Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Etika merupakan ilmu tentang kesusilaan dan perilaku manusia yang berhubungan
dengan orang lain sesuai prinsip dan aturan tentang tingkah laku yang benar. Secara etimologis,
kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu "Ethikos" yang artinya berasal dari suatu kebiasaan.
Etika berkaitan dengan nilai yang baik maupun buruk perilaku manusia, dan kebiasaan seseorang
melakukan hal yang baik. Etika meliputi norma-norma yang berasal dari nurani setiap manusia
untuk kebaikan bersama dimana norma tersebut akan menjadi pedoman atau aturan manusia
dalam bertingkah laku.

Pancasila sebagai sistem etika berasal dari nilai- nilai yang terkandung dalam kelima sila
di Pancasila mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pada nilai
ketuhanan menciptakan nilai spiritual dan taat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
serta toleransi kepada yang berbeda keyakinan. Pada nilai kemanusiaan menciptakan kerjasama
dan tolong menolong kepada orang lain. Pada nilai persatuan menciptakan sikap solidaritas dan
cinta tanah air. Pada sila kerakyatan menciptakan nilai untuk menghargai setiap perbedaan
karena Indonesia yang sangat beragam. Sedangkan pada nilai keadilan menciptakan sikap peduli
terhadap sesama. Nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan cita- cita bangsa
Indonesia, sehingga bangsa Indonesia harus mewujudkan dalam kehidupan sehari- hari. Etika
pancasila akan membetuk kepribadian dengan nilai dan kebiasaan yang akan tumbuh dalam
masyarakat.

Dalam etika terdapat tiga aliran yaitu :

1. Aliran Deontologi yang menjelaskan tentang perilaku yang baik atau buruk dan sesuai
atau tidak dengan kewajiban yang harus dilakukan.
2. Aliran Teleologi yang menjelaskankan bahwa berdasarkan tujuan atau akibat perbuatan
dapat mengetahui baik ataupun buruknya perilaku.

1
Pengembangan karakter moral namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut.
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Jadi
mengapa Pancasila menjadi sistem Etika? Dikarenakan nilai-nilai Pancasila meskipun
merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat
kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal
dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.

Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem
penyelenggaraan negara. Anda dapat bayangkan apabila dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidance atau tuntunan bagi para penyelenggara
negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu
diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai
berikut:

1. Dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda sehingga
membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat
pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda
Indonesia sebagai akibat globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral
itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi
justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain:
penyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang
tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu
menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama
dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.

2. Korupsi akan semakin merajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki
rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak
dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good
and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik
(good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa

2
baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam
kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul.
Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan
buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu,
simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998:
58).

3. Kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran pajak. Hal
tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah, padahal peranan pajak dari
tahun ke tahun semakin meningkat dalam membiayai APBN. Pancasila sebagai sistem
etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar memenuhi kewajiban
perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi maka program
pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan dengan sumber
penerimaan dari sektor perpajakan. Berikut ini diperlihatkan gambar tentang iklan
layanan masyarakat tentang pendidikan yang dibiayai dengan pajak.

4. Pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di Indonesia


ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak lain. Kasus-
kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media, seperti penganiayaan
terhadap pembantu rumah tangga (PRT), penelantaran anak-anak yatim oleh pihak- pihak
yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain- lain.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila
sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan
sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam
peraturan perundang-undangan tentang HAM (Lihat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM).

5. Kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia,


seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan datang, global
warming, perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan

3
bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat
tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung
memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan
sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang
paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh
karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-
undangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun
perusahaan yang terlibat. Selain itu, penggiat lingkungan dalam makhluk individu dan
sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993:
171). Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono- pluralis yang terdiri atas
susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri
sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan makhluk individual. Keenam unsur manusia
tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat.
Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya
Pancasila. (Notonagoro dalam Asdi, 2003: 17- 18).
Namun pada era Orde Baru ini Pancasila tidak berada dan memihak pada
kekuatan rakyat melainkan kepemimpinan berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Sehingga terjadi berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi yang berakibat pada ke-otoriteran presiden Soekarno yang menjadi presiden
seumur hidup dan membuat politik konfrontasi, dan menggabungkan nasionalisme,
agama, dan komunis yang ternyata tidak cocok dalam kehidupan Negara Indonesia. Hal
ini dibuktikan dengan kemerosotan moral Sebagian masyarakat yang sudah tidak
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan berusaha untuk menggantikan Pancasila
dengan ideologi lain serta terjadi masalah -masalah yang memprihatinkan seperti kudeta
PKI dan kondisi ekonomi yang semakin merosot.

Sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi
sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme
(menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas
Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional Pengembangan
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv)

4
mengatakan sebagai berikut: “Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan
semakin hanyut dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan
karena bangsa Indonesia tidak mengembangkan blueprint yang berakar pada sila
Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Eksistensi Pancasila masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya
belum mampu diwujudkan secara riil. Reformasi belum berlangsung dengan baik karena
Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang
hafal butir-butir Pancasila tetapi belum memahami makna sesungguhnya pada masa reformasi
Pancasila sebagai reinterpretasi yaitu Pancasila harus selalu diinterpretasikan kembali sesuai
dengan perkembangan zaman yang berarti dalam menginterpretasikan nya harus relevan dan
kontekstual dan harus sinkron atau sesuai dengan kenyataan pada zaman saat ini agar Pancasila
sebagai sistem etika tetap berjalan sesuai dengann butir butir yang dikandungnya.

2.3 Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika


Sejak terjadinya krisis multidimensi, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika politik, yang
melatarbelakangi munculnya TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa.
Krisis multi dimensi mengakibatkan terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan , demonstrasi
di mana-mana, munculnya keinginan rakyat untuk integrasi bangsa, dan lain-lain. Hal ini akibat
dari menurunnya sikap sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, menurunnya tingkat
kejujuran dan amanah dalam kehidupan berbangsa.

Pertama, Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa
sikap otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara
yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika
Pancasila yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.

Kedua, Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan
masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya
menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu

5
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Perlunya Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bertujuan untuk :

a. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dan menjalankan
kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek.

b. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.


c. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksaan nilai-nilai etika dan moral
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3.2 SARAN

Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, untuk ke depannya kami sebagai
penulis akan berusaha untuk membuat makalah dengan lebih baik lagi. Demikianlah makalah ini
kami buat, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca sekalian. Kami mohon
maaf jika ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, kurang
dimengerti dan lugas. Dan kami juga mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi
kesempurnaan makalah ini

Anda mungkin juga menyukai