Anda di halaman 1dari 16

Kelemah-Lembutan, Musyawarah, dan Tawakkal

Nur Fitri Hadi, MA December 1, 2016 Artikel Khutbah Jumat


Khutbah Pertama:

Flashdisk Yufid.TV
‫الله َفل َا‬ُ ‫ َم ْن يَ ْه ِد ِه‬،‫ع َمالِنَا‬ ْ ‫ات َأ‬ ِ ‫ِالله ِم ْن ُش ُر ْو ِر َأن ْ ُف ِسنَا َو َسيَِّئ‬
ِ ‫ َون َ ُع ْو ُذ ب‬،‫ب ِإ ل َيْ ِه‬ُ ‫ح َم ُد ُه َون َ ْستَ ِعيْن ُ ُـه َون َ ْستَ ْغ ِف ُر ُه َونَتُ ْو‬ْ َ ‫ِإ ّ َن ال َْح ْم َد ِلل َّ ِه ن‬
‫عبْ ُد ُه َو َر ُس ْول ُُه َو َص ِفيُّ ُـه‬
َ ‫ح ّ َم ًدا‬َ ‫ َوَأ ْش َه ُد َأ ّ َن ُم‬،‫الله َو ْح َد ُه ل َا َش ِريْ َك ل َُه‬ُ ‫ َوَأ ْش َه ُد َأ ْن ل َا ِإ ل ََه ِإ لَّا‬،‫ َو َم ْن يُ ْضلِ ْل َفل َا َها ِد َي ل َُه‬،‫ُم ِض َّل ل َُه‬
ِ ‫ات‬
‫الله‬ َ ‫ َما تَ َر َك َخيْ ًرا ِإ لَّا َد َّل الُْأ َّم َة‬،‫ع ُه‬
ُ ‫عل َيْ ِه َول َا َش ّ ًرا ِإ لَّا َح َّذ َر َها ِمن ْ ُه ف ََصل ََو‬ َ ‫ومب ِل ّغُ الن ّ َِاس َش ْر‬ ُ ‫عل َى َو ْحي ِِه‬ َ ‫َو َخلِيْل ُُه َوَأ ِميْن ُ ُه‬
‫َأ‬
‫حب ِِه ْج َم ِعيْ َن‬ ْ ‫عل َى آلِ ِه َو َص‬ َ ‫عل َيْ ِه َو‬
َ ‫َام ُه‬
ُ ‫و َسل‬. َ

ِ ‫اد‬
‫الله‬ َ َ‫المْؤ ِم ِنيْ َن ِعب‬ ِ ‫َأ َّما بَ ْع ُد َم َع‬:
ُ ‫اش َر‬

Bertakwalah kepada Allah. karena siapa yang bertakwa kepada-Nya, Dia akan menjaganya,
menunjukinya pada perkara yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya.

Takwa kepada Allah Ta’ala adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bersumber
dari petunjuk-Nya dan disertai dengan berharap pahala dari-Nya. Dan menjauhi larangan
berdasarkan petunjuk dari-Nya dan disertai perasaan takut akan adzab-Nya.

Dalam Alquran, Allah Ta’ala berfirman,

‫استَ ْغ ِف ْر ل َُه ْم َو َشا ِو ْر ُه ْم ِفي‬ ْ ‫عن ْ ُه ْم َو‬ ْ ‫يظ الْقَل ِْب ل َانْفَ ُّضوا ِم ْن َح ْو ِل َك ۖ ف‬
َ ‫َاع ُف‬ َ ِ‫غل‬ َ ْ ‫َفب َِما َر ْح َمةٍ ِم َن الل َّ ِه ِلن‬
َ ْ ‫ت ل َُه ْم ۖ َول َْو كُن‬
َ ‫ت ف ّ ًَظا‬
َ ِ‫ب ال ُْمتَ َو ِك ّل‬
‫ين‬ ُّ ‫عل َى الل َّ ِه ۚ ِإ ّ َن الل َّ َه يُ ِح‬
َ ‫ت َفتَ َوك ّ َ ْل‬ َ ‫الَْأ ْم ِر ۖ َفِإذَا‬
َ ‫ع َز ْم‬

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran/3:159).

Ibadallah,
Firman Allah: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka.

Maksudnya dengan rahmat atau kasih sayang Allah Azza wa Jalla kepadamu dan kepada para
Sahabatmu, engkau bisa berlemah lembut dan bisa menurunkan sayapmu (bersikap rendah
hati). Engkau berlaku lembut dan berakhlak mulia kepada mereka, sehingga mereka bisa
berkumpul bersamamu dan mencintaimu serta melaksanakan perintahmu.

“Sekiranya kamu bersikap keras”, yaitu berakhlak buruk, “lagi berhati kasar”, yaitu berhati
keras, “tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. Karena akhlak buruk dapat
menyebabkan mereka lari dan membuat mereka benci kepada orang yang memiliki akhlak
tersebut.

Akhlak yang baik termasuk penentu dalam agama, yang dapat menarik manusia menuju
agama Allah Azza wa Jalla dan membuat mereka tertarik kepada agama Allah Azza wa Jalla .
Selain itu, orang yang memiliki akhlak yang baik juga mendapatkan pujian dan pahala khusus
(dari Allah). Sebaliknya akhlak yang buruk termasuk penentu di dalam agama yang dapat
membuat manusia lari dari agama Allah Azza wa Jalla dan membuat manusia benci
kepadanya. Selain itu, orang yang memilikinya juga mendapatkan penghinaan dan hukuman
khusus. Tentang akhlak yang seperti itu, Rasul yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) saja
dikatakan oleh Allah seperti itu, apalagi manusia yang bukan rasul.

Bukankah termasuk kewajiban yang paling wajib dikerjakan dan kepentingan yang paling
utama untuk didahulukan, seseorang mengikuti Beliau dalam akhlaknya yang mulia? Begitu
pula berinteraksi dengan manusia sebagaimana Beliau berinteraksi dengan manusia?

Kita mengikuti Beliau dalam kelemahlembutan dan akhlak baik Beliau serta cara
melunakkan hati seseorang. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa
Jalla dan menarik minat para hamba Allah untuk menuju agama Allah.

“Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.

Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam untuk memaafkan mereka atas kekurangan-kekurangan yang mereka lakukan kepada
Beliau dalam penunaian hak-hak Beliau. Allah k juga memerintahkan Beliau shallallahu
alaihi wa sallam agar memintakan ampun untuk mereka atas kekurangan-kekurangan mereka
dalam hal penunaian hak-hak Allah Azza wa Jalla. Dengan demikian Beliau mengumpulkan
antara sifat pemaaf dan berbuat baik.
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”, yaitu bermusyawarahlah dalam
urusan-urusan yang membutuhkan perundingan, pandangan dan pemikiran. Sesungguhnya
bermusyawarah memiliki banyak faidah dan kebaikan, baik dalam urusan agama maupun
urusan dunia. Di antara faidahnya, musyawarah merupakan salah satu ibadah dan bentuk
mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, untuk melakukan suatu urusan yang telah
dimusyawarahkan jika urusan tersebut membutuhkan musyawarah, (maka bertawakkallah
kepada Allah), bergantunglah kepada daya dan kekuatan Allah dan jangan tergantung kepada
daya dan kekuatanmu sendiri. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya), yang bergantung dan kembali kepada-Nya.”

