Anda di halaman 1dari 17

ADBM 10

*Buku 399 (ADBM Terusan - 02)*

Sepagi itu matahari bersinar dengan cerahnya, burung burung berterbangan dengan riangnya, kadang
hinggap di dahan dahan sambil memperdengarkan kicauannya yang merdu, kadang terbang menjauh
dengan mengepakkan sayap sayapnya dengan lincah kemudian meluncur, menukik dan menyambar
bilalang bilalang yang terbang rendah di atas rerumputan.

—oOo—

Sementara itu, di pinggir kali Praga, para tukang satang tampak hilir mudik menyeberangkan para
penumpang yang akan menyeberang ke Tanah Perdikan Menoreh atau sebaliknya. Diantara para
penumpang yang akan menyeberang itu tampak Kiai Sabda Dadi dan Damarpati.

Ketika rakit yang membawa mereka menyeberang itu telah sampai di tepian, dengan bergegas Kiai
Sabda Dadi dan Damarpati menghela kudanya untuk turun dari rakit diikuti oleh ketiga pengawal dari
tanah Perdikan Menoreh.

Baru saja mereka berlima menggerakkan kudanya untuk menyusuri jalan berdebu menuju ke padukuhan
induk Tanah Perdikan Menoreh, tiba tiba mereka dikejutkan oleh derap seekor kuda dengan
penunggangnya yang tergesa gesa berpacu mendahului mereka.

Sejenak Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya. Rasa rasanya ada yang tidak wajar dari penunggang
kuda yang mendahului mereka itu. Namun kesan itu segera dihapus dari hatinya. Betapapun juga setiap
orang mungkin mempunyai kepentingan yang berbeda beda dan tidak ada seorangpun yang tahu selain
orang itu sendiri.

Dari tepian kali Praga mereka masih harus menyusuri bulak bulak panjang yang sepi dan melewati
beberapa padukuhan padukuhan kecil sebelum mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Matahari telah condong ke barat dan hari telah menjelang sore. Sinar matahari yang merah redup itu
membias di puncak puncak bukit yang bagaikan bersepuh tembaga. Di langit, berpuluh puluh ekor
burung terbang bergerombol kembali ke sarang mereka setelah seharian mencari makan. Mereka akan
kembali ke sarang untuk memberi makan anak anak mereka agar segera tumbuh besar sehingga dapat
mencari makan sendiri.

Ketika kemudian perlahan lahan kegelapan mulai menyelimuti langit Tanah Perdikan Menoreh, kelima
orang yang sedang melakukan perjalanan itu masih harus melintasi sebuah bulak yang panjang sebelum
sampai di regol padukuhan induk tanah Perdikan Menoreh.

Tiba tiba dada Kiai Sabda Dadi berdesir tajam. Bulak itu terasa sangat panjang dan sepi. Dalam
keremangan malam, bulak itu seolah olah seperti sebuah lorong yang tak berujung. Panggraitanya
sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan, serta kemampuannya yang
mumpuni dalam olah kanuragan kadangkala memberikan suatu isyarat kepadanya tentang bahaya yang
mungkin sedang menunggu di depan hidungnya.

Sementara itu kuda-kuda mereka berlari tidak begitu kencang di atas tanah yang berdebu. Damarpati
yang berkuda di samping Kakeknya tidak banyak mengeluarkan kata kata. Pandangan matanya lebih
sering menunduk memandangi suri kudanya yang berkibar kibar tertiup angin dari arah depan.

Ketika perjalanan mereka melintasi bulak panjang itu telah mencapai hampir separonya, lamat-lamat
mereka dikejutkan oleh bayangan yang terlihat di depan sedang menghalang di tengah jalan. Bayangan
itu dari kejauhan tampak seperti batang batang kayu yang berjajar jajar menutup jalan, namun ketika
mereka sudah semakin dekat, ternyata bayangan itu adalah segerombolan orang yang sedang berdiri
menghalangi jalan.

Segera saja mereka mengekang kendali kuda masing masing untuk menghentikan laju kuda mereka.
Ketika kuda kuda mereka telah benar benar berhenti dua tombak dari orang orang yang bergerombol
menghalangi jalan itu, Kiai Sabda Dadi yang merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan
rombongan itu segera menggerakkan kudanya maju beberapa langkah.

“Selamat malam, Ki Sanak semuanya,” sapa Kiai Sabda Dadi seramah mungkin, “Ijinkanlah kami lewat
untuk menjenguk saudara kami yang sedang sakit di padukuhan induk Menoreh.”
Sejenak orang orang yang bergerombol menghalangi jalan itu tidak menjawab. Baru sesaat kemudian
seseorang yang berperawakan tinggi besar dengan kumis melintang tetapi dengan dagu yang licin, maju
beberapa langkah ke depan.

“Siapakah sebenarnya kalian berlima ini? Ada kepentingan apakah kalian berkunjung ke Tanah Perdikan
Menoreh?” dengan suara berat dan dalam orang yang berperawakan tinggi besar itu bertanya.

Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam dalam. Sebelum menjawab pertanyaan orang tinggi besar itu,
diedarkan pandangan matanya ke arah orang orang yang sedang bergerombol di tengah jalan itu.

“Sembilan orang,” desis Kiai Sabda Dadi di dalam hati.

“He..!” tiba tiba terdengar bentakan menggelegar. Ternyata orang tinggi besar itu yang membentak,
“Apakah telingamu tuli, he? Jawab pertanyaanku dan segera turun dari kudamu atau aku akan memaksa
kalian turun dari kuda dengan caraku sendiri?”

Sejenak Kiai Sabda dadi menoleh ke arah Santa dan kawan kawannya yang ada di belakangnya. Dengan
sebuah isyarat, Kiai Sabda Dadi kemudian mengajak mereka semua turun dari kuda.

Sambil tetap memegangi kendali kudanya dengan tangan kiri, Kiai Sabda Dadi menjawab, “Ma’afkan
kami Ki Sanak, kami semua berasal dari Prambanan dan masih ada hubungan keluarga antara satu
dengan lainnya. Kami berniat untuk menjenguk salah satu keluarga kami yang ada di Menoreh yang
kebetulan sedang menderita sakit.”

“Omong kosong!” bentak orang tinggi besar itu dengan cepat memotong kata kata Kiai Sabda Dadi,
“Bukankah tiga orang yang berada di belakangmu itu adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh?
Murid muridku melihat mereka beberapa hari yang lalu meninggalkan Tanah Perdikan ini, dan sekarang
mereka telah kembali dengan membawa dua orang asing. Aku yakin ini semua pasti ada hubungannya
dengan sakitnya Ki Gede Menoreh.”
Kiai Sabda Dadi termangu mangu sejenak. Segera saja dia teringat kepada orang berkuda yang berpacu
mendahului mereka ketika mereka masih berada di tepian kali Praga.

“Kalau Ki Sanak sudah mengetahui keberadaan kami, mengapa Ki Sanak masih bertanya?” akhirnya Kiai
Sabda Dadi ganti bertanya.

Tiba-tiba orang tinggi besar itu tertawa tergelak gelak, katanya kemudian disela sela tawanya,
“Ketahuilah, aku hanya ingin meyakinkan bahwa aku tidak salah sasaran. Dengan pengakuanmu itu,
berarti engkau telah melapangkan jalan kematianmu bersama para pengikutmu. Tidak ada seorang pun
yang boleh menolong Argapati, biarlah dia mati dalam kesepian dan penyesalan.”

Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya, orang yang berdiri di depannya ini menyebut nyebut ki
Argapati yang sedang sakit. Tidak menutup kemungkinan bahwa kelompok mereka ini adalah kelompok
orang orang yang berniat jahat, yang ingin melihat Menoreh hancur justru dari dalam sendiri.

Melihat gelagat yang tidak mungkin dapat dihindari lagi, Kiai Sabda Dadi segera melangkah mundur
beberapa langkah sambil menarik kudanya. Sebelum orang orang yang berdiri menghalang jalan itu
menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh ringkik kuda yang bersahut sahutan.
Belum sempat mereka mengambil sikap, bagaikan kerasukan iblis, kuda kuda itu meloncat kedepan
menerjang ke arah mereka. Ternyata dengan cerdik Kiai Sabda Dadi telah mengajak para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh dan Damarpati untuk melecut kuda kuda mereka sekuat tenaga. Sehingga
kuda kuda yang terkejut itu telah meringkik sekeras kerasnya kemudian meloncat berlari menerjang apa
saja yang ada di depannya.

Namun orang orang yang sedang bergerombol di tengah jalan itu ternyata bukan orang kebanyakan.
Meskipun ada diantara mereka yang terpaksa menjatuhkan diri sambil berguling ke tepi jalan, namun
ternyata tidak ada seorangpun yang mendapatkan cidera yang berarti.

“Gila,” umpat orang yang tinggi besar itu, “Kalian benar benar orang orang gila yang sudah bosan hidup.
Jangan harap kalian akan mendapatkan pertolongan dari para pengawal di padukuhan induk dengan
cara mengirimkan kuda kuda kalian yang tanpa penunggang. Sebelum para pengawal itu sampai disini,
kalian sudah terkapar menjadi mayat.”
Kiai Sabda Dadi dan para pengawal itu saling berpandangan sejenak, ternyata usaha mereka untuk
mendapatkan pertolongan dari gardu terdekat telah diketahui oleh lawan mereka, namun mereka tidak
berkecil hati, walaupun setitik, harapan itu tetap ada.

Yang justru menjadi acuh tak acuh adalah Damarpati. Ketika suasana menjadi semakin tegang, dia justru
dengan tenangnya telah melangkah menepi kemudian duduk memeluk lutut di tanggul pinggir jalan.

Kakeknya hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Sebersit kekhawatiran menyelinap di sudut hatinya,
namun kemudian Kiai Sabda Dadi hanya dapat pasrah. Segala ilmu olah kanuragan telah diajarkannya,
semoga dalam keadaan yang gawat, Damarpati mampu mengungkapkannya untuk sekedar menjaga diri.

“Guru,” tiba tiba seorang yang berperawakan tinggi kurus dengan mata juling dan berhidung bengkok
seperti paruh burung rajawali berkata, “Ijinkan aku mengajari anak muda itu unggah ungguh, agar dia
tahu dengan siapa sebenarnya dia berhadapan.”

“Sekehendakmulah, Parta Juling,” jawab orang yang dipanggil Guru itu, “Mari kita selesaikan urusan ini
segera sebelum kuda kuda mereka yang berlari ke padukuhan induk menarik perhatian para peronda.”

Selesai berkata demikian, dengan langkah tenang orang yang disebut Guru itu melangkah ke depan Kiai
Sabda Dadi diikuti oleh murid muridnya yang kemudian menyebar mengurung Kiai Sabda Dadi dan
ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan Parta Juling dengan wajah geram melangkah
tergesa gesa mendekati Damarpati yang sedang duduk termenung di atas tanggul pinggir jalan.

“Nah, sebelum kita mulai, ada baiknya kita saling memperkenalkan diri. Mungkin dengan mengenal
perguruan kami, kalian akan menyerah dan tidak banyak tingkah untuk kami bunuh. Kami berjanji untuk
menyelesaikan kalian secepatnya sehingga kalian tidak akan terlalu lama menderita.” Berkata orang
yang disebut Guru itu sambil meloloskan sebilah keris dari wrangkanya, sebilah keris luk sembilan yang
bersinar kehijauan.

Kiai Sabda dadi menarik nafas dalam dalam, keris itu menilik ujudnya sangat mendebarkan, namun
kemudian jawabnya, “Terima kasih atas kebaikan Ki Sanak, kami benar benar tidak tahu apa yang harus
kami perbuat. Sebenarnyalah kami adalah keluarga dari Ki Argapati yang tinggal di Prambanan dan para
pengawal ini memang ditugaskan untuk menjemput kami.”
“Persetan dengan segala omong kosongmu itu,” bentak orang yang disebut Guru itu, “Aku tidak perduli
apakah kalian masih saudara dengan Ki Argapati atau bahkan saudara Sultan Mataram sekalipun. Siapa
saja yang datang ke Menoreh untuk memberikan bantuan kepada Argapati harus mati. Demikian juga
Argapati itu juga harus mati digerogoti penyakitnya tanpa seorang pun yang mampu menolong.”

“Mengapa Ki Sanak mempunyai tanggapan demikian terhadap Ki Argapati? Apakah Ki Sanak mempunyai
dendam pribadi atau persoalan yang lain? Bukankah semua itu bisa kita selesaikan dengan duduk
bersama dan membicarakan permasalahan yang ada tanpa rasa dendam dan permusuhan?”

“Sudahlah, simpan saja segala nasehatmu itu,” jawab orang yang dipanggil Guru itu, “Kami adalah orang
orang yang sudah memantapkan hati untuk berbuat di jalan yang telah kami pilih. Apapun akibat dari
sikap kami itu, sudah kami pertimbangkan untung ruginya.”

Kiai Sabda Dadi mengangguk anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Luar biasa, suatu sikap
jantan yang patut diteladani, namun sayang justru dasar yang digunakan untuk menentukan sikap itu
tidak mendasar sama sekali, tidak melihat kepentingan secara menyeluruh dalam hubungan antar
sesama, bahkan sangat jauh dengan apa yang telah diajarkan oleh Yang Maha Agung melalui beberapa
utusanNya.”

“Tutup mulutmu!” bentak orang yang dipanggil Guru itu, “Aku berdiri disini tidak untuk mendengarkan
sesorahmu, aku akan membunuhmu, membunuh kalian semua. Dengar itu! Membunuh kalian semua
dengan cara yang akan aku tentukan kemudian karena tingkah laku kalian ternyata memuakkan
terutama ocehan orang tua bangka ini.”

“O..,” tiba tiba Kiai Sabda Dadi melangkah surut sambil berkata tergagap gagap, “Ma’afkan kami,
sungguh ma’afkan kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kalau memang ucapanku tadi telah
membuat Ki Sanak marah, sekali lagi aku atas nama rombongan ini minta ma’af dan ijinkanlah kami
meneruskan perjalanan.”

Baru saja orang dipanggil Guru itu membuka mulutnya untuk kesekian kalinya membentak Kiai Sabda
Dadi, tiba tiba mereka yang sedang berada di tengah bulak panjang itu dikejutkan oleh suara jeritan
disusul dengan bayangan seseorang yang terlempar jatuh terlentang di tanah yang berdebu.
Sekejab mereka yang menyaksikan peristiwa itu bagaikan membeku. Mereka benar benar tidak yakin
dengan penglihatan mereka, bagaimana mungkin orang yang bernama Parta Juling itu bisa terlempar
jatuh terlentang tak bergerak sama sekali, sementara Damarpati masih duduk memeluk lutut di atas
tanggul pinggir jalan.

Kiai Sabda Dadi yang menyaksikan peristiwa itu menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk angguk.
Sebuah senyum tipis tampak menghias bibirnya. Ternyata jerih payahnya selama ini tidak sia sia,
walaupun Damarpati kadang tidak menampakkan kesungguhan hatinya dalam mempelajari olah
kanuragan, ternyata dalam keadaan yang terdesak, dia mampu mengungkapkan salah satu ilmu yang
diajarkannya, ilmu yang berlandaskan pada penyerapan kekuatan alam sekitarnya, terutama kekuatan
lawan yang sedang menyerang, semakin kuat lawan dalam mengerahkan tenaganya, semakin besar
tenaga yang akan melontarkannya kembali.

“Minggir..!” tiba tiba orang yang dipanggil Guru itu berteriak sambil menyibakkan kerumunan murid
muridnya yang berebut ingin mengetahui keadaan Parta Juling. Kemudian dengan hanya menggunakan
ujung jari telunjuknya, orang yang dipanggil Guru itu telah menyentuh dada Parta Juling. Sekejab
kemudian Parta Juling pun menggeliat sambil mengumpat.

Tetapi sebelum kesadaran menguasai benak Parta Juling sepenuhnya, tiba tiba sebuah tamparan
dirasakannya mendarat dengan keras di pipi kirinya.

Dan sebuah umpatan yang sangat kotor kembali meluncur dari mulut Parta Juling. Dengan pandangan
nanar dan tubuh gemetar menahan amarah yang meluap luap, dia berusaha menguasi kesadarannya
sepenuhnya. Sambil bertelekan pada kedua tangannya, Parta Juling mencoba bangkit berdiri.

Namun alangkah terkejutnya ketika kesadaran telah menguasai otaknya, ternyata yang berdiri
dihadapannya adalah Gurunya dengan pandangan mata yang bagaikan membara.

“Ampun Guru,” desis Parta Juling terbata bata, “Aku tidak tahu kalau yang melemparkan aku sampai
pingsan adalah Guru.”
“Bodoh,” geram Gurunya, “Kau terlempar sampai pingsan karena kebodohanmu sendiri, dan karena
itulah aku telah menamparmu. Bagaimana mungkin seorang murid perguruan besar dengan mudah
dapat dilumpuhkan hanya oleh seorang anak ingusan.”

Selesai berkata demikian Gurunya menunjuk ke arah Damarpati yang masih dengan enaknya duduk
memeluk lutut di atas tanggul pinggir jalan.

Parta Juling tertegun sejenak. Ingatannya kembali ke beberapa saat yang lalu, ketika dia dengan sekuat
tenaga meloncat menendang Damarpati yang masih saja duduk acuh tak acuh sambil memeluk lutut. Dia
ingin memberi pelajaran kepada Damarpati atas sikapnya yang dianggap meremehkan perguruannya.

Namun ketika tumitnya hampir menyentuh dagu anak yang masih sangat muda itu, tiba tiba saja
dirasakannya ada sebuah kekuatan yang luar biasa dahsyatnya membalik menerjang kearahnya dan
melemparkannya hingga tak sadarkan diri.

“Guru,” tiba tiba Parta Juling telah menghunus senjatanya, sebuah pedang pendek yang berbilah lebar,
melebihi lebarnya bilah sebuah pedang pendek yang sewajarnya, “Akan aku belah dada anak ingusan
yang tak tahu diri itu. Dia telah berani menghina Parta Juling.”

“Engkaulah yang akan terlebih dahulu terbelah dadamu oleh pedangmu sendiri, Parta Juling,” bentak
Gurunya, “Apakah kamu belum yakin dengan apa yang baru saja menimpa dirimu? Biarlah aku yang tua
ini sedikit mengajarinya sopan santun.”

Namun baru saja orang yang disebut sebagai Guru itu beringsut setapak ke samping, seseorang yang
sudah sangat tua tapi masih tampak sangat sehat dan kuat telah berdiri menghadang jalannya, Kiai
Sabda Dadi.

“Sebentar Ki Sanak,” berkata Kiai Sabda Dadi, “Bukankah Ki Sanak sudah berjanji untuk memperkenalkan
diri? Biarlah aku yang lebih tua ini menyatakan diri terlebih dahulu, orang menyebutku Kiai Sabda Dadi
dan anak muda itu adalah cucuku, Damarpati.”
Tergetar dada orang yang disebut Guru itu. Nama memang bisa mempunyai seribu makna, namun dari
ungkapan ilmu yang telah dipertunjukkan oleh anak yang masih sangat muda itu, dapat dijadikan ukuran
sampai dimana kira kira kedahsyatan ilmu yang dimiliki oleh orang yang mengaku sebagai kakeknya ini.

