Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGINDERAAN JAUH SENSOR AKTIF

EKSTRAKSI DEM DARI CITRA SENTINEL-1

Oleh:
Labisa Wafdan
18/431137/TK/47730

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK GEODESI


DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Mata Acara Kegiatan

Ekstraksi DEM dari Citra Sentinel-1

I.2 Tujuan Kegiatan

1. Mahasiswa mampu melakukan koreksi dari data SAR (Synthetic Aperture Radar)
2. Mahasiswa mampu membuat DEM dari data SAR

I.3 Manfaat Kegiatan

1. Mahasiswa mampu mengetahui beberapa langkah pre-processing citra SAR untuk


pembuatan DEM.
2. Mahasiswa dapat memperoleh kompetensi baru yang berguna dalam dunia kerja

I.4 Landasan Teori

Data satelit sistem radar merupakan data yang dapat mengambil informasi spasial di
bumi dan tidak dipengaruhi oleh keadaan cuaca karena Syntetic Aperture Radar (SAR)
merupakan penginderaan jauh sistem aktif yang menggunakan gelombang mikro. Gelombang
mikro lebih panjang dari gelombang cahaya yang digunakan satelit sistem optis pada
umumnya. Semakin panjang gelombang maka kemampuan untuk menembus awan semakin
besar. Citra SAR juga memiliki kelebihan, seperti SAR mampu menembus awan di mana
sensor pasif pada umumnya tidak mampu menembus awan, SAR juga merupakan sensor aktif
yang berarti tidak dipengaruhi oleh keadaan siang atau malam, akuisisi data SAR yang cepat
dan ini bisa diaplikasikan untuk pemantauan yang memerlukan temporal yang cepat, mampu
menghasilkan tampilan sinoptik (Damanik, 2018).

InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) merupakan teknik pengindraan jauh yang
menggunakan citra satelit radar. Sorotan gelombang radar dikirimkan dengan konstan ke muka
bumi, dan citra dihasilkan berdasarkan gelombang yang kembali. Intensitas gelombang yang
dipantulkan mencerminkan komposisi permukaan bumi, tetapi fase gelombang yang telah
menyentuh permukaan bumi dan terpantul juga direkam. Membandingkan fase gelombang
memungkinkan kita untuk memantau ketinggian dan geometri permukaan hingga skala
milimeter, yang mencerminkan gerakan tektonik aktif yang berhubungan dengan gempa.
Sebagai tambahan, DEM (Digital Elevation Model) yang akurat dapat dihasilkan dari metode
ini. Data SAR yang digunakan dalam metode penginderaan jauh memiliki banyak kelebihan,
seperti SAR mampu menembus awan di mana sensor pasif pada umumnya tidak mampu
menembus awan, SAR juga merupakan sensor aktif yang berarti tidak dipengaruhi oleh
keadaan siang atau malam, akuisisi data SAR yang cepat dan ini bisa diaplikasikan untuk
pemantauan yang memerlukan temporal yang cepat, mampu menghasilkan tampilan sinoptik
(Suni, Yuwono, & Suprayogi, 2019).

Meskipun sistem akuisisi data penginderaan jauh dengan sensor SAR memiliki
banyak kelebihan, namun secara operasional, pemanfaatan data SAR masih menemui banyak
kendala dibandingkan dengan data penginderaan jauh sistem optik, terutama dalam
permasalahan geometrik dan radiometrik (Septiana, Wijaya, & Suprayogi, 2017). Suatu alur
kerja pre-processing dibutuhkan bertujuan untuk menerapkan serangkaian koreksi standar, dan
tepat dengan menerapkan orbit akuisisi yang tepat, menghilangkan noise termal, koreksi
radiometrik, kalibrasi, multilook, koreksi terrain untuk menyediakan informasi yang andal
(Filipponi, 2019).

Satelit SAR mengorbit Bumi pada ketinggian sekitar 500-800 km dan mengunjungi
kembali pada lokasi di Bumi yang sama pada kurun waktu tertentu. Jangka waktu antara dua
kunjungan berturut-turut disebut baseline temporal. Namun, satelit mungkin tidak berada di
lokasi yang sama selama akuisisi citra radar berikutnya karena keterbatasan dalam kendali
orbit. Jarak antara dua titik akuisisi yang tegak lurus dengan arah pengamatan satelit disebut
perpendicular baseline. Jarak ini menyebabkan efek 3D yang dapat digunakan untuk pemetaan
topografi (Li et.al, 2010).

