Anda di halaman 1dari 13

A.

BIODIESEL

Indonesia memiliki tumbuhan-tumbuhan penghasil lemak yang memiliki peluang untuk


dijadikan sebagai bahan baku biodiesel, namun bahan baku yang digunakan harus memenuhi
uji standar bahan bakar yang telah ditetapkan agar penggunaan bahan bakar biodiesel tetap
memeberikan performa yang baik pada proses pembakaran. Beberapa karakteristik bahan
bakar motor diesel yang paling utama diantaranya adalah: 1) Berat Jenis (Specific Gravity); 2)
Viskositas (Viscosity); 3) Nilai Kalori (Calorific Value); 4) Kandungan Sulfur (Sulphur Content); 5)
Daya Pelumasan; 6) Titik Tuang (Pour Point); 7) Titik Nyala (Flash point); 8) Angka Cetane
(Cetane Number); 9) Kandungan Arang; 10) Kadar Abu (Ash Content) (kutipan).

Berikut ini uji standar yang digunakan dalam penggunaan bahan bakar biodiesel :

Tabel 1. Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel)

NO Parameter Uji Metode Uji Persyaratan Satuan,


Min/Max
1 Massa Jenis ASTM D-1298 atau 850 - 890 kg/m3
ASTM D 4052
2 Viskositas kinematik pada ASTM D-445 2,3 - 6,0 mm2/s (cSt)
40 ˚C
3 Angka setana ASTM D-613 51 Min
4 Titik nyala ASTM D-93 100 ˚C, min
5 Titik kabut ASTM D-2500 18 ˚C, maks
6 korosi lempeng tembaga (3 ASTM D-130 - 10 850-890 kg/m3
jam pada 50 ˚C)
7 Residu karbon dalam ASTM D 4530 atau 0,05 %-massa,
percontoh asli atau dalam ASTM D 189 maks
10 % ampas distilasi
8 Air dan sedimen ASTM D 2709 0,05 %-vol.,
maks
9 Temperatur distilasi 90% ASTM D 1160 360 ˚C, maks
10 Abu tersulfatkan ASTM D-874 0,02 %-massa,
maks
11 Belerang ASTM D 5453 atau 50 mg/kg,
ASTM D-1266, atau maks
ASTM D 4294 atau
ASTM D 2622
12 Fosfor AOCS Ca 12-55 4 mg/kg,
maks
13 Angka asam AOCS Cd 3d-63 atau 0,5 Mg-KOH/g,
ASTM D-664 maks
14 Gliserol bebas AOCS Ca 14-56 atau 0,02 %-massa,
ASTM D-6584 maks
15 Gliserol total AOCS Ca 14-56 atau 0,24 %-massa,
ASTM D-6584 maks
16 Kadar ester metil lihat bagian 9.15 96,5 %-massa,
pada SNI 7182:2015 min
17 Angka iodium AOCS Cd 1-25 115 %-massa
(g-12/100g),
maks
18 Kestabilan oksidasi Periode EN 15751 480 menit
induksi metode
19 Periode induksi metode ASTM D 7545 36 menit
petro oksi
20 Monogliserida AOCS Cd 11-57 0,8 %-massa,
maks

Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Diesel

Sifat Jenis Minyak Diesel


Mesin Putaran Tinggi Mesin Industri Mesin Putaran
Rendah dan Sedang
Bilangan Setana  40  40  30
Temperatur didih 288 282-338 -
Kekentalan pada 38oC 1,4-2,5 2,0-4,3 5,8-26,4
m3/s
Titik nyala oC  38  52  55
Kadar Belerang %  0,50  0,50  2,00
berat
Kadar air dan  0,05  0,05  0,50
sedimen % volume
Kadar abu % berat  0,01  0,01  0,1
Ramsbottom residu  0,15  0,35 -
carbon
10% residu destilasi
% massa
Sumber: American Society for Testing and Material (ASTM) D- 975, 1991

1. Minyak Jarak

Melalui perhitungan besarnya daya motor, konsumsi bahan bakar


dan emisi gas buang kemudian membandingkan antara motor hasil
pengujian bahan bakar minyak diesel murni dengan campuran antara
solar dengan biodiesel. Seperti terlihat pada tabel dan gambar di bawah,
dari hasil pengujian terdapat perbedaan antara motor hasil pengujian
bahan bakar solar/minyak diesel murni dengan campuran antara minyak
diesel dengan biodiesel.

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui kualitas biodiesel yang


dikembangkan dan campuran biodiesel dengan solar memiliki
karakteristik yang hampir sama bahkan pada beberapa hal memiliki
kualitas dan karakteristik yang lebih baik. Dari hasil pengujian berat
jenis (specific gravity) diperoleh hasil bahwa nilai ini masih berada pada
batas yang dipersyaratkan oleh SNI 04-7182-2006 untuk bio diesel yaitu
sebesar 0.85 – 0.89 kg/m3 baik pada fraksi 100% maupun pada
campuran 5 – 20%. Flash poin hasil pengujian menunjukkan hasil antara
165 – 174oC, sementara flash point yang disyaratkan hanya minimum
100oC. Demikian juga untuk beberapa parameter lainnya menunjukkan
nilai yang masih berada pada range yang cukup sebagai bahan bakar
motor diesel.

Tabel 3. Hasil uji karakteristik biodiesel dengan minyak jarak

Hasil Pemeriksaan
Diesel Bio Bio Bio Metode
No. Jenis Pemeriksaan
Oil Diesel Diesel Diesel Pemeriksaan
100% 100% 5% 10%
Specific Grafity at
1 60/60oF 0.8519 0.8736 0.8538 0.8549 ASTM D 1298
2 Flash Point P.M.c.c., oF 165 174 166 170 ASTM D 93
Viscosity Kinematic
3 3.478 9.4221 3.634 3.777 ASTM D 445
40oC cSt
Viscosity Kinematic
4 100oC cSt 3.614 - - - ASTM D 445
Conradson Carbon
5 Residue, % wt 0.005 0.558 0.022 0.03 ASTM D 189
6 Water Content % vol Trace 0.2 Trace Trace ASTM D 95
7 Cloud Point oC 4 10 5 5 ASTM D 97
Copperstrip Corrosion
8 (3hrs/100oC) 1b 1b 1b 1b ASTM D 130
9 Sediment, % wt 0.014 0.048 0.02 0.018 ASTM D 473
Distilation 90% vol
10 evap to oC 340 337 346 346 ASTM D 86
Gross Heating value, Kalkulasi/
11 9256 9423 9271 9279
Kcal/ltr Hitungan

Besarnya water content sebesar 0,2% volume untuk biodiesel 100%,


yang dikarenakan masih kurang sempurnanya proses pengeringan
sehingga kandungan airnya masih cukup tinggi bila dibandingkan
dengan minya diesel maupun fraksi campuran antara bio diesel dengan
minyak diesel. Besarnya water content ini akan menyebabkan
penyerapan energi panas yang cukup besar dalam proses pembakaran
sehingga energi panas yang dihasilkan dari proses pembakaran akan
semakin menurun. Untuk itu penggunaan biodiesel 100% dalam
pengujian belum dapat direkomendasikan. Namun hal ini menunjukkan
bahwa bahan bakar bio diesel dari minyak jarak memiliki karaktristik
yang cukup baik dan sama dengan karakteristik minyak diesel, sehingga
dapat digunakan sebagai bahan bakar pada motor diesel.
Sebagai sebuah parameter yang sangat penting pada karakteristik
motor, torsi dalam penelitian ini diukur pada dynamo- meter, sebagai
suatu output hasil pembakaran yang terjadi pada silinder. Pada
penggunaan bahan bakar biodiesel pada berbagai campuran dapat
dibandingkan torsi dengan penggunaan minyak diesel seperti tampak
pada tabel berikut:

Tabel 4. Hasil pengujian Torsi motor dieselpada


berbagai campuran bio diesel
Torsi (Nm)
RPM
Diesel Oil Bio 5% Bio 10% Bio 15% Bio 20%
1800 23.048 23.158 22.827 23.158 23.158
2100 26.760 26.246 26.246 26.632 27.018
2400 29.995 30.436 29.995 29.995 30.436
2700 33.745 33.745 33.745 33.745 34.241
3000 35.656 35.288 36.391 35.288 37.494

Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bahwa torsi yang


dibangkitkan dari hasil pembakaran motor diesel berbahan bakar
campuran antara solar dengan biodiesel minyak jarak pada berbagai
fraksi menunjukkan hasil bahwa penggunaan biodiesel dapat
memperbaiki torsi motor pada berbagai tingkat rpm dengan hasil yang
paling tinggi dicapai oleh campuran bio diesel 20%. Dari grafik torsi di
bawah dapat diamati besarnya torsi yang dihasilkan memiliki nilai yang
lebih baik daripada solar 100%. Besarnya torsi yang dihasilkan
menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar terutama pada
putaran tinggi, dimana torsi yang dapat dihasilkan lebih besar
dibandingkan dengan minyak diesel 100%

Perbandingan Torsi (Nm)

125.00

120.00
Diesel Oil
115.00 Bio 5%
Bio 10%
Bio 20%

105.00
18002100 2400 27003000

RPM

Gambar 1. Perbandingan torsi pada berbagai campuran bio diesel

Besarnya daya motor yang dihasilkan oleh pembakaran


bahan bakar pada berbagai fraksi biodiesel memiliki karakteristik yang
lebih baik dari pada minyak diesel murni (100%) terutama pada
campuran bio diesel 20%. Pada fraksi ini tampak bahwa besarnya daya
pada poros untuk semua variasi rpm memiliki karakteristik yang lebih
baik daripada solar murni maupun beberapa fraksi lainnya. Data hasil
pengujian selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Hasil pengujian Daya motor diesel pada berbagai campuran biodiesel

Daya/Power/kW)
RPM Diesel Oil Bio 5% Bio 10% Bio 15% Bio 20%
1800 122.33 122.92 121.16 122.92 122.92
2100 121.75 119.41 119.41 121.16 122.92
2400 119.41 121.16 119.41 119.41 121.16
2700 119.41 119.41 119.41 119.41 121.16
3000 113.55 112.38 115.90 112.38 119.41

Sementara dari grafik di atas dapat diamati besarnya daya yang


dihasilkan oleh hasil pembakaran bahan bakar bio diesel pada berbagai
tingkat rpm dan berbagai fraksi diperoleh hasil yang lebih baik dari pada
minyak diesel murni (100%) terutama pada fraksi 20%, hal ini dapat
dipahami besarnya daya ini akan semakin baik terutama apabila
didapatkan torsi yang baik pula.
Daya spesifik yang dihasilkan ini merupakan hasil perhitung- an
torsi pada motor diesel, sebanding dengan besarnya rpm pada motor
tersebut. Besarnya daya yang dihasilkan oleh motor diesel ini
dipengaruhi oleh besarnya energi yang dikandung oleh bahan bakar, dari
hasil pengujian didapatkan bahwa nilai kalor biodiesel pada fraksi 20%
memiliki nilai 9.305 kcal/ltr, lebih besar dari pada diesel murni yang
hanya mencapai 9.206 kcal/ltr, sehingga menghasilkan energi yang lebih
besar dibandingkan solar murni maupun beberapa fraksi lainnya.

Pemakaian bahan bakar spesifik (specific fuel comsumption) adalah


suatu ukuran banyaknya bahan bakar yang digunakan suatu motor pada
waktu tertentu Ukuran ini dapat digunakan sebagai indikator efisiensi
kendaraan. Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan konsumsi
bahan bakar antara biodiesel pada berbagai fraksi dengan bahan bakar
diesel murni. Penggunaan fraksi bio diesel 20% memiliki konsumsi
bahan bakar yang semakin rendah bila dibandingkan dengan fraksi
lainnya maupun minyak diesel murni pada berbagai tingkat rpm.
Besarnya konsumsi bahan bakar dapat diamati pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Pengujian konsumsi bahan bakar pada berbagai campuran


biodiesel

Daya/Power/kW)
RPM
Diesel Oil Bio 5% Bio 10% Bio 15% Bio 20%
1800 59.428 60.921 61.618 59.998 60.616
2100 43.860 45.043 44.728 44.133 43.383
2400 34.183 33.615 34.741 34.009 33.264
2700 27.888 27.243 27.775 27.362 26.936
3000 23.996 23.897 23.522 23.743 22.330
semakin besar daya yang dihasilkan persatuan waktu dengan jumlah bahan
bakar yang semakin sedikit menunjukkan besarnya efektifitas pembakaran
yang terjadi dalam motor tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh proses
pembakaran yang berlangsung dalam motor dan besarnya perbandingan
udara dan bahan bakar yang dibutuhkan oleh motor

Perbandingan Konsumsi BB

70.000

60.000

50.000 Diesel Oil


gr/kWh)

Bio 5%
40.000
Bio 10%
20.000

S
Bio 20%
10.000

0.000

Gambar 4. Grafik konsumsi bahan bakar pada berbagai campuran

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui besarnya konsumsi


bahan bakar spesifik pada semua fraksi bahan bakar biodiesel
berhimpitan dengan bahan bakar diesel murni, sementara konsumsi
bahan bakar terendah terdapat pada bahan bakar biodiesel dengan fraksi
20%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahan bakar bio diesel
minyak jarak memiliki kecenderungan yang lebih baik jika digunakan
pada mesin diesel.

2.Minyak Sawit

Penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar alternatif biasanya dicampurkan dengan bahan
bakar diesel seperti solar menghasilkan komposisi tertentu yang berpengaruh terhadap kinerja
bahan bakar. Dalam pemrosesannya, minyak sawit ditambahkan katalis berupa NaOH untuk
menentukan biodiesel mana yang dihasilkan lebih cepat. Penggunaan katalis (NaOH) sebanyak
5.5 gram (M5.5) sudah memenuhi batasan minimal minyak solar, sedangkan untuk produk
metil ester lainya yang menggunakan katalis (NaOH) sebanyak 3,5 gram (M3.5), 4.5 gram
(M4.5) dan 5 gram (M.5.0) sudah memenuhi batasan karakteristik minyak diesel untuk mesin
diesel putaran rendah. Sedangkan untuk viskositas, hanya produk metil ester M5.5 yang dapat
memenuhi batasan maksimal nilai viskositas dari minyak diesel yang hanya sedikit berbeda dari
minyak solar. Untuk itu dilakukan penambahan sampel uji, yaitu sempel B20 yang merupakan
campuran 20% produk biodiesel M5.5 dengan 80% minyak solar. (kutipan)

Pengaruh konsentrasi NaOH terhadap Yield Produk

Dari grafik terlihat bahwa hasil produk metil ester yang dihasilkan sudah sangat baik. karena
dari variasi penambahan katalis (NaOH) yang dilakukan dapat menghasilkan produk metil ester
yang sudah lebih besar dari 80%. Semakin besar jumlah katalis yang digunakan akan semakin
berkurang produk metil ester yang dihasilkan, dimana terlihat pada pengunaan katalis
sebanyak 3.5 gram, 4.5 gram, 5 gram dan 5.5 gram secara berurutan menghasilkan produk
biodiesel sebesar 96.84%, 94.56%, 91.58% dan 89.82%. Hal ini dapat disebabkan akibat
penambahan katalis yang cenderung dapat meningkatkan hasil dari produk samping yaitu
gliserin, yang menunjukkan semakin besarnya jumlah minyak yang terkonversikan menjadi
ester

Gambar 2. Grafik Yield Produk Metil Ester vs NaOH

Viskositas Kinematik (Kinematic Viscosity)

Dari grafik terlihat bahwa pada sampel M3.5, M4.5 dan M5.0 menghasilkan viskositas sebesar 8,
6.7 dan 6.3 cSt, dimana masih sedikit dibawah batasan maksimal dari karakterisrik dari minyak
diesel, yaitu 6 cSt. Tetapi sampel M5.5 mempunyai viskositas sebesar 6 cSt yang berarti sudah
memenuhi batasan maksimal dari minyak diesel, tetapi masih sedikit lebih besar viskositas minyak
solar yaitu 5.8 cSt. Untuk sampel B20 menghasilkan viskositas yang sedikit lebih tinggi, yaitu 5 cSt
dibandingkan pada sampel solar 4.7 cSt, yang berarti penggunaan biodiesel sebagai campuran
bahan bakar diesel dapat memperbaiki tingkat pelumasan (lubricity) dari bahan bakar solar
tersebut. Viskositas yang sedikit lebih tinggi tersebut akan menambah tingkat pelumasan terhadap
pompa injeksi dan komponen mesin lainya yang bergesekkan dengan pompa injeksi bahan bakar

Gambar 3. Grafik Viskositas vs Produk bahan bakar diesel


Indeks setana (Calculated Cetane Index)

Dari hasil perhitungan indeks setana dapat dilihat bahwa untuk


semua produk biodiesel tersebut mempunyai hasil kalkulasi indeks
setana yang berada dibawah sama dengan indeks setana sampel solar,
yaitu sebesar 53.7.

Untuk produk M5.5 sudah menghasilkan indeks setana yang sama


dengan batasan minimal dari minyak solar, yaitu 48. Sedangkan
untuk produk biodiesel lainnya (M3.5, M4.5 dan M5.0) telah
memenuhi batasan nilai indeks setana untuk mesein diesel yang
mempunyai nilai minimal 43.

Pada sempel B20, ternyata menghasilkan indeks setana yang hampir


sama dengan sampel solar , yaitu sebesar 53.4.

80

60 53.753.4
46.847.447.8 48
40
40

20

Sawit M3.5M4.5M5.0M5.5 SolarB20

Produk Bahan Bakar Diesel

Gambar 4. Grafik Cetane Index vs Produk bahan bakar diesel

Titik Tuang (Pour Point)

Dari hasil pengujian titik tuang (pour point) menunjukan bahwa dari ke semua
sempel biodiesel mempunyai titik tuang yang sama yaitu sebesar 9 oC, dimana
lebih rendah dari sampel solar, yaitu 11 oC. Semakin rendah titik tuang tentunya
lebih baik karena mengurangi kecenderungan bahan bakar untuk membeku pada
temperatur yang dingin. Untuk sampel B20 ternyata mengasilkan titik tuang yang
lebih rendah 1 derajat dibandingkan solar yang mempunya titik tuang 10 oC.

14
11
12 10 10
9999
)

10
8
6
4
2
0

Sawit M3.5M4.5M5.0M5.5 SolarB20

Produk Bahan Bakar Diesel


Gambar 5. Grafik Pour Point vs Produk bahan bakar diesel

Titik Nyala (Flash Point)

Dari hasil pengujian titik nyala (flash point) untuk semua sampel biodiesel dan
minyak sawit mengahasilkan titik nyala yang berbeda satu dengan nyang lainya,
bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan solar . Hal tersebut tentunya
sangat baik karena menunjukan bahwa bahan bakar tersebut lebih aman, karena
tidak akan mudah terbakar pada temperatur lingkungan ambien.

Dari grafik terlihat bahwa hasil pengujian titik nyala pada sampel B20 dapat
menghasilkan titik nyala sebesar 100oC yang berarti lebih tinggi dari solar yaitu
74oC dan merupakan salah satu keuntungan dari penggunaan bodiesel in sebagai
aditif dari bahan bakar solar.

250218210
188
178
200 160

150
100
74
100

50

SawitM3.5M4.5M5.0M5.5SolarB20
Produk Bahan Bakar Diesel
Produk Bahan Bakar Diesel

Gambar 6. Grafik Flash Ponit vs Produk bahan bakar diesel

B. BIOETANOL

Densitas
Pengujian karakteristik fisik bioetanol seperti densitas dilakukan terhadap
bioetanol yang diperoleh dari proses distilasi I dan II. Hasil pengujian densitas
tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

0,94
0,9176
0,92 0,9065
0,899
0,9
0,88
0,86
0,84 Destilasi I
0,82 0,8114
Destilasi II
0,8105 0,8088
0,8
0,78
0,76
0,74

50 70 90
Nilai densitas bioetanol jagungLama
dipengaruhi
Fermentasi (Jam) oleh lamanya fermentasi baik yang
terjadi pada proses distilasi I dan II. Proses fermentasi selama 70 jam memberikan
hasil nilai densitas bioetanol yang terendah dibandingkan pada 50 dan 90 jam waktu
fermentasi. Selanjutnya nilai densitas dimulai dari terkecil adalah 70, 90 dan 50 jam
dan 70, 50 dan 90 jam berturut-turut untuk proses distilasi I dan II.
Nilai densitas bioetanol menurun seiring bertambahnya kadar alkohol dalam
bioetanol. Hanya saja terjadi sedikit perbedaan pada distilasi II dimana densitas
bioetanol pada fermentasi 90 jam (kadar bioetanol 87%) nilainya lebih besar dari
densitas bioetanol pada fermentasi 50 jam (kadar bioetanol 85%). Hal ini disebabkan
karena pada fermentasi 90 jam sebelum dilakukan distilasi II, cairan hasil distilasi I
dicampur dengan batu gamping (CaO). Namun karena perbedaannya sangat kecil
sehingga tetap dikatakan bahwa nilai densitas berbanding terbalik dengan kadar
bioetanol sebagaimana yang terlihat pada distilasi 1. Kemudian jika diperhatikan
densitas bioetanol hasil distilasi II lebih kecil dibandingkan dengan densitas bioetanol
hasil distilasi I. Ini menunjukkan bahwa densitas dipengaruhi oleh kadar bioetanol
yang dihasilkan sedangkan kadar bioetanol dipengaruhi oleh proses distilasi yang
dilakukan secara berulang.
Nilai densitas bioetanol standar sebesar 0,792 gr/ml dengan kadar bioetanol
sekitar 99,6% sedangkan nilai densitas hasil penelitian ini yang mendekati nilai
densitas bioetanol standar terjadi pada kadar 90% dengan densitas sebesar 0,8088
gr/ml. Densitas yang terlalu besar akan berpengaruh pada besarnya viskositas sehingga
semakin besar densitas yang dihasilkan bioetanol maka berpengaruh pada tekanan
injeksi bahan bakar (Fang, 2009).

Viskositas Kinematik

0,035
0,029293855
0,03 0,026887485

0,025
0,02 0,017348802

0,015

0,01

0,005

50 7090
Lama Fermentasi (Jam)

Gambar 8 memperlihatkan nilai rata-rata viskositas kinematik bioetanol dari jagung. Nilai
terbesar berturut-turut dimulai dari proses fermentasi 90, 50, dan 70 jam. Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar alkohol pada bioetanol akan mengakibatkan
nilai viskositas kinematiknya semakin rendah. Hanya saja terjadi sedikit perbedaan pada
distilasi II dimana viskositas kinematik bioetanol pada fermentasi 90 jam (kadar bioetanol
87%) nilainya lebih besar dari viskositas kinematik bioetanol pada fermentasi 50 jam
(kadar bioetanol 85%). Hal tersebut dikarenakan densitas yang dihasilkan pada fermentasi
90 lebih besar dari fermentasi 50 jam, dimana gaya tarik menarik (gaya kohesi) antar
molekul dalam partikelnya akan semakin besar, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
memenuhi tabung penampung semakin lama.
Titik nyala dan titik bakar (Flash dan fire point)
Hasil pengamatan flash dan fire point bioetanol dari jagung dapat dilihat
pada Gambar 9 dan 10.

80
67 29 28,5
70 28
60
57,67 55,34 58,34 28 27,5
27
46 27
50
41,34
25,84
40 26 25,34
30 25
20
24
10
0 23
507090 50 7090
Lama Fermentasi (Jam) Lama Fermentasi (Jam)
Flash Point Fire Point Flash Point Fire Point

Gambar 9. Flash and fire point rata-rata distilasi I Gambar 10. Flash and fire point rata-rata
bioetanol dari jagung pada distilasi II

Titik nyala (flash point) dan titik bakar (fire point) dipengaruhi oleh proses
penguapan, dimana semakin cepat bahan bakar itu menguap maka titik
nyala/flash point dan titik bakar/fire pointnya akan semakin rendah Proses
penguapan zat cair itu dipengaruhi oleh kerapatan (densitas) molekul
penyusunnya, dimana semakin tinggi kerapatan (densitas) molekul penyusunnya
maka semakin sulit zat cair tersebut untuk menguap. Pada pengujian ini
bioetanol yang dihasilkan dari fermentasi 50 jam distilasi I memiliki kerapatan
(densitas) yang paling besar yaitu 0.9176 gr/ml sehingga lebih sulit menguap
daripada bioetanol yang dihasilkan pada fermentasi 70 dan 90 jam yang memiliki
kerapatan (densitas) sebesar 0.8990 dan 0.9065 gr/ml. Oleh karena itu titik nyala
(flash point) dan titik bakar (fire point) akan semakin kecil seiring dengan
bertambahnya kadar bioetanol karena semakin besar kadar bioetanol, maka
kerapatan (densitas) akan semakin kecil.
Namun kadar bioetanol yang didapat dari hasil penelitian ini tidak begitu
besar perbedaannya dan kadarnya masih di bawah bioetanol standar sehingga
mempengaruhi besarnya flash and fire point. Kadar bioetanol standar sekitar
99,6% dengan flash point sebesar 55ºF atau 12,8 ºC Sedangkan flash point terkecil
yang didapat dari penelitian ini dihasilkan oleh fermentasi 70 jam setelah distilasi
II yaitu sebesar 25,34ºC dan 25,84ºC untuk nilai fire pointnya. Sehingga dapat
diartikan bahwa dengan bertambahnya kadar bioetanol maka semakin rendah titik
nyala/flash point bioetanol dan semakin rendah pula titik bakar/fire pointnya. Hal
ini akan mengakibatkan bioetanol sulit menguap.

Kandungan Belerang
4
3,51
3,5
3 2,59
2,42 2,47
2,5
Destilasi I
2
Destilasi II
1,5 1,32

10,61
0,5
0
50 70 90
Lama Fermentasi (Jam)

Kandungan belerang (S) yang diperoleh pada pengujian ini jauh di bawah
standar bahan bakar cair jenis bensin dan solar yaitu 0,000032% sementara
kandungan belerang (S) maksimum yang diijinkan pada bensin sebesar 0,2% dan
0,005-0,25% pada minyak solar. Kandungan belerang yang sangat kecil akan
berdampak baik pada mesin maupun kesehatan. Dalam proses pembakaran
belerang akan teroksidasi oleh oksigen menjadi belerang oksida
(SO2) dan belerang trioksida (SO3). Sifat dari oksida ini apabila berkontak
dengan air akan menjadi bahan yang merusak atau korosif terhadap logam-logam
di dalam ruang bakar dan sistem gas buang (Sontag, 1997). Selain itu,
belerang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap usia mesin
dan sangat signifikan terhadap terbentuknya emisi partikulat (PM). Particulate
Matter (PM) adalah pencemar yang apabila masuk ke dalam sistem pernafasan
dapat menyebabkan bronchitis, asma, gangguan kardiovaskular dan berpotensi
menyebabkan kanker (Agarwal, 2011).

Anda mungkin juga menyukai