“Baiklah,” geram orang yang disebut Guru itu setelah getar di dadanya mereda, “Kami berasal dari
perguruan Liman Benawi di Madiun dan namaku adalah Jaladara, tetapi orang lebih senang menyebutku
Ki Wasi jaladara.”

Kiai Sabda Dadi merenung sejenak. Nama Ki Wasi Jaladara tidak asing ditelinganya, nama seorang
pemimpin perguruan Liman Benawi di Madiun yang terkenal tidak banyak mencampuri urusan dunia
luar. Mereka akan keluar dari sarangnya apabila ada perburuan benda benda pusaka atau kitab kitab
ilmu kanuragan. Namun yang kini membuatnya heran adalah mengapa perguruan Liman Benawi yang
terkenal sangat tertutup kini berada di Tanah Perdikan Menoreh? Apakah yang mereka cari di Menoreh?

“Nah, sekarang semuanya sudah jelas,” berkata Ki Wasi Jaladara sebelum Kiai Sabda Dadi sempat
membuat pertimbangan pertimbangan, “Kami akan segera membunuh kalian semua atau mungkin akan
kami sisakan seorang pengawal untuk membuat laporan kepada Argapati yang sudah mulai pikun itu,
namun sebelumnya akan kami buat pengawal itu cacat seumur hidupnya.”

Mereka yang mendengar ucapan Ki Wasi Jaladara itu meremang bulu kuduknya. Benar benar manusia
yang tidak berjantung.

Sejenak kemudian, murid murid perguruan Liman Benawi itu segera bergerak maju dan semakin
mempersempit kepungan mereka. Agaknya mereka tidak akan memberikan banyak kesempatan kepada
Kiai Sabda Dadi dan para pengawal untuk memperluas medan.

Kiai Sabda Dadi benar benar dilanda kebimbangan yang sangat. Dia hanya berempat dengan para
pengawal, sedangkan lawan yang dihadapi sebanyak delapan orang. Namun demikian tumpuan harapan
Kiai Sabda Dadi justru terletak pada Damarpati yang berdiri di luar kepungan. Dengan hanya berhadapan
seorang lawan, diharapkan Damarpati segera dapat melumpuhkan lawannya dan membantu
memecahkan kepungan dari luar.
Ketika lawan lawannya sudah menggenggam senjata ditangan, dengan sebuah isyarat, Kiai Sabda Dadi
segera mencabut senjatanya diikuti oleh ketiga pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Wasi Jaladara tertegun sejenak melihat ujud dari senjata Kiai Sabda Dadi, sepotong kayu hitam yang
panjangnya tidak lebih dari dua jengkal yang kedua ujungnya tumpul.

“Apakah engkau begitu takutnya menghadapi kematianmu sehingga berbuat yang aneh aneh menjelang
ajalmu?” geram Ki Wasi Jaladara.

“Maksud Ki Wasi?” Kiai Sabda Dadi bertanaya tanpa melepaskan kewaspadaannya terhadap gerak gerik
lawannya.

‘”Senjatamu itu mencerminkan kekerdilan hatimu,” jawab Ki Wasi Jaladara sambil tertawa, “Apakah
engkau berharap aku akan mengampuni selembar nyawamu begitu melihat tingkah polahmu yang
mendekati keputus asaan itu?”

“Tidak Ki Wasi, sama sekali tidak,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil berusaha mengulur waktu selama
mungkin dengan harapan mendapat bantuan dari para pengawal di padukuhan induk yang mungkin
melihat kuda kuda mereka kembali tanpa penunggang, “Aku dan cucuku sudah terbiasa dengan keadaan
seperti ini. Demikian juga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh ini sudah pasti mengalami
pendadaran yang tidak ringan pada saat mereka menyatakan diri memasuki lingkungan pengawal.”

“Cukup,” bentak Ki Wasi Jaladara, “Aku tahu engkau mencoba mengulur waktu menunggu bantuan dari
padukuan induk, namun sebelum mereka datang, aku jamin kalian sudah terbujur kaku menjadi mayat.”

Berdesir dada Kiai Sabda Dadi mendengar sesumbar Ki Wasi Jaladara. Dia sangat maklum, Ki Wasi
Jaladara berani mengucapkan itu semua pasti ada dasarnya, kepercayaan diri yang kuat atas penguasaan
ilmu kanuragan dari perguruan Liman Benawi.
Menyadari bahaya yang akan segera datang, Kiai Sabda Dadi segera menggamit Santa untuk
mempersiapkan diri bersama kedua temannya. Serentak mereka berempat segera bergerak saling
beradu punggung untuk menghadapi kepungan dari murid murid perguruan Liman Benawi.