Satelit SAR memancarkan gelombang radar dan mengukur amplitudo dan fase dari
gelombang yang dipantulkan untuk setiap piksel dalam gambar. Informasi fase dapat diukur
dengan sangat tepat oleh satelit dan membentuk dasar untuk interferometri radar. InSAR
menggabungkan dua citra SAR dari pemandangan yang sama ke dalam 'interferogram' dengan
menghitung perbedaan fase gelombang radar. Interferogram yang dihasilkan berdasarkan
perbedaan fase antara dua citra ditampilkan secara berwarna-warni. Siklus perbedaan fasa
dalam interferogram disebut 'fringes' yang disebabkan oleh phase wrapping karena fraksi
gelombang yang diamati tidak pernah lebih dari satu siklus gelombang. Bergantung pada arah
tampilan satelit, setiap pinggiran sesuai dengan penurunan atau peningkatan jangkauan
setengah panjang gelombang SAR di sepanjang garis pandang satelit (Li et.al, 2010).
BAB II
PELAKSANAAN

II.1 Persiapan

II.1.1 Alat

1. Laptop untuk menjalankan software


2. SNAP untuk mengoreksi dan mengklasifikasikan lahan dari citra Sentinel-1 GRD.
3. Global Mapper & Google Earth untuk menampilkan DEM
4. QGIS untuk melakukan sampling dan menampilkan DEM
5. Microsoft Word untuk mengolah laporan
6. Microsoft Excel untuk perhitungan statistik

II.1.2 Bahan

1. Dua buah citra SAR Sentinel-1 GRD

II.2 Pelaksanaan

II.2.1 Diagram Alir


Data citra SAR Sentinel-1 GRD diperoleh dari pemberian asisten. Data citra tersebut kemudian
melalui berbagai pre-processing dan fungsinya secara singkat sebagai berikut:

1) S-1 Tops Split: memilih bagian backscatter citra yang diperlukan untuk analisis.
2) Apply Orbit File: proses orbital refinement untuk mengoreksi transformasi dari nilai
fase ke nilai ketinggian karena kesalahan horizontal dan vertikal. File Apply orbit berisi
data tambahan orbit tentang posisi satelit selama akuisisi SAR data. Data tersebut secara
otomatis terunduh dalam produk sentinel-1 pada aplikasi SNAP
3) Back Geocodding: menggabungkan dua produk terpisah berdasarkan informasi orbit
yang ditambahkan pada langkah sebelumnya dan informasi DEM.
4) S-1 Enhanced Spectal Diversity (ESD): meningkatkan kualitas citra hasil Back
Geocoding dengan mengkoreksi range dan pergeseran azimuth ke citra master.
5) Interferometric Formation: mengoreksi citra akibat variasi fase gelombang dari
beberapa faktor, yaitu kelengkungan gelombang, topografi, kondisi atmosfer,
perbedaan suhu dan perubahan tekanan pada dua tanggal akuisisi citra yang berbeda,
deformasi permukaan di antara dua tanggal akuisisi citra yang berbeda, dan noise
lainnya (perubahan hamburan, sudut pandang yang berbeda, dan volume hamburan).
6) S-1 Tops Deburst: menghapus seemlines antara bacscatter tunggal.
7) Goldstein Phase Filtering: mengoreksi signal-to-noise akibat noise yang disebabkan
oleh hubungan temporal dan geometris, volume hamburan, dan kesalahan pemrosesan
lainnya.
8) Subset: memotong area piksel kosong pada tepi interferogram yang mungkin telah
dimasukkan.
9) Snaphu Export: mengubah interferogram (sebagai wrapped phse) ke dalam format
yang dapat dibaca oleh snaphu. Selanjutnya, beberapa parameter dapat dipilih yang
mempengaruhi proses unwrapping dan disimpan dalam file konfigurasi yang diakses
oleh snaphu.
10) Snaphu unwrapping: memecah raster menjadi potongan yang lebih kecil yang
membaginya dengan standar menjadi 10 baris dan 10 kolom, sehingga total 100 tiles
akan dibuka. Tiles ini akan digabungkan setelahnya berdasarkan piksel yang saling
overlap (di sini 200 piksel).
11) Snaphu Import: mengimpor memiliki metadata atau geocoding
12) Phase ToElevation DEM Generation: mengubah satuan radian menjadi ketinggian
absolut dalam satuan meter di atas permukaan laut menggunakan DEM untuk
menempatkan nilai elevasi pada level yang benar.
13) Range dopler Terrain Correction: mengoreksi distorsi geometrik SAR menggunakan DEM
untuk mengubah slant range menjadi sistem koordinat peta.

