Anda di halaman 1dari 9

PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW DI KELURAHAN SUKAJAYA

RABU, 26 OKTOBER 2022

MENGAPA KITA MENCINTAI DAN HARUS MENIMANI KANGJENG ROSULULLOH SAW.

1. Mencitai dan mengagungkan Nabi Muhammad adalah bentuk ibadah yang Agung
‫والدين امنوا اشد حبا هلل‬
“dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Alloh
2. Mencintai rosul lebih daripada mencintai dirinya sendiri
‫ فقال‬.‫ يا رسو ل هللا النت احب الي من كل شيئ اال من نفسي‬: ‫ فقال له عمر‬. ‫ وهو اخد بيد عمر ابن الخطاب‬.‫كنا مع النبي ص م‬
‫ فقال النبي‬.‫ ألنت احب الي من نفسي‬, ‫ وهللا‬, ‫ فقال له عمر فانه االن‬.‫ والدي نفسي بيده حتى اكوناحب اليك من نفسك‬, ‫ ال‬,‫له النبي‬
‫األن يا عمر‬
3. Mencintai Rosul merupakn indikator orang beriman telah merasakan manisnya iman
4. Konsekwensi kecintaan kita pada rosul
A. Meneladaninya
B. Mentaati perintahnya
C. Membenarkan segala apa yang disampaikan
D. Menahan dari dari hal yang dilarang beribadah sesuai dg apa yang diperintahkan
E. Menghidupkan sunnahnya
5. Mencintai dan taat pada rosul itu wajib
6. M,,

Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad. Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi
Kedua puluh empat:
WAJIBNYA MENCINTAI DAN MENGAGUNGKAN NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
SERTA LARANGAN GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN)[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
seluruh perkara agama akan menyebabkan kebinasaan.

A. Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.


Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling
agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ ‫ِين آ َم ُنوا َأ َش ُّد ُح ًّبا هَّلِل‬


َ ‫َوالَّذ‬

“Dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:165]

Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para
Sahabat Radhiyallahu anhum mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka
kepada diri dan anak-anak mereka, sebagaimana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:

‫ َف َقا َل‬.‫ ََأل ْنتَ َأ َحبُّ ِإلَيَّ مِنْ ُك ِّل َشيْ ٍء ِإالَّ مِنْ َن ْفسِ ي‬،ِ‫ َيا َرس ُْو َل هللا‬:ُ‫ َف َقا َل َل ُه ُع َمر‬،ِ‫ْن ْال َخ َّطاب‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه َُو آ ِخ ٌد ِب َي ِد ُع َم َر ب‬
َ ِّ‫ُك َّنا َم َع ال َّن ِبي‬
ْ َ َ ‫َأ‬ ْ ‫َأل‬
.‫ َ نتَ َحبُّ ِإليَّ مِنْ نفسِ ي‬،ِ‫ َوهللا‬،‫آلن‬ ْ َّ َ َ َ
َ ‫ فِإن ُه ا‬:ُ‫ فقا َل ل ُه َع َمر‬.‫ك‬ َ ْ َ
َ ِ‫ك مِنْ نفس‬ َ ‫َأ‬ ُ ‫َأ‬
َ ‫ َحتى ك ْو َن َحبَّ ِإل ْي‬،ِ‫ ال َوالذِي نفسِ يْ ِب َي ِده‬:‫صلَّى هللاُ َعل ْي ِه َو َسل َم‬
َّ ْ َ َّ َ َّ َ َ ُّ‫لَ ُه ال َّن ِبي‬
‫آلن َيا ُع َم ُر‬ َّ َّ
َ ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم ْا‬ َ ُّ‫ َف َقا َل ال َّن ِبي‬.

“Kami mengiringi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-
Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai
Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai
melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau
sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau
benar), wahai ‘Umar.’” [2]

Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan harus
didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam mencintai Allah.
Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah
dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.

Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia
cintai.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ َوَأنْ َي ْك َر َه َأنْ َيع ُْودَ فِي‬،ِ‫ َوَأنْ ُيحِبَّ ْال َمرْ َء الَ ُي ِح ُّب ُه ِإالَّ ِهلل‬،‫ان هللاُ َو َرس ُْولُ ُه َأ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِممَّا سِ َوا ُه َما‬ ٌ َ‫َثال‬
ِ ‫ث َمنْ ُكنَّ فِ ْي ِه َو َجدَ ِب ِهنَّ َحالَ َو َة ْاِإل ْي َم‬
َ ‫ َمنْ َك‬،‫ان‬
‫ار‬ َّ َ ْ ‫َأ‬ ْ ْ َ ْ ‫َأ‬
َ ‫ َك َما َيك َرهُ نْ ُيقذ‬،ُ‫الكف ِر َبعْ َد نْ ن َقذهُ هللاُ ِمنه‬.‫َأ‬ ْ ُ ْ
ِ ‫ف فِي الن‬

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya
iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai
seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah
Allah menyelamatkannya, sebagai-mana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” [3]

Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya penghormatan, ketundukan dan
keteladanan kepada beliau serta mendahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala
ucapan makhluk, serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya
dibolehkan dalam rangka mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allah. Seperti mencintai dan
mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ia adalah penyempurna kecintaan
dan pengagungan kepada Rabb yang mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena Allah telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allah sebagai konsekuensi
dalam mencintai Allah.” [4]

Maksudnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu tidak ada seorang manusia pun yang lebih dicintai dan disegani
dalam hati para Sahabat kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5]

‘Amr bin al-‘Ash -sebelum ia masuk Islam- berkata: “Sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang
lebih aku benci dari-pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Namun setelah ia masuk Islam, tidak
ada seorang manusia pun yang lebih ia cintai dan lebih ia agungkan daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ia mengatakan: “Seandainya aku diminta untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada kalian tentu aku tidak mampu melakukannya sebab aku tidak pernah menajamkan
pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra,
kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh segenap
rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat Radhiyallahu anhum kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Demi Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan
mereka kepadanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah dengan
telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah dan dadanya. Lalu tatkala
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’, maka hampir saja mereka saling membunuh karena berebut
sisa air bekas wudhu’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [6]

Baca Juga  Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissallam Di Akhir Zaman


B. Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
1. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya pengagungan, memuliakan,
meneladani beliau dan mendahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk
serta mengagungkan Sunnah-sunnahnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬


‫ِين آ َم ُنوا اَل ُت َق ِّدمُوا َبي َْن َيدَيِ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه ۖ َوا َّتقُوا هَّللا َ ۚ ِإنَّ هَّللا َ َسمِي ٌع َعلِي ٌم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesung-guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujuraat: 1]

2. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.


Allah memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena dengan taat kepada beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:

‫ِين فِي َها ۚ َو ٰ َذل َِك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬


َ ‫ت َتجْ ِري مِنْ َتحْ ِت َها اَأْل ْن َها ُر َخالِد‬
ٍ ‫ك ُحدُو ُد هَّللا ِ ۚ َو َمنْ يُطِ ِع هَّللا َ َو َرسُولَ ُه ي ُْدخ ِْل ُه َج َّنا‬
َ ‫ت ِْل‬

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa’: 13]

3. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

َ ‫َو َما َي ْنطِ ُق َع ِن ْال َه َو ٰىِإنْ ه َُو ِإاَّل َوحْ يٌ ي‬


‫ُوح ٰى‬

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

4. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ ‫َو َما آ َتا ُك ُم الرَّ سُو ُل َف ُخ ُذوهُ َو َما َن َها ُك ْم َع ْن ُه َفا ْن َتهُوا ۚ َوا َّتقُوا هَّللا َ ۖ ِإنَّ هَّللا َ َشدِي ُد ْال ِع َقا‬
‫ب‬

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]

5. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain
ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara
yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan
semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.

Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan
kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم ۗ َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬
َ ‫قُ ْل ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب‬
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan
mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” [Ali ‘Imran: 31]

Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang
yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.” [7]

Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan
Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang
membela As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena
setiap bid’ah adalah sesat.[8]

Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan menjelaskan dalam kitabnya: “Termasuk mengagungkan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengagungkan Sunnahnya dan berkeyakinan tentang wajibnya
mengamalkan Sunnah tersebut, dan meyakini bahwa Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menduduki kedudukan kedua setelah Al-Qur-anul Karim dalam hal kewajiban mengagungkan dan
mengamalkannya, sebab As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah.

Karena itu tidak boleh membuat keragu-raguan di dalamnya, apalagi melecehkannya. Dan tidak boleh
membicarakan keshahihan dan kedha’ifannya, baik dari segi jalan, sanad atau penjelasan makna-maknanya
kecuali berdasarkan ilmu dan kehati-hatian. Pada zaman ini banyak orang-orang bodoh yang melecehkan
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama dari kalangan anak-anak muda yang baru dalam tahap
awal belajar. Mereka dengan mudahnya menshahihkan atau mendha’ifkan hadits-hadits, dan menilai cacat
para perawi tanpa ilmu kecuali dari membaca beberapa buku. Sungguh hal tersebut berbahaya bagi mereka
dan ummat. Karena itu hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah dan menahan diri pada batasannya.[9]

C. Wajibnya Mentaati Dan Meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.[10]


Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan
meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau
adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur-an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita
untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi dengan
perintah taat kepada Allah, sebagaimana firmanNya:

Baca Juga  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Mengajak Manusia Kepada Akhlak Yang Mulia Dan Amal-Amal Yang
Baik
‫ِين آ َم ُنوا َأطِ يعُوا هَّللا َ َوَأطِ يعُوا الرَّ سُو َل‬
َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya…” [An-Nisaa’: 59]

Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Di samping itu terkadang perintah tersebut disampaikan dalam
bentuk tunggal, tidak dibarengi kepada perintah yang lain, sebagaimana dalam firman-Nya:

َ ‫َمنْ يُطِ ِع الرَّ سُو َل َف َق ْد َأ َط‬


َ ‫اع هَّللا‬

“Barangsiapa mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” [An-Nisaa’: 80]

َ ‫َوَأطِ يعُوا الرَّ سُو َل لَ َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم‬


‫ُون‬

“Dan taatlah kepada Rasul supaya kamu diberi rahmat.” [An-Nuur: 56]

Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendurhakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

‫ون َعنْ َأ ْم ِر ِه َأنْ ُتصِ ي َب ُه ْم فِ ْت َن ٌة َأ ْو يُصِ ي َب ُه ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬ َ ‫َف ْل َيحْ َذ ِر الَّذ‬
َ ُ‫ِين ي َُخالِف‬
“Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau
ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]

Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di
dunia, baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang dise-gerakan. Allah telah
menjadikan ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebab hamba
mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk
dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َوِإنْ ُتطِ يعُوهُ َت ْه َتدُوا‬

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” [An-Nuur: 54]

Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi
segenap ummatnya. Allah berfirman:

َ ‫ُول هَّللا ِ ُأسْ َوةٌ َح َس َن ٌة ِل َمنْ َك‬


‫ان َيرْ جُو هَّللا َ َو ْال َي ْو َم اآْل خ َِر َو َذ َك َر هَّللا َ َكثِيرً ا‬ ِ ‫ان َل ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫لَ َق ْد َك‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah.” [Al-Ahzaab:
21]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang
meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.
Untuk itu, Allah ‫ك َو َت َعالَى‬ َ ‫ َت َب‬memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan,
َ ‫ار‬
kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan
dari Rabb-nya k ketika perang Ahzaab. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau
hingga hari Kiamat.”[11]

Dalam Al-Qur-an, Allah telah menyebutkan ketaatan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
meneladaninya sebanyak 40 kali. Demikianlah, karena jiwa manusia lebih membutuhkan untuk mengetahui
apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan mengikutinya daripada kebutuhan kepada makanan
dan minuman, sebab jika seorang tidak mendapatkan makanan dan minuman, ia hanya berakibat mati di
dunia sementara jika tidak mentaati dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan
mendapat siksa dan kesengsaraan yang abadi.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mengikutinya dalam melakukan berbagai ibadah
dan hendaknya ibadah itu dilakukan sesuai dengan cara yang beliau contohkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

َ ‫صلُّ ْوا َك َما َرَأ ْي ُتم ُْونِي ُأ‬


‫صلِّي‬ َ .