Kiai Sabda Dadi yang menyadari kekuatan tertinggi pasti terletak pada pemimpin perguruan Liman
Benawi, telah berusaha bergerak sesuai dengan gerak langkah putaran lingkaran yang mengepung
mereka berempat. Kemana saja Ki Wasi Jaladara bergerak, Kiai Sabda Dadi selalu berusaha
mengikutinya.

Menyadari hal itu, Ki Wasi Jaladara tak habis habisnya menyumpah serapah. Dengan sebuah teriakan
nyaring, tiba tiba dia menyerbu justru kearah Santa yang berdiri disamping Kiai Sabda Dadi.

Serangan itu bagaikan secepat kilat. Santa hanya mendengar sebuah teriakan nyaring, selebihnya hanya
kilatan cahaya kehijauan dibawah sinar bulan yang remang remang meluncur mengarah ke jantungnya.

Kiai Sabda Dadi menyadari bahwa serangan pembukaan dari Ki Wasi Jaladara itu hanyalah sekedar
pancingan, namun apabila dibiarkan saja, tidak menutup kemungkinan Santa dapat mengalami kesulitan
justru pada serangan pertama.

Dengan tangan kiri mendorong tubuh Santa kekiri, Kiai Sabda Dadi berusaha memotong serangan Ki
Wasi Jaladara dengan menangkis keris luk sembilan itu dengan tongkat pendeknya kearah bawah,
sementara kaki kirinya menyusup dibawah lengan lawannya menendang ulu hati.

Tentu saja Ki Wasi Jaladara tidak akan membiarkan ulu hatinya menjadi sasaran kaki Kiai Sabda Dadi.
Dengan menarik kerisnya yang hampir berbenturan dengan tongkat pendek Kiai Sabda Dadi,
disilangkannya tangan kirinya didepan dada melindungi ulu hatinya dari terjangan kaki Kiai Sabda Dadi.

Sebuah benturan segera terjadi. Ternyata keduanya masih belum mengerahkan segenap
kemampauannya sehinga akibat dari benturan itu hanya membuat keduanya tergetar dan melangkah
selangkah surut.
Sedangkan Santa yang terdorong beberapa jengkal ke kiri karena dorongan dari Kiai Sabda Dadi memang
telah selamat dari sambaran keris Ki Wasi Jaladara, namun baru saja dia mengatur keseimbangan
tubuhnya, sebuah ayunan pedang salah seorang murid perguruan Liman Benawi mendatar menebas
lambungnya.

Dengan cepat Santa menggeser kaki kirinya selangkah ke belakang, ujung pedang lawannya hanya lewat
setebal jari dari lambungnya. Sebelum lawannya sempat memperbaiki kedudukannya, Santa pun dengan
cepat menjulurkan pedangnya ke arah leher lawannya.

Demikanlah pertempuran itu segera berkobar dengan sengitnya. Setiap kali Ki Wasi Jaladara bergerak
mencari lawan baru, Kiai Sabda Dadi pun dengan cekatan telah membendung serangannya, sehingga
pertempuran itu telah berputar putar saling desak mendesak, silih ungkih, singa lena.

Sementara itu Damarpati masih duduk sambil memeluk lutut. Parta juling yang sudah merasakan
kemampuan Damarpati menjadi lebih berhati hati. Dengan perlahan diacungkannya pedang pendeknya
tinggi tinggi seolah olah ingin menggapai langit, kemudian dengan teriakan yang menggelegar, dia
meloncat menebas leher Damarpati.

Damarpati yang menyadari betapa berbahayanya serangan dari parta juling itu sekejab telah bersiap.
Dengan tetap mempertahankan kedudukannya yang sedang duduk, tiba tiba kedua tangannya terangkat
keatas dengan kedua telapak tangan terbuka menghadap keatas.

Ketika pedang pendek Parta Juling yang sedang menyambar kearahnya tinggal sejengkal, dengan
gerakan yang hampir tidak kasat mata, Damarpati mencondongkan tubuhnya kebelakang sambil
menggerakkan kedua tangannya mendorong kedepan dengan kedua telapak tangan terbuka
menghadap ke depan.

“Lepaskan pedangmu!” bentakan itu hanya lirih saja dari mulut mungil Damarpati, namun akibatnya
sangat luar biasa. Parta juling yang mendengar bentakan lirih itu seolah olah bagaikan tersihir sehingga
dengan serta merta pedang pendeknya telah dilepaskan dari genggamannya.

Sebelum menyadari apa yang sedang terjadi dengan pedang pendeknya, Damarpati telah bangkit berdiri
dan memungut pendang pendek itu.
Parta juling benar benar terkesiap sampai tidak mampu untuk menggerakkan ujung jarinya sekalipun.
Dia hanya dapat berdiri terbengong bengong sambil memandang Damarpati yang berjalan perlahan
lahan menghampiri dirinya sambil menggenggam pendang pendek yang telah terlepas dari tangannya.

“Apa katamu?” lirih suara pemuda itu bahkan terdengar sangat merdu di telinga Parta Juling, “Apakah
engkau masih berniat membunuhku?”

Gemetar sekujur tubuh Parta Juling. Seumur hidupnya dia belum pernah menemui lawan yang
sedemikian anehnya. Hanya dalam dua gebrakan saja dia dibuat tak berdaya oleh seorang pemuda
tanggung yang masih ingusan.

“Ilmu iblis,” akhirnya Parta Juling hanya mampu menggeram, “Ternyata kalian adalah sekumpulan iblis
yang sedang mencari mangsa.”

“Ya, engkau benar, Ki Sanak,” desis Damarpati sambil matanya berbinar menatap Parta Juling. Sebuah
senyum manis tersungging di bibirnya yang lembut merekah kemerahan sehingga membuat Parta Juling
bergidik. Dia tidak bisa mengambil kesimpulan, apakah wajah itu dapat dikatakan tampan sekali atau
justru cenderung cantik? Sehingga oleh angan angannya sendiri, Parta Juling menganggap yang berdiri di
depannya itu pasti bukan dari sejenis manusia.

Ketika tiba tiba saja Damarpati mengacukan pedang pendek itu ke muka hidungnya, dengan tergesa
gesa Parto Juling mundur selangkah surut. Hatinya benar benar telah kuncup oleh angan angannya
sendiri tentang anak muda yang berdiri di depannya itu.

“Ki Sanak, apa yang kau lihat?” terdengar Damarpati berdesis perlahan sambil menggerakkan ujung
pedang pendek itu di depan hidung Parto Juling.

Parto juling semakin tidak mengerti. Seakan akan bukan kehendaknya sendiri, diikuti saja gerakan ujung
pedang itu yang bergerak ke kanan dan ke kiri dengan pandangan mata yang kosong, sekosong isi
kepalanya.
Damarpati yang melihat tingkah Parto Juling menjadi sangat gembira. Seolah olah seperti kanak kanak
yang mendapat mainan baru, dia gerakkan ujung pedang pendek itu semakin cepat ke kanan dan ke kiri,
sedangkan Parto Juling pun seakan akan sudah kehilangan jati dirinya, diikuti saja kearah mana ujung
pedang pendek itu bergerak dengan pandangan matanya yang kosong.

“Ki Sanak, bukankah engkau melihat seekor ular? Ular bandotan yang sangat besar di tanganku ini?”
dengan nada lirih tapi sangat dalam Damarpati berkata sambil menghentikan gerakan tangannya dengan
tiba tiba dan mengangsurkan ujung pedang pendek di tangannya itu ke muka Parto Juling

Parto Juling yang sudah kehilangan kepribadiannya itu terkejut bagaikan disambar halilintar di siang
bolong. Matanya melotot memandang ke arah tangan Damarpati. Dalam pandangan matanya, benar
benar seekor ular bandotan sebesar lengan orang dewasa sedang membelit tangan Damarpati. Tampak
lidahnya yang bercabang dan berwarna kemerahan itu terjulur sambil sesekali terdengar desis yang
mengerikan keluar dari mulutnya.

“Toloong, ada ular..!” teriak Parto Juling ketakutan begitu melihat kepala ular itu bergerak akan
mematuk hidungnya.

Orang orang yang sedang bertempur itu sejenak terganggu dengan teriakan Parto juling. Serentak
mereka berloncatan mundur mengambil jarak sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi dengan
Parto juling.

Dan apa yang mereka saksikan benar benar telah membuat kawan kawan seperguruannya tidak habis
mengerti. Bagaimana mungkin Parto Juling murid perguruan Liman Benawi yang telah banyak makan
asam garamnya pertempuran dan selalu tampil di depan dalam menghadapi setiap persoalan yang
menyangkut nama perguruan, sekarang ini sedang lari terbirit birit di kejar kejar oleh anak muda yang
masih ingusan sambil mengacung acungkan pedang pendek di tangan kanannya.

“Parto, berhenti..!” tiba tiba terdengar bentakan yang menggelegar. Ternyata bentakan itu berasal dari
Ki Wasi Jaladara, pemimpin perguruan Liman Benawi. Agaknya Ki Wasi Jaladara menyadari ada yang
tidak wajar dengan kelakuan Parto Juling sehingga dia dipermainkan oleh Damarpati.
Parto Juling yang di bentak oleh gurunya seketika menghentikan langkahnya. Sejenak dia termangu
mangu, namun kemudian ketika kesadaran mulai merayapi otaknya karena pengaruh bentakan gurunya,
dengan cepat dia berbalik dan memandang Damarpati dengan tajam.

Betapa merah padam wajahnya begitu mengetahui bahwa yang sedang dipegang oleh tangan kanan
Damarpati itu adalah sebuah pedang pendek miliknya sendiri, bukan seekor ular bandotan yang besar.

Dengan sebuah geraman yang dahsyat, Parto Juling meloncat ke depan. Sebelum Damarpati menyadari
apa yang akan dilakukan oleh Parto Juling terhadapnya, seleret sinar tiba tiba meluncur mengarah
jantungnya.

Damarpati terpekik melihat sinar itu yang ternyata adalah sebilah pisau belati yang dilemparkan dengan
sekuat tenaga oleh Parto Juling. Tidak ada kemampuan maupun kesempatan dari Damarpati untuk
menghindar. Nyawa Damarpati benar benar sudah di ubun ubun.

Namun bersamaan dengan meluncurnya belati itu, seleret cahaya kehitaman meluncur melebihi
kecepatan belati dan memotong arah datangnya belati.

Benturan yang cukup keras segera terjadi. Hanya berjarak sejengkal dari ujung ibu jari kaki Damarpati
tergolek sebilah pisau belati yang berkilat kilat tertimpa sinar bulan yang redup. Sedangkan tidak jauh
disampingnya, sebuah tongkat pendek berwarna hitam legam tergeletak.

Ternyata dalam keadaan yang sangat gawat itu, Kiai Sabda Dadi telah mengambil keputusan yang tepat.
Dilemparkannya tongkat pendeknya menyilang, memotong arah datangnya belati Parto Juling, dan
ternyata Damarpati pun akhirnya terselamatkan.

Kejadian itu benar benar telah menggetarkan hati dari setiap yang hadir disitu. Sekejap saja Kiai Sabda
Dadi terlambat, nyawa Damarpati tidak akan tertolong.

“Licik,” geram Parto Juling sambil menoleh ke arah Kiai Sabda Dadi, “Mengapa tidak engkau biarkan saja
cucumu ini berusaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri?”
“Ki sanak,” jawab Kiai Sabda Dadi sareh, “Kita tidak sedang berperang tanding. Apa yang sedang terjadi
disini ini bahkan mirip dengan perang brubuh, siapa pun boleh menyerang lawan yang dikehendaki, dan
siapa pun boleh menolong kawannya yang sedang dalam bahaya.”

“Kalian memang sekumpulan orang orang licik,” sekali lagi Parto Juling menggeram, “Cucumu itu telah
menggunakan ilmu sesat, ilmu hitam, ilmu yang didapat dari tempat tempat yang gelap dan
berlandaskan pada kegelapan itu sendiri.”

“Engkau salah Ki Sanak,“ dengan cepat Kiai Sabda Dadi memotong, “Segala ilmu yang ada di Jagad raya
ini bersumber dari Yang Maha Kuasa. Namun karena sifat rakusnya, manusia telah mencemari ilmu itu
dengan berusaha menambah ilmu yang dimilikinya dengan cara mencari bantuan dari kegelapan,
dengan harapan ilmunya akan semakin meningkat. Padahal sumber kegelapan itu sendiri tidak
mempunyai kuasa apapun terhadap kita, namun kadang kita tergoda dengan bujuk rayunya dan
menyerahkan semua persoalan bahkan hidup mati kita pada sumber kegelapan itu.”

“Apakah engkau sudah selesai dengan ocehanmu, orang tua?” teriak Ki Wasi Jaladara. Agaknya dia
sudah tidak dapat menahan diri lagi, kemudian perintahnya kepada murid muridnya, “Kita lanjutkan
pertempuran, dan engkau Ranu, temani Parto meringkus anak ingusan itu. Jangan takut dengan ilmunya
yang dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang, ilmu itu masih sangat dangkal, asal kalian mempunyai
kepercayaan diri yang kuat, ilmu itu tidak akan banyak berpengaruh.”

Kiai Sabda Dadi menjadi berdebar-debar mendengar ucapan pemimpin perguruan Liman Benawi itu.
Memang Damarpati masih sangat baru dalam mempelajari ilmu itu, ilmu yang dapat menyesatkan
penalaran seseorang. Berbeda dengan ilmu bayangan semu yang dapat membuat ujud-ujud yang aneh-
aneh dengan sekehendak hatinya, namun dalam pengetrapannya tidak akan mempunyai akibat apapun
secara kewadagan. Sedangkan ilmu yang dipelajari Damarpati ini adalah ilmu untuk menyesatkan
pandangan lawan dengan cara mempengaruhi daya nalar lawan, sehingga dia yakin dengan ujud yang
tampak. Apabila ujud yang dikehendaki itu telah muncul di benak lawan, akibat yang akan diderita oleh
lawan sama dengan ujud yang sebenarnya. Seandainya ujud itu adalah seekor ular, apabila ujud itu
seolah olah menggigitnya, dia akan merasakan benar benar seperti digitit ular sakitnya, padahal itu
hanya timbul karena otaknya telah terpengaruh oleh tipuan lawan.
Sementara itu Ranu yang diperintah oleh Gurunya untuk membantu Parto Juling segera meloncat
memisahkan diri. Dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah berdiri di samping Parto Juling.

Bersambung...!

Anda mungkin juga menyukai