Anda di halaman 1dari 7

NIKMATNYA HIDUP SEDERHANA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraqaatuh....

Ibadallah,

Sudah menjadi tabiat manusia, ia akan lebih konsumtif menghamburkan uang,

manakala mulai mengeyam kehidupan yang mapan dan kemudahan ekonomi. Seolah-olah

kekayaan kurang berarti banyak bila pemiliknya tidak mempergunakannya untuk keperluan

yang lebih besar dan kemewahan. Misalnya dengan banyak memenuhi kebutuhan-kebutuhan

yang kurang penting baginya. Begitulah keadaan seseorang, ia lebih mudah beradaptasi

dengan hidup enak ketimbang dengan hidup menderita.

Alquran telah menegaskan bahwa tipologi manusia, menghamburkan uang dan

berfoya-foya saat berada dalam kondisi berada, menghindari gaya kesederhanaan dan

keseimbangan.

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :

‫ِر َر اَر ِر ْو ٌُر َر ِّر ُر ِر َر َر ٍر َر ٌَر َر ُرا ۚ ِر ُهَّللا ُر ِر ِر َر ِرا ِر َر ِرٍ ٌرل َر ِر ٍ ٌرل‬ ‫َر اَر ْو َر َر َر ُهَّللا ُر الِّر ْو َر اِر ِر َر ِرا ِر اَر َر َر ْو ِرً ْواَر ْو‬
Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan

melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan

ukuran. Sesungguhnya Dia Mahamengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi

Mahamelihat. (asy-Syura/42:27).
Ali bin Tsabit rahimahullah berkata:

‫ْو ا َر ْوــــــ ُرـ َرــُر ُر ْو ِرا ْو َر اُر َر ْوا َر َر ـــُر َر ْوا َر ُر َرــُر ُر اـُهَّللاــ ْو ِر ْوٌ ُرل َر ا ُهَّللاـــْوـُر‬
“Kelemahan akal itu bangga diri dan emosi dan penyakit harta itu pemborosan dan

perampokan”.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Secara global, Alquran telah menjelaskan cara pengelolaan ekonomi dengan segala

penjabarannya, yang intinya mencakup dua hal. Inilah yang dimaksud dengan “ushul

iqtishad”, yaitu husnun nazhari fiktisabil mal (kecakapan mencari materi) dan husnun nazhar

fi sharfihi fi masharifihi (kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos pengeluaran yang

tepat). Lihatlah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta‟ala membuka jalan bagi perolehan

ma’isyah melalui cara-cara yang tetap menjaga muru`ah dan agama (pekerjaan yang halal).

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :

‫ُهَّللا َر َر ِرٍ ًرل اَر َر ُهَّللا ُر ْو ُر ْو ِر ُر وَر‬ ‫ِر ْو َر ْو ِرـ ُهَّللا ِر َر ْوا ُر ُرل‬ ‫ِر َر ْوـَر ُر‬ ‫ِرً ْواَر ْو‬ ‫َر ِر َرا ُر ِر ٍَر ِر ا ُهَّللا َر ُر َر ْوـَر ِر ُرل‬
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah

karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-

Jumu‟ah/62:10).

Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memerintahkan agar manusia bersikap

hemat dalam pembelanjaan. Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:


‫َر َرَل َر ْو َر ـْو ٌَر َركَر َر ْو ُر اَرةًر ِراَرى ُر ُر ِركَر َر َرَل َر ْو ْو‬
‫ُرطـَر ُر ُهَّللاـ ْوا َر ْو ِر َرـَر ْو ُر َر َر ُر ًر َر ْو ُر ًر‬
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu dan janganlah kamu

terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra`/17:29)

Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta‟ala melarang membelanjakan harta pada

perkara-perkara yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

‫ٍـ ُهَّللا ِر ۚ َر َر ٍُر ْو ِر ُر َرـَر ثُر ُهَّللا َر ُر ُرو َر َر ْوٍ ِرـ ْو َرح َرْول ًر ثُر ُهَّللا ٌُر ْو َر ُر وَر ۗ َر اُهَّللا ِر ٌ َر‬
‫َر ْو َرس ِر ِر‬ ُّ ‫ِر ُهَّللاو اُهَّللا ِر ٌ َر َر َر ُرل ٌُر ْو ِر ُر وَر أَر ْو َر اَرـُر ْو اِرٍَر ُر‬
‫َر َر ُرل ِراَرى َر ـَر ُهَّللا َر ٌُر ْو َر ُرل وَر‬
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi

(orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan

bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang

yang kafir itu dikumpulkan.(al-Anfal/8:36).

Ibadallah,

Agar tercipta mentalitas yang baik berhubungan dengan gaya hidup itu,

Allah Subhanahu wa Ta‟ala memerintahkan manusia agar dalam pemenuhan kebutuhannya

dilakoni secara bersahaja, tengah-tengah, dan tidak boros dalam pengeluaran.

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

‫ْول ُر ۚ ِر ُهَّللا ُر َرَل ٌُر ِر ـُّ ْوا ُر ِر‬


‫ْول ِرٍ َر‬ ‫َر َرَل ُر ِر‬ ‫َر ْوا َرل ُر‬ ‫ِرٌ َرـَر ُر ْو ِر ْو َر ُر ـِّر َر ْو ِر ٍر َر ُر ُر‬ ‫ي َر َر ِرً َرا َر ُر ُر‬
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan

minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang

yang berlebih-lebihan. (al-A‟raf/7:31).

‫ْول ُر ۚ ِر ُهَّللا ُر َرَل ٌُر ِر ـُّ ْوا ُر ِر‬


‫ْول ِرٍ َر‬ ‫َر َرَل ُر ِر‬
Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang

yang berlebihan. (al-An‟am/6:141).

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam juga telah menegaskan dalam sabdanya,

yang artinya: “Makanlah, bersedekahlah, dan pakailah dalam keadaan tanpa menghamburkan

uang dan kesombongan”. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memperingatkan bahwa hidup

bermewah-mewah meskipun dengan barang-barang yang sifatnya mubah, dapat berpotensi

menyeret manusia kepada pemborosan. Ini juga dapat menunjukkan manusia tersebut tidak

memberikan apresiasi yang semestinya terhadap harta yang merupakan nikmat Allah,

sehingga ia masuk dalam perilaku menyia-nyiakan harta.

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jauhilah gaya hidup

bermewahan. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewah-

mewahan”.Secara khusus, sifat ini juga menjadi kriteria menonjol pada diri ibadur-rahman.

Yakni para hamba Allah yang sebenarnya. Allah berfirman tentang mereka:

‫َر َر وَر َر ْوٍ َر َرااِركَر َر َر ًر‬ ‫َر اَر ْو ٌَر ْوـُر ُرل‬ ‫َر اُهَّللا ِر ٌ َر ِر َرا أَر ْو َر ُر اَر ْو ٌُر ِر‬
‫ْول ُر‬
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan

tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

(al-Furqan/25:67).

Mereka tidak menghambur-hamburkan uang dengan belanja di luar kebutuhannya.

Juga bukan orang-orang yang bakhil kepada keluarganya, sehingga kebutuhan bagi

keluarganya pun terpenuhi dan tidak kekurangan. Mereka membelanjakan hartanya secara

adil. Dan sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah, tidak berlebihan ataupun tidak kikir.

Jamaah Jumat yang dirahmati Allah, Larangan kepada manusia agar tidak melakukan

pemborosan dan penghamburan atas uang dan harta yang dimilikinya, pasti mengandung

manfaat. Dan manusia pun sebenarnya sanggup mengetahui hikmah di balik larangan

tersebut.

Di antara hikmahnya, ialah untuk menjaga kekayaan itu sendiri. Bahwa pada hari

Kiamat kelak, sumber pendapat harta itu dipertanyakan, dan demikain pula dengan

pembelanjaannya. Pembelanjaan harta atau uang pada perkara tidak dibutuhkan, sungguh

sangat bertentangan dengan salah satu tujuan syariat Islam, yaitu hifzhul-mal (menjaga harta

benda). Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta‟ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan, apalagi jika harta itu dimanfaatkan untuk perbuatan maksiat.

Sahabat mulia, yakni Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu „anhu telah mendefinisikan

makna mubadzdzirin (orang-orang yang melakukan pemborosan). Beliau radhiyallahu

„anhumenjelaskan, mubadzdzirin ialah orang-orang yang membelanjakan (uang) pada

perkara-perkara yang tidak dibenarkan. Maka, cukuplah untuk menjadi bahan perenungan,

bahwa Allah membenci pemborosan. Sisi lain, uang diperlukan setiap orang untuk memenuhi

hajat hidupnya. Dengan uang, seseorang dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya.

Begitu pula dengan harta, selain sebagai penopang hidup, juga berfungsi sebagai pemelihara

kehormatan dan kewibawaan seseorang di tengah komunitas sosialnya. Ibnu

Hibban rahimahullah mengatakan :

‫ِر ْو أَرحْو َر ِر َر ٌَر ْو ـَر ِر ْو ُر ِر ِر ْوا َر لْو أُر َر َرى ِر َر َر ِرة ُر ُرل ْو َرا ِر ِر ْوا َر ُر ا ُهَّللا ا ُرل َر‬
Termasuk hal terpenting untuk membantu seseorang menegakkan kehormatan dirinya

ialah harta yang baik. Dengan modal uang di genggaman, seseorang sudah bisa menjaga
agama, kehormatan dan kemuliaan dirinya. Ia tidak perlu menghinakan wajahnya dengan

perbuatan yang dapat menghinakannya. Semisal mengemis, meminta-minta, atau bahkan

tidak menutup kemungkinan mencuri maupun korupsi, dan perbuatan lain yang tidak

dibenarkan syariat. Karena semua perbuatan itu sangat jelas dilarang agama. Bahkan, dengan

uang di tangan, seseorang tidak perlu gali lubang dengan berhutang. Meskipun berhutang

termasuk muamalah yang jaiz (boleh), akan tetapi sedikit atau banyak akan membekaskan

tekanan tersendiri.

Hidup berjalan ibarat roda. Kadang berada di atas menangguk berbagai kenikmatan.

Namun siapa sangka, tiba-tiba berada di bawah, hidup penuh dengan kesulitan. Sehingga

tidak ada pihak lain yang bersalah kecuali dirinya sendiri. Kenyataan pahit lagi menghinakan

ini bisa saja melanda perekonomian rumah tangga seseorang yang mungkin sebelumnya

berlimpah harta. Kemudian, lantaran kesalahan dalam mengatur keuangan atau karena

income masih pas-pasan, sehingga mengakibatkan dirinya masuk dalam kubangan krisis

moneter yang tidak mengetahui waktu berakhirnya. Oleh karena itu, syariat Islam memberi

peringatan bahaya as-saraf (pemborosan) maupun berlebihan dalam pembelanjaan. Dengan

memperhatikan bahaya ini, maka seseorang bisa tetap memiliki neraca yang tetap aman, tidak

besar pasak daripada tiang.

Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan alasan berkaitan dengan larangan

menghambur-hamburkan. Beliau rahimahullah berkata: “Sesungguhnya pemborosan harta

akan menyebabkan orang meminta-minta apa yang dimiliki orang lain. Sedangkan pada

pemeliharaan harta terkandung kemaslahatan bagi dunianya. Adapun kestabilan maslahat

duniawinya akan berpengaruh pada kemaslahatan agamanya. Sebab dengannya, seseorang

dapat fokus dalam urusan-urusan akhiratnya”.

“Pembengkakan dalam pembelanjaan akan menyebabkan goncangan pada

penghasilan diri seseorang yang biasa ia terima. Sehingga dapat berpotensi menimbulkan

kelumpuhan ekonomi, atau meminta-minta, bertindak kriminal, melakukan penyimpangan,

menelantarkan diri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Begitu pula jika sebuah

negara menempuh kebijakan ini, akan mengakibatkan anggarannya membengkak dan tidak

memiliki kekuatan untuk menangani urusan-urusan yang menjadi beban pemerintahan negara
tersebut”. Demikian keberadaan negara-negara yang menjalankan roda pemerintahan dengan

kemewahan, pada akhirnya akan menapaki jalan keruntuhannya, tidak mampu bertahan

menghadapi kondisi yang serba sulit.

Adapun ditinjau dari aspek manfaat, perintah untuk tidak bergaya hidup berfoya-foya,

memiliki pengaruh positif yang kembali kepada diri orang tersebut. Dia akan lebih mudah

beradaptasi menghadapi setiap perubahan dalam menghadapi kehidupan. Kadang

menyenangkan dan kadang harus hidup penuh keprihatinan. Dan seandainya keadaan

ekonomi keluarga ditakdirkan mengalami kesulitan, maka setidaknya seseorang itu tidak

terlampau kaget dengan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba. Syaikh al-

Utsaimin rahimahullah berkata: “Orang yang terbiasa hidup dalam kemewahan, akan

merasakan sulit menghadapi berbagai keadaan. Sebab, tidak menutup kemungkinan datang

kepadanya persoalan-persoalan yang tidak memungkinkan orang tersebut menyelesaikannya

dalam kenyamanan”.

Kemudian beliau rahimahullah memaparkan sebuah contoh sederhana. Yakni orang

yang tidak pernah berjalan tanpa alas kaki sama sekali. Orang ini selalu menggunakan sandal

atau sepatu. Jika suatu saat, ia berhadapan dengan sebuah kondisi yang mengharuskannya

berjalan tanpa alas kaki meski hanya 500 meter saja, tentunya ia akan mengalami kesulitan

yang berat. Bahkan mungkin saja kakinya menjadi terluka karena harus bergesekan dengan

tanah. Akan tetapi, bila ia telah membiasakan diri dengan cara-cara hidup yang agak kurang

nyaman, jauh dari fasilitas, ia akan memperoleh kebaikan yang banyak. Selain itu, tubuh

yang tidak terbiasa dengan itu, tidak mempunyai ketahanan (imuniatas). Akibatnya mudah

sakit, padahal baru berjalan tidak seberapa jauh.

Nilai positif lain dari cara hidup sederhana, dapat mendorong seseorang menjadi

pribadi yang pandai bersyukur dan toleran, menghargai nikmat-nikmat Allah sekecil apapun.

Karena masih banyak orang yang berada di bawahnya secara ekonomi. Dengan itu,

keimanannya akan bertambah.


Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

‫ُهَّللاو ْوا َر َر َر َر ِر َر ْوا ْوٌ َر ِرو ِر‬


Sesungguhnya hidup sederhana termasuk cabang dari iman.(Ash-ShahIhah, 341)

‫ـ َر ْوسـَر ْو ِر ُرل ْو ُر ٌَر ْو ِرلْو اَر ُر ْو ِر ُهَّللا ُر هُر َر ا َر ُر ْو ُر‬


‫َر اِر ْوً َر اَر ُر ْو َر اِر َر ئِر ِرل ا ُر ْو ِر ِر ْوٍ َر ِر ْو ُر ـِّر َرا ْو ٍر‬ ‫أ ُر ْو ُر هَر َر ا َر ْو َر ؛ َر أَر ْوسـَر ْو ُر ُرل‬
‫ َر‬. ‫ال ِرح ْوٍ ُر‬
‫َر‬

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabaraqaatuh...

Anda mungkin juga menyukai