Hasil proses 12 akan diperoleh DEM yang kemudian diekspor ke dalam format TIF dan KMZ
yang masing-masing akan ditampilkan dalam Global mapper dan Google Earth

II.2.2 Langkah Kerja

1. S-1 TOPS Split


S-1 TOPS Split diterapkan untuk memilih bagian backscatter citra yang diperlukan untuk
analisis.
2. Applying Orbit File
3. Back Geocoding
4. S-1 Enhanced Spectal Diversity (ESD).
5. Interferometric Formation & Coherence Estimation
6. S-1 TOPS Deburst

7. Goldstein Phase Filtering


8. Subset

Masukkan koordinat yang ingin disubset

Simpan hasil Subset

Tekan Yes.
Pilih folder penyimpanan dan tekan Save.

9. Snaphu Export

Pilih direktori file yang akan diekspor pada kolom Traget Folder serta pilih TOPO
dan MCF sebagai metode perhitungan statistik.
Salin file hasil folder

Cari tempat tujuan paste.

Tekan pada jendela berikut


Pada menu System Variables, tujuan paste berada pada USERPROFILE
10. Snaphu unwrapping
11. Snaphu Import
12. Phase ToElevation DEM Generation
13. Range Dopler Terrain Correction
14. Export
BAB III
HASIL & PEMBAHASAN

Data citra Sentinel-1 yang telah diperoleh terlebih dahulu melalui proses Apply Orbit
Information atau suatu proses orbital refinement untuk mengoreksi transformasi dari nilai fase
ke nilai ketinggian karena kesalahan horizontal dan vertikal. Setelah itu citra akan melalui
proses lainnya beserta hasilnya sebagai berikut:

1. Back Geocoding & S-1 Enhanced Spectal Diversity

Dari kedua gambar di atas dapat dikatakan proses coregristration berhasil atau tidak ada
perubahan tutupan lahan atau mekanisme hamburan yang terjadi antara akuisisi citra
pertama. Hal-hal tersebut diketahui karena tidak ada semacam kenampakan warna RGB.
2. Interferometric Formation & Coherence Estimation
Interferogram ditampilkan dalam skala warna pelangi mulai dari -π hingga + π yang berisi
variasi dari topografi, atmosfer, dan potensi deformasi permukaan (dianggap nol). Pola-pola
warna yang terbentuk disebut fringes yang mewakili siklus 2π penuh dan muncul dalam
interferogram sebagai siklus warna acak, dengan setiap siklus mewakili setengah panjang
gelombang sensor. Untuk mendapatkan DEM dengan kualitas yang memadai, fringes ini
harus terlihat di seluruh citra. Namun, interferogram yang dihasilkan terlihat buruk karena
fringe kurang begitu terlihat. Hal ini disebabkan dekorelasi fase yang mungkin disebabkan
perubahan permukaan antara kedua akuisisi (tutupan vegetasi).

Koherensi menunjukkan seberapa mirip setiap piksel antara citra slave dan master dalam
skala dari 0 hingga 1. Area dengan koherensi tinggi akan tampak cerah. Area dengan
koherensi yang buruk akan menjadi gelap. Koherensi menunjukkan area di mana informasi
fase koheren untuk mengetahui tingkat pengukuran topografi atau deformasi (termasuk
penghilangan fase topografi). Informasi fase pada area dengan koherensi rendah tidak akan
menghasilkan ukuran elevasi dengan baik. Jika area koherensi rendah terlalu dominan pada
citra, proses unwrapping akan didapatkan hasil yang buruk.

Dari citra koherensi tersebut diambil 5 sampel pada area vegetasi dan bangunan, sehingga
diperoleh rerata koherensi pada area bangunan sebesar 0,81, sedangkan pada area vegetasi
sebesar 0,33. Hal itu terjadi karena vegetasi lebih sensitif terhadap perubahan atmosfer
dibandingkan bangunan, sehingga fase gelombang yang diterima akan berbeda dari dua citra
dan koherensi pada area bangunan akan kecil atau pada area bangunan.
3. S-1 TOPS Deburst
Proses ini bertujuan menggabungkan beberapa burst menjadi satu citra utuh, sehingga area
yang terlihat hitam di tengah citra akan hilang.

4. Goldstein Phase Filtering


Fase interferometri dapat dirusak oleh noise akibat perbedaan baseline temporal dan
geometris, hamburan volume, dan kesalahan pemrosesan lainnya. Informasi fase di area
terkait dekorelasi tidak dapat dipulihkan, tetapi kualitas fringes yang ada di interferogram
dapat ditingkatkan dengan menerapkan proses filtering tersebut. Filtering ini diperlukan
pula untuk menghasilkan proses unwrapping yang baik pula.

Terdapat fase gelombang yang terlihat melompat pada interferogram. Beberapa lereng
mungkin terlalu curam untuk panjang gelombang tertentu. Hal ini dapat diperbaiki melalui
pergantian citra yang memiliki arah penerbangan berbeda dengan mengganti arah
ascending dengan descending atau sebaliknya atau menggunakan perpendicular baseline
yang lebih besar.
5. Subset
Subset untuk memotong area tertentu pada citra serta meringankan kinerja komputer.
6. Phase Unwrapping
Proses phase unwrapping mengubah fase relatif menjadi fase absolut yang hasilnya dapat
dilakukan pengubahan dari fase ke nilai ketinggian. Selain itu, proses unwrapping untuk
memecah raster menjadi potongan yang lebih kecil, snaphu membaginya menjadi 10 baris
dan 10 kolom, sehingga total 100 tile akan dibuka. Tile ini digabungkan setelahnya
berdasarkan piksel yang saling overlap (di sini 200 piksel). Hasil Unwrapping juga melalui
proses geocoding yang dibantu dengan DEM dan menghasilkan nilai ketinggian yang sudah
terkoreksi secara geometrik.

7. Phase ToElevation DEM Generation


Proses Phase to Elevation untuk mengubah satuan radian menjadi ketinggian absolut dalam
satuan meter di atas permukaan laut menggunakan DEM SRTM 1Sec HGT untuk
menempatkan nilai elevasi pada level yang benar. Proses ini mengubah nilai fase menjadi
nilai elevasi di sepanjang line-of-sight (LOS) dalam meter. LOS adalah garis antara sensor
dan piksel. DEM digunakan untuk menempatkan nilai elevasi pada level yang benar.
Koreksi terrain akan melakukan geocode pada citra dengan mengoreksi distorsi geometrik
SAR menggunakan DEM untuk mengoreksi distorsi geometrik SAR menggunakan DEM untuk
mengubah slant range menjadi sistem koordinat proyeksi peta. Geocoding medan melibatkan
penggunaan DEM untuk mengoreksi distorsi geometris yang melekat, seperti
foreshortening, layover, dan shadow.

Gambar di bawah ini berturut-turut merupakan DEM yang ditampilkan pada Global Mapper
dan Google Earth.
Pada Global Mapper memperlihatkan elevasi terendah yang sangat besar karena citra pada
daerah null value tetap dibaca sebagai bagian DEM, sedangkan pada bagian Google Earth
bagian null value tidak di baca.
Hasil akhir dari praktikum ini adalah DEM dengan resolusi spasial 13,5 meter. DSM
pasangan 2018 didapatkan dari pasangan citra yang diakuisisi pada tanggal 16 dan 28 Juni
2020.

Dari gambar di atas merupakan metadata hasil stacking Perpendicular baseline yang dihasilkan
sebesar 83,563720703125 meter, sedangkan temporal baseline menunjukkan sebesar 12 hari.
Hal itulah yang menyebabkan DEM hasil Sentinel-1 (kiri) yang dihasilkan tampak sangat
bergerigi dan sangat berbeda dengan DEM SRTM (kanan) dengan resolusi spasial 30 meter
yang diakuisisi dan terus diperbarui mulai 1 Maret 2000 sampai 30 November 2013.

Ada beberapa yang mempengaruhi rendahnya akurasi DEM dari citra Sentinel-1 antara lain:
1. Baseline temporal yang terlalu panjang
Waktu akuisisi gambar pertama dan kedua yang terlalu panjang dapat meningkatkan risiko
dekorelasi temporal fase, terutama pada area yang rentan mengalami perubahan kelembaban
karena pendeknya panjang gelombang yang diterima. Uap air di atmosfer menyebabkan
penundaan fase dan berpotensi menurunkan kualitas pengukuran. Peningkatan uap air akan
menurunkan proses fotosintesis, sehingga kadar air dan nutrisi yang dihasilkan oleh tanaman
akan berkurang dan akan mengurangi konstanta dielektrik pula yang pada akhirnya
mengurangi reflektivitas gelombang radar pada permukaan tanaman. Oleh karena itu,
disarankan untuk memilih citra yang diperoleh pada musim kemarau, tidak ada curah hujan
yang terjadi selama akuisisi kedua citra, akuisisi data pada rentang waktu yang memiliki
perubahan cuaca yang ekstrem, atau bisa mengumpulkan data pada malam hari karena
biasanya tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi atmosfer.
2. Perpendicular baseline yang kurang sesuai
Jarak antara satelit pada saat pengambilan citra paling optimal berada di antara 150 dan 300
meter, sehingga membentuk sudut yang optimal pada kedua posisi satelit yang akan
memperlihatkan variasi topografi dari efek paralaks yang optimal pula. Jika perpendicular
baseline terlalu kecil, efek topografi pada fase diferensial ini tidak cukup terlihat, sedangkan
jika terlalu besar, fase koheren semakin berbeda, juga mengarah pada hubungan dekorasi.
Namun, peningkatan baseline dapat meningkatkan akurasi pengukuran elevasi tetapi
menurunkan korelasi antara sinyal master dan slave.

Selanjutnya jika dihubungkan dengan pola tataguna lahan, terlihat bahwa daerah yang memiliki
perbedaan paling tinggi adalah daerah bervegetasi dengan elevasi. Hal ini disebabkan
gelombang C-Band yang dibawa oleh satelit Sentinel-1 tidak dapat dipantulkan dengan baik di
daerah dengan vegetasi tinggi

DEM Sentinel-1 kemudian dicek ketelitiannya dengan DEM pembanding lain yang
diketahui nilai absolutnya dan dianggap benar, yaitu DEM SRTM. Dari DSM Sentinel-1 dan
DEM acuan, dapat diketahui RMSE (Root Mean Square Error) dengan rumus:

∑𝑛𝑖=1(ℎ𝑖 − ℎ𝑗 )2
𝑅𝑀𝑆𝐸 = √
𝑛−1

di mana

hi = nilai elevasi dari DEM Sentinel-1


hј = nilai elevasi dari DEM SRTM

n = jumlah titik sampel

Ada 500 titik sampel elevasi yang diambil secara acak dan terletak pada masing-masing dari
kedua DEM tersebut. Dari sampling tersebut diperoleh nilai RMSE sebesar 92,197 meter yang
mana dapat dikatakan kesalahan elevasi DEM Sentinel-1 terhadap DEM SRTM cukup besar.
Selain itu, dari aplikasi Microsoft Excel diperoleh nilai berikut diperoleh rerata elevasi DEM
SRTM & SEM Sentinel-1 masing-masing sebesar 56,974 meter dan 12,015 meter.

Selain penghitungan RMSE, dilakukan juga penghitungan selisih elevasi dari DEM
SRTM dengan DEM Sentinel-1. Hasil selisih tersebut memberikan informasi kesalahan dari
DEM Sentinel-1. Nilai kesalahan maksimum sebesar 324,865 meter berada pada daerah dengan
elevasi tinggi, dan nilai kesalahan minimum sebesar 0,056 meter. Sedangkan korelasi nilai
elevasi dari DEM SRTM dengan DEM Sentinel-1 sebesar 0,571.
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
I. KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil pengolahan Citra Sentinel-1 sangat dipengaruhi oleh nilai perpendicular
baseline, temporal baseline, dan efek atmosfer. Semakin panjang perpendicular
baseline yang optimal, semakin pendek temporal baseline, dan semakin rendah
efek atmosfer, maka semakin baik DEM yang dihasilkan.
2. DEM SRTM dan DEM Sentinel-1 terlihat sangat berbeda karena nilai RMSE
yang ditunjukkan sebesar 92,197 meter, rerata elevasi masing-masing DEM
tersebut sebesar 56,974 meter dan 12,015 meter, dan korelasi nilai elevasi
masing-masing DEM tersebut sebesar 0,571.
II. SARAN
1. Mahasiswa seharusnya mempelajari fungsi dari tools software pada masing-
masing modul yang digunakan agar lebih memahami tujuan masing-masing
langkah praktikum yang sedang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Damanik, Y. V. (2018). Penggunaan Citra Radar Sentinel-1 Untuk Identifikasi Tutupan Lahan
di Kabupaten Pakpak Bharat. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera
Utara, Sumatera Utara.
Filipponi, F. (2019). Sentinel-1 GRD preprocessing workflow. In Multidisciplinary Digital
Publishing Institute Proceedings. 18(1), 11.
Li, S., Zhang, S., Li, T., Gao, Y., Chen, Q., & Zhang, X. (2020). Modeling The Optimal
Baseline For A Spaceborne Bistatic Sar System To Generate DEMs. ISPRS
International Journal of Geo-Information, 9(2), 108.
Suni, H. A., Yuwono, B. D., & Suprayogi, A. (2019). Analisis Ketelitian DSM Kota Semarang
Dengan Metode InSAR Menggunakan Citra Sentinel-1. Jurnal Geodesi Undip, 8(3),
17-26.

Anda mungkin juga menyukai