Anda di halaman 1dari 2

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫ب ا ْل‬
‫مَر َء اَل‬ ِ ُ‫س َوا ُه َما َوَأنْ ي‬
َّ ‫ـح‬ َّ ‫س ْولُهُ َأ َح‬
ِ ‫ب ِإلَ ْي ِه ِم َّما‬ ٌ ‫ثَاَل‬
ُ ‫ َمنْ َكانَ هللاُ َو َر‬،‫ث َمنْ ُكنَّ فِ ْي ِه َو َج َد بِ ِهنَّ َحاَل َوةَ اِإْل ْي َما ِن‬
‫ َك َما يَ ْك َرهُ َأنْ يُ ْق َذفَ فِـي النَّا ِر‬،ُ‫ َأنْ يَ ُع ْو َد فِـي ا ْل ُك ْف ِر بَ ْع َد َأنْ َأ ْنقَ َذهُ هللاُ ِم ْنه‬ َ‫ َوَأنْ يَ ْك َره‬،ِ ‫يُ ِحبُّهُ ِإاَّل هلِل‬.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan
mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh.
(3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia
benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan keinginan seorang Mukmin untuk


beriman dengan sesuatu yang manis. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan salah
satu hal yang tak terpisahkan dari sesuatu yang manis itu, yaitu ‫( َحاَل َوة‬manis), dan
menyandingkannya kepada kata ‫ان‬++++++++++++++++++++++++++‫( اِإْل ْي َم‬iman).

Di dalam hadits ini juga terkandung sebuah perumpamaan antara orang yang sakit dengan orang
yang sehat. Madu akan dirasa pahit bagi orang yang sakit, sedangkan rasa manis madu akan
dirasakan oleh orang yang sehat. Apabila kesehatan berkurang, maka rasa manisnya madu pun
semakin berkurang, sesuai dengan kondisi kesehatannya. Arti kiasan ini merupakan dalil yang
paling kuat bagi Imam al-Bukhari rahimahullah untuk menetapkan bahwa iman itu bisa
bertambah dan bisa berkurang.
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud manisnya iman di sini yaitu bukan
seperti manisnya gula atau madu, tetapi manis yang lebih besar dari semua rasa manis. Rasa
manis yang didapati oleh seseorang di dalam hatinya, kelezatan yang tidak setara dengan apa
pun, ia mendapati kelapangan dalam dadanya, cinta kepada kebaikan, dan cinta kepada orang-
orang yang berbuat baik.”

Sabda Nabi Muhammad saw:


‫س َوا ُه َما‬ َّ ‫س ْولُهُ َأ َح‬
ِ ‫ب ِإلَ ْي ِه ِم َّما‬ ُ ‫َمنْ َكانَ هللاُ َو َر‬

1. "Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya"


Dalam hadits ini tidak dikatakan “Kemudian Rasulnya”, karena kecintaan kepada Rasulullah
memperturutkan dan datang dari kecintaan kepada Allah. Kecintaan manusia terhadap
Rasulullah Saw mengikuti kadar kecintaan dia terhadap Allah. Setiap kali kecintaannya
bertambah kepada Allah, maka akan bertambah pula kecintaannya terhadap Rasulullah.
Setiap muslim wajib mencintai Allah dan Rasul-Nya, tetapi hendaknya kecintaannya kepada
Rasulullah hadir dari kecintaan kepada Allah dan memperturutkan kecintaan kepada Allah.
Sabda Nabi Muhammad saw:

ِ ‫ب ا ْل َم ْر َء اَل يُ ِحبُّهُ ِإاَّل هلِل‬ ِ ُ‫وَأنْ ي‬


َّ ‫ـح‬
2. Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh
Yahya bin Mu’adz berkata, “Hakikat mencintai seseorang karena Allâh adalah cinta itu tidak
bertambah karena kebaikan orang itu dan tidak surut karena tabiat buruknya.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Barang siapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya
dengan kecintaan yang jujur dari hatinya, maka dia harus mencintai juga dengan hatinya apa
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, membenci apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya,
ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, marah terhadap apa yang dimurkai
oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mengamalkan dengan anggota badannya sesuai dengan cinta dan
benci tersebut. Jika ia melakukan sesuatu dengan anggota badannya yang menyelisihi itu, atau
melakukan sebagian yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, atau meninggalkan sebagian apa
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, padahal hal tersebut wajib dan ia mampu, maka itu
menunjukkan kurangnya kecintaannya.
Sabda Nabi Muhammad saw:
‫َأنْ يَ ُع ْو َد فِـي ا ْل ُك ْف ِر‬ َ‫َوَأنْ يَ ْك َره‬
III. Ia benci untuk kembali kepada kekufuran
Ia merasa bahwa kembali kepada kekufuran laksana dilemparkan ke dalam api neraka.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini sangat agung kedudukannya dan merupakan
salah satu pokok keimanan. Makna manisnya iman adalah kelezatan dalam melakukan ketaatan
dan menanggung beban berat ketika menjalankan agama, serta lebih mengutamakan agama
daripada dunia. Cinta hamba kepada Allâh dapat terwujud dengan mengerjakan ketaatan dan
menjauhi maksiat atau kedurhakaan. Demikian pula halnya cinta kepada Rasul.
Al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Allah telah menjadikan ketiga perkara tersebut sebagai
tanda kesempurnaan iman, karena jika seseorang merenungi secara mendalam, bahwasanya
Allah-lah pemberi nikmat yang hakiki, pada hakikatnya hanya Dia-lah yang memberi dan
menahan karunia, makhluk hanyalah sebagai perantara belaka, dan para Rasûl-lah yang
menjelaskan kehendak Allâh kepada makhluk, niscaya semua itu akan menjadikannya
menumpahkan jiwa raganya kepada Allâh, ia hanya mencintai apa yang dicintai Allâh, dan
hanya mencintai sesuatu karena-Nya. Juga harus meyakini bahwasanya segala sesuatu yang telah
dijanjikan dan diancamkan oleh-Nya adalah benar.

Anda mungkin juga menyukai