Ibadallah,

Firman Allah Azza wa Jalla :

َ ْ ‫َفب َِما َر ْح َم ٍة ِم َن الل َّ ِه ِلن‬


‫ت ل َُه ْم‬

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam diutus sebagai bentuk rahmat Allah Azza wa Jalla kepada
seluruh manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫َو َما َأ ْر َسلْنَا َك ِإ لَّا َر ْح َم ًة ِلل َْعال َِم‬


‫ين‬

“Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam.”


(Al-Anbiya/21:107)

Salah satu bentuk rahmat Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan
kepada seluruh umat adalah Allah menjadikan Beliau shallallahu alaihi wa sallam sebagai
nabi yang memiliki sifat lemah lembut. Pada saat Beliau shallallahu alaihi wa sallam diutus,
sifat lemah lembut ini sangat jarang dimiliki oleh orang-orang Arab Jahiliyah. Karena orang-
orang Arab pada saat itu terkenal dengan sifat keras dan kasar mereka.
Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki sifat lemah lembut, maka ini akan
menjadikan Beliau shallallahu alaihi wa sallam lebih mudah untuk mendakwahi mereka.
Dengan demikian, banyak orang yang masuk Islam karena kelemahlembutan Beliau. Para
Sahabat sangat dekat dengan Beliau dan sangat mencintai Beliau.

Allah Azza wa Jalla menyebutkan sifat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dalam
Alquran:

ٌ‫وف َر ِحيم‬ َ ‫عل َيْك ُْم بِال ُْمْؤ ِم ِن‬


ٌ ‫ين َر ُء‬ ٌ ‫ع ِنتّ ُْم َح ِر‬
َ ‫يص‬ َ ‫عل َيْ ِه َما‬ َ ‫ول ِم ْن َأن ْ ُف ِسك ْـُم‬
َ ‫ع ِزي ٌز‬ ٌ ‫اءك ُْم َر ُس‬
َ ‫ل َ َق ْد َج‬

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa
olehnya penderitaan kalian, (beliau) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi
kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (At-
Taubah/9:128)

Ini menunjukkan kemuliaan akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu
alaihi wa sallam dihiasi dengan sifat lemah lembut dan sifat penyayang. Beliau shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:

‫ُون ِفى َش ْى ٍء ِإ ال ّ َ َزان َ ُـه َوال َ يُن ْ َز ُع ِم ْن َش ْى ٍء ِإ ال ّ َ َشان َ ُه‬ ّ ِ ‫ِإ ّ َن‬
ُ ‫الرف َْق ال َ يَك‬

“Sesungguhnya, kelemahlembutan tidaklah berada pada sesuatu kecuali dia akan


menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya menjadi jelek.”
(HR. Muslim).

Jika seseorang memiliki sifat lemah lembut, maka sifat itu akan menghiasinya dan orang-
orang di sekitarnya akan senang dan tidak takut dengannya.

Salah satu bentuk kelembutan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah ketika Beliau selesai
dari perang Uhud. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak memaki para Sahabat atas
kesalahan yang mereka lakukan karena tidak mengikuti perintah Beliau. Padahal dengan
jelas, Beliau telah menyuruh para pemanah agar tidak turun dari bukit dalam keadaan apapun,
tetapi sebagian besar mereka justru meninggalkannya. Sehingga kaum Muslimin
mendapatkan kekalahan pada saat itu. Ini semua berkat rahmat atau kasih sayang yang Allah
Azza wa Jalla berikan kepada Beliau shallallahu alaihi wa sallam, sehingga Beliau shallallahu
alaihi wa sallam bisa berlemah lembut terhadap mereka.
Tetapi perlu kita ketahui bahwa sifat lemah lembut yang Beliau miliki, tidak menghalangi
Beliau untuk tetap ber-amr bil-ma’ruf wan-nahy ‘anil-munkar, tidak menghalangi Beliau
shallallahu alaihi wa sallam untuk memimpin para Sahabat dan tidak menghalangi Beliau
untuk tetap bersikap tegas. Dan kita ketahui bahwa untuk memimpin umat dibutuhkan
ketegasan. Dan Beliau shallallahu alaihi wa sallam memiliki keduanya.

Seorang pemimpin yang memiliki sifat tegas akan bisa mengatur orang-orang yang
dipimpinnya. Jika ketegasan itu dihiasi dengan sifat lemah lembut maka akan membuat
mereka menuruti perintahnya dengan senang hati dan bukan terpaksa.

Begitu pula dalam berdakwah, sifat lemah lembut sangat dibutuhkan oleh seorang da’i.
Orang-orang yang didakwahi tidak merasa takut dengan seorang da’i yang memiliki sifat
lemah lembut. Dengan demikian mereka bisa menerima apa yang disampaikan oleh da’i
tersebut dengan ijin Allah Azza wa Jalla.

Firman Allah Azza wa Jalla :

‫يظ الْقَل ِْب ل َانْفَ ُّضوا ِم ْن َح ْولِ َك‬


َ ِ‫غل‬ َ ْ ‫َول َْو كُن‬
َ ‫ت ف ّ ًَظا‬

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu.”

Bersikap keras maksudnya bersikap keras di dalam perkataan, sedangkan “berhati keras”
maksudnya adalah di dalam perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh al-Kalbi. Imam al-
Baghawi mengatakan, “Bersikap keras artinya bersikap keras dalam bermuamalah, memiliki
akhlak yang buruk dan tidak bisa bersabar.”

Arti “tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” adalah berpisah, menjauh dari
sekelilingmu dan meninggalkanmu.

Dengan sifat lemah lembut yang Beliau miliki para Sahabat tidak merasa segan untuk dekat
dengan Beliau shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan mereka sangat merindukan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam jika mereka berpisah dengan Beliau shallallahu alaihi wa sallam .
Firman Allah:

‫استَ ْغ ِف ْر ل َُه ْم‬


ْ ‫عن ْ ُه ْم َو‬
َ ‫َاع ُف‬
ْ ‫ف‬

“Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Arti dari perkataan Allah
‘maafkanlah mereka’ yaitu wahai Muhammad! Maafkanlah para pengikut dan para
Sahabatmu yang beriman kepadamu dan beriman kepada risalah yang engkau bawa dari-Ku.
Maafkanlah mereka atas segala yang bersumber dari mereka yang telah menyakitimu atau
tidak menyenangkanmu.

Arti ‘mohonkanlah ampun bagi mereka’ maksudnya berdoalah kepada Rabb-mu agar Allah
Azza wa Jalla mengampuni mereka yang telah melakukan perbuatan dosa yang sejatinya
mereka berhak untuk mendapatkan hukuman atas perbuatan tersebut.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan hal yang luar biasa. Meskipun Beliau
shallallahu alaihi wa sallam dizhalimi dengan tidak diberikan hak-haknya, Beliau shallallahu
alaihi wa sallam memaafkan orang yang menzhaliminya, bahkan Beliau mendoakan kebaikan
untuknya.

Firman Allah Azza wa Jalla:

‫َو َشا ِو ْر ُه ْم ِفي الَْأ ْم ِر‬

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”

Para Ulama berbeda pendapat di dalam menafsirkan potongan ayat ini. Diantara pendapat
yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:

– Bermusyawarahlah dengan mereka dalam hal-hal yang tidak ada wahyu dari Allah
tentanghal tersebut, misalnya, cara menghadapi musuh dan membuat tipu daya dalam
peperangan, sebagaimana dikatakan oleh al-Kalbi.
– Bermusyawarahlah dengan mereka untuk membuat nyaman hati mereka dan
menghilangkan kemarahan-kemarahan mereka. Dahulu orang-orang Arab jika tidak diajak
bermusyawarah maka itu sangat menyakitkan bagi mereka, sebagaimana dikatakan oleh
Muqatil dan Qatadah rahimahullah.

