ْ ب ا ْل
مَر َء اَل ِ ُس َوا ُه َما َوَأنْ ي
َّ ـح َّ س ْولُهُ َأ َح
ِ ب ِإلَ ْي ِه ِم َّما ٌ ثَاَل
ُ َمنْ َكانَ هللاُ َو َر،ث َمنْ ُكنَّ فِ ْي ِه َو َج َد بِ ِهنَّ َحاَل َوةَ اِإْل ْي َما ِن
َك َما يَ ْك َرهُ َأنْ يُ ْق َذفَ فِـي النَّا ِر،ُ َأنْ يَ ُع ْو َد فِـي ا ْل ُك ْف ِر بَ ْع َد َأنْ َأ ْنقَ َذهُ هللاُ ِم ْنه َ َوَأنْ يَ ْك َره،ِ يُ ِحبُّهُ ِإاَّل هلِل.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan
mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh.
(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia
benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”
Di dalam hadits ini juga terkandung sebuah perumpamaan antara orang yang sakit dengan orang
yang sehat. Madu akan dirasa pahit bagi orang yang sakit, sedangkan rasa manis madu akan
dirasakan oleh orang yang sehat. Apabila kesehatan berkurang, maka rasa manisnya madu pun
semakin berkurang, sesuai dengan kondisi kesehatannya. Arti kiasan ini merupakan dalil yang
paling kuat bagi Imam al-Bukhari rahimahullah untuk menetapkan bahwa iman itu bisa
bertambah dan bisa berkurang.
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud manisnya iman di sini yaitu bukan
seperti manisnya gula atau madu, tetapi manis yang lebih besar dari semua rasa manis. Rasa
manis yang didapati oleh seseorang di dalam hatinya, kelezatan yang tidak setara dengan apa
pun, ia mendapati kelapangan dalam dadanya, cinta kepada kebaikan, dan cinta kepada orang-
orang yang berbuat baik.”
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini sangat agung kedudukannya dan merupakan
salah satu pokok keimanan. Makna manisnya iman adalah kelezatan dalam melakukan ketaatan
dan menanggung beban berat ketika menjalankan agama, serta lebih mengutamakan agama
daripada dunia. Cinta hamba kepada Allâh dapat terwujud dengan mengerjakan ketaatan dan
menjauhi maksiat atau kedurhakaan. Demikian pula halnya cinta kepada Rasul.
Al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Allah telah menjadikan ketiga perkara tersebut sebagai
tanda kesempurnaan iman, karena jika seseorang merenungi secara mendalam, bahwasanya
Allah-lah pemberi nikmat yang hakiki, pada hakikatnya hanya Dia-lah yang memberi dan
menahan karunia, makhluk hanyalah sebagai perantara belaka, dan para Rasûl-lah yang
menjelaskan kehendak Allâh kepada makhluk, niscaya semua itu akan menjadikannya
menumpahkan jiwa raganya kepada Allâh, ia hanya mencintai apa yang dicintai Allâh, dan
hanya mencintai sesuatu karena-Nya. Juga harus meyakini bahwasanya segala sesuatu yang telah
dijanjikan dan diancamkan oleh-Nya adalah benar.