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [12]

Juga sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

X‫ ُخ ُذ ْوا َع ِّني َم َناسِ َك ُكم‬.

“Ambillah dariku manasik (haji)mu.” [13]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ْس َعلَي ِه َأم ُر َنا َفه َُو َر ٌّد‬


َ ‫ َمن َع ِم َل َع َمالً لَي‬.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu tertolak.”
[14]

Dan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ْس ِم ِّني‬
َ ‫ب َعنْ ُس َّنتِي َفلَي‬
َ ِ‫ َمن َرغ‬.

“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [15]

Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menunjukkan perintah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan larangan menyelisihinya.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
Referensi : https://almanhaj.or.id/3220-wajibnya-mencintai-dan-mengagungkan-nabi-muhammad-
wajibnya-mentaati-dan-meneladani-nabi.html

Iman Kepada Rasul-Rasul Allah


Kedua puluh dua:
IMAN KEPADA RASUL-RASUL ALLAH[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah beriman kepada Rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Ar-Rusul (ُ‫ )الرُّ ُسل‬bentuk
jamak dari kata rasul (ٌ‫)رس ُْول‬,
َ yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang
dimaksud ‘rasul’ di sini adalah orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada ummat.

Rasul yang pertama adalah Nabiyyullah Nuh Alaihissallam, dan yang terakhir adalah Nabiyyullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َأ‬ َ ‫ِإ َّنا َأ ْو َح ْي َنا ِإلَ ْي‬


ٍ ‫ك َك َما ْو َح ْي َنا ِإلَ ٰى ُن‬
َ ‫وح َوال َّن ِبي‬
‫ِّين مِنْ َبعْ ِد ِه‬

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu
kepada Nuh dan Nabi-Nabi yang kemudian…” [An-Nisaa’: 163]

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam hadits syafa’at menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan: “Nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam Alaihissallam untuk meminta
syafa’at. Nabi Adam Alaihissallam meminta maaf kepada mereka, seraya berkata: ‘Datangilah Nuh
Alaihissallam.’ Lalu mereka mendatangi Nabi Nuh Alaihissallam dan berkata:

‘Wahai Nuh Alaihissallam, engkaulah Rasul pertama yang diutus Allah.” [2]

Allah Jalla Jalaluhu berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ان هَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِيمًا‬ َ ‫ان م َُح َّم ٌد َأ َبا َأ َح ٍد مِنْ ِر َجالِ ُك ْم َو ٰلَكِنْ َرسُو َل هَّللا ِ َو َخا َت َم ال َّن ِبي‬
َ ‫ِّين ۗ َو َك‬ َ ‫َما َك‬

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah
dan penutup Nabi-nabi dan adalah Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” [Al-Ahzaab: 40]

Setiap ummat tidak pernah sunyi dari Nabi yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membawa syari’at
khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

َّ ‫َولَ َق ْد َب َع ْث َنا فِي ُك ِّل ُأ َّم ٍة َرسُواًل َأ ِن اعْ ُبدُوا هَّللا َ َواجْ َت ِنبُوا‬
َ‫الطا ُغوت‬

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan) ‘Beribadahlah
kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut…”’ [An-Nahl: 36]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ك ِب ْال َح ِّق بَشِ يرً ا َو َنذِيرً ا ۚ َوِإنْ مِنْ ُأ َّم ٍة ِإاَّل َخاَل فِي َها َنذِي ٌر‬
َ ‫ِإ َّنا َأرْ َس ْل َنا‬

“Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, dan tidak ada suatu ummat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi
peringatan.” [Faathir: 24]

Para Rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan
Rububiyyah dan Uluhiyyah serta mereka pun tidak mengetahui perkara yang ghaib. Allah Azza wa Jalla
berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin para Rasul dan yang
paling tinggi derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ت م َِن ْال َخي ِْر َو َما َم َّسن َِي السُّو ُء ۚ ِإنْ َأ َنا ِإاَّل َنذِي ٌر َوبَشِ ي ٌر لِ َق ْو ٍم‬ َ ‫ت َأعْ لَ ُم ْالغَ ي‬
ُ ْ‫ْب اَل سْ َت ْك َثر‬ ُ ‫ء هَّللا ُ ۚ َولَ ْو ُك ْن‬Xَ ‫ض ًّرا ِإاَّل َما َشا‬ ُ ِ‫قُ ْل اَل َأمْ ل‬
َ ‫ك لِ َن ْفسِ ي َن ْفعً ا َواَل‬
‫ون‬
َ ِ ُ
‫ن‬ ‫م‬ ‫ُْؤ‬
‫ي‬

