Anda di halaman 1dari 13

Oei Hui Lan

Kisah putri Sang Raja Gula dari Semarang

Haldep_Oei Hui Lan_i-xviii.indd 1 2/27/2017 11:47:36 AM


Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ­eko­nomi­ sebagai­mana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) ­huruf i ­untuk ­Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana ­penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling ­ba­nyak
Rp100.000.000 ­(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta ­sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, ­huruf d, ­huruf f, dan/atau huruf h untuk Peng­gunaan Secara Komer­sial ­dipidana
dengan pidana penjara pa­ling lama 3 (tiga) ­tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta ­rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta ­sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a, ­huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Peng­gunaan Secara Komer­sial di­pidana
­dengan ­pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda ­pa­ling ­banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, di­pidana ­de­ngan ­pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) ­tahun
dan/atau ­pidana ­denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar ­rupiah).

Haldep_Oei Hui Lan_i-xviii.indd 2 2/27/2017 11:47:36 AM


Oei Hui Lan
Kisah putri Sang Raja Gula dari Semarang

Agnes Davonar

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Haldep_Oei Hui Lan_i-xviii.indd 3 2/27/2017 11:47:37 AM


Oei Hui Lan – Kisah putri Sang Raja Gula dari Semarang
Oleh: Agnes Davonar

© 2017 Penerbit PT Elex Media Komputindo


Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang

Diterbitkan pertama kali oleh:


Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

717080528
ISBN: 978-602-04-1176-7

Ukuran buku: 19 x 23 cm
Jumlah Hal: xviii + 233 Halaman

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan ­sebagian atau seluruh isi buku ini ­tanpa
izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Haldep_Oei Hui Lan_i-xviii.indd 4 2/27/2017 11:47:37 AM


vi Oei Hui Lan

Bab 10 Perjalanan Terakhir Bersama Ayah ........................................................ 109


Bab 11 Kehidupan Tanpa Batas ......................................................................... 117
Bab 12 Pernikahan Saya ..................................................................................... 127
Bab 13 Anak-Anak dalam Kehidupan Saya ........................................................ 141
Bab 14 Ayah Merasa Lelah ................................................................................. 157
Bab 15 Oei Tiong Ham Wafat ........................................................................... 169
Bab 16 Warisan ................................................................................................. 179
Bab 17 Perang Dunia Kedua .............................................................................. 189
Bab 18 Saat Terakhir Bersama Ibu ..................................................................... 199
Bab 19 Pesta Penghabisan .................................................................................. 209
Bab 20 Pesan-Pesan ........................................................................................... 219
Bab 21 Keluarga di Malang dan Permata Kaisar China ...................................... 225

Catatan Penulis .................................................................................................. 233

Haldep_Oei Hui Lan_i-xviii.indd 6 2/27/2017 11:47:37 AM


Haldep_Oei Hui Lan_i-xviii.indd 17 2/27/2017 11:47:39 AM
2 Oei Hui Lan

Kakek saya adalah seorang yang dianggap memberontak di China, yang lahir
pada tahun 1835. Di usia 19 tahun, kakek terpaksa melarikan diri dari China setelah
peme­rintah setempat menyebutnya sebagai buronan dan mengumumkan akan mem-
berikan hadiah bagi siapa saja yang bisa menangkapnya. Dengan berat hati, tanpa
­sempat berpamitan kepada orang tua dan istrinya, kakek berhasil lolos dari pengejaran
­serdadu Kerajaan Manzhu pada malam buta. Terlambat sedikit saja, ia pasti sudah
tertangkap dan dihukum mati.
Hukuman yang dijatuhkan pada para pemberontak pada waktu itu bukanlah
­hukuman mati biasa. Eksekusi tidak berlangsung cepat seperti biasanya, melainkan
lebih tepat disebut penyiksaan. Dianggap menyenangkan bagi sang algojo, tetapi sa­ngat
mengerikan bagi si terhukum dan orang yang menontonnya. Terhukum diikat pada
sebuah tonggak kayu, dikuliti sekujur tubuhnya dan dimutilasi satu-persatu ­anggota
badannya, kemudian dijemur sejak fajar hingga matahari terbenam. Si ter­hukum akan
dipertontonkan di depan umum sampai maut datang menjemput ­(hukuman mati ini
dikenal dengan sebutan Lingchi, dan dipraktikkan di China ­hingga awal abad 20 –
red).
Kakek saya beruntung. Saat melarikan diri, ia melihat sebuah jung atau perahu
kecil yang ditambatkan di pinggir sungai. Ia segera naik dan bersembunyi di jung kayu
itu. Saat jung itu berlayar meninggalkan tepian sungai menuju laut bebas, kakek terus
berbaring tak bergerak karena tidak ingin terpergok oleh pemilik jung itu.
Sambil bersembunyi, ia terus merenungkan nasibnya. Sesaat ia teringat keluarga
yang mungkin tidak akan pernah ia temui lagi. Apalagi saat itu ia baru saja memiliki
bayi. Ketika pemilik jung itu menemukan kakek, ia merasa kasihan dan membiarkan-
nya ikut dalam pelayaran. Pemilik jung menyarankan kakek untuk pindah ke perahu
jung yang lebih besar di pelabuhan, karena perahu-perahu itu menyelundupkan be-
berapa pemberontak keluar dari China.
Mengikuti saran pria yang baik hati itu, kakek segera berpindah ke jung yang
lebih besar. Ia bergabung dengan beberapa orang yang hendak melewati bagian dalam
pelabuhan Amoy yang terlindung. Perahu itu sedang meluncur ke luar menuju Laut
China yang luas, meninggalkan kenangan kekejaman Kekaisaran Manzhu. Dengan

Isi_Oei Hui Lan Folder_1-233.indd 2 2/27/2017 11:49:37 AM


4 Oei Hui Lan

Satu per satu sahabat dan anggota kelompok kakek ditangkap dan dibunuh.
Mengetahui bahwa ia menjadi sasaran penangkapan, kakek segera melarikan diri.
Kakek tidak membawa apa pun selama pelarian itu selain pakaian yang melekat di
tubuhnya.
Kakek tak tahu ke mana tujuan perahu yang ditumpanginya, yang penting ia
­selamat dan dapat melanjutkan hidupnya. Perahu jung itu meluncur siang dan malam
di atas laut yang tenang. Sesekali angin bertiup bagai berbisik lembut dan setiap saat
layar berwarna cokelat memukul-mukul tiangnya tanpa henti. Tujuh puluh orang
China yang sebagian adalah pemberontak atau orang yang mencari suaka mengikuti
pelayaran dengan sabar di atas buritan yang melengkung tinggi. Bersama mereka,
perahu itu mengangkut burung merpati, itik, babi, dan ayam yang terkurung dalam
kandang yang bertumpuk-tumpuk tinggi di haluan.
Hiruk pikuk suara ternak tidak pernah berhenti dan bau busuk menyengat hi-
dung terasa setiap saat. Untuk makan, para penumpang terpaksa berjongkok di atas
dek, menanak nasi dengan tungku kecil sambil memasukkan beberapa helai daun
teh yang berharga ke dalam cangkir kecil berisi air panas. Mereka kebanyakan sangat
miskin dan terpaksa melarikan diri dari kampung halaman menuju tempat baru yang
lebih baik.
Ketika kakek bersandar di pagar perahu, untuk pertama kalinya sejak berminggu-
minggu berlayar akhirnya ia melihat daratan Pulau Jawa yang hijau dan subur muncul
di kejauhan. Langit yang biru terlihat begitu cerah hingga membangunkan semua
penumpang. Perahu jung itu meluncur dengan tenang memecah gelembung buih
di sepanjang garis pantai yang teduh. Sampailah mereka di tanah yang menjanjikan
impian baru.
Mereka bersukacita menginjakkan kaki di daratan dan menatap untuk terakhir
kalinya perahu jung yang telah menyelamatkan nyawa mereka. Kakek berjalan me­
lewati hutan rimba yang lebat yang terhampar sampai ke puncak gunung. Bukit-bukit
tersusun rapi sampai ke garis pantai. Lembah-lembah yang rata dihampari petak-petak
persawahan. Beberapa di antaranya berwarna kehijau-hijauan, lainnya digenangi air.
Dari atas tebing, seorang petani nampak sedang membajak sawah dengan kerbaunya.

Isi_Oei Hui Lan Folder_1-233.indd 4 2/27/2017 11:49:38 AM


Bab 1: Oei Tiong Ham dan Keluarganya 5

Petani tersebut hanya nampak seperti titik sedangkan kerbau penariknya tampak se­
kecil semut. Kemudian untuk sejenak lamanya, warna kehijau-hijauan yang cermer-
lang itu tertutup oleh hutan jati. Batang-batang pohonnya yang tak berdaun nampak
berwarna keabu-abuan. Kakek sadar bahwa kini ia berada di kota Semarang, sebuah
kota pelabuhan yang dikenal oleh banyak orang China sebagai rumah kedua.
Setelah tiga bulan lamanya meninggalkan China, kakek terlihat lebih kurus dan
lusuh dibandingkan saat ia meninggalkan Pelabuhan Amoy. Kota Semarang kala itu
adalah sebuah kota yang bersih bergaya kolonial. Kota megah yang berkilau diterpa
sinar matahari itu menjanjikan keamanan dan kehidupan yang lebih baik. Kakek
segera mencari pekerjaan. Ia tidak memiliki apa-apa selain dadanya yang bidang dan
pera­wakannya yang kekar. Keberuntungan dengan cepat mendekatinya. Sebelum
matahari terbenam, ia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penarik jung masuk ke
pelabuhan.
Dalam semalam, ia telah memiliki teman sesama pelarian yang telah lebih dulu
tiba di Semarang. Temannya kemudian mengajaknya ke perkampungan China.
­Tempat itu ternyata sebuah tempat kumuh yang berada di luar kota. Oleh temannya,
kakek diberitahu bahwa dengan membayar beberapa keping uang tembaga, ia dapat
berbaring sejajar di atas tikar di bawah naungan langit-langit bambu. Setelah teman-
nya membayari “penginapannya”, dengan rasa terima kasih kakek pun bisa tertidur
lelap. Di hatinya hanya ada satu tekad, ia harus bertahan hidup, melanjutkan hidup-
nya dan melupakan masa lalunya.

***

Waktu matahari terbit, setelah minum semangkuk teh, kakek berangkat ke tempat
kerjanya. Sehari penuh ia harus memeras tenaga menarik tali perahu-perahu jung
yang datang tiada habisnya menepi ke pantai. Pekerjaan itu dilakukan berkelompok,
­sementara panas matahari membakar punggungnya. Walaupun pekerjaannya menya-
kitkan dan melelahkan, ia merasa lega ketika seusai bekerja, ia dapat berenang di air
laut pelabuhan, sambil membersihkan kotoran dan kemudian menikmati upahnya.

Isi_Oei Hui Lan Folder_1-233.indd 5 2/27/2017 11:49:38 AM

Anda mungkin juga menyukai