaborasi,
upaya pengembangan dan pembinaan daerah penyangga kawasan, upaya
restorasi, rehabilitasi dan reklamasi ekosistem, serta upaya-upaya monitoring
dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

ii

Rencana Pengelolaan

Tim Penyusun
Penanggung Jawab : Ir. Darsono (Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung)
Tim Pengarah

: 1. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc (Fakultas Kehutanan


Universitas Hasanuddin)
2. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Sc (Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin)
3. Ir. Sri Winenang, MM
4. Ir. Suminarto (Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung)
5. Abdul Rajab, S.TP (Kepala Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah I Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung)
6. Dedy Asriady, S.Si (Kepala Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah II Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung)

Tim Pelaksana

Iskandar, S.Hut

Hariady Siswantoro, S.Si

Siti Maryam, S.Pi

Erna Ristyanti, SP

Suci A. Handayani, S.Hut

Ida Parida, S.Hut

Yopi Bali, S.TP

Mahdi, S.Hut

Iqbal A. Rasjid, S.Pt

Nur Buana, S.Hut

Chaeril, S.Hut

Sahruddin, S.Hut

Tahari, S.Hut

Rusman Mulyadi

Usman, S.Hut

Saiful Bachri

Safiuddin, S.Hut

Samsuriati Ahmad

Muh. Nur Hidayat

Alamsyah

Muh. Yunus

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

iii

Rencana Pengelolaan

Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karuniaNya yang telah diberikan kepada kami semua sehingga
dapat menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung Periode 2008 2027.
Penyusunan rencana pengelolaan ini memerlukan proses yang cukup panjang
dengan tidak sedikit sumber daya yang dicurahkan dalam pelaksanaannya. Sejak
pertengahan tahun 2006 telah dilakukan pengumpulan data dan informasi primer dan
sekunder serta penyusunan draft rencana pengelolaan ini. Pada tahun 2007, dilakukan
penyempurnaan-penyempurnaan dengan memanfaatkan data dan informasi terbaru,
hasil-hasil kajian di lingkup internal dan eksternal Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, serta hasil-hasil konsultasi publik yang diadakan pada berbagai tingkatan
(kalangan masyarakat dan birokrasi di tingkat kabupaten dan provinsi). Pada tahun 2008,
draft rencana pengelolaan jangka panjang ini kemudian kembali dicermati dan
disempurnakan karena banyaknya data dan informasi yang perlu diperbaharui serta
dengan memperhatikan perubahan kebijakan-kebijakan pembangunan, baik di tingkat
nasional maupun di tingkat regional.
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Periode 2008 2027 disusun berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor :
59/Kpts/DJ-VI/1993 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman
Nasional dan Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor : 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang
Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan
Hutan Lindung. Dalam perjalanannya, muatan dari rencana pengelolaan ini kemudian
disempurnakan dengan berpedoman pada draft Peraturan Menteri Kehutanan tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Kami sangat mengharapkan rencana pengelolaan ini dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien, serta diperoleh hasil dan manfaat yang optimal. Kepada seluruh pihak
yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan rencana
pengelolaan ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas kerja
kerasnya selama ini. Akhir kata, semoga rencana pengelolaan ini dapat bermanfaat.

Maros, 27 Juni 2008


Kepala Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung

Darsono
NIP. 710007319

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

iv

Rencana Pengelolaan

Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif........................................................................................................
Tim Penyusun .................................................................................................................
Kata Pengantar ...............................................................................................................
Daftar Isi ..........................................................................................................................
Daftar Tabel ....................................................................................................................

i
iii
iv
v
vi

I.

PENDAHULUAN.......................................................................................................
A. Latar Belakang ...................................................................................................
B. Maksud dan Tujuan............................................................................................
C. Ruang Lingkup ...................................................................................................
D. Batasan Pengertian............................................................................................

1
1
3
4
5

II. DESKRIPSI KAWASAN ...........................................................................................


A. Risalah Kawasan ...............................................................................................
B. Kondisi Umum Kawasan ....................................................................................
C. Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat .........................................................
D. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Telah Berkembang .............................
E. Kelembagaan Masyarakat .................................................................................
F. Permasalahan Kawasan ....................................................................................

8
8
27
43
47
49
49

III. KEBIJAKAN .............................................................................................................. 53


A. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional ........................................................... 53
B. Kebijakan Pembangunan Daerah ...................................................................... 86
IV. VISI DAN MISI PENGELOLAAN .............................................................................. 93
A. Visi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung .......................... 93
B. Misi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.......................... 94
V. ANALISA DAN PROYEKSI ...................................................................................... 98
A. Faktor Kekuatan, Kendala, Peluang dan Tantangan......................................... 98
B. Analisa ............................................................................................................... 99
VI. RENCANA KEGIATAN............................................................................................. 102
A. Pemantapan Kawasan ....................................................................................... 102
B. Perencanaan...................................................................................................... 105
C. Pengembangan Sarana dan Prasarana ............................................................ 106
D. Pengelolaan Data dan Informasi........................................................................ 106
E. Pengelolaan Potensi Kawasan .......................................................................... 107
F. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan......................................................... 110
G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan ............................................. 113
H. Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan ........................ 114
I. Pengembangan Integrasi, Koordinasi, dan Kolaborasi...................................... 118
J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga ....................................... 118
K. Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi Ekosistem............................................ 121
L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan .................................................................. 121
VII. PENUTUP................................................................................................................. 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 134
LAMPIRAN

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

Daftar Tabel
Tabel 1

: Kondisi Kependudukan pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006....................................................... 44

Tabel 2

: Kondisi Pendidikan Masyarakat pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman


Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006........................................ 45

Tabel 3

: Rencana

Kegiatan

Pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung................................................................................................. 122

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

vi

I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Upaya yang dilakukan secara sistematis
ini bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui:
perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karenanya, berhasilnya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran
konservasi, yaitu : (1) menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan
manusia; (2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe
ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan
sumber daya alam hayati bagi kesejahteraannya; dan (3) mengendalikan cara-cara
pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat
sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana,
belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan lahan serta belum berhasilnya

Rencana Pengelolaan

sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat


mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, serta degradasi potensi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Salah satu bagian dari upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah
dengan menetapkan beberapa bagian dari kawasan hutan sebagai kawasan
konservasi. Kawasan konservasi sendiri, berdasarkan fungsi pokoknya dibagi
menjadi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan
pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), serta
taman buru.
Salah satu di antara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di wilayah
Republik Indonesia adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman
nasional ini ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung - Bulusaraung Seluas 43.750
(empat puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh) Hektar terdiri dari Cagar Alam Seluas
10.282,65 (sepuluh ribu dua ratus delapan puluh dua enam puluh lima perseratus)
Hektar, Taman Wisata Alam Seluas 1.624,25 (seribu enam ratus dua puluh empat
dua puluh lima perseratus) Hektar, Hutan Lindung Seluas 21.343,10 (dua puluh
satu ribu tiga ratus empat puluh tiga sepuluh perseratus) Hektar, Hutan Produksi
Terbatas Seluas 145 (seratus empat puluh lima) Hektar, dan Hutan Produksi Tetap
Seluas 10.355 (sepuluh ribu tiga ratus lima puluh lima) Hektar terletak di
Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Penunjukan kawasan ini sebagai taman nasional oleh
Menteri Kehutanan dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati dan
DPRD Kabupaten Maros, Bupati dan DPRD Kabupaten Pangkep, serta Gubernur
dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Kawasan Hutan Bantimurung Bulusaraung di Kabupaten Maros dan Pangkep
Provinsi Sulawesi Selatan ditunjuk menjadi taman nasional antara lain dengan
pertimbangan: keunikan ekosistemnya yang sebagian besar berupa ekosistem karst
yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati dengan keanekaragaman yang tinggi
serta keunikan dan kekhasan gejala alam dengan fenomena alam yang indah;
berbagai jenis flora dan fauna endemik, langka dan unik; serta untuk keperluan
perlindungan sistem tata air beberapa sungai besar dan kecil di Provinsi Sulawesi
Selatan. Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan bentang alam karst terluas
kedua di dunia setelah bentang alam karst yang ada di China bagian Selatan.
Atas dasar potensi dan keunikan itu pula maka kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung perlu dikelola dengan baik sesuai kaidah-kaidah atau

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

norma-norma yang berlaku, dengan arah, tujuan dan sasaran yang jelas, serta
sedapat mungkin mampu mengakomodir berbagai kepentingan berdasarkan fungsi
pokoknya secara lestari, seimbang dan berkesinambungan. Pengelolaan kawasan
taman nasional diarahkan pada pencapaian multi manfaat kawasan dengan tetap
mengacu para prinsip-prinsip kelestarian.
Pada awal pelaksanaan pengelolaan, telah dilaksanakan evaluasi dan analisa
terhadap kondisi pengelolaan kawasan dengan memanfaatkan data dan informasi
yang semakin faktual. Berdasarkan hasil evaluasi dan analisa tersebut, diperoleh
kesimpulan bahwa kondisi pengelolaan kawasan masih jauh dari kondisi optimal,
bahkan dapat dikategorikan sebagai kawasan yang masih dalam tahap pemantapan
prakondisi. Kondisi kelembagaan pengelola kawasan juga demikian adanya dengan
sekian banyak kelemahan dari segala aspek.
Agar pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat berjalan
pada arah yang benar, mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan secara efektif dan
efisien, serta pencapaian multi manfaat kawasan berdasarkan fungsi pokoknya,
maka diperlukan suatu dokumen perencanaan pengelolaan untuk keperluan jangka
panjang (dalam hal ini untuk keperluan 20 tahun) yang bersifat komprehensif dan
indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan jangka
menengah, rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis.
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung disusun sebagai
perangkat lunak pengelolaan kawasan yang menyeluruh serta memperhatikan skala
prioritas dan kebutuhan pengelolaan di masa yang akan datang.
Dokumen perencanaan pengelolaan ini merupakan pedoman dan arahan
pengelolaan kawasan taman nasional dengan berbagai macam potensi di dalamnya
serta potensi sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya, yang sekiranya
berpengaruh terhadap kelestarian kawasan dan sebaliknya. Rencana pengelolaan
taman nasional ini diharapkan dapat mengakomodir dengan baik prinsip-prinsip
keilmuan (baik secara ilmiah maupun teknis) serta nilai-nilai estetika menuju kepada
kemandirian

pengelolaan

taman

nasional,

keseimbangan berbagai komponen di dalamnya, juga

Pintu Gerbang Bantimurung

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

B. Maksud dan Tujuan


Penyusunan
Nasional

Rencana

Bantimurung

Pengelolaan

Bulusaraung

Taman

dimaksudkan

untuk menyediakan perangkat lunak pengelolaan


taman nasional sebagai landasan untuk melaksanakan
upaya-upaya pengelolaan menuju kemantapan fungsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

dan manfaat kawasan, baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial dan budaya
secara serasi dan seimbang.
Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
bertujuan untuk memberikan pedoman dan arahan bagi pengelolaan kawasan dan
seluruh potensinya secara komprehensif dan indikatif untuk keperluan jangka
panjang (20 tahun), yang menjadi acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan
jangka menengah, rencana pengelolaan jangka pendek dan rencana-rencana teknis.

C. Ruang Lingkup
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 20082027 memuat :
1. Deskripsi kawasan, yang memuat informasi mengenai :
a. Risalah kawasan, meliputi sejarah kawasan, progres pengukuhan, dan
karakteristik penunjukan kawasan (flag species atau ekosistem);
b. Kondisi umum, meliputi kondisi fisik, dan bioekologi :
- Kondisi fisik kawasan, meliputi

letak dan luas kawasan, letak

astronomis/geografis, administratif, uraian batas kawasan, iklim, geologi


dan tanah, topografi dan kelerengan, hidrologi, potensi wisata, sarana
prasarana, dan aksesibilitas;
- Kondisi bioekologi meliputi tipe ekosistem, flora dan fauna;
c.

Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di dalam/ sekitar kawasan;

d. Praktek-praktek pemanfaatan sumber daya alam yang telah berkembang;


e. Kelembagaan masyarakat yang ada;
f.

Permasalahan kawasan.

2. Kebijakan, yang memuat informasi mengenai :


a. Kebijakan pengelolaan kawasan;
b. Kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten.
3. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan
4. Analisa dan proyeksi, yang berisi data dan informasi yang diolah dengan
mempertimbangkan berbagai aspek terkait secara komprehensif melalui analisa
SWOT, untuk mendapatkan alternatif kegiatan dalam perencanaan yang dapat
dituangkan berdasarkan prioritas.
5. Rencana kegiatan, yang menguraikan rencana kegiatan jangka panjang yang
dapat dijabarkan dalam rencana pengelolaan jangka menengah dan jangka
pendek, meliputi kegiatan-kegiatan antara lain:
a. Pemantapan kawasan (pengukuhan, pemeliharaan batas, penataan zona/
blok);
b. Penyusunan rencana;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

c.

Pembangunan sarana dan prasarana;

d. Pengelolaan data dan informasi;


e. Pengelolaan potensi kawasan (pengelolaan, pembinaan, dan konservasi
genetik, spesies, komunitas, dan habitat/ ekosistem);
f.

Perlindungan dan pengamanan;

g. Pengelolaan kegiatan penelitian dan pendidikan;


h. Pengelolaan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan;
i.

Pengembangan integrasi, koordinasi, dan kolaborasi;

j.

Pengembangan dan pembinaan daerah penyangga;

k.

Restorasi, rehabilitasi, dan reklamasi ekosistem; serta

l.

Monitoring, evaluasi, dan pelaporan.

6. Peta-peta kawasan yang terdiri dari : peta situasi; peta topografi; peta geologi;
peta tanah; peta curah hujan; peta penutupan vegetasi; peta sebaran flora dan
fauna penting; peta sarana dan prasarana yang sudah ada serta peta rencana
pengembangan sarana dan prasarana (site-plan); dan peta sebaran obyek
wisata.

D. Batasan Pengertian
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah.
5. Hutan/ kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
6. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem.
7. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

8. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara
unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan
pengaruh mempengaruhi.
9. Tumbuhan alam adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara,
yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.
10. Satwa liar adalah semua binatang yang
hidup di darat, dan atau di air, dan atau
di udara yang masih mempunyai sifatsifat liar baik yang hidup bebas maupun
yang dipelihara oleh manusia.
11. Habitat

adalah

lingkungan

tempat

tumbuhan atau satwa dapat hidup dan

Air Terjun Bantimurung

berkembang secara alami.


12. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
13. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
14. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia.
15. Perencanaan

kehutanan

adalah

proses

penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan

Giant Label

perangkat yang diperlukan dalam pengurusan


hutan

secara

pedoman

dan

lestari
arahan

untuk

memberikan

guna

menjamin

tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan


untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan.
16. Sistem
rangkaian

perencanaan
penyusunan,

kehutanan
penilaian

adalah
dan

penetapan jenis-jenis rencana kehutanan yang


menyangkut substansi, mekanisme dan proses, dalam rangka mewujudkan
rencana-rencana kehutanan yang sinergi, utuh dan menyeluruh serta menjadi
acuan bagi pembangunan sektor kehutanan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

17. Penyusunan rencana pengelolaan adalah proses penetapan tujuan, penentuan


kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengelolaan kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam.
18. Rencana pengelolaan taman nasional adalah panduan yang memuat tujuan,
kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan taman
nasional.
19. Rencana pengelolaan jangka panjang taman nasional adalah rencana makro
yang bersifat komprehensif dan indikatif yang menjadi acuan bagi penyusunan
rencana

pengelolaan

jangka

menengah,

rencana

pengelolaan

jangka

pendek/tahunan dan rencana-rencana teknis di kawasan taman nasional.


20. Rencana pengelolaan jangka menengah taman nasional adalah rencana yang
bersifat strategis, kualitatif dan kuantitatif yang disusun berdasarkan rencana
pengelolaan jangka panjang.
21. Rencana pengelolaan jangka pendek/ tahunan adalah rencana pengelolaan yang
bersifat teknis operasional, kualitatif dan kuantitatif, yang disusun berdasarkan
dan merupakan penjabaran rencana pengelolaan jangka menengah.
22. Pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah upaya
terpadu

dalam

penataan,

pengembangan,

pemanfaatan,

pemeliharaan,

pengawasan, perlindungan, dan pengendaliannya.


23. Sistem zonasi/ blok adalah pembagian wilayah Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam menjadi zona-zona/ blok-blok guna menentukan
kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dalam rangka mencapai
tujuan dan sasaran sesuai dengan fungsinya.
24. Zona/ blok kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah wilayah di
dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang dibedakan
menurut fungsi dan kondisinya.

Bantimurung
The Kingdom of Butterfly

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

II
Deskripsi Kawasan
A. Risalah Kawasan
1. Sejarah Kawasan
Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang
pernah menjelajah Kepulauan Indo-Malaya dari tahun 1856 sampai dengan
1862. Wallace melakukan ekplorasi flora dan fauna di kawasan Bantimurung dari
tanggal 11 Juli 1857 sampai dengan awal Nopember 1857 dan berhasil
mengumpulkan cukup banyak koleksi speciemen di wilayah Maros. Sejak
kembalinya ke Inggris sampai dengan tahun 1886, Wallace menerbitkan delapan
belas dokumen, baik berupa catatan maupun proceeding untuk Linnaean
Zoological

and

Entomological

Societies

yang

menggambarkan

atau

mendeskripsikan koleksi speciemennya. Setelah itu, ia kemudian menuliskan dan


menerbitkan jurnal perjalanan selama enam tahunnya ke Kepulauan Indo-Malaya
yang berjudul The Malay Archipelago.
Sejak kembali ke Inggris dan mulai menuliskan laporan-laporan perjalanan
dan koleksi speciemennya sampai dengan terbitnya The Malay Archipelago,
sejak saat itu pulalah keanekaragaman hayati kawasan Indo-Malaya terutama
kawasan Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya mulai dikenal oleh para naturalis,
ilmuan serta masyarakat di kawasan Eropa bahkan mungkin ke seluruh dunia.
Deskripsi kawasan Karst Maros-Pangkep dan keanekaragaman faunanya
dianggap sudah cukup lengkap pada saat itu, dan Wallace sendiri memberikan
julukan The Kingdom of Butterfly untuk kawasan Bantimurung dan sekitarnya.

Rencana Pengelolaan

Begitu terkenalnya The Malay Archipelago karangan Wallace, buku ini dicetak
ulang sampai edisi yang kesepuluh pada bulan Oktober 1890 dan masih terus
direproduksi hingga saat ini.
Di masa-masa berikutnya deskripsi Wallace dijadikan acuan untuk
membatasi zona biogeografi di kawasan Indo-Malaya. Zona Oriental di bagian
Barat mencakup daratan Asia dan Kepulauan Sunda Besar yang terdiri dari
Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura serta Bali. Papua dan Kepulauan
Aru yang terletak di paparan benua Australia menjadi bagian dari Zona Australia.
Diantara kedua zona tersebut terdapat suatu zona peralihan yang terdiri dari
Sunda Kecil, Sulawesi, Kepulauan Maluku serta Wilayah Kepulauan Philipina.
Kawasan peralihan ini membentuk suatu zona geologis aktif yang sudah
terisolasi untuk sekurang-kurangnya beberapa ratus ribu tahun. Kawasan
peralihan ini disebut zona biogeografi Wallacea karena formasi faunanya yang
berbeda dari kedua zona tadi (Alikodra, 1990). Zona Wallacea merupakan
daerah peralihan yang dibatasi oleh Garis Wallace di sebelah Barat dan Garis
Lydekker di sebelah Timur (Sastrapradja dkk, 1989 dalam Alikodra, 1990).
Deskripsi yang dibuat oleh Wallace tentang kawasan Sulawesi dan pulaupulau satelitnya serta garis imaginer yang membatasi zona biogeografis antara
kawasan Oriental dengan kawasan Wallacea kemudian banyak mengundang
para ilmuan dari seluruh dunia datang ke Sulawesi. Para ilmuan tersebut selalu
saja kembali menapaki tempat-tempat yang digambarkan oleh Wallace serta
bagian lain pulau Sulawesi.
Hal lain yang menarik dari kawasan ini adalah bentang alam karst yang
berbangun menara. The Spectacular Tower Karst, begitu kemudian orangorang memberikan nama pada kawasan karst Maros-Pangkep. Memang berbeda
dengan

kebanyakan

kawasan

The Spectacular Tower Karst

karst di tempat-tempat lain yang


pada

umumnya

berbentuk

Conicall Hill Karst, karst MarosPangkep


menara

berbentuk
yang

berdiri

menarasendiri

maupun berkelompok membentuk


gugusan

pegunungan

batu

gamping. Ko (2001) menginformasikan bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep


sudah dikenal oleh dunia internasional sejak sebelum perang dunia II. Kawasan
ini antara lain juga dikenal melalui publikasi ahli geografi Danes. Kawasan ini
dikatakan memiliki bentukan alam (geomorfologi) yang amat khas dan tidak
dijumpai di tempat lain.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Rencana Pengelolaan

Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan kawasan karst menara yang


memiliki keunikan geomorfologi yang tiada duanya di Indonesia, keindahan
panorama alamnya serta potensi biodiversitynya juga sangat kaya. Di kawasan
ini terdapat tidak kurang dari 284 species tumbuhan berkayu, 103 species Kupukupu yang beberapa diantaranya merupakan jenis endemik, serta 29 gua yang
dihiasi lukisan-lukisan manusia purba (Anonim, 2001). Karst Maros-Pangkep
menjadi kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena landsekapnya
yang spesifik dan ornamen gua terindah (ACS 1989; Anonim 1986, 1987, 1991;
Deharveng & Bedos 1999; McDonald 1976; Whitten et al. 1987 dalam
Suhardjono dkk 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng & Bedos 1999
dalam Suhardjono dkk 2007).
Di awal abad kedua puluh, tepatnya pada
tahun 1902-1903, Sulawesi Selatan kembali
ramai dibicarakan. Kali ini oleh para ahli
prasejarah. Frits Sarasin dan Paul Sarasin
berhasil

menemukan

sisa-sisa

peralatan

manusia prasejarah berupa serpih, bilah, mata


panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di
Gua Cakondo, Ulu Leba dan Balisao Kabupaten
Maros. Berdasarkan temuan-temuan tersebut,
para ahli menyimpulkan bahwa pada masa

Situs Prasejarah

prasejarah, Sulawesi merupakan salah satu


daerah lintasan yang strategis bagi perpindahan penduduk dari daratan Asia
Tenggara ke kawasan Pasifik. Dalam perjalanan migrasi tersebut, Gua-gua
payung atau rock shelter merupakan satu-satunya tempat yang ideal untuk
berlindung. Baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit bagi para
imigran (Gunadi, 1997 dalam Achmad, 2001).
Gunadi (1997) dalam Achmad (2001) juga menginformasikan bahwa dari
hasil survey dan pendataan di kawasan Karst Maros-Pangkep yang dilakukan
oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan dan
Tenggara, diketahui sedikitnya ada 66 gua prasejarah yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Balocci, Pangkajene, Labbakkang dan Kecamatan
Bungoro. Berbeda dengan informasi tersebut, pada tahun 2007 Balai
Peninggalan Prasejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan melaporkan 27 Situs
Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-Pangkep dari total 89 gua
prasejarah yang ada (Muh. Natsir pers. Comm.).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

10

Rencana Pengelolaan

Peta Sebaran Situs Purbakala di Kawasan Karst Maros-Pangkep (Atas).


Lukisan-lukisan pada dinding gua prasejarah di Kawasan Karst Maros-Pangkep (bawah)

Pada awal abad keduapuluh, pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa


atas Kepulauan Nusantara saat itu mulai menertibkan status kepemilikan lahan
dan bukti-bukti administrasinya, termasuk pula penetapan dan penataan
kawasan-kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di wilayah Sulawesi, seluruh
bagian kawasan karst Maros-Pangkep serta areal berhutan lain di sekitarnya
ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

11

Rencana Pengelolaan

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan


penyerahan kekuasaan secara penuh kepada Pemerintah Indonesia pada tahun
1949,

Pemerintah

Indonesia

masih

tetap

menggunakan

kelengkapan-

kelengkapan administrasi tersebut sebagai acuan pengelolaan sumber daya


hutan yang berupaya dimanfaatkan secara bijaksana sebagai salah satu modal
dasar pembangunan ekonomi. Belum adanya model pengurusan hutan yang
jelas pasca kemerdekaan Indonesia membuat pemerintah mulai berpikir untuk
menyusun suatu perangkat perundang-undangan yang mengatur hutan dan
kehutanan. Pada tahun 1967, diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan sebagai dasar
pengelolaan hutan dan kawasan hutan di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, kebutuhan akan lahan semakin
meningkat dan ada banyak keinginan, tujuan dan kepentingan dari berbagai
pihak terhadap hutan dan kawasan hutan. Bertolak dari kenyataan yang
demikian tersebut, pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dipandang perlu
untuk disinkronkan dengan kepentingan berbagai sektor. Untuk itulah kemudian
mulai dilakukan pengumpulan, pengolahan data dan penyusunan tata guna
hutan kesepakatan di Indonesia yang berisi peta kawasan hutan dan fungsinya
serta areal-areal cadangan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor
kehutanan. Tahun 1976, Menteri Pertanian RI yang menangani urusan
kehutanan pada saat itu menerbitkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) di
seluruh wilayah Republik Indonesia. TGHK kemudian juga ditindaklanjuti dengan
pembagian kelompok-kelompok hutan di setiap wilayah propinsi. Pada tahun
1982, Menteri Pertanian menerbitkan Keputusan Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982
tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penetapan Kelompok-kelompok Hutan.
Kurang lebih dua dekade kemudian, Pemerintah menerbitkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
yang antara lain mengatur tentang adanya tata ruang sebagai wujud struktur dan
pola pemanfaatan ruang di suatu wilayah administratif pemerintahan. Tata ruang
tersebut dibedakan menjadi tata ruang nasional, tata ruang propinsi dan tata
ruang wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan perundang-undangan ini maka
setiap pemerintah propinsi dan kabupaten/kota kemudian menyusun rencana
tata ruang wilayah. Namun patut disayangkan, rencana tata ruang wilayah yang
disusun pada umumnya tidak sejalan dengan tata guna hutan kesepakatan yang
telah disusun sebelumnya.
Untuk menghindari berlanjutnya kontradiksi antara rencana tata ruang
wilayah dengan tata guna hutan kesepakatan, maka pada tahun 1997
Departemen Kehutanan kemudian mulai melakukan sinkronisasi kedua dokumen

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

12

Rencana Pengelolaan

tersebut di setiap propinsi. Sulawesi Selatan berhasil menyelesaikan Paduserasi


TGHK-RTRWP pada tahun 1999 dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor: 276/IV/Tahun 1999 tanggal 1 April 1999 tentang
Penetapan Hasil Paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Tata
Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Berdasarkan surat keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tersebut beserta peta
lampirannya, Menteri Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Keputusan
Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Penunjukan Kembali
Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 3.879.771 Ha.
Berdasarkan semua dokumen tersebut, kawasan Karst Maros-Pangkep dan
kawasan lain di sekitarnya tetap merupakan kawasan hutan dengan fungsi
lindung, produksi dan konservasi.

Karst MarosPangkep

Paduserasi TGHK RTRWP Sulawesi Selatan (BPKH Wil. VII, 1999)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

13

Rencana Pengelolaan

Air terjun Bantimurung yang mulai terkenal sejak kunjungan Wallace


dijadikan kawasan konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan
Guvernements Besluits tanggal 21-2-1919 No. 6 Staatblad No. 90. Antara
dekade 1970-1980, di kawasan Karst Maros-Pangkep telah ditunjuk dan/atau
ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas 11.906,9 Ha. Sebagian kawasan
Bantimurung karena potensi wisata tirta, panorama alam dan gua-gua alamnya,
ditunjuk kembali menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama
TWA. Bantimurung seluas 118 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 237/Kpts/Um/3/1981 tanggal 30 Maret 1981. Kawasan hutan di sekitar
Pattunuang Asue ditetapkan menjadi kawasan konservasi taman wisata alam
dengan nama TWA. Gua Pattunuang seluas 1.506,25 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 59/Kpts-II/1987 tanggal 12 Maret 1987.
Penunjukan kawasan ini didasarkan pada potensi wisata tirta wilayah tersebut,
keanekaragaman

hayatinya,

panorama

alamnya,

fenomena

tebing-tebing

karstnya yang ideal untuk wisata alam minat khusus, legenda tentang perahu
yang membatu (Biseang Labboro) di Sungai Pattunuang, serta gua-gua alamnya.
Sebagian

kawasan

karst

Bantimurung

(karena

mempunyai

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, kondisi alam, baik biota maupun
fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, ciri khas
potensi yang merupakan contoh ekosistem karst yang keberadaannya
memerlukan upaya konservasi, komunitas tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya yang langka) ditunjuk menjadi kawasan konservasi cagar alam
dengan nama CA. Bantimurung seluas 1.000 Ha berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor : 839/Kpts/Um/11/1980 tanggal 23 Nopember 1980. Tidak jauh
berbeda dengan pertimbangan tersebut di atas, kawasan karst dan hutan pamah
primer di wilayah sebelah Timur Bantimurung ditunjuk menjadi kawasan
konservasi cagar alam dengan nama CA. Karaenta seluas 1.000 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 647/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober
1976. Berdasarkan hasil penataan batas CA. Karaenta yang dilaksanakan pada
tahun 1979/1980, luasnya definitifnya berubah menjadi 1.226 Ha.
Kawasan konservasi yang lain adalah CA. Bulusaraung. Kawasan ini
memiliki komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistem yang memerlukan
upaya konservasi. Kawasan ini terletak di wilayah paling Utara Kabupaten Maros
yang berbatasan dengan wilayah administratif Kabupaten Bone. Kawasan seluas
5.690 Ha yang merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Bulusaraung ini
ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 607/Kpts/Um/8/1980 tanggal 20 Agustus 1980. Berdasarkan hasil
penataan batas CA. Bulusaraung yang dilaksanakan pada tahun 1999/2000,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

14

Rencana Pengelolaan

luasnya definitifnya berubah menjadi 8.056,65 Ha. Pada sebagian besar


kawasan hutan konservasi tersebut beserta kawasan hutan dengan fungsi
lindung dan produksi telah dilaksanakan penataan batasnya antara tahun 1975
sampai dengan tahun 2001 sepanjang 432,52 Km.
Pada tahun 1989, kawasan-kawasan konservasi di Kabupaten Maros
tersebut beserta kawasan karst dan kawasan hutan lainnya di wilayah Kabupaten
Maros dan Kabupaten Pangkep diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan untuk diubah fungsinya menjadi taman
nasional dengan nama Taman Nasional Hasanuddin (melalui surat nomor
1238/Kwss-5/10/1989 tanggal 10 Oktober 1989 perihal Usulan Pembangunan
dan Pengembangan Taman Nasional Hasanuddin dan ditujukan kepada Direktur
Jenderal PHPA Departemen Kehutanan). Nama tersebut diambil dari nama
pahlawan nasional dari Sulawesi Selatan yang juga Raja Gowa. Dalam proses
berikutnya, nama calon taman nasional ini berulang kali diubah berdasarkan
berbagai pertimbangan. Pada bulan Nopember 1989, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan kembali mengusulkan
pembangunan Taman Nasional Hasanuddin melalui Sekretaris Jenderal
Departemen Kehutanan (surat nomor 1418/Kwss-5/11/1989 tanggal 9 Nopember
1989).
Menindaklanjuti usulan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Propinsi Sulawesi Selatan tersebut, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam Departemen Kehutanan kemudian mengusulkan kepada
Menteri Kehutanan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di
Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi Taman Nasional Hasanuddin dengan
terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap lokasi yang diusulkan (melalui
surat nomor : 83/DJ-VI/TN/90 tanggal 17 Januari 1990). Sedikit berbeda dengan
usulan sebelumnya dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi
Sulawesi Selatan, Direktur Jenderal PHPA mengusulkan agar nama taman
nasional di Sulawesi Selatan ini diberikan nama sesuai dengan nama wilayah
geografisnya. Sayangnya, usulan ini belum sepenuhnya mendapat dukungan
dari Menteri Kehutanan.
National Conservation Plan for Indonesia Volume 6D Sulawesi Selatan
Province (Juni 1995) yang merupakan review dan updating NCP 1982,
menguraikan bahwa pada tahun 1993, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan menetapkan gabungan dari CA.
Bulusaraung, TWA. Bantimurung, CA. Bantimurung, CA. Karaenta, TWA Gua
Pattunuang serta Hutan Lindung di sekitarnya sebagai calon kawasan konservasi
Taman Nasional Hasanuddin seluas 86.682 Ha (termasuk seluruh kawasan Dry

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

15

Rencana Pengelolaan

Lowland Forest on Limestone seluas 47.000 Ha dan Wet Lowland Forest on


Limestone seluas 1.000 Ha) dengan pertimbangan perlindungan flora dan fauna,
perlindungan fungsi hydrologis, pengembangan wisata alam serta membatasi
perluasan perladangan di kawasan tersebut. Tujuan utama NCP 1995, yaitu
untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas pengembangan kawasan
konservasi, dan Calon Taman Nasional Hasanuddin mendapatkan prioritas
pertama. Hasil skoring yang dilakukan memberikan nilai Genetik 115 dan socioeconomic justification 10.
International

Union

of

Speleology

menyelenggarakan

Kongres

Internasional ke-11 di Beijing pada tanggal 8 Agustus 1993. Kongres ini dihadiri
oleh para ilmuwan dan pemerhati kawasan karst dan gua dari 34 negara.
Kongres ini secara aklamasi menyatakan karst Maros-Pangkep memiliki nilai
dunia. Dalam rapat pleno, Presiden dan Sekretaris Jenderal International Union
of Speleology mengesahkan surat himbauan kepada Pemerintah Indonesia agar
kawasan Karst Maros-Pangkep dikonservasi dan diusulkan sebagai bentukan
alam Warisan Dunia (Ko, 2001; Palaguna, 2001).
Berbagai organisasi dan keahlian semakin meningkatkan dukungan untuk
melindungi kawasan karst Maros-Pangkep yang unik untuk kepentingan
internasional karena terbatasnya luasan karst di dunia yang memiliki keunikan
layaknya Karst Maros-Pangkep. Alasan yang mendasari desakan tersebut
adalah karena para ahli berpendapat adanya asosiasi secara langsung antara
karst dengan kepurbakalaan serta antara karst dengan biodiversitynya.
Permintaan-permintaan

tersebut

ditanggapi

dengan

melakukan

diskusi

internasional yang memfokuskan keadaan karst di Indonesia (Achmad, 2001).


Oleh karena keistimewaannya, kawasaan karst Maros-Pangkep disarankan
untuk diusulkan sebagai World Heritage Site (Achmad, 2001; Wong et al. 2001
dalam Suhardjono dkk 2006). Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas
Hasanuddin (Unhas) pada tanggal 19 Desember 1997 menyelenggarakan
Seminar Lingkungan Karst di Makassar. PSL Unhas kembali menekankan
pentingnya perlindungan ekosistem karst Maros-Pangkep dan melaporkan
sedikitnya terdapat 29 gua di kawasan Karst Maros-Pangkep yang layak
dilindungi.
Melanjutkan dan menindaklajuti usulan Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan dan NCP 1995, Unit Konservasi Sumber
Daya Alam (KSDA) Sulawesi Selatan I kemudian membentuk tim penilaian
potensi calon taman nasional yang melibatkan pihak Universitas Hasanuddin
pada tahun 1999. Hasil penilaian dan pengkajian yang dilakukan oleh tim ini

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

16

Rencana Pengelolaan

kemudian memberikan rekomendasi layak untuk perubahan fungsi menjadi


taman nasional.
Pada tahun 2001, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi
Sulawesi Selatan kembali mengajukan usulan penunjukan taman nasional di
kawasan Maros-pangkep dengan nama Taman Nasional Karaenta (melalui surat
nomor 259/Kwl-5/2001 tanggal 22 Pebruari 2001). Dalam usulan kali ini, Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan juga
menyampaikan kronologis pengusulan kawasan ini sejak tahun 1989 serta
menyampaikan kembali kepada Menteri Kehutanan tentang rekomendasi dari
International Union of Speleology yang mendesak agar Pemerintah Indonesia
mengamankan dan melindungi ekosistem Karst Maros-Pangkep.
Pada tanggal 15 Maret 2001, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan
Nomor : 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status
dan Fungsi Hutan, yang mengatur bahwa perubahan fungsi kawasan hutan
didasarkan pada hasil penelitian Tim Terpadu. Usulan perubahan fungsi
dilampiri : (i) Rekomendasi Bupati/Walikota atau Gubernur untuk yang lintas
Kabupaten/ Kota; (ii) Persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan DPRD Propinsi
untuk yang lintas Kabupaten/Kota; serta (iii) Peta minimal skala 1 : 100.000.
Dengan demikian, maka penilaian potensi harus dilakukan kembali dari awal dan
dilaksanakan oleh Tim Terpadu. Yang dimaksud dengan Tim Terpadu adalah
sebuah tim yang diketuai oleh seorang Pakar dari Scientific Authority setempat
atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dengan beranggotakan para pihak
dari sektor yang terkait.
Pada bulan Mei 2001, IUCN Asia Regional Office dan UNESCO World
Heritage Centre mengadakan The Asia-Pasific Forum on Karst Ecosystems and
World Heritage di Gunung Mulu, Serawak, Malaysia. Forum ini dihadiri oleh para
ahli dari berbagai disiplin ilmu serta dihadiri pula oleh para pejabat tinggi
UNESCO dan World Bank. Forum ini bertekad menyatakan kawasan Karst
Maros-Pangkep sebagai Warisan Dunia. Forum ini memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Indonesia agar mengkonservasi kawasan-kawasan karst,
termasuk kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai-nilai warisan dunianya akan
ditinjau kemudian dan kelayakan status perlindungannya akan diidentifikasi
kemudian guna mendapatkan pengakuan internasional (Ko, 2001; Nitta, 2001;
Samodra, 2003).
Tanggal 12-13 Nopember 2001, Bapedal Regional III di Makassar
menyelenggarakan Simposium Karst Maros-Pangkep yang bertema Menuju
Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World
Heritage di Era Otonomi Daerah. Melalui acara ini, Bapedal Regional III

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

17

Rencana Pengelolaan

berusaha membangun kembali komitmen dan menggalang kerjasama dengan


berbagai pihak terkait dalam upaya mewujudkan kawasan Karst Maros-Pangkep
sebagai kawasan taman nasional dan situs warisan dunia. Beberapa kesimpulan
dari simposium ini adalah bahwa Kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki
berbagai

potensi

sumberdaya

yang

perlu

mendapat

perlindungan

dan

pengelolaan secara seksama, terpadu dan menyeluruh; Pemerintah Sulawesi


Selatan, Maros dan Pangkep mendukung dan berkomitmen terhadap pengajuan
Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Taman Nasional maupun World
Heritage Site; serta membentuk tim terpadu untuk menyusun rencana aksi dalam
mewujudkan penetapan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai Taman
Nasional dan World Heritage Site.
Untuk mempercepat proses penunjukan kawasan Karst Maros-Pangkep
menjadi taman nasional (dalam dokumen ini disebutkan Taman Nasional
Karaenta), Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak terkait di
Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Januari 2002. Hasil dari pertemuan ini adalah
adanya pembentukan Tim Terpadu yang terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi
Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Maros dan Pangkep, Unit KSDA
Sulawesi Selatan I, Bapedal Regional III dan diketuai oleh Universitas
Hasanuddin. Tim terpadu antara lain bertugas melakukan sosialisasi tentang
rencana penunjukan taman nasional, melaksanakan kajian (feasibility study),
mengusahakan penerbitan rekomendasi penunjukan taman nasional dari
pemerintah kabupaten dan propinsi, serta menyusun proposal penetapan
warisan dunia. Tim ini terus bekerja mengusahakan penunjukan taman nasional
sampai dengan tahun 2004.
Antara tahun 2002 sampai dengan 2004, terbitlah rekomendasi dari para
pengambil kebijakan di kalangan pemerintah (Propinsi Sulawesi Selatan,
Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep). Bupati Maros memberikan
rekomendasi penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660.1/532/Set
tanggal 13 Nopember 2002. DPRD Kabupaten Maros memberikan rekomendasi
penunjukan taman nasional melalui surat nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal
17 Desember 2002. Bupati Pangkep memberikan rekomendasi penunjukan
taman nasional melalui surat nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003. Ketua
DPRD Kabupaten Pangkep memberikan rekomendasi penunjukan taman
nasional melalui surat nomor 005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003. Gubernur
Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi penunjukan taman nasional melalui
surat nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003. Keputusan DPRD Provinsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

18

Rencana Pengelolaan

Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003 memberikan


rekomendasi penunjukan taman nasional.
Pada tanggal 5 Januari 2004, Gubernur Sulawesi Selatan (H.M. Amin
Syam) melalui suratnya nomor 660/27/Set yang ditujukan kepada Menteri
Kehutanan

mengusulkan

kembali

kawasan

Karst

Maros-Pangkep

untuk

ditetapkan menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (dokumen ini


menyebutkan nama Bantimurung Bulusaraung) dan menyampaikan Keputusan
DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember
2003 tentang Persetujuan Atas Rekomendasi Gubernur Sulawesi Selatan
tentang Kawasan Karst Sebagai Kawasan Taman Nasional Maros, Pangkep
Sulawesi Selatan. Pada tanggal 29 April 2004, Gubernur Sulawesi Selatan sekali
lagi mendesak Menteri Kehutanan agar memproses penetapan kawasan Karst
Maros-Pangkep menjadi taman nasional (surat nomor 660/1632/SET).
Direktur Jenderal PHKA melalui suratnya nomor S.103/IV-KK/2004 tanggal
25 Pebruari 2004 yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Departemen
Kehutanan dan Kepala Badan Planologi Kehutanan mengusulkan kembali
perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi
taman nasional. Dalam proses koordinasi di Departemen Kehutanan yang
berjalan cukup lama, akhirnya pada 5 Oktober 2004, Kepala Pusat Pembentukan
Wilayah Pengelolaan dan Perubahan Kawasan Hutan Badan Planologi
Kehutanan mengundang seluruh anggota Tim Terpadu untuk hadir pada hari
Jumat tanggal 8 Oktober 2004 di Ruang Rapat Badan Planologi Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Jakarta. Pihak-pihak yang diminta untuk hadir
pada saat itu adalah Pusat Penelitian Biologi LIPI, Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam Balitbang Kehutanan, Asisten Deputi Ekosistem Darat
Kementerian Lingkungan Hidup, Direktur Konservasi Kawasan Ditjen PHKA,
Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Ditjen RLPS, Pusat
Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Badan Planologi Kehutanan,
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Ketua Bapedalda Provinsi Sulawesi
Selatan, Asisten Deputi Urusan Wilayah Sumapapua Kementerian Lingkungan
Hidup, Kepala Balai KSDA Sulawesi Selatan I, Ketua Tim Kajian Usulan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (Amran Achmad, Jurusan Kehutanan
Universitas Hasanuddin), dan beberapa pejabat eselon III di lingkungan Badan
Planologi Kehutanan serta Direktorat Jenderal PHKA.
Pada tanggal 8 Oktober 2004 tersebut, diadakanlah pengkajian dan
pembahasan oleh Tim Terpadu Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Bantimurung
Bulusaraung dengan hasil memenuhi syarat untuk diubah fungsi menjadi
kawasan pelestarian alam dengan fungsi taman nasional berdasarkan : (1)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

19

Rencana Pengelolaan

Laporan Hasil Pengkajian Tim Terpadu yang dipaparkan oleh Amran Achmad
(Universitas Hasanuddin) selaku Ketua Tim Terpadu Daerah; (2) Surat Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 660/27/Set tanggal 5 Januari 2004 dan Rekomendasi
nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003; (3) Rekomendasi Bupati Maros
nomor 660.1/532/Set tanggal 13 Nopember 2002; (4) Surat Bupati Pangkep
nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003; (5) Keputusan DPRD Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003; (6)
Rekomendasi DPRD Kabupaten Maros nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal 17
Desember 2002; serta (7) Surat Ketua DPRD Kabupaten Pangkep nomor
005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003.
Setelah pembahasan tersebut, usulan penunjukan kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung kemudian dicermati kembali oleh Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar. Dari hasil pencermatan
tersebut, dilakukan koreksi-koreksi terhadap peta yang disajikan. Usulan tim
terpadu seluas 48.720 Ha kemudian diubah menjadi 43.750 Ha karena pada
peta tersebut terdapat areal non kawasan hutan yang diusulkan menjadi taman
nasional.

Peta Paduserasi TGHK-RTRWP awal dan perubahan fungsi menjadi taman nasional

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

20

Rencana Pengelolaan

Pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan


Keputusan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas 43.750 Ha
terdiri dari Cagar Alam seluas 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas
1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas
seluas 145 Ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas 10.335 Ha yang terletak di
Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan
Menjadi Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung

Sulawesi

Setelah

Ha; 3,71%

Taman

penunjukan

kawasan,

pemangkuan dan pengelolaan Taman

Ha; 23,50%
HP; 10.355 Ha;
23,67%

menjadi

Nasional Bantimurung Bulusaraung.


TWA; 1.624,25

CA; 10.282,65

Selatan

Nasional

HL; 21.343,10
Ha; 48,78%

Bantimurung

Bulusaraung

untuk sementara dilaksanakan oleh Balai


Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi

HPT; 145 Ha;


0,33%

Selatan

berdasarkan

Keputusan

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK.140/IV/


Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004. Pada Tahun 2006, Menteri Negara
Pemberdayaan

Aparatur

Negara

Republik

Indonesia

menyetujui

usulan

pembentukan unit kerja pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


dan kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan dengan membentuk Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung beserta 15 balai taman nasional baru
lainnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.29/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional.
Pada tanggal 1 Pebruari 2007, Menteri Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang
kemudian menjadi dasar pengelolaan Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung

saat

ini.

Walaupun

telah

ditetapkan

pengelolanya

dan

diserahterimakan pengelolaannya sejak Nopember 2006, Balai Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung secara efektif baru beroperasional melaksanakan
tugas-tugas kepemerintahan dan pembangunan sejak April 2007 karena personil
dan sarana prasarana pendukungnya baru tersedia pada saat itu.

2. Progress Pengukuhan Kawasan


Berdasarkan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 41
Tahun

1999

tentang

Kehutanan,

ditetapkan

bahwa

Pemerintah

menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan guna memberikan kepastian

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

21

Rencana Pengelolaan

hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatankegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan
dan penetapan kawasan hutan. Sejalan dengan definisi tersebut maka ruang
lingkup pengukuhan kawasan hutan meliputi :
a. penunjukan kawasan hutan, yaitu penetapan awal suatu wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah
propinsi atau partial per kelompok hutan;
b. penataan batas kawasan hutan, yaitu kegiatan yang meliputi proyeksi batas,
inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara,
serta pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif;
c.

pemetaan kawasan hutan, yaitu kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan


penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas;

d. penetapan kawasan hutan, yaitu suatu penegasan tentang kepastian hukum


mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah
ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap dengan
keputusan Menteri Kehutanan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Diktum KEDUA keputusan
tersebut berbunyi : Batas sementara Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
tersebut pada diktum PERTAMA, adalah sebagaimana terlukis pada peta
lampiran keputusan ini, sedangkan batas tetapnya akan ditentukan setelah
diadakan penataan batas di lapangan.
Pada dasarnya, walaupun belum dilakukan penataan batas di lapangan,
perubahan fungsi suatu kawasan tetap berlaku karena batas-batas di atas peta
yang dilengkapi dengan referensi posisinya secara geografis dapat diproyeksikan
di lapangan. Namun demikian, sebagian besar kawasan hutan yang diubah
fungsinya menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berdasarkan
keputusan penunjukan tersebut sudah dilaksanakan penataan batas luarnya
sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2001. Batas luar kawasan hutan yang
telah di tata batas tersebut sebagian besar juga merupakan batas kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung saat ini. Batas-batas tersebut pada
tahun 2007 juga telah dilaksanakan rekonstruksinya oleh Balai Pemantapan
Kawasan Hutan Wilayah VII Makassar bersama Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
Sampai dengan tahun 2008, perkembangan penataan batas kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah mencapai 432,52 Km atau

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

22

Rencana Pengelolaan

90,44% dari total batas luar sepanjang 478,22 Km. Trayek batas yang belum
dilaksanakan penataan batasnya secara definitif di lapangan hingga saat ini
hanya tersisa pada batas fungsi di sisi Utara (wilayah administratif Kabupaten
Pangkep) dan sisi Selatan (wilayah administratif Kabupaten Maros). Dengan
realisasi penataan batas yang belum temu gelang, maka proses penetapan
kawasan menjadi kawasan hutan tetap dengan keputusan Menteri Kehutanan
juga belum dapat dilaksanakan.

Peta perkembangan penataan batas Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Selain tata batas yang belum dirampungkan, penataan zonasi pengelolaan


kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga belum dapat
dilaksanakan sampai dengan tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
Pasal 30 ayat (2) menetapkan bahwa pengelolaan taman nasional didasarkan
pada sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

23

Rencana Pengelolaan

atau zona lainnya. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman
nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan
ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap
persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi,
konsultasi

publik,

perancangan,

tata

batas

dan

penetapan,

dengan

mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan


budaya masyarakat.
Perancangan

zonasi

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung hingga tahun 2008 belum dapat dilakukan karena terbatasnya


ketersediaan data potensi dan kondisi kawasan. Dengan kondisi keterbatasan
berbagai sumberdaya yang ada pada Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung,

maka

dibutuhkan

setidaknya

beberapa

tahun

untuk

mempersiapkan perancangan zonasi, yang didahului dengan pengumpulan data


primer di lapangan dan data pendukung lainnya. Saat ini, untuk keperluan
pengelolaan kawasan, tersedia draft rancangan zonasi yang belum dapat
dikatakan

sempurna

karena

penyusunannya

yang

dilakukan

dengan

keterbatasan data dan informasi untuk bahan analisa.

3. Karakteristik Penunjukan Kawasan


Areal yang saat ini merupakan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung merupakan sebagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep yang
sudah terkenal ke seluruh dunia. Samodra (2003) menyampaikan bahwa
singkapan batu gamping yang luas di Sulawesi Selatan ini membentuk tipe karst
tersendiri. Bukit-bukit berlereng terjal (yang sebagian besar genesanya
dipengaruhi oleh struktur geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses
pelarutan atau Karstifikasi) membentuk bangun menara yang sangat khas (tower
karst). Bukit-bukit menara Karst Maros-Pangkep serupa dengan karst yang ada
di China Selatan dan Vietnam.
Tipe Karst Maros-Pangkep memang berbeda dengan karst yang ada di
tempat lain yang pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst atau perpaduan
dari keduanya. Karakteristik eksokarst-nya dikatakan sebagai bentukan karst
yang terindah kedua setelah kawasan karst yang telah ditetapkan sebagai
warisan alam dunia di Halong Bay Vietnam. Karst Maros-Pangkep juga
merupakan kawasan karst terluas kedua setelah karst yang ada di China
Selatan.

Selain

keindahan

eksokarst,

kawasan

Karst

Maros-Pangkep

(sebagaimana pada umumnya kawasan karst) juga dihiasi oleh endokarst yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

24

Rencana Pengelolaan

tidak ternilai. Tidak kurang dari 400 gua di kawasan ini yang dapat menyajikan
keindahan bentukan ornamen gua (speleotem).
Gua-gua di kawasan Karst Maros-Pangkep, terutama gua fosil mempunyai
nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua manusia
prasejarah yang dapat menguak kehidupan manusia prasejarah dan budayanya
Samodra (2003). Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling
terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua
terindah (ACS 1989; Anonim 1986, 1987, 1991; Deharveng & Bedos 1999;
McDonald 1976; Whitten et al. 1987 dalam Suhardjono dkk 2007). Di samping
itu, Maros juga terkenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika
(Deharveng & Bedos 1999 dalam Suhardjono dkk 2007).
Dari

segi

keanekaragaman

hayati,

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung dikenal dengan potensi Kupu-kupunya yang beranekaragam. Alfred


Russel Wallace, setelah kunjungannya yang pertama pada tanggal 2 Agustus
1856 sampai dengan 13 Desember 1856, pada tanggal 11 Juli 1857 Wallace
kembali ke Makassar untuk yang kedua kalinya. Setelah merampungkan
pengepakan koleksi speciemen dari Kepulauan Aru, Wallace kemudian
mengunjungi wilayah Maros yang berjarak kurang lebih 30 mil di utara Makassar,
dimana

Jacob

Mesman

(seorang

saudara

sahabatnya)

bermukim

dan

membangunkan sebuah pondok penginapan tersendiri untuk Wallace di suatu


tempat yang sekarang dikenal sebagai Bantimurung.
Selama berada di wilayah Maros dan sekitarnya, Wallace menemukan
Rusa (Cervus timorensis), Babi (Sus celebensis), Kera Hitam Sulawesi
Cynopthecus nigrescens (sekarang Macaca maura), Rangkong (Rhyticeros
cassidix), Trichoglossus ornatus, burung Punai, Corvus advena, Idea tondana,
Kumbang Macan (Therates flavilabris) dan berbagai jenis kumbang lainnya, tiga
species Ornithoptera yang sayapnya berukuran 7 8 inchi (17 20 Cm), Papilio
miletus, P. telephus, P. macedon, Papilio rhesus (sekarang Graphium rhesus),
Papilio gigon, Tachyris zarinda (sekarang Appias zarinda), dan banyak lagi yang
lainnya.
Hal

yang paling

berkesan

bagi Wallace

di Bantimurung

adalah

pertemuannya dengan The Magnificent Butterfly Papilio androcles (sekarang


Graphium androcles), salah satu jenis Kupu-kupu Swallow tailed terbesar dan
terjarang ditemukan. Di suatu siang ketika matahari bersinar terik dan udara
terasa sangat panas, setelah empat hari mengamati, pantai berpasir pada sisi
kolam di atas air terjun Bantimurung (mungkin tempat yang oleh masyarakat
sekarang disebut Kassi Kebo) menyajikan suatu pemandangan menakjubkan
bagi Wallace. Kassi Kebo dihiasi oleh segerombolan Kupu-kupu yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

25

Rencana Pengelolaan

memeriahkan suasana. Oranye, kuning, putih, biru dan hijau. Formasi ratusan
Kupu-kupu ini membentuk awan beraneka warna. Ketika makhluk yang indah ini
terbang, the long white tails berkelap-kelip layaknya melambai-lambai. Kurang
lebih begitulah yang dideskripsikan oleh Wallace tentang pertemuannya dengan
Graphium androcles.
Kolektor-kolektor

lain

kemudian

mengikuti jejak Wallace. 25 tahun kemudian,


di tahun 1882 Graphium androcles tidak bisa
lagi ditemukan, walaupun species-species lain
tetap ada (Guillemard, 1889 dalam Whitten,
2002). Hal ini mungkin merupakan pengaruh
iklim, sebab 45 tahun kemudian Kupu-kupu ini
kembali banyak ditemukan (Leefmans, 1927
dalam Whitten, 2002). Mattimu, dkk (1977)
kemudian melaporkan bahwa

dari

hasil

Graphium androcles
penelitian

di kawasan wisata

Bantimurung, ia berhasil menemukan 103 species Kupu-kupu.


Setelah kurang lebih empat bulan mengekplorasi wilayah Maros dan
sekitarnya, di awal Nopember 1857 Wallace kembali ke Makassar untuk
mengepak koleksinya lalu melanjutkan perjalanannya ke wilayah Ambon dan
Ternate serta tempat-tempat lainnya. Selama lebih dari enam tahun perjalanan
eksplorasi fauna di kawasan Kepulauan Indo-Malaya, Alfred Russel Wallace
berhasil mengumpulkan sebanyak 125.660 koleksi speciemen, yang terdiri dari
310 speciemen Mamalia, 100 speciemen Reptilia, 8.050 speciemen Burung,
7.500 speciemen Kerang, 13.100 speciemen (ordo) Lepidoptera, 83.200
speciemen (ordo) Coleoptera, serta 13.400 speciemen serangga lainnya. Setelah
lebih dari enam tahun di kawasan Indo-Malaya, pada musim semi di tahun 1862
Wallace tiba kembali ke negeri Inggris.
Alfred Russel Wallace (1890) melaporkan bahwa ia menemukan 256
species Kupu-kupu dari kawasan Bantimurung. Berbeda dengan laporan
tersebut, Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia
temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain adalah :
Papilio blumei, P. polites, P. sataspes, Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus,
dan Graphium androcles. Achmad (1998) telah meneliti secara khusus habitat
dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata Bantimurung selama
satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupu-kupu Troides haliphron dan
Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat
sempit, yakni hanya pada habitat berhutan di pinggiran sungai.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

26

Rencana Pengelolaan

Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga terkenal sebagai


habitat beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin
menurun di alam. Dare atau Kera Hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah salah
satu jenis primata endemik Sulawesi yang habitatnya meluas hampir di seluruh
kawasan. Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus Kecil (Stigocuscus
celebensis) juga dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Primata terkecil di dunia,
Tarsius spectrum atau oleh masyarakat setempat diberikan nama Balao-cengke,
belum lama ini secara meyakinkan telah tercatat di dalam daftar jenis
keanekaragaman hayati Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan
ditemukannya beberapa sarang di dalam kawasan pada bulan Maret 2008 oleh
staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Dari aspek tata air, kawasan
karst merupakan reservoir air raksasa
yang sangat strategis kedudukannya
dalam

menunjang

berbagai

kepentingan. Kemampuan bukit karst


dan mintakat epikarst pada umumnya
mampu menyimpan air selama tiga
hingga empat bulan setelah berakhirnya
Sungai Salenrang

musim penghujan, sehingga sebagian

besar sungai bawah tanah dan mata air di kawasan karst mengalir sepanjang
tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan formasi geologi utama berupa batuan
kapur, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan catchment
area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Beberapa sungai menghulu
di kawasan ini, antara lain sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai
yang mempengaruhi sistem hidrologi Danau Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai
Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung/Maros. Di samping itu juga
ditemukan beberapa mata air dan sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta
air bawah tanah pada sistem perguaan.

B. Kondisi Umum Kawasan


1. Kondisi Fisik Kawasan
a. Letak dan Luas Kawasan
Secara

administrasi

pemerintahan,

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung terletak di wilayah Kabupaten Maros dan


Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis areal ini terletak antara 119 34 17 119 55 13 Bujur

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

27

Rencana Pengelolaan

Timur dan antara 4 42 49 5 06 42 Lintang Selatan. Secara


kewilayahan, batas-batas TN. Babul adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru dan Bone;

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten


Bone;

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros;

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten


Pangkep.
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berbatasan atau

berhimpitan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten


Bone. Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi
kecamatan dan 40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Daftar kabupaten,
kecamatan dan kelurahan/desa yang berbatasan atau berhimpitan dengan
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilihat pada
lampiran 1.

Peta wilayah administrasi pemerintahan di dalam dan sekitar


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

28

Rencana Pengelolaan

b. Iklim
Berdasarkan perhitungan data curah hujan

yang dikumpulkan dari

beberapa stasiun yang ada disekitar kawasan Taman Nasional, ditemukan


bahwa pada wilayah bagian Selatan terutama bagian yang berdekatan
ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk ke dalam iklim D
(Schmidt dan Ferguson) sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang
Labboro, Tonasa dan Minasa Tene termasuk kedalam iklim tipe C,
sementara pada bagian utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan
Mallawa termasuk kedalam tipe B.
Peta

curah

hujan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

memperlihatkan adanya empat zona curah hujan, yakni curah hujan 2.250
mm, 2.750 mm, 3.250 mm dan 3.750 mm. Dari gambar di bawah ini terlihat
bahwa curah hujan 2.250 mm sampai 2.750 mm berada dibagian timur
kawasan taman nasional, dimana di wilayah inilah masyarakat banyak
memanfaatkan kawasan hutan.
Sebaliknya, curah hujan yang lebih tinggi yakni 3.250 mm sampai
3.750 mm, berada di bagian barat taman nasional dimana sekitar 75 %
wilayah cakupannya merupakan arael karst. Di wilayah ini, pemanfaatan
lahan oleh masyarakat dalam kawasan hutan relatif kecil karena kondisi
tanah yang tidak memungkinkan. Sisanya 25 % yang berupa ekosistem non
karst dan menyebar di bagian selatan, juga banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai lahan pertanian. Tingginya pemanfaatan lahan areal
taman nasional oleh masyarakat pada wilayah yang mempunyai curah hujan
tinggi, adalah merupakan ancaman terhadap sumberdaya lahan di wilayah
taman nasional, terutama kaitannya dengan erosi tanah.

Puncak gunung Bulusaraung dengan ketinggian 1.353 m dpl

c.

Geologi dan Tanah


Formasi geologi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dikelompokkan menurut jenis batuan, yang didasarkan pada ciri-ciri litologi
dan dominasi dari setiap satuan batuan. Formasi-formasi tersebut adalah
sebagai berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

29

Rencana Pengelolaan

Formasi Balang Baru. Formasi balang baru terdiri dari perselingan serpih
dengan batu pasir, batu lanau dan batu lempung, dengan struktur batuan
berlapis, menyerpih dan turbidit. Bentuk formasi ini menyebar di bagian
Utara yaitu di Kecamatan Mallawa. Satuan batuan ini adalah batuan
sedimen.

Batuan Gunung Api Terpropilitkan. Batuan ini terdiri dari breksi dan lava,
menyebar pada bagian Selatan, yaitu Kecamatan Tanralili Kabupaten
Maros. Lava umumnya bersifat andesitik, sebagian trakit dan basal.

Formasi Mallawa. Formasi ini terdiri atas batu pasir kuarsa, batu lanau,
batu lempung dan konglomerat, dengan sisipan atau lensa batubara.
Penyebarannya berada di Kecamatan Watang Mallawa, di daerah
Ammasangeng, dan Kecamatan Bantimurung. Batu pasir kuarsa
umumnya bersifat rapuh dan kurang kompak, berlapis tipis. Batubara
pada satuan batuan ini mempunyai ketebalan antara 0,5 - 1,5 meter.

Formasi Tonasa. Formasi ini terdiri dari batu gamping pejal, bioklastik,
kalkarenit, koral dan kalsirudit bersisik. Di daerah Kecamatan Watang
Mallawa batu gamping formasi tonasa ditemukan mengandung mineral
glauconit dan napal dengan sisipan breksi batu gamping.

Formasi Camba. Formasi ini terdiri dari perselingan batuan sedimen laut
dan batuan gunung api, yaitu batu pasir tufaan berselingan dengan tufa,
batu pasir, batu lanau dan batu lempung. Di beberapa tempat dijumpai
sisipan napal, batu gamping dan batu bara.

Batuan Gunung Api Formasi Camba. Batuan ini terdiri dari breksi, lava
dan konglomerat. Breksi dan konglomerat terdiri dari pragment andesit
dan basal, matriks dan semen tufa halus hingga pasiran.

Batuan Gunungapi Baturape-Cindako. Batuan ini terdiri dari lava dan


breksi gunung api, bersisipan tufa dan konglomerat. Breksi gunung api
umumnya berkomponen kasar berupa basal dan sedikit andesit dengan
ukuran fragment 15 - 60 cm, tersemen oleh tufa berbutir kasar hingga
lapilli dan banyak mengandung firoksin.

Batuan Terobosan. Batuan ini terdiri dari granodiorit, andesit, diorit, trakit
dan basal piroksin. Batuan ini menyebar setempat-setempat dan
menerobos batuan yang lebih tua di sekitarnya berupa retas, sill dan
stok.

Endapan aluvium. Batuan ini terdiri dari endapan aluvium sungai.


Endapan aluvium sungai berupa bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan
lempung.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

30

Rencana Pengelolaan

Ada dua jenis tanah yang umum ditemukan pada kawasan karst
Maros-Pangkep, dimana keduanya kaya akan kalsium dan magnesium.
Tanah jenis Rendolls mempunyai warna kehitaman karena tingginya
kandungan bahan organik, ditemukan pada dasar lembah lereng yang
landai, terutama di bagian Selatan dari karst Maros. Eutropepts merupakan
jenis tanah turunan dari inceptisol, umumnya ditemukan pada daerah yang
mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini sangat
dangkal dan berwarna terang.

d. Topografi dan Kelerengan


Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landskap karst, bentuk
permukaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung bervariasi
dari datar, bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian
kawasan yang bergunung terletak pada sisi Timur Laut kawasan atau
terletak pada blok Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa
Kabupaten Maros dan Gunung Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci
Kabupaten Pangkep. Puncak tertinggi terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di
sebelah Utara Pegunungan Bulusaraung. Puncak Gunung Bulusaraung
sendiri terletak pada ketinggian 1.353 m.dpl. Sisi ini dicirikan oleh
kenampakan topografi relief tinggi, bentuk lereng yang terjal dan tekstur
topografi yang kasar.
Daerah perbukitan dicirikan oleh bentuk relief dan tekstur topografi
halus sampai sedang, bentuk lereng sedang sampai rendah, bentuk bukit
yang tumpul dengan lembah yang sempit sampai melebar. Daerah
perbukitan ini dapat dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan
sedimen dan perbukitan karst. Kawasan dengan topografi dataran dicirikan
oleh bentuk permukaan lahan yang datar sampai sedang dan sedikit
bergelombang, relief rendah dan tekstur topografi halus. Bentuk permukaan
seperti ini banyak dijumpai di antara perbukitan karst yang berbentuk
menara.

e. Hidrologi
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan
bagian dari hulu beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Sisi sebelah
Timur antara lain merupakan hulu Sungai Walanae yang merupakan salah
satu sungai yang mempengaruhi sistem Danau Tempe. Pada bagian Barat
terdapat Sungai Pangkep dan Sungai Bone di Kabupaten Pangkep, Sungai
Pute dan Sungai Bantimurung di Kabupaten Maros. Sungai Bantimurung

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

31

Rencana Pengelolaan

adalah merupakan sumber pengairan persawahan di Kabupaten Maros serta


dimanfaatkan untuk pemenuhan air bersih bagi masyarakat Kota Maros.
Disamping itu, juga ditemukan beberapa mata air dan sungai-sungai kecil,
terutama di wilayah karst, serta aliran air bawah tanah/danau bawah tanah
pada sistem perguaan. Mata air berdebit besar dijumpai pada batu gamping
pejal dengan debit 50 - 250 l/dtk, sedang mata air yang muncul di batuan
sedimen terlipat dan batuan gunung api umumnya kurang dari 10 l/dtk.
Fluktuasi debit air sungai-sungai besar dari dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih relatif stabil sepanjang
tahun, namun berbeda dengan debit pada sungai di permukaan karst.

Bentuk relief dan kondisi hidrologi di dalam dan sekitar


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

f.

Potensi Wisata
Beragam jenis kegiatan wisata dapat dilakukan di dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Aktifitas wisata yang telah lama
berlangsung dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah kegiatan wisata
tirta pada Air Terjun Bantimurung. Telah banyak fasilitas wisata yang
tersedia di kawasan ini, yaitu antara lain tersedianya fasilitas Guest House,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

32

Rencana Pengelolaan

Baruga Bantimurung, kolam renang, shelter, pintu gerbang dan loket, jalan
trail, kantor pengelola, Butterfly Breeding, pusat informasi, toko cindera mata,
warung makan, fasilitas MCK, dan lain sebagainya. Aktifitas wisata tirta di
kawasan Air Terjun Bantimurung tersebut dapat dirangkaikan pula dengan
kegiatan penelusuran gua serta menikmati keindahan warna-warni Kupukupu di habitat aslinya.
Selain pada kawasan Bantimurung, pada kawasan Pattunuang Asue/
Biseang Labboro juga dapat dilakukan aktifitas wisata yang beragam, mulai
dari wisata tirta sampai dengan pengamatan satwa unik. Untuk wisatawan
minat khusus, dapat dilakukan olah raga panjat tebing pada beberapa tempat
terpisah.
Tracking dapat dilakukan pada beberapa tempat, terutama banyak
dilakukan pada kompleks Pegunungan Bulusaraung. Kawasan ini telah
banyak dikenal oleh para pendaki gunung, terutama kalangan Pecinta Alam.
Kegiatan pendakian Gunung Bulusaraung dapat diperuntukkan bagi para
pendaki kelas pemula, bahkan dapat pula diperuntukkan bagi anak-anak dan
seluruh keluarga.
Caving atau selusur gua dapat dilakukan di banyak tempat pada
kawasan ekosistem karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada
beberapa tempat dapat ditemukan gua yang mempunyai nilai arkeologis dan
historis sehingga memungkinkan adanya kegiatan wisata, baik sebagai
obyek wisata khusus gua maupun sebagai usaha untuk mengembangkan
kegiatan speleologi serta wisata budaya. Menurut para ahli sejarah
kepurbakalaan, gua-gua merupakan bekas hunian manusia beribu-ribu tahun
silam, sebelum mereka mengenal cara membangun rumah tempat tinggal.
Sampai saat ini, telah tercatat 16 buah gua yang ditemukan pada eks
kawasan TWA. Bantimurung, yaitu antara lain : Gua Anjing (panjang lorong
60 m), Gua Bantimurung (panjang lorong 150 m), Gua Anggawati 1
(panjang lorong 170 m), Gua Towakala (panjang lorong 80 m), Gua
Baharuddin (panjang lorong 137 m), dan Gua Watang (panjang lorong
440 m).
Pada wilayah eks CA. Bantimurung terdapat 34 gua, satu diantaranya
dan yang paling dikenal adalah Gua Mimpi yang panjangnya 1.415 meter
dengan kedalaman 48 meter. Keseluruhan gua tersebut mudah dijangkau
dan keindahannya sangat menarik. Di dalam gua terdapat stalaktit, stalakmit,
flow-stone, helektit, pilar, dan sodastraw. Gua lainnya yang ditemukan pada
eks CA. Bantimurung ini antara lain: Gua Lubang Air, Gua Lubang Kelu
(panjang lorong 90 m), Gua Buttu (panjang lorong 500 m), Gua Nasir

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

33

Rencana Pengelolaan

(panjang lorong 800 m). Keseluruhan gua tersebut memiliki keindahan


berupa stalaktit dan stalakmit serta sebagai tempat berkembang biak Burung
Walet (Collocalia sp), kelelawar, laba-laba, lipan dan lain-lain.
Pada eks TWA. Gua Pattunuang, telah ditemukan 40 gua. Gua-gua
ini masih alami dan belum mengalami perubahan oleh aktivitas manusia.
Panoramanya sangat indah, ornamen stalaktit dan stalakmitnya sangat
mengagumkan, sehingga dapat memberikan kesan khusus kepada para
pengunjung ataupun para peneliti yang datang ke kawasan ini. Umumnya,
gua di kawasan ini dapat dijangkau dengan mudah dengan panjang lorong
rata-rata 1.000 meter, dengan kedalaman 30 meter.
Gua yang ada pada eks TWA. Gua Pattunuang antara lain adalah :
Gua Anggawati 2 (panjang lorong 1.000 m), Gua Restaurant (panjang
lorong 1.400 m), Gua de Lapisaine (panjang lorong 300 m), Gua
Pattunuang 1 dan 2 (panjang lorong masing-masing 500 m), Gua Sambueja
1 dan 2 (panjang lorong masing-masing 300 m dan 1.400 m), Gua Kado
(panjang lorong 1.400 m), Gua Jaria (panjang lorong 900 m), Gua Auxmain (panjang lorong 600 m) dan lain-lain.
Di wilayah eks CA. Karaenta juga ditemukan banyak gua. Di wilayah
inilah terdapat gua terpanjang di antara gua yang ada di Kabupaten Maros.
Gua yang paling banyak di kenal di wilayah tersebut adalah Gua Salukkang
Kallang. Menurut hasil ekspedisi gua ini, panjang lorongnya mencapai
12.463 m. Pemandangan di dalam gua ini sangat menakjubkan, terdapat
sangat banyak ornamen gua serta genangan air. Dalam air tersebut terdapat
ikan dan udang yang tidak mempunyai mata. Selain gua ini juga dikenal Gua
Tanette. Gua ini panjang lorongnya mencapai 9.700 meter dengan
ketinggian dinding 25 meter. Menurut hasil penelitian, Gua Tanette
merupakan satu kesatuan dengan Gua Salukkang Kallang.

Penyebutan

nama hanya disebabkan oleh tempat di mana pintu gua berada. Apabila
kedua gua ini ditelusuri dari satu arah maka panjangnya lorongnya mencapai
22 Km dan diduga merupakan gua terpanjang di Indonesia.
Gua lainnya adalah Gua Gunung Batu, (panjang lorong 400 m), Gua
Artaga (panjang lorong 1.900 m), Gua Lubang Gula Merah (panjang lorong
3.900 m), Gua Saripa (panjang lorong 1.736 m), Gua Pangea (3 buah)
masing-masing panjang lorongnya 300 m, 500 meter, dan 1.000 m, Gua
Monyet (panjang lorong 112 m), Gua Batu Merah (panjang lorong 749
m), dan Gua Kabut (panjang lorong 1.095 m).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

34

Rencana Pengelolaan

Di areal karst Mallawa (eks CA. Bulusaraung) juga terdapat potensi


alam yang berupa gua, namun relatif sedikit jumlahnya dibandingkan dengan
areal yang telah dijelaskan sebelumnya. Gua yang ada di wilayah ini antara
lain adalah Gua Lumpia (panjang lorong 50 m), Gua Babi (panjang lorong
100 m), Gua Meocunge (panjang lorong 100 m), Gua Salame (panjang
lorong 150 m), Gua Karabice (panjang lorong 350 m), Gua Mellopungi
(panjang lorong 200 m), dan Gua Pangui (panjang lorong 760 m).
Selain gua-gua tersebut di atas yang berpotensi untuk wisata alam
selusur gua, pada kawasan TN.
Babul

dapat

pula

dilakukan

selusur gua untuk tujuan wisata


budaya. Kawasan arkeologis atau
situs tersebut adalah kawasan
yang mengandung peninggalan
hasil budaya manusia di masa lalu
Flowstone

atau cagar budaya yang harus


diamankan,

dilindungi

dan

dimanfaatkan. Pada dasarnya benda cagar budaya dan situs mempunyai


fungsi sebagai bukti sejarah, sumber sejarah, obyek ilmu pengetahuan,
cermin sejarah, media pembinaan nilai-nilai budaya, media pendidikan,
media untuk memupuk kepribadian bangsa di bidang kebudayaan dan
ketahanan nasional, serta obyek wisata budaya. Benda cagar budaya dan
situs mempunyai hubungan dengan beberapa faktor kepentingan lain seperti
riset ilmiah, seni yang kreatif, pendidikan, rekreasi dan turisme, representasi
simbolis, pengesahan tindakan, integrasi dan kesetiakawanan sosial,
keuntungan ekonomi dan moneter. Oleh karena itu benda cagar budaya dan
situs perlu diupayakan perlindungan dan pelestariannya.
Secara geologis, perbukitan karst yang ada di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung di dominasi oleh sebaran batu gamping
yang terbentuk di dasar laut sejak awal masa Eosen, kemudian secara
evolusi endapan ini terangkat ke permukaan laut. Sifat batu gamping yang
mudah tertembus air memungkinkan terjadinya rongga-rongga yang
kemudian membentuk gua-gua payung tersebut. Setelah ribuan atau bahkan
jutaan tahun berlalu, bersamaan pula dengan surutnya air laut, maka guagua tersebut merupakan tempat hunian yang ideal pada saat itu. Bukti-bukti
temuan seperti alat-alat litik, sisa-sisa makanan, dan perhiasan dapat
memperkuat tentang fungsi gua pada suatu masa tertentu (masa
prasejarah).

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

35

Rencana Pengelolaan

Ciri yang menarik dari gua-gua prasejarah yang ditemukan di wilayah


Maros-Pangkep, adalah adanya lukisan yang terdapat pada dinding-dinding
gua yang menggambarkan cap tangan, binatang, serta obyekobyek lain
yang merupakan lambang kegiatan religi masyarakat pada masa itu, seperti
alat-alat

berburu,

pertanian,

mengumpulkan

makanan,

nelayan

dan

peternakan, yang kesemuanya terbuat dari batu atau tulang belulang.