“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” [Al-A’raaf: 188]

Keyakinan bahwa ada selain Allah Azza wa Jalla yang dapat mengetahui perkara ghaib, maka keyakinannya
adalah kufur. [3]

Para Rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, membutuhkan makan dan minum, dan
lain sebagainya. Allah Azza wa Jalla berfirman tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam yang menjelaskan Sifat
Rabb-nya:

ِ ‫ت َفه َُو َي ْشفِين َِوالَّذِي ُيمِي ُتنِي ُث َّم يُحْ ِي‬


‫ين‬ ِ ‫َوالَّذِي ه َُو ي ُْط ِع ُمنِي َو َيسْ ق‬
ُ ْ‫ِين َوِإ َذا َم ِرض‬

Baca Juga  Ahlus Sunnah Melarang Memakai Gelang, Kalung Atau Benang Untuk Mengusir Atau Menangkal
Bahaya
“Dan Rabb-ku, Dia-lah Yang memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit, Dia-lah Yang
menyembuhkanku, dan Yang akan mematikanku kemudian akan menghidupkan aku (kembali).” [Asy-
Syu’araa’: 79-81]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ِإ َّن َما َأ َنا َب َش ٌر م ِْثلُ ُك ْم َأ ْن َسى َك َما َت ْن َس ْو َن َفِإ َذا َنسِ ي‬.
‫ْت َف َذ ِّكر ُْونِي‬

“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian, maka jika aku lupa,
ingatkanlah.”[4]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa para Rasul mempunyai ‘ubudiyyah (penghambaan) yang
tertinggi kepada-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman tentang Nabi Nuh Alaihissallam:


‫ان َع ْب ًدا َش ُكورً ا‬
َ ‫ِإ َّن ُه َك‬

“Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” [Al-Israa’: 3]

Allah Jalla Jalaluhu juga berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َ ‫ون ل ِْل َعالَم‬


‫ِين َنذِيرً ا‬ َ ‫ك الَّذِي َن َّز َل ْالفُرْ َق‬
َ ‫ان َعلَ ٰى َع ْب ِد ِه لِ َي ُك‬ َ ‫َت َب‬
َ ‫ار‬

“Mahasuci Allah Yang telah menurunkan al-Furqaan (Al-Qur-an) kepada hamba-Nya, agar ia menjadi
pemberi peringatan kepada seluruh alam.” [Al-Furqaan: 1]

Allah juga berfirman tentang Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissallam:

‫ِإنْ ه َُو ِإاَّل َع ْب ٌد َأ ْن َع ْم َنا َعلَ ْي ِه َو َج َع ْل َناهُ َمثَاًل لِ َبنِي ِإسْ َراِئي َل‬

“‘Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan
ia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” [Az-Zukhruf: 59]

Jadi, seluruh Nabi dan Rasul Alaihimussallam, termasuk Nabi ‘Isa Alaihissallam, adalah manusia biasa,
hamba Allah dan bukan tuhan.

Iman kepada para Rasul mengandung empat unsur:

1. Mengimani bahwasanya risalah mereka benar-benar dari Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa mengingkari
risalah mereka, walaupun hanya seorang (dari mereka), maka menurut pendapat seluruh ulama ia dikatakan
kafir.

Allah al-Haq berfirman:

َ ‫وح ْالمُرْ َسل‬


‫ِين‬ ْ ‫َك َّذ َب‬
ٍ ‫ت َق ْو ُم ُن‬

“Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul.” [Asy-Syu-‘araa’: 105][5]

Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa mereka mendustakan semua Rasul, padahal hanya seorang Rasul
saja yang ada (yaitu Nuh Alaihissallam) ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu, ummat Nasrani
yang mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti mereka
juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi ‘Isa al-Masih bin Maryam Alaihissallam, karena Nabi ‘Isa
Alaihissallam sendiri pernah menyampaikan kabar gembira dengan kedatangan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata ‘menyampaikan
kabar gembira’ ini mengandung makna bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang
Rasul yang diutus Allah Azza wa Jalla, yang akan menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi
petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus.

2. Mengimani nama-nama Rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan dalam Al-Qur-an dan As-
Sunnah yang shahih.
Jumlah Nabi dan Rasul banyak sekali. Menurut riwayat bahwa jumlah Nabi ada 124.000 dan jumlah Rasul
ada 315 [6]. Adapun yang terkenal ada 25 Rasul.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang para Nabi dan Rasul di dalam Al-Qur-an ada 25, yaitu
Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Isma’il, Is-haq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa,
Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Muhammad, ‫هللا َو َسالَ ُم ُه َعلَي ِْه ْم‬
ِ ‫ات‬ ُ ‫صلَ َو‬
َ
‫َأ‬
‫ جْ َم ِعي َْن‬. Lihat surat Ali ‘Imran: 33; Hud: 50, 61, 84; al-Anbiyaa’: 85; al-An’aam: 83-86 dan al-Fat-h: 29.
Di antara nama para Nabi yang juga disebutkan di dalam As-Sunnah, yaitu Syiit dan Yuusya’ bin Nun.
Sedangkan yang di-ikhtilafkan ulama, apakah ia Nabi ataukah hamba yang shalih, adalah Khidhir, Dzul
Qarnain dan Luqman, wallaahu a’lam.[7]

Allah memberikan keutamaan sebagian Rasul atas sebagian yang lainnya. Rasul dan Nabi yang paling utama
ada lima, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim , Musa, ‘Isa, dan Nuh Alaihimussallam.
Kelima Nabi dan Rasul itu disebut Ulul ‘Azmi. Allah menyebut mereka dalam dua tempat, yakni dalam surat
al-Ahzaab ayat 7 dan asy-Syuura’ ayat 13.

Baca Juga  Ahlus Sunnah Membolehkan Ruqyah Syar’iyyah Dan Melarang Ruqyah Yang Ada Kesyirikan Dan
Bid'ah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ً ‫ْن َمرْ َي َم ۖ َوَأ َخ ْذ َنا ِم ْن ُه ْم مِي َثا ًقا غَ ل‬ َ ‫َوِإ ْذ َأ َخ ْذ َنا م َِن ال َّن ِبي‬
َ ‫ِّين مِي َثا َق ُه ْم َو ِم ْن‬
‫ِيظا‬ ِ ‫يسى اب‬ ٍ ‫ك َومِنْ ُن‬
َ ِ‫وح َوِإب َْراهِي َم َومُو َس ٰى َوع‬

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim,
Musa dan ‘Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka per-janjian yang teguh.” [Al-Ahzaab:
7]

Terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-nama mereka, maka kita wajib mengimaninya secara
global.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫ك َو ِم ْن ُه ْم َمنْ َل ْم َن ْقصُصْ َعلَ ْي‬


‫ك‬ َ ِ‫َولَ َق ْد َأرْ َس ْل َنا ُر ُساًل مِنْ َق ْبل‬
َ ‫ك ِم ْن ُه ْم َمنْ َق‬
َ ‫صصْ َنا َعلَ ْي‬

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami
ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” [Al-Mu’min:
78]

3. Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.


4. Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang diutus Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫ك فِي َما َش َج َر َب ْي َن ُه ْم ُث َّم اَل َي ِجدُوا فِي َأ ْنفُسِ ِه ْم َح َرجً ا ِممَّا َق‬
‫ضيْتَ َو ُي َسلِّمُوا َتسْ لِيمًا‬ َ ‫ون َح َّت ٰى ي َُح ِّكمُو‬
َ ‫ِّك اَل يُْؤ ِم ُن‬
َ ‫َفاَل َو َرب‬

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” [An-Nisaa’: 65]
[8]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
______
Referensi : https://almanhaj.or.id/3224-iman-kepada-rasul-rasul-allah.html

Anda mungkin juga menyukai