Anda di halaman 1dari 17

BAB III.

METODOLOGI

3. Metode Pengolahan Data Spasial

Metodologi pengolahan data pada bagian ini terkait dengan pengolahan data spasial
khususnya pengolahan data satelit penginderaan jauh, pemutakhiran peta penggunaan lahan dan
pembuatan DEM resolusi 5m di wilayah Kota Makassar. Lebih detail mengenai metode yang
digunakan tersebut diuraikan pada bagian berikut.

3.1. Data Spasial Yang Diperlukan

Pekerjaan ini memerlukan data spasial yang beragam yang sebagian besar telah
dihasilkan pada pekerjaan Penyusunan Masterplan Drainase yang dilakukan pada tahun
sebelumnya. Berbagai data spasial yang dapat digunakan secara langsung dan dianggap tidak
perlu dilakukan proses pemutakhiran atau tidak perlu dilakukan pemetaan ulang tidak dikaji pada
bagian metodologi ini. Metodologi ini difokuskan pada aspek pengolahan data spasial yang
dipandang perlu dimutakhirkan dan perlu dilakukan pemetaan ulang, seperti peta penggunaan
lahan, DEM resolusi 5m dan batas catchment. Pada bagian berikut diuraikan tahap pengumpulan
dan pengolahan data serta survei yang dilakukan pada pekerjaan ini.

3.1.1. Data Spasial Sekunder

Data sekunder yang diperlukan pada pekerjaan ini sebagian besar diperoleh dari data
spasial Master Drainase Kota Makassar tahun 2013, dokumen Rencana Tata Ruang Kota
Makassar tahun 2007-2013 dan draft Dokumen Rencana Tata Ruang Kota Makassar tahun 2014-
2034. Data tersebut digunakan sebagai data utama yang digunakan sebagai dasar dalam analisis
data spasial pada kajian ini.
Beberapa data data spasial yang digunakan tersebut ada yang perlu dilakukan
pemutahkiran dan atau dilakukan pengolahan ulang. Data spasial penggunaan lahan yang
digunakan pada kajian ini adalah data spasial mutakhir, sehingga data spasial sekunder yang ada
perlu dikutakhirkan menggunakan citra satelit penginderaan jauh hasil pemetaan terakhir. Kajian
ini memerlukan kualitas data DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi tinggi, sehingga
diperlukan pengolahan data ulang dari titik tinggi hasil survei topografi yang diperoleh dari data

1
sekunder yang ada. Kendatipun demikian, sebagian besar data sekunder yang diperoleh telah
memiliki kualitas yang dan akurasi yang memadai untuk dapat digunakan pada kajian ini. Data
sekunder yang digunakan pada pekerjaan ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1.: Data Spasial Sekunder yang Digunakan pada Pekerjaan Ini.

No. Jenis Data Spasial No. Jenis Data Spasial


1. Penggunaan lahan 14. RTRW Kota (2007-2013)
2. Jaringan jalan 15. Lokasi kegiatan prioritas
3. Jaringan sungai 16. Skema sistem drainase
3. Titik tinggi (topografi 2013) 17. Posisi Hidrograf
4. Data spasial drainase 18. Posisi Graph Pasut
5. Batas DAS 19. Tipe saluran
6. Garisn kontur 20. Daerah genangan banjir
7. Batas kota dan kecamatan 21. Batimetri kedalaman Ppantai
8. Kemiringan lahan (lereng) 22. Liputan bangunan
9. Data spasial geologi 23. Data statistik desa, Podes 2011
10. Hidrogeologi 24. Sub DAS
11. Jenis tanah 25. Pola aliran
12. Hidrometri (lokasi stasiun hujan) 26. Satistik kepadatan penduduk
13. Jaringan drainase eksisting 27. Garis pantai

3.1.2. Data Spasial Primer

Kajian ini juga memerlukan data spasial primer, yaitu data penginderaan jauh satelit
resolusi tinggi dan data kondisi penggunaan lahan dan area genangan yang diperoleh dari survei
di lapangan.
Data penginderaan jauh yang digunakan pada studi ini adalah data penginderaan jauh
satelit WorldView-1 dengan resolusi spasial 50 cm. Citra tersebut adalah citra satelit
multispektral (true color composite) hasil perekaman tanggal 9 Sepetember 2013. Citra satelit ini
digunakan untuk melakukan pemutakhiran peta detail penggunaan lahan di Kota Makassar.
Citra satelit yang juga digunakan pada pekerjaan ini adalah citra satelit Landsat-8 hasil
perekaman 11 Juli 2014 dengan resolusi spasial 30m. Citra satelit ini digunakan untuk
memberikan ilustrasi tutupan vegetasi yang ada di wilayah Daerah Aliran Sungai yang mengalir
ke Kota Makassar.
2
Data penginderaan jauh lain yang juga digunakan adalah data space shuttle yang berupa
data spasial elevasi dengan resolusi spasial 90m. Data spasial elevasi ini merupakan data
ketinggian lahan dalam format raster (Digital Elevation Model). Data spasial ini digunakan
sebagai dasar dalam pembuatan tampilan topografi dan pemodelan 3D (tiga dimensi).
Data primer yang berupa data data survei adalah data spasial hasil verifikasi di lapangan
terkait dengan peta penggunaan lahan yang diperoleh dari proses pemutakhiran berdasarkan citra
satelit resolusi tinggi. Data tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan koreksi dan
editing untuk meningkatkan kualitas dan akurasi peta penggunaan lahan yang dihasilkan pada
pekerjaan ini.
Data primer lain yang diperlukan juga dan dihasilkan dari survei lapangan adalah data
hasil verifikasi lapangan terkait dengan area genangan. Data area genangan yang digunakan
sebagai dasar dan dilakukan verifikasi lapangan pada kajian ini adalah data spasial area
genangan yang diperoleh dari dokumentasi pekerjaan Masterplan Drainase Kota Makassar tahun
sebelumnya.

3.2. Pengolahan Data Satelit

Citra WorldView dan Landsat-8 merupakan data penginderaan jauh sistem satelit
penginderaan jauh resolusi tinggi dan resolusi menengah. Secara sederhana, penginderaan jauh
dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan observasi suatu obyek
melalui suatu jarak tertentu (Barrett dan Curtis 1992). Dengan kata lain, penginderaan jauh
memungkinkan penggunanya untuk melalukan identifikasi dan berbagai kegiatan observasi yang
lain tanpa menyentuh obyeknya. Hal ini memberikan efisiensi yang besar dalam banyak hal
dibandingkan dengan kegiatan observasi terestrial yang dilakukan secara langsung di lapangan.
Pengolahan data penginderaan jauh satelit yang akan dilakukan pada pekerjaan ini berupa
pengolahan awal citra yang terdiri dari koreksi radiometri dan geometri serta proses lain yang
mendukung ekstraksi data spasial yang diperlukan, seperti pembuatan komposit, penajaman
kontras dan filter citra satelit. Pada Citra Satelit WorldView dilakukan pula proses mosaik dan
color balancing guna mengintegrasikan potongan citra yang satu dengan yang lain.

3
3.2.1. Koreksi Geometri Citra Satelit

Koreksi geometri pada penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan citra satelit yang
memiliki posisi geometri yang representatif dengan kondisi sebenarnya di permukaan bumi.
Koreksi geometri citra satelit Landsat-8 dilakukan menggunakan metode rektifikasi untuk
relokasi pixel dan metode nearest neighbor digunakan untuk proses resampling. Metode ini
digunakan karena metode ini memiliki algoritma yang sesuai dengan bentuk distorsi geometri
pada citra satelit dan tidak merubah nilai piksel pada citra yang dihasilkan. Koreksi geometri
citra satelit WordView dilakukan menggunakan metode Orthorektifikasi.
Referensi posisi dan sistem koordinat yang digunakan pada penelitian ini mengikuti
standart SNI (Standart Nasional Indonesia), yaitu sesuai dengan Peta Rupabumi Indonesia yang
dipublikasikan oleh BAKOSURTANAL, yaitu Datum WGS 84, Proyeksi UTM (Universal
Transverse Mercator) dengan Zona SUTM50.

3.2.2. Koreksi Radiometri Citra Satelit

Koreksi Radiometri hanya dilakukan pada citra Satelit Landsat-8 dan tidak dilakukan
pada citra Satelit WorldView. Citra satelit Landsat-8 memerlukan analisis spektral pada
pekerjaan ini karena resolusi spasialnya yang menengah (30m x 30m), sedangkan citra Satelit
WorldView yang memiliki resolusi tinggi (0,5m x 0,5m) tidak memerlukan analisis spectral dan
dapat secara langsung dikenali melalui teknik interpretasi visual sehingga tidak memerlukan
proses koreksi radiometri.
Koreksi radiometri citra Landsat-8 dilakukan untuk mengurangi pengaruh hamburan
yang disebabkan oleh partikel-partikel yang ada di atmosfer. Semakin besar panjang gelombang
yang digunakan untuk perekaman citra satelit, maka pengaruh hamburan yang mempengaruhi
akan semakin kecil. Pada hal ini panjang gelombang inframerah memiliki kemampuan menapis
pengaruh hamburan atmosfer yang lebih baik daripada panjang gelombang tampak mata
(visible).
Koreksi radiometri yang digunakan pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode
histogram adjustment. Metode ini dipilih karena prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dan
tidak menggunakan algoritma yang rumit serta dapat memberikan hasil yang baik.

4
3.2.3. Pembuatan Citra Komposit Warna dan Penajaman Kontras

Komposit wana merupakan penggabungan beberapa saluran citra yang memiliki panjang
gelombang berbeda untuk menghasilkan citra baru dengan informasi spaktral yang lebih lengkap
secara visual. Informasi spaktral yang lengkap ini memberikan kemudahan untuk melakukan
interpretasi dalam pemutakhiran penggunaan lahan yang dilakukan pada pekerjaan ini.
Citra Landsat-8 dan WorldView merupakan sensor multispektral yang memiliki saluran
beberapa saluran spektral (band). Saluran multispektral yang lengkap ini memungkinkan citra
composit warna yang dapat dihasilkan sangat kompleks. Perkembangan teknologi pengolah citra
yang ada saat ini, seperti halnya ER Mapper 7.0 memiliki kemampuan untuk dilakukannya
penyusunan cita komposit yang dari saluran spektral yang berbeda resolusi spasial. Kemampuan
ini juga sangat mendukung untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas komposit citra yang dapat
dibentuk.
Pada penelitian ini penyusunan citra komposit dilakukan untuk beberapa model komposit
warna yang dapat menonjolkan informasi spasial penggunaan lahan di wilayah Kota Makassar.

3.2.5. Penggunaan Filter pada Citra Satelit

Filter pada citra satelit digital digunakan untuk mendukung berbagai keperluan yang
terkait dengan interepretasi penggunaan lahan secara visual. Teknik filter ini dapat digunakan
untuk meningkatkan perbedaan kontras anatara piksel pada suatu citra komposit warna.
Perbedaan kontras piksel tersebut memberikan kenampakan visual yang lebih tegas
antara berbagai tipe penggunaan lahan pada citra satelit. Proses filter ini hanya diginaan untuk
citra satelit Landsat-8 karena memiliki kualitas resolusi spasial yang rendah. Pada penelitian ini,
model filter yang digunakan berupa moving window filter yang penting artinya untuk penajaman
citra yaitu sharpen filter 3x3.

3.2.5. Pemutakhiran Penggunaan Lahan

Pemutakhiran penggunaan lahan dilakukan dengan metode Raster-Vektor Overlay.


Metode ini merupakan metode yang standard dan banyak digunakan dalam melakukan

5
pemutakhiran data spasial menggunakan citra pengeinderaan jauh satelit. Metode ini
menggunakan citra satelit (format raster) sebagai dasar untuk pengenalan bentuk penggunaan
lahan dan peta digital penggunaan lahan (format vector) diintergrasikan menggunakan fasilitas
overlay pada perangkat lunak SIG.
Pada pekerjaan ini citra satelit yang digunakan sebagai dasar adalah citra satelit
WorldView sebagai data raster dan peta penggunaan lahan tahun 2013 sebagai data vektor yang
dimutakhirkan. Peta penggunaan lahan yang digunakan tersebut adalah peta penggunaan lahan
dari dokumen draft RTRW Kota Makassar tahun 2014-2034. Proses pemutakhiran dilakukan
secara manual menggunakan perangkat lunak ArcGIS ver 10.1.

3.2.6. Pembuatan DEM

Pada pekerjaan ini data DEM dibentuk berdasarkan data ketinggian yang diperoleh dari
survey topografi yang dilakukan pada pekerjaan sebelumnya (Masterplan Drainase Kota
Makassar tahan 2013). Data topografi yang dihasilkan pada survei tersebut adalah data topografi
yang paling detail dan paling mutakhir (terbaru) yang dapat dijumpai untuk wilayah Kota
Makassar.
Pembuatan DEM ini dilakukan menggunakan Metode Kriging dengan resolusi spasial 5m
x 5m dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1. Data DEM yang dihasilkan ini
menjadi dasar dalam pembuatan batas area genangan banjir guna melakukan verifikasi dan
koreksi area genangan yang diperoleh dari studi masterplan pada pekerjaan sebelumnya.

3.2. Survei dan Verifikasi Lapangan

Survei dan verifikasi lapangan yang dilakukan pada pekeraan ini terdiri dari 2 (dua)
bagian, yaitu;

a. Survei dan Verifikasi Peta Penggunaan Lahan

Peta penggunaan lahan yang dihasilkan melalui proses pemutakhiran menggunakan citra
satelit penginderaan jauh resolusi tinggi perlu di verifikasi di lapangan untuk mengetahui apakah
peta tersebut telah sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Berbagai kesalahan yang

6
ditemukan pada peta tersebut kemudian dicatat dan dilakukan koreksi pada proses laboratorium
pada tahap selanjutnya.

b. Survei Area Genangan

Survei ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan verifikasi terhadap area genangan
yang telah dipetakan sebelumnya pada Studi Masterplan Drainase. Survei dilakukan khususnya
pada lokasi genangan kritis dan beberapa perwakilan lokasi pada genangan tingkat sedang. Pada
lokasi-lokasi genangan yang tidak tepat, maka dilakukan koreksi batas area genangan di
lapangan berdasarkan tampilan gambar pada citra satelit untuk disesuaikan dengan kondisi
sebenarnya di lapangan.
Data hasil survei genangan ini akan menjadi dasar dalam pemetaan area genangan yang
dilakukan menggunaakan data DEM resolusi 5mx5m hasil Gridding titik tinggi. Titik tinggi yang
digunakan adalah titik tinggi hasil survei topografi pada pekerjaan penyusunan Masterplan
Drainase pada tahun anggaran sebelumnya.

3.3. Re-Interpretasi dan Editing

Data dan informasi yang diperoleh dari survei dan verifikasi di lapangan digunakan
sebagai dasar dalam melakukan koreksi dan editing terhadap kesalahan atau penyempurnaan dari
berbegai kekurangan pada penggunaan lahan hasil pemutakhiran berdasarkan hasil pengolahan
data satelit resolusi tinggi. Metode yang digunakan dalam melakukan koreksi ini adalah Metode
Re-Interpretasi dan Editing. Metode Re-Interpretasi dan Editing ini adalah metode yang
mendasarkan pada interpretasi ulang pada citra satelit dalam melakukan koreksi hasil pemetaan
tematik hasil pemetaan.
Peta penggunaan lahan yang diverifikasi melalui survei di lapangan dilakukan evaluasi
untuk menilai apakah peta tersebut telah menggambarkan kondisi obyek sesuai dengan kondisi
yang ada di lapangan. Evaluasi ini dilakukan pada beberapa lokasi yang diperlukan dan
dilakukan kunjungan lapangan. Jika ditemukan kesalahan interpretasi dan pemetaan atau ketidak
sesuaian antara apa yang ada di peta dengan apa yang ada di lapangan maka posisi koordinat
lokasi tersebut dilakukan dokumentasi dan pendataan.

7
Setelah survei dan verifikasi lapangan dilakukan dilanjutkan dengan melakukan proses
laboratorium yang berupa Re-interpretasi dan Editing. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk
memperbaiki berbagai kesalahan yang ditemukan pada peta penggunaan lahan berdasarkan data
hasil survei di lapangan. Peta penggunaan lahan yang telah melalui proses ini diharapkan akan
memiliki kualitas dan akurasi yang baik dan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.

8
BAB IV. ANALISA DATA SPASIAL

4.1. Analisis Penggunaan Lahan di Wilayah DAS dan Potensi Banjir dan Genangan

Beberapa wilayah DAS yang masuk di dalam batas administrasi Kota Makassar adalah
DAS Manyikkoaya, DAS Tallo, DAS Jenebarang dan DAS Bonto Ramba. Hasil analisis data
satelit rekaman tanggal 9 September 2014, menunjukkan bahwa tutupan vegetasi pada keempat
DAS tersebut sangat kecil.

Gambar 1.: Kondisi Tutupan Lahan pada Empat DAS yang Berimplikasi Signifikan pada Banjir
dan Genangan di Kota Makassar Hasil Perekaman Satelit Tanggal 9 September
2014. Garis Warna Kuning Pada Gambar Merupakan Batas DAS dan Garis Warna
Biru adalah Aliran Permukaan di dalam Wilayah DAS.

DAS Bonto Ramba dan Manyikkoaya adalah DAS terkecil yang hulu dan hilirnya berada
di Kota Makassar. Sebagian besar penggunaan lahan di kedua DAS ini adalah pemukiman, tanah
terbuka dan semak belukar. DAS Tallo dan Jenebarang adalah dua DAS terluas dan wilayah
hulunya tidak berada dalam batas administrasi Kota Makassar. Wilayah hilir kedua DAS ini
didominasi oleh penggunaan lahan pemukiman padat perkotaan dengan sedikit tutupan vegetasi

9
yang umumnya berupa lahan persawahan dan rawa. Wilayah bagian tengah kedua DAS ini
didominasi oleh lahan pertanian yang berupa sawah, tanah terbuka dan semak belukar. Pada
bagian hulu DAS ini didominasi oleh penggunaan lahan yang berupa lading, semak belukar dan
hutan sekunder. Tutupan hutan sekunder pada kedua DAS ini sangat kecil, sehingga tidak dapat
menopang fungsi hidrologis khususnya aliran permukaan DAS secara optimal.

4.2. Analisis Spasial Topografi di Wilayah DAS dan Potensi Banjir dan Genangan

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa semua bagian DAS Manyikkoaya dan DAS Bonto
Ramba berada pada morfologi lahan yang sangat datar dengan elevasi yang rendah dan
kemiringan lahan yang sangat landai. DAS Tallo dan DAS Jenebarang memiliki karakteristik
morfologi lahan yang berbeda dengan kedua DAS lainnya, yaitu DAS Manyikkoaya dan DAS
Bonto Ramba.
Morfologi lahan DAS Tallo dan DAS Jenebarang dapat dikelompokkan menjadi 3
bagian, yaitu bagian hulu, bagian tengah dan hilir. Morfologi Lahan DAS pada bagian hilir sama
dengan karakteristik morfologi lahan DAS Manyikkoaya dan DAS Bonto Ramba. Morfologi
lahan ini didominasi oleh topografi yang sangat datar, elevasi rendah dengan kemiringan lereng
yang landai. Wilayah tengah didominasi oleh topografi lahan bergelombang dan wilayah hulu
didominasi oleh topografi bergunung. Morfologi lahan bergelombang dan bergunung pada
bagian tengah dan atas DAS Jenebarang lebih luas daripada wilayah DAS Tallo. Gambar 2 di
atas menunjukkan kondisi morfologi lahan pada keempat DAS yang berhilir di Kota Makassar
tersebut.
Gambar 2 menunjukkan topografi bergelombang dan berbukit dengan kemiringan lereng
yang relatif curam pada wilayah hulu DAS Tallo berpotensi untuk terjadinanya erosi tanah. Erosi
tanah tersebut merupakan potensi utama sedimentasi yang terjadi pada sungai-sungai utama di
Kota Makassar. Wilayah Kota Makassar (garis warna kuning pada Gambar 1) secara alamiah
merupakan wilayah yang dibentuk dari hasil sedimentasi Sungai Tallo dan Jenebarang.
Pengendalian bukaan lahan yang ada di wilayah hulu, khususnya DAS Tallo adalah faktor utama
yang akan berdampak signifikan pada pengurangan debut aliran permukaan (run off) dan
sedimentasi di wilayah Kota Makassar.

10
Gambar 2.: Hasil Analisis Data DEM (Digital Elevation Model) dari Rekaman Teknologi
Penginderaan Jauh Space Shuttle (Pesawat Ulang-alik), NASA (2000). Warna pada
Gambar Merepresentasikan Perbedaan Elevasi dan Gambar Garis Menunjukkan
Batas DAS (Garis Warna Putih) dan Batas Admninistrasi Kota Makassar (Garis
Warna Kuning).

Pada Gambar 2 tersebut ditujukkan pula topografi wilayah Kota Makassar yang sangat
datar dengan lereng landai dan berelevasi rendah. Kondisi topografi tersebut secara alamiah
merupakan wilayah yang berpotensi banjir. Kondisi saluran sungai dan drainase perkotaan yang
baik menjadi andalan utama dalam pengendalian banjir dan genangan pada wilayah dengan tipe
topografi tersebut.

11
4.3. Analisis Spasial Wilayah Rawa dan Daerah Resapan Air di Kota Makassar

Hasil analisis data satelit resolusi 0,5m WorldView-2 perekaman tahun 2014
menunjukkan bahwa sebagian geomorfologi lahan Kota Makkasar adalah bentuk lahan yang
berupa rawa. Geomorfolofi rawa yang secara alamiah menjadi wilayah resapan air utama di
wilayah perkotaan ini telah banyak yang beralih fungsi menjadi lahan pemukiman. Beberapa
bentuk lahan rawa ini masih dapat dijumpai di beberapa kecamatan seperti sebagian wilayah
Kecamatan Tamalanrea, Tallo, dan Panakukang serta Bingkanaya dan Manggala.

Gambar 3.: Citra Satelit WorldView-2, Perekaman Tanggal 9 Sepetember 2013 pada Wilayah
Rawa di Kota Makassar. Garis Warna Kuning adalah Batas Adminstrasi Kota.
Geomorfologi Rawa telah Banyak yang Beralih Fungsi menjadi Lahan Pemukiman
dan Industri di wilayah Kota Makassar.

Penimbunan daerah resapan yang berupa lahan rawa ini banyak terjadi di wilayah Kota
Makassar. Penimbunan rawa tersebut beralih fungsi menjadi lahan pemukiman, industri, lahan
pertanian dll. Alih fungsi lahan ini dapat ditemukan juga pada alih fungsi Ruang Terbuka Biru
dan Ruang Terbuka Hijau pada Peta Rencana Tata Ruang Kota Makassar Tahun 2007-2013

12
menjadi peruntukan industri dan pemukiman pada tahun 2013. Alih fungsi bentuk lahan rawa ini
telah mengurangi wilayah resapan air di Kota Makassar. Pengurangan wilayah rawa ini
berdampak pada beralihnya wilayah genangan air dari rawa ini menjadi aliran permukaan dan
berpindah ke tempat lain membentuk area genangan baru. Gambar 3 di atas menunjukkan salah
satu wilayah rawa yang masih berfungsi di wilayah Kota Makassar dan belum tertutup oleh
timbunan akibat alih fungsi lahan.

Gambar 4.: Aktivitas Penimbunan (Pengurugan) Lahan Rawa yang Berlangsung Intensif di
Wilayah Kecamatan Panakukang yang Terlihat pada Citra Satelit WorldView-2,
Perekaman Tanggal 9 Sepetember 2013. Arah Panah Warna Merah pada Gambar
Menunjukkan Arah Alih Fungsi Lahan Pemukiman di Area Lahan Rawa yang
Intensif Terjadi.

Pada tampilan citra satelit WorldView-2, perekaman tanggal 9 Sepetember 2013 seperti
pada Gambar 4 di atas menunjukkan arah alih fungsi lahan yang berlangsung intensif di wilayah
Kecamatan Panakukang.
Pengendalian alih fungsi lahan rawa ini dapat menjadi bagian penting dalam upaya
pengendalian banjir dan genangan di Kota Makassar. Penetapan dan normalisasi lahan rawa ini

13
dapat menjadi bagian utama yang perlu dilakukan untuk mengurangi wilayah banjir dan
genangan di wilayah ini.

4.4. Pemetaan dan Analisis Spasial Genangan di Kota Makassar

Lokasi dan sebaran area genangan Kota Makassar dengan tingkat kritis pada setiap
bagian telah dilakukan pemetaan pada pekerjaaan Penyusunan Master Plan Drainase Kota
Makassar pada tahun sebelumnya. Pda pekerjaan ini dilakukan verifikasi lapangan terhadap
masing-masing area genangan khususnya genangan kritis dan sedang di lapangan. Verifikasi ini
dilakukan untuk melakukan penyempurnaan terhadap area genangan tersebut sebagai dasar
dalam visibility study yang memerlukan data lebih mutakhir. Lokasi dan sebaran genangan di
Kota Makassar yang digunakan sebagai data utama dalam penentuan lokasi survei dan verifkasi
genangan di tampilkan pada Gambar berikut ini.

Gambar: Lokasi dan Sebaran Area Genangan Banjir di Kota Makassar.

Selain verifikasi lokasi genangan di lapangan dilakukan juga verifikasi dangan


penyempurnaan batas polygon area genangan tersebut berdasarkan integrasi data hasil verifikasi
lapangan, citra satelit resolusi tinggi dan data DEM (Digital Elevation Model) resolusi 5m x 5m
hasil griding data survei topografi. Metodologi dan proses griding untuk pembuatan DEM ini
telah diuraikan pada bagian metodeologi pada bagian sebelumnya.

14
Pada Gambar di atas diketahui bahwa lokasi dan area genangan menyebar pada daerah
perkotaan dengan topografi datar dan memiliki lereng yang landai serta berada pada elevasi yang
rendah. Pada gambar tersebut ditunjukkan adanya beberapa area rawa yang masih berfungsi
sebagai daerah resapan. Genangan yang terjadi umumnya berada pada lokasi yang relatif jauh
dari area rawa yang tidak memungkinkan air permukaan terserap optimal ke dalam tanah
memalui proses infiltrasi karena tutupan lahan kota yang umumnya berupa lahan terbangun.
Kendatipun demikian, genangan juga ditemukan pada area yang dekat dengan rawa yang
disebabkan oleh menyemputnya kawasan alamiah rawa karena adanya alih fungsi lahan. Kondisi
ini menyebabkan berkurangnya kemampuan rawa tersebut dalam menampung volume aliran
permukaan yang masuk ke wilayah tersebut.
Pada Gambar berikut ditunjukkan beberapa lokasi genangan yang terjadi pada wilayah di
sekitar rawa yang umumnya terjadi pada penggunaan lahan pemukiman.

Gambar: Area Sebaran Genangan di Kota Makassar Hasil Pemutakhiran Berdasarkan Integrasi
Data Lokasi Genangan Hasil Survei Terdahulu, Citra Satelit WorldView-2 Resolusi
Tinggi dan DEM (Data Digital Elevation Model) Resolusi 5m x 5m.

15
Perkembangan Kota Makassar yang pesat membutuhkan lahan untuk pengembangan
lahan pemukiman dan industri serta infrastruktur penting kota lainnya. Kondisi inilah yang
mendorong pesatnya alih fungsi lahan rawa yang berakibat pada berkurangnya kawasan resapan
sehingga membentuk banyak membentuk area genangan wiilayah ini. Analisis yang dihasilkan
dari studi ini menujukkan bahwa konservasi dan optimaliasi fungsi rawa perlu dilakukan sebagai
daerah resapan utama yang berperan penting dalam pengendalian banjir di Kota Makassar.

4.5. Analisis Spasial Alih Fungsi Lahan Rawa di Kota Makassar

Analisis alih fungsi lahan di Kota Makasaar ini menggunkan pendekatan spasial yang
dengan mengintegrasikan peta RTRW Kota Makassar dengan data penginderaan jauh satelit
resolusi tinggi eksisting. Peta RTRW Kota Makassar yang digunakan adalah peta RTRW Kota
Makassar tahun 2007-2013. Gambar berikut ini menunjukkan inegrasi data spasial penginderaan
jauh resolusi mutakhir dengan area RTH (Ruang Terbuka Hujau) dari peta RTRW Kota
Makassar tahun 2007-2013. Pada gambar tersebut terlihat alih fungsi lahan dari RTH Biru (area
warna biru) dan RTH Binaan (area warna kuning) yang terjadi.

Gambar : Analisis Spasial Alih Fungsi Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH Alami, RTH Biru dan
RTH Binaan ) Berdasarkan RTRW Kota Makasar Tahun 2007-2013 dengan Citra
Satelit Resolusi Tinggi Tahun 2013.

16
Lahan RTH khususnya RTH biru umumnya beralih fusngi menjadi lahan tambak dan
selanjutnya berkembang menjadi lahan pemukiman (kawasan perumahan) dan industri. Kajian
ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap keberadaan RTH sebagai daerah resapan kota
perlu dipertahankan. Mempertahankan keberadaan RTH yang sebagian wilayahnya berupa rawa
ini memberikan ruang bagi resapan air permukaan di wilayah perkotaan yang bertopografi datar
dan berelevasi rendah ini.

17

Anda mungkin juga menyukai