Anda di halaman 1dari 9

Teks novel

“Kakeekk..!”

Terdengar suara anak kecil berusia 8 tahun di ruang tengah rumah usang itu.

“Shilla, jangan lari nak. Pelan-pelan!” tegur sang ibu di ambang pintu yang sedang sibuk melepas
sepatunya.

“Ibu, kakek dimana bu? Shilla mau ketemu kakek!” ucap bocah itu dengan nada riang, tidak sabar ingin
bertemu kakeknya.

“Kakek ada di kamar, pelan-pelan ya masuknya. Takut kakek sedang tidur” titah sang ibu.

Shilla berjalan pelan menuju kamar kakeknya yang terletak tak jauh dari ruang tengah. Dengan perlahan
membuka pintu berwarna putih tersebut dan mencari penghuninya. Matanya berbinar ketika
menemukan kakeknya sedang duduk di atas sajadah, menengadahkan tangan tanda dirinya baru selesai
melaksanakan sholat. Shilla berjalan mendekat dan duduk di pangkuan sang kakek.

“Kakek, tadi shilla belajar banyak sekali di sekolah. Kata ibu guru, dulu ada orang jahat yang
masuk ke negara kita, terus bikin semua orang sakit. Emang bener ya, Kek?” dengan polos Shilla
bertanya pada kakeknya. Yang ditanya hanya tersenyum dan mengelus pelan pucuk rambut cucu
kesayangan dan semata wayangnya itu.

“Iya Shilla, dulu banyak sekali orang jahat datang ke negara kita. Bukan Cuma sehari dua hari,
tapi sampai beratus-ratus tahun.” Ucap Kakek tak kalah semangat.

“Seratus itu lebih banyak dari sepuluh ya, Kek?”

“Iya Shilla, seratus itu banyaaak sekali” jawab Kakek sambil mencubit hidung Shilla gemas.

“Hihh… serem banget ya, Kek. Shilla takut” Shilla bergidik mendengar penjelasan kakeknya.

“Iya, tapi sekarang Shilla sudah aman. Tidak ada lagi orang jahat yang akan menyerang negara
kita. Jadi Shilla jangan takut ya, Shilla kan pemberani”

“Shilla kan wonder women! Selalu berani dan membela kebenaran!” ucap Shilla semangat. Ia
bahkan beranjak dari pangkuan kakeknya dan bergaya layaknya wonder women. Sang kakek hanya
tertawa kecil melihat kelakuan lucu cucunya.

“Yasudah, sekarang kita makan dulu, yuk! Ibu sudah masak banyak tuh di dapur.” Shilla pun
dengan semangat menggandeng lengan kakeknya menuju ke ruang makan.
Hati dan pikiran Wiryo berkelana kala itu, mendengar cucunya menyinggung tentang penjajahan
membuat dirinya seolah berenang di kolam masa lalu. Wiryo teringat akan kakek buyutnya, yang saat itu
merupakan bagian dari banyaknya peristiwa penting dalam sejarah itu. Wiryo tersenyum getir dan
kembali melangkahkan kakinya menuju meja makan. Siap menikmati hidangan yang telah tersedia
diatas meja sana.

***

10 tahun kemudian…

Shilla kembali berada di tempat ini. Rumah usang peninggalan kakek neneknya yang masih utuh
tegak berdiri. Shilla kini duduk di bangku perguruan tinggi, program studi sejarah pun digandrungi
olehnya. Shilla memang tertarik dengan sejarah sejak guru di sekolah dasarnya menyebutkan kisah
singkat penjajahan.

Shilla berjalan menyusuri ruang tengah yang tampak sepi. Disentuhnya foto-foto dalam figura
dengan nuansa monokrom. Tampak jajaran pemuda gagah dengan baju seadanya, serta di tangannya
terlihat memegang tongkat, bambu, dan semacamnya. Fokus Shilla tertuju pada satu wajah, dibelainya
wajah tersebut sembari tersenyum miris. Pemuda itu adalah Wiryo, kakek Shilla yang saat itu
merupakan pejuang kemerdekaan, terutama untuk wilayah Banten. Daerah asal keluarga ini.

Kakeknya baru saja menutup usia tujuh jam yang lalu. Shilla baru saja kembali dari
pemakamannya. Jejak air mata masih terlihat jelas di wajahnya, matanya pun terlihat membengkak
diiringi dengan hidung yang memerah. Shilla menahan tangisnya lagi saat menginjakkan kaki di rumah
ini. Bau khas kakeknya masih tercium jelas, suara rendah dan gagahnya masih terngiang jelas sekali di
telinga, senyum teduhnya pun masih teringat jelas di memori Shilla.

Satu-satunya alasan ia berada di gedung program studi sejarah adalah kakeknya, Wiryo. Wiryo
menceritakan semua kejadian di masa itu secara detail. Seolah-olah dirinya lah yang berada disana dan
mengikuti pertempuran keras tersebut. Cerita Wiryo memunculkan sebuah desiran hebat di hati Shilla.
Ia merasa amat sangat tertarik dengan hal-hal berbau sejarah. Layaknya sedang mendengar cerita
dongeng di malam hari. Mata Shilla terpejam mengingat cerita kakeknya. Begitu pedih dan kerasnya
hidup di zaman itu, mungkin Shilla tak akan sanggup berada disana dan hanya sibuk menangis
ketakutan.

Kemudian ia beralih duduk di salah satu kursi kayu disana, dengan mata menerawang ia
mencoba mengingat setiap rincian yang diceritakan kakeknya kala itu. Di lokasi yang sama dengan ia
berada sekarang, di kursi yang sama dengan yang ia duduki saat ini. Hanya bedanya, kini sosok lelaki tua
itu tak nampak lagi.

***
3 tahun lalu…

Shilla dengan penasaran mengambil sebuah foto dalam figura yang sudah di perhatikannya sejak
beberapa hari lalu. Ia yakin 100% hanya kakeknya lah yang bisa menjelaskan foto usang ini. Dibawanya
figura tersebut ke hadapan kakeknya yang sedang duduk tenang di kursi kayu.

“Kakek, ini foto apa?” ucap Shilla sambil menyerahkan figura itu pada kakeknya.

Wiryo pun mendongak pelan, menerima figura yang diberikan cucunya dengan perlahan. Sedetik
kemudian senyumnya tercetak saat menyadari foto apa yang diberikan oleh Shilla.

“Shilla mau tau?” Tanya kakeknya. Shilla hanya menjawab dengan anggukan.

“Duduk disini, sudah seharusnya kamu mengetahui hal ini” ucap kakek sambil menunjuk kursi
kayu yang ada di sebelahnya. Shilla menurut dan segera duduk disana. Pandangannya mengikuti arah
pandangan Wiryo yang masih sibuk meneliti foto tersebut.

“Shilla siap mendengar cerita hebat?” Shilla mengangguk.

“Ini adalah kakek buyut ku, kakek dari kakek kakek mu. Namanya Wijaya. ” Ucap Wiryo
menunjuk salah satu wajah disana.

“Beliau adalah seorang pejuang di medan peperangan, bersama rakyat lainnya melawan
Belanda pada abad ke-16. Saat itu Belanda sedang gencarnya membangun organisasi dagang di
Nusantara. VOC, kamu pernah dengar namanya?” Shilla mengangguk.

“Tahun demi tahun berlalu begitu lambat pada saat itu. Semua rakyat mengeluh seperti ingin
keluar dari neraka tersebut. Negara yang seharusnya aman dan menjadi tempat bagi mereka untuk
berlindung, saat itu habis diporak-porandakan oleh Belanda. Rakyat dan pemerintahan dipermainkan
dengan siasat-siasat licik mereka.” Wiryo menghela nafas menjeda ceritanya.

“Hingga sebuah keluarga pun dipecah-belahkan hanya karena kekuasaan. Dan lagi-lagi adu
domba yang digencarkan oleh VOC kala itu berhasil dilakukan” sambung Wiryo.

***

“Belanda sialan!” umpat salah seorang lelaki menggelegar di ruangan besar. Dadanya naik turun,
nafasnya bergemuruh, dan raut wajahnya terlihat amat sangat kesal. Sorot matanya menatap nyalang
ke arah depan, seolah siap menerkam siapapun yang dilihatnya. Orang-orang yang berada di ruangan
tersebut pun menunduk ngeri dan hanya bisa mendengarkan pelampiasan amarah sang raja tersebut.

“Sudah berapa ribu cara aku lakukan untuk kembali memajukan wilayah Banten menjadi pusat
perdagangan internasional, dengan seenaknya orang berkulit putih itu menghadang setiap kapal yang
akan menuju ke Banten. Culas sekali cara mereka itu, aarghh!” kesalnya lagi. Kali ini meja yang tak
bersalah pun menjadi sasaran empuk untuk mendaratkan telapak tangannya.

“Wijaya, sudahkah semua yang kuperintahkan padamu kau kerjakan?” Tanya sang raja pada
salah satu menterinya. “Sudah, Sultan. Mulai dari mengundang pedagang dari Inggris hingga Portugis,
Cina hingga Persia, kapal-kapal yang berangkat untuk mengganggu VOC juga sudah dikirim, Sultan.”
Ucap Wijaya.

“Sultan Haji, kau urus saja masalah dalam negri. Masalah luar negeri biar menjadi urusanku.”
Titah sang Raja. “Baik, Sultan.” jawab Sultan Haji seraya membungkuk hormat.

***

Kabar bahwa diangkatnya Sultan Haji ini terdengar hingga ke telinga organisasi VOC. Mereka
gembira bukan kepalang. Diangkatnya Sultan Haji menjadi menteri dalam negeri ini membuat posisi
mereka semakin diuntungkan. Caeff sebagai perwakilan Belanda pun tak ingin membuang waktu,
secepat mungkin menemui putra dari Sang Sultan tersebut untuk dipengaruhi. Sultan Haji adalah orang
yang amat sangat mudah untuk dipengaruhi.

Caeff bertemu dengan Sultan Haji, mengajaknya berbasa-basi terlebih dahulu sebelum masuk ke
poin inti yang ingin dia katakan. “Sultan, kudengar kau diangat menjadi menteri dalam negeri. Bukankah
demikian?” Tanya Caeff langsung.

“Ya, kau benar”

“Sultan Haji, lihatlah bagaimana ayahmu lebih memilih Pangeran Arya Purbaya yang merupakan
saudara kandungmu sendiri ikut mengurus urusan luar negeri bersama ayahmu. Bukankah ini berarti
secara tidak langsung ayahmu memilih dia sebagai penggantinya. Menganggapnya lebih baik darimu,
sedangkan kau dibiarkan bekerja sendirian disini. Kau seperti dibuang oleh Sang Sultan” beber Caeff
dengan rayuan mautnya menghasut Sultan Haji. Sultan Haji pun langsung terdiam, memikirkan
perkataan Caeff yang sebenarnya ada benarnya juga. Mengapa malah Arya yang diajak? Mengapa bukan
dirinya saja? Dirinya bahkan lebih baik dan layak daripada saudara nya itu.

“Sudah tenang saja, kami akan membantumu. Bagaimana jika kau kami bantu menjadi Sultan di
Istana Surosowan? Namun tentu saja tak cuma-cuma. Ada beberapa persyaratan yang harus kau penuhi.
Bagaimana? Apakah kau setuju?” rayu Caeff sekali lagi untuk meyakinkan Sultan Haji. Sultan Haji tampak
menimbang sebentar tawaran dari Caeff. “Biar kulihat dulu perjanjiannya.” Dengan segera Caeff
memberi surat kontrak pada Sultan Haji. Dibaca nya beberapa menit, dan akhirnya Sultan Haji
menganggukan kepalanya.

“Baiklah, tapi kau dan organisasimu harus berjanji akan membawaku menuju tahta dan
mendukungku apapun yang terjadi.” syarat Sultan Haji. Caeff tanpa ragu menyetujui, kemudian dirinya
pamit pergi untuk beberapa urusan penting lainnya.
***

Benar saja, tahun 1681 Sultan Haji yang awalnya hanya memiliki gelar calon sultan, kini ia
menjadi Sultan di Istana Surosowan. Dengan VOC yang siap mendukungnya kapanpun. Tentu saja hal ini
membuat rakyat Banten menjadi amat geram dan tidak menganggap Sultan Haji sebagai pemimpin.
Bahkan, rakyat banten lebih ingin melakukan perlawanan terhadap Sultan Haji dan tentu saja antek-
anteknya VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa, yang merupakan raja sebelumnya dan juga ayah kandung dari Sultan
Haji tak habis pikir dengan perlakuan putranya. Bagaimana bisa dengan hasutan bodoh dari Belanda itu
membuat tatanan istana hancur lebur dan menyebabkan perpecahan dimana-mana. Wijaya yang kala
itu merupakan tangan kanan dari sultan, tentu saja tetap berada di pihak kanan. Wijaya tau betul
bagaimana sifat dari Sultan Tirtayasa itu sendiri. Tak akan mungkin ia dengan sengaja menjatuhkan salah
satu buah hatinya. Sultan begitu menyayangi kedua putranya tanpa ada keistimewaan di salah satunya.
Ia menjadikan Sultan Haji sebagai menteri dalam negeri adalah karena kepercayaanya. Sedangkan Arya
diajaknya bekerja berdua untuk mengajari pangeran tersebut tentang apa-apa yang masih belum
diketahuinya. Wijaya hanya bisa diam dan terus berada di samping Sultan, menunggu perintah dan
arahan terkait apa rencana selanjutnya dari perjuangan ini.

“Sudah saatnya Wijaya, kita harus merebut kembali kerajaan itu. Kali ini akan menjadi
pertempuran yang sebenarnya. Aku sudah tak menganggapnya sebagai putraku lagi. Ia adalah
pengkhianat! Bukan berkhianat kepadaku tetapi berkhianat pada seluruh rakyat Banten!” ucap Sultan
Ageng dengan nada berapi-api. Sulut emosi nampak jelas tertahan di wajahnya. “Kumpulkan bantuan
dari berbagai daerah. Bali, Makassar, dan Melayu siap membantu kita. Hubungi mereka. Kita akan susun
strategi” Wijaya mengangguk mendengar titah sultannya. Ia segera beranjak pergi dari hadapan sultan.

***

Pasukan telah terkumpul. Ribuan pasukan gabungan dari Bali, Melayu, dan Makassar siap
bertarung merebut kembali Istana Surosowan dari tangan Sultan Haji dan Belanda. Sultan Ageng
Tirtayasa selaku komandan dari penyerangan kali ini memberi arahan pada beberapa pasukan yang
telah dibagi-bagi sebelumnya. Sultan membeberkan rencana pengepungannya.

“Kita akan mengepung Istana Surosowan, aku telah mengetahui dari mata mataku bahwa Sultan
pengkhianat itu sekarang telah berada di loji milik VOC. Dia duduk tenang disana, atau bahkan sedang
gemetar ketakutan setelah tau kita akan kembali menyerang istana.” Sultan membuka percakapan.
Seseorang mengangkat tangannya memberi interupsi dan segera dipersilahkan oleh sultan.

“Kudengar dia bukan hanya sedang berada di loji, Sultan. Namun ia mendapat penjagaan khusus
dari Jacob de Roy.” Ucap salah satu peserta rapat. Sultan tersenyum miring mendengarnya, ia tahu
bagaimana tabiat anak itu. Pastilah ia akan besembunyi dibalik ketiak Belanda ketika keadaan menjadi
runyam seperti ini.
“Sudah kuduga. Pengkhianat dan pengecut itu tak ada bedanya. Sama sama menggelikan,
membuatku amat muak” sambung Sultan. “Wijaya, bagaimana rencananya?” Wijaya segera beringsut
mengambil gulungan kertas yang berada tak jauh darinya, kemudian segera membukanya.

“Karena Sultan Haji sekarang berada di Benteng VOC, maka pasukan kita akan menuju kesana
dan menghancurkan tempat itu. Kita akan berangkat menuju kesana setelah ini, kembali mengecek
perlengkapan dan mematangkan lagi rencana kita. Kita akan menunggu titah Sultan untuk menyerbu
Bentengnya.” Wijaya menjelaskan panjang lebar pada semua yang hadir disana.

“Baiklah, mari kita mulai persiapan keberangkatan. Apa ada yang ingin ditanyakan?” Semua
peserta rapat menggeleng pelan dan mengatakan bahwa sudah cukup jelas.

***

Sebelumya pada 27 Februari 1682, Sultan telah lebih dulu menyerang Istana Surosowan untuk
menggulingkan Sultan Haji dari sana. Usahanya berhasil untuk mengembalikan kedudukan Istana
Surosowan dari Sultan Haji kepadanya, namun kemudian Sultan Haji dibawa oleh belanda menuju Loji
VOC.

Tepat hari ini, 7 April 1682. Sultan Ageng Tirtayasa dan ribuan pasukannya mati-matian
menyerang dan menyerbu benteng VOC dimana Sultan Haji berada di dalamnya. Pasukan Sultan Ageng
tersebar di berbagai lokasi yang dimana markas besarnya berada di Margasana. Diperkuat oleh 600
sampai 800 orang prajurit yang berada di bawah pimpinan Pangeran Suriadiwangsa, 400 orang orang di
daerah Kenari, 120 orang di daerah Kartasana, 400 orang mempertahankan Serang, 500 orang di
Jambangan, 100 orang di Bojonglopang, dan 500 orang mempertahakan Tirtayasa.

Tak mau kalah, VOC pun bertahan dari serangan pasukan Sultan Ageng yang bertubi-tubi
datang. Bantuan militer pun dikerahkan dari arah Batavia yang dengan mudahnya memasuki daerah
Banten karena perjanjian yang terjadi Antara VOC dan Sultan Haji sebelumnya. Serangan hebat itupun
membuat pasukan Sultan Ageng terdesak, menyebabkan Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang
dikuasai dengan mudah oleh VOC.

“Ini belum berakhir, Caeff! Pasukanku akan kembali menyerbu loji mu dan organisasi sampahmu
itu akan musnah!” ucap Sultan Ageng penuh kemarahan pada komandan Belanda. Saat ini pasukannya
sedang berhadapan dengan pasukan Belanda.

“Oww… kalmeer mijn vriend! (tenanglah kawanku). Tak perlu menyulut seperti itu. Kami paham
bahwa kau sangat merasa kecewa dan marah pada putra kesayanganmu itu. Tapi mau bagaimana lagi,
mijn vriend. Istanamu sudah kami ambil alih, kini kau hanya harus beristirahat diatas dipan. Lihatlah
bagaimana tubuhmu itu, sudah lemah sekali dia. Usiamu juga sudah tidak pantas lagi menjadi seorang
raja. Turunkan sajalah tahta mu itu pada putra kesayanganmu yang bernama Sultan Haji itu.” Caeff
mencibir Sultan Ageng yang membuatnya kembali naik darah.
“Ini bukan hanya tentang tahtaku, kaum sampah! Ini tentang kesejahteraan rakyat Banten.
Seluruh rakyat Banten. Pernahkan kau berpikir demikian? Oh, bagaimana mungkin? Kalian hanya
segerombolan orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadi! Menguras negeri orang untuk
mencapai kekayaan, mengeksploitasi sumber daya habis-habisan hanya untuk hidup bermewah-
mewahan.”

“Itu benar! Kalian hanya makhluk tak berperasaan dan egois! Kalian tak hanya seperti seekor
binatang. Kalian lebih hina dari binatang!” Tak terima rajanya direndahkan, Wijaya ikut angkat suara.
Caeff yang mendengarnya pun geram. Ia hendak maju menyerang Wijaya namun dengan sigap ditahan
oleh Sultan.

“Jangan kau sentuh rakyatku. Urusanmu adalah denganku, bukan mereka.” Ucap Sultan lugas
dan tajam pada Caeff. Matanya pun menyorotkan rasa benci, seolah sedang menelanjangi Caeff. Caeff
menepis tangan Sultan Ageng dan bergerak mundur.

“Mau menjadi pahlawan kau, mijn vriend?” Caeff memiringkan kepalanya.

“Beginilah sikap pemimpin, Caeff. Bukan seperti orang yang sedang kau lindungi di dalam sana!
Membiarkan rakyatnya ketakutan di rumahnya, sedangkan rajanya asik bersembunyi dan lari dari
masalah. Kau mana tau apa apa, Caeff. Karena kau sama pengecutnya dengan dia.” Sultan balas
mencibir Caeff.

Caeff terdiam sementara, terlihat berpikir keras. Ia menengok ke arah pasukannya yang berada
di belakangnya dan menganggukkan kepalanya, seolah memberi kode pada pasukannya itu. Tanpa
waktu lama pasukannya balas mengangguk dan Caeff kembali menatap Sultan.

“Het is mijn koning (sudahlah rajaku), hentikan penyerangan ini. Kembalilah ke daerahmu dan
ambillah tahta itu. Kami menyerah, Sultan Haji tak akan kembali kesana dan perjanjian antara kami
dibatalkan.” Sultan mengernyitkan dahi mendengar putusan dari Caeff. Menurutnya ini sangat tiba-tiba
dan janggal. Wijaya yang berada disampingkan pun menatap Sultan dengan raut wajah heran.

“Apa maksudmu, Caeff?” Wijaya membuka suara. Caeff menggeleng. “Tidak ada, hanya saja
Sultan Haji itu tidak berguna untuk kami. Ia malah menyusahkan dan merepotkan pihak VOC. Kalian
kembalilah, VOC akan memberikan imbalan atas kerusakan yang terjadi di wilayah kalian. Aku
jaminannya.” Caeff meyakinkan. Sungguh lihai sekali Caeff dalam berkata-kata, membuat Sultan yang
tadinya berpikir keras menjadi terbuai. Ia segera memerintah pasukannya untuk bersiap kembali ke
Surosowan. Pasukannya pun menuruti titah Sang Sultan dan langsung balik kanan menuju Surosowan.
Namun Wijaya sekali lagi menengok ke arah belakang, masih tak yakin atas ucapan Belanda licik itu.

Beberapa meter mereka berjalan, tiba-tiba mereka dihadang oleh pasukan Belanda, dengan
senjata di tangan mereka. Tak hanya dari arah depan, namun juga dari arah kanan,kiri, juga belakang.
Sultan Ageng panik bukan main, sudah ia duga Caeff si licik itu memang benar-benar licik. Namun ia
tidak menduga jika kejutan yang akan diberikan akan seperti ini. Mereka pun meletakkan tangan di
udara, dan Sultan Ageng masih memikirkan cara bagaimana keluar dari sini.
Suara tepukan tangan terdengar, muncul seseorang dibalik pasukan bersenjata itu. Kapten Sloot
dengan wajah menangnya tertawa puas melihat musuhnya sudah bertekuk lutut dihadapannya.

“Perlawanan yang bagus, Sultanku. Kini nasibmu sudah ada di tanganku. Kau tak bisa mengelak
lagi.” Kapten Sloot langsung mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya kearah Sultan Ageng. Dengan
satu tarikan pistol itu mengeluarkan peluru yang bergerak cepat dan suara dentuman yang keras.
Sultan Ageng memejamkan matanya pasrah. Ia sudah tak sanggup lagi menahan luka yang ada
di tubuhnya sejak peperangan tadi. Kakinya terkena benda tajam, wajahnya penuh peluh, tangannya
terserempet oleh peluru dari pihak Belanda. Semuanya terasa amat sakit. Ditambah lagi dengan peluru
yang baru saja ditembakkan oleh Sloot. Tapi tunggu dulu, mengapa ia tak merasakan tambahan rasa
sakit di tubuhnya? Karena penasaran, ia segera membuka matanya.
Betapa terkejutnya ia melihat ada tubuh lain yang menghalanginya. Ia memasang fokus untuk
mengetahui siapakah sosok itu. Ternyata itu adalah Wijaya, orang yang paling setia dengannya. Tangan
kanannya selama bertahun-tahun memegang tahta kerajaan. Wijaya tak kalah remuk disbanding dirinya,
karena memang sedari tadi lelaki itulah yang melindungi Sultan dari serangan. Di dadanya sudah
tergambar tebasan pedang, bahunya pun sudah terkena peluru, wajahnya penuh dengan darah. Dan
sekarang, peluru itu tepat terkena dada kirinya. Wijaya terjatuh dan langsung ditangkap oleh Sang
Sultan.

“Tak apa rajaku, biar aku memenuhi tugas terakhirku sebagai rakyatmu yang setia.” Ucap Wijaya
terbata setelah membaca raut wajah Sang Sultan yang khawatir. Sedetik ia tersenyum sebelum nafasnya
terhenti dan netranya tertutup erat, selamanya. Sultan terbelalak dan langsung saja mengalihkan
pandangannya pada Kapten Sloot. Ia mengamuk dan hendak menyerbu Kapten Sloot, namun dengan
sigapnya pasukan Belanda menahan tangannya. Menguncinya kuat-kuat dan menyeretnya menjauh.

Sultan Ageng Tirtayasa dibawa oleh Belanda menuju Batavia dan memenjarakan nya hingga
meninggal pada tahun 1692. Sedangkan nasib sang pengkhianat, Sultan Haji. Beliau selanjutnya naik
menjadi penguasa Kesultanan Banten, namun karena pemberontakan yang terus dilakukan oleh rakyat,
dan dirinya yang terus menerus disetir serta selalu harus mengikuti keinginan VOC, Sultan Haji pun jatuh
sakit dan meninggal pada 1687.

***
Shilla membuka matanya, ia merasa sudah cukup mengenang semua kejadian pahit yang
diceritakan oleh kakeknya 3 tahun lalu. Ia tak merasakan sedih lagi, karena ia tau semua pendahulunya
adalah orang-orang hebat. Kakeknya Wijaya, dan kakeknya Wiryo, mereka berdua sama-sama
berpengaruh besar terhadap kehidupan Shilla sekarang. Dalam hati ia bertekad akan meneruskan
perjuangan kakek-kakeknya, meski dengan cara yang pastinya tak sama. Ia hanya harus belajar dan
belajar dengan giat untuk mengalahkan orang-orang diluar sana. Yang sudah tak lagi menjajah bangsa ini
dengan senjata, namun teknologi.
Shilla berjalan keluar rumah kakeknya, nampaknya tetes demi tetes air jatuh dari langit. Semakin
banyak dan semakin deras. Shilla menghela nafas dan memilih untuk duduk di kursi yang ada di halaman
rumah itu. Menikmati suara rintikan hujan yang memenuhi telinganya, juga dinginnya angin yang
berhembus menusuk kulitnya. Dalam hati ia memanjatkan doa dan syukur sebanyak-banyaknya pada
Tuhan yang Maha Kuasa.
“Ya Allah, terimakasih karena telah menciptakan susah dan sedih secara berimbang di muka
bumi ini. Berikan kami kekuatan untuk terus bangkit, dan berilah tempat terbaik bagi semua orang-
orang yang telah berjuang demi kedamaian di bumi ini”
Kemudian matanya terbuka dan melihat bayangan kakeknya tersenyum di hadapannya. Ia
membalas senyuman itu dan kemudian beranjak pulang ke rumahnya, melawan derasnya hujan.

-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai