BIODIESEL
Berikut ini uji standar yang digunakan dalam penggunaan bahan bakar biodiesel :
1. Minyak Jarak
Hasil Pemeriksaan
Diesel Bio Bio Bio Metode
No. Jenis Pemeriksaan
Oil Diesel Diesel Diesel Pemeriksaan
100% 100% 5% 10%
Specific Grafity at
1 60/60oF 0.8519 0.8736 0.8538 0.8549 ASTM D 1298
2 Flash Point P.M.c.c., oF 165 174 166 170 ASTM D 93
Viscosity Kinematic
3 3.478 9.4221 3.634 3.777 ASTM D 445
40oC cSt
Viscosity Kinematic
4 100oC cSt 3.614 - - - ASTM D 445
Conradson Carbon
5 Residue, % wt 0.005 0.558 0.022 0.03 ASTM D 189
6 Water Content % vol Trace 0.2 Trace Trace ASTM D 95
7 Cloud Point oC 4 10 5 5 ASTM D 97
Copperstrip Corrosion
8 (3hrs/100oC) 1b 1b 1b 1b ASTM D 130
9 Sediment, % wt 0.014 0.048 0.02 0.018 ASTM D 473
Distilation 90% vol
10 evap to oC 340 337 346 346 ASTM D 86
Gross Heating value, Kalkulasi/
11 9256 9423 9271 9279
Kcal/ltr Hitungan
125.00
120.00
Diesel Oil
115.00 Bio 5%
Bio 10%
Bio 20%
105.00
18002100 2400 27003000
RPM
Tabel 5. Hasil pengujian Daya motor diesel pada berbagai campuran biodiesel
Daya/Power/kW)
RPM Diesel Oil Bio 5% Bio 10% Bio 15% Bio 20%
1800 122.33 122.92 121.16 122.92 122.92
2100 121.75 119.41 119.41 121.16 122.92
2400 119.41 121.16 119.41 119.41 121.16
2700 119.41 119.41 119.41 119.41 121.16
3000 113.55 112.38 115.90 112.38 119.41
Daya/Power/kW)
RPM
Diesel Oil Bio 5% Bio 10% Bio 15% Bio 20%
1800 59.428 60.921 61.618 59.998 60.616
2100 43.860 45.043 44.728 44.133 43.383
2400 34.183 33.615 34.741 34.009 33.264
2700 27.888 27.243 27.775 27.362 26.936
3000 23.996 23.897 23.522 23.743 22.330
semakin besar daya yang dihasilkan persatuan waktu dengan jumlah bahan
bakar yang semakin sedikit menunjukkan besarnya efektifitas pembakaran
yang terjadi dalam motor tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh proses
pembakaran yang berlangsung dalam motor dan besarnya perbandingan
udara dan bahan bakar yang dibutuhkan oleh motor
Perbandingan Konsumsi BB
70.000
60.000
Bio 5%
40.000
Bio 10%
20.000
S
Bio 20%
10.000
0.000
2.Minyak Sawit
Penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar alternatif biasanya dicampurkan dengan bahan
bakar diesel seperti solar menghasilkan komposisi tertentu yang berpengaruh terhadap kinerja
bahan bakar. Dalam pemrosesannya, minyak sawit ditambahkan katalis berupa NaOH untuk
menentukan biodiesel mana yang dihasilkan lebih cepat. Penggunaan katalis (NaOH) sebanyak
5.5 gram (M5.5) sudah memenuhi batasan minimal minyak solar, sedangkan untuk produk
metil ester lainya yang menggunakan katalis (NaOH) sebanyak 3,5 gram (M3.5), 4.5 gram
(M4.5) dan 5 gram (M.5.0) sudah memenuhi batasan karakteristik minyak diesel untuk mesin
diesel putaran rendah. Sedangkan untuk viskositas, hanya produk metil ester M5.5 yang dapat
memenuhi batasan maksimal nilai viskositas dari minyak diesel yang hanya sedikit berbeda dari
minyak solar. Untuk itu dilakukan penambahan sampel uji, yaitu sempel B20 yang merupakan
campuran 20% produk biodiesel M5.5 dengan 80% minyak solar. (kutipan)
Dari grafik terlihat bahwa hasil produk metil ester yang dihasilkan sudah sangat baik. karena
dari variasi penambahan katalis (NaOH) yang dilakukan dapat menghasilkan produk metil ester
yang sudah lebih besar dari 80%. Semakin besar jumlah katalis yang digunakan akan semakin
berkurang produk metil ester yang dihasilkan, dimana terlihat pada pengunaan katalis
sebanyak 3.5 gram, 4.5 gram, 5 gram dan 5.5 gram secara berurutan menghasilkan produk
biodiesel sebesar 96.84%, 94.56%, 91.58% dan 89.82%. Hal ini dapat disebabkan akibat
penambahan katalis yang cenderung dapat meningkatkan hasil dari produk samping yaitu
gliserin, yang menunjukkan semakin besarnya jumlah minyak yang terkonversikan menjadi
ester
Dari grafik terlihat bahwa pada sampel M3.5, M4.5 dan M5.0 menghasilkan viskositas sebesar 8,
6.7 dan 6.3 cSt, dimana masih sedikit dibawah batasan maksimal dari karakterisrik dari minyak
diesel, yaitu 6 cSt. Tetapi sampel M5.5 mempunyai viskositas sebesar 6 cSt yang berarti sudah
memenuhi batasan maksimal dari minyak diesel, tetapi masih sedikit lebih besar viskositas minyak
solar yaitu 5.8 cSt. Untuk sampel B20 menghasilkan viskositas yang sedikit lebih tinggi, yaitu 5 cSt
dibandingkan pada sampel solar 4.7 cSt, yang berarti penggunaan biodiesel sebagai campuran
bahan bakar diesel dapat memperbaiki tingkat pelumasan (lubricity) dari bahan bakar solar
tersebut. Viskositas yang sedikit lebih tinggi tersebut akan menambah tingkat pelumasan terhadap
pompa injeksi dan komponen mesin lainya yang bergesekkan dengan pompa injeksi bahan bakar
80
60 53.753.4
46.847.447.8 48
40
40
20
Dari hasil pengujian titik tuang (pour point) menunjukan bahwa dari ke semua
sempel biodiesel mempunyai titik tuang yang sama yaitu sebesar 9 oC, dimana
lebih rendah dari sampel solar, yaitu 11 oC. Semakin rendah titik tuang tentunya
lebih baik karena mengurangi kecenderungan bahan bakar untuk membeku pada
temperatur yang dingin. Untuk sampel B20 ternyata mengasilkan titik tuang yang
lebih rendah 1 derajat dibandingkan solar yang mempunya titik tuang 10 oC.
14
11
12 10 10
9999
)
10
8
6
4
2
0
Dari hasil pengujian titik nyala (flash point) untuk semua sampel biodiesel dan
minyak sawit mengahasilkan titik nyala yang berbeda satu dengan nyang lainya,
bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan solar . Hal tersebut tentunya
sangat baik karena menunjukan bahwa bahan bakar tersebut lebih aman, karena
tidak akan mudah terbakar pada temperatur lingkungan ambien.
Dari grafik terlihat bahwa hasil pengujian titik nyala pada sampel B20 dapat
menghasilkan titik nyala sebesar 100oC yang berarti lebih tinggi dari solar yaitu
74oC dan merupakan salah satu keuntungan dari penggunaan bodiesel in sebagai
aditif dari bahan bakar solar.
250218210
188
178
200 160
150
100
74
100
50
SawitM3.5M4.5M5.0M5.5SolarB20
Produk Bahan Bakar Diesel
Produk Bahan Bakar Diesel
B. BIOETANOL
Densitas
Pengujian karakteristik fisik bioetanol seperti densitas dilakukan terhadap
bioetanol yang diperoleh dari proses distilasi I dan II. Hasil pengujian densitas
tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
0,94
0,9176
0,92 0,9065
0,899
0,9
0,88
0,86
0,84 Destilasi I
0,82 0,8114
Destilasi II
0,8105 0,8088
0,8
0,78
0,76
0,74
50 70 90
Nilai densitas bioetanol jagungLama
dipengaruhi
Fermentasi (Jam) oleh lamanya fermentasi baik yang
terjadi pada proses distilasi I dan II. Proses fermentasi selama 70 jam memberikan
hasil nilai densitas bioetanol yang terendah dibandingkan pada 50 dan 90 jam waktu
fermentasi. Selanjutnya nilai densitas dimulai dari terkecil adalah 70, 90 dan 50 jam
dan 70, 50 dan 90 jam berturut-turut untuk proses distilasi I dan II.
Nilai densitas bioetanol menurun seiring bertambahnya kadar alkohol dalam
bioetanol. Hanya saja terjadi sedikit perbedaan pada distilasi II dimana densitas
bioetanol pada fermentasi 90 jam (kadar bioetanol 87%) nilainya lebih besar dari
densitas bioetanol pada fermentasi 50 jam (kadar bioetanol 85%). Hal ini disebabkan
karena pada fermentasi 90 jam sebelum dilakukan distilasi II, cairan hasil distilasi I
dicampur dengan batu gamping (CaO). Namun karena perbedaannya sangat kecil
sehingga tetap dikatakan bahwa nilai densitas berbanding terbalik dengan kadar
bioetanol sebagaimana yang terlihat pada distilasi 1. Kemudian jika diperhatikan
densitas bioetanol hasil distilasi II lebih kecil dibandingkan dengan densitas bioetanol
hasil distilasi I. Ini menunjukkan bahwa densitas dipengaruhi oleh kadar bioetanol
yang dihasilkan sedangkan kadar bioetanol dipengaruhi oleh proses distilasi yang
dilakukan secara berulang.
Nilai densitas bioetanol standar sebesar 0,792 gr/ml dengan kadar bioetanol
sekitar 99,6% sedangkan nilai densitas hasil penelitian ini yang mendekati nilai
densitas bioetanol standar terjadi pada kadar 90% dengan densitas sebesar 0,8088
gr/ml. Densitas yang terlalu besar akan berpengaruh pada besarnya viskositas sehingga
semakin besar densitas yang dihasilkan bioetanol maka berpengaruh pada tekanan
injeksi bahan bakar (Fang, 2009).
Viskositas Kinematik
0,035
0,029293855
0,03 0,026887485
0,025
0,02 0,017348802
0,015
0,01
0,005
50 7090
Lama Fermentasi (Jam)
Gambar 8 memperlihatkan nilai rata-rata viskositas kinematik bioetanol dari jagung. Nilai
terbesar berturut-turut dimulai dari proses fermentasi 90, 50, dan 70 jam. Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar alkohol pada bioetanol akan mengakibatkan
nilai viskositas kinematiknya semakin rendah. Hanya saja terjadi sedikit perbedaan pada
distilasi II dimana viskositas kinematik bioetanol pada fermentasi 90 jam (kadar bioetanol
87%) nilainya lebih besar dari viskositas kinematik bioetanol pada fermentasi 50 jam
(kadar bioetanol 85%). Hal tersebut dikarenakan densitas yang dihasilkan pada fermentasi
90 lebih besar dari fermentasi 50 jam, dimana gaya tarik menarik (gaya kohesi) antar
molekul dalam partikelnya akan semakin besar, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
memenuhi tabung penampung semakin lama.
Titik nyala dan titik bakar (Flash dan fire point)
Hasil pengamatan flash dan fire point bioetanol dari jagung dapat dilihat
pada Gambar 9 dan 10.
80
67 29 28,5
70 28
60
57,67 55,34 58,34 28 27,5
27
46 27
50
41,34
25,84
40 26 25,34
30 25
20
24
10
0 23
507090 50 7090
Lama Fermentasi (Jam) Lama Fermentasi (Jam)
Flash Point Fire Point Flash Point Fire Point
Gambar 9. Flash and fire point rata-rata distilasi I Gambar 10. Flash and fire point rata-rata
bioetanol dari jagung pada distilasi II
Titik nyala (flash point) dan titik bakar (fire point) dipengaruhi oleh proses
penguapan, dimana semakin cepat bahan bakar itu menguap maka titik
nyala/flash point dan titik bakar/fire pointnya akan semakin rendah Proses
penguapan zat cair itu dipengaruhi oleh kerapatan (densitas) molekul
penyusunnya, dimana semakin tinggi kerapatan (densitas) molekul penyusunnya
maka semakin sulit zat cair tersebut untuk menguap. Pada pengujian ini
bioetanol yang dihasilkan dari fermentasi 50 jam distilasi I memiliki kerapatan
(densitas) yang paling besar yaitu 0.9176 gr/ml sehingga lebih sulit menguap
daripada bioetanol yang dihasilkan pada fermentasi 70 dan 90 jam yang memiliki
kerapatan (densitas) sebesar 0.8990 dan 0.9065 gr/ml. Oleh karena itu titik nyala
(flash point) dan titik bakar (fire point) akan semakin kecil seiring dengan
bertambahnya kadar bioetanol karena semakin besar kadar bioetanol, maka
kerapatan (densitas) akan semakin kecil.
Namun kadar bioetanol yang didapat dari hasil penelitian ini tidak begitu
besar perbedaannya dan kadarnya masih di bawah bioetanol standar sehingga
mempengaruhi besarnya flash and fire point. Kadar bioetanol standar sekitar
99,6% dengan flash point sebesar 55ºF atau 12,8 ºC Sedangkan flash point terkecil
yang didapat dari penelitian ini dihasilkan oleh fermentasi 70 jam setelah distilasi
II yaitu sebesar 25,34ºC dan 25,84ºC untuk nilai fire pointnya. Sehingga dapat
diartikan bahwa dengan bertambahnya kadar bioetanol maka semakin rendah titik
nyala/flash point bioetanol dan semakin rendah pula titik bakar/fire pointnya. Hal
ini akan mengakibatkan bioetanol sulit menguap.
Kandungan Belerang
4
3,51
3,5
3 2,59
2,42 2,47
2,5
Destilasi I
2
Destilasi II
1,5 1,32
10,61
0,5
0
50 70 90
Lama Fermentasi (Jam)
Kandungan belerang (S) yang diperoleh pada pengujian ini jauh di bawah
standar bahan bakar cair jenis bensin dan solar yaitu 0,000032% sementara
kandungan belerang (S) maksimum yang diijinkan pada bensin sebesar 0,2% dan
0,005-0,25% pada minyak solar. Kandungan belerang yang sangat kecil akan
berdampak baik pada mesin maupun kesehatan. Dalam proses pembakaran
belerang akan teroksidasi oleh oksigen menjadi belerang oksida
(SO2) dan belerang trioksida (SO3). Sifat dari oksida ini apabila berkontak
dengan air akan menjadi bahan yang merusak atau korosif terhadap logam-logam
di dalam ruang bakar dan sistem gas buang (Sontag, 1997). Selain itu,
belerang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap usia mesin
dan sangat signifikan terhadap terbentuknya emisi partikulat (PM). Particulate
Matter (PM) adalah pencemar yang apabila masuk ke dalam sistem pernafasan
dapat menyebabkan bronchitis, asma, gangguan kardiovaskular dan berpotensi
menyebabkan kanker (Agarwal, 2011).