Oleh:
Labisa Wafdan
18/431137/TK/47730
Ekstraksi DEM dari citra Sentinel-1 & uji akurasinya terhadap DEMNAS
1. Mahasiswa mampu melakukan koreksi dari data SAR (Synthetic Aperture Radar)
2. Mahasiswa mampu membuat DEM dari data SAR
3. Mahasiswa mampu melakukan uji ketelitian horizontal DEM berdasarkan Perka BIG
No. 15 tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peta Dasar
Data satelit sistem radar merupakan data yang dapat mengambil informasi spasial di
bumi dan tidak dipengaruhi oleh keadaan cuaca karena Syntetic Aperture Radar (SAR)
merupakan penginderaan jauh sistem aktif yang menggunakan gelombang mikro. Gelombang
mikro lebih panjang dari gelombang cahaya yang digunakan satelit sistem optis pada
umumnya. Semakin panjang gelombang maka kemampuan untuk menembus awan semakin
besar. Citra SAR juga memiliki kelebihan, seperti SAR mampu menembus awan di mana
sensor pasif pada umumnya tidak mampu menembus awan, SAR juga merupakan sensor aktif
yang berarti tidak dipengaruhi oleh keadaan siang atau malam, akuisisi data SAR yang cepat
dan ini bisa diaplikasikan untuk pemantauan yang memerlukan temporal yang cepat, mampu
menghasilkan tampilan sinoptik (Damanik, 2018).
InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) merupakan teknik pengindraan jauh yang
menggunakan citra satelit radar. Sorotan gelombang radar dikirimkan dengan konstan ke muka
bumi, dan citra dihasilkan berdasarkan gelombang yang kembali. Intensitas gelombang yang
dipantulkan mencerminkan komposisi permukaan bumi, tetapi fase gelombang yang telah
menyentuh permukaan bumi dan terpantul juga direkam. Membandingkan fase gelombang
memungkinkan kita untuk memantau ketinggian dan geometri permukaan hingga skala
milimeter, yang mencerminkan gerakan tektonik aktif yang berhubungan dengan gempa.
Sebagai tambahan, DEM (Digital Elevation Model) yang akurat dapat dihasilkan dari metode
ini. Data SAR yang digunakan dalam metode penginderaan jauh memiliki banyak kelebihan,
seperti SAR mampu menembus awan di mana sensor pasif pada umumnya tidak mampu
menembus awan, SAR juga merupakan sensor aktif yang berarti tidak dipengaruhi oleh
keadaan siang atau malam, akuisisi data SAR yang cepat dan ini bisa diaplikasikan untuk
pemantauan yang memerlukan temporal yang cepat, mampu menghasilkan tampilan sinoptik
(Suni, Yuwono, & Suprayogi, 2019).
Meskipun sistem akuisisi data penginderaan jauh dengan sensor SAR memiliki
banyak kelebihan, namun secara operasional, pemanfaatan data SAR masih menemui banyak
kendala dibandingkan dengan data penginderaan jauh sistem optik, terutama dalam
permasalahan geometrik dan radiometrik (Septiana, Wijaya, & Suprayogi, 2017). Suatu alur
kerja pre-processing dibutuhkan bertujuan untuk menerapkan serangkaian koreksi standar, dan
tepat dengan menerapkan orbit akuisisi yang tepat, menghilangkan noise termal, koreksi
radiometrik, kalibrasi, multilook, koreksi terrain untuk menyediakan informasi yang andal
(Filipponi, 2019).
Satelit SAR mengorbit Bumi pada ketinggian sekitar 500-800 km dan mengunjungi
kembali pada lokasi di Bumi yang sama pada kurun waktu tertentu. Jangka waktu antara dua
kunjungan berturut-turut disebut baseline temporal. Namun, satelit mungkin tidak berada di
lokasi yang sama selama akuisisi citra radar berikutnya karena keterbatasan dalam kendali
orbit. Jarak antara dua titik akuisisi yang tegak lurus dengan arah pengamatan satelit disebut
perpendicular baseline. Jarak ini menyebabkan efek 3D yang dapat digunakan untuk pemetaan
topografi (Li et.al, 2010).
Satelit SAR memancarkan gelombang radar dan mengukur amplitudo dan fase dari
gelombang yang dipantulkan untuk setiap piksel dalam gambar. Informasi fase dapat diukur
dengan sangat tepat oleh satelit dan membentuk dasar untuk interferometri radar. InSAR
menggabungkan dua citra SAR dari pemandangan yang sama ke dalam 'interferogram' dengan
menghitung perbedaan fase gelombang radar. Interferogram yang dihasilkan berdasarkan
perbedaan fase antara dua citra ditampilkan secara berwarna-warni. Siklus perbedaan fasa
dalam interferogram disebut 'fringes' yang disebabkan oleh phase wrapping karena fraksi
gelombang yang diamati tidak pernah lebih dari satu siklus gelombang. Bergantung pada arah
tampilan satelit, setiap pinggiran sesuai dengan penurunan atau peningkatan jangkauan
setengah panjang gelombang SAR di sepanjang garis pandang satelit (Li et.al, 2010).
BAB II
PELAKSANAAN
II.1 Persiapan
II.1.1 Alat
II.1.2 Bahan
II.2 Pelaksanaan
Hasil proses 11 akan diperoleh DEM dan lalu melalui proses Elevation Void Fill Function ntuk
membuat piksel di mana ada lubang. Setelah itu dilakukan sampling terhadap DEM Sentinel-
1 dan DEMNAS menggunakan 484.890 titik, sehingga diperoleh nilai elevasi dari kedua citra
tersebut. Kedua nilai elevasi tersebut kemudian melalui uji ketelitian vertikal sesuai Perka BIG
No. 15 tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peta Dasar.
Pilih direktori file yang akan diekspor pada kolom Traget Folder serta pilih TOPO
dan MCF sebagai metode perhitungan statistik.
1. Pada menu Image Analysis klik citra yang akan di-fill dan . Akan muncul jendela
berikut dan pilih menu Elevation Void Fill Function.
1. Masukkan shapefile batas area yang akan disampling, DEM Sentinel-1, dan DEMNAS ke
dalam QGIS. Pilih menu berikut untuk membuat titik sampling.
Akan muncul jendela Random points inside polygon dan lakukan pengaturan sebagai
berikut.
2. Akan dihasilkan titik sampling. Gunakan plugin Point Sampling Tool untuk melakukan
sampling nilai elevasi pada DEM Sentinel-1 dan DEMNAS, sehingga menghasilkan file
csv yang siap dilakukan perhitungan statistik dalam bