Ibadallah,
manakala mulai mengeyam kehidupan yang mapan dan kemudahan ekonomi. Seolah-olah
kekayaan kurang berarti banyak bila pemiliknya tidak mempergunakannya untuk keperluan
yang lebih besar dan kemewahan. Misalnya dengan banyak memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang kurang penting baginya. Begitulah keadaan seseorang, ia lebih mudah beradaptasi
berfoya-foya saat berada dalam kondisi berada, menghindari gaya kesederhanaan dan
keseimbangan.
ِر َر اَر ِر ْو ٌُر َر ِّر ُر ِر َر َر ٍر َر ٌَر َر ُرا ۚ ِر ُهَّللا ُر ِر ِر َر ِرا ِر َر ِرٍ ٌرل َر ِر ٍ ٌرل َر اَر ْو َر َر َر ُهَّللا ُر الِّر ْو َر اِر ِر َر ِرا ِر اَر َر َر ْو ِرً ْواَر ْو
Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan
Mahamelihat. (asy-Syura/42:27).
Ali bin Tsabit rahimahullah berkata:
ْو ا َر ْوــــــ ُرـ َرــُر ُر ْو ِرا ْو َر اُر َر ْوا َر َر ـــُر َر ْوا َر ُر َرــُر ُر اـُهَّللاــ ْو ِر ْوٌ ُرل َر ا ُهَّللاـــْوـُر
“Kelemahan akal itu bangga diri dan emosi dan penyakit harta itu pemborosan dan
perampokan”.
Secara global, Alquran telah menjelaskan cara pengelolaan ekonomi dengan segala
penjabarannya, yang intinya mencakup dua hal. Inilah yang dimaksud dengan “ushul
iqtishad”, yaitu husnun nazhari fiktisabil mal (kecakapan mencari materi) dan husnun nazhar
tepat). Lihatlah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta‟ala membuka jalan bagi perolehan
ma’isyah melalui cara-cara yang tetap menjaga muru`ah dan agama (pekerjaan yang halal).
ُهَّللا َر َر ِرٍ ًرل اَر َر ُهَّللا ُر ْو ُر ْو ِر ُر وَر ِر ْو َر ْو ِرـ ُهَّللا ِر َر ْوا ُر ُرل ِر َر ْوـَر ُر ِرً ْواَر ْو َر ِر َرا ُر ِر ٍَر ِر ا ُهَّللا َر ُر َر ْوـَر ِر ُرل
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-
Jumu‟ah/62:10).
Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memerintahkan agar manusia bersikap
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra`/17:29)
ٍـ ُهَّللا ِر ۚ َر َر ٍُر ْو ِر ُر َرـَر ثُر ُهَّللا َر ُر ُرو َر َر ْوٍ ِرـ ْو َرح َرْول ًر ثُر ُهَّللا ٌُر ْو َر ُر وَر ۗ َر اُهَّللا ِر ٌ َر
َر ْو َرس ِر ِر ُّ ِر ُهَّللاو اُهَّللا ِر ٌ َر َر َر ُرل ٌُر ْو ِر ُر وَر أَر ْو َر اَرـُر ْو اِرٍَر ُر
َر َر ُرل ِراَرى َر ـَر ُهَّللا َر ٌُر ْو َر ُرل وَر
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
(orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan
bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang
Ibadallah,
Agar tercipta mentalitas yang baik berhubungan dengan gaya hidup itu,
yang artinya: “Makanlah, bersedekahlah, dan pakailah dalam keadaan tanpa menghamburkan
uang dan kesombongan”. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memperingatkan bahwa hidup
menyeret manusia kepada pemborosan. Ini juga dapat menunjukkan manusia tersebut tidak
memberikan apresiasi yang semestinya terhadap harta yang merupakan nikmat Allah,
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jauhilah gaya hidup
mewahan”.Secara khusus, sifat ini juga menjadi kriteria menonjol pada diri ibadur-rahman.
Yakni para hamba Allah yang sebenarnya. Allah berfirman tentang mereka:
َر َر وَر َر ْوٍ َر َرااِركَر َر َر ًر َر اَر ْو ٌَر ْوـُر ُرل َر اُهَّللا ِر ٌ َر ِر َرا أَر ْو َر ُر اَر ْو ٌُر ِر
ْول ُر
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
(al-Furqan/25:67).
Juga bukan orang-orang yang bakhil kepada keluarganya, sehingga kebutuhan bagi
keluarganya pun terpenuhi dan tidak kekurangan. Mereka membelanjakan hartanya secara
adil. Dan sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah, tidak berlebihan ataupun tidak kikir.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah, Larangan kepada manusia agar tidak melakukan
pemborosan dan penghamburan atas uang dan harta yang dimilikinya, pasti mengandung
manfaat. Dan manusia pun sebenarnya sanggup mengetahui hikmah di balik larangan
tersebut.
Di antara hikmahnya, ialah untuk menjaga kekayaan itu sendiri. Bahwa pada hari
Kiamat kelak, sumber pendapat harta itu dipertanyakan, dan demikain pula dengan
pembelanjaannya. Pembelanjaan harta atau uang pada perkara tidak dibutuhkan, sungguh
sangat bertentangan dengan salah satu tujuan syariat Islam, yaitu hifzhul-mal (menjaga harta
benda). Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta‟ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat
Sahabat mulia, yakni Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu „anhu telah mendefinisikan
perkara-perkara yang tidak dibenarkan. Maka, cukuplah untuk menjadi bahan perenungan,
bahwa Allah membenci pemborosan. Sisi lain, uang diperlukan setiap orang untuk memenuhi
hajat hidupnya. Dengan uang, seseorang dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya.
Begitu pula dengan harta, selain sebagai penopang hidup, juga berfungsi sebagai pemelihara
ِر ْو أَرحْو َر ِر َر ٌَر ْو ـَر ِر ْو ُر ِر ِر ْوا َر لْو أُر َر َرى ِر َر َر ِرة ُر ُرل ْو َرا ِر ِر ْوا َر ُر ا ُهَّللا ا ُرل َر
Termasuk hal terpenting untuk membantu seseorang menegakkan kehormatan dirinya
ialah harta yang baik. Dengan modal uang di genggaman, seseorang sudah bisa menjaga
agama, kehormatan dan kemuliaan dirinya. Ia tidak perlu menghinakan wajahnya dengan
tidak menutup kemungkinan mencuri maupun korupsi, dan perbuatan lain yang tidak
dibenarkan syariat. Karena semua perbuatan itu sangat jelas dilarang agama. Bahkan, dengan
uang di tangan, seseorang tidak perlu gali lubang dengan berhutang. Meskipun berhutang
termasuk muamalah yang jaiz (boleh), akan tetapi sedikit atau banyak akan membekaskan
tekanan tersendiri.
Hidup berjalan ibarat roda. Kadang berada di atas menangguk berbagai kenikmatan.
Namun siapa sangka, tiba-tiba berada di bawah, hidup penuh dengan kesulitan. Sehingga
tidak ada pihak lain yang bersalah kecuali dirinya sendiri. Kenyataan pahit lagi menghinakan
ini bisa saja melanda perekonomian rumah tangga seseorang yang mungkin sebelumnya
berlimpah harta. Kemudian, lantaran kesalahan dalam mengatur keuangan atau karena
income masih pas-pasan, sehingga mengakibatkan dirinya masuk dalam kubangan krisis
moneter yang tidak mengetahui waktu berakhirnya. Oleh karena itu, syariat Islam memberi
memperhatikan bahaya ini, maka seseorang bisa tetap memiliki neraca yang tetap aman, tidak
akan menyebabkan orang meminta-minta apa yang dimiliki orang lain. Sedangkan pada
penghasilan diri seseorang yang biasa ia terima. Sehingga dapat berpotensi menimbulkan
menelantarkan diri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Begitu pula jika sebuah
negara menempuh kebijakan ini, akan mengakibatkan anggarannya membengkak dan tidak
memiliki kekuatan untuk menangani urusan-urusan yang menjadi beban pemerintahan negara
tersebut”. Demikian keberadaan negara-negara yang menjalankan roda pemerintahan dengan
kemewahan, pada akhirnya akan menapaki jalan keruntuhannya, tidak mampu bertahan
Adapun ditinjau dari aspek manfaat, perintah untuk tidak bergaya hidup berfoya-foya,
memiliki pengaruh positif yang kembali kepada diri orang tersebut. Dia akan lebih mudah
menyenangkan dan kadang harus hidup penuh keprihatinan. Dan seandainya keadaan
ekonomi keluarga ditakdirkan mengalami kesulitan, maka setidaknya seseorang itu tidak
terlampau kaget dengan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba. Syaikh al-
Utsaimin rahimahullah berkata: “Orang yang terbiasa hidup dalam kemewahan, akan
merasakan sulit menghadapi berbagai keadaan. Sebab, tidak menutup kemungkinan datang
dalam kenyamanan”.
yang tidak pernah berjalan tanpa alas kaki sama sekali. Orang ini selalu menggunakan sandal
atau sepatu. Jika suatu saat, ia berhadapan dengan sebuah kondisi yang mengharuskannya
berjalan tanpa alas kaki meski hanya 500 meter saja, tentunya ia akan mengalami kesulitan
yang berat. Bahkan mungkin saja kakinya menjadi terluka karena harus bergesekan dengan
tanah. Akan tetapi, bila ia telah membiasakan diri dengan cara-cara hidup yang agak kurang
nyaman, jauh dari fasilitas, ia akan memperoleh kebaikan yang banyak. Selain itu, tubuh
yang tidak terbiasa dengan itu, tidak mempunyai ketahanan (imuniatas). Akibatnya mudah
Nilai positif lain dari cara hidup sederhana, dapat mendorong seseorang menjadi
pribadi yang pandai bersyukur dan toleran, menghargai nikmat-nikmat Allah sekecil apapun.
Karena masih banyak orang yang berada di bawahnya secara ekonomi. Dengan itu,