Kegiatan wisata lain yang dapat dilakukan pada kawasan TN. Babul
adalah wisata atraksi satwa, terutama untuk jenis-jenis Kupu-kupu dan Kera
Hitam Sulawesi (Macaca maura). Hal menarik yang baru saja terungkap di
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah ditemukannya
jenis Tarsius spectrum. Jenis ini dapat dengan mudah diamati karena letak
sarangnya yang cukup mudah dijangkau. Selama ini, Tarsius hanya banyak
diketahui di wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Dalam beberapa
ekplorasi antara tahun 2007 hingga 2008, jenis ini banyak didokumentasikan
dengan menggunakan kamera. Pada bulan Maret tahun 2008, staf Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berhasil menemukan salah satu
sarangnya.

g. Sarana dan Prasarana


Sarana prasarana pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pada
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung hingga saat ini masih sangat
terbatas. Untuk kebutuhan perlindungan dan pengamanan kawasan hanya
tersedia sebuah pondok kerja berukuran 70 M2, serta tiga buah pos jaga
berukuran 20 M2. Untuk keperluan wisata pada Blok Bantimurung, telah
tersedia beberapa fasilitas wisata yang memadai untuk wisatawan lokal
namun belum representatif untuk wisatawan manca negara. Seluruh fasilitas
wisata yang telah tersedia pada Blok Bantimurung juga adalah investasi
Pemerintah Kabupaten Maros dan dikelola secara langsung oleh pemerintah
setempat bersama masyarakat sekitar.
Pada Blok Pattunuang telah tersedia loket karcis, beberapa shelter dan
MCK serta jalan trail namun belum dilengkapi dengan fasilitas wisata
penunjangnya, terutama jalan untuk akses mencapai loket, tempat parkir
serta pengenal kawasan atau biasanya berbentuk pintu gerbang. Pada
kawasan Pattunuang juga tersedia fasilitas demplot penangkaran Kupukupu, namun kondisinya tidak lagi menarik karena kurangnya pemeliharaan
sejak dibangun pada tahun 1998. Pada Blok Bantimurung, tersedia sebuah
demplot penangkaran Kupu-kupu yang cukup diminati oleh berbagai

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

36

Rencana Pengelolaan

kalangan, baik untuk keperluan penelitian, pendidikan, serta untuk kegiatan


wisata bagi kalangan tertentu.
Untuk keperluan operasional pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, sampai saat ini hanya tersedia 2 unit kendaraan
roda-4 dan 5 unit kendaraan roda-2, serta sebuah kantor berukuran 800 M2
yang belum dilengkapi dengan sarana meubelair yang memadai. Sampai
saat ini, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yang masing-masing
berkedudukan di Balocci Kabupaten Pangkep dan Camba Kabupaten Maros
belum memiliki gedung kantor tersendiri.

h. Aksesibilitas
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dicapai
dari beberapa sisi, yaitu dari sisi Selatan (Bantimurung) dan dari sisi Barat
(Balocci). Sisi Selatan atau tepatnya obyek wisata Air Terjun Bantimurung
berjarak 42 Km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
Jarak ini dapat ditempuh selama

60 menit. Untuk pengunjung yang

berasal dari luar provinsi atau pengunjung manca negara, kawasan


Bantimurung berjarak 21 Km dari Bandar Udara Internasional Hasanuddin
atau dapat dicapai dalam waktu 30 menit. Tersedia banyak fasilitas
angkutan umum untuk dapat mencapai lokasi ini sepanjang hari.

2.

Kondisi Bioekologi
a. Tipe Ekosistem
Berdasarkan tipe ekosistem hutan yang ada (mengikuti Sastrapradja
dkk dan Whitten et al), kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dibagi ke dalam tiga tipe ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan di atas
batuan karst (forest over limestone/ hutan di atas batu gamping) atau lebih
dikenal dengan nama ekosistem karst, ekosistem hutan dataran rendah,
serta ekosistem hutan pegunungan bawah. Batas ketiga tipe ekosistem ini
sangat jelas karena hamparan batuan karst yang berdinding terjal dengan
puncak menaranya yang relatif datar, sangat berbeda dengan topografi
dataran rendah yang mempunyai topografi datar sampai berbukit, serta
kondisi ekosistem hutan pegunungan yang ditandai oleh bentuk relief yang
terjal atau terkadang bergelombang.
Pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, terdapat
dua lokasi ekosistem karst yang saling terpisah, yaitu di wilayah Maros Pangkep pada bagian barat taman nasional, dan di ujung Utara, yakni di
wilayah Mallawa. Para ahli geologi membedakan kedua kelompok karst ini,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

37

Rencana Pengelolaan

yakni yang pertama dikenal dengan kelompok Pangkajene dan yang kedua
disebut kelompok pegunungan bagian Timur. Kedua lokasi ini merupakan
wilayah penyebaran vegetasi bukit karst (vegetasi bukit kapur) dan lainnya
merupakan areal penyebaran vegetasi hutan dataran rendah.
Geomorfologi

karst

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

berbentuk karst menara (pada beberapa referensi disebut sebagai The


Spectacular Tower Karst), yang merupakan satu-satunya di Indonesia dan
berbeda dengan tempat-tempat lain yang pada umumnya berbentuk karst
kerucut (conicall hill karst) atau peralihan antara karst menara dan kerucut.
Seperti pada umumnya kawasan karst, ekosistem karst Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung memiliki sangat banyak gua dengan ornamen
stalagtit dan stalagmit serta ornamen endokarst lainnya.

b. Flora dan Fauna


Tingginya kandungan kalsium dan magnesium dari batuan kapur yang
mendominasi

areal

karst

di

wilayah

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung, menyebabkan terbatasnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat


hidup pada ekosistem tersebut. Achmad (2001) melakukan penelitian
vegetasi pada empat tipe habitat, yakni daerah puncak, tebing, lereng dan
lorong patahan di wilayah yang dulu merupakan areal Taman Wisata Alam
Gua Pattunuang. Ia melaporkan adanya variasi jenis yang menyusun
kelompok vegetasi pada ke empat tipe habitat tersebut. Bahkan ada jenis
yang ditemukan sangat spesifik berdasarkan tempat tumbuhnya.
Jenis flora yang terdapat di dalam Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sangat beraneka ragam dan di antaranya terdapat jenis-jenis
dominan seperti palem wanga (Piqafetta filaris dan Arenga sp.) yang tidak
dijumpai lagi pada ketinggian di atas 1.000 m.dpl. Jenis kayu-kayuan antara
lain terdiri dari Uru (Elmerillia sp.), Casuaria sp., Duabanga moluccana,
Vatica sp., Pangium edule, termasuk dijumpai tegakan murni Eucalyptus
deglupta. Pada hutan pegunungan bawah dijumpai Litsea sp., Agathis
philippinensis, berbagai jenis bambu dan Ficus sumatrana.
Hutan primer bukan pada batuan kapur ditemukan pada kompleks
Pegunungan Bulusaraung, hutan pendidikan Bengo-Bengo dan formasi
hutan di Kecamatan Camba dan Mallawa, serta sedikit di bagian Selatan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Berdasarkan hasil eksplorasi,
diketahui bahwa pada hutan dataran rendah tersebut dihuni oleh jenis-jenis
Vitex cofassus (bitti), Palaquium obtusifolium (nyatoh), Pterocarpus indicus
(cendrana), Ficus spp. (beringin), Sterqulia foetida, Dracontomelon dao

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

38

Rencana Pengelolaan

(dao), Dracontomelon mangiferum, Arenga pinnata (aren), Colona sp.,


Dillenia serrata, Aleurites moluccana (Kemiri), Pterospermum celebicum
(bayur),

Mangifera

spp.

Cananga

odoratum

(kenanga),

Duabanga

moluccana, Eugenia spp., Garcinia spp., Zizigium cuminii, Arthocarpus spp.,


Diospyros celebica (kayu hitam), Buchanania arborescens, Antocephalus
cadamba, Myristica sp., Knema sp., dan Calophyllum inophyllum.
Masih sangat banyak potensi fauna yang belum berhasil diidentifikasi
dengan baik di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Kegiatan eksplorasi, identifikasi dan inventarisasi masih perlu lebih sering
dilakukan,

baik

oleh

pengelola,

peneliti

maupun

pihak-pihak

yang

berkepentingan lainnya. Jenis mamalia yang telah berhasil diidentifikasi di


dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung antara lain
beberapa jenis kelelawar, Kera Hitam Sulawesi, Tarsius, Kuskus Beruang,
Kuskus Sulawesi, Musang Sulawesi, Babi Hutan dan Rusa.
Kelelawar adalah jenis penting yang karena kedudukannya dalam
ekosistem, satwa ini digolongkan sebagai Key stone species (Primarck,
1993). Ia menjelaskan bahwa keluarga kelelawar terdiri dari hampir 200
jenis, dimana 25% diantaranya adalah genus Pteropus. Jenis-jenis dari
genus ini mempunyai peranan yang penting, dan mungkin hanya mereka
yang melakukan penyerbukan dan penyebaran biji dari kurang lebih 100
jenis tumbuhan di daerah tropis. Di samping itu, kelelawar membawa sisasisa makanan ke dalam gua yang sangat dibutuhkan oleh organisme
penghuni gua lainnya.
Kuskus merupakan satu-satunya komponen mamalia Irian-Australia
yang sebarannya sampai ke kawasan Sulawesi (batas bagian Barat).
Wirawan (1993) menginformasikan bahwa Kuskus yang berada di Karaenta
adalah jenis endemik Sulawesi, yakni Kuskus Sulawesi (Strigocuscus
celebencis) dan Kuskus Beruang (Ailurops ursinus).
Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii) adalah satwa yang
terdiri dari satu genera dengan satu species, dan merupakan satwa endemik
Sulawesi. Wirawan (1993) melaporkan bahwa Mastura (1993) telah
menemukan satwa ini di wilayah Karaenta. Panjang kepala dan badannya
kira-kira 1 meter, dengan panjang ekor 0,6 meter. Bagian tubuh atas
(punggung) berwarna coklat muda sampai coklat tua, bagian bawah putih
dengan dada kemerah-merahan dan bercak-bercak coklat di sisi kiri dan
kanan badannya. Strip coklat dan coklat muda melingkari ekor. Musang ini
memakan mamalia kecil dan buah-buahan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

39

Rencana Pengelolaan

Tarsius adalah merupakan primata terkecil di dunia. Wirawan (1993)


melaporkan bahwa ia pernah melihat Tarsius di wilayah Karaenta.
Walaupun hanya melihat 1 ekor, namun berdasarkan suara-suaranya ia
yakin jika populasinya lebih dari satu. Hal ini diperkuat oleh seorang pegawai
PPA di Karaenta yang pernah mengantar ahli Tarsius ke lokasi di mana
satwa ini berada. Ada 2 species Tarsius yang hidup di Sulawesi, namun
belum ada informasi tentang jenis apa yang ada di wilayah Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung pada saat itu. Panjang kepala dan badan satwa ini
berkisar

antara

sedangkan

8,5-16,0

ekornya

cm,

bervariasi

antara 13,5-27,0 cm. Kera mungil ini


memiliki mata bulat yang besar,
serta jari-jari yang panjang untuk
berpegangan.
pohon
Tarsius spectrum

(serangga

Mereka

dan

hidup

mencari

dan

di

makan

binatang

kecil

lainnya) di malam hari.


Dalam beberapa eksplorasi antara tahun 2007 hingga 2008, jenis ini
banyak didokumentasikan dengan menggunakan kamera. Tim eksplorasi
kawasan karst IPB untuk kelompok Mamalia yang dipimpin oleh A. Haris
Mustari

pada

bulan

Agustus

2007

untuk

mendokumentasikan keberadaan Tarsius

pertama

di dalam

kali

berhasil

Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung. Cahyo Alkantana dalam sebuah seminar kegiatan


speleologi yang di selenggarakan oleh HIKESPI bekerja sama dengan Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada tanggal 16 Agustus 2007,
menginformasikan bahwa menemukan Tarsius di kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sangat mudah dan tidak sesulit di wilayah
Sulawesi Utara dan Tengah. Pada bulan Maret tahun 2008, beberapa orang
staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berhasil menemukan
salah satu sarangnya dan berhasil membuat dokumentasi yang menarik.
Meskipun belum ada laporan tentang species tikus yang ada di wilayah
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, namun Whitten et al (1987)
menginformasikan adanya sebaran tikus yang cukup luas di Sulawesi. Ada
18 jenis tikus endemik di Sulawesi, dan tidak tertutup kemungkinan bahwa
ada diantara jenis-jenis tersebut yang

juga hidup dalam wilayah Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung.


Berbagai jenis burung dapat ditemukan di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Achmad (2000) pernah melaporkan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

40

Rencana Pengelolaan

jenis-jenis burung yang ada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung. Jenis-jenis yang ditemukan di kawasan ini antara lain
Rangkong

Sulawesi

(Rhyticeros

cassidix),

Kangkareng

Sulawesi

(Penelopides exarhatus), Elang, Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Kurcica


(Saxicola caprata), Raja Udang (Halcyon chloris), Punai (Treron sp.), Pelatuk
(Dendrocarpus teiminkii), Srigunting (Dicrurus hottentotus), Walet (Collocalia
spp.), Burung hantu (Otus manadensis), Burung pipit 3 jenis (Loncura
molucca, Loncura malacca, dan Loncura vallida), Burung tekukur (Micropaga
amboinensis), Capili (Turacaena manadensis), Kakaktua Putih Jambul
Kuning

(Cacatua

sulphurea),

Kakaktua

Hijau

Danga

(Tanignatus

sumatranus), serta Ayam Hutan (Ghallus gallus).


Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) Phyton HIMAKOVA Institut
Pertanian Bogor melakukan survey keanekaragaman herpetofauna sebagai
bagian

dari

program

Konservasi

Herpetofauna

di

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung. Survei ini dilakukan selama 2 bulan, yakni pada


bulan Juli sampai Agustus 2007. Berdasarkan hasil survei ditemukan 37 jenis
herpetofauna, yang terdiri dari 24 jenis reptil dan 13 jenis katak, termasuk 3
jenis yang belum teridentifikasi. Di antara jenis yang dijumpai, termasuk
jenis-jenis endemik Sulawesi seperti Kodok Bufo celebensis dan Rana
celebensis, serta reptil endemik seperti Ular Kepala Dua (Cylindrophis
melanotus), Calamaria muelleri dan Cicak Hutan (Cyrtodactylus jellesmae).
Kadal akuatik yang disebut Soa-soa (Hydrosaurus amboinensis) dapat
dijumpai berjemur di batu-batu besar sepanjang sungai di Pattunuang. Di
Bontosiri (Pegunungan Bulusaraung), katak jenis Limnonectes modestus
meletakkan telurnya di daun-daun pada tumbuhan bawah sepanjang sungai,
dan terkadang terdapat jantan yang sedang menjaga telurnya. Jenis lain
yang dapat dijumpai adalah kadal terbang (Draco sp.) yang sering diawetkan
dan dijual sebagai souvenir.
Mattimu (1977) melaporkan bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia
temukan di hutan wisata Bantimurung, dengan jenis endemik antara lain
adalah : Papilio blumei, P. polites, P.sataspes, Troides haliphron, T. helena,
T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad (1998) telah meneliti secara
khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis komersil di hutan wisata
Bantimurung selama satu tahun. Ia juga menginformasikan bahwa kupukupu Troides haliphron dan Papilio blumei adalah dua jenis endemik yang
mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni hanya pada habitat berhutan
di pinggiran sungai.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

41

Rencana Pengelolaan

Sampai dengan tahun 2008, pada kawasan Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung telah terdaftar sebanyak 356 species satwa liar.
Daftar jenis satwa liar tersebut dihimpun dari berbagai sumber yang dapat
dipercaya serta hasil dari kegiatan identifikasi jenis yang dilakukan oleh Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sendiri. Jenis-jenis satwa liar
tersebut terdiri dari 6 species Mamalia, 73 species Aves, 7 species Amphibi,
19 species Reptilia, 224 species Insecta,

serta 27 species Collembola,

Pisces, Moluska dan lain sebagainya. Dari 356 species satwa liar yang telah
terdaftar pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 30 species
diantaranya adalah species satwa liar yang dilindungi undang-undang, 1
species diantaranya adalah species satwa liar yang termasuk dalam
Appendix I CITES, 9 species diantaranya adalah species satwa liar yang
termasuk dalam Appendix II CITES, dan 1 species diantaranya adalah
species satwa liar yang termasuk dalam Appendix III CITES.
Selain jenis-jenis satwa liar, terdapat juga 302 species tumbuhan alam
telah terdaftar pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
yang terdiri dari 2 family kelas Monocotyledonae dan 43 family kelas
Dicotyledonae. Dari 302 species tumbuhan alam yang telah terdaftar pada
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 1 species diantaranya adalah
species tumbuhan alam yang dilindungi undang-undang, 1 species
diantaranya adalah species tumbuhan alam yang termasuk dalam Appendix
II CITES, dan 1 species diantaranya adalah species tumbuhan alam yang
termasuk dalam Appendix III CITES. Suatu hal yang cukup unik dari
keberadaan tumbuhan alam tersebut adalah adanya 43 species/ sub species
tumbuhan alam dari marga Ficus. Jenis-jenis Ficus ini adalah makanan
utama bagi banyak jenis satwa liar termasuk pula yang paling umum Kera
Hitam Sulawesi/ Dare (Macaca maura). Daftar kekayaan jenis flora dan
fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara lengkap dapat
dilihat pada lampiran 2.
Daftar keanekaragaman hayati di dalam Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung masih akan terus bertambah panjang seiring dengan semakin
intensifnya pelaksanaan identifikasi, inventarisasi ataupun sensus di dalam
kawasan. Daftar jenis keanekaragaman hayati tersebut, hingga saat ini
masih sebatas menjadi daftar. Upaya-upaya konservasi keanekaragaman
hayati di dalam kawasan masih dalam tahap pengumpulan dan pengolahan
data, serta pemetaan sebaran habitatnya di dalam kawasan. Kajian lebih
lanjut tentang bagaimana kondisi populasinya di dalam kawasan, daya
dukung habitat terhadap kelangsungan populasi jenis tersebut, serta hal-hal

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

42

Rencana Pengelolaan

lain yang terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati belum dapat


diupayakan hingga saat ini. Belum lagi upaya untuk pengamanan populasi
yang ada saat ini, serta peluang pemanfaatan atraksi keanekaragaman
hayati untuk ikut mendukung pengembangan pariwisata alam.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dikenal ke segala penjuru
dunia dengan potensi Kupu-kupunya. Jenis-jenis tersebut malah dapat
dikatakan sebagai Flag Species taman nasional ini yang sudah dikenal sejak
Alfred Russel Wallace mempublikasikan jurnal perjalanannya yang berjudul
The Malay Archipelago pada tahun 1890. Namun sayang, karena
termashurnya potensi tersebut, eksploitasi Kupu-kupu dilakukan secara
berlebihan dengan memanfaatkan stock alam. Sampai dengan tahun 2004,
belum ada upaya untuk membudidayakan jenis-jenis Kupu-kupu, sedangkan
pemanfaatannya semakin berkembang dan merajalela. Untuk itu, telah
dilakukan

upaya

penangkaran

sebagai

demplot

percontohan

bagi

masyarakat sejak tahun 2005 dan terus beroperasi hingga saat ini. Sampai
saat ini, sedikitnya ada empat species yang telah ditangkarkan pada demplot
percontohan

tersebut.

Selain

untuk

keperluan

budidaya,

demplot

penangkaran tersebut juga berfungsi sebagai tempat pengamatan atraksi


Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk masyarakat
umum.
Telur

Pre-Pupa

Ulat

Pupa

Kupu-kupu
Dewasa

Siklus Metamorfosis Kupu-Kupu

C. Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat


Sebagaimana

telah

diuraikan

sebelumnya,

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung berada di dalam tiga wilayah administrasi kabupaten.


Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan dan
40 wilayah administrasi kelurahan/ desa. Secara keseluruhan di tiap kecamatan yang
berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat
populasi penduduk sebanyak 171.785 jiwa yang terdiri dari 83.286 jiwa pria dan
88.499 jiwa wanita. Kepadatan populasi penduduk rata-rata di seluruh wilayah
2
kecamatan sebanyak 97 jiwa/Km . Dari setiap kecamatan, kepadatan populasi

penduduk tertinggi berada di Kecamatan Minasa Tene Kabupaten Pangkep dan


Kecamatan Simbang Kabupaten Maros, sedangkan kepadatan populasi penduduk

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

43

Rencana Pengelolaan

terendah berada di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone dan Kecamatan


Tompobulu Kabupaten Maros.
Kecamatan Minasa Tene Kabupaten Pangkep dihuni oleh banyak populasi
manusia karena di wilayah ini terdapat pusat-pusat perindustrian dan perdagangan.
Sebagian wilayah Kecamatan Minasa Tene juga sangat dekat dengan wilayah
Ibukota Kabupaten Pangkep. Di kecamatan ini terdapat pusat pemukiman
perusahaan pertambangan milik PT. Semen Tonasa yang berkapasitas cukup besar.
Berbeda dengan Kecamatan Minasa Tene, Kecamatan Simbang Kabupaten Maros
juga memiliki kepadatan populasi penduduk yang cukup tinggi karena di wilayah ini
telah lama berkembang kegiatan-kegiatan pariwisata, kegiatan pertanian yang
Tambang yang berada di sekitar Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung

intensif

serta

kegiatan-kegiatan

pelayanan jasa. Pada kecamatan ini


juga terdapat markas sebuah batalyon
infanteri milik TNI Angkatan Darat.
Kantor

Balai

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung juga berada


di

dalam

wilayah

administrasi

Kecamatan Simbang.
Adapun kondisi kependudukan di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone
dan Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros yang cukup rendah, diasumsikan
karena bentuk topografi yang berbukit dan bergunung, fasilitas infrastruktur yang
minim, serta tingkat aksesibilitasnya yang rendah. Kondisi kependudukan pada
wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada akhir
tahun 2006 diuraikan pada tabel 1.
Tabel 1

No.

: Kondisi Kependudukan pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006
Kabupaten/
Kecamatan

Pria
(Jiwa)

Penduduk
Wanita
Jumlah
(Jiwa)
(Jiwa)

Sex
Ratio

Luas
Wilayah
2
(Km )

Kepadatan
2
(Jiwa/Km )

A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

MAROS
Bantimurung
Simbang
Cendrana
Camba
Mallawa
Tompobulu

13.640
10.667
6.576
6.858
5.687
7.121

14.333
11.251
7.570
7.263
6.043
6.572

27.973
21.918
14.146
14.121
11.730
13.693

95
95
87
94
94
108

173,70
105,31
180,97
145,36
235,92
287,66

161
208
78
97
50
48

B.
1.
2.
3.

PANGKEP
Balocci
Minasa Te'ne
Tondong Tallasa

8.008
13.835
4.567

8.286
15.589
4.966

16.294
29.424
9.533

97
89
92

143,48
76,48
111,20

114
385
86

C.
1.

BONE
Tellu Limpoe

6.327

6.626

12.953

95

318,10

41

83.286

88.499

171.785

94

1.778,18

97

Jumlah
Sumber : BPS, 2007

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

44

Rencana Pengelolaan

Kondisi pendidikan masyarakat pada wilayah-wilayah di sekitar kawasan


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sampai dengan tahun 2006 dapat
dianggap masih cukup rendah. Berdasarkan data kondisi pendidikan sebagaimana
tabel 2 di bawah, prosentase jumlah pelajar dari total populasi penduduk hanya
sebesar 19,07%. Sebagai bahan perbandingan, jumlah populasi masyarakat seluruh
Kabupaten Maros yang berada dalam usia sekolah (dengan asumsi usia 5 hingga 19
tahun) sebanyak 102.836 jiwa atau 34,56% dari total populasi 297.618 jiwa.
Dengan menggunakan angka prosentase populasi penduduk seluruh Kabupaten
Maros yang berada dalam usia sekolah, dibandingkan dengan prosentase jumlah
pelajar dari total populasi penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung yang hanya sebanyak 19,07%, maka terdapat sekitar 55% atau lebih
dari separuh penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di sekitar kawasan taman
nasional. Kenyataan yang demikian ini dapat digunakan sebagai salah satu
peringatan atau indikasi bahwa tekanan terhadap kawasan taman nasional masih
akan tetap tinggi hingga dua atau tiga dekade yang akan datang. Populasi penduduk
ini sebagian besar masih akan menggantungkan kebutuhan ekonominya dari bidangbidang pertanian (yang membutuhkan lahan), yang disebabkan oleh lemahnya daya
saing untuk memperoleh jenis pekerjaan lain yang mempersyaratkan pendidikan.

Tabel 2

No.

: Kondisi Pendidikan Masyarakat pada Wilayah-wilayah di sekitar Taman


Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2006
Kabupaten/
Kecamatan

Populasi
Penduduk
(Jiwa)

Jumlah Pelajar (orang)


TK

SD

SLTP

SLTA

Jumlah

Prosentase
Pelajar dari
Populasi

A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

MAROS
Bantimurung
Simbang
Cendrana
Camba
Mallawa
Tompobulu

27.973
21.918
14.146
14.121
11.730
13.693

270
210
157
269
92
0

3666
2985
1860
1673
1577
1637

1.606
687
380
530
375
353

808
62
0
487
147
0

6.350
3.944
2.397
2.959
2.191
1.990

22,70
17,99
16,94
20,95
18,68
14,53

B.
1.
2.
3.

PANGKEP
Balocci
Minasa Te'ne
Tondong Tallasa

16.294
29.424
9.533

162
186
191

2443
3610
1083

973
1.137
307

523
263
91

4.101
5.196
1.672

25,17
17,66
17,54

C.
1.

BONE
Tellu Limpoe

12.953

20

1813

130

1.963

15,15

Jumlah

171.785

1.557

22.347

6.478

2.381

32.763

19,07

Sumber : BPS, 2007

Masyarakat Kabupaten Maros, Pangkep dan Bone yang bermukim di sekitar


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada umumnya merupakan Etnis BugisMakassar yang menganut agama Islam. Kabupaten Maros dan Pangkep merupakan
daerah peralihan antara wilayah etnis Bugis dengan wilayah etnis Makassar,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

45

Rencana Pengelolaan

sehingga masyarakat yang berada di wilayah tersebut umumnya mampu berbahasa


Bugis dan Makassar. Pada beberapa kecamatan di Kabupaten Maros dan Pangkep,
terdapat komunitas yang menggunakan bahasa Dentong dan bahasa Makassar
berdialek Konjo. Sistem kepercayaan dan budaya masyarakat Maros, Pangkep dan
Bone sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Bugis-Makassar dan Islam. Nilai-nilai
budaya yang berlaku masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di wilayah tersebut.
Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Pelajar di sekitar TN Babul
30.000

25.000

20.000

15.000

10.000

5.000

Jumlah penduduk

Pelajar TK

Pelajar SD

Pelajar SLTP

Ta
lla
sa

Li
m
po
e
Te
ll u

Te
'n
e

ng
To
nd
o

Ba
lo
cc
i

M
in
as
a

To
m
po
bu
lu

M
al
la
w
a

C
am
ba

en
dr
an
a
C

Si
m
ba
ng

Ba
nt
im
ur

un
g

Pelajar SLTA

Sebagai masyarakat agraris, dikenal berbagai kegiatan kebudayaan yang


berkaitan dengan aktifitas pertanian, mulai dari persiapan lahan, penanaman dan
panen. Semangat gotong royong dalam pembuatan atau perbaikan saluran air, jalan
desa dan ritual budaya masih terpelihara dengan baik. Dalam penentuan waktu
musim tanam dilakukan kegiatan Tudang Sipulung yang dihadiri oleh masyarakat
dan aparat desa. Sedangkan kegiatan Mappadendang merupakan acara syukuran
yang dilaksanakan setelah musim panen padi. Disamping itu, dikenal berbagai
budaya lokal yang terkait dengan sistem kepemilikan (sanra, teseng, dan pewarisan)
dan perkawinan yang berkaitan dengan budaya agraris.
Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional selain bekerja sebagai
petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan hidupnya dari hasil
hutan. Bisa saja dikatakan bahwa tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya dari
hasil hutan, karena pada umumnya masyarakat ini juga mempunyai mata
pencaharian ganda. Aktifitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan
taman nasional umumnya adalah pembuatan gula aren, mencari madu, menangkap
kupu-kupu, memungut kemiri, dan mengambil kayu bahan bangunan, bahkan
sebagian masyarakat berkebun atau berladang di dalam kawasan taman nasional

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

46

Rencana Pengelolaan

karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang status lahan (pada umumnya
di wilayah-wilayah yang dulunya adalah hutan lindung dan produksi). Pemungutan
hasil hutan ikutan seperti gula aren, kemiri dan

madu merupakan aktifitas yang

memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat.


Penangkapan kupu-kupu juga merupakan sumber pendapatan masyarakat yang
bermukim di sekitar kawasan wisata Bantimurung (Kecamatan Bantimurung dan
Simbang).

D.

Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Telah Berkembang


Pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dan sekitarnya,
terutama di wilayah Kabupaten Maros dan Pangkep karena kedekatannya dengan
ibukota

Provinsi

Sulawesi

Selatan,

telah

berkembang

berbagai

kegiatan

pemanfaatan sumber daya alam terutama untuk keperluan di bidang pertanian,


kehutanan, perikanan, perkebunan, pertambangan, serta sektor perindustrian dan
perdagangan.
Di bidang pertanian, usaha persawahan dan pertanian lahan kering sangat
berkembang dan masyarakat pada umumnya masih sangat menggantungkan
hidupnya pada usaha ini. Areal persawahan di Kabupaten Maros dan Pangkep
merupakan areal sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menghasilkan dua kali
panen dalam satu tahun. Di Kecamatan Bantimurung sendiri, pada tahun 2006
mampu memproduksi Gabah sebanyak 41.606,36 Ton, Jagung sebanyak 1.714,50
Ton, Ubi Jalar sebanyak 768,54 Ton, Ubi Kayu sebanyak 717,70 Ton, Kacang Tanah
sebanyak 81,87 Ton, Kacang Kedelai sebanyak 852,69 Ton serta Kacang Hijau
sebanyak 169,33 Ton (BPS, 2007).
Dari aspek pertambangan, cadangan tereka endapan batuan karbonat di
Indonesia yang jumlahnya mencapai 39 trilyun ton merupakan aset negara yang
sangat menggiurkan bagi sektor pertambangan (Surono dkk, 1999 dalam Samodra,
2001). Batuan sebanyak itu memang tidak semuanya berupa batu gamping.
Sebagian merupakan batuan sedimen gampingan (yang bercampur dengan material
lain (pasir, lempung, tuf) serta dolomit. Dari seluruh singkapan batugamping yang
ada di Indonesia, sekitar 70% mempunyai bentang alam karst (Samodra, 2001).
Sebagai bahan galian, batu gamping di kawasan karst Maros-Pangkep
mempunyai aneka manfaat. Masyarakat sekitar memanfaatkan sumber daya yang
ada di sekitarnya sebagai bahan bangunan, terutama untuk keperluan pembuatan
fondasi rumah, jalan, jembatan dan isian bendungan, serta bahan pembuatan kapur
yang digunakan dalam konstruksi. Secara ekonomis, pemanfaatan seperti ini kurang
menguntungkan namun masyarakat dengan kondisi ekonomi menengah kebawah
yang ada di sekitar kawasan karst Maros-Pangkep tidak punya pilihan lain. Model

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

47

Rencana Pengelolaan

pemanfaatan yang demikian ini terkadang juga menjadi salah satu kendala dalam
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, karena sedikit banyaknya
akan menjadi ancaman di masa yang akan datang.
Batu

gamping

yang

merupakan

bahan

baku

utama

industri

semen

dimanfaatkan oleh dua industri besar di kawasan Maros-Pangkep, yaitu PT. Semen
Tonasa dan PT. Semen Bosowa. Areal kontrak karya kedua perusahaan ini berada di
luar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Untuk menghasilkan
semen dibutuhkan batu gamping, lempung dan pasir kuarsa yang kesemuanya itu
tersedia di kawasan karst Maros-Pangkep.
Batu Pualam atau di masyarakat awam lebih populer dengan sebutan marmer
banyak tersedia di kawasan karst Maros-Pangkep. Menurut Samodra (2001) di dunia
pertambangan, marmer mempunyai dua arti. Pertama sebagai hasil pemalihan
batuan karbonat oleh suhu yang tinggi dan yang kedua adalah sebagai nama dagang
untuk setiap batu gamping yang telah digosok menjadi mengkilap. Di kawasan karst
Maros-Pangkep terdapat banyak perusahaan pertambangan yang mengusahakan
batu gamping sebagai bahan pembuatan marmer. Usaha seperti ini banyak dilirik
oleh kalangan investor karena keuntungan ekonomi yang menjanjikan.
Dari segi pariwisata, kawasan karst Maros-Pangkep yang merupakan satusatunya karst menara di Indonesia menawarkan berbagai keindahan dan keunikan
yang mempunyai nilai jual tinggi. Tidak hanya eksokarst yang menampilkan
panorama alam yang indah dan unik, endokarst dengan berbagai ornamen
spleleothem juga merupakan pesona alam yang indah di dalam perut bumi. Kawasan
karst Maros-Pangkep, terutama yang berada di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sejak lama telah menjadi idola bagi para petualang.
Kegiatan panjat tebing, penelusuran gua, hiking dan berbagai macam kegiatan
kepecintaan alam telah banyak dilakukan. Selain gua-gua yang masih alami, terdapat
pula sedikitnya 89 gua di kawasan karst Maros-Pangkep yang merupakan situs
kepurbakalaan. Gua-gua ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata.
Di kawasan Bantimurung terdapat air terjun yang sudah sangat di kenal
kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Obyek wisata ini merupakan idola
masyarakat Sulawesi Selatan karena tingkat aksesibilitasnya yang tinggi. Pada tahun
2007, tercatat 569.103 orang pengunjung yang terdiri dari 2.152 orang wisatawan
mancanegara dan 566.951 orang wisatawan domestik. Obyek wisata ini di tahun
2007 mampu menghasilkan PAD bagi Pemerintah Kabupaten Maros sebesar Rp.
2.460.168.800,- hanya dari karcis pengunjung (belum termasuk jasa penggunaan
lahan parkir, jasa penggunaan fasilitas penunjang dan lain sebagainya). Obyek
wisata Bantimurung hingga tahun 2008 masih dikelola oleh Pemerintah Kabupaten
Maros yang sejak era 1970-an sudah dibuka untuk wisata. Setelah perubahan fungsi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

48

Rencana Pengelolaan

kawasan menjadi taman nasional, kawasan ini diupayakan untuk dapat dikelola
bersama karena sarana pendukung kegiatan wisata di kawasan ini adalah
merupakan aset Pemerintah Maros, termasuk pula lahan di sekitar kawasan,
sedangkan obyek wisata air terjun dan gua-gua sendiri berada di dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Upaya untuk pengelolaan secara
kolaboratif ini telah dirintis sejak tahun 2007
dan pada tahun 2008 sudah tercapai
kesepahaman tentang pengelolaan obyek
wisata

ini

Kabupaten

antara
Maros

pihak
dan

Pemerintah

Balai

Taman

Nasional Bantimurung Bulusaraung (hingga


Maret 2008, kesepahaman tersebut belum
Towakala, Bantimurung

dapat

direalisasikan

karena

belum

mendapat persetujuan dari Bupati Maros).

E.

Kelembagaan Masyarakat
Masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung merupakan masyarakat yang tergolong sudah dipengaruhi
oleh modernisasi karena letaknya yang tidak jauh dari ibukota provinsi. Selain
letaknya secara geografis, infrastruktur yang umumnya tersedia di wilayah perkotaan
juga telah banyak tersedia di desa-desa sekitar kawasan. Sarana komunikasi telepon
(termasuk juga telepon seluler) sudah menjangkau hampir seluruh bagian kawasan.
Fasilitas listrik (baik yang disediakan oleh PLN maupun swadaya masyarakat) juga
telah menjangkau pelosok pedesaan.
Walaupun demikian, kebersahajaan hidup masyarakat pedesaan masih dapat
dilihat di wilayah-wilayah tertentu, terutama di wilayah yang tingkat aksesibilitasnya
masih rendah. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah tersebut
pada umumnya berupa LKMD, kelompok tani dan koperasi. Pada daerah penyangga
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, di tahun 2006 dan 2007 telah
dibentuk dua sentra penyuluhan kehutanan pedesaan (SPKP), yaitu di Desa
Samangki Kecamatan Simbang dan Desa Pattanyamang Kecamatan Camba. Kedua
desa tersebut juga merupakan model desa konservasi yang dicanangkan sejak tahun
2006.

F.

Permasalahan Kawasan
Berbagai permasalahan masih menyelimuti upaya-upaya pengelolaan kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Permasalahan-permasalahan tersebut
pada dasarnya merupakan dampak dari upaya pembangunan ekonomi yang belum

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

49

Rencana Pengelolaan

berpihak kepada upaya konservasi, dampak dari populasi dan semakin tingginya
kebutuhan manusia akan sumber daya alam hayati, lemahnya koordinasi di kalangan
pemerintah serta masih lemahnya kelembagaan Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Beberapa

permasalahan

yang

dihadapi

oleh

Balai

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :


1. Kawasan-kawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya menjadi Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung belum clear and clean. Masih terdapat
tumpang tindih penggunaan atau kepemilikan lahan di dalam kawasan.
Berdasarkan penafsiran citra satelit SPOT 4 hasil akuisisi tahun 2006, pada
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat setidaknya 1.195
Ha lahan kawasan yang bermasalah (2,73% dari total luas kawasan). Lahanlahan tersebut antara lain telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman,
areal persawahan, lahan pertanian dan perkebunan serta areal yang ditumbuhi
semak belukar. Pada tahun 2007, telah diupayakan pelaksanaan sosialisasi
kepada masyarakat dan aparat pemerintah daerah untuk mencari solusi atas
permasalahan tersebut. Awalnya, masyarakat dan pemerintah daerah pada
umumnya menginginkan enclave di dalam kawasan, namun kemudian telah
bersedia untuk menjadikannya zona khusus di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
2. Penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum
temu gelang. Sampai dengan tahun 2008, realisasi tata batas sudah mencapai
432,52 Km (90,44%) dari total panjang batas luar 478,22 Km. Penataan batas
direncanakan akan dirampungkan hingga temu gelang pada tahun 2009. Karena
belum terselesaikannya penataan batas maka penetapan kawasan juga belum
dapat dilakukan. Dengan demikian, status hukum kawasan belum bersifat final
dan pada umumnya kalangan awam belum paham tentang proses pengukuhan
kawasan hutan (termasuk pula sebagian aparat pemerintah). Sebagian aparat
pemerintah menganggap bahwa dengan belum adanya penetapan kawasan
maka perubahan fungsi -atau bahkan pelepasan kawasan- masih dapat
dilakukan.
3. Masih terkait dengan batas, hasil tata batas sebagian kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung yang dilaksanakan antara tahun 1975 sampai dengan
tahun 2001, telah mengalami banyak perubahan. Pada tahun 2007 dilaksanakan
rekonstruksi batas kawasan dan banyak ditemukan tumpang tindih penggunaan
lahan di sekitar batas kawasan. Terkait dengan batas-batas kawasan di
lapangan, sementara waktu ini sedang dilakukan identifikasi lahan-lahan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

50

Rencana Pengelolaan

bermasalah di sekitar batas untuk kemudian akan diupayakan untuk review/


reposisi batas apabila memungkinkan.
4. Di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung terdapat tanaman
Kemiri (Aleurites moluccana) yang bagi masyarakat setempat merupakan
komoditas penunjang usaha ekonominya. Selain itu terdapat pula tanaman Jati
(Tectona grandis). Tanaman ini pada umumnya berada di dalam kawasan yang
sebelumnya berfungsi lindung dan produksi. Masyarakat di sekitar kawasan
mengakui tanaman kemiri dan jati tersebut sebagai milik mereka walaupun diakui
berada di dalam kawasan hutan. Karena klaim kepemilikan tersebut, kelompokkelompok masyarakat ini menuntut untuk dapat memanfaatkan hasilnya.
5. Data dan informasi potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
masih minim. Untuk itu, sampai dengan tahun 2008 telah diupayakan untuk terus
menghimpun data dan informasi yang ada serta terus diupayakan untuk
melaksanakan eksplorasi secara langsung di lapangan.
6. Terkait dengan data dan informasi potensi kawasan yang masih terbatas, maka
perancangan zonasi pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung

juga

belum

dapat

diselesaikan.

Untuk

sementara

waktu,

pelaksanaan pengelolaan kawasan didasarkan pada fungsi kawasan hutan


sebelum penunjukan sebagai kawasan taman nasional. Dengan demikian maka
pelaksanaan pemanfaatan untuk keperluan wisata alam tetap dilakukan pada
wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan taman wisata alam.
7. Bentang alam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
sebagian besar adalah kawasan karst menyebabkan sulitnya aksesibilitas ke
dalam kawasan untuk berbagai keperluan, terutama untuk identifikasi dan
inventarisasi potensi serta kondisi aktual kawasan. Penggunaan teknologi
penginderaan jauh untuk keperluan ini telah dilakukan namun belum dapat
memberikan gambaran yang detail tentang kondisi aktual kawasan. Untuk
keperluan ini dibutuhkan penggunaan citra satelit resolusi tinggi pada kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Citra Satelit Quickbird, Ikonos atau
SPOT 5).
8. Fenomena alam di bawah permukaan karst (endokarst) sangat khas dan unik
namun belum semua dapat diekplorasi karena keterbatasan sumberdaya.
9. Pemanfaatan Kupu-kupu dari habitat alaminya masih terus terjadi di kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung karena harga jualnya yang cukup
menjanjikan serta masih tingginya permintaan pasar. Untuk mengatasi
permasalahan ini, telah diupayakan untuk mensosialisasikan upaya-upaya

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

51

Rencana Pengelolaan

penangkaran jenis Kupu-Kupu, termasuk salah satunya dengan pengembangan


demplot penangkaran Kupu-kupu di kawasan Bantimurung.
10. Pengelolaan secara kolaboratif Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
11. Pengelolaan kawasan wisata Bantimurung masih dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Maros. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, serta Undangundang Nomor 32 Tahun 2004. Atas permasalahan ini, telah diupayakan
komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan pihak pemerintah kabupaten.
Upaya ini belum berhasil dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sampai dengan akhir tahun 2007. Pada tahun 2008 terus
diupayakan koordinasi dengan pihak Pemerintah Kabupaten Maros dan untuk
sementara waktu telah tercapai kesepahaman untuk melakukan pengelolaan
secara kolaboratif pada obyek wisata Bantimurung antara pihak Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dengan pihak Pemerintah Kabupaten Maros.
Kesepahaman ini belum dapat ditindaklanjuti karena belum adanya persetujuan
dari

Bupati

Maros

dan

sementara

waktu

sedang

diupayakan

untuk

mengkoordinasikan hal ini secara langsung kepada Bupati Maros.


12. Kelembagaan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung belum mapan.
SDM yang ada masih sangat terbatas, sarana dan prasarana pengelolaan juga
demikian adanya. Selain itu, struktur organisasi yang ada belum mampu
mendukung kebutuhan pengelolaan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

52

III
Kebijakan
A. Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional
Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya antara lain
ditempuh melalui penetapan wilayah-wilayah tertentu, baik di daratan dan/atau
perairan, sebagai kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA)
yang merupakan perwakilan habitat keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
kawasan untuk pemeliharaan keutuhan sumber plasma nutfah, serta sebagai
kawasan untuk tujuan pemeliharaan keseimbangan ekosistem, keunikan dan
keindahan alam, sehingga dapat terus mendukung pembangunan dan menunjang
peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan hidup.
Kebijakan penetapan dan pengelolaan KSA dan KPA ditujukan terutama untuk
melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya agar dapat mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu,
berfungsinya suatu KSA dan KPA sesuai dengan tujuan penetapannya merupakan
suatu indikator keberhasilan pengelolaan kawasan tersebut. Upaya pencapaian
tujuan pembangunan KSA dan KPA sesuai fungsinya selalu dikaitkan dengan
embanan utama upaya konservasi, yaitu :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan
Merupakan upaya untuk menjaga dan memelihara berbagai proses ekologis
esensial guna kelangsungan kehidupan bagi kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia, melalui usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan

Rencana Pengelolaan

jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan


daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan
alam dan lain-lain.
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan
non-hayati (baik fisik maupun non-fisik). Semua unsur ini sangat berkaitan dan
saling mempengaruhi. Hilang atau punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti
dengan

unsur

lain.

Usaha

dan

tindakan

konservasi

untuk

menjamin

keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah


dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar
senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan
(konservasi in-situ) atau di luar kawasan (konservasi ex-situ). Upaya pencegahan
dari

kepunahan,

keanekaragaman

menjaga
serta

dan

memelihara

memelihara

kemurnian

keseimbangan

genetik

ekosistem,

dan

secara

keseluruhan ditujukan untuk kesejahteraan dan kehidupan manusia secara


berkelanjutan.
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pemanfaatan kawasan
konservasi, khususnya jenis pemanfaatan yang dikategorikan dapat menunjang
budidaya, dimungkinkan untuk dapat dilaksanakan di dalam kawasan konservasi
dengan embanan konservasi sebagai arahan pelaksanaannya. Sepanjang suatu
kegiatan masih berada dalam kisaran bobot embanan konservasi, kegiatan
tersebut dapat dilaksanakan, namun tentunya dengan tetap memperhatikan segi
positif dan negatifnya.

Pembangunan KSA dan KPA merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional yang dalam pelaksanaannya tidak dapat mengabaikan
kepentingan masyarakat sekitar dan/atau di dalam KSA dan KPA. Oleh karena itu,
pelaksanaan kegiatan pada KSA dan KPA hendaknya selalu terintegrasi dan
terkoordinasi dengan pembangunan sektor lainnya. Keterlibatan mitra atau
stakeholders terutama masyarakat sekitar dan/atau di dalam kawasan harus
dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan KSA dan
KPA dan selalu diupayakan pembinaannya agar dapat berperan aktif di dalam setiap
upaya konservasi disamping upaya-upaya peningkatan kesejahteraan perekonomian
sekitar kawasan dimaksud.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

54

Rencana Pengelolaan

Secara umum, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi ditetapkan untuk :


(1) mengupayakan terwujudnya tujuan dan embanan upaya konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya; (2) meningkatkan pendayagunaan potensi hayati
kawasan konservasi untuk kegiatan yang menunjang budidaya; (3) memberdayakan
peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; (4) peningkatan integrasi dan
koordinasi; serta (5) mengupayakan pelaksanaan evaluasi fungsi kawasan. Untuk
mengupayakan perwujudan kebijakan tersebut, ditetapkan strategi :
1. Eksternal
a. Peningkatan Peran Serta Stakeholders
Sesuai kebijakan pembangunan KSA dan KPA yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat luas, maka partisipasi masyarakat sekitar dan/atau
di dalam KSA dan KPA, Pemda setempat, para pelaku ekonomi (BUMN,
koperasi, swasta, dan perorangan) perlu terus dikembangkan.

b. Integrasi dan Koordinasi


Pembangunan konservasi dan wilayah yang terintegrasi dengan baik
dapat menjadi potensi dan kekuatan pembangunan nasional. Koordinasi
pembangunan di tingkat regional berada pada BAPPEDA Provinsi/
Kabupaten/ Kota.

c.

Dukungan dan Perhatian Internasional


Konsekuensi logis dari ratifikasi konvensi keanekaragaman hayati
adalah Indonesia mendapat dukungan dan perhatian internasional terutama
terkait dalam pendanaan, bantuan tenaga ahli, pelatihan dan pendidikan,
maupun dukungan terhadap penyelesaian kasus-kasus kawasan.

2. Internal
a. Peningkatan Daya Guna KSA dan KPA
Daya guna KSA dan KPA dapat ditingkatkan melalui optimasi
beberapa kegiatan, yaitu : peningkatan kegiatan inventarisasi dan kajian
potensi kawasan; peningkatan kualitas dan kuantitas pengelola; penciptaan
iklim swadana dalam menunjang kegiatan pengelolaan dan peningkatan
manfaat

kawasan;

penegakan

peraturan

perundang-undangan

dan

penyiapan perangkat lunak yang mendukung berhasilnya tujuan penetapan


kawasan; serta pemantapan sarana dan prasarana pengelolaan.

b. Penelitian dan Pendidikan Konservasi


Kegiatan penelitian pada KSA dan KPA dititikberatkan pada pengkajian

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

55

Rencana Pengelolaan

potensi hayatinya yang hasil-hasilnya digunakan untuk perencanaan


pengelolaan kawasan. Kegiatan penelitian dan pendidikan konservasi
diharapkan akan meningkatkan apresiasi dan kesadaran masyarakat
terhadap upaya konservasi.

c.

Pengkajian Fungsi Kawasan


Terhadap KSA dan KPA yang diperkirakan telah mengalami
pergeseran pemanfaatan dan fungsi serta tujuan penetapannya, harus
dilakukan pengkajian untuk menetapkan penanganan pengelolaannya.

Secara umum, arahan pengelolaan kawasan konservasi ditetapkan sebagai


berikut :
1. Perencanaan
Perencanaan yang merupakan tahap awal dari suatu kegiatan dapat
dijadikan piranti analisis yang strategis dalam pengambilan keputusan dan
sekaligus dapat pula dijadikan indikator keberhasilan pencapaian kegiatan. Jenis
rencana, cakupan wilayah perencanaan, dan mekanisme penyusunan, penilaian,
dan pengesahannya, merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebaikbaiknya.
a. Jenis Rencana
Dalam pengelolaan kawasan konservasi diperlukan adanya beberapa
rencana,

yaitu

rencana

pengelolaan

dan

rencana

teknis. Rencana

pengelolaan kawasan konservasi sendiri terdiri dari rencana pengelolaan


jangka

panjang,

jangka

menengah

dan

jangka

pendek.

Rencana

pengelolaan jangka panjang merupakan rencana yang bersifat indikatif


perspektif dan kualitatif-kuantitatif untuk jangka waktu dua puluh tahun.
Rencana pengelolaan jangka menengah merupakan rencana yang memuat
semua kegiatan yang akan dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun.
Rencana pengelolaan jangka pendek merupakan rencana yang memuat
semua kegiatan yang harus dilaksanakan dalam tahun yang bersangkutan.
Rencana teknis merupakan penjabaran dari salah satu atau beberapa
kegiatan teknis yang telah termuat dalam rencana pengelolaan. Berbeda
dengan rencana pengelolaan, rencana-rencana teknis memuat detail
pelaksanaan suatu kegiatan, yang antara lain berisi latar belakang
pelaksanaan kegiatan, maksud dan tujuan kegiatan, metode pelaksanaan
kegiatan,

serta

kebutuhan

waktu

dan

segala

sumber

daya

untuk

pelaksanaannya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

56

Rencana Pengelolaan

b. Cakupan Wilayah Perencanaan


Pada dasarnya, setiap unit kawasan konservasi perlu dilengkapi
dengan rencana pengelolaan, baik jangka panjang, menengah, ataupun
tahunan. Namun demikian berdasarkan luas dan intensitas pengelolaannya,
rencana pengelolan beberapa lokasi kawasan konservasi yang letaknya
berdekatan dan dalam satu unit pengelolaan dapat disajikan dalam satu
rencana pengelolaan.

2. Pengorganisasian
Implementasi pengelolaan kawasan yang ideal dimulai sejak suatu areal
ditunjuk sebagai kawasan konservasi yang kemudian disusul dengan kegiatan
penyusunan rencana pengelolaan, penyelesaian pengukuhan dan penataan, dan
pelaksanaan pengelolaan dan pengembangannya. Namun demikian, sesuai
kondisi kawasan konservasi yang ada saat ini, yang mempunyai variasi potensi
dan intensitas pengelolaan masing-masing, implementasi penyusunan rencana
dan pelaksanaan pengelolaan dan pengembangannya dapat dilakukan secara
simultan dengan memperhatikan kondisi tersebut.
Organisasi pengelola cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam,
dan taman buru adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Taman nasional
pada prinsipnya dikelola oleh unit pelaksana teknis taman nasional, dan bagi
taman nasional yang belum dikelola oleh unit pelaksana teknis taman nasional
dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Kawasan taman hutan raya
dan hutan lindung, pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan
a. Tahapan Pengelolaan
(1) Tahap Pembangunan Prakondisi

Pemantapan status hukum kawasan, yang merupakan proses


penyelesaian pengukuhan kawasan sampai dengan penetapan
kawasan sebagai kawasan hutan tetap dan bersifal final.

Penataan kawasan, yang mencakup inventarisasi dan identifikasi


kondisi kawasan yang dilanjutkan dengan penetapan zona atau blok
pengelolaan. Hasil-hasil identifikasi, inventarisasi dan eksplorasi
potensi kawasan dijadikan bahan rujukan untuk kegiatan penataan
kawasan yang sebelumnya melalui proses pengkajian aspek ekologi,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

57

Rencana Pengelolaan

ekonomi dan sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar


kawasan.

Pembangunan sarana dan prasarana dasar yang diperlukan dalam


tahap awal pelaksanaan pengelolaan, yang terdiri dari sarana dan
prasarana

kelembagaan

pengelola,

sarana

dan

prasarana

perlindungan dan pengamanan kawasan, sarana dan prasarana


penelitian dan pendidikan, serta wisata alam.

(2) Tahap Pengembangan Pengelolaan Kawasan


Pengembangan pengelolaan kawasan mencakup : pengelolaan
potensi kawasan; perlindungan dan pengamanan kawasan; pengelolaan
pemanfaatan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, wisata alam, dan
kegiatan yang menunjang budidaya; serta pemantapan koordinasi dan
integrasi.

b. Arahan Pengelolaan
Pengelolaan kawasan konservasi, sesuai dengan ragam situasi dan
kondisinya, dapat dilakukan secara simultan dengan arahan-arahan sebagai
berikut :
(1) Pemantapan Kawasan
Untuk terselenggaranya pengelolaan kawasan yang mantap,
seluruh kawasan konservasi harus memiliki status legal formal yang
kuat, yaitu status penetapan. Berangkat dan kondisi saat ini, secara
bertahap kawasan konservasi yang ada harus segera diselesaikan
proses pengukuhannya, dimulai dari proses penunjukan, penataan batas
sampai temu gelang, penerbitan berita acara tata batas, dan
penyelesaian penetapannya. Tanda atau pal batas yang sudah ada perlu
dipelihara dan direkonstruksi bila tanda-tanda tersebut hilang atau rusak.
Berdasarkan pada pentingnya fungsi dan
tujuan pengelolaan kawasan, penetapan zona
atau blok bukan hanya dapat dilakukan di
kawasan pelestarian alam melainkan dapat pula
dilakukan di kawasan suaka alam. Penetapan
zona

atau blok pengelolaan

harus

selalu

didasarkan pada aspek potensi sumber daya


alam hayati dan ekosistemnya, sosial, ekonomi,
dan

budaya

masyarakat,

pembangunan wilayah.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

dan

rencana
Pal batas Taman Nasional

58

Rencana Pengelolaan

(2) Penyusunan Rencana Pengelolaan


Sesuai

dengan

amanat

pembangunan

nasional

bahwa

pembangunan kawasan konservasi merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari pembangunan sektor-sektor lain, maka penyusunan
rencana pengelolaan diupayakan dapat mengakomodir berbagai peluang
pembangunan. Dengan demikian, dalam persiapan dan penyusunan
rencana

pengelolaan,

upaya

pelibatan

peran

serta

masyarakat

merupakan prasyarat untuk efektif dan efisiennya rencana pengelolaan


yang disusun.

(3) Pembangunan Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana pengelolaan merupakan kebutuhan dasar
untuk terselenggaranya kegiatan pengelolaan yang berdaya guna dan
berhasil guna. Di setiap kawasan konservasi, khususnya suaka alam dan
hutan lindung, yang sampai saat ini banyak yang belum terjamah oleh
kegiatan pengelolaan, diperkenankan dibangun berbagai bentuk sarana
dan prasarana pengelolaan sepanjang untuk kepentingan pencapaian
tujuan penetapannya. Dalam pelaksanaannya, pembangunan fasilitas
tersebut dapat dikerjasamakan dengan mitra kerja atau pihak-pihak
lainnya.
Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan pelestarian alam
dan taman buru, terutama sarana dan prasarana wisata alam, harus
mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan
budaya

masyarakat,

serta

memperhatikan

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku.

(4) Pengelolaan Potensi Kawasan


Pengelolaan potensi kawasan, yaitu tumbuhan, satwa, dan
ekosistemnya

diarahkan

pada

upaya

untuk

mempertahankan

keberadaan dan pemanfaatannya melalui :

Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan serta penanganan


hasil-hasilnya melalui sistem managemen database;

Pengembangan sistem pemantauan, evaluasi perkembangan, dan


pelaporan data;

Untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan habitat tumbuhan,


satwa, atau ekosistem, di setiap kawasan konservasi pada
prinsipnya dapat dilakukan pembinaan habitat

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

yang

dalam

59

Rencana Pengelolaan

pelaksanaannya

harus

tetap

memperhatikan

prinsip-prinsip

konservasi;

Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa


agar tetap berada dalam keadaan seimbang dan dinamis, di setiap
kawasan konservasi pada prinsipnya dapat dilakukan pembinaan
populasi yang dalam pelaksanaannya harus tetap memperhatikan
prinsip-prinsip konservasi;

Plasma nutfah, baik tumbuhan maupun satwa, yang ada di dalam


kawasan konservasi dapat digunakan sebagai sumber genetik untuk
kegiatan pemuliaan, penangkaran, dan budidaya di luar kawasan
konservasi;

Di dalam kawasan konservasi diperkenankan adanya kegiatan


penangkaran dan pembinaan jenis sepanjang menggunakan jenis
asli dari kawasan yang bersangkutan, tidak mengurangi dan
merusak ekosistem kawasan, dan untuk tujuan penelitian;

Hasil hutan ikutan dan non-kayu di dalam kawasan hutan lindung


dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya dengan pengaturan
tertentu;

Kegiatan rehabilitasi dapat dilakukan di setiap kawasan konservasi


dengan tetap memperhatikan segi teknis dan ilmiah. Rehabilitasi
dilakukan atas dasar adanya kebutuhan untuk memperbaiki kondisi
kawasan yang rusak atau menurun potensinya. Penggunaan jenis
asli merupakan syarat utama penyelenggaraan rehabilitasi di dalam
cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, dan taman wisata
alam.

Rehabilitasi

di

taman

buru

diarahkan

pada

kegiatan

pembinaan habitat dan populasi satwa buru, sedangkan rehabilitasi


di hutan lindung ditujukan pada pembinaan atau peningkatan fungsi
hidrologisnya.

(5) Perlindungan dan Pengamanan Kawasan


Perlindungan dan pengamanan kawasan pada dasarnya adalah
upaya melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia,
baik yang berada di sekitar maupun yang jauh dari kawasan namun
mempunyai akses yang tinggi terhadap kawasan tersebut, atau bentuk
gangguan lainnya, seperti kebakaran, gangguan ternak, hama, dan
penyakit. Oleh karena itu, kegiatan perlindungan dan pengamanan perlu
diarahkan pada : perlindungan dan pengamanan fisik kawasan;
identifikasi daerah-daerah rawan gangguan; sosialisasi batas kawasan;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

60

Rencana Pengelolaan

pengembangan
pengumuman

kemitraan
dan

dengan

masyarakat;

pemasangan

tanda-tanda

larangan; penegakan hukum secara


represif;

pencegahan

kebakaran;

serta pemusnahan hama dan penyakit


serta jenis-jenis penggangu lainnya.
Pemusnahan barang bukti

(6) Kegiatan Penelitian dan Pendidikan

Sesuai dengan fungsi kawasan konservasi, yang salah satunya


adalah mengakomodasi kegiatan penelitian dan pendidikan, bentuk dan
materi penelitian dan pendidikan perlu diarahkan dan diselaraskan
dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bentuk penelitian terapan, misalnya penelitian tentang teknologi
konservasi

sumber

daya

alam, atau penelitian murni,


misalnya penelitian tentang
tingkah laku satwa, dapat
dilaksanakan

di

dalam

kawasan konservasi. Untuk


efektifitas
pengelolaan

dan

efisiensi,

penelitian

dan
Kegiatan penelitian Biota Gua

pendidikan diarahkan pada


kegiatan, sebagai berikut :

Identifikasi objek dan jenis tumbuhan, satwa, ekosistem, dan sosial


ekonomi serta budaya masyarakat;

Penyusunan

skala

prioritas

pelaksanaan

penelitian

yang

disesuaikan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan


konservasi;

Pengembangan bentuk kerjasama dengan masyarakat; serta

Pengembangan sistem promosi rencana penelitian dan hasil


penelitian kepada masyarakat luas.

(7) Pengelolaan Wisata Alam


Kegiatan wisata alam di dalam kawasan konservasi diarahkan
pada upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan tetap
memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan
dan pelestarian alam. Dengan demikian, kegiatan wisata alam dalam
kawasan konservasi diarahkan pada beberapa kegiatan berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

61

Rencana Pengelolaan

Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata alam di


dalam kawasan konservasi;

Inventarisasi, identifikasi, dan analisis sosial ekonomi dan budaya


masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan
daerah, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung yang berada
di sekitar kawasan;

Pengembangan obyek wisata alam tetap memperhatikan aspek


sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar,
kebijakan sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana
dan prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan;

Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya


pemanfaatan kawasan konservasi, khususnya kawasan pelestarian
alam

dan

taman buru,

diarahkan pada upaya

peningkatan

penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat


sekitar kawasan.

(8) Pengembangan Koordinasi dan Integrasi


Koordinasi dan integrasi memegang peranan penting dalam upaya
memperkenalkan berbagai bentuk pembangunan kawasan konservasi
kepada rnasyarakat luas. Oleh karena itu, integrasi dan koordinasi lintas
sektor perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :

Integrasi

dan

koordinasi

lintas

sektor

harus

dimulai

sejak

penyusunan rencana pengelolaan kawasan sampai pada tahap


pengembangannya;

Pengembangan sistem promosi tepat guna, baik melalui jalur resmi,


misalnya pendidikan, maupun jalur informal, misalnya melalui brosur,
leaflet, dan fasilitas elektronik, dilakukan bersama-sama organisasi
pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam maupun luar negeri,
serta masyarakat;

Pembinaan

daerah

penyangga

dititikberatkan

pada

upaya

peningkatan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan


kawasan konservasi yang sedemikian rupa sehingga kehadiran
kawasan konservasi dapat dirasakan manfaatnya.

4. Pemantauan dan Evaluasi


Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap seluruh tahap pengelolaan
kawasan, yaitu sejak kegiatan perencanaan sampai pada tahap pengembangan
potensinya yang diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

62

Rencana Pengelolaan

a. Pemantauan dan evaluasi kegiatan pengelolaan kawasan konservasi


dilakukan oleh unit kerja pengelola, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya
Alam, Balai Taman Nasional, dan Dinas Kehutanan;
b. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi, unit kerja tersebut dapat
bekerjasama dengan masyarakat, perguruan tinggi, atau lembaga lainnya;
c.

Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan disampaikan kepada Direktur


Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam;

Berdasarkan

arahan

pengelolaan

kawasan

konservasi

secara

umum

sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pengelolaan kawasan taman nasional


sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi diarahkan secara khusus
berdasarkan fungsi dan tujuan pengelolaannya. Arahan khusus pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :
1. Fungsi
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditunjuk dan
ditetapkan untuk dikelola dengan fungsi sebagai : kawasan perlindungan sistem
penyangga kehidupan; kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa; dan sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi
sumberdaya

alam

hayati

dan

ekosistemnya.

Sebagaimana

karakter

penunjukannya, maka kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


terutama diperuntukkan bagi perlindungan sistem-sistem alam yang ada di ketiga
tipe ekosistem utama yang diwakilinya, dan secara lebih spesifik lagi di
peruntukkan bagi perlindungan contoh ekosistem karst dengan geomorfologi
menara yang terbatas sebarannya di Indonesia.
Potensi keanekaragaman hayati yang diupayakan untuk dipelihara
keberadaannya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
terdiri dari berbagai jenis tumbuhan alam dan satwa liar yang khas, unik dan
terbatas sebarannya di wilayah mintakat biogeografi Sulawesi, bahkan di
kepulauan nusantara. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung setidaknya merupakan habitat dari
sedikitnya 356 species satwa liar serta 302 species tumbuhan alam. Jumlah
keanekaragaman hayati tersebut masih akan terus bertambah seiring dengan
semakin intensifnya dilakukan identifikasi, inventarisasi dan eksplorasi di dalam
kawasan.
Terkait dengan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya, kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
mampu menyediakan sumber-sumber plasma nutfah yang dapat mendukung
pengembangan budidaya, pengembangan ilmu pengetahuan serta menunjang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

63

Rencana Pengelolaan

budaya masyarakat. Dari segi ekonomi, kawasan ini menyimpan kekayaan yang
tidak ternilai harganya apabila dapat dimanfaatkan secara bijaksana. Kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mampu menyediakan jasa-jasa
lingkungan yang sangat potensial bagi pengembangan usaha ekonomi
masyarakat secara keseluruhan, terutama dari bidang pengembangan pariwisata
serta penyediaan sumber-sumber air.

2. Tujuan Pengelolaan
Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dilakukan dengan
tujuan utama untuk : menjamin dan memelihara keutuhan dari keberadaan
kawasan dan ekosistem taman nasional; menjamin dan memelihara keberadaan
potensi dan nilai-nilai dari keanekaragaman tumbuhan, satwa, komunitas, dan
ekosistem penyusun kawasan taman nasional; serta optimalisasi pemanfaatan
kawasan dan potensi taman nasional secara berkelanjutan, lestari dan bijaksana
untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, budaya, dan pariwisata alam
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Umumnya setiap lokasi kawasan taman nasional ditunjuk dan ditetapkan
untuk kepentingan perlindungan, pengawetan, dan pelestarian dari keperwakilan
keanekaragaman hayati, komunitas atau ekosistem, yang sangat khas dan
spesifik. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dalam hal ini ditunjuk dan
ditetapkan untuk kepentingan perlindungan, pengawetan, dan pelestarian potensi
ekosistem karst di Kabupaten Maros dan Pangkep serta berbagai jenis
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

3. Prinsip Dasar Pengelolaan


Prinsip-prinsip dasar pengelolaan taman nasional yang dilakukan, secara
umum mencakup prinsip-prinsip pengelolaan :
a. Pendayagunaan potensi taman nasional untuk kepentingan kegiatan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan konservasi
alam, penyediaan plasma nutfah untuk menunjang kepentingan budidaya,
pariwisata alam dan rekreasi, serta pemanfaatan jasa lingkungan, melalui
metoda dan cara yang diupayakan dan dilaksanakan dengan tidak merusak
dan mengurangi luas kawasan, tidak menyebabkan berubahnya fungsi, dan
tidak memasukkan jenis tumbuhan maupun satwa yang tidak asli (exotic
species).
b. Dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan, kawasan taman nasional
ditata ke dalam zona inti, zona rimba/zona bahari, zona pemanfaatan, dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

64

Rencana Pengelolaan

zona

lainnya.

Zona

lain

ditetapkan

berdasarkan

kebutuhan

untuk

kepentingan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.


Penetapan zona pada kawasan taman nasional dilakukan sangat variatif
sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta berdasarkan kajian yang
mendalam terkait dengan aspek
ekologi, ekonomi dan sosial budaya
masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan.
c.

Masyarakat sekitar kawasan secara


aktif diikutsertakan dan dilibatkan
dalam pengelolaan kawasan taman
nasional

baik

sejak

proses

perencanaan, pelaksanaan, maupun pendayagunaan pemanfaatannya.


d. Dalam hal dijumpai adanya kerusakan habitat dan/atau penurunan populasi
satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi peraturan perundangan di
dalam taman nasional, maka setelah dilakukan studi dan kajian yang
seksama dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi dan restorasi habitat, populasi
dan ekosistem taman nasional, yang antara lain mencakup : pembinaan
habitat dan pembinaan populasi; rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli;
reintroduksi jenis satwa sejenis dan asli; serta pengendalian dan/atau
pemusnahan jenis tumbuhan dan/atau satwa yang tidak asli yang
diidentifikasi telah dan akan mengganggu keutuhan dan kelestarian
ekosistem kawasan.

4. Bidang Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional


Bidang kegiatan pengelolaan taman nasional secara umum mencakup
kegiatan : administrasi pengelolaan taman nasional; eksplorasi, survei dan
inventarisasi potensi kawasan; pengelolaan data dan informasi; pemantapan
kawasan

dan

penetapan

status

pengelolaan; penataan kawasan;

hukum

taman

nasional;

perencanaan

perlindungan dan pengamanan kawasan;

pengelolaan dan pembinaan konservasi jenis; restorasi dan rehabilitasi sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya; pengembangan sarana dan prasarana
pengelolaan; pemanfaatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan; pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan dan peningkatan
kesadaran

konservasi;

pemanfaatan

untuk

kepentingan

pariwisata;

pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan; pengembangan pemanfaatan


untuk menunjang kepentingan budidaya; pengembangan koordinasi, integrasi
dan kemitraan; serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

65

Rencana Pengelolaan

Bidang kegiatan pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


diuraikan sebagai berikut :

a. Administrasi Pengelolaan Taman Nasional


Merupakan kegiatan administrasi pendukung pelaksanaan teknis
kegiatan pengelolaan taman nasional di lapangan. Kegiatan ini secara umum
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya fisik berupa administrasi
persuratan, administrasi organisasi dan kepegawaian, administrasi sarana
prasarana dan pengaturan urusan rumah tangga organisasi, administrasi
keuangan dan anggaran, guna mendukung pelaksanaan pengelolaan taman
nasional.

b. Eksplorasi, Survei dan Inventarisasi Potensi Taman Nasional


Eksplorasi merupakan kegiatan penjelajahan setiap bagian dari
kawasan taman nasional untuk memperoleh pengetahuan status dan
keadaan dari fisik lapangan, jenis flora dan fauna, tipe komunitas atau
ekosistem, kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan taman nasional, disertai dengan identifikasi dan koleksi atas
specimen unsur-unsur penyusun sumber daya alam hayati dan ekosistem.
Kegiatan eksplorasi pada seluruh kawasan agar direncanakan dilakukan
setiap lima tahun sekali.
Survei lapangan merupakan kegiatan untuk pengumpulan data dan
informasi secara spesifik dari komponen-komponen penyusun sumber daya
alam hayati dan ekosistem, yang mencakup pengukuran atas jenis, populasi,
penyebaran, sex-ratio, kerapatan/kelimpahan populasi, status kelangkaan,
permasalahan dan sebagainya dari potensi dan kekayaan sumber daya alam
hayati dan ekosistem, termasuk sosial ekonomi budaya masyarakat di dalam
dan di sekitar kawasan taman nasional. Kegiatan survei lapangan pada
seluruh kawasan sebaiknya diselesaikan bertahap maksimal dalam tiga
tahun dengan selang waktu tiga tahun sekali.
Inventarisasi potensi merupakan kegiatan untuk mengetahui dan
memperoleh data dan informasi mengenai potensi dan kekayaan sumber
daya alam hayati dan ekosistem beserta lingkungannya secara lengkap.
Inventarisasi

potensi

umumnya

dilakukan

melalui

tahapan

kegiatan

eksplorasi dan survei lapangan.


Praktek kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian
dan monitoring mencakup pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan
dengan penggunaan metoda dan teknik dalam pelaksanaan kegiatan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

66

Rencana Pengelolaan

eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring atas


sumber daya alam dan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat yang ada
di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional. Penggunaan metoda dan
teknik

pelaksanaan

kegiatan

eksplorasi,

survei,

inventarisasi,

evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut di dalam pengelolaan taman


nasional umumnya sangat bervariasi tergantung kepada kondisi spesifik dari
jenis flora fauna, baik yang hidup di dalam perairan, lantai hutan, tajuk hutan
maupun puncak pohon. Oleh karena variasi persyaratan dan teknik
eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut
sangat beragam dan banyak, maka diharapkan seseorang yang bekerja di
kawasan taman nasional minimal memahami satu sampai tiga keahlian di
bidang pembuatan disain ilmiah skema pelaksanaan kegiatan eksplorasi,
survei, inventarisasi, evaluasi/ penilaian dan monitoring atas aspek biologi
konservasi, valuasi sumber daya alam, dan kondisi sosial ekonomi budaya
masyarakat. Kemampuan penguasaan atas metoda dan teknis pelaksanaan
kegiatan eksplorasi, survei, inventarisasi, evaluasi/penilaian dan monitoring
tersebut penting untuk menjadi perhatian, karena banyak data dan informasi
sumber daya alam hayati dan ekosistem yang telah lama tidak diperbarui
kembali. Walaupun telah tersedia, terkadang data yang ada kurang akurat
akibat kurang diperhatikannya metode dan teknik pengumpulan data di
lapangan.
Dalam

pelaksanaan

kegiatan

eksplorasi,

survei,

inventarisasi,

evaluasi/penilaian dan monitoring tersebut ada beberapa kaitan aspek


kepentingan yang dapat diidentifikasi untuk membantu pengembangan
pengelolaan taman nasional, yang antara lain berhubungan dengan :
(1) Aspek potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem

Memiliki ekosistem global yang terancam rusak/punah

Memiliki species global, regional dan lokal yang jarang, terancam


punah atau punah

Memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi

Memiliki jumlah species endemik yang tinggi

Merupakan suatu fungsi ekosistem/landsekap yang kritis

Cukup luas untuk mampu mendukung minimal viabilitas populasi dari


species payung atau species kunci atau relatif cukup luas untuk
suatu wilayah

Merupakan ekosistem yang utuh dan dapat dijadikan percontohan

Memberikan sumbangan yang berarti terhadap keperwakilan suatu


sistem konservasi kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

67

Rencana Pengelolaan

Merupakan habitat terpenting dan berkualitas untuk kehidupan


species kunci

(2) Aspek sosial ekonomi dan kondisi masyarakat sekitar kawasan

Menyajikan kesempatan ekonomi bagi kehidupan masyarakat di


dalam dan di sekitar kawasan taman nasional

Memiliki

kesempatan

sebagai

percontohan

pembangunan

berkelanjutan dan konsisten dengan tujuan pengelolaan kawasan


taman nasional

Memiliki potensi untuk mendukung pemanfaatan secara subsisten


atau tradisional bagi masyarakat setempat

Memiliki nilai-nilai kepercayaan/agama dan spiritual

Memiliki keajaiban alam dan pemandangan/keindahan alam (seperti


air terjun, sumber air panas, panorama alam, struktur geologi, dan
lain-lain.)

Memiliki species tumbuhan dan satwa bernilai ekonomi tinggi (seperti


bernilai bahan obat, bahan kimia, bahan makanan, keindahan, dan
lain-lain.)

Memiliki nilai ilmu pengetahuan, penelitian dan pendidikan yang


tinggi

Memiliki nilai-nilai rekreasi yang menarik

Memiliki fungsi ekosistem yang memberikan sumbangan berarti bagi


kepentingan kehidupan sosial atau ekonomi masyarakat (seperti
penyedian sumber daya air, pengaturan iklim, penyerapan bahan
polutan, dan lain-lain.)

Memiliki sumber daya alam yang menjadi tumpuan kehidupan


masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung

(3) Aspek pengaruh kondisi lokal, regional dan global terhadap kawasan
taman nasional

Adanya

konflik

kepentingan

antara

penggunaan

tradisional,

agama/kepercayaan dan praktek budaya dengan tujuan pengelolaan


kawasan taman nasional

Adanya nilai-nilai sumber daya alam kawasan taman nasional yang


bernilai tinggi (seperti potensi kayu komersial berkualitas tinggi, kaya
sumber daya mineral, potensial sebagai sumber daya energi, dan
lain-lain.)

Adanya kemudahan akses untuk mencapainya (dekat dengan jalan


raya utama, lapangan terbang, perkotaan, jalur perhubungan sungai/
perairan, dan lain-lain.)

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

68

Rencana Pengelolaan

Adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap produk-produk yang


dapat diperoleh dari kawasan taman nasional (seperti species satwa
yang memiliki nilai estetika tinggi, species kayu yang khas dan unik,
species langka, tanaman hias, tumbuhan obat, dan lain-lain.)

Areal sekitar kawasan taman nasional berada dalam pertumbuhan


ekonomi yang tinggi dan atau pertumbuhan populasi penduduk yang
tinggi (seperti kepemilikan lahan sempit per KK, kekurangan lahan
pertanian, penguasaan lahan oleh orang/ kelompok tertentu,
kekurangan bahan makanan, populasi penduduk yang padat,
banyaknya pengangguran, dan lain-lain.)

Hasil kegiatan inventarisasi potensi taman nasional selanjutnya


dihimpun sebagai bahan penyusunan inventarisasi sumber daya alam hayati
dan ekosistem pada tingkat unit pengelolaan, tingkat pemerintah kabupaten/
kota/ provinsi, tingkat daerah aliran sungai, tingkat bio-regional pulau, dan
tingkat nasional. Hasil kegiatan inventarisasi potensi taman nasional antara
lain dipergunakan pula sebagai dasar di dalam penyusunan rencana
pengelolaan, kegiatan pengukuhan kawasan, kegiatan penataan zonasi
kawasan, penyusunan neraca sumber daya alam hayati dan ekosistem, dan
input data untuk sistem informasi konservasi alam taman nasional.

c.

Pengelolaan Data dan Informasi Taman Nasional


Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan teknologi
informasi, terutama dalam penggunaan aplikasi perangkat lunak dan
perangkat keras yang berkaitan dengan pengelolaan dan komunikasi data
dan

informasi

taman

nasional.

Praktek

kegiatan

ini

mencakup

pengembangan data base dan sistem informasi yang on-line, operasional


dan pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis (SIG), disain grafis
untuk keperluan promosi dan informasi, dan lain sebagainya.
Data dan informasi yang diperoleh dari hasil inventarisasi potensi,
dihimpun, dikelola dan dikembangkan dalam sistem informasi pada kawasan
taman nasional, yang mencakup jenis data dan informasi, kecepatan proses
pengolahan data menjadi informasi, tingkat detail informasi, performa
informasi, volume dan transaksi informasi, penanggung jawab pengelola
informasi dan sebagainya. Pengelolaan sistem informasi berupa kegiatan
pengelolaan suatu kumpulan atau totalitas komponen-komponen yang saling
berhubungan, pengaruh-mempengaruhi, sehingga dapat dihasilkan dan
dialirkan suatu informasi yang berguna (akurat, terpercaya, detail, cepat,

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

69

Rencana Pengelolaan

relevan dan sebagainya) untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam


perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan kawasan taman nasional.

d. Pemantapan Kawasan dan Penetapan Status Hukum Taman Nasional


Meliputi kegiatan yang berhubungan dengan proses pengukuhan
status hukum kawasan taman nasional. Pengukuhan kawasan taman
nasional merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas keberadaan dari kawasan taman nasional. Pelaksanaan
kegiatan tersebut memerlukan keterlibatan dan partisipasi secara aktif dari
masyarakat,

pemerintah

daerah,

dan

berbagai

pihak

terkait

dan

berkepentingan. Kegiatan pengukuhan kawasan tersebut mencakup :


(1) Penataan batas kawasan
Merupakan kegiatan pemancangan tanda batas kawasan taman
nasional di lapangan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak
pihak ketiga, pemancangan tanda batas sementara, pemancangan dan
pengukuran tanda batas definitif.

(2) Pemetaan kawasan


Merupakan kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas
kawasan taman nasional berupa peta tata batas yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan berita acara tata batas kawasan
taman nasional.

(3) Penetapan kawasan


Merupakan kegiatan untuk penegasan tentang kepastian hukum
mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah
ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap sesuai fungsinya sebagai kawasan
taman nasional dengan Keputusan Menteri Kehutanan.

Apabila kawasan taman nasional telah ditetapkan secara pasti,


pengelola taman nasional berkewajiban pula untuk melakukan kegiatan
pemeliharaan batas dan tanda batas kawasan, yaitu suatu kegiatan untuk
melakukan pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan jalur batas dan tanda
batas kawasan, termasuk kegiatan rekonstruksi batas dan tanda batas
kawasan. Kegiatan pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan alur batas
dan tanda batas kawasan di lakukan minimal setiap tahun sekali dan
kegiatan rekonstruksi batas dan tanda batas kawasan dilakukan minimal lima
tahun sekali.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

70

Rencana Pengelolaan

e. Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional


Untuk kepentingan pengelolaan taman nasional diperlukan adanya
rencana pengelolaan, yang menurut jenis dan jangka waktunya, terdapat :
rencana

pengelolaan

jangka

panjang;

rencana

pengelolaan

jangka

menengah; rencana pengelolaan jangka pendek; serta rencana teknis.


Cakupan dan ruang lingkup rencana pengelolaan taman nasional umumnya
meliputi seluruh kawasan taman nasional, serta memuat perencanaan,
kegiatan pengelolaan, sarana dan prasarana, organisasi dan personil,
pengusahaan,

pembinaan

masyarakat,

kemitraan

dan

koordinasi,

pemantauan, pengawasan dan evaluasi.

f.

Penataan Kawasan Taman Nasional


Merupakan kegiatan rancang bangun pembagian kawasan taman
nasional sesuai potensi dan fungsi pemanfaatannya dari sumber daya alam
dan ekosistem di dalam setiap unit pengelolaan kawasan taman nasional,
dengan memperhatikan hak-hak masyarakat setempat. Penataan kawasan
taman nasional mencakup kegiatan pembagian dan pengelompokan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan tipe dan potensi yang
terkandung di dalam ekosistem, fungsi dan rencana pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dengan tujuan untuk efektifitas dan
efisiensi pengelolaan serta memperoleh manfaat fungsi sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan masyarakat secara bijaksana, lestari dan berkelanjutan.
Penataan kawasan taman nasional dilakukan secara variatif sesuai
dengan kebutuhan pengelolaan dan spesifikasi kawasan taman nasional,
karena itu penataan pembagian kawasan taman nasional ke dalam zonasi
kawasan tidak selalu harus lengkap dan tidak selalu sama pada setiap
kawasan taman nasional. Secara umum, prinsip pembagian zonasi pada
kawasan taman nasional terdiri dari :
(1) Zona inti

Di dalam zona inti hanya dapat dilakukan kegiatan monitoring


sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Di dalam zona inti dapat dibangun sarana dan prasarana untuk


kegiatan monitoring seperti tersebut pada butir di atas.

Di dalam zona inti tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat


merubah bentang alam.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

71

Rencana Pengelolaan

(2) Zona rimba

Di

dalam

zona

rimba

dapat

dilakukan

kegiatan

penelitian,

pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan-kegiatan lain yang


menunjang budidaya.

Di dalam zona rimba dapat dibangun sarana dan prasarana


sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata
terbatas.

Zona rimba tidak dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya


kegiatan yang bersifat merubah bentang alam.

Di dalam zona rimba diperkenankan adanya pemanfaatan yang


bersifat tradisional.

(3) Zona pemanfaatan

Di dalam zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan


kawasan

dan

potensinya

dalam

bentuk

kegiatan

penelitian,

pendidikan, dan wisata alam.

Kegiatan pengusahaan pariwisata alam dapat diberikan kepada


pihak ketiga, baik koperasi, BUMN, swasta maupun perorangan.

Zona pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya


kegiatan penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, dan restocking.

Di dalam zona pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana


pengelolaan, penelitian, pendidikan, dan wisata alam yang dalam
pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur daerah
setempat.

Zona

pemanfaatan

tidak

dapat

digunakan

sebagai

tempat

berlangsungnya kegiatan yang merubah bentang alam.

Di dalam zona pemanfaatan diperkenankan adanya pemanfaatan


tradisional.

Untuk selanjutnya pembagian zona tersebut dapat dikembangkan


sesuai derivatifnya menurut kondisi dan spesifikasi di setiap kawasan taman
nasional, seperti adanya zona pemanfaatan khusus, zona pemanfaatan
tradisional, zona rehabilitasi dan restorasi, zona khusus, dan lain-lain.
Penataan kawasan taman nasional umumnya dibuat berdasarkan
kajian data dan informasi kawasan dan potensi sumber daya alam hayati dan
ekosistem disertai bantuan penggunaan teknologi penginderaan jauh dan
analisis sistem informasi geografis. Teknik pelaksanaan kegiatan ini adalah

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

72

Rencana Pengelolaan

dengan memanfaatkan jasa survei dan pemetaan dalam penataan ruang


atau dikenal sebagai zonasi kawasan taman nasional. Kegiatan tersebut
secara umum mencakup :
(1) Pengumpulan data dan informasi berupa potensi fisik kawasan, sumber
daya alam hayati dan ekosistem, serta kondisi sosial ekonomi budaya
masyarakat (baik yang tercermin dalam bentuk data sekunder spatial
maupun non-spatial) yang akan melengkapi kepentingan analisis data
keruangan (spatial) dari penggunaan teknologi penginderaan jauh
(interpretasi citra satelit) maupun analisis informasi geografis.
(2) Interpretasi citra satelit.
(3) Analisa spatial.
(4) Konsultasi dan pembahasan konsep zonasi kawasan taman nasional.
(5) Finalisasi konsep usulan pengesahan penataan zonasi kawasan taman
nasional dengan diskripsi pengelolaan dan pemanfaatannya.
(6) Konsultasi publik usulan pengesahan penataan zonasi kawasan taman
nasional kepada masyarakat dan berbagai pihak terkait.
(7) Usulan pengesahan zonasi kawasan taman nasional.

Pengesahan zonasi kawasan taman nasional akan memuat peta


penunjukan yang bersifat arahan tentang batas penataan zonasi dari
kawasan taman nasional berikut diskripsi pengelolaan dan pemanfaatannya,
yang disusun oleh pengelola taman nasional, dinilai oleh Direktur Konservasi
Kawasan dan disahkan oleh Direktur Jenderal PHKA, yang selanjutnya
ditindak lanjuti oleh pengelola melalui kegiatan penataan batas zonasi
kawasan taman nasional di lapangan.
Berdasarkan pengesahan penataan zonasi kawasan taman nasional
oleh Direktur Jenderal PHKA, pengelola taman nasional menindaklanjutinya
di lapangan dengan kegiatan :
(1) Penataan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan
kegiatan pemancangan tanda batas zonasi kawasan di lapangan yang
meliputi proyeksi batas, pemancangan tanda batas, dan pengukuran
tanda batas zonasi definitif.
(2) Pemetaan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan
kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas zonasi kawasan
berupa peta tata batas zonasi yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan laporan kegiatan tata batas zonasi kawasan taman
nasional.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

73

Rencana Pengelolaan

(3) Penetapan batas zonasi kawasan taman nasional, yang merupakan


kegiatan untuk penegasan tentang kepastian hukum mengenai status,
letak, batas, luas zonasi, dan ketentuan peraturan penggunaan dan
pengelolaan setiap zonasi kawasan yang telah ditetapkan sesuai fungsi
dan kepentingan pengelolaannya sebagai taman nasional dengan
Keputusan Menteri.

g. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Konservasi


Perlindungan

dan

pengamanan

kawasan

merupakan

upaya

melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia maupun


gangguan lainnya, seperti kebakaran hutan, gangguan ternak, hama dan
penyakit, perburuan liar, perambahan hutan, dan penebangan liar. Oleh
karena itu, kegiatan perlindungan dan pengamanan diarahkan pada hal-hal
sebagai berikut :
(1) Penjagaan, patroli, operasi fungsional dan gabungan dalam rangka
perlindungan dan pengamanan fisik kawasan;
(2) Perlindungan dan pengamanan fisik kawasan;
(3) Identifikasi daerah-daerah rawan gangguan;
(4) Ceramah, konsultasi dan sosialisasi batas dan peraturan perundangundangan pengelolaan taman nasional;
(5) Pengembangan peran serta dan kemitraan dengan masyarakat;
(6) Pemasangan pengumuman dan tanda-tanda larangan;
(7) Penegakan hukum;
(8) Pengendalian kebakaran hutan;
(9) Pemusnahan dan/atau pengendalian hama dan penyakit serta jenis
pengganggu lainnya; dan
(10)Penyusunan rencana strategis, dan kebijakan perlindungan dan
pengamanan kawasan.

Dalam kaitan tersebut, perlu diperhatikan bahwa ancaman dan


tekanan perusakan terhadap kawasan dan potensi taman nasional telah
cukup tercatat dan termonitor dengan baik selama sepuluh tahun terakhir.
Data

dan

informasi

tersebut

dikaji

dan

dianalisis

sehingga

dapat

menunjukkan kemungkinan : (a) peningkatan secara tajam, (b) peningkatan


secara perlahan-lahan, (c) peningkatan secara tetap, (d) berkurang perlahanlahan, (e) berkurang secara tajam, dan kemungkinan bentuk dampak
kerusakan yang dapat ditimbulkannya.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

74

Rencana Pengelolaan

h. Pengelolaan dan Pembinaan Konservasi Jenis


Merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan
habitat dan populasi hidupan liar, agar keberadaannya sebagai komponen
ekosistem tetap dalam keadaan seimbang dan dinamis secara alami di
dalam kawasan taman nasional. Hal tersebut juga merupakan upaya untuk
menjaganya dari berbagai gangguan, agar keutuhan dan keaslian dari
kawasan tersebut beserta keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa
serta ekosistemnya dapat berjalan secara alami, yang dilaksanakan sesuai
dengan sistem zonasi pengelolaannya, yaitu :
(1) Kegiatan konservasi jenis di zona inti taman nasional :

Perlindungan dan pengamanan.

Inventarisasi potensi kawasan.

Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan,


terutama untuk pemantauan dan evaluasi habitat dan populasi
hidupan liar.

(2) Kegiatan konservasi jenis di zona pemanfaatan taman nasional :

Perlindungan dan pengamanan.

Inventarisasi potensi kawasan.

Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pariwisata alam.

(3) Kegiatan konservasi jenis di zona rimba taman nasional :

Perlindungan dan pengamanan.

Inventarisasi potensi kawasan.

Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan,


terutama untuk pemantauan dan evaluasi habitat dan populasi
hidupan liar.

Pembinaan habitat dan populasi satwa, yaitu kegiatan-kegiatan yang


dilakukan

dengan

tujuan

untuk

menjaga

dan

memulihkan

keberadaan populasi dan keragaman jenis satwa tertentu agar terjadi


keseimbangan dengan daya dukungnya, yang dilaksanakan antara
lain

melalui kegiatan : pembinaan habitat/vegetasi, pembinaan

populasi satwa, pembuatan fasilitas air minum dan/atau tempat


berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohonpohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa,
penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa
asli, serta pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

75

Rencana Pengelolaan

Upaya pengawetan taman nasional dilaksanakan dengan ketentuan


dilarang untuk melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
fungsi taman nasional, seperti kegiatan merusak kekhasan potensi sebagai
pembentuk ekosistemnya, merusak keindahan alam dan gejala alam taman
nasional, melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana
pengelolaan dan/ atau rencana pengusahaan.
Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan yang dapat
mengakibatkan perubahan fungsi taman nasional, apabila melakukan
perbuatan tanpa izin berupa : memotong, memindahkan, merusak atau
menghilangkan

tanda

batas

kawasan;

membawa

alat

yang

lazim

dipergunakan untuk mengambil, menangkap, menebang, merusak, berburu,


memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam
kawasan; melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam
kawasan; memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam
kawasan; memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan
tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan; menggali atau membuat lubang
pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam
kawasan; serta mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau
mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Kegiatan dalam rangka
pembinaan habitat dan populasi satwa, pembinaan dan pengkayaan
tumbuhan atau satwa tidak termasuk kegiatan seperti tersebut.

i.

Restorasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem


Merupakan upaya untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan
tumbuhan, satwa atau ekosistem, agar tetap berada pada keadaan
seimbang dan dinamis secara alami pada kawasan taman nasional. Kegiatan
pembinaan, restorasi dan rehabilitasi tersebut umumnya dilaksanakan
dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi, aspek teknis dan
ilmiah konservasi, serta dilakukan atas dasar adanya kebutuhan untuk
memperbaiki kondisi kawasan yang rusak atau menurun potensinya.
Penggunaan jenis asli merupakan syarat utama penyelenggaraan kegiatan
tersebut di kawasan taman nasional dan diarahkan pada kegiatan
pembinaan habitat dan populasi satwa liar. Upaya tersebut merupakan
proses untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman dan
dinamika ekosistem guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan taman
nasional yang dilindungi.
Terdapat empat tipe tindakan untuk mengembalikan komunitas hayati
dan ekosistem ke fungsi semula di dalam kawasan taman nasional, yaitu :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

76

Rencana Pengelolaan

(1) Tanpa tindakan, karena upaya pemulihan terlalu mahal dan selalu gagal.
Pengalaman menunjukkan bahwa ekosistem alami akan dapat pulih
dengan sendirinya;
(2) Restorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara aktif
dengan species yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan
komposisi species seperti semula;
(3) Rehabilitasi,
ekosistem

merupakan
dan

pemulihan

species

asli,

dari

seperti

sebagian

memperbaiki

fungsi-fungsi
hutan

yang

terdegradasi melalui penanaman, sulaman, dan pengkayaan jenis ; serta


(4) Penggantian,

merupakan

upaya

penggantian

suatu

ekosistem

terdegradasi dengan ekosistem lain yang lebih produktif, seperti


mengganti hutan yang terdegradasi dengan padang rumput, dimana
ekosistem tersebut telah ada sebelumnya.

j.

Pengembangan Sarana dan Prasarana


Merupakan kegiatan

melengkapi

sarana

dan prasarana untuk

kepentingan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengusahaan di kawasan


taman nasional. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan taman
nasional,

harus

mempertimbangkan

aspek-aspek

lingkungan,

sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat serta memperhatikan ketentuan peraturan


yang berlaku, keberadaannya diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan
pengelolaan, pelayanan pengunjung dan pengusahaan, serta kemudahan
pengunjung mencapai lokasi-lokasi yang menarik atau menjadi obyek
kunjungan.
Sarana

dan

prasarana

tersebut

umumnya

dibangun

di

zona

pemanfaatan taman nasional dan secara terbatas di zona rimba taman


nasional, dengan tata letak didasarkan pada rencana tapak, atau sesuai tata
letak sarana dan parasarana pada rencana karya pengusahaan pariwisata
alam (RKPPA) yang telah disahkan. Pembangunan sarana dan prasarana
tersebut diutamakan dapat menggunakan bahan-bahan dari daerah
setempat yang memiliki adaptasi tinggi dengan kondisi lingkungan. Apabila
tidak memungkinkan maka dipergunakan bahan bangunan dari luar yang
tidak merusak kelestarian lingkungan alam.
Bentuk sarana dan prasarana yang dibangun agar bergaya arsitektur
budaya setempat dan harmonis dengan lingkungan alam, dengan
ketentuan :
(1) Ukuran

panjang,

lebar

dan

tinggi

bangunan/sarana

prasarana

disesuaikan dengan perbandingan/ proporsi untuk setiap bentuk

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

77

Rencana Pengelolaan

arsitektur daerah/ lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan


tersebut.
(2) Pembangunan sarana yang diperkenankan maximum 2 (dua) lantai.
(3) Tidak merubah karakteristik bentang alam yang ada.
(4) Jenis-jenis sarana dan prasarana yang boleh dibangun di kawasan
taman nasional, khususnya di zona pemanfaatan dan secara terbatas di
zona rimba/bahari adalah berupa :

Sarana dan prasarana pokok pengelolaan :


9

Kantor pengelola

Pondok kerja/jaga/penelitian

Jalan patroli

Pusat informasi

Wisma cinta alam

Menara pengawas kebakaran

Menara pengintaian satwa

Stasiun rehabilitasi satwa

Kandang transit satwa

Peralatan navigasi

Peralatan komunikasi

Peta dasar dan peta kerja

Peralatan transportasi

Perlengkapan kerja

Laboratorium penelitian

Sarana dan prasarana penunjang pengelolaan :


9

Akomodasi

Transportasi

Pertunjukan kebudayaan

Sistem sanitasi

Fasilitas rekreasi alam

Jenis sarana dan prasarana pemanfaatan dan pariwisata alam :


9

Sarana pariwisata alam :


-

Pondok wisata alam

Bumi perkemahan

Karavan

Fasilitas akomodasi, terdiri dari :


o

Ruang pertemuan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

78

Rencana Pengelolaan

Ruang makan dan minum

Fasilitas untuk bermain anak

Gudang

Fasilitas pelayanan umum dan kantor, terdiri dari :


o

Fasilitas pelayanan informasi

Fasilitas pelayanan telekomunikasi

Fasilitas pelayanan administrasi

Fasilitas pelayanan angkutan

Fasilitas pelayanan penukaran uang

Fasilitas pelayanan jasa pencucian

Fasilitas peribadatan

Pos PPPK/Poliklinik

Menara untuk pengintai dan pemandangan

Tempat sampah

Kantor

Mess karyawan

Pemadam kebakaran

Rumah makan dan minum, meliputi :


o

Restoran.

Kedai.

Kios-kios.

Sarana wisata tirta, meliputi semua fasilitas kegiatan wisata


tirta

Sarana wisata budaya, meliputi panggung pertunjukan seni


budaya tradisional setempat

Kios

cenderamata,

berupa

bangunan-bangunan

yang

dipergunakan untuk mamajang dan menjual cinderamata


9

Sarana angkutan umum/transportasi

Sarana prasarana pengusahaan pariwisata alam :


-

Jalan :
o

Jalan utama, dengan ukuran maksimum lebar badan


jalan 5 meter ditambah bahu jalan 1 meter kiri kanan,
dengan sistim pengerasan menggunakan batu dan
lapisan permukaan aspal.

Jalan cabang, dengan ukuran maksimum lebar jalan 3


meter, dengan sistim pengerasan batu dan lapisan
permukaan aspal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

79

Rencana Pengelolaan

Jalan setapak, dengan ukuran maksimum lebar jalan 2


meter, dengan menggunakan bahan yang disesuaikan
dengan kondisi setempat.

Jalan patroli, dengan ukuran maksimum lebar jalan 0,6


meter yang dibuat tanpa pengerasan.

Jalan pengaman, dibuat sebagai jalan alternatif untuk


kondisi

darurat

yang

pembangunannya

dengan

menggunakan bahan yang disesuaikan dengan kondisi


setempat.
-

Jembatan, dilaksanakan dengan ketentuan bahwa bentang


jembatan disesuaikan dengan lebar sungai atau lebar
halangan.

Areal parkir, dibangun dengan ketentuan :


o

Sejauh mungkin tidak menebang/merusak pohon.

Pengerasan areal harus dilakukan dengan konstruksi


yang tidak mengganggu penyerapan air ke dalam tanah.

Jaringan listrik, diupayakan dibangun di dalam tanah dengan


berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang
berwenang.

Jaringan air minum, diupayakan dibangun di dalam tanah


dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi
yang berwenang.

Jaringan telepon, diupayakan dibangun di dalam tanah


dengan berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi
yang berwenang.

Jaringan drainase/saluran, dibangun dengan cara terbuka


dan menggunakan pengerasan. Jika tidak memungkinkan
maka dapat :
o

Dilakukan

dengan

sistem

tertutup

dalam

hal

drainase/saluran air yang melewati bangunan atau untuk


penggunaan lain.
o

Dilakukan pengerasan apabila kondisi tanah mudah


terjadi erosi atau longsor.

o
-

Dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.

Sistim pembuangan dan pengolahan limbah, dibangun


dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sistim ini terdiri dari :
o

Sistim pembuangan dan pengolahan limbah padat.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

80

Rencana Pengelolaan

o
-

Sistim pembuangan dan pengolahan limbah cair.

Helipad,

dapat

dibangun

dengan

berpedoman

pada

ketentuan-ketentuan teknis dari instansi yang berwenang


dan lokasinya berdasarkan rencana pengelolaan.
9

Fasilitas

pelengkap

sarana

dan

prasarana

pengusahaan

pariwisata alam :
-

Penataan tanaman yang dibangun pada bagian-bagian


tertentu dengan ketentuan hanya mempergunakan tanaman
species asli yang ada pada kawasan tersebut.

Papan-papan petunjuk, berupa :


o

Papan nama

Papan informasi

Papan petunjuk arah

Papan larangan/peringatan

Papan bina cinta alam

Papan rambu lalu-lintas

Ornamen-ornamen, monumen, bangku dan meja piknik,


dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
budaya setempat.

k.

Fasilitas umum :
o

Toilet

Hidran air minum

Pengelolaan Pemanfaatan Untuk Penelitian dan Ilmu Pengetahuan


Meliputi

kegiatan

yang

berhubungan

dengan

upaya

untuk

mengakomodir kepentingan fungsi kawasan taman nasional untuk kegiatan


penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil kegiatan penelitian
perlu diarahkan dan diselaraskan dengan kebutuhan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan berkembang.
Kegiatan penelitian terapan umumnya diarahkan untuk memberikan
dukungan bagi upaya membantu penyelesaian masalah pengelolaan
kawasan taman nasional, dan penelitian murni umumnya dilakukan dan
diarahkan kepada upaya untuk pengembangan lebih lanjut dari ilmu
pengetahuan, yang dapat dilangsungkan dalam kawasan taman nasional.
Penelitian untuk menunjang pemanfaatan, meliputi :
(1) Penelitian yang hasilnya untuk mendukung dan diperlukan untuk
menunjang pemanfaatan jenis dan satwa serta budidaya di luar

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

81

Rencana Pengelolaan

kawasan,

seperti

penelitian

dalam

menunjang

pengawetan

dan

penangkaran jenis.
(2) Penelitian yang hasilnya untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya,
ditujukan terhadap seleksi jenis tumbuhan dan satwa yang karena
kandungan unsur kimia maupun sifat genetiknya dapat dimanfaatkan,
misalnya untuk :

Industri obat-obatan, zat pewarna, dan lain-lain.

Benih atau bibit unggul dalam menunjang peningkatan produksi


pangan, sandang dan papan.

Perbanyakan dan peningkatan kualitas jenis melalui rekayasa


genetik.

Ketentuan tentang kegiatan penelitian

di kawasan taman nasional

diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri dan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu

ketentuan yang

mengatur tentang tata cara dan instansi yang berwenang memberi


rekomendasi dan/ atau izin untuk melaksanakan penelitian. Kewenangan
yang terkait dengan penelitian pada saat ini dikoordinasikan oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tidak mengurangi kewenangan Menteri
Kehutanan yang bertanggung jawab untuk mengatur tata cara pelaksanaan
penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi di kawasan taman nasional.
Untuk mendukung pelayanan kegiatan penelitian, pengelola taman
nasional antara lain melaksanakan :
(1) Identifikasi obyek penelitian mengenai

tumbuhan, satwa, ekosistem,

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.


(2) Penyiapan sistem pelayanan dan materi kegiatan penelitian.
(3) Ketersediaan dan dukungan berupa penyediaan stasiun penelitian.
(4) Penyiapan sistem data dasar informasi kegiatan penelitian.
(5) Penyusunan rencana dan skala prioritas program penelitian.
(6) Pengembangan bentuk kerjasama dalam penelitian.
(7) Pengembangan sistem dokumentasi, publikasi dan promosi hasil-hasil
kegiatan penelitian maupun referensi yang terkait.

l.

Pengelolaan pemanfaatan untuk pendidikan dan kesadaran konservasi


Merupakan upaya pendayagunaan potensi kawasan taman nasional
untuk kepentingan pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi atau
dikenal sebagai bina cinta alam kepada penduduk dan pengunjung taman
nasional. Upaya tersebut antara lain dilakukan melalui :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

82

Rencana Pengelolaan

(1) Pengenalan melalui program pemanduan dan interpretasi ekosistem


taman nasional, berupa pengenalan secara langsung di lapangan
mengenai tipe-tipe ekosistem maupun pengenalan jenis tumbuhan
dan/atau satwa liar, atau komponen-komponen penyusun ekosistem
alam;
(2) Peragaan ekosistem taman nasional, melalui wujud fisik dan fungsinya
yang dapat dilihat secara visual baik melalui material asli seperti
spesimen herbarium dan satwa, maupun audiovisual, multimedia, slide,
booklet, leaflet, dan poster;
(3) Pendidikan yang dilakukan dalam bentuk karya wisata, widya wisata dan
pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang
potensi taman nasional;
(4) Kunjungan untuk memberikan pendidikan ke sekolah-sekolah dan forum
pertemuan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional, mengenai
kepentingan, tujuan dan sasaran pengelolaan taman nasional dan
potensi sumber daya alamnya.

m. Pengelolaan Pemanfaatan Pariwisata dan Rekreasi Alam


Merupakan upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan
tetap

memperhatikan

prinsip

keseimbangan

antara

kepentingan

pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi di


dalam kawasan taman nasional diarahkan pada beberapa kegiatan berikut :
(1) Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata alam dalam
kawasan taman nasional;
(2) Inventarisasi, identifikasi dan analisis sosial ekonomi dan budaya
masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan sektor kepariwisataan
daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang berada
di sekitar kawasan;
(3) Pengembangan obyek wisata alam tetap memperhatikan aspek sosial
ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan
sektor kepariwisataan daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung di sekitar kawasan;
(4) Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya
pemanfaatan potensi obyek wisata alam kawasan taman nasional, dan
diarahkan pada upaya peningkatan penyediaan lapangan kerja dan
peluang berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan dan pihak investor.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

83

Rencana Pengelolaan

Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan dalam rangka


mempertahankan dan/atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, pengelola taman nasional dapat menghentikan kegiatan
tertentu dan/atau menutup kawasan taman nasional sebagian atau
seluruhnya untuk jangka waktu tertentu bagi pengunjung taman nasional.
Penghentian kegiatan dimaksud antara lain :
(1) Keadaan dan situasi yang terjadi di kawasan taman nasional, karena
bencana alam (antara lain gunung meletus, gas beracun, bahaya
kebakaran) serta kerusakan akibat pemanfaatan terus-menerus yang
dapat membahayakan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa.
(2) Dalam hal pengaturan jumlah pengunjung, dimana jumlah pengunjung
yang masuk ke dalam kawasan harus disesuaikan dengan daya dukung
kawasan yang bersangkutan. Untuk itu dalam rangka pengendalian
pengunjung yang masuk ke dalam kawasan, pemerintah menetapkan
syarat dan tata cara memasuki kawasan.

n. Pengelolaan Pemanfaatan Jasa Lingkungan


Merupakan upaya pemanfaaatan dan pendayagunaan potensi jasa
lingkungan

(sumber

daya

dan

spiritual)

kenyamanan

air,

udara,

dengan

oksigen,
tetap

carbon,

keindahan,

memperhatikan

prinsip

keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam.


Kegiatan tersebut di dalam kawasan taman nasional diarahkan pada :
(1) Inventarisasi dan identifikasi lokasi potensi jasa lingkungan seperti
sumber daya air, udara, oksigen, carbon, keindahan, kenyamanan dan
spiritual di dalam kawasan taman nasional;
(2) Inventarisasi, identifikasi dan analisis sosial ekonomi dan budaya
masyarakat, kecenderungan pasar, dan ketersediaan sarana dan
prasarana

pendukung

yang

berada

di

sekitar

kawasan

untuk

pendayagunaan jasa lingkungan;


(3) Pengembangan potensi jasa lingkungan, seperti sumber daya air, udara,
keindahan, kenyamanan dan spiritual dengan tetap memperhatikan
aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar,
kebijakan sektor di daerah, dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung yang berada di sekitar kawasan;
(4) Pengembangan kerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya
pemanfaatan potensi jasa lingkungan, yang diarahkan pada upaya
peningkatan penyediaan lapangan kerja dan peluang berusaha bagi
masyarakat sekitar kawasan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

84

Rencana Pengelolaan

o. Pengelolaan Pemanfaatan untuk Menunjang Kepentingan Budidaya


Merupakan upaya pemanfaatan dan pendayagunaan potensi flora dan
fauna di kawasan taman nasional yang telah digunakan masyarakat
setempat dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara
kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam. Kegiatan tersebut umumnya
dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan dan atau penggunaan
plasma nutfah (unsur-unsur genetik yang menentukan sifat kebakaan suatu
jenis) tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan taman nasional.
Dalam pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan
plasma nutfah terikat pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan tentang
pembenihan tanaman. Kegiatan tersebut di dalam kawasan taman nasional
diarahkan pada :
(1) Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa
agar tetap berada pada keadaan seimbang yang dinamis serta dapat
dimanfaatkan

secara

berkelanjutan

dan

lestari

dengan

tetap

memperhatikan prinsip konservasi;


(2) Plasma nutfah, baik tumbuhan maupun satwa yang ada untuk dapat
digunakan sebagai sumber bibit dan genetik untuk kegiatan pemuliaan,
penangkaran dan budidaya di luar kawasan taman nasional;
(3) Kegiatan penangkaran dan pembinaan jenis di dalam kawasan taman
nasional sepanjang menggunakan jenis asli dari kawasan yang
bersangkutan, tidak mengurangi dan merusak ekosistem kawasan, dan
untuk tujuan penelitian dan pengembangan budidaya;
(4) Pemanfaatan hasil hutan ikutan dan non-kayu di dalam kawasan taman
nasional oleh masyarakat sekitarnya dengan pengaturan tertentu yang
disepakati masyarakat dan pengelola taman nasional.

p. Pengembangan Integrasi, Koordinasi dan Kemitraan


Integrasi dan koordinasi memegang peranan penting dalam upaya
memperkenalkan berbagai bentuk pembangunan kawasan taman nasional
kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, integrasi dan koordinasi lintas
sektoral perlu diarahkan pada hal-hal sebagai berikut :
(1) Integrasi dan koordinasi lintas sektor harus dimulai sejak penyusunan
rencana

pengelolaan

taman

nasional

sampai

pada

tahap

pengembangannya;
(2) Identifikasi dan pemetaan permasalahan sosial, ekonomi, budaya, politik,
serta interaksi masyarakat dengan akses pemanfaatan sumber daya

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

85

Rencana Pengelolaan

alam taman nasional yang mempengaruhi keutuhan dan eksistensi


taman nasional;
(3) Pengembangan sistem promosi tepat guna, baik melalui jalur resmi,
misalnya pendidikan maupun jalur informal misalnya melalui brosur,
leaflet dan fasilitas elektronik, dilakukan bersama-sama organisasi
pemerintah dan non-pemerintah, baik dalam maupun luar negeri dan
masyarakat;
(4) Pembinaan daerah penyangga dititikberatkan pada upaya peningkatan
hubungan yang harmonis antara masyarakat dan kawasan taman
nasional sedemikian rupa sehingga kehadiran kawasan taman nasional
dapat dirasakan manfaat dan kepentingannya oleh masyarakat dan
pemerintah daerah;
(5) Upaya menjalin kerjasama (collaborative management) dengan berbagai
pihak di dalam upaya memperkuat kelembagaan pengelolaan taman
nasional.

q. Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan


Pemantauan, evaluasi dan pelaporan merupakan upaya yang
dilakukan oleh pengelola taman nasional untuk mengamati, mencermati,
menelusuri dan menilai pelaksanaan pengelolaan taman nasional, sehingga
tujuan pengelolaan dapat tercapai secara optimal dan sekaligus merupakan
umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengelolaan taman
nasional di masa mendatang.

B. Kebijakan Pembangunan Daerah


Pengembangan wilayah adalah suatu proses, bagaimana status ekonomi dan
sosial budaya dari suatu wilayah dapat dibangun melalui inisiatif pemerintah maupun
swasta.

Untuk wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia, khususnya di luar Jawa,

aktivitas pengembangan wilayahnya dilaksanakan oleh pemerintah karena umumnya


sektor swasta belum berkembang dengan baik. Pemerintah mencanangkan
pembangunan ekonomi yang merupakan suatu kebijakan terpenting untuk mencapai
tujuan dimaksud. Anggaran yang disiapkan untuk pengembangan wilayah di
Indonesia mencakup program-program pembangunan yang sangat luas seperti
infrastruktur, proyek-proyek sektoral, dan lain sebagainya.
Pengembangan wilayah dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, tergantung
pada ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, kebijakan
pemerintah, serta berbagai kombinasi dari aktivitas pembangunan yang ditargetkan.
Perencanaan dan pengembangan wilayah merupakan dua dari banyak faktor yang

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

86

Rencana Pengelolaan

menciptakan lingkungan dimana taman nasional dikelola, serta membuat tugas dari
pengelola taman nasional menjadi mudah atau bahkan lebih sulit untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan pembangunan dapat saja disesuaikan dengan pola pengelolaan taman
nasional akan tetapi harus disadari bahwa pemerintah pada dasarnya lebih
memprioritaskan program pembangunan ekonomi secara umum.
Secara umum kebijakan pengelolaan kawasan karst tidak terlepas dari
kebijakan pengelolaan lingkungan. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan bahwa tujuan pengelolaan
lingkungan hidup adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan dengan sasaran antara lain adalah tercapainya keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; tercapainya
kelesetarian fungsi lingkungan hidup; dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya
secara bijaksana.
Perspektif Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan adalah bahwa pengelolaan
kawasan Karst Maros Pangkep harus dilakukan secara terpadu oleh setiap pelaku
pembangunan yaitu instansi pemerintah (propinsi dan kabupaten), lembaga
penelitian termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat
dan masyarakat luas. Selain itu juga harus terpadu dengan penataan ruang,
perlindungan sumber daya non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya dan keanekaragaman
hayati. Sehubungan dengan hal tersebut maka Kawasan Karst Maros Pangkep
hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem yang mempunyai kaitan
erat dengan kawasan yang lain maupun dengan komponen-komponen lingkungan
seperti : siklus hidrologi dan iklim (komponen fisik/kimia), flora dan fauna (komponen
hayati), serta pengaruhnya terhadap sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
setempat (komponen sosekbud). Dengan demikian pengelolaan Kawasan Karst
Maros-Pangkep harus diarahkan pada sasaran tercapainya keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan antara manusia dengan kawasan tersebut; tercapainya
kelestarian fungsi kawasan karst; dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya
kawasan karst secara bijaksana. Dalam hal ini perlu adanya keterpaduan di dalam
pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep dengan mempertimbangkan kebijakankebijakan di sektor lain, agar dampak lingkungan yang terjadi dari kegiatan-kegiatan
di sektor lain dapat memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
Sejalan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, maka kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam nasional, termasuk sumberdaya karst, yang berada di
wilayahnya menjadi kewenangan daerah dan daerah bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

87

Rencana Pengelolaan

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka bidang lingkungan hidup merupakan
salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah.
Kajian terhadap kebijakan dan peraturan perudangan-perundangan yang ada
menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa kawasan karst sebagai sumber daya alam,
baik sumber daya alam hayati maupun non hayati, dapat dipandang dari berbagai
sudut, yaitu (Nurlini et. al, 1999 dalam Palaguna dan Rahman, 2001) : (1) sebagai
suatu ruang, dengan batasan ruang seperti yang ditegaskan pada pasal 1 ayat (5)
Undang-undang Penataan Ruang, yaitu Wilayah adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional,
sedangkan ayat (7) menguraikan bahwa Kawasan lindung adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan; (2) ekosistem sumber daya
alam hayati dan batasannya sebagaimana pada Pasal 1 ayat (1) dan (3) Undangundang Nomor 5 Tahun 1990, yaitu : (a) Sumber daya alam hayati adalah unsurunsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati dan sumber daya
alam hewani yang bersama ekosistem, dan (b) Ekosistem sumber daya alam hayati
adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun
non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi; (3) Dari sudut
pandang ruang, kawasan karst dapat berfungsi sebagai kawasan lindung maupun
kawasan budidaya. Sedangkan dari segi ekosistem sumberdaya alam hayati,
kawasan karst dapat berfungsi sebagai hutan konservasi maupun hutan produksi,
dimana keadaannya sangat dinamis.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa komitmen Pemerintah Propinsi
Sulawesi Selatan terhadap pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep sangat jelas
dan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, fungsi dan potensi
ekosistem karst, serta pemanfaatan dan perlindungan yang berkelanjutan.
Kawasan Karst Maros-Pangkep merupakan suatu ekosistem yang wilayahnya
mencakup Kabupaten Maros dan Pangkep. Berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai
daerah

otonom,

maka

Pemerintah

Propinsi

Sulawesi

Selatan

mempunyai

kewenangan terhadap pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep, setidaknya


dalam perannya sebagai koordinator dalam perencanaan kebijakan pengelolaan dan
pengawasan. Berbagai peran koordinasi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan antara lain dalam bidang-bidang koordinasi data dan
informasi, kepastian hukum peruntukan kawasan karst, serta peningkatan peran
serta masyarakat.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

88

Rencana Pengelolaan

Data dan informasi merupakan masalah paling mendasar dalam pengelolaan


kawasan karst yang berwawasan lingkungan. Data dan informasi mengenai semua
potensi yang ada di kawasan karst masih sangat jarang atau bahkan sulit sekali
diperoleh. Data dan informasi yang ada sifatnya belum utuh, tapi tergantung dari
sumber data dan kepentingan yang sifatnya sektoral. Sebagai contoh data dan
informasi kawasan karst yang bersumber dari Dinas Pertambangan, yang muncul
adalah data dan informasi kawasan karst sebagai bahan galian/tambang bahan baku
semen, marmer, atau batu kapur. Informasi mengenai potensi sumberdaya air,
kekayaan keanekaragaman hayati, sarang burung walet, potensi wisata alam, dan
lain sebagainya sulit didapatkan. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh perguruan
tinggi sifatnya juga masih parsial, belum komprehensif, mengingat keterbatasan dana
penelitian dan tujuan penelitian itu sendiri. Untuk kepentingan koordinasi data dan
informasi ini, Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan menugaskan kepada Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) guna melaksanakan koordinasi dengan
pihak-pihak yang terkait.
Permasalahan pengelolaan karst yang juga penting untuk segera diselesaikan
adalah ketidakjelasan peruntukan kawasan karst. Sejauh ini belum cukup tersedia
kebijakan yang jelas tentang peruntukan suatu kawasan karst baik di tingkat
nasional, apalagi di tingkat daerah. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan dapat
berperan dalam memberi kepastian peruntukan di dalam kawasan Karst MarosPangkep sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Secara teknis
masalah ini akan bisa diatasi bila masalah ketidaklengkapan data dan informasi bisa
diselesaikan. Penyusunan penatagunaan Kawasan Karst Maros Pangkep perlu
dilakukan dengan koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang berperan.
Beberapa waktu yang lalu, paradigma pembangunan yang ada lebih bersifat
top-down dan sentralistik. Akibatnya peran masyarakat dan pemerintah daerah di
tingkat lokal sangat lemah dalam menentukan kebijakan pembangunan, termasuk
dalam menentukan peruntukan/ pendayagunaan suatu kawasan karst. Penyertaan
masyarakat yang diwakili oleh LSM atau pakar dalam pembahasan AMDAL untuk
pemanfaatan/eksploitasi suatu kawasan karst sering kurang bisa mewakili aspirasi
masyarakat lokal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

89

Rencana Pengelolaan

Peran sumber daya manusia dalam pengelolaan kawasan karst tidak saja
meliputi satu macam aspek yang terdapat dalam pengelolaan itu sendiri, melainkan
meliputi berbagai macam aspek seperti
halnya kebijakan yang berlaku pada
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, bahwa pengelolaan kawasan karst
tidak terlepas dari proses perencanaan
yang perlu mempertimbangkan peran
sumber daya manusia secara bottom-up
planning. Oleh karena itu perlu adanya

Foto : HIMAKOVA-IPB

pengembangan dan peningkatan kualitas


sumber daya manusia dalam pengelolaan
lingkungan kawasan karst secara terpadu
dan berkelanjutan.
Menyikapi kebutuhan peningkatan
peran serta masyarakat dan sumber daya
manusia di bidang pengelolaan kawasan
karst,

Pemerintah

Selatan

akan

Propinsi

melakukan

Sulawesi

Foto : HIMAKOVA-IPB

koordinasi

dengan instansi terkait dan perguruan


tinggi,

guna

melakukan

berbagai

sosialisasi dan pelatihan, baik untuk


aparat pemerintah kabupaten maupun
masyarakat luas.
Untuk melaksanakan pengelolaan
kawasan Karst Maros-Pangkep, konsep
kebijakan pengelolaan kawasan karst
bagi

Pemerintah

Propinsi

Foto : HIMAKOVA-IPB

Sulawesi

Selatan pada dasarnya adalah sama


dengan pengelolaan sumber daya alam
secara umum yaitu : (a) Pengelolaan
sumberdaya alam yang terbarukan di
kawasan Karst Maros-Pangkep, yang
meliputi flora, fauna, lahan, air dan udara
dilakukan

secara

bijaksana

sehingga

Foto : HIMAKOVA-IPB

daya dukung dan kemampuannya berproduksi dapat dipelihara sepanjang waktu.


Asasnya adalah bahwa dalam perspektif tatanan lingkungan hidup yang serasi,
pelestarian dan konservasi harus setara dengan pemanfaatannya; (b) Pengelolaan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

90

Rencana Pengelolaan

sumberdaya alam yang tak terbarukan di wilayah Karst Maros-Pangkep yaitu


kegiatan penambangan harus dilakukan secara hemat dan dengan menggunakan
teknologi yang aman dan tidak merusak lingkungan. Kegiatan ini hendaknya diikuti
dengan upaya pemulihan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan
penambangan.
Strategi pengelolaan kawasan karst pada dasarnya harus memperhatikan jenis
dan kawasan karst itu sendiri. Masing-masing tipe kawasan akan mempunyai cara
pengelolaan yang berbeda. Secara umum pengelolaan kawasan karst dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) kawasan karst sebagai kawasan lindung, dan
(2) kawasan karst sebagai kawasan budidaya dan eksploitasi (pertambangan).
Penetapan kawasan karst sebagai kawasan lindung didasarkan pada bentang
alam dan luasannya, kondisi biogeografi, dan fungsinya dalam ekosistem kawasan.
Dengan mengacu pada peraturan perudangan yang ada, bentuk kawasan lindung
yang dapat diterapkan untuk kawasan karst adalah : taman nasional, cagar alam,
taman wisata alam, cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan situs warisan dunia
(world heritage). Selain itu, dalam rangka perlindungan kawasan lain atau
perlindungan setempat, kawasan karst juga dapat ditetapkan sebagai kawasan hutan
lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai, kawasan perlindungan danau/
waduk dan mata air.
Mengingat kawasan karst merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap
gangguan lingkungan, budidaya yang mungkin dapat dilakukan adalah budidaya
tanaman kehutanan dan perkebunan. Sedangkan untuk kawasan karst yang tidak
mengalami perkembangan karstifikasi, bentang alam umum dan banyak dijumpai
ditempat lain, kondisi air bawah tanah tidak berkembang, tidak mempunyai
ekosistem/ biota yang khas, bukan daerah perlindungan kawasan yang lain, dan
bukan

daerah

untuk

pengawetan

keanekaragaman

hayati dapat

dilakukan

penambangan secara terkendali dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan


terutama pada pasca penambangan.
Perencanaan Penataan ruang kawasan karst Kabupaten Maros dan Pangkep
belum dibuat secara khusus, dan sementara ini masih mengacu kepada arahanarahan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten (RUTRK), meskipun demikian
pemerintah kedua kabupaten telah menyusun beberapa pokok pikiran mengenai
arahan peruntukan dan pemanfaatan ruang di kawasan karst, sebagai berikut :

1.

Penentuan Kawasan Lindung


a. Kawasan perlindungan setempat ; penekanannya pada daerah sekitar mata
air, sungai, bendungan, waduk buatan, dan sungai bawah tanah.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

91

Rencana Pengelolaan

b. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan ; penekanannya pada daerah


yang memiliki situs prasejarah, dan situs geologi.
c.

Kawasan rawan bencana alam ; penekanannya pada daerah yang rawan


tanah longsor dan rawan intrusi air laut.

2.

Penentuan Kawasan Budidaya


a. Kawasan hutan dapat dikonversi ; penekanannya pada daerah-daerah
ketinggian dan atau lembah yang memiliki potensi kehutanan, dan secara
teknis dapat dikonversi menjadi hutan tanaman industri, perkebunan, serta
hutan produktif lainnya, sehingga secara langsung dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
b. Kawasan pertanian lahan basah ; penekanannya pada daerah-daerah
disekitar aliran sungai, sekitar mata air, sekitar waduk buatan, dan atau
dataran rendah yang secara teknis dapat dikembangkan sebagai lahan
pertanian.
c.

Kawasan pertambangan ; penekanannya pada daerah-daerah yang memiliki


potensi bahan galian yang layak untuk dikembangkan, baik secara teknis,
ekonomis, dan ekologis.

d. Kawasan industri ; penekanannya pada daerah-daerah yang secara teknis


dapat dijadikan kawasan industri, dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, terutama kawasan permukiman.
e. Kawasan permukiman ; penekanannya pada daerah-daerah yang secara
teknis dapat dikembangkan menjadi kawasan permukiman, serta memiliki
tingkat aksesibilitas tinggi, dan ditunjang oleh sarana / prasarana lingkunga
yang memadai.
f.

Kawasan pariwisata ; penekanannya pada daerah-daerah yang memiliki


potensi pariwisata ; baik wisata alam, maupun wisata budaya dan ilmu
pengetahuan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

92

IV
Visi dan Misi Pengelolaan
A. Visi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebagai unit pelaksana teknis
Departemen Kehutanan yang merupakan pengelola atau pemangku kawasan
konservasi taman nasional baru berdiri sejak Nopember 2006 dan secara efektif baru
mulai beroperasi pada bulan April 2007. Walau demikian, pada awal pelaksanaan
pengelolaan, setelah diserahterimakan dari Balai KSDA Sulawesi Selatan I, telah
dilakukan evaluasi efektifitas pengelolaan kawasan berdasarkan Kriteria dan
Indikator Pengelolaan Taman Nasional. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut,
diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan Taman Nasional Bantimurung belum
benar-benar efektif bahkan masih dalam tahap penyiapan prakondisi. Atas dasar
hasil evaluasi pengelolaan ini pula, maka Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung mulai merancang suatu rencana pengembangan pengelolaan yang
berisi langkah-langkah terukur untuk mencapai suatu visi jangka panjang.
Karena kondisi pengelolaan yang masih jauh dari mapan, maka visi
pengelolaan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk jangka panjang

adalah :

Terwujudnya Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


yang Mantap, Serasi dan Seimbang
dengan Dukungan Kelembagaan yang Efektif

Rencana Pengelolaan

Dalam visi tersebut terkandung tiga kunci pokok landasan pemikiran dalam upaya
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, yaitu :
1.

Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang mantap.


Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang baru ditunjuk sebagai kawasan
konservasi pada tanggal 18 Oktober 2004, proses penyiapan prakondisi
pengelolaannya belum tercapai, terutama pengukuhan dan pemantapan status
hukum kawasan yang merupakan pondasi utama upaya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistem yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
sampai

dengan

Bantimurung

tahun

2009,

Bulusaraung

prakondisi

harus

pengelolaan

dituntaskan

hingga

Taman

Nasional

terselesaikannya

pengukuhan kawasan serta tersedianya rancangan zonasi pengelolaan


kawasan. Untuk tahap selanjutnya, pengelolaan akan diarahkan kepada
pengembangan dan pemantapan pengelolaan sesuai dengan pemintakatan
yang

telah

disusun,

terutama

pengembangan

sarana

dan

prasarana

pengelolaan, pengembangan pengelolaan ekosistem dan keanekaragaman


hayati, serta pengembangan pemanfaatan dan perlindungan kawasan;
2.

Keseimbangan dan keserasian. Pengelolaan sumber daya alam hayati dan


ekosistem yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditujukan untuk menciptakan keseimbangan dan keserasian antar
berbagai fungsi dan nilai kawasan. Keseimbangan dan keserasian nilai dan
fungsi dimaksud diukur dari sisi ekologi, hidrologi, estetika, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat.

3.

Kelembagaan yang efektif. Kesiapan internal pengelola Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung sangat bergantung pada ketersediaan SDM yang
proporsional (kualitas dan kuantitas), ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, struktur organisasi dan prosedur kerja yang mantap, serta pendukung
lainnya. Selain kesiapan internal lembaga pengelola, sinergitas dengan lembaga
masyarakat serta stakeholder lain juga diperlukan guna mendukung pencapaian
fungsi dan peran kawasan. Dengan kesiapan kelembagaan yang mantap maka
upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem pada Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilakukan secara efektif.

B. Misi Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


Dalam langkahnya untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, diperlukan
bentuk nyata implementasinya sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan.
Dengan demikian, ditetapkan misi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sebagai berikut :

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

94

Rencana Pengelolaan

1.

Memantapkan status kawasan dan pengelolaan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;

2.

Mengoptimalkan perlindungan hutan dan penegakan hukum;

3.

Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya


berdasarkan prinsip kelestarian;

4.

Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan


sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Status legal formal dan batas kawasan yang jelas merupakan prasyarat utama
untuk mengimplementasikan upaya pengelolaan kawasan. Hal ini ditujukan untuk
mengatasi adanya konflik terkait dengan penggunaan, kepemilikan dan status hukum
kawasan. Seiring dengan pemenuhan prasyarat tersebut, upaya konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya juga dapat diimplementasikan. Pada
tahap awal ini, upaya konservasi jenis dan ekosistemnya dititikberatkan pada
pemenuhan data dan informasi keanekaragaman hayati dan ekosistem pada Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Zonasi

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

juga

merupakan suatu bagian yang penting untuk mulai dipersiapkan karena taman
nasional dikelola dengan sistem zonasi. Dengan tidak adanya rambu-rambu
pengelolaan secara keruangan tersebut, sulit untuk mengefektifkan pelaksanaan
pengelolaan. Dikhawatirkan, pelaksanaan pengelolaan tidak dapat mencapai
keseimbangan apabila batas-batas pelaksanaan kegiatan dan pemanfaatan ruang di
dalam kawasan tidak segera disediakan.
Konflik penggunaan dan kepemilikan lahan di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sampai saat ini masih sangat tinggi. Karenanya, kawasan
ini rentan terhadap gangguan keamanan, terutama kasus perambahan kawasan.
Kejadian-kejadian gangguan keamanan cukup menyita banyak waktu dan tenaga
untuk penyelesaiannya. Gangguan tersebut juga menjadi faktor penghambat
pemantapan pengelolaan kawasan menuju pencapaian fungsi secara optimal.
Dengan demikian, maka gangguan terhadap kawasan dan sumber daya alam hayati
yang terkandung di dalamnya harus diupayakan sedemikian rupa untuk dieliminir.
Upaya konservasi tidak terlepas dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam,
namun agar tercapai keadilan dan kelestarian dalam pemanfaatannya, maka perlu
dikelola dengan bijaksana dan dikembangkan secara optimal. Sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya adalah kekayaan alam yang harus dikelola oleh negara
demi kepentingan seluruh rakyat, dan karenanya untuk mendistribusikan hasil dan
nilainya secara adil, maka diterapkan sistem provisi atas sumber daya alam yang
dimanfaatkan. Di dalam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, provisi dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

95

Rencana Pengelolaan

bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diterapkan untuk berbagai kegiatan
pemanfaatan kawasan.
Sebagai organisasi yang baru terbentuk, aspek kelembagaan merupakan
bagian penting yang harus ditata dengan baik. Dukungan peraturan perundangundangan, pedoman dan arahan pengelolaan perlu diterapkan dengan baik agar
pengelolaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Karena pengelolaan kawasan
yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pengelola/pemangku kawasan serta dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, maka penggalangan
kemitraan dan kolaborasi harus senantiasa menjadi perhatian. Kondisi sumber daya
manusia yang ada juga perlu terus dikembangkan kapasitas serta kuantitasnya.
Dalam rangka mencapai sasaran pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, kebijakan pembangunannya mengacu pada Lima
Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Walaupun tidak secara keseluruhan,
namun sebagian besar kebijakan dimaksud terkait dengan pengelolaan taman
nasional, yaitu : (1) Pemberantasan Pencurian Kayu di Hutan Negara dan
Perdagangan Kayu Ilegal; (2) Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan; (3)
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan; (4) Pemantapan
Kawasan Hutan.
Mengacu pada program nasional sebagaimana tertuang dalam RPJP
Kehutanan, RPJM serta program Departemen Kehutanan yang disarikan oleh
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, maka dalam
pencapaian Visi dan Misi Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditetapkan
beberapa program dan fokus kegiatan yang akan dilaksanakan. Program dan fokus
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung diuraikan sebagai berikut :

1.

Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri


Program

ini

berisikan

fokus

kegiatan

pengamanan

hutan

yang

dimaksudkan untuk melindungi kawasan dari berbagai tindakan illegal. Secara


umum, fokus kegiatan ini merupakan upaya pencegahan, penanganan dan
penyelesaian konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistem di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara
khusus, fokus kegiatan ini berisikan upaya-upaya perlindungan dan pengamanan
hutan secara preemtif, preventif, persuasif dan tindakan represif. Sebelum
terselesaikannya

pengukuhan

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung, maka upaya-upaya perlindungan dan pengamanan kawasan lebih


dititikberatkan pada tindakan preemtif, preventif dan persuasif. Adapun tindakan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

96

Rencana Pengelolaan

represif hanya dilakukan pada pelanggaran yang secara nyata melanggar


peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam kawasan.

2.

Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam


Program perlindungan dan konservasi sumber daya alam terdiri dari empat
fokus kegiatan, yaitu pengendalian kebakaran hutan, pengelolaan kawasan
konservasi, pengelolaan keanekaragaman hayati dan TSL, serta pemanfaatan
jasa lingkungan dan wisata alam. Fokus kegiatan pengendalian kebakaran hutan
dimaksudkan untuk mencegah, memadamkan kebakaran hutan yang terjadi di
dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung serta melakukan
tindakan-tindakan penanganan pasca kebakaran hutan. Upaya ini dilaksanakan
baik secara internal maupun dengan melatih dan melibatkan masyarakat yang
ada di dalam dan sekitar kawasan taman nasional.
Pengelolaan kawasan konservasi dimaksudkan sebagai upaya untuk
mewujudkan pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
yang didasarkan pada status hukum yang kuat, pengelolaan data dan informasi
yang berbasiskan kawasan, mengembangkan pembinaan keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Pengelolaan keanekaragaman hayati dan produk-produk tumbuhan dan
satwa liar dimaksudkan untuk menjaga, mengawetkan dan mempercepat
pemulihan jenis dan populasi di dalam kawasan. Pemanfaatan jasa lingkungan
dan wisata alam ditujukan untuk mengembangkan pemanfaatan produk-produk
jasa lingkungan, memacu pengembangan pemanfaatan kawasan untuk tujuan
wisata dan lain sebagainya.

3.

Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan


Lingkungan Hidup
Program ini menampung kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
pemantapan kelembagaan dan perangkat penunjang pengelolaan kawasan.

4.

Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan


Program ini menampung kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin untuk
menunjang pelaksanaan administrasi perkantoran.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

97

V
Analisa dan Proyeksi
A. Faktor Kekuatan, Kendala, Peluang dan Tantangan
Untuk

keperluan

penyusunan

rencana

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung, dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor kekuatan,


kendala, peluang dan tantangan. Hasil-hasil dari identifikasi kemudian digunakan
untuk menyusun rincian kegiatan berdasarkan analisa SWOT.
1. Kekuatan
a. Eksistensi Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA, Balai Taman
Nasional Bantimurung, serta perangkat yang ada di bawahnya.
b. Perangkat peraturan perundang-undangan serta kebijakan Pemerintah
Indonesia yang terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya serta lingkungan hidup.
c.

Perangkat kebijakan internasional yang terkait dengan konservasi sumber


daya alam hayati dan ekosistemnya serta lingkungan hidup.

d. Potensi

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

yang

merupakan ekosistem unik serta keanekaragaman hayati yang ada di


dalamnya.
e. Ketersediaan sumber daya manusia.

2. Kendala
a. Belum terselesaikannya proses pengukuhan kawasan sehingga status
hukum kawasan belum bersifat final.

Rencana Pengelolaan

b. Lemahnya

kelembagaan

pengelola

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung dari segi kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana
serta prosedur kerja.
c.

Birokrasi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi.

d. Lemahnya peran serta dan kelembagaan masyarakat.


e. Isu permasalahan dan konflik di dalam kawasan yang lebih menonjol
dibandingkan dengan potensi kawasan yang ada.
f.

Masih lemahnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.

g. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi yang lemah antar berbagai sektor.

3. Peluang
a. Komitmen para penentu kebijakan di tingkat nasional dan regional terhadap
pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
b. Komitmen dan dukungan masyarakat internasional terhadap pelestarian
sumber daya alam dan lingkungan.
c.

Dukungan lembaga-lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal terhadap


pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

d. Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang unik, langka, dan


bernilai ekonomi tinggi serta tingginya minat masyarakat lokal dan manca
negara.
e. Peluang investasi ke kawasan konservasi dalam rangka pengembangan
wisata alam.

4. Tantangan
a. Masih tingginya tingkat kerawanan kawasan, baik dari aktifitas penebangan
liar dan perdagangan kayu illegal, perambahan kawasan, kebakaran hutan
dan kegiatan pertambangan tanpa izin.
b. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan.
c.

Kondisi perekonomian masyarakat yang masih sangat bergantung kepada


ketersediaan sumber daya alam di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.

d. Kebutuhan lahan yang sangat tinggi.


e. Kebijakan investasi di dalam kawasan konservasi yang tidak menarik bagi
para investor.

B. Analisa
Berdasarkan hasil identifikasi faktor kekuatan, kendala, peluang dan tantangan
serta dengan menggunakan analisa SWOT, diperoleh alternatif-alternatif strategi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

99

Rencana Pengelolaan

pengembangan melalui empat pengelompokan, yaitu : (1) strategi menggunakan


kekuatan untuk memanfaatkan peluang; (2) strategi menanggulangi kendala/
kelemahan dengan memanfaatkan peluang; (3) strategi menggunakan kekuatan
untuk menghadapi tantangan; serta (4) strategi memperkecil kelemahan/kendala dan
menghadapi tantangan. Alternatif strategi untuk pengembangan pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung secara lengkap diuraikan sebagai berikut :

1. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Memanfaatkan Peluang


a. Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait di pusat
dan daerah dalam pengembangan pengelolaan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
b. Peningkatan

kerjasama

dengan

lembaga-lembaga

internasional

dan

lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal yang peduli terhadap pelestarian


ekosistem dan keanekaragaman hayati Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
c.

Pemberian insentif dan peluang sebesar-besarnya untuk merangsang minat


investasi swasta pada pengembangan pengelolaan pariwisata alam di dalam
dan sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

d. Pengembangan pemanfaatan aneka fungsi kawasan Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung.
e. Percepatan pengembangan pengelolaan data dan informasi, serta promosi
pemanfaatan berbagai sumber daya di dalam kawasan secara bijaksana.

2. Strategi Menanggulangi Kendala/Kelemahan dengan Memanfaatkan Peluang


a. Percepatan proses pengukuhan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung sampai dengan penetapan.
b. Penyusunan rancangan zonasi pengelolaan kawasan dan implementasinya
di lapangan.
c.

Penyusunan

rencana

tapak

pengembangan

pengelolaan

dan

implementasinya di lapangan.
d. Penguatan

kelembagaan

pengelola

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dibarengi


dengan peningkatan kuantitasnya, pengembangan sarana dan prasarana
pengelolaan, serta penyusunan prosedur kerja yang aplikatif, efektif dan
efisien.
e. Mempermudah birokrasi dalam pengelolaan melalui usulan desentralisasi
kewenangan perijinan dan pelayanan masyarakat kepada Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

100

Rencana Pengelolaan

f.

Mendorong

peningkatan

peran

serta

masyarakat

dengan

dukungan

kelembagaan yang mantap.


g. Pengembangan model desa konservasi.
h. Percepatan penyelesaian permasalahan dan konflik yang terjadi di dalam
dan sekitar kawasan.
i.

Merangsang pelaksanaan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan


di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

j.

Peningkatan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pembangunan


antar berbagai sektor agar terjalin sinergisitas yang tinggi.

3. Strategi Menggunakan Kekuatan untuk Menghadapi Tantangan


a. Optimalisasi perlindungan dan pengamanan kawasan yang dibarengi dengan
pengembangan kualitas dan kuantitas Polisi Kehutanan, PPNS serta sarana
dan prasarana penunjang operasionalnya.
b. Optimalisasi penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran bidang
kehutanan dan lingkungan hidup di dalam dan sekitar kawasan.
c.

Peningkatan pelaksanaan pendidikan konservasi bagi masyarakat di dalam


dan sekitar kawasan.

d. Koordinasi pengusulan pemberian insentif beasiswa bagi pelajar yang


potensial di dalam dan sekitar kawasan untuk mengikuti pendidikan yang
lebih tinggi.
e. Optimalisasi pemanfaatan potensi jasa lingkungan yang bernilai ekonomis
untuk mendukung peningkatan perekonomian masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan.
f.

Penciptaan lapangan kerja baru melalui pengembangan pengelolaan


pariwisata alam.

g. Pemberian masukan bagi perumusan regulasi pengembangan investasi


swasta di dalam dan sekitar kawasan.
h. Percepatan penyiapan data, informasi dan hasil-hasil kajian sebagai bahan
penyusunan proposal pengajuan World Heritage Site pada kawasan Karst
Maros-Pangkep.

4. Strategi Memperkecil Kelemahan/Kendala dan Mengatasi Tantangan


a. Mendorong pengembangan usaha kecil dan koperasi masyarakat lokal untuk
dapat ikut berinvestasi di dalam kawasan.
b. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

101

VI
Rencana Kegiatan
A. Pemantapan Kawasan
Pemantapan kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
diharapkan dapat direalisasikan sedini mungkin sampai dengan penetapan kawasan
sebagai kawasan hutan konservasi tetap serta penetapan pembagian ruang
kelolanya. Pengukuhan kawasan sebagai salah satu bagian dari kegiatan
pemantapan kawasan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan taman nasional. Oleh karenanya, esensi dari kegiatan pengukuhan
kawasan menjadi sangat penting. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
ditunjuk oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2004 merupakan perubahan dari
beberapa fungsi kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan tersebut, sebagian besar
telah dilaksanakan penataan batas luarnya antara tahun 1975 sampai dengan tahun
2001.
Sampai dengan penyusunan rencana pengelolaan ini, kemajuan pelaksanaan
penataan batas kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sudah
mencapai 432,52 Km atau 90,44% dari total batas luar sepanjang 478,22 Km. Batasbatas yang telah ditata tersebut, karena sebelumnya merupakan batas luar berbagai
fungsi kawasan hutan, juga telah dilakukan rekonstruksinya pada tahun 2006 dan
2007, sehingga secara de facto di lapangan telah berubah menjadi batas kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Sisa dari batas kawasan yang belum
dilaksanakan penataannya ditargetkan akan segera direalisasikan hingga temu
gelang pada tahun 2009.

Rencana Pengelolaan

Dengan target penyelesaian penataan batas

Pal batas taman nasional

tersebut, kemudian direncanakan akan diupayakan


untuk

segera

sebagai

dilakukan

kawasan

penetapan

hutan

kawasan

konservasi

tetap.

Penetapan kawasan Taman Nasional Bantimurung


Bulusaraung

akan

diupayakan

untuk

dapat

direalisasikan pada tahun 2010, dengan terlebih


dahulu dilakukan reposisi batas yang disesuaikan
dengan kondisinya secara nyata di lapangan.
Batas-batas kawasan di lapangan, karena
perannya yang begitu penting, perlu diupayakan
untuk terus berfungsi sebagaimana mestinya dan
dalam keadaan seperti sedia kala pada saat
pelaksanaan penataan batas. Untuk keperluan
tersebut,

akan

diupayakan

untuk

melakukan

pemeliharaan batas-batas kawasan di lapangan


serta

rekonstruksi

Pemeliharaan

batas

batas

secara

diupayakan

berkala.

Dusun Tallasa di dalam


kawasan taman nasional

untuk

dilaksanakan setiap tahun secara bergantian

Sekolah di Dusun Tallasa

dengan tetap memperhatikan prioritas lokasinya


berdasarkan kondisi kerawanan kawasan. Adapun
kegiatan rekonstruksi batas diupayakan untuk
dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Di

dalam

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung masih terdapat konflik


tumpang tindih kepemilikan lahan. Kawasankawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya
menjadi

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung belum clear and clean, sehingga


dibutuhkan upaya pencarian solusi yang paling
tepat

untuk

penyelesaian

permasalahan

Sekolah di Dusun Tallasa

ini.

Beberapa alternatif solusi atas permasalahan ini

Peninjauan lokasi konflik

telah diupayakan untuk terus didiskusikan dengan


para pihak terkait, termasuk dengan masyarakat
yang menghuni kawasan hutan tersebut. Pada
tahun 2008 sampai dengan 2010, akan dilakukan
pengkajian yang difokuskan pada permasalahan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

103

Rencana Pengelolaan

ini, dan diharapkan dapat terselesaikan sampai dengan tercapainya kesepakatan


penyelesaian masalah.
Selain tata batas yang belum dirampungkan, penataan zonasi pengelolaan
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga belum dilaksanakan.
Pengelolaan taman nasional yang didasarkan pada sistem zonasi menjadikan
kegiatan ini penting untuk segera dilaksanakan pada tahap awal. Zonasi taman
nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zonazona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data,
penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan
penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis,
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Taman nasional adalah kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem
zonasi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dengan demikian,
zonasi taman nasional merupakan suatu perangkat penting dalam upaya-upaya
pengelolaan. Dengan kata lain, zonasi taman nasional merupakan rule of the game
atau management order. Penataan zonasi pada kawasan taman nasional diperlukan
dalam rangka pengelolaan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya secara efektif guna memperoleh manfaat yang lebih optimal dan
lestari. Penataan zonasi tersebut merupakan upaya penataan ruang untuk
optimalisasi fungsi dan peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem
pada setiap bagian kawasan taman nasional, serta penerapan dan penegakan
ketentuan hukum yang dilaksanakan atas sanksi pelanggaran di setiap zona taman
nasional secara tegas dan pasti. Penataan zonasi tersebut merupakan prakondisi
yang harus diprioritaskan dalam kegiatan pemantapan kawasan, sebelum kawasan
taman nasional tersebut dapat dikembangkan, dimanfaatkan, dan dikelola secara
efektif sesuai fungsinya.
Setelah penyusunan rancangan penataan zonasi dirampungkan sampai
dengan pengesahannya oleh Direktur Jenderal PHKA, maka pada tahap selanjutnya
akan dilaksanakan penataan batas zonasi. Penataan batas zonasi dilakukan dengan
tujuan agar tersedia tanda batas secara pasti di lapangan yang dapat dipedomani
oleh semua pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan taman nasional. Serupa
dengan penataan batas kawasan dalam proses pengukuhan, hasil penataan batas
zonasi juga dilakukan penetapan atau pengesahannya oleh Menteri Kehutanan.
Atas zonasi yang telah ditetapkan, secara berkala dalam rentang waktu tiga
tahun dilakukan pemantauan dan evaluasi efektifitas penggunaan ruang berdasarkan
zonasi yang ada. Apabila dalam perkembangan pengelolaan kawasan ditemukan
adanya ketidaksesuaian pengaturan penggunaan ruang, maka zonasi kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat ditinjau kembali dan dilakukan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

104

Rencana Pengelolaan

perubahan-perubahan sebagaimana mestinya. Peninjauan kembali zonasi ini


dilakukan berdasarkan kajian ilmiah terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial
budaya masyarakat dengan menggunakan metode-metode tertentu berdasarkan
konsep analisa spasial.

B. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan
yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia. Adapun rencana pengelolaan taman nasional adalah panduan yang
memuat tujuan, kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan
kawasan taman nasional. Rencana pengelolaan taman nasional terdiri atas rencana
pengelolaan jangka panjang, rencana pengelolaan jangka menengah, rencana
pengelolaan jangka pendek, serta rencana-rencana teknis untuk keperluan tertentu
secara spesifik.
Rencana pengelolaan jangka panjang taman nasional adalah rencana makro
yang bersifat komprehensif dan indikatif, untuk keperluan 20 tahun, yang menjadi
acuan

bagi

penyusunan

rencana

pengelolaan

jangka

menengah,

rencana

pengelolaan jangka pendek/ tahunan dan rencana-rencana teknis di kawasan taman


nasional. Rencana pengelolaan jangka menengah taman nasional adalah rencana
yang bersifat strategis, kualitatif dan kuantitatif, untuk keperluan 5 tahun, yang
disusun berdasarkan rencana pengelolaan jangka panjang. Rencana pengelolaan
jangka pendek adalah rencana pengelolaan yang bersifat teknis operasional,
kualitatif dan kuantitatif, untuk keperluan pengelolaan tahunan, yang disusun
berdasarkan dan merupakan penjabaran rencana pengelolaan jangka menengah.
Rencana aksi atau rencana teknis merupakan penjabaran dari salah satu atau
beberapa kegiatan. Jenis rencana ini memuat detail pelaksanaan suatu kegiatan
yang merupakan kebutuhan pengelolaan. Rencana-rencana teknis yang sekiranya
dibutuhkan dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung antara
lain berupa rencana pengembangan pariwisata alam, rencana tapak, rencana
pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan kawasan, rencana pembinaan
dan pengembangan daerah penyangga, rencana kegiatan rehabilitasi dan restorasi
kawasan serta rencana-rencana lainnya. Dalam periode 2008-2027, terdapat
sedikitnya 34 judul rencana pengelolaan yang akan disusun, yang terdiri dari rencana
pengelolaan jangka panjang, menengah, rencana pengelolaan tahunan, serta
rencana teknis.
Efektifitas pencapaian target dan sasaran yang tercakup di dalam setiap
rencana tersebut akan dilakukan evaluasinya setiap lima tahun. Selain pencapaian
target dan sasaran, tidak tertutup pula kemungkinan adanya perubahan kebijakan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

105

Rencana Pengelolaan

pemerintah di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam
periode perencanaan. Berdasarkan kepada hasil-hasil evaluasi yang telah dilakukan,
maka tidak tertutup kemungkinan untuk diadakannya peninjauan kembali atas
rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya.

C. Pengembangan Sarana dan Prasarana


Dalam pengelolaan taman nasional, terdapat setidaknya tiga kelompok utama
sarana dan prasarana yang dibutuhkan, yaitu sarana dan prasarana pokok, sarana
dan prasarana penunjang pengelolaan, serta sarana dan prasarana pariwisata alam.
Keseluruhan sarana dan prasarana ini saling terkait satu sama lain, dan di lain sisi
terdapat keterbatasan dalam penyediaan anggaran untuk pemenuhannya, sehingga
dibutuhkan kecermatan dalam menentukan skala prioritas pengembangan sarana
dan prasarana tersebut.
Untuk

kepentingan

efektifitas

pengelolaan

kawasan

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan setidaknya 1 unit kantor balai taman nasional


berukuran 600 M2 dan 2 unit kantor seksi pengelolaan taman nasional wilayah yang
berukuran 400 M2. Karena pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan hingga
kepada unit-unit terkecil maka telah dibentuk 7 resort taman nasional yang
keseluruhan juga membutuhkan pondok kerja masing-masing berukuran 70 M2.
Dalam rangka peningkatan efektifitas perlindungan
dan pengamanan kawasan, dibutuhkan pula pospos jaga pengamanan hutan di sekeliling kawasan.
Untuk kebutuhan tersebut, pada kawasan Taman
Pondok Kerja Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung

Nasional Bantimurung Bulusaraung dibutuhkan


sedikitnya 10 unit pos jaga pengamanan hutan.

Secara keseluruhan, kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan Taman


Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat dilihat pada tabel 3.

D. Pengelolaan Data dan Informasi


Agar data dan informasi yang terkait dengan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung dan segala aspek pengelolaannya dapat diakses dengan mudah oleh
seluruh pihak yang berkepentingan, diperlukan suatu media yang tepat dan efisien.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang telah begitu pesat saat ini, situs web
merupakan media yang tepat untuk keperluan ini, agar data dan informasi dapat
diakses oleh siapa saja, di mana saja dan kapan pun diperlukan. Selain
pembangunan awal basis data dan informasi pada media ini, diperlukan pula
pemutakhiran dan pemeliharaannya secara rutin sesuai dengan kebutuhan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

106

Rencana Pengelolaan

Disamping media penyebarluasan data dan informasi, pengumpulan dan


pengolahan data dan informasi menduduki peranan yang lebih penting lagi.
Pembangunan database manajemen sistem bukan suatu hal yang mudah, melainkan
memerlukan proses yang cukup panjang serta ketersediaan berbagai sumber daya
pendukungnya.

Pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

berhubungan dengan pemanfaatan ruang di atas permukaan bumi, sehingga selain


data dan informasi yang sifatnya deskriptif dan naratif, diperlukan pula data dan
informasi yang bereferensi keruangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan data
spasial. Sangat diharapkan bahwa berbagai jenis data dan informasi yang telah
disebutkan di atas dapat terintegrasi ke dalam suatu sistem perdataan yang dapat
diakses dengan mudah. Untuk itulah kemudian dibutuhkan suatu perangkat lunak
basis perdataan yang dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan oleh
siapa saja tanpa memerlukan keterampilan khusus. Pada masa-masa selanjutnya,
penyempurnaan dan pemutakhiran data dan informasi pada sistem basis data
sebaiknya dapat dilakukan secara berkala.
Media-media manajemen dan penyebarluasan data dan informasi seperti yang
telah disebutkan di atas masih mempunyai kelemahan-kelemahan, terutama terkait
dengan kebutuhan perangkat kerasnya serta belum familiernya teknologi informasi
kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, pada saat ini masih dibutuhkan
penyediaan media penyebarluasan data dan informasi secara manual berupa hardcopy. Media cetakan seperti itu antara lain dapat berbentuk buku informasi, booklet
ataupun brosur-brosur.
Hal lain yang juga perlu untuk mendapat perhatian adalah faktor ketersediaan
perangkat keras dan sumber daya manusia pengelola data dan informasi. Untuk
keperluan pengelolaan data dan informasi pengelolaan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung diperlukan setidaknya komputer dengan spesifikasi yang khusus serta
perangkat penunjangnya (antara lain Large Printer/Plotter), sumber data atau data
dasar yang mutakhir, serta sumber daya manusia yang terlatih dengan baik.

E. Pengelolaan Potensi Kawasan


Dalam rangka pengelolaan potensi kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, hal pertama yang perlu untuk segera dilakukan adalah identifikasi dan
pemetaan tipe-tipe ekosistem yang ada di dalam kawasan. Hal ini menjadi penting,
karena pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya didasarkan kepada potensi
ekosistemnya serta potensi sumber daya alam yang ada di dalam ekosistem. Setiap
tipe ekosistem mempunyai komponen-komponen penyusun yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Apabila batas-batas setiap tipe ekosistem serta komponen
penyusunnya tidak diketahui secara pasti, maka dapat saja terjadi kekeliruan dalam

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

107

Rencana Pengelolaan

manajemen kawasan. Contoh kekeliruan manajemen yang telah sering terjadi adalah
pelaksanaan penanaman pohon pada ekosistem savana ataupun penanaman jenis
bukan asli di dalam kawasan yang kemudian pada akhirnya menjadi species
impasif/eksotik dan merusak tatanan alami ekosistem itu sendiri.
Species yang ada di dalam kawasan, baik
satwa liar maupun tumbuhan alam memerlukan
pengelolaan yang baik. Oleh karenanya, pada
tahap awal dibutuhkan data dan informasi yang
valid terkait dengan kondisi populasi, sebaran dan
keadaan

habitatnya

memenuhi

hal

secara

tersebut,

umum.

diperlukan

Untuk
kegiatan

identifikasi dan inventarisasi yang intensif dan


secara menyeluruh di dalam kawasan. Pada
dasarnya,
sumber

upaya
daya

ini

yang

memerlukan
cukup

CLP-KPH HIMAHOVA IPB

dukungan

besar.

Dengan

keterbatasan-keterbatasan yang terjadi selama ini,


maka kegiatan-kegiatan pengumpulan data di
lapangan sebaiknya dilaksanakan secara bertahap
sehingga pada akhirnya akan dirampungkan pada

Boiga dendrophylla

suatu waktu tertentu. Pengulangan-pengulangan


dalam

rangka

pemutakhiran

data

sebaiknya

dilaksanakan dalam jangka waktu setiap lima


tahun.
Tidak hanya sebatas itu, data-data dan
informasi yang telah dikumpulkan dari lapangan
sebaiknya

dipetakan

dengan

baik.

Dengan

langkah-langkah seperti itu maka kemudian dapat


dikaji hubungan atau interaksi antar species di
dalam habitat ataupun ekosistem (persaingan,
predasi,

dan

komensalisme).

hubungan-hubungan
ekosistem

tersebut

antar

Dapat

species

bersifat

di

positif

saja
dalam
namun

terkadang juga bersifat negatif. Apabila dampak


dari interaksi antar species mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan
degradasi populasi suatu species secara cepat, maka dengan segera dibutuhkan
adanya intervensi dari pengelola melalui berbagai metode perbaikan ekosistem dan
habitat, dalam hal ini dapat dilakukan pembinaan populasi dan habitat atau melalui
upaya restorasi dan rehabilitasi.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

108

Rencana Pengelolaan

Di dalam suatu habitat atau ekosistem, terdapat jenis-jenis yang kemudian


menjadi species kunci (Key Species). Species kunci tersebut memegang peranan
penting di dalam ekosistem karena keberadaannya mendukung hampir semua
komponen hayati yang ada di dalam habitat atau ekosistem tersebut. Sebagai
contoh, jenis-jenis dari marga Ficus yang jumlahnya di dalam kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung mencapai 43 species (atau sub species), yang
dikumpulkan dan diidentifikasi oleh Rasplus pada tahun 2007 (Deharveng et al,
2007). Jenis-jenis tersebut dikatakan sebagai species kunci pada kawasan ekosistem
hutan di atas batu gamping (termasuk kawasan yang telah terkarstifikasi), karena
kedudukannya sebagai makanan utama berbagai species yang mendiami ekosistem
ini.
Dari sudut pandang lain, di dalam suatu kawasan terdapat pula jenis-jenis yang
kemudian dijuluki sebagai Flag Species, yaitu jenis-jenis hayati yang merupakan ciri
khas potensi di dalam kawasan tersebut. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dikenal oleh berbagai kalangan di seluruh dunia dengan potensi kupu-kupunya.
Dengan demikian, maka hingga saat ini species bendera Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung adalah kupu-kupu, walaupun masih banyak species lain di
dalam kawasan ini yang tidak kalah menariknya.
Jenis-jenis yang merupakan Key Species dan Flag Species tersebut karena
tingkat

kepentingannya

dalam

pengelolaan

Taman

Nasional

Bantimurung

Bulusaraung perlu untuk terus diupayakan identifikasi dan inventarisasinya. Hasilhasil dari pelaksanaan kegiatan ini hendaknya pada suatu saat akan terpetakan
sebarannya dengan baik dan cermat sehingga dapat dimanfaatkan dalam penentuan
kebijakan pengelolaan serta dalam rangka promosi pengembangan wisata alam di
dalam kawasan.
Untuk selanjutnya, dalam selang waktu tertentu perlu diupayakan untuk
melaksanakan

pemantauan

dan

evaluasi

keseluruhan

tahapan

pengelolaan

kawasan. Pemantauan dan evaluasi ini dilaksanakan secara bertingkat dari species,
habitat sampai dengan ekosistem di dalam kawasan. Pada suatu waktu tertentu di
mana terjadi ketidaksesuaian antara potensi kawasan, pemanfaatan dan kondisinya
secara nyata di lapangan, maka diperlukan suatu upaya untuk mengevaluasi potensi
kawasan. Evaluasi fungsi kawasan ini bertujuan untuk memberikan bahan-bahan
masukan bagi perumusan kebijakan perlu atau tidaknya dilakukan rasionalisasi
kawasan konservasi. Rekomendasi yang dihasilkan dari evaluasi fungsi kawasan
akan menjadi bahan untuk pelaksanaan rasionalisasi, yang mungkin saja akan
menambah, mengurangi atau bahkan merubah penataan pemanfaatan ruang di
dalam kawasan.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

109

Rencana Pengelolaan

Obyek-obyek wisata yang potensial di dalam kawasan, baik yang berpeluang


untuk dimanfaatkan dalam rangka wisata alam maupun wisata budaya perlu untuk
diidentifikasi dengan baik. Selain identifikasi, dilakukan pula pengkajian atau study
tentang kelayakannya untuk dikembangkan pemanfaatannya. Karena pengelolaan
kawasan konservasi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan ekologi, ekonomi dan
kondisi sosial budaya masyarakat, maka pengkajian atau study tersebut dilakukan
dengan membuat permodelan hubungan dari ketiga unsur kepentingan tersebut.
Ketiga unsur kepentingan tersebut seharusnya berjalan dengan seimbang dan
kegiatan pengembangan tidak berpengaruh negatif terhadap salah satunya. Begitu
pula dengan potensi obyek pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di dalam
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pengelolaan sampai dengan
pemanfaatannya juga perlu untuk diidentifikasi dan dikaji sedemikian rupa sehingga
pengaruh negatif dari kegiatan pemanfaatannya dapat ditekan seminimal mungkin
terhadap kelangsungan proses ekologis di dalam ekosistem.

F. Perlindungan dan Pengamanan Kawasan


Perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung ditujukan untuk mencegah dan membatasi kerusakan kawasan yang
antara lain disebabkan oleh perbuatan manusia, kebakaran hutan, daya-daya alam,
hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas
kawasan konservasi, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan kawasan. Pada prinsipnya, kegiatan ini meliputi pencegahan kerusakan
kawasan serta mempertahankan hak-hak negara yang ada di dalam kawasan.
Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sejauh ini masih
difokuskan pada tataran perlindungan dan pengamanan serta pengkajian potensi
(saving and studying), belum sampai pada upaya-upaya pemanfaatan secara intensif
dan lestari (using). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan pada kawasan
yang baru ditunjuk atau diubah fungsinya menjadi taman nasional, seperti Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kawasan yang ditunjuk menjadi taman nasional
pada tanggal 18 Oktober 2004 ini, baru secara efektif dikelola oleh pemangku
kawasan tersendiri, dalam hal ini Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,
pada sekitar awal April 2007.
Oleh karena kawasan ini baru pada tahap awal dikelola sebagai taman
nasional, maka sudah barang tentu bahwa perhatian lebih ditujukan pada penyiapan
prakondisi kawasan serta prakondisi sumber daya pengelolanya. Walaupun
demikian, upaya perlindungan dan pengamanan kawasan dari segala macam
gangguan tetap perlu mendapat perhatian serius secara terus menerus. Hal ini
mengingat di masa reformasi yang lebih banyak ditunggangi oleh eforia, kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

110

Rencana Pengelolaan

hutan dan segala potensinya banyak mengalami tekanan dari berbagai pihak untuk
dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi, baik secara legal maupun illegal.
Gangguan dan tekanan ini tentu saja tidak mengenal kawasan yang masih dalam
tahap prakondisi ataupun kawasan yang telah dikelola secara mapan.
Kawasan baru dengan pengelola yang juga masih baru, kelembagaan yang
masih lemah, sumber daya yang terbatas (terutama SDM dan sarana prasarana)
menjadi kendala dan hambatan dalam mempertahankan fungsi dan tujuan utama
penunjukan kawasan sebagai taman nasional. Oleh karenanya diperlukan strategistrategi khusus untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk
meminimalisir gangguan dan tekanan yang berat tersebut. Salah satu strategi yang
digunakan untuk mengefektifkan penggunaan sumber daya yang terbatas untuk
mengoptimalkan upaya perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional ini
adalah dengan menyiapkan perangkat-perangkat sistem peringatan dini (early
warning system). Perangkat dimaksud dalam hal ini berupa identifikasi dan pemetaan
indikasi kerawanan kawasan taman nasional. Peta Indikasi kerawanan kawasan ini
dimanfaatkan sebagai salah satu perangkat yang dapat mengarahkan personil dan
sarana prasarana yang terbatas ke lokasi-lokasi yang benar-benar memerlukan
penjagaan dan patroli karena indikasi intensitas gangguannya yang telah diketahui.
Identifikasi kerawanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
dimaksudkan untuk mengumpulkan data, mengolah dan menyajikan informasi yang
dapat menggambarkan tingkat kerawanan kawasan dari berbagai macam gangguan
dengan menggunakan indikator-indikator yang berpengaruh terhadap kemungkinan
terjadinya macam gangguan tersebut. Indikator-indikator yang dimaksud dalam hal
ini terdiri dari kondisi penutupan lahan, tipe iklim, jarak dari pusat pemukiman
masyarakat, tingkat aksesibilitas, kelas kelerengan serta potensi kawasan yang
berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Identifikasi kerawanan
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ditujukan sebagai salah satu
bahan masukan perumusan kebijakan bagi upaya-upaya perlindungan dan
pengamanan kawasan secara dini, efektif dan efisien serta lebih berorientasi pada
upaya-upaya preventif. Output dari kegiatan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai
pelengkap tools pengambilan keputusan manajemen tentang perlunya tindakantindakan pencegahan serta tingkat kesiagaan para personil.
Upaya perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung dilakukan dengan berbagai tingkatan, yaitu dari tingkat preemtif,
preventif, persuasif, dan represif. Sosialisasi tentang keberadaan kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, kebijakan pengelolaan dan pemanfaatannya,
serta hal-hal lain yang terkait dengan kawasan dilakukan terhadap seluruh komponen
pemangku kepentingan yang ada di sekitar kawasan. Sosialisasi penting dilakukan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

111

Rencana Pengelolaan

agar terjalin kesepahaman di antara para pemangku kepentingan tentang


pengelolaan kawasan. Dengan kesepahaman yang telah terbangun, maka
pengelolaan kawasan dan wilayah di sekitarnya dapat tersinskronisasi dengan baik.
Sosialisasi sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pengamanan secara
preemtif, persuasif dan preventif tidak hanya dilakukan terhadap para pemangku
kepentingan di tingkat birokrasi, tetapi juga dilakukan secara langsung kepada
masyarakat serta pemuda dan pelajar yang ada di dalam dan sekitar kawasan.
Salah satu upaya preventif lain yang dilakukan dalam rangka perlindungan dan
pengamanan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah patroli di
dalam dan sekitar kawasan serta penjagaan pada tempat-tempat strategis. Kegiatan
ini dilaksanakan oleh seluruh personil yang tersedia dan tersebar sampai ke resort
pengelolaan. Untuk kepentingan ini pula, maka penguatan sumber daya perlu
dilakukan sampai ke tingkat resort, bahkan apabila memungkinkan dapat dijadikan
prioritas.
Apabila ditemukan adanya indikasi kuat terjadinya pelanggaran hukum di
dalam kawasan dan sekitarnya, maka berdasarkan data intelijen yang valid dapat
dilakukan operasi pengamanan hutan. Operasi ini dapat bersifat fungsional dengan
melibatkan aparat internal Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung atau
bersifat gabungan dengan bantuan aparat penegak hukum eksternal. Bila gangguan
yang terjadi dapat diselesaikan oleh aparat internal, maka operasi pengamanan
hutan cukup dilakukan secara fungsional, namun apabila gangguan cukup besar dan
memerlukan sumber daya yang besar untuk penyelesaiannya maka operasi
pengamanan hutan dilakukan secara gabungan.
Hasil akhir dari pelaksanaan upaya represif adalah adanya alat-alat bukti dan
tersangka pelaku pelanggaran hukum di dalam kawasan. Hasil ini kemudian
ditindaklanjuti dengan pelaksanaan operasi yustisi. Operasi yustisi dilakukan secara
berjenjang dari tahap penyelidikan, penyidikan, gelar perkara, persidangan sampai
dengan terbitnya putusan pengadilan atas kasus tersebut.
Salah satu persoalan lingkungan yang muncul hampir setiap tahun di
Indonesia adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah
satu bentuk bencana yang makin sering terjadi, dan dampak yang ditimbulkan sangat
merugikan bila dilihat dari aspek fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi maupun aspek
ekologi (Syumanda, 2003 dalam Pratondo et. al, 2006; Anonim, 2007; Simanjuntak,
2007; Supriatna, 2007). Kebakaran hutan dan lahan juga kuat indikasinya untuk
terjadi di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung apabila dilihat dari
struktur vegetasi yang ada di atas kawasan karst.
Kebakaran hutan dan lahan berakibat pada kerusakan sumber daya alam serta
lingkungan. Kerugian yang ditimbulkannya tidak sedikit, mulai dari hilangnya sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

112

Rencana Pengelolaan

plasma nutfah penting, meningkatnya penderita penyakit infeksi saluran pernafasan


akut, hilangnya materi berharga milik masyarakat dan sebagainya. Dampak negatif
yang dirasakan beragam, mulai dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial budaya.
Lingkup dampak negatifnya beragam pula, mulai dari tingkat regional, nasional
maupun internasional. Bencana kebakaran hutan dan lahan menghasilkan polusi
asap yang dapat melintasi batas negara (transboundary haze pollution) yang
menyebabkan banyaknya protes dari negara-negara tetangga kepada Pemerintah
Indonesia.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan
yang seharusnya dapat diantisipasi secara komprehensif oleh seluruh komponen
yang terkait, baik pemerintah, masyarakat maupun kalangan swasta yang turut
memberikan kontribusi terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan. Faktor-faktor
yang berpengaruh ini sebaiknya diantisipasi sedini mungkin, karena antisipasi atau
pencegahan kebakaran secara dini mungkin akan lebih menghemat penggunaan
berbagai sumber daya dibandingkan apabila harus melakukan pemadaman.
Untuk keperluan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di dalam dan
sekitar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, maka setidaknya
diperlukan personil yang terlatih untuk keperluan tersebut, sarana dan prasarana
pendukungnya serta dukungan pembiayaan. Hal ini perlu mendapat perhatian
mengingat sebagian besar kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
adalah kawasan yang sangat rawan kebakaran hutan dan lahan.
Dalam upaya perlindungan dan pengamanan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, salah satu hal penting yang sebaiknya diperhatikan
adalah kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang ada. Selain itu, diperlukan
pula sarana dan prasarana yang memadai untuk pelaksanaan tugas yang tidak dapat
dikatakan ringan ini. Kedua jenis sumber daya ini sebaiknya diperhatikan dengan
terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta pengembangan
sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan hutan.
Terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia yang terbatas, maka salah
satu alternatif yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah
dengan memanfaatkan masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan.
Tenaga pengamanan hutan swakarsa serta masyarakat peduli api adalah dua
perangkat pendukung yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan
perlindungan dan pengamanan hutan yang efektif.

G. Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan Pendidikan


Pengelolaan kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tidak
terlepas dari perlunya dukungan penelitian dan pengembangan. Penelitian dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

113

Rencana Pengelolaan

pengembangan ini tidak hanya terbatas pada penelitian dasar namun termasuk pula
kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi terapan. Agar kegiatan penelitian
dan pengembangan yang seharusnya dilaksanakan oleh lembaga penelitian dan
perguruan tinggi dapat benar-benar mendukung upaya pengelolaan kawasan, maka
diperlukan identifikasi dan penyusunan skala prioritas kebutuhan penelitian dan
pengembangan di dalam kawasan. Hasil dari kegiatan ini dijadikan prioritas kegiatan
penelitian dan pengembangan di dalam kawasan dan disosialisasikan kepada pihakpihak yang berkepentingan agar dapat terjalin sinkronisasi antara kebutuhan di
dalam kawasan dan program penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan
perguruan tinggi. Pengembangan kerjasama dengan lembaga penelitian dan
perguruan tinggi juga perlu dirintis dengan baik agar kontinuitas kegiatan penelitian
dan pengembangan di dalam kawasan dapat berjalan dengan baik.
Pendidikan konservasi bagi masyarakat lokal menjadi esensial peranannya dan
perlu diupayakan terus-menerus. Jika memungkinkan, pendidikan konservasi bagi
masyarakat ini dilakukan sejak usia dini sehingga kesadaran konservasi dan
pentingnya pengelolaan lingkungan yang baik sudah menjadi bagian dari hidup
generasi bangsa ini. Pendidikan konservasi bagi masyarakat dapat dilakukan melalui
berbagai wadah. Upaya untuk menjadikan pendidikan konservasi sebagai muatan
lokal pada program pendidikan dasar dan menengah adalah suatu hal yang penting
untuk dilakukan. Dengan demikian, maka upaya konservasi tidak hanya dilaksanakan
oleh pengelola kawasan konservasi melainkan juga menjadi bagian yang terintegrasi
di dunia pendidikan.
Metode lain yang dapat ditempuh untuk memasyarakatkan upaya konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah dengan membentuk kader-kader
penggerak upaya konservasi di kalangan masyarakat. Untuk itulah kemudian
diperlukan upaya pembentukan kader konservasi serta pembinaan kalangan pecinta
alam. Kader-kader konservasi dan pecinta alam ini akan turut menyuarakan
pentingnya konservasi secara mandiri, dan dengan demikian maka pelaksanaan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya menjadi bagian
dari tanggung jawab pemerintah.

H. Pengelolaan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan


Dalam rangka pengembangan pemanfaatan kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung, obyek-obyek wisata yang ada di dalam kawasan perlu
dikembangkan dan ditata sedemikian rupa agar dapat menarik kunjungan wisatawan.
Obyek-obyek wisata yang ada di dalam kawasan dapat dikelompokkan menjadi
obyek wisata budaya, obyek wisata tirta, obyek wisata alam serta obyek wisata minat
khusus. Keseluruhan obyek tersebut memerlukan pengelolaan dan pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

114

Rencana Pengelolaan

agar dapat bermanfaat secara optimal. Jalur-jalur wisata di dalam kawasan


memerlukan rancangan yang memadai agar kunjungan dapat disesuaikan dengan
waktu yang tersedia serta kebutuhan pembiayaan.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk pariwisata yang saat ini sedang trend
dan banyak digunakan sebagai konsep dasar pengembangan suatu objek dan daya
tarik wisata. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini konsep ekowisata merupakan
salah satu konsep pengembangan pariwisata yang memperhatikan banyak hal.
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang selalu melekat dalam konsep pengembangan,
ekowisata antara lain selalu memperhatikan:
1. Pengembangan yang dilakukan harus menguntungkan secara ekonomi bagi
semua pihak yang berperan secara langsung ataupun tidak langsung;
2. Secara langsung dan tidak langsung harus memberikan kontribusi pada upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya);
3. Menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, bukan hanya sebagai
objek yang tidak akan mendapat keuntungan. Menjadi subjek pembangunan
dalam artian masyarakat juga harus diajak dalam proses perencanaan
pengembangan, pengelolaan atau pelaksanaan dan pengontrol kegiatan
pengembangan serta pelaksanaan;
4. Memberikan nilai pendidikan, baik pada para pengunjungnya, pelaku dan
masyarakat sekitarnya, melalui program-program atau paket-paket yang dibuat
yang harus memiliki bobot pendidikan yang dapat diterapkan oleh para
pengunjung, pengelola dan masyarakat sekitar;
5. Memberikan nilai hiburan/rekreasi, seperti halnya pengembangan pariwisata
lainnya yang salah satu tujuannya adalah memberikan nilai hiburan atau
rekreasi. Dengan demikian maka pengembangan ekowisata juga harus memiliki
porsi yang seimbang antara hiburan, pendidikan dan pelestarian alam.

Selain memperhatikan unsur-unsur tersebut, pengembangan ekowisata, juga


harus mempertimbangkan beberapa faktor-faktor penting, antara lain:
1. Karakteristik lingkungan alam dan keanekaragaman hayati, hal tersebut harus
dipertimbangkan karena akan sangat berpengaruh pada daya dukung lahan
kawasan yang akan dikembangkan. Apabila hal tersebut diabaikan maka akan
terjadi ketidaksesuaian antara kapasitas dan tema kawasan dengan produk yang
dikembangkan;
2. Karakterisitik daya tarik wisata dan sarana-prasarana pendukung, tema utama
dari daya tarik wisata yang ada dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukung harus diperhatikan, hal ini akan sangat berhubungan dengan konsep
pengembangan ekowisata yang efektif dan efisien (dalam arti pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

115

Rencana Pengelolaan

yang dilakukan akan sedikit banyak menyesuaikan dengan hal-hal yang sudah
tersedia dan tidak harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengadakan halhal yang belum ada);
3. Karakteristik budaya, tradisi dan agama setempat, yang sekaligus dapat
dijadikan batasan-batasan dan pengatur cara-cara bersikap, cara berpakaian
dan batas-batas waktu yang harus diperhatikan;
4. Pola pergerakan wisatawan, dari pola pergerakan wisatawan dapat ditetapkan
program atau paket wisata yang seperti apa yang akan cocok atau sesuai untuk
dikembangkan di daerah yang bersangkutan;
5. Pola pengembangan paket wisata, seperti telah tersebut di atas harus memiliki
kesesuaian dengan kondisi pasar. Masing-masing segmen pasar yang dituju
memiliki karakteristik tersendiri yang harus dipertimbangan dalam penyusunan
paket, misalnya wisatawan yang kebanyakan kaum berumur akan lebih
menyukai kegiatan di alam yang sifatnya ringan (soft), tidak menuntut
penggunaan fisik terlalu tinggi, wisatawan dengan usia muda (anak sekolah)
akan lebih menyukai kegiatan yang lebih aktif (mengandung tantangan).
Pengembangan paket juga harus memperhatikan faktor kompetitif dari pesaing
sehingga tidak mengulang tema yang sama yang telah dipakai oleh paket wisata
lainnya;
6. Pola pengembangan sistem transportasi;
7. Pola pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan. Pola pengembangan
wilayah tata ruang kawasan harus diperhatikan karena pengembangan
pariwisata yang dilakukan akan menyesuaikan dengan pola pengembangan
wilayah dan tata ruang kawasan yang sudah ada;
8. Zonasi, zonasi akan mempengaruhi kawasan-kawasan mana saja yang boleh
dan bisa dikembangkan.

Arahan pengembangan yang terutama dalam pengembangan ekowisata di


kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah untuk meningkatkan
pendapatan alternatif bagi masyarakat di sekitar. Tujuan utama tersebut akan
mengarahkan pembangunan kepada :
1. Mengupayakan pencapaian rencana strategis dan rencana pembangunan jangka
panjang kehutanan;
2. Membuka peluang kerja baru, baik di sektor pariwisata secara umum maupun
sektor penunjang pariwisata lainnya;
3. Mendorong investasi di sektor pariwisata dari para investor lokal maupun investor
dari luar kawasan atau daerah (dan juga investor asing);
4. Mendorong upaya pelestarian sumber daya alam, tradisi dan budaya setempat;

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

116

Rencana Pengelolaan

5. Mendorong pemerataan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan melalui


pelibatan masyarakat secara merata.

Agar pengembangan pemanfaatan wisata di dalam kawasan Taman Nasional


Bantimurung Bulusaraung dapat berjalan secara efektif dan efisien, dibutuhkan suatu
rencana tapak yang sudah dilengkapi dengan desain teknis (engineering design)
infrastruktur yang dibutuhkan. Rencana tapak dimaksudkan sebagai pedoman bagi
pengelola

kawasan

sendiri

dan

para

pihak

yang

berkepentingan

dalam

mengoptimalkan dan memantapkan pemanfaatan potensi objek dan daya tarik wisata
alam di dalam kawasan.
Lebih lanjut, tujuan penyusunan rencana tapak kawasan ini diharapkan akan
memberikan arahan bagi upaya:
1. Mengembangkan potensi kepariwisataan dan ekowisata kawasan sehingga
dapat tumbuh dan berkembang sebagai destinasi wisata yang memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif secara regional dan nasional;
2. Meningkatkan peran dan kontribusi pariwisata dalam upaya pencapaian tujuantujuan yang telah tertuang dalam rencana strategis kehutanan sebagai salah satu
sektor pembangunan yang handal yang mampu meningkatkan arus kunjungan
dan pembelanjaan wisatawan ke kawasan taman nasional, peningkatan lama
tinggal wisatawan, mendorong peningkatan kesejahteraan, serta membuka
kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas;
3. Mengembangkan potensi kepariwisataan kawasan melalui perencanaan secara
terpadu

dan

dapat

berinteraksi

secara

komplementer

dengan

rencana

pengembangan pariwisata pada tingkat kawasan, tingkat nasional maupun


rencana pengembangan sektoral di wilayah;
4. Mendorong perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan budaya,
khususnya potensi alam dan budaya serta sejarah dengan pengelolaan dan
pengembangan kegiatan yang relevan dan terkontrol, baik yang berkaitan
dengan pengembangan kegiatan pariwisata maupun kehutanan;
5. Mendorong pengembangan wilayah melalui pengembangan kegiatan ekowisata
serta pemberdayaan masyarakat setempat (community based development).

Dalam pengembangan pemanfaatan kawasan taman nasional di bidang


pariwisata, dibutuhkan sumber daya pendukung yang tidak sedikit jumlahnya.
Pemerintah sendiri, dengan kondisi moneter yang belum benar-benar stabil, belum
tentu mampu untuk menyediakan kebutuhan sumber daya tersebut. Oleh karena itu,
pengembangan kerjasama perlu terus-menerus diupayakan dengan berbagai pihak
yang berkepentingan. Kepada para investor yang berminat dalam pengembangan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

117

Rencana Pengelolaan

wisata di dalam kawasan taman nasional, perlu diberikan stimulan-stimulan khusus,


baik dari segi kebijakan atau regulasi pemerintah maupun dari segi-segi lain yang
sekiranya dapat meningkatkan minat investasi.
Informasi dan promosi menduduki peran yang signifikan dalam upaya
pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Informasi dan promosi sebagaimana telah dibahas sebelumnya dibuat sedemikian
rupa dan melalui berbagai media agar dapat mencapai berbagai tingkatan atau
segmen pasar pariwisata.

I.

Pengembangan Integrasi, Koordinasi, Kolaborasi


Integrasi pengelolaan bersama seluruh pihak, koordinasi yang mantap serta
pengembangan kolaborasi perlu dilakukan secara konsisten dalam pengembangan
pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pihak-pihak terkait,
terutama kalangan birokrat serta kalangan swasta dan masyarakat perlu terlibat
secara aktif dalam pengembangan pengelolaan. Dengan demikian, pihak Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung perlu secara proaktif melaksanakan
koordinasi dengan pihak-pihak tersebut.

J. Pengembangan dan Pembinaan Daerah Penyangga


Dalam kehidupan manusia, peran alam tidak perlu dipertanyakan lagi nilai
pentingnya. Namun seiring kemajuan peradaban manusia, kerusakan alam justru
semakin menjadi. Bahkan era reformasi yang ditujukan untuk perbaikan, ternyata
malah menjadi era perusakan terhadap alam yang tidak terkendali. Evoria reformasi
dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung mempercepat degradasi sumber daya
alam. Demikian pula halnya dengan kebijakan pengembangan ekonomi yang kurang
memperhatikan kepentingan sosial dan ekologis. Walaupun tidak dapat dikatakan
dalam kondisi prima, ekosistem kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
masih cukup utuh dan layak untuk mendapat perlindungan yang lebih baik lagi.
Apabila tidak mendapatkan penanganan yang serius dan terstruktur, maka lambat
laun kawasan ini juga akan mengalami kerusakan yang cukup parah. Potensi bentang
alam karst di kawasan ini bernilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan untuk kepentingan
penyediaan bahan tambang Marmer serta bahan baku pembuatan semen. Selain itu
juga terdapat potensi tambang Batu Bara (walaupun tidak banyak) di dalam kawasan ini.
Demikian pula halnya dengan potensi keanekaragaman hayati di dalamnya yang
mempunyai nilai jual cukup tinggi dan banyak diminati oleh masyarakat domestik dan
manca negara.
Hal tersebut merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kelestarian
ekosistem kawasan Bantimurung Bulusaraung. Potensi kawasan yang begitu

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

118

Rencana Pengelolaan

menggiurkan untuk kepentingan peningkatan perekonomian dengan mengeksploitasi


sumber daya yang ada, memerlukan upaya-upaya secara serius untuk penanganannya
dengan tetap mengedepankan keseimbangan antara faktor ekonomi, sosial dan
ekologis. Dukungan dari berbagai pihak harus tetap dan terus dipupuk agar dapat
membendung ancaman kerusakan kawasan. Disinilah peran-peran masyarakat di
sekitar kawasan taman nasional menjadi sangat signifikan dan merupakan salah satu
kunci keberhasilan perlindungan dan pelestarian kawasan. Sebuah peran yang bisa
merupakan dukungan atau bahkan sebaliknya, sebagai ancaman atas kelestarian
kawasan.
Sebagai taman

nasional

definitif

baru, Taman

Nasional Bantimurung

Bulusaraung masih menjadi perdebatan pro-kontra bagi sebagian besar masyarakat


di sekitarnya yang secara pasti menjadi penerima ekses terbesar dari penunjukan ini.
Dukungan dan kepedulian masyarakat lokal terhadap upaya konservasi kawasan
merupakan hal yang sangat diperlukan bagi terwujudnya kelestarian ekosistem dan
fungsi kawasan. Untuk tetap menggalang dukungan dari masyarakat, salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah adanya suatu bentuk kompensasi atas
pembatasan akses masyarakat untuk memanfaatkan secara langsung barang
produktif yang selama ini disediakan oleh alam di dalam kawasan taman nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan
diversifikasi bentuk usaha ekonomi masyarakat. Bentuk usaha ekonomi ini
diupayakan untuk tidak berbenturan dengan kepentingan perlindungan dan
pelestarian kawasan, sehingga masyarakat dapat berinteraksi secara positif dengan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Dibutuhkan waktu,
tenaga, pemikiran ekstra dan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Luasan kawasan dan
jumlah populasi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan akan menjadi
faktor pembatas. Apabila akan dilakukan secara keseluruhan dalam waktu yang
bersamaan, maka upaya ini hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk
direalisasikan menjadi sebuah kenyataan. Oleh karenanya, upaya tersebut harus
dilakukan secara bertahap dari desa satu ke desa yang lainnya dengan
mempertimbangkan tingkat prioritasnya.
Penggalian alternatif kegiatan usaha yang lebih produktif secara ekonomi dan
ramah lingkungan adalah salah satu strategi untuk mengurangi gangguan kawasan
taman nasional. Pengembangan kapasitas dan keterampilan masyarakat desa di
berbagai bidang, baik pengembangan alternatif usaha lain maupun peningkatan
kesadaran dan pengetahuan konservasi merupakan strategi implementasinya di
lapangan. Melalui pengembangan usaha perekonomian masyarakat, diharapkan akan
terbentuk masyarakat yang mandiri dan sejahtera secara sosial ekonomi yang mampu

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

119

Rencana Pengelolaan

menjadi pendukung bahkan lebih jauh lagi sebagai pioneer kelestarian kawasan
konservasi di sekitarnya.
Tujuan akhir (goal) dari upaya pengembangan usaha ekonomi masyarakat di
daerah penyangga kawasan konservasi Taman Nasional Bantimurung ini adalah
mewujudkan Masyarakat Desa yang Mandiri Ekonominya dan Peduli Konservasi
yang Dapat Menjamin Hutan Lestari. Tujuan antara yang diharapkan dapat
mewujudkan goal tersebut adalah : (1) Mengembangkan jenis-jenis usaha ekonomi
lokal produktif yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian alam; (2) Menumbuhkan budaya bertukar pikiran,
berbagi pengalaman dan terciptanya kader-kader di kampung tepi kawasan
konservasi yang mampu mengapresiasi dan menjaga kelestarian lingkungan alam
sekitarnya; (3) Membangun kesepahaman pengelolaan dan perencanaan bersama
mengenai pembangunan desa yang berwawasan lingkungan; serta (4) Meningkatkan
kesadaran konservasi masyarakat sekitar kawasan konservasi, terutama pada generasi
muda sebagai tumpuan harapan bangsa di masa depan.
Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan
konservasi Taman Nasional Bantimurung akan melibatkan sumber daya desa secara
keseluruhan, dengan sasaran utama yaitu : (1) Pemerintah setempat, terutama
aparat pemerintahan di tingkat desa selaku salah satu penentu kebijakan; (2) Para
tokoh masyarakat di desa bersangkutan sebagai suri teladan masyarakat; (3) Para
pelaku perekonomian desa, terutama penangkap kupu-kupu, pengolah aren, petani
kemiri, penjual cindera mata, dan lain-lain; (4) Para pemuda desa sebagai
penggerak, pengemban dan penentu arah gerak peradaban dan budaya di masa
yang akan datang; (5) Para pelajar di tingkat dasar guna menanamkan secara dini
pemahaman dan kecintaan terhadap lingkungan; serta (6) Aparat pemerintah terkait,
para akademisi, LSM dan kalangan swasta guna memfasilitasi dan memperlancar
proses pencapaian tujuan.
Pengembangan usaha ekonomi masyarakat di daerah penyangga kawasan
konservasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung diharapkan akan bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui usaha ekonomi produktif yang
mampu bersaing, yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak pada menurunnya ketergantungan masyarakat dan tekanan terhadap
kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada akhirnya, diharapkan
akan tercipta suatu kondisi dimana kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung akan terlindungi secara lestari dengan dukungan penuh dari
masyarakat yang mantap perekonomiannya, dan kawasan dapat berfungsi sebagai
penopang kehidupan secara luas.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

120

Rencana Pengelolaan

K. Restorasi, Rehabilitasi dan Reklamasi Ekosistem


Upaya restorasi, rehabilitasi dan reklamasi ekosistem kawasan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung diawali dengan pelaksanaan identifikasi dan
inventarisasi kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan taman nasional.
Identifikasi ini ditujukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan ekosistem di
dalam kawasan. Apabila ditemukan kerusakan-kerusakan yang terjadi di dalam
ekosistem, faktor penyebabnya serta sejauh mana dampaknya terhadap keseluruhan
proses ekologis di dalam kawasan, maka akan dihasilkan rekomendasi tentang
bentuk-bentuk intervensi pengelola yang perlu dilakukan untuk permasalahan
tersebut. Pemetaan penutupan vegetasi dan batas-batas ekosistem serta sebaran
keanekaragaman species menjadi penting sebagai dasar untuk menentukan tindakan
intervensi yang dibutuhkan.
Selain identifikasi dan inventarisasi kondisi habitat dan ekosistem, monitoring
habitat dan populasi jenis di dalam kawasan juga perlu dilakukan secara berkala.
Hasil dari kegiatan ini juga berperan dalam menentukan tindakan apa yang akan
dilakukan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi di dalam kawasan.
Pembinaan habitat dan populasi terutama diprioritaskan terhadap species kunci dan
species penting lainnya. Rehabilitasi kawasan yang akan dilaksanakan sebaiknya
dengan terlebih dahulu telah melalui kajian yang seksama tentang kondisi ekosistem,
perkembangan suksesi ekosistem dan jenis di dalam ekosistem serta kesejarahan
proses geologi dan edafologi kawasan.

L. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan


Agar pelaksanaan pengelolaan kawasan beserta potensinya tetap berjalan
pada arah yang benar secara efektif dan efisien, dibutuhkan pelaksanaan monitoring
dan evaluasi secara berkala. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap segala
aspek pengelolaan dan setidaknya dilaksanakan setiap akhir atau awal tahun. Agar
monitoring dan evaluasi dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan perangkatperangkat lunak monitoring dan evaluasi. Salah satu perangkat yang layak untuk
digunakan adalah adanya suatu kriteria dan indikator pengelolaan kawasan yang
efektif,

yang

disusun

sedemikian

rupa

sehingga

mampu

menggambarkan

sejauhmana efektifitas pengelolaan telah dilakukan.


Monitoring dan evaluasi juga dilaksanakan terhadap realisasi pelaksanaan
rencana-rencana

yang

telah

disusun

sebelumnya,

termasuk

pula

rencana

pengelolaan jangka panjang. Terhadap rencana-rencana yang telah disusun,


monitoring dan evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir periode perencanaan. Hasilhasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi kemudian juga dijadikan bahan
penyusunan laporan yang dilakukan secara berjenjang.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

121

Tabel 3 : Rencana Kegiatan Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


No.
A.

Jenis Kegiatan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

KM

45,7

RKL IV

Pemantapan Kawasan

1.

Penataan Batas

2.

Reposisi Batas Kawasan

Paket

3.

Penetapan Kawasan

Paket

4.

Pemeliharaan Batas

KM

478,22

478,22

478,22

478,22

5.

Rekonstruksi Batas

KM

478,22

478,22

478,22

6.

Penyelesaian Konflik Kawasan

Paket

7.

Penyusunan Rancangan Zonasi

Paket

8.

Penataan Batas Zonasi

Paket

9.

Penetapan Batas Zonasi

Paket

10.

Pemantauan dan Evaluasi Zonasi

Paket

11.

Review Zonasi

Paket

PM

PM

PM

Judul

Judul

Judul

B.

Perencanaan

1.

Penyusunan Rencana Pengelolaan

2.

Penyusunan Rencana Pengelolaan

Jangka Panjang (20 Tahun)

Jangka Menengah (5 Tahun)


3.

Penyusunan Rencana Pengelolaan


Jangka Pendek (1 Tahun)

122

No.
4.

Jenis Kegiatan
Penyusunan Rencana Pengembangan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Judul

Judul

Judul

Judul

Paket

Judul

Unit

140

350

RKL IV

Pariwisata Alam (RPPA) dan Rencana


Tapak
5.

Penyusunan Rencana Pengembangan

6.

Penyusunan Rencana Pembinaan dan

Sarana dan Prasarana Pengelolaan

Pengembangan Daerah Penyangga


7.

Penyusunan Rencana Rehabilitasi dan


Restorasi Kawasan

8.

Evaluasi Rencana Pengelolaan Jangka


Panjang dan Menengah

9.

Review Rencana Pengelolaan Jangka


Panjang

C.
1.

Pengembangan Sarana dan Prasarana


Sarana dan Prasarana Pokok :
a.

Kantor SPTN Wilayah I & II (tipe 400)

M
b.

c.

Rumah Jabatan SPTN Wilayah I dan

Unit
2

II (Tipe 70)

Pondok Kerja (Tipe 70)

Unit
M

800
2
140

123

No.

Jenis Kegiatan
d.

Pos Jaga (Tipe 20)

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Unit

M
e.

Pusat Informasi dan Penelitian

Unit
M

f.

Wisma

Unit
M

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

RKL IV

100

100

240
-

2
300

g.

Jalan Patroli

KM

150

150

h.

Menara Pengawas Kebakaran

Unit

i.

Menara Pengintai Satwa

Unit

j.

Stasiun Penyelamatan dan

Unit

Rehabilitasi Satwa
k.

Kandang Transit Satwa

Buah

l.

Peralatan Navigasi (GPS Navigasi)

Unit

25

25

m. Peralatan Navigasi (GPS Geodetic)

Unit

n.

Peralatan Komunikasi (SSB)

Unit

o.

Peralatan Komunikasi (RICK)

Unit

10

p.

Peralatan Komunikasi (HT)

Unit

30

20

20

20

q.

Peta Dasar dan Peta Kerja

Paket

r.

Citra Satelit Resolusi Tinggi

Km2

250

250

250

250

s.

Kendaraan Roda 4

Unit

t.

Kendaraan Roda 2

Unit

14

14

124

No.

2.

Jenis Kegiatan

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

RKL IV

u.

Perlengkapan Lapangan

Paket

v.

Meubelair

Paket

21

10

Unit

300

300

Sarana dan Prasarana Penunjang


Pengelolaan :
a.

Pembangunan Fasilitas Akomodasi

M
b.

3.

Transportasi Pengunjung

Unit

Unit

200

200

200

Sarana dan Prasarana Pariwisata Alam :


a.

Pondok Wisata

b.

Bumi Perkemahan

Unit

c.

Ruang Pertemuan

Unit

d.

Fasilitas Permainan Anak

Unit

e.

MCK

Unit

10

15

15

15

f.

Loket

Unit

g.

Jalan Trail Wisata

Km

h.

Areal Parkir

Buah

i.

Jalan Utama

Km

0,5

j.

Jembatan

Unit

k.

Karst Bridge

Unit

125

No.

Jenis Kegiatan
l.

Bronjong

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

RKL IV

Unit

m. Kolam Renang

Unit

n.

Unit

Early Warning System Banjir pada


Blok Bantimurung dan Pattunuang

D.

o.

Jaringan Listrik

Paket

p.

Papan nama kawasan

Buah

q.

Papan informasi/petunjuk/larangan

Buah

16

10

10

10

r.

Pintu Gerbang Kawasan

Buah

s.

Papan Nama dan Pagar Mulut Gua

Buah

10

20

20

20

Pengelolaan Data dan Informasi

1.

Pembuatan Website

Paket

2.

Pemeliharaan dan pemutakhiran informasi

Paket

Paket

Judul

Judul

10

10

10

10

pada Website
3.

Pengembangan dan pemutakhiran


database spasial dan non spasial

4.

Penerbitan Buku Informasi Taman

5.

Penerbitan Leaflet dan Booklet

Nasional Bantimurung Bulusaraung

126

No.
6.

Jenis Kegiatan
Pengembangan sarana dan prasarana

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Paket

Paket

RKL IV

pengelolaan data dan informasi


(perangkat keras dan perangkat lunak)
7.

Peningkatan kapasitas pengelola data


dan informasi

E.

Pengelolaan Potensi Kawasan

1.

Identifikasi dan pemetaan tipe ekosistem

Paket

2.

Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan

Paket

Paket

Paket

sebaran species satwa


3.

Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan


sebaran species tumbuhan alam

4.

Identifikasi dan inventarisasi Key Species


dan Flag Species

5.

Evaluasi fungsi kawasan

Paket

6.

Pemantauan dan evaluasi species, habitat

Paket

Paket

dan ekosistem
7.

Identifikasi, inventarisasi dan pemetaan


sebaran potensi obyek wisata alam dan
wisata budaya

127

No.
8.

Jenis Kegiatan
Identifikasi dan inventarisasi potensi jasa

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Paket

Paket

Paket

Paket

Paket

RKL IV

lingkungan kawasan taman nasional


9.

Valuasi ekonomi sumber daya alam di


dalam taman nasional (beserta
monitoringnya setiap lima tahun)

10.

Identifikasi kondisi sosial dan budaya


masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

F.

Perlindungan dan Pengamanan


Kawasan

1.

Identifikasi tingkat kerawanan kawasan


(penebangan liar, perburuan liar,
perambahan kawasan, kebakaran hutan,
dan penambangan liar)

2.

Sosialisasi kawasan taman nasional

3.

Patroli rutin dan penjagaan

Kali

1.825

1.825

1.825

1.825

4.

Operasi fungsional

Kali

25

25

25

25

5.

Operasi gabungan

Kali

6.

Operasi yustisi

Kali

7.

Pengendalian kebakaran hutan

Kali

8.

Pengendalian hama, penyakit dan jenis

Kali

eksotik

128

No.
9.

Jenis Kegiatan
Pengembangan kapasitas petugas

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Paket

Paket

RKL IV

perlindungan dan pengamanan kawasan


10.

Pengembangan sarana dan prasarana


perlindungan dan pengamanan kawasan

11.

Pembentukan Pamhut Swakarsa

Orang

90

30

30

30

12.

Pembentukan MPA

Orang

60

60

60

60

13.

Fasilitasi pembentukan forum masyarakat

Paket

Paket

Paket

Paket

Orang

150

150

150

150

peduli lingkungan taman nasional

G.

Pengelolaan Kegiatan Penelitian dan


Pendidikan

1.

Identifikasi dan penyusunan skala


prioritas kebutuhan penelitian dan
pengembangan

2.

Pengembangan kerjasama dengan


lembaga penelitian

3.

Pengembangan pendidikan konservasi

4.

Pembentukan dan pembinaan kader-

bagi masyarakat lokal

kader konservasi dan kelompok pecinta


alam

129

No.
5.

Jenis Kegiatan
Pemantauan dan evaluasi kegiatan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Kali

Paket

Paket

Paket

RKL IV

penelitian dan pengembangan serta


pendidikan konservasi

H.

Pengelolaan Wisata Alam dan


Pemanfaatan Jasa Lingkungan

1.

Pengembangan pemanfaatan obyek


wisata alam

2.

Pengembangan kerjasama pengelolaan


obyek wisata alam

3.

Pemberian stimulan kepada investor di


bidang pengembangan wisata alam

4.

Promosi produk-produk wisata alam

Paket

5.

Pemberdayaan masyarakat lokal dalam

Paket

Paket

pengembangan wisata alam


6.

Pengembangan percontohan
pemanfaatan jasa lingkungan

130

No.
I.

Jenis Kegiatan

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Paket

RKL IV

Pengembangan Integrasi, Koordinasi


dan Kolaborasi
1.

Pengembangan pengelolaan kolaboratif


obyek wisata alam di dalam kawasan
taman nasional

2.

Pengembangan sistem promosi

Paket

3.

Pemantapan koordinasi

Paket

Judul

Paket

Paket

10

10

10

10

Paket

Paket

J.

Pengembangan dan Pembinaan Daerah


Penyangga

1.

Penyusunan master plan pembangunan


model desa konservasi

2.

Identifikasi dan inventarisasi potensi desadesa di dalam dan sekitar kawasan taman
nasional

3.

Pembentukan Sentra Penyuluhan


Kehutanan Pedesaan

4.

Pembinaan usaha ekonomi produktif


masyarakat di dalam dan sekitar kawasan

5.

Pengembangan percontohan (demplot)


pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati

131

No.
6.

Jenis Kegiatan
Peningkatan kapasitas masyarakat pada

Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (RKL)


RKL II
RKL III

Satuan Volume
Kegiatan

RKL I

Paket

Paket

Paket

Paket

PM

PM

PM

PM

Ha

PM

PM

PM

PM

Paket

Paket

RKL IV

daerah penyangga kawasan taman


nasional

K.

Restorasi, Rehabilitasi, dan Reklamasi


Ekosistem

1.

Identifikasi dan inventarisasi kerusakan


habitat dan ekosistem di dalam kawasan
taman nasional

2.

Monitoring habitat dan populasi jenis di


dalam kawasan

2.

Restorasi habitat dan ekosistem

3.

Rehabilitasi kawasan taman nasional

L.
1.

Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan


Monitoring dan evaluasi efektifitas
pengelolaan taman nasional

2.

Pelaporan rutin

132

VII
Penutup
Rencana pengelolaan jangka panjang Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
ini merupakan pedoman dan arahan pelaksanaan pengelolaan yang masih bersifat
makro dan indikatif. Karena sifat dan cakupan dari rencana ini, maka untuk selanjutnya
masih diperlukan penjabaran lebih lanjut ke dalam rencana-rencana yang lebih rinci dan
cakupan masa perencanaannya pendek.
Rencana pengelolaan yang telah disusun ini diharapkan dapat dipedomani dengan
baik, diaplikasikan secara konsisten serta terus dimonitor pencapaian pelaksanaanya.
Perlu disadari bahwa masa perencanaan ini cukup panjang sedangkan kebijakan
pemerintah akan terus berubah dan mengarah kepada perbaikan-perbaikan di masa
yang akan datang. Review terhadap rencana ini perlu terus dilakukan agar tetap sinkron
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Daftar Pustaka
Achmad, Amran. 2001. Potensi dan Kondisi Kawasan Karst Maros-Pangkep. Prosiding
Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan
Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Alikodra, H.S.. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 1995. National Conservation Plan for Indonesia. Volume 6D Sulawesi Selatan
Province. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation
Ministry of Forestry. Jakarta.
Anonim. 2001. Kerangka Acuan (Term of Reference) Simposium Karst Maros-Pangkep.
Prosiding

Simposium

Karst

Maros-Pangkep:

Menuju

Perlindungan

dan

Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era


Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III.
Makassar.
Badan Pusat Statistik. 2005. Data GIS Kemiskinan Indonesia 2005. Sub Direktorat
Pemetaan BPS. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Maros Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Maros. Maros.
Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Pangkep Dalam Angka Tahun 2007. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Pangkep. Pangkajene.

Rencana Pengelolaan

Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bone Dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bone. Watampone.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Formulir Data Non Spasial
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Rencana Strategis Balai Taman
Nasional

Bantimurung

Bulusaraung

2007-2009.

Balai

Taman

Nasional

Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.


Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2007. Rencana Kerja Tahun 2008.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Kondisi Kawasan Konservasi
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Laporan Tahunan 2007 Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. LAKIP Tahun 2007 Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Statistik Tahunan 2007 Balai
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Maros. Tidak dipublikasikan.
Deharveng, et al. 2007. Zoological Investigations in The Karst of South and Southeast
Sulawesi. Project Report. Museum National dHistoire Naturelle de Paris. Paris.
Unpublished.
Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.56/MenhutII/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Departemen Kehutanan.
Jakarta.
Direktorat Jenderal PHPA. 1996. Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor :
129/Kpts/DJ-VI/1996 Tentang Pola Pengelolaan KSA, KPA, Taman Buru, dan
Hutan Lindung. Direktorat Jenderal PHPA, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Karim, Amiruddin. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Kabupaten Maros
Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst MarosPangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep:
Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional III. Makassar.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

135

Rencana Pengelolaan

Ko, R.K.T. 2001. Kawasan Karst Maros-Pangkep, Nilai Lebihnya dalam Bidang Non
Pertambangan.

Prosiding

Simposium

Karst

Maros-Pangkep:

Menuju

Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World


Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Regional III. Makassar.
Lubis, M. Irfansyah, dkk. 2007. Kekayaan Jenis Herpetofauna Taman Nasional
Bantimurung

Bulusaraung

Sulawesi

Selatan.

Departemen

Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor


dan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Laporan sementara. Tidak
dipublikasikan.
Mattimu, A.A., H. Sugondo dan H. Pabittei. 1977. Identifikasi dan Inventarisasi Jenis
Kupu-kupu di Daerah Bantimurung Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian
Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Nitta, K dan P. Delanghe. 2001. Introduction on Cultural and Natural World Heritage and
World Heritage in Karst Areas. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep:
Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional III. Makassar.
Palaguna, H.Z.B dan Haruna Rachman. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah
Propinsi Sulawesi Selatan Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber
Daya Alam Karst Maros-Pangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium
Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst
Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Patappe, H.A. Gaffar. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Kabupaten Pangkep
Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst MarosPangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep:
Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai
World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional III. Makassar.
Pratondo, B. J., Hadi S. Alikodra, Bambang H. Sahardjo, Priyadi Kardono. 2006. Aplikasi
Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimatan Barat). Jurnal Ilmiah
Geomatika Vol. 12 No. 2 Desember 2006. Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional. Cibinong.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

136

Rencana Pengelolaan

Samodra, Hanang. 2001. Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia, Pengelolaan dan
Perlindungannya. Publikasi Khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Nomor 25 Tahun 2001. Badan Litbang ESDM Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral. Bandung.
Samodra, Hanang. 2003. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia dan Usaha
Pengelolaannya Secara Berkelanjutan. Suplemen tulisan pada Pelatihan Dasar
Geologi untuk Pecinta Alam dan Pendaki Gunung, kerjasama IAGI dengan Klub
Pecinta Alam. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Bogor.
Simanjuntak, T. 2007. Hutan Terbakar Pasti Berlalu. Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM). Tersedia online pada www.elsam.or.id diakses pada
tanggal 19 Desember 2007.
Sriyanto, Agoes. 2002. Pengelolaan Taman Nasional. Materi Pendidikan dan Pelatihan
Dasar-Dasar Konservasi. Tidak dipublikasikan.
Suhardjono, Yayuk R. Dkk. 2007. Laporan Teknik 2006. Inventarisasi dan Karakterisasi
Biota Karst dan Gua Pegunungan Sewu dan Sulawesi Selatan. Proyek 212.
Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi - LIPI.
Bogor.
Supriatna, J. 2007. Strategi Menanggulangi Kebakaran Hutan. Tropika/Conservation
International Indonesia. Tersedia online pada www.conservation.or.id diakses
pada tanggal 19 Desember 2007.
Wallace, Alfred Russel. 1890. The Malay Archipelago. Periplus Editions (HK) Ltd.
Singapore.
Whitten et al. 2002. The Ecology of Indonesia Series Volume IV: The Ecology of
Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

137

Rencana Pengelolaan

L ampir an 1 :

Wilayah Administrasi Pemerintahan


Kabupaten
I. Maros

Kecamatan
A. Bantimurung
B. Simbang

C. Cendrana

D. Camba

E. Mallawa

F. Tompobulu

II. Pangkep

G. Tondong Tallasa

H. Balocci

I. Minasatene

III. Bone

J. Tellu Limpoe

Desa/Kelurahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.

Keterangan

Leang-leang
Kalabbirang
Jenetaesa
Sambueja
Samangki
Lebbotengngae
Labuaja
Limampoccoe
Rompegading
Pattanyamang
Mario Pulana
Pattiro
Cempaniga
Timpuseng
Bentenge
Barugae
Tellumpanuae
Sabila
Padaelo
Samaenre
Uludaya
Gattarengmatinggi
Wanuawaru
Bontomanai
Bontomatinggi
Bontosomba
Bantimurung
Malaka
Lanne
Tonasa
Majannang
Balocci Baru
Baleanging
Tompobulu
Panaikang
Bontokio
Kabba
Biraeng
Bontomasunggu
Polewali

Sumber : Data primer setelah diolah, 2008

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

138

Rencana Pengelolaan

L ampir an 2 :

Daftar Flora dan Fauna


A.

Daftar Fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


Status Perlindungan

No.

Jenis Fauna

Mamalia
1
Macaca maura
2
Macrogalidia musschenbroeckii
3
Strigocuscus celebensis
4
Ailurops ursinus
5
Cervus timorensis
6
Tarsius spectrum
Aves
7
Fregata sp.
8
Penelopides exarhatus
9
Rhyticeros cassidix
17
Spizaetus lanceolatus
10
Pycnonotus aurigaster
11
Saxicola caprata
12
Treron sp.
13
Dendrocarpus teiminkii
14
Collocalia sp
15
Collocalia esculenta
16
Otus manadensis
17
Loncura molluca
18
Loncura malacca
19
Loncura vallida
20
Turacaena manadensis
21
Tanignatus sumatranus
22
Ghallus gallus
23
Halcyon cloris
24
Oriolus chinensis
25
Ardea purpurea
26
Egretta sacra
27
Bubulcus ibis
28
Ardeola speciosa
29
Butorides striatus
30
Nycticorax caledonicus
31
Ixobrychus cinnamomeus
32
Spilornis rufipectus
33
Ictinaetus malayensis
34
Falco peregrinus
35
Turnix suscitator
36
Pluvialis fulva
37
Arenaria interpres
38
Tringa ochropus
39
Tringa glareola
40
Actitis hypleuca
41
Himantopus leucocephalus
42
Numenius phaepus
43
Ptilinopus melanospila
44
Trichoglossus ornatus

Prediksi
Populasi

UU 5 /
1990

CITES

Tidak
dilindungi

II
I
II

?
?
?
?
?
?

II
III
II
-

?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

139

Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
No.

Jenis Fauna

45
Loriculus stigmatus
46
Phaenicophaeus calyorhynchus
47
Centropus celebensis
48
Centropus bengalensis
49
Caprimulgus affinis
50
Apus affinis
51
Actenoides monachus
52
Alcedo meninting
53
Merops philippinus
54
Merops ornatus
55
Coracias temminckii
56
Mulleripicus fulvus
57
Hirundo tahitica
58
Coracina morio
59
Lalage leucopygialis
60
Lalage sueurii
61
Dicrurus hottentottus
62
Oriolus chinensis
63
Corvus typicus
64
Trichastoma celebense
65
Zosterops chloris
66
Zosterops anomalus
67
Cyornis rufigastra
68
Hypothymis azurea
69
Artamus leucorynchus
70
Streptocitta albicollis
71
Basilornis celebensis
72
Myzomela saguinolenta
73
Nectarinia aspasia
74
Nectarinia jugularis
75
Aethopyga siparaja
76
Dicaeum aureolimbatum
77
Dicaeum celebicum
78
Passer montanus
79
Padda oryzivora
Amphibi
80
Bufo melanostictus
81
Bufo celebensis
82
Phryne sp
83
Polypedates leucomystax
84
Fejervarya limnocharis
85
Fejervarya crancrivora
86
Rana celebensis
Reptilia
87
Eutropis rudis
88
Sphenomorphus variegans
89
Sphenomorphus variagatum
90
Lamprolepis smaragdinum
91
Cyrtodactylus jellesmae
92
Cyrtodactylus sp
93
Draco sp
94
Draco volans
95
Hydrosaurus amboinensis
96
Ahaetulla prasina
97
Boiga dendrophyla
98
Boiga irregularis
99
Dendrelaphis pictus
100
Rhapdophis chrysargoides

Prediksi
Populasi

UU 5 /
1990

CITES

Tidak
dilindungi

II

?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

?
?
?
?
?
?
?

?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

140

Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
No.
101
102
103
104
105
Insecta
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157

Jenis Fauna

Prediksi
Populasi

UU 5 /
1990

CITES

Tidak
dilindungi

Psammodynastes pulverulentus
Tropidolaemus wagleri
Ramphotyphlops braminus
Python reticulatus
Varanus salvator

II
-

?
?
?
?
?

Morphotaenaris schoembargi
Faunis menado
Taenaris catops leanas
Danaus chrysippus
Danaus genetia
Danaus melucina cythia
Eupoea algae
Eupoea blossomae
Eupoea fibrician
Eupoea leucostictos
Eupoea modesta lagans
Eupoea phaenereta unibrunnea
Eupoea wallacei
Eupoea sp
Eupoea sp
Idea blanchardi
Idea tambusisi
Idea idea
Idea idea oza
Idea novella
Ideopsis juventa
Ideopsis klassica
Ideopsis vitrea
Ideopsis sp
Parantica aspasia
Parantica cleona
Pareronia valeria
Lybithea geoffreyi
Lybithea geoffreyi antipoda
Azanus moriqua
Bindahara phocides
Denorix epiyarbas
Freyeria trochilus
Hypochrysops mioswara
Jamides cyta amphissina
Liphyra brassoli
Argynnis sp
Argyreus hyperbius
Argyreus hyperbius inconstan
Cethosia myrina
Cethosia biblis
Charaxes solon
Charaxes affinis
Charaxes nitebis
Cirrochroa regina filder
Cirrochroa regina princesa
Cupha erymanthis
Cupha maedonis
Cyrestis acilia
Cyrestis thyenneus
Cyrestis strigata
Euthalia aetes

?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

141

Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
No.
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215

Jenis Fauna

Euthalia amanda
Euripus robustus
Hypolimnas bolina
Hypolimnas domea
Helcyra celebensis
Junenia almana
Junenia atlites
Junenia orithya
Junenia erigone
Junenia hedonia
Limenitis lymire
Melanitis ismene
Mycalesis duphonceli
Mycalesis malsarida
Neptis nandina
Neptis praslini
Parthenos silvia
Parthenos tigriana
Phalanta alcippe araca
Polyura clitarchus
Polyura alpius
Polyura cognata
Pontoporia eulimene baudora
Rohana macar
Vagrans egista
Vindula cycnei
Vindula erota
Vindula erota cycnea
Vindula erota ricussa
Vindula sp
Yoma sabina sabina
Yoma algina
Yanesa buana
Papilio peranthus
Papilio gigon
Papilio sataspes
Papilio ascalapus
Papilio fuscus
Papilio polytes
Papilio adamanthus
Papilio albinos
Papilio blumei
Papilio canopsis
Papilio castor
Papilio cedrusmedon
Papilio deiphobus dliphylus
Papilio galucus turnus
Papilio lorquinianus
Papilio lowii
Papilio memnon
Papilio polites
Papilio polyphontes
Papilio sarpedon
Troides hipolythus
Troides helena
Troides haliphron
Graphium androcles
Graphium cordus

UU 5 /
1990

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

CITES
II
II
II
-

Tidak
dilindungi

Prediksi
Populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

142

Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
No.
216
217
218
219
220
221
222
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
279

Jenis Fauna

UU 5 /
1990

CITES

Tidak
dilindungi

Graphium eupharates
Graphium euryphylus
Graphium milon
Graphium agamemnon
Graphium doson
Graphium mendana
Graphium meyery
Graphium rhesus
Graphium deucalion
Graphium sarpedon
Graphium tilacha
Atrophaneura dixoni
Lamproptera meges
Pachlioca iris
Appias albina
Appias celastina
Appias lyncida
Appias nero
Appias paulina
Appias placidia
Appias zarinda
Appias hombroni
Amathusia phidippus
Delias alepa
Delias hapalina
Delias hyparete
Delias isocharis
Delias melusina
Delias mesebloma
Delias omytion
Delias pasithoe
Delias poecilia
Cepora celebensis
Cepora timnatha
Chirrochoa semiramis
Chirrochoa thule
Delias rosenbergi
Euploea eupator
Euploea eleusina
Euploea hewitsoni
Euploea algea
Euploea westwodi
Delias sacha
Delias zebuda
Delias shupi
Dixeia doxo costata
Discopora bambusa
Elodina equatia
Eurema candida
Eurema drona
Eurema celebensis
Gandaca harina niguina
Hebomia glaucippe
Hebomia glaucippe aurantiaca
Hebomia leucippe daemonis
Hestina divona
Ixias reinwardti
Ixias vollenhovii
Leptosias nina

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi
Populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

143

Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
No.

Jenis Fauna

UU 5 /
1990

280
Lamesia lyncides
281
Papreronia valeria
282
Saletara cyninna
283
Saletara leberia
284
Saletara panda
285
Terias candida
286
Terinos taxiles
287
Tirumala choaspes
288
Tirumala hamata
289
Tacola eulimine
290
Valeria argotis
291
Valeria chinki
292
Valeria jobaea abiiana
293
Dicalleneura ekeike
294
Dicalleneura rebbei arfalensis
295
Praetaxilla segesia cariya
296
Praetaxilla statira dhyana
297
Praetaxilla statira statira
298
Attacus atlas
299
Elymnias thryallis
300
Elymnias hewitsoni
301
Geitoneura mynyas
302
Melanitis leda
303
Melanitis velutina
304
Mycalesis sirius
305
Batocera sp.
306
Aegus sp.
307
Catopsilia scylla
308
Catopsilia pomona
309
Pareronia tritaea
310
Parthenos sylvia
311
Dichorragia sp
312
Doleshallia bisaltios
313
Estina divona
314
Hypolimnas diomea
315
Lexias aetes
316
Moduza procris
317
Moduza lymire
318
Moduza libinites
319
Moduza licone
320
Mynes talboti
321
Mynes geoffroyi
322
Parthenos tigrina
323
Prothoe frank
324
Rhinipalpa polynice
325
Gehyra matilata
326
Mubaya rudis
327
Cosymbatus sp
328
Pachliopta polyponthes
329
Deudorix epijarbus
Collembola, Pisces, Moluska
dan lain-lain
330
Aracnida
331
Collembola
333
Polydesmida
333
Trombididoee
334
Armadillidia
335
Doratodesmidae
336
Amblipigii

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi
Populasi

CITES

Tidak
dilindungi

?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

?
?
?
?
?
?
?

144

Rencana Pengelolaan

Status Perlindungan
No.
337
338
339
340
341
342
343
344
345
346
347
348
349
350
351
352
353
354
355
356

Jenis Fauna

UU 5 /
1990

CITES

Tidak
dilindungi

Heteropodidae
Scutigeridae
Rhaphidophora
Pnaria sp
Eustra sp
Eustra saripaensis
Cyclotus longipilus
Cyclotus politus
Cyclotus guttatus
Hesta sp
Planispira
Leptopoma celebesianum
Trichoptera
Cancrocaeca xenomorpha
Bostrychus sp 1
Bostrychus sp 2
Cirolana marosina
Marosina longirostris
Marosina brevirostris
Pseudosinella maros

Prediksi
Populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

Sumber : Data Primer BTN Babul dan dihimpun dari berbagai sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

145

Rencana Pengelolaan

B. Daftar Flora Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60

Jenis Flora

Status perlindungan
UU
Tidak
CITES
5/1990
dilindungi

Agathis philippinensis
Arthocarpus integra
Arthocarpus communis
Arthocarpus altiliis
Arthocarpus elestica
Arthocarpus incise
Anthochepalus cadamba
Anthochepalus macrophyllus
Alstonia scholaris
Anacardium occidentale
Albizia saponaria
Arenga pinnata
Aleurites moluccana
Annona muricata
Aglaia lawii
Aglaia odorattisima
Aglaia tomentosa
Aglaia korthalsii
Aglaia argentea
Aglaia ganggo
Aglaia sp
Archidendron sp
Actinodaphne sp
Abelmoschus moschatus
Acmena acuminatissima
Adina sp
Alchornea rugosa
Antiaris taxicaria
Antidesma montanum
Apania senegalensis
Aporosa sp
Arcangelisia flava
Ardicia lanceolata
Alangium salvinifolium
Allophylus cobbe
Aphanamixis polystachya
Ardisia sp
Alsodaphne sp
Alphitonia incana
Aralia sp
Buchanania arborescens
Bombax malabaricum
Bambusa sp
Bauhunia arborea
Baringtonia asiatica
Baccauirea sp
Bischofia javanica
Breidelia insulana
Beilschmiedia gemmiflora
Beilschmiedia sp
Breynia virgata
Casuarina junghuhniana
Castanea acuminatissima
Colona sp
Cananga odorata
Calophyllum inophyllum
Calophylum sp
Klenhovia hospita
Ceiba petandra
Citronella suaveoleus

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi
populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

146

Rencana Pengelolaan

No.
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120

Jenis Flora
Citronella sp
Chionanthus celebicus
Cinnamomum sp
Cynometra ramiflora
Chionanthus ramiflora
Cratoxylon cochinchinensis
Claoxylon sp
Clorodendrum sp
Canarium balsamiferum
Canarium maluence
Canthium didyma
Caryota mitis
Cassia siamea
Celtis cinamomea
Cleistanthus myrianthus
Canthium didyma
Chisocheton ceramicus
Codiaeum variegatum
Castanopsis buruana
Castanopsis sp
Coffea sp
Caseria grewiaefolia
Duabanga moluccana
Dracontomelon dao
Dracontomelon mangiferum
Dillenia serrata
Diospyros celebica
Diospyros ferrea
Diospyros korthalsiana
Diospyros venenosa
Dracaena multiflora
Dehaasia caesia
Dehaasia celebica
Didymocheton nutans
Drypetes glabridiscus
Drypetes globosa
Drypetes longifolia
Drypetes subcubica
Drypetes sp
Dysoxylum densiflorum
Denrocdine stimulans
Derris trifoliate lour
Dolichandrone spathacea
Elmerillia sp
Eucalyptus deglupta
Eugenia jambolana
Eugenia acuminatissima
Eugenia cuminii
Eugenia everettii
Eugenia polycephaloides
Euonymus javanicus
Elastostema sinuatum
Euvodia accendens
Eupotarium odoratum
Exocarpus latifolius
Erythrina pusca
Ellatostachys verrucosa
Endiandra rubescens
Ficus benjamina
Ficus variegata

Status perlindungan
UU
Tidak
CITES
5/1990
dilindungi

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi
populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

147

Rencana Pengelolaan

No.
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
44
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180

Jenis Flora

Status perlindungan
UU
Tidak
CITES
5/1990
dilindungi

Ficus deltoidea
Ficus subulata
Ficus obcsura
Ficus subtrinervia
Ficus callosa
Ficus anastomosans
Ficus grewiifolia
Ficus pisifera
Ficus tinctoria
Ficus virgata
Ficus ampelas
Ficus copiosa
Ficus cumingii
Ficus elmeri
Ficus gul
Ficus heteropoda
Ficus adenosperma
Ficus fistulosa
Ficus hispida
Ficus septica
Ficus racemosa
Ficus elestica
Ficus miguelii
Ficus callophylla
Ficus chrsolepis
Ficus cordatula
Ficus crassiramea
Ficus forstenii
Ficus lawesii
Ficus microcarpa
Ficus subcordata
Ficus sumatrana
Ficus virens
Ficus superba
Ganopyllum falcatum
Ganopyllum sp
Garcinia mangostana
Garcinia gaudichaudii
Garcinia laterriflora
Garcinia forbesi
Garuga floribunda
Gnetum gnemon
Grewia acuminata
Gendarussa vulgaris
Gomphandraa mappioides
Gluta rengas
Glycosmis cochinchinensis
Glycosmis pentapyllla
Glycosmis sp
Hernandia sp
Hymenodyction excelsum
Heriteria littorolis
Hopea celebica
Heckeria umbellata
Hydnocarpus heterophylla
Horsfieldia sp
Homalium celebicum
Ixora gandifolia
Ixora javanica
Ixora timorensis desaisne

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi
populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

148

Rencana Pengelolaan

No.
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240

Jenis Flora

Status perlindungan
UU
Tidak
CITES
5/1990
dilindungi

Ixonanthes petiolaris
Itoa stapffi
Jatropa curcas
Knema cinerea
Kadsura sp
Laportea stimulans
Leea indica
Leea angulata
Lepiniopsis ternatensisi
Lepisanthes fruticosa
Lepisanthes sp
Leucosyke capitellata
Lagerstromia speciosa
Lagerstromia ovatifolia
Lantana camara
Lysianthes sp
Litsea mappacea
Litsea timoriana
Litsea sp
Mangifera indica
Mangifera foetida
Mangifera pedicellata
Myristica fragras
Mollutus floribondus
Mollutus subpeltatus
Mollotus sp
Macaranga gigantea
Matthaea sansta
Meliosma nitida
Memecylon edule
Maranthes corymbosa
Nauclea orientalis
Nephelium lappaceum
Orophea celebica
Orophea hexandra
Octomeles sumatrana
Pangium edule
Pangium obovatum
Pinus merkusii
Pandanus sp
Palaquium obtusifolium
Palaquium obovatum
Pterocarpus indicus
Pometia pinnata
Pterospermum celebicum
Pterospermum diversifolium
Pterospermum javanicum
Pometia acuminate
Pometia serrata
Polyalthia celebica
Polyalthia coffeoides
Polyalthia sp
Polycias nodusa
Pimeleodendron ambainicum
Pseudoclausena chrisogyne
Planchonia valida
Planchonia natida
Pisonia umbelifera
Premna sp
Psychotria sp

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prediksi
populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

149

Rencana Pengelolaan

No.
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
279
280
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
299
300

Jenis Flora

Status perlindungan
UU
Tidak
CITES
5/1990
dilindungi

Plectronia glabra
Plectronia sp
Riporosa caesia
Phaleria capitata
Picrasma javanica
Pittosporum ramiflorum
Poikilospermum sp
Popowia sp
Pothos rumpii
Pavetta sp
Podocarpus neriifolius
Podocarpus imbricatus
Podocarpus sp
Phyllocladus hypophyllus
Planchonella moluccana
Planchonella firma
Pterocymbium javanicum
Schleichera oleosa
Spatudea campanulata
Sterqulia foetida
Sterqulia comosa
Sterqulia insularis
Sterqulia oblongata
Samanea saman
Swietenia macrophylla
Spondias pinnata
Schefflera polybatrya
Schefflera elliptica
Sageraea lanceolata
Sagerae glabra
Solacia sp
Santiria laevigata
Santiria sp
Scolopia spinosa
Sloetia sp
Strobilanthes blumei
Semecarpus sp
Tristania sp
Tamarindus indicus
Tectona grandis
Talauma singaporensis
Terminalia microcarpa
Terminalia sp
Tetrameles nudiflora
Tarenna teysmanii
Tarenna sp
Timonius sp
Tricalysia singularis
Tristiropsis canaroides
Tristiropsis sp
Trichospermum pleiostigma
Tabarnaemontana sp
Tomoniu sp
Vatica sp
Vitex cofassus
Vitex pubescens
Villebrunea rubescens
Vernonia arborea
Walsura pinnata
Wrightia pubescens

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

III
II
-

Prediksi
populasi
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?

150

Rencana Pengelolaan

No.
301
302

Jenis Flora

Status perlindungan
UU
Tidak
CITES
5/1990
dilindungi

Xanthophyllum sp
Xylopia sp

Prediksi
populasi
?
?

Sumber : Data Primer BTN Babul dan dihimpun dari berbagai sumber

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

151

Anda mungkin juga menyukai