Anda di halaman 1dari 10

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Perbandingan Ketelitian Geometrik Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto


Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi Skala Besar

Geometric Accuracy Comparison between High Resolution Satellite Imagery


and Aerial Photo for Large Scale Topographic Mapping

Danang Budi Susetyo*), Agung Syetiawan, Jali Octariady


Badan Informasi Geospasial
*)
E-mail: danang.budi@big.go.id

ABSTRAK - Selain foto udara, citra satelit resolusi tinggi (CSRT) saat ini merupakan data dasar yang digunakan untuk
pemetaan Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:5.000. Meski digunakan untuk menghasilkan peta pada level skala yang
sama, namun foto udara dan CSRT memiliki perbedaan spesifikasi terkait kualitas geometriknya. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran mengenai kemampuan data CSRT dan foto udara, sehingga bisa menjadi salah satu
landasan dalam membuat kebijakan terkait. Aspek yang dikaji adalah ketelitian geometrik CSRT dan foto udara dari sisi
resolusi dan akurasi posisi. Data CSRT yang digunakan adalah citra hasil orthorektifikasi, yaitu wilayah Bolaang
Mongondow Timur, Ambon, Sumba Timur, Morowali, Kualatanjung, dan Gorontalo, sedangkan data foto udara yang
digunakan adalah wilayah Palu dan Bogor. Sebagai perbandingan hasil digunakan acuan standar di negara lain seperti
American Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ASPRS) dan National Technical Document For Establishing
Cartographic Base in India. Hasil penelitian menunjukkan ketelitian geometri CSRT berada pada skala 1:5.000 kelas 2
dan 3, sedangkan ketelitian foto udara berada pada skala 1:5.000 kelas 1. Secara resolusi, foto udara 2-4 kali lebih detail
dari CSRT. Meski demikian, CSRT memiliki keunggulan yaitu cakupan footprint yang jauh lebih luas daripada foto udara,
sehingga dalam keperluan praktis CSRT lebih sering digunakan untuk menghasilkan data RBI skala besar dibandingkan
foto udara.

Kata kunci: ketelitian geometrik, CSRT, foto udara, peta rupabumi, akurasi, resolusi

ABSTRACT - Beside aerial photo, high resolution satellite imagery nowadays is basic data to create a topographic map
in scale 1:5,000. Although it is used to produce a map in same scale level, aerial photo and high resolution satellite
imagery have different specifications in geometric accuracy. This research aims to gets an idea of data capabilities of
high resolution satellite imagery and aerial photo, so it can be one of reason in making the related policy. The aspects
studied are the geometric accuracy of high resolution satellite imagery and aerial photo from resolution and position
accuracy. High resolution satellite imagery used are orthorectified images, they are East Bolaang Mongondow, Ambon,
East Sumba, Morowali, Kualatanjung, and Gorontalo, while aerial photos used are Palu and Bogor area. As a
comparison for the result, we use the standard in other countries such as American Society for Photogrammetry and
Remote Sensing (ASPRS) and National Technical Document For Establishing Cartographic Base in India. The result
shows that geometric accuracy of high resolution satellite imagery is on scale 1:5,000 class 2 and 3, while aerial photo
accuracy is on scale 1:5,000 class 1. In the resolution, aerial photo 2-4 times more detail than high resolution satellite
imagery. Nevertheless, high resolution satellite imagery has superiority in wider footprint coverage, so in practical
necessities high resolution satellite imagery more often used to produce large scale topographic map than the aerial
photo.

Keywords: geometric accuracy, high resolution satellite imagery, aerial photo, topographic map, accuracy, resolution

1. PENDAHULUAN

Selain foto udara, citra satelit resolusi tinggi (CSRT) saat ini merupakan data dasar yang digunakan untuk
pemetaan Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:5.000. Data citra satelit yang digunakan beragam, mulai dari
Quickbird, Worldview, hingga Pleiades. CSRT yang digunakan adalah citra satelit yang memiliki resolusi
spasial lebih baik dari 0,65 meter dengan sudut pengambilan data sebesar ≤ 20° tegak lurus terhadap bumi.
Citra satelit juga harus dilengkapi dengan informasi parameter orbit satelit dan parameter sensor dengan
tutupan awan ≤ 10% dari keseluruhan data citra. Citra satelit dianggap merupakan solusi yang paling tepat saat
ini untuk mempercepat penyelenggaraan peta dasar 2D (tanpa kontur) di Indonesia karena cakupan data CSRT
lebih luas dan ketersediaan data yang lebih memadai. Saat ini, kegiatan pemetaan dasar menggunakan data
CSRT sudah mulai banyak dilakukan, baik yang diselenggarakan langsung oleh BIG maupun yang diajukan
oleh Pemerintah Daerah.
125
Perbandingan Ketelitian Geometrik Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi Skala Besar
(Susetyo, dkk.)

Di sisi lain, meski digunakan untuk menghasilkan peta dasar pada level skala yang sama, namun foto udara
dan CSRT memiliki perbedaan spesifikasi terkait kualitas geometriknya. Resolusi CSRT berkisar antara 0,3-
0,6 m, sedangkan resolusi orthofoto yang diproduksi oleh BIG adalah 0,15 m. Selain itu, secara akurasi CSRT
juga menghasilkan ketelitian yang lebih rendah dibandingkan dengan foto udara. Perbedaan spesifikasi
tersebut tentu berpengaruh terhadap peta dasar yang dihasilkan, seperti dari akurasi posisi dan tingkat
kedetailan objeknya.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mengenai kemampuan data CSRT dan foto udara untuk
menghasilkan peta RBI skala besar. Parameter yang digunakan adalah akurasi posisi dan resolusi spasial dari
kedua data tersebut. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu pertimbangan para pembuat kebijakan untuk
dalam penentuan data dasar untuk pemetaan RBI skala besar.

2. METODE
Data CSRT yang digunakan adalah citra satelit wilayah Bolaang Mongondow Timur, Ambon, Sumba
Timur, Morowali, Kualatanjung, dan Gorontalo yang kemudian dilakukan proses orthorektifikasi. Proses
orthorektifikasi dilakukan dengan mengacu pada Ground Control Point (GCP) yang diukur menggunakan
perangkat GPS geodetik. Penentuan titik GCP tersebar secara merata dengan komposisi yang optimal sesuai
dengan cakupan citra masing-masing wilayah. Evaluasi ketelitian citra dilakukan dengan menggunakan
Independent Check Point (ICP) yang diukur bersamaan saat proses GCP di lapangan. Hasil evaluasi ketelitian
ini digunakan untuk mendapatkan nilai ketelitian geometri citra yang sudah terorthorektifikasi berdasarkan
SNI Ketelitian Peta Dasar.
Ketelitian tersebut kemudian dibandingkan dengan ketelitian foto udara hasil triangulasi udara (aerial
triangulation/ AT) dengan data yang digunakan adalah foto udara wilayah Palu. Area penelitian difokuskan
pada wilayah pemukiman padat, dengan GCP sejumlah 3 titik dan ICP sejumlah 4 titik. Uji akurasi juga
dilakukan pada dua model yang berbeda ketika titik tersebut tercakup dalam dua model. Contoh titik ICP dalam
bentuk premark dan TTG (Titik Tinggi Geodesi) dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)
Gambar 1. ICP berupa (a) premark, (b) TTG

Selain ketelitian geometri, resolusi spasial juga dibandingkan. Foto udara dan CSRT sama-sama digunakan
untuk menghasilkan peta RBI skala 1:5.000, namun resolusi kedua data tersebut berbeda, yang pada akhirnya
dapat berpengaruh pada level of detail dari peta yang dihasilkan. Perbandingan kedua aspek tersebut kemudian
dikaitkan dengan standar ketelitian peta di Indonesia, yaitu SNI Ketelitian Peta Dasar. Standar peta dasar di
negara lain seperti American Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ASPRS) dan National
Technical Document For Establishing Cartographic Base in India digunakan sebagai referensi perbandingan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Akurasi
Standar ketelitian horizontal untuk peta dasar di Indonesia terdapat pada Tabel 1, yang bersumber dari
SNI Ketelitian Peta. Ketelitian dibagi menjadi tiga kelas, dengan kelas 1 adalah tingkat ketelitian tertinggi,
sebaliknya kelas 3 adalah tingkat ketelitian terendah.

126
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Tabel 1. Ketelitian Peta Dasar Berdasarkan SNI Ketelitian Peta

Ketelitian Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3


Horizontal 0,2 mm x bilangan skala 0,3 mm x bilangan skala 0,5 mm x bilangan skala
Vertikal 0,5 x interval kontur 1,5 x ketelitian kelas 1 2,5 x ketelitian kelas 1

Ketelitian geometri data CSRT Bolaang Mongondow Timur, Ambon, Sumba Timur, Morowali,
Kualatanjung, dan Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 2. Seperti disebutkan pada tabel tersebut, ketelitian
horizontal yang dihasilkan berada pada kisaran angka 1,4 m hingga 2,2 m. Berdasarkan SNI Ketelitian Peta
Dasar, data Kualatanjung dikategorikan memenuhi ketelitian peta RBI skala 1:5.000 di kelas 2 (ketelitian
horizontal berada pada range 1-1,5 m), sedangkan data CSRT wilayah lainnya berada di ketelitian skala
1:5.000 kelas 3 (ketelitian horizontal berada pada range 1,5-2,5 m).

Tabel 2. Hasil Ketelitian Horizontal Pengolahan Data CSRT di Beberapa Wilayah Penelitian

Wilayah Ketelitian Horizontal (m)


Bolaang Mongondow Timur 1,824
Ambon 2,254
Sumba Timur 2,095
Morowali 1,931
Kualatanjung 1,435
Gorontalo 1,613

Sementara AT yang dilakukan pada foto udara untuk wilayah Palu menghasilkan ketelitian 0,786 m
dengan residu masing-masing titik disajikan pada Tabel 3. Keseluruhan model hasil AT menunjukkan selisih
nilai kurang dari 1 meter.

Tabel 3. Hasil Uji Akurasi AT

Model Titik ΔX ΔY
180050_180051 CP18 0.3002 0.5755
180051_180052 CP18 0.2657 0.3296
200030_200031 CP19 -0.0734 0.3172
190032_190033 TTG700 -0.4735 0.3846
190033_190034 TTG700 -0.6243 0.1706
200038_200039 TTG701 0.2071 0.2622

Melalui perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa foto udara memberikan ketelitian horizontal di bawah
1 m dan sesuai dengan ketelitian peta RBI masuk di kategori skala 1:5.000 kelas 1, sedangkan CSRT berada
pada level ketelitian skala 1:5.000 kelas 2 dan 3. Artinya, meski sama-sama bisa digunakan untuk pemetaan
skala 1:5.000, hasil penelitian ini menyatakan kualitas geometri foto udara lebih baik dibandingkan CSRT.
Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian tentang ketelitian geometri CSRT yang pernah dilakukan oleh
BIG. Pengujian yang dilakukan pada citra wilayah Surabaya dan Tasikmalaya didapatkan ketelitian masing-
masing 2,0335 m dan 2,0365 m dengan menggunakan DEM TerraSAR-X (Octariady dkk., 2016). Penelitian
lainnya mengambil studi area wilayah Bali dengan membandingkan ketelitian orthorektifikasi menggunakan
GCP dan tanpa GCP (orthosistematis). Hasilnya, ketelitian orthorektifikasi menggunakan GCP mencapai
2,3515 m, sedangkan citra orthosistematis mencapai 5,1203 m (Widyaningrum dkk., 2016). Perbandingan
berbagai metode orthorektifikasi juga pernah diuji pada citra wilayah Lombok (tepatnya Gili Trawangan, Gili
Meno, dan Gili Air), dengan ketelitian yang dihasilkan adalah 1,92744 m (menggunakan Toutin Model),
1,50011 m (menggunakan RPC dari vendor), dan 1,81887 m (menggunakan RPC dari GCP) (Octariady dkk.,
2016).
Penelitian yang dilakukan di negara lain dapat menjadi perbandingan. Penelitian lainnya oleh Tang dkk.
(2016) menyatakan citra Worldview-1 dengan metode direct space intersection memiliki RMSEx dan RMSEy
127
Perbandingan Ketelitian Geometrik Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi Skala Besar
(Susetyo, dkk.)