– Bermusyawarahlah dengan mereka, walaupun Allah Azza wa Jalla sudah mengetahui


bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak membutuhkannya. Akan tetapi,
hal ini dilakukan agar bisa ditiru oleh orang-orang setelah Beliau shallallahu alaihi wa sallam
wafat, sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan rahimahullah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat sering mengumpulkan para Sahabatnya untuk
bermusyawarah, di antara musyawarah-musyawarah yang pernah Beliau lakukan adalah:

Pertama: Musyawarah untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy, sebelum perang Uhud
terjadi. Apakah mereka akan menghadapi orang-orang musyrik di kota Madinah ataukah
diluar kota Madinah?

Kedua: Musyawarah untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy dan Ghathfan, sebelum
terjadi perang Khandaq. Akhirnya Beliau menerima pendapat Salman al-Farisi Radhiyalahu
anhu untuk membuat parit besar, panjang dan dalam, sehingga kaum musyrikin tidak bisa
melewati parit tersebut dengan mudah.

Ketiga: Musyawarah ketika berada di al-Hudaibiyah, apakah mereka akan melanjutkan


umrah ataukah tidak dan jika dihalangi untuk berumrah apakah yang harus mereka lakukan?

Dan ada musyawarah-musyawarah lain yang Beliau shallallahu alaihi wa sallam lakukan.

Sudah sepantasnya seorang Muslim yang bekerjasama dengan orang lain untuk membiasakan
musyawarah dengan mereka. Masing-masing orang itu memiliki kelebihan dan kekurangan
yang tidak dimiliki orang lain.

Dengan musyawarah, maka seseorang bisa berlepas diri dari ketergantungan dan kekaguman
pada dirinya sendiri. Dengan meminta pendapat orang lain, setidaknya dia bisa melatih
dirinya untuk merendahkan diri di hadapan orang yang beriman, dan menganggap bahwa
pendapat orang lain mungkin jauh lebih baik daripada pendapatnya.
Dengan kesamaan niat untuk mendapatkan kebaikan atau menghilangkan keburukan, maka
insya Allah musyawarah akan menghasilkan kebenaran atau yang mendekati kebenaran dan
diharapkan bisa menghindarkan semua resiko, meskipun yang paling ringan.

Meskipun demikian, musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman bukanlah
wahyu dari Allah Azza wa Jalla, sehingga sangat mungkin untuk terjatuh kepada kesalahan.
Oleh karena itu, meskipun seorang Muslim sudah melakukan musyawarah, maka dia tetap
harus bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dalam segala kejadian yang akan terjadi di
masa yang akan datang dan tidak menggantungkannya terhadap dirinya sendiri.

Firman Allah Azza wa Jalla :

‫عل َى الل َّ ِه‬


َ ‫ت َفتَ َوك ّ َ ْل‬
َ ‫ع َز ْم‬
َ ‫َفِإذَا‬

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.”

Maksud membulatkan tekad adalah setelah musyawarah dilakukan, baik hal tersebut sesuai
dengan pendapat yang engkau pilih ataupun tidak, kemudian engkau telah membulatkan
tekad untuk melaksanakannya, maka bertawakkallah kepada Allah.

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah hanya kepada Allah bukan bertawakkal kepada musyawarah dengan mereka,
yakni laksanakanlah perintah Allah! Yakinlah dengan-Nya dan minta tolonglah kepada-
Nya!”

Firman Allah Azza wa Jalla :

ُّ ‫ِإ ّ َن الل َّ َه يُ ِح‬


َ ِ‫ب ال ُْمتَ َو ِك ّل‬
‫ين‬

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Arti tawakkal adalah bersandar kepada Allah dengan menunjukkan kelemahan diri dan
kelemahan nama serta menggantungkan diri (kepada-Nya).
Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi t mengatakan, “Tawakkal adalah memulai melakukan
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla atau diizinkan untuk melakukan
perbuatan tersebut, setelah mengerjakan sebab-sebab yang dibutuhkan untuk itu dan tidak
menggantungkan pada diri sendiri atas apa-apa yang akan terjadi setelah itu, tetapi dia
menyerahkan hasilnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ ُ ‫عل َى الل َّ ِه َفل ْيَتَ َوك ّ َ ِل ال ُْمْؤ ِمن‬


‫ون‬ َ ‫َو‬

“Dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman bertawakkal.”

Tidaklah dinamakan tawakkal, seorang yang mengaku bergantung kepada Allah Azza wa
Jalla namun dia tidak mengerjakan sebab-sebab untuk bisa mendapatkan apa yang dia
inginkan. Seseorang yang ingin makan, maka dia harus mencari sebab dengan cara bekerja
untuk mendapatkan uang. Tidak cukup dengan itu, dia harus membeli makanan untuk bisa
mendapatkan makanan, kemudian dia masukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya.

Ada aliran yang mengaku Islam menyatakan bahwa hidup kita ini harus benar-benar
bertawakkal kepada Allah, sehingga tidak perlu bekerja, tidak perlu berusaha dan tidak perlu
mengerjakan sebab-sebab, semuanya akan datang dari Allah. Mereka hanya memfokuskan
pada ibadah dan zikir. Mereka menyatakan bahwa mengambil sebab-sebab tersebut termasuk
hal-hal duniawi yang menyibukkan dari akhirat.

Apa yang mereka yakini sangat jelas berbeda dengan apa yang diajarkan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan:

‫وح ب َِطانًا‬
ُ ‫اصا َوتَ ُر‬ َّ ‫ ل ََر َز َقك ُْم ك ََما يَ ْر ُز ُق‬، ‫الله َح َّق تَ َوكُّلِ ِه‬
ً ‫الطيْ َر تَ ْغ ُدو ِخ َم‬ َ ‫َول َْوَأنَّك ُْم تَ َوكَّلْتُ ْم‬
ِ ‫عل َى‬

“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan benar, maka Allah akan memberikan rezeki
kepada kalian sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi di
waktu pagi dalam keadaan lapar dan pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang.” (HR. at-
Turmudzi dan Ibnu Majah).

Dalam hadits ini digambarkan hakikat dari tawakkal yang benar, seekor burung untuk bisa
mendapatkan makan, maka dia harus terbang untuk mencari makan dan tidak tinggal diam
dalam sarangnya. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga memberitahukan agar seseorang
tidak perlu khawatir dengan rezeki yang Allah Azza wa Jalla berikan kepadanya, akan tetapi
untuk mendapatkan rezeki tersebut ia harus berusaha.

Jika seseorang bertawakkal kepada Allah, maka seluruh apa yang dia dapatkan setelah dia
bekerja, banyak maupun sedikit, dia tidak akan mengeluhkannya, karena dia telah
menyerahkan seluruhnya hanya kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengerjakan sebab,
adapun hasilnya itu terserah Allah Azza wa Jalla.

‫الر ِحيْ ُم‬ ْ ‫الم ْسلِ ِميْ َن ِم ْن ك ّ ُِل َذن ْ ٍب ف‬


َ ‫َاستَ ْغ ِف ُر ْو ُه يَ ْغ ِف ْر لَك ُْم إن ّ َُه ُه َو ال َغفُ ْو ُر‬ َ ‫َأق ُْو ْل َه َذا الْقَ ْو َل َوا َ ْستَ ْغ ِف ُر‬.
ُ ‫الله لِي َولَك ُْم َولِ َساِئ ِـر‬

Khutbah Kedua:

َ ّ ‫ َوَأ ْش َه ُد‬،‫الله َو ْح َد ُه ل َا َش ِريْ َك ل َُه‬


‫أن نَبِيَّنَا‬ ُ ‫ َوَأ ْش َه ُد َأ ْن ل َا ِإ ل ََه ِإ لَّا‬،‫ان‬
ِ َ ‫اس ِع ال ْ َف ْض ِل َوال ُْج ْو ِد َوالْاِ ْم ِتن‬ َ ‫اَل َْح ْم ُد ِلل َّ ِه‬
ِ ‫ع ِظيْ ِم اِإل ْح َس‬
ِ ‫ َو‬،‫ان‬
‫َأ‬
‫حب ِِه ْج َم ِعيْ َن‬ ْ ‫عل َى آلِ ِه َو َص‬ َ ‫الله َو َسل َّ َم‬
َ ‫عل َيْ ِه َو‬ ُ ‫ َصلَّى‬،‫عبْ ُد ُه َو َر ُس ْول ُُه‬ َ ‫ح ّ َم ًدا‬ َ ‫ُم‬

Ibadallah,

Dari tafisr ayat yang khotib sampaikan pada khotbah pertama, dapat kita petik pelajaran:

Pertama: Akhlak mulia dan kelemahlembutan sangat dibutuhkan oleh setiap Muslim terutama
dalam berdakwah agar manusia lebih tertarik untuk masuk dan mengikuti agama Islam.

Kedua: Akhlak yang buruk dan perbuatan yang kasar akan membuat umat menjauhi si
pelaku.

Ketiga: Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mempraktikkan sifat mulia ketika Beliau tidak
diberikan hak-haknya oleh sebagian Sahabat, yaitu dengan memaafkan mereka, bahkan
beliau juga memohonkan ampun kepada Allah Azza wa Jalla.

Keempat: Syariat Islam mengajarkan kita untuk selalu bermusyawarah untuk kemaslahatan
bersama, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
‫‪Kelima: Setelah seseorang berusaha dan mencari sebab-sebab untuk mendapatkan yang dia‬‬
‫‪inginkan, maka dia harus bertawakkal hanya kepada Allah Azza wa Jalla.‬‬

‫‪Demikianlah khotbah yang singkat ini dan mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allah‬‬
‫‪memberikan akhlak yang mulia kepada kita, sehingga kita bisa berlemah lembut kepada‬‬
‫‪orang lain dan bisa mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.‬‬

‫عل َى‬ ‫ون َ‬‫ال‪ِ ﴿ :‬إ ّ َن الل َّ َه َو َمل َاِئكَتَ ُـه يُ َصل ُّ َ‬ ‫الله ك ََما َأ َم َرك ُُم ُ‬
‫الله ِب َذلِ َك َفقَ َ‬ ‫عبْ ِد ِ‬
‫ح ّ َم ِد ابْ ِن َ‬
‫عل َى ُم َ‬
‫الله – َ‬‫عاك ُُم ُ‬ ‫َو َصل ُّ ْوا َو َسلِ ّ ُم ْوا – َر َ‬
‫عل ّ ََي‬‫عل َيْ ِه َو َسلِ ّ ُموا تَ ْسلِيما ً ﴾ [األحزاب‪ ، ]٥٦ :‬وقال صلى الله عليه وسلم ‪َ (( :‬م ْن َصلَّى َ‬ ‫آمنُوا َصلُّوا َ‬
‫ين َ‬ ‫النَّب ِ ِّي يَا َأيُّ َها ال َّ ِذ َ‬
‫ع ْش ًرا))‬‫عل َيْ ِه َ‬ ‫اح َد ًة َصلَّى الل َّ ُه َ‬ ‫‪َ .‬و ِ‬

‫ح ّ َم ٍد‬
‫عل َى ُم َ‬ ‫آل ِإ بْ َرا ِهيْ َم ِإ ن ّ ََك َح ِميْ ٌد َمجِ يْ ٌد‪َ ،‬وبَ ِار ْـك َ‬‫عل َى ِ‬ ‫عل َى ِإ بْ َرا ِهيْ َم َو َ‬‫ت َ‬ ‫ح ّ َم ٍد ك ََما َصل َيْ َ‬‫آل ُم َ‬‫عل َى ِ‬ ‫ح ّ َم ٍد َو َ‬ ‫اَلل َّ ُه ّمَ َص ّ ِل َ‬
‫عل َى ُم َ‬
‫اش ِديْ َن‬ ‫الر ِ‬
‫الخلَفَا ِء ّ َ‬
‫ع ِن ُ‬ ‫َ‬
‫آل ِإ بْ َرا ِهيْ َم ِإ ن ّ ََك َح ِميْدٌ َمجِ يْدٌ‪َ .‬و ْار َـضالل ّ ُه ّمَ َ‬ ‫عل َى ِ‬ ‫عل َى ِإ بْ َرا ِهيْ َم َو َ‬‫ْت َ‬ ‫ح ّ َم ٍد ك ََما بَ َارك َ‬
‫آل ُم َ‬‫عل َى ِ‬ ‫َو َ‬
‫ع ِن التَّاب ِِعيْ َـن َو َم ْن تَب َِع ُه ْم ِبِإ ْح َس ٍ‬‫حابَة ْج َم ِعيْ َن‪َ ،‬و َ‬‫َأ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫َأ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِئ‬‫َأ‬
‫ان‬ ‫الص َ‬‫ع ِن َّ‬ ‫عل ٍ ّي‪َ ،‬و ْار َض الل ّ ُه ّمَ َ‬‫ان َو َ‬
‫عث َْم َـ‬ ‫ع َم َر َو ُ‬ ‫اَل ْ َّم ـة َ‬
‫الم ْهديِيْ َن بِي بَك ٍْر َو ُ‬
‫ِ‬ ‫َأل‬ ‫َأ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫عن ّ َا َم َع ُه ْم ب َِمن ّ َك َوك ََرم َك َوِإ ْح َسان َـكيَا ك َْر َم ا ك َْرميْ َن‬ ‫الديْ َن‪َ ،‬و َ‬ ‫ِ‬
‫‪ِ.‬إ ل َى يَ ْو ِم ّ‬

‫العال َِميْ َن‪ .‬اَلل َّ ُه ّم ِ‬


‫آمن ّ َا‬ ‫ب َ‬ ‫اح ِم َح ْو َز َة ِ ّ‬
‫الديْ ِن يَا َر َّ‬ ‫اء ِ ّ‬
‫الديْ ِن َو ْ‬ ‫الم ْش ِر ِكيْ َن َو َد ِ ّم ْر َأ ْ‬
‫ع َد َ‬ ‫الش ْر َك َو ُ‬ ‫الم ْسلِ ِميْ َن َوَأ ِذ َّل ِ‬‫اَلل َّ ُهمَّ َأ ِع َّز اِإل ْسل َا َم َو ُ‬
‫العال َِميْ َن‪ .‬اَلل ُّه ّمَ َو ِّف ْق َولِ ّ َي‬
‫ب َ‬ ‫اج َع ْل ِول َايَتَنَاـ ِفيْ َم ْن َخاف ََك َواتَّقَا َك َواتَّبَ َع ِر َضا َك يَا َر َّ‬ ‫ُأ‬
‫ِفي َأ ْو َطا ِننَاـ َوَأ ْصلِ ْح َأِئ ّ َمتَنَاـ َو ُول َا َة ُم ْو ِرنَاـ َو ْ‬
‫الم ْسلِ ِميْ َن‬ ‫َال َو اِإل ك َْرا ِم‪ .‬اَلل َّ ُه ّمَ َو ِّفق َج ِميْ َع ُول َا ِة َأ ْم ِر ُ‬
‫اع ِت َك يَا ذَا ال َْجل ِ‬ ‫عل َى َط َ‬ ‫ع َمل َُه ِفي ِر َضا َك َوَأ ِعن ْ ُـه َ‬ ‫اج َع ْل َ‬ ‫َأ ْم ِرنَا لِ ُه َدا َك َو ْ‬
‫ع َم ٍل َر ِشيْ ٍد‬ ‫‪ِ .‬لك ّ ُِل ق َْو ٍل َس ِديْ ٍد َو َ‬

‫اه ِدنَاـ‬‫َات بَيْ ِننَا‪َ ،‬وَأ ِل ّ ْف بَيْ َن ُقل ُْو ِبنَا‪َ ،‬و ْ‬ ‫َاها‪ .‬اَلل َّ ُه ّمَ َأ ْصلِ ْح ذ َ‬ ‫اها َأن ْ َ‬
‫ت َولِيُّ َها َو َم ْول َ‬ ‫ت َخيْ َر َم ْن َزك ّ َ َ‬ ‫اها‪َ ،‬ز ِك ّ َها َأن ْ َ‬
‫آت ن ُ ُف ْو َسنَا تَ ْق َو َ‬ ‫اَلل َّ ُهمَّ ِ‬
‫اعنَا َوَأبْ َص ِارنَاـ َوَأ ْز َواجِ نَا َوذ ِ ُّريَّا ِتنَا َوَأ ْم َوالِنَا َوَأ ْوقَا ِتنَا‬
‫ُور‪َ ،‬وبَ ِار ْـك لَنَا ِفي َأ ْس َم ِ‬ ‫ات ِإ ل َى الن ّ ِ‬ ‫السل َا ِم‪َ ،‬وَأ ْخ ِر ْجنَاـ ِم َن ُّ‬
‫الظل َُم ِ‬ ‫ُسبُ َل ّ َ‬
‫اج َعلْنَا ُمبَ َار ِكيْ َـن َأيْن َ َما كُن ّ َا‬ ‫‪.‬و ْ‬‫َ‬

‫ع َملَنَا ِفي ِر َضاكَ‪َ ،‬و َو ِّفقْنَاـ‬ ‫اج َع ْل َ‬


‫ُنثوبَنَا َو ْ‬ ‫غ ِف ْر لَنَا ذ ْ‬ ‫عيْ ٍن‪ ،‬اَلل َّ ُه ّمَ ا ْ‬ ‫اَلل َّ ُه ّمَ َوَأ ْصلِ ْح لَنَا َشْأنَنَا كُل َّ ُه َول َا تَ ِكلْنَا ِإ ل َى َأنْفُ ِسنَاـ َط ْر َف َة َ‬
‫غ ِف ْـر لَنَا‬ ‫اس ِريْ َن‪ ،‬اَلل َّ ُه ّمَ ا ْ‬
‫خ ِ‬ ‫وإن ل َْم تَ ْغ ِف ْر لَنَا َوتَ ْر َح ْمنَا لَنَك ُْون َ َّـن ِم َن ال َ‬‫َال َواِإل ك َْرا ِم‪َ ،‬ربَّنَا ِإ نَّاـ َظل َْمنَا َأنفُ َسنَا ْـ‬ ‫اع ِت َك يَا ذَا ال َْجل ِ‬ ‫لِ َط َ‬
‫اآلخ َر ِة‬
‫ِ‬ ‫الدنْيَا َح َسن َ ًة َو ِفي‬‫ات‪َ .‬ربَّنَا آ ِتنَا ِفي ُّ‬ ‫اتاَلَْأ ْحيَا ِء ِمن ْ ُه ْم َوالَْأ ْم َو ِ‬‫المْؤ ِمن َ ِـ‬
‫المْؤ ِم ِنيْ َـن َو ُ‬
‫ات َو ُ‬ ‫الم ْسلِ َم َـ‬
‫َولِ َوالِ َديْنَا َولِل ُْم ْسلِ ِميْ َن َو ُ‬
‫اب الن ّ َِار‬ ‫ع َذ َ‬ ‫‪َ .‬ح َسن َ ًة َو ِقنَا َ‬

‫عل َى ِن َع ِم ِه يَ ِز ْدك ُْم‬


‫اشك ُُر ْو ُه َ‬ ‫اد ِ‬
‫الله‪ :‬ا ُ ْذك ُُر ْوا َ‬
‫الله يَ ْذك ُْرك ُْم‪َ ،‬و ْ‬ ‫‪َ ‬ول َ ِذك ُْر الل َّ ِه َأك ْبَ ُر َوالل َّ ُه يَ ْعل َُم َما تَ ْصن َ ُع َ‬
‫ون ‪ِ ، ‬عبَ َ‬

‫‪(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Said Yai bin Imanul Huda di majalah As-Sunnah Edisi‬‬
‫‪02/Tahun XIX/1436H/2015).‬‬
‫‪CERAMAH‬‬
‫‪Pemaknaan Hadis Fitnah Kubur dan Pertanyaan Malaikat‬‬

‫‪Akhir Pekan, Aqidah Akhlak‬‬


‫‪Advertisement‬‬
‫‪Fitnah Kubur dan Pertanyaan Malaikat‬‬
‫]‪Sunan al-Tirmidzi, hadis no. 991 (Hadis berkualitas hasan)[1‬‬
‫ع ْن َس ِعي ِد بْ ِن َأبِي‬ ‫ح َق َ‬‫الر ْح َم ِن بْ ِن ِإ ْس َ‬ ‫عبْ ِد ّ َ‬ ‫ع ْن َ‬ ‫حيَى بْ ُن َخل ٍَف ال ْبَ ْص ِر ُّي َح َّدثَنَا ب ِْش ُر بْ ُن ال ُْمفَ َّض ِل َ‬ ‫َح َّدثَنَا َأبُو َسل ََم َة يَ ْ‬
‫َان‬‫اه َملَك ِ‬ ‫َال َأ َح ُدك ُْم َأتَ ُ‬ ‫ِت َأ ْو ق َ‬‫عل َيْ ِه َو َسل َّ َم ِإ ذَا ُقب َِر ال َْميّ ُ‬‫ول الل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه َ‬ ‫َال َر ُس ُ‬ ‫َال ق َ‬ ‫ع ْن َأبِي ُه َريْ َر َة ق َ‬ ‫َس ِعي ٍد ال َْم ْقبُ ِر ِ ّي َ‬
‫َان يُ َق ُ َأ‬ ‫ان َأ ْز َرق ِـ‬‫َأ ْس َو َد ِ‬
‫عبْ ُد‬ ‫ول ُه َو َ‬ ‫َان يَ ُق ُ‬‫ول َما ك َ‬ ‫الر ُج ِل فَيَ ُق ُ‬‫ول ِفي َه َذا ّ َ‬ ‫ت تَ ُق ُ‬ ‫َان َما كُن ْ َ‬‫ير فَيَ ُقول ِ‬ ‫ال ِل َح ِد ِه َما ال ُْمنْك َُر َوال ْآ َخ ُر الن ّ َ ِك ُ‬
‫ول َه َذا ث ُّمَ يُ ْف َس ُـح ل َُه ِفي قَبْ ِر ِه‬ ‫َان ق َْد كُن ّ َا ن َ ْعل َُم َأن ّ ََك َتقُ ُ‬
‫عبْ ُد ُه َو َر ُسول ُُه فَيَقُول ِ‬ ‫ح ّ َم ًدا َ‬ ‫الل َّ ِه َو َر ُسول ُُه َأ ْش َه ُد َأ ْن ل َا ِإ ل ََه ِإ لَّا الل َّ ُه َوَأ ّ َن ُم َ‬
‫وس‬ ‫َان ن َ ْم كَن َ ْو َم ِة ال َْع ُر ِ‬ ‫ُأ‬ ‫َأ‬
‫ول ْرجِ ُع ِإ ل َى ْهلِي َف ْخب ُِر ُه ْم فَيَقُول ِ‬ ‫َأ‬ ‫ال ل َُه ن َ ْم فَيَقُ ُ‬‫يه ث ُّمَ يُقَ ُ‬‫ين ث ُّمَ يُن َ َّو ُر ل َُه ِف ِ‬‫عاـ ِفي َسبْ ِع َ‬ ‫ون ِذ َرا ً‬ ‫َسبْ ُع َ‬
‫ْت‬ ‫ُون َفقُل ُ‬ ‫َاس يَقُول َ‬ ‫َال َس ِم ْع ُ‬ ‫َان ُمنَا ِفقًا ق َ‬ ‫ج ِع ِه َذلِ َك َوِإ ْن ك َ‬ ‫ب ْهلِ ِه ِإ ل َيْ ِه َحتَّى يَبْ َعث َُه الل َّ ُه ِم ْن َم ْض َ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫ال َّ ِذي ل َا يُو ِق ُظ ُه ِإ لَّا َح ُّ‬
‫ت الن ّ َ‬
‫ال‬‫ع ُه َفل َا يَ َز ُ‬ ‫َأ‬
‫يها ْضل َا ُ‬ ‫ختَلِ ُف ِف َ‬ ‫عل َيْ ِه َفتَ ْ‬‫عل َيْ ِه َفتَلْتَِئ ُم َ‬ ‫ِ‬ ‫َأ‬
‫ال ِلل ْ ْرض الْتَِئ ِمي َ‬ ‫ول َذلِ َك فَيُقَ ُ‬ ‫َأ‬
‫َان ق َْد كُن ّ َا ن َ ْعل َُم ن ّ ََك تَقُ ُ‬ ‫ِمثْل َُه ل َا َأ ْد ِري فَيَقُول ِ‬
‫ب َوَأبِي‬ٍ ‫ع ِاز‬َ ‫اس َوال ْبَ َرا ِـء بْ ِن‬ ٍ َّ‫عب‬
َ ‫ِت َوابْ ِـن‬ٍ ‫علِ ٍ ّي َو َزيْ ِد بْ ِن ثَاب‬
َ ‫ع ْن‬ َ ‫ج ِع ِه َذلِ َك َو ِفي ال ْبَاب‬ َ ‫يها ُم َع َّذبًا َحتَّى يَبْ َعث َُه الل َّ ُه ِم ْن َم ْض‬َ ‫ِف‬
‫اب ال ْ َقبْ ِر ق َ َأ‬ َ ‫عل َيْ ِه َو َسل َّ َم ِفي‬ َ ‫عاِئ َش َة َوَأبِي َس ِعي ٍد كُل ُّ ُه ْم َر َو ْواـ‬
َ ‫ع ْن النَّب ِ ِّي َصلَّى الل َّ ُه‬ َ ‫وب َوَأن َ ٍس َو َجاب ٍـِر َو‬ ‫َأ‬
‫يسى‬َ ‫َال بُو ِع‬ ِ ‫ع َذ‬ َ ُّ ‫ي‬
‫يب‬
ٌ ‫غ ِر‬ َ ‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫يث َأبِي ُه َريْ َر َة َح ِد‬ ُ ‫َح ِد‬

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: “Bersabda Nabi SAW: Apabila meninggal seorang
hamba maka datanglah dua orang malaikat, salah satunya bernama Munkar, dan yang lainnya
bernama Nakir. Kedua malaikat itu bertanya: Apa yang dapat engkau katakan mengenai
Muhammad SAW? Apabila yang ditanya adalah orang mu’min, ia akan menjawab: Beliau
adalah hamba dan rasul Allah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan
Muhammad adalah rasul-Nya. Malaikat tersebut berkata: Sekarang kami telah mengerti akan
apa yang engkau katakan. Setelah itu, dilapangkanlah kuburnya seluas tujuh puluh hasta dan
diterangi dengan nur. Dikatakan kepadanya: Sekarang tidurlah engkau. Mayat tersebut
memohon: Doakanlah agar aku dapat kembali pada keluargaku untuk mengabarkan
kesenangan ini. Sang malaikat menjawab: Tidurlah! Maka tidurlah ia laksana tidurnya para
pengantin, tak pernah bangun kecuali jika ia ingin menemui keluarganya. Demikian yang
berlangsung hingga hari kebangkitan. Adapun orang munafik, jika ia ditanya demikian ia
menjawab: Aku tak tahu. Aku hanya mendengar orang lain mengatakan sesuatu tentang dia
(Muhammad), lantas aku katakan pula apa yang orang katakan tentangnya itu. Malaikat
berkata: Sekarang kami telah mengerti akan apa yang kamu katakan. Setelah itu sang
malaikat berujar pada bumi: Jepitlah manusia ini olehmu! Lantas dijepitnya hingga
berserakan tulang rusuknya. Dan ia senantiasa diazab, disiksa sampai ia dibangkitkan dari
kuburnya nanti di hari akhir.”

Dalam riwayat lain dari Abu Qatadah, diceriterakan bahwa: sesungguhnya jika seorang
mu’min meninggal, dia akan didudukkan di dalam kuburnya, lalu ditanyakan padanya: Siapa
Tuhanmu?” “Allah”, jawabnya. Ditanyakan lagi,” Siapa Nabimu?” “Muhammad ibn
‘Abdillah”, sahutnya. Hal itu ditanyakan padanya sebanyak tiga kali. Kemudian dibukakan
baginya pintu menuju neraka dan dikatakan padanya,” Lihatlah ke tempat tinggalmu jikalau
saja engkau menyimpang dari kehendak-Nya.” Setelah itu, dibukakan pintu surga dan
dikatakan kepadanya,” Lihatlah tempat tinggalmu di surga, karena engkau teguh meyakini-
Nya.”
Jika seorang kafir meninggal, dia akan didudukkan di dalam kuburnya, kemudian ditanyakan
kepadanya,” Siapakah Tuhanmu? Siapakah Nabimu?” “Aku tidak tahu... Aku memang
pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu,” jawabnya. Lalu dikatakan padanya,”
Kamu memang benar-benar tidak tahu!” Setelah itu, dibukakan pintu surga dan dikatakan,
”Lihat ke tempat tinggalmu itu seandainya kamu benar-benar teguh beriman.” Lalu
dibukakan baginya pintu neraka dan dikatakan, ”Lihat ke tempatmu karena kamu
menyimpang”.[2] (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, Al-Thabrani dan Ibn Mundah)
Pemaknaan Hadis Fitnah Kubur dan Pertanyaan Malaikat 2
Dalam riwayat lain yang sedikit berbeda, yakni yang diungkapkan oleh Al-‘Ajiri dalam Al-
Syari’ah, diriwayatkan dari Ibn Mas’ud: Jika seorang hamba telah meninggal dan diletakkan
dalam kubur, Allah mengutus kepadanya dua malaikat untuk menghardik dan bertanya,
“Siapa Tuhanmu?” “Allah Tuhanku”, jawabnya. “Apa agamamu?” tanyanya lagi. Jawabnya,
“Islam agamaku”. “Lalu, siapa Nabimu?”. Dia menjawab,” Muhammad Nabiku”. Kemudian
keduanya mengatakan, “Engkau benar. Berikanlah kepadanya tempat tidur dari surga,
pakaian dari surga, dan perlihatkan tempatnya di surga.”
Adapun jika orang kafir yang meninggal, ia akan dipukul dengan pukulan yang bisa membuat
kuburannya menyala. Malaikat juga menyempitkan kuburnya hingga tulang rusuknya
tercerai-berai dan berserakan, dan dibangkitkan untuknya ular-ular kuburan.[3]
Dari tiga cuplikan hadis di atas mengenai pertanyaan malaikat pada si mayit di dalam
kuburnya, kita sadari bahwa “proses” tanya-jawab antara manusia dengan malaikat tidaklah
sama satu dengan lainnya. Tiap-tiap riwayat menampakkan perbedaan dalam menyebutkan
cara pengajuan pertanyaan dan pemberian jawaban, meskimemang tidak terlalu berbeda jauh.
Selain itu, dalam riwayat lain (tidak saya sebutkan dalam makalah ini) dikisahkan bahwa
hanya ada satu sosok malaikat yang menanyai si mayit. Hal ini bukan berarti hadis-hadis
tersebut saling bertentangan, akan tetapi karena perbedaan “perlakuan” pada tiap-tiap orang
saja. Kemungkinan, orang yang didatangi oleh satu malaikat atau hanya diberikan pertanyaan
yang lebih ringan dan sedikit, merupakan suatu keringanan baginya, karena amal shalih yang
dikerjakannya. Atau, kemunhgkinan kedua, bisa saja salah satu dari riwayat tersebut
merupakan ringkasan dari riwayat lainnya, sehingga tidak mencantumkan keseluruhan kisah.
Akan tetapi, memang masuk di akal jikalau Allah memberikan perlakuan yang berbeda-beda
pada setiap orang, karena semua tergantung amalan-amalan yang telah diperbuatnya di dunia
dahulu.
Fenomena Siksa Kubur: Nyatakah?
‫ع ْن‬ َ ‫اد َة‬
َ َ‫ع ْن َقت‬ َ ٌ‫يد بْ ُن ُز َريْ ٍع َح َّدثَنَا َس ِعيد‬ ُ ‫َال ِلي َخلِيفَ ُة َح َّدثَنَا يَ ِز‬ َ ‫َال َوق‬ َ ‫عل َى َح َّدثَنَا َس ِعيدٌ ق‬ ْ ‫عبْ ُد الَْأ‬َ ‫اش َح َّدثَنَا‬ ٌ َ ّ‫عي‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬
‫حابُ ُـه َحتَّى ِإ ن ّ ُـَه‬ ‫ص‬ ‫َأ‬ ‫ب‬ ‫َه‬‫ذ‬ ‫و‬ ‫ي‬ ِ ‫ل‬ ‫و‬‫ت‬ ‫و‬ ‫ه‬ِ ‫ر‬‫َب‬
‫ق‬ ‫ي‬ ِ
‫ف‬ ‫ع‬ ‫ض‬ِ ‫و‬ ‫َا‬
‫ذ‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ْع‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫َال‬
َ ‫ق‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ِ
‫ه‬ ‫َي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ِي‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ه‬‫ن‬ ‫ع‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ِ ‫َأ‬
َ ْ َ َ َ َ ُُ َ ِْ ّ َ ُ ‫َ ْ ُ ِإ‬ ّ
َ َ َ ْ َ ُ ّ ّ َ
َ ِّ ّ ْ َ ُ ْ َ ُ ّ َ ‫ن َ ٍس َر‬
‫ض‬
‫ول‬ ُ ‫عل َيْ ِه َو َسل َّ َم فَيَ ُق‬َ ‫ح ّ َم ٍد َصلَّى الل َّ ُه‬ َ ‫الر ُج ِل ُم‬ َ ّ ‫ول ِفي َه َذا‬ ُ ‫ت َت ُق‬ َ ْ ‫َان ل َُه َما كُن‬ ِ ‫اه فَيَ ُقول‬ُ ‫َان َفَأق َْع َد‬ ِ ‫اه َملَك‬ ُ َ‫ل َيَ ْس َم ُع ق َْر َع ِن َعالِ ِه ْم َأت‬
‫عل َيْ ِه‬ َ ‫َال النَّب ُِّي َصلَّى الل َّ ُه‬ َ ‫ال ان ْ ُظ ْر ِإ ل َى َمقْ َع ِد َك ِم ْن الن ّ َِار َأبْ َدل ََك الل َّ ُه ب ِِه َمقْ َع ًدا ِم ْن ال َْجن ّ َ ِة ق‬ ُ َ‫عبْ ُد الل َّ ِه َو َر ُسول ُُه فَيُق‬ َ ‫َأ ْش َه ُد َأن ّ ُـَه‬
َ‫ت ث ُّم‬ َ ْ‫ت َول َا تَل َي‬ َ ْ‫ال ل َا َد َري‬ ُ َ‫َاس فَيُق‬ ُ ُ‫ُول َما يَق‬ ُ ‫ت ق‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ ْ ‫ول ل َا ْد ِري كُن‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ ُ‫يعا َو َّما الْك َا ِف ُر ْو ال ُْمنَا ِف ُق فَيَق‬ ً ‫اه َما َج ِم‬ ُ ‫َو َسل َّ َم فَيَ َر‬
ُ ّ ‫ول الن‬
َ
‫يه ِإ ل ّا الثَّقَل َيْ ِن‬ ِ ِ‫ح ًة يَ ْس َم ُع َها َم ْن يَل‬ َ ْ‫يح َصي‬ ‫ُأ‬
ُ ‫ب ب ِِم ْط َر َق ٍة ِم ْن َح ِدي ٍد َض ْربَ ًة بَيْ َن ُذنَيْ ِه فَيَ ِص‬ ُ ‫يُ ْض َر‬
Diriwayatkan dari Anas r.a.: “Bersabda Nabi SAW: Apabila manusia telah dibaringkan
dalam kuburnya, dan sahabat (yang mengantarkan) telah pulang, sampai ia mendengar derap
sepatu mereka, maka datanglah dua orang malaikat menemuinya. Kedua malaikat itu
mendudukkannya, lalu bertanya kepadanya: Apa yang dapat engkau katakan mengenai
Muhammad SAW? maka adapun orang mu’min akan menjawab: Saya bersaksi bahwa Beliau
adalah hamba dan rasul Allah. Maka dikatakanlah kepadanya: Lihatlah tempat tinggalmu dari
neraka, sesungguhnya Allah telah menggantinya untukmu dengan surga. Maka ia
diperlihatkan pada keduanya. Setelah itu, dilapangkanlah kuburnya seluas tujuh puluh hasta
dan penuh berisi tanaman segar sampai hari ia dibangkitkan. Adapun orang munafik, jika ia
ditanya demikian ia menjawab: Aku sama sekali tak tahu. Aku hanya mengatakan sesuatu
yang diucapkan orang mengenai dirinya. Malaikat berkata: Engkau tidak tahu! Engkau tidak
membaca! Kemudian dipukulkanlah martil yang rebuat dari besi dengan pukulan yang
menimpa antara kedua telinganya. Ia pun berteriak dengan teriakan yang didengar oleh orang
yang mengiringinya tanpa membebaninya, dan disempitkan kuburnya sampai beradu tulang-
tulang rusuknya.”
Mengenai latar belakang munculnya hadis di atas, dikisahkan dalam Sunan Abu Daud bahwa
Rasulullah SAW suatu ketika pernah memasuki kebun kurma kepunyaan Bani Najar. Tiba-
tiba beliau mendengar suara yang mengagetkan, sehingga beliau bertanya pada orang-orang
yang mengiringinya, “Siapa saja orang yang dikubur disini?” mereka menjawab,”Wahai
Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang dikubur pada masa jahiliyah.” Beliau bersabda:
Kita memohon perlindungan Allah dari siksa kubur dan dari fitnah dajjal.” Mereka
bertanya,”Mengapa demikian Ya Rasulullah?” Beliau menjawab seperti bunyi hadis yang
menerangkan adanya siksa dan nikmat kubur di atas.[4]
Meski kita tidak dapat mengetahui kejadian di alam kubur, telah jelas dipaparkan dalam hadis
di atas, bahwa setelah manusia meninggal dan disemayamkan dalam kubur, ia akan didatangi
oleh malaikat yang akan mengajukan beberapa pertanyaan. Jikalau ia mu’min lagi shalih,
niscaya ia akan mudah menjawab dan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan di alam
kubur kelak. Sebaliknya, jika ia kafir atau zalim, maka ia akan kesulitan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan kelak akan menerima siksa yang teramat pedih.
Perlu dicatat, hadis terkait siksa kubur di atas, rawi-rawi yang meriwayatkannya, meski tidak
mencapai tingkatan shahih, mereka masih patut menyandang predikat hasan.
Kemuttashilannya pada Rasulullah SAW juga tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka, “siksa
kubur” merupakan suatu fenomena yang memiliki landasan yang kuat dari hadis Nabi. Meski
begitu, masih terdapat orang-orang dari kelompok Materialisme (Naturalisme) juga
Mu’tazilah yang menilai hadis tersebut musykil dari sisi logika serta nalar manusia. Menurut
mereka, orang yang telah mati tak ubahnya seperti bangkai lain, tenang, tak bergerak, serta
tidak memiliki rasa dan perasaan. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang seperti itu dapat
menerima atau bahkan merasakan siksaan? Bagaimana mungkin ia dan bertanya-jawab atau
duduk bersama malaikat? Mengapa agama Islam, sebagai agama akal, dapat bertentangan
dengan akal, dunia nyata, dan intuisi?
Dalam diskursus pemikiran kelompok Naturalis, kematian dipandang sebagai proses
perjalanan akhir dari kehidupan. Dengan menggunakan rasio dan indera manusia sebagai
tolok ukurnya, kematian merupakan wujud dari yang tak berwujud (being of nothingness)[5],
artinya wujud mati merupakan hakikat yang sebenarnya dari ketidakwujudan atau ketiadaan.
Karenanya, “mati” bersifat tidak eksis, hampa, kosong, dan semacamnya, sedang “hidup”
bersifat eksis, ada, dan dapat dirasakan. Eksistensi manusia dan dirasakan karena adanya jiwa
dan raga dalam diri manusia yang memiliki potensi “merasakan” kehidupan. Hal ini tak dapat
dijumpai jika jiwa dan raga manusia yang sebenarnya sudah tidak ada karena ia sudah mati,
tak eksis. Maka, bertolak dari pemikiran semacam ini, kelompok Naturalis menolak paham
“hidup setelah mati”, karena proses peralihan dari “ada” menuju “tidak ada”, dari “eksis”
menuju “non-eksis”.
Mencoba menanggapi hal di atas, sebenarnya matinya manusia tidak menjadi penghalang
baginya untuk mendapatkan siksa, kenikmatan, kesengsaraan ataupun kebahagiaan. Meski
hal tersebut tidak dapat disaksikan oleh indera dan tidak dapat diterima oleh nalar manusia,
bukan lantas menjadikan hal tersebut sesuatu yang tidak ada. Sebagai contoh, ruh. Jika
manusia tidak dapat melihat ruh, bukan berarti ia tidak ada dalam kenyataan. Maka, jika
manusia tidak dapat melihat siksa ataupun nikmat kubur, bukan berarti itu tidak ada. Atau,
kita dapat membayangkan bahwa orang yang mati layaknya orang yang sedang tidur, yang
dalam tidurnya ia dapat mengalami berbagai macam hal, sebagaimana orang yang sadar. Jika
kita lihat, orang yang sedang tidur itu terlihat tenang, tak bergerak, tak terusik, tak melakukan
apapun, tetap membujur kaku. Maka orang matipun dapat kita analogikan seperti itu. Di alam
barzakh, ia akan mengalami hal yang seperti itu, maksudnya meski jasadnya tak tergerak,
ruhnya masih tetap dapat merasakan nikmat, siksaan, bahagia, sengsara, maupun kejadian
lainnya.
Kalangan Ahlussunnah memiliki pandangan sendiri. Menurut mereka, siksa kubur dilakukan
terhadap jasad itu sendiri setelah ruhnya dikembalikan lagi oleh Allah ke jasadnya, dengan
kemahakuasaan-Nya, sekalipun jenazahnya sudah hangus atau habis dimakan oleh ulat dan
cacing.[6]
Lain halnya dengan argumen yang digunakan Bediuzzaman Said Nursi untuk menanggapi
pandangan kaum Naturalis tersebut. Sederhananya, ia berpendapat bahwa kematian adalah
peralihan dari eksistensi dunia hidup (‘alam al-dunya) menuju eksistensi dunia lain (‘alam al-
barzakh),[7] yang keduanya diciptakan Allah. Karena dunia tersebut (barzakh) merupakan
sesuatu yang eksis, ada, maka eksistensi kematianpun akan terus berlanjut menuju proses
perjalanan akhir kehidupan, yakni akhirat, melalui hari kebangkitan (kiamat).
Catatan kaki
[1] Hadis ini hanya ditakhrij oleh Tirmidzi, maka hadis ini menyendiri dalam
periwayatannya.
[2] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ziarah ke Alam Barzakh, terj. Muhammad Abdul Ghoffar
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hlm. 187.
[3] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ziarah ke Alam Barzakh, hlm. 181.
[4] Ibn Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Al-Damsyiqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul jilid II, hlm. 1-2.
[5] Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 105.
[6] Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 108.
[7] Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 107.

Anda mungkin juga menyukai