masing-masing sebesar 1,39 m dan 0,99 m, sehingga RMSExy adalah 1,7 m dan ketelitian yang dihasilkan
adalah 2,58 m. Ketelitian citra Quickbird pernah diuji oleh Amato dkk. (2004), dengan RMSExy di beberapa
lokasi mencapai 1-5 m dan ketelitiannya mencapai 1,5-7,5 m. Melalui beberapa referensi tersebut, dapat dilihat
bahwa untuk mencapai ketelitian peta RBI skala 1:5.000 dengan menggunakan data CSRT masih diperlukan
effort yang cukup besar.
Sistem kelas pada ketelitian peta dasar di Indonesia salah satunya mengacu pada ASPRS Accuracy
Standards for Large-Scale Maps tahun 1990. Dokumen tersebut menyebutkan akurasi peta dapat didefinisikan
pada akurasi spasial yang lebih rendah, yaitu dua kali dari kelas 1 (untuk kelas 2), tiga kali dari kelas 1 (kelas
3), dst. Perbedaan setiap kelas juga dituangkan dalam Draft for Review ASPRS Accuracy Standards for Digital
Geospatial Data yang dirilis pada tahun 2013 untuk menyesuaikan teknologi pemetaan terbaru, dinyatakan
bahwa kelas 1 direkomendasikan untuk survei akurasi tinggi seperti keperluan engineering, kelas 2 untuk
standar pemetaan akurasi tinggi, dan kelas 3 untuk visualisasi dengan akurasi yang rendah. Artinya, meski
menggunakan sistem kelas, penggunaan peta untuk setiap kelas sudah diatur dengan jelas.
Meski demikian, dalam dokumen terbaru ASPRS, yaitu ASPRS Positional Accuracy Standards for Digital
Geospatial Data, sistem kelas sudah tidak digunakan. ASPRS menyatakan sistem kelas sudah tidak relevan
lagi dengan teknologi saat ini. Artinya, SNI Ketelitian Peta yang menggunakan sistem kelas juga perlu
dipertimbangkan untuk merujuk pada perubahan standar yang dikeluarkan oleh ASPRS. Penyesuaian tersebut
dapat berupa menghilangkan sistem kelas agar ketelitian peta absolut untuk setiap skala. Namun dapat kita
lihat ketelitian horizontal CSRT tidak pernah masuk pada skala 1:5.000 kelas 1, sehingga jika tujuannya untuk
percepatan, maka sistem kelas masih diperlukan. Jika demikian, maka SNI sebaiknya mencantumkan
perbedaan masing-masing kelas, sehingga ada batasan-batasan dalam menggunakan masing-masing kelas
seperti yang dinyatakan dalam draft for review ASPRS 2014.
Acuan standar lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah National Technical Document for
Establishing Cartographic Base in India. Dokumen tersebut tidak merekomendasikan CSRT untuk pemetaan
dasar skala 1:5.000. Dapat dilihat pada Tabel 4, CSRT baru bisa digunakan untuk pemetaan skala 1:7.500 atau
lebih kecil. Bagian lain dalam dokumen tersebut juga menyebutkan skala 1:6.000 atau lebih besar tidak
memungkinkan menggunakan satelit dengan resolusi 0,5 m sehingga harus menggunakan foto udara.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan Tabel 5. Artinya, India tidak merekomendasikan penggunaan CSRT
untuk pemetaan dasar skala 1:5.000.
Melalui perbandingan-perbandingan tersebut, penggunaan CSRT untuk pemetaan RBI skala 1:5.000 dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama, kualitas geometri CSRT berada di bawah foto udara, sehingga memungkinkan
adanya perbedaan spesifikasi peta yang dihasilkan dari kedua data tersebut. Standar di India juga tidak
merekomendasikan penggunaan CSRT untuk peta dasar skala 1:5.000, namun ASPRS dapat menjembatani
permasalahan tersebut. Sistem kelas masih dapat digunakan, namun harus ada pernyataan yang menerangkan
perbedaan dari masing-masing kelas tersebut secara tegas. Terlebih dengan cakupan footprint yang jauh lebih
luas dari foto udara, CSRT merupakan alternatif paling realistis saat ini untuk memenuhi ketersediaan peta
RBI skala 1:5.000.

128
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Tabel 4. Perbandingan Antara LiDAR, CSRT, dan Foto Udara Menurut National Technical Document for Establishing
Cartographic Base in India

Features LIDAR High Resolution Aerial


Satellite Stereo Photogrammetry/Photo
Scale
Contour Interval
Contour 0.5 m    (1:5.000)
Generation
1m    (1:10.000)
2m    (1:25.000)
5m   Geoeye,  (1:40.000 and
Worldview and Above)
Ikonos (1m and
below)

10 m and  
Above
Target Map Scale
3D Feature 1:500 Feature  (1:3.500)
Extraction Collection
1:1000 possible, but  (1:6.000)

1:2500 for Higher  (1:12.500)


accuracy
1:5000 images are  (1:30.000)
required
1:7500  Geoeye and  (1:40.000 and
and Worldview Above)
Above (0.5m)
Base Map 1:500 Feature  (1:3.500)
creation Collection
1:1000 possible, but  (1:6.000)

1:2500 for Higher  (1:12.500)


accuracy
1:5000 images are  (1:30.000)
required
1:7500  Geoeye and  (1:40.000 and
and Worldview Above)
Above (0.5m)
Output Resolution

Ortho Photo 0.1 m   (1:5.000)
Generation
0.25 m   (1:15.000)
0.5 m   (1:30.000)
1m LiDAR alone  Geoeye,  (1:50.000 and
will generate Worldview and Above)
DEM's Ikonos (1m and
below)

2.5 m  Geoeye,
Worldview,
Ikonos,
Cartosat1
(2.5m and
below)
5 m and  (Many
Above Satellites)

129
Perbandingan Ketelitian Geometrik Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi Skala Besar
(Susetyo, dkk.)

Tabel 5. Perbandingan Antara GSD Foto Udara dan CSRT Menurut National Technical Document for Establishing
Cartographic Baperbandse in India

GSD Target Map Scale Comparisons


Aerial Satellite
AT GSD 10 cm 1:500 0.05 m Not Good
1:1.000 0.05 m Not Good
AT GSD 20 cm 1:2.000 0.10 m Not Good
1:2.500 0.10 m Not Good
1:3.000 0.10 m Not Good
1:4.000 0.10 m Not Good
1:5.000 0.10 m Not Good
AT GSD 50 cm 1:8.000 0.25 m 2.5 m
1:9.000 0.25 m 2.5 m
1:10.000 0.25 m 2.5 m
1:16.000 0.25 m 2.5 m
1:20.000 0.25 m 10.0 m

3.2 Resolusi
Berkaitan dengan resolusi, belum ada aturan resmi mengenai korelasi resolusi spasial dan skala peta
yang dihasilkan. SNI Ketelitian Peta hanya mengatur tentang akurasi, tidak membahas GSD (Ground Sample
Distance) atau resolusi yang disyaratkan. Spesifikasi foto udara yang dituangkan dalam Kerangka Acuan Kerja
(KAK) Pemotretan Udara Digital yang dikeluarkan oleh BIG menyatakan GSD yang disyaratkan untuk
pemotretan skala 1:5.000 adalah 15 cm. Data lainnya, yaitu CSRT, menggunakan beberapa jenis citra, seperti
Quickbird (resolusi 0,6 m), Worldview-2 (resolusi 0,5 m), Worldview-3 (resolusi 0,3 m), dan Pleiades (resolusi
0,5 m).
Meski tidak disebutkan dalam KAK, resolusi orthofoto yang dihasilkan oleh BIG juga menggunakan
angka 15 cm. Meski demikian, secara istilah GSD tidak sama dengan resolusi spasial. Draft for review ASPRS
tahun 2013 menyebutkan GSD adalah dimensi linear dari footprint piksel di tanah pada foto sumber; sedangkan
ukuran piksel adalah ukuran tanah dalam satu piksel pada produk orthofoto setelah proses rektifikasi dan
resampling. Artinya, GSD lebih berkaitan dengan akuisisi data, sedangkan ukuran piksel lebih kepada hasil
produknya. Dokumen ASPRS 2014 juga menguatkan dengan menyatakan GSD tidak boleh lebih dari 95%
dari ukuran piksel orthofoto yang dihasilkan.
Jika merujuk pada spesifikasi yang dikeluarkan oleh ASPRS, seharusnya ukuran piksel pada orthofoto
yang dihasilkan oleh BIG lebih rendah dari 15 cm, namun pada kenyataannya ukuran piksel pada orthofoto
yang dihasilkan sama dengan GSD yang ditentukan pada saat akuisisi. Oleh karena itu, teriminologi GSD
untuk pemetaan di Indonesia dapat dianggap sama dengan resolusi spasial. Karena disini GSD dianggap sama
dengan resolusi, maka ada gap antara data dasar foto udara dengan CSRT yang sama-sama digunakan untuk
pemetaan skala 1:5.000. Foto udara memiliki resolusi 0,15 m, sedangkan CSRT antara 0,3-0,6 m, atau foto
udara sekitar 2-4 kali lebih detail daripada CSRT. Gambar 2 adalah contoh data orthofoto wilayah Bogor,
dimana pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa resolusi spasialnya adalah 0,15 m.

130
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Gambar 2. Resolusi Orthofoto BIG (Data Foto Udara Bogor)

Dalam tabel yang dikeluarkan oleh ASPRS (Tabel 6), angka 15 cm berada dalam 7 interval. Sesuai dengan
tabel tersebut, untuk GSD 15 cm, skala peta yang sesuai adalah antara 1:600 sampai 1:1.200 di kelas 1. Untuk
skala 1:4.000 kelas 1, dibutuhkan GSD sebesar 50-100 cm.

Tabel 6. Ketelitian Horizontal Dalam ASPRS 2014

ASPRS 2014 Equivalent to map scale in


Horizontal
Accuracy Equivalent to
Class Horizontal Approximate
Accuracy at the GSD of ASPRS ASPRS map scale
RMSEx in NMAS
RMSEr 95% Confidence Source 1990 1990
and
(cm) Level (cm) Imagery (cm) Class 1 Class 2
RMSEy
(cm)
0.63 0.9 1.5 0.31 to 0.63 1:25 1:12.5 1:16
1.25 1.8 3.1 0.63 to 1.25 1:50 1:25 1:32
2.5 3.5 6.1 1.25 to 2.5 1:100 1:50 1:63
5.0 7.1 12.2 2.5 to 5.0 1:200 1:100 1:127
7.5 10.6 18.4 3.8 to 7.5 1:300 1:150 1:190
10.0 14.1 24.5 5.0 to 10.0 1:400 1:200 1:253
12.5 17.7 30.6 6.3 to12.5 1:500 1:250 1:317
15.0 21.2 36.7 7.5 to 15.0 1:600 1:300 1:380
17.5 24.7 42.8 8.8 to 17.5 1:700 1:350 1:444
20.0 28.3 49.0 10.0 to 20.0 1:800 1:400 1:507
22.5 31.8 55.1 11.3 to 22.5 1:900 1:450 1:570
25.0 35.4 61.2 12.5 to 25.0 1:1000 1:500 1:634
27.5 38.9 67.3 13.8 to 27.5 1:1100 1:550 1:697
30.0 42.4 73.4 15.0 to 30.0 1:1200 1:600 1:760
45.0 63.6 110.1 22.5 to 45.0 1:1800 1:900 1:1,141
60.0 84.9 146.9 30.0 to 60.0 1:2400 1:1200 1:1,521

131
Perbandingan Ketelitian Geometrik Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi Skala Besar
(Susetyo, dkk.)

ASPRS 2014 Equivalent to map scale in


Horizontal
Accuracy Equivalent to
Class Horizontal Approximate
Accuracy at the GSD of ASPRS ASPRS map scale
RMSEx in NMAS
RMSEr 95% Confidence Source 1990 1990
and
(cm) Level (cm) Imagery (cm) Class 1 Class 2
RMSEy
(cm)
75.0 106.1 183.6 37.5 to 75.0 1:3000 1:1500 1:1,901
100.0 141.4 244.8 50.0 to 100.0 1:4000 1:2000 1:2,535
150.0 212.1 367.2 75.0 to 150.0 1:6000 1:3000 1:3,802
100.0 to
200.0 282.8 489.5 1:8,000 1:4000 1:5,069
200.0
125.0 to
250.0 353.6 611.9 1:10,000 1:5000 1:6,337
250.0
150.0 to
300.0 424.3 734.3 1:12,000 1:6000 1:7,604
300.0
250.0 to
500.0 707.1 1223.9 1:20,000 1:10000 1:21,122
500.0
500.0 to
1000.0 1414.2 2447.7 1:40000 1:20000 1:42,244
1000.0

Kaitan antara ukuran piksel (produk akhir atau orthofoto-nya) dan skala peta dituliskan pada Tabel 7.
Ukuran piksel 15 cm cocok digunakan untuk menghasilkan peta skala 1:1.200, sedangkan untuk peta skala
1:4.800 cukup menggunakan ukuran piksel orthofoto sebesar 60 cm. Resolusi CSRT yang berkisar antara 0,3-
0,6 m cocok digunakan untuk menghasilkan peta skala 1:2.400 sampai 1:4.800, sehingga masih dapat
digunakan untuk pemetaan RBI skala 1:5.000.

Tabel 7. Hubungan Ukuran Piksel dengan Skala dan Ketelitian Menurut ASPRS

Associated Horizontal Accuracy


Common According to Legacy ASPRS 1990
Associated Map ASPRS 1990 Standard
Orthoimagery
Scale Accuracy Class
Pixel Sizes RMSEx and RMSEx and
RMSEy (cm) RMSEy (cm)
1 1.3 2-pixels
0.625 cm 1:50 2 2.5 4-pixels
3 3.8 6-pixels
1 2.5 2-pixels
1.25 cm 1:100 2 5.0 4-pixels
3 7.5 6-pixels
1 5.0 2-pixels
2.5 cm 1:200 2 10.0 4-pixels
3 15.0 6-pixels
1 10.0 2-pixels
5 cm 1:400 2 20.0 4-pixels
3 30.0 6-pixels
7.5 cm 1:600 1 15.0 2-pixels

132
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017

Associated Horizontal Accuracy


Common According to Legacy ASPRS 1990
Associated Map ASPRS 1990 Standard
Orthoimagery
Scale Accuracy Class
Pixel Sizes RMSEx and RMSEx and
RMSEy (cm) RMSEy (cm)
2 30.0 4-pixels
3 45.0 6-pixels
1 30.0 2-pixels
15 cm 1:1,200 2 60.0 4-pixels
3 90.0 6-pixels
1 60.0 2-pixels
30 cm 1:2,400 2 120.0 4-pixels
3 180.0 6-pixels
1 120.0 2-pixels
60 cm 1:4,800 2 240.0 4-pixels
3 360.0 6-pixels
1 200.0 2-pixels
1 meter 1:12,000 2 400.0 4-pixels
3 600.0 6-pixels
1 400.0 2-pixels
2 meter 1:24,000 2 800.0 4-pixels
3 1,200.0 6-pixels
1 1,000.0 2-pixels
5 meter 1:60,000 2 2,000.0 4-pixels
3 3,000.0 6-pixels

Kembali merujuk pada standar ASPRS 2014, jika parameternya resolusi, CSRT dapat digunakan untuk
pemetaan skala 1:5.000. Berkaitan dengan foto udara yang resolusinya 2-4 kali lebih baik dari CSRT, ada
pertimbangan lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu operator pada umumnya (diasumsikan) memerlukan
minimal 3 piksel untuk mengenali sebuah objek. Misalkan, jika ada objek berukuran 0,5 m x 0,5 m, maka di
CSRT objek tersebut hanya berada pada 1 piksel, sedangkan pada foto udara 3 piksel.
Sebagai tambahan, dalam ASPRS 2014, ketelitian yang disyaratkan dalam AT adalah:
 Untuk ketelitian GCP: RMSEx(GCP) atau RMSEy(GCP) = 1/4 * RMSEx(Map) atau RMSEy(Map)
 Untuk ketelitian AT: RMSEx(AT) atau RMSEy(AT) = ½ * RMSEx(Map) atau RMSEy(Map)
Atau dengan kata lain, data yang digunakan untuk acuan dalam memproses data selanjutnya harus memiliki
ketelitian 2 kali lebih baik dari data awalnya.
Berangkat dari konsep tersebut, dapat diasumsikan ketelitian skala 1:5.000 sebesar 1 m memerlukan data
dengan resolusi 0,5 m. Untuk melihat sebuah objek dalam ukuran 0,5 m x 0,5 m, jika diperlukan 3 piksel, maka
resolusi spasial yang disyaratkan sebesar 15 cm. Namun asumsi ini belum merujuk pada penelitian yang lebih
mendalam, sehingga jika ingin dipaparkan lebih jauh mengenai resolusi yang tepat untuk skala 1:5.000 dan
korelasinya terhadap data yang digunakan saat ini (foto udara dan CSRT) perlu dilakukan kajian yang lebih
jauh mengenai pengaruh resolusi spasial terhadap level of detail dari peta yang dihasilkan.

4. KESIMPULAN
Secara ketelitian horizontal, foto udara memberikan ketelitian horizontal di bawah 1 m dan sesuai dengan
ketelitian peta RBI masuk di kategori skala 1:5.000 kelas 1, sedangkan CSRT berada pada level ketelitian skala
1:5.000 kelas 2 dan 3. Artinya, meski sama-sama bisa digunakan untuk pemetaan skala 1:5.000, hasil penelitian
133
Perbandingan Ketelitian Geometrik Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi Skala Besar
(Susetyo, dkk.)

ini menyatakan kualitas geometri foto udara lebih baik dibandingkan CSRT. Standar di India juga tidak
merekomendasikan penggunaan CSRT untuk peta dasar skala 1:5.000, namun ASPRS dapat menjembatani
permasalahan tersebut. Sistem kelas masih dapat digunakan, namun harus ada pernyataan yang menerangkan
perbedaan dari masing-masing kelas tersebut secara tegas.
Secara resolusi, CSRT dapat digunakan untuk pemetaan skala 1:5.000. Berkaitan dengan foto udara yang
resolusinya 2-4 kali lebih baik dari CSRT, ada pertimbangan lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu operator
pada umumnya (diasumsikan) memerlukan minimal 3 piksel untuk mengenali sebuah objek. Misalkan, jika
ada objek berukuran 0,5 m x 0,5 m, maka di CSRT objek tersebut hanya berada pada 1 piksel, sedangkan pada
foto udara 3 piksel.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Bidang Penelitian BIG, Dr. Ibnu Sofian yang sudah
memberikan bimbingannya terkait penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami berikan kepada Pusat
Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG yang sudah memfasilitasi terkait data dan peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini.

6. DAFTAR PUSTAKA
Amato, R., Dardanelli, G., Emmolo, D., Franco, V., Brutto, M. Lo, Midulla, P., Villa, B. (2004). Digital Orthophotos At
a Scale of 1 : 5000 From High Resolution Satellite Images. In XXth ISPRS Congress. Istanbul. Retrieved from
http://www.isprs.org/proceedings/XXXV/congress/comm4/papers/431.pdf
American Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ASPRS). (1990). ASPRS Accuracy Standards for Large-
Scale Maps.
American Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ASPRS). (2013). ASPRS Accuracy Standards for Digital
Geospatial Data- DRAFT – V. 12. https://doi.org/10.14358/PERS.81.3.A1-A26
American Society for Photogrammetry and Remote Sensing (ASPRS). (2014). ASPRS Positional Accuracy Standards for
Digital Geospatial Data. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing.
https://doi.org/10.14358/PERS.81.3.A1-A26
Badan Standardisasi Nasional. (2015). SNI Ketelitian Peta Dasar. Jakarta.
National Disaster Management Authority Government of India. (2005). National Technical Document for Establishing
Cartographic Base in India. New Delhi. Retrieved from
http://ndma.gov.in/images/pdf/techonologyfor10kscalemapping.pdf
Octariady, J., Widyaningrum, E., & Fajari, K. (2016). Ortorektifikasi Citra Satelit Resolusi Tinggi Menggunakan
Berbagai Metode Ortorektifikasi. In Seminar (pp. 1–6). Depok.
Octariady, J., Widyaningrum, E., & Prihanggo, M. (2016). Pengaruh Ketelitian DEM Terhadap Ketelitian Citra
Terortorektifikasi pada Permukaan Datar dan Miring (Studi Kasus: Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya). In
Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Depok.
Tang, S., Wu, B., & Zhu, Q. (2016). Combined Adjustment of Multi-resolution Satellite Imagery for Improved Geo-
positioning Accuracy. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 114, 125–136.
https://doi.org/10.1016/j.isprsjprs.2016.02.003
Widyaningrum, E., Fajari, M., & Octariady, J. (2016). Accuracy Comparison of VHR Systematic-ortho Satellite Imageries
Against VHR Orthorectified Imageries Using GCP. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing
and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives, 2016–Janua(July), 305–309.
https://doi.org/10.5194/isprsarchives-XLI-B1-305-2016

134

Anda mungkin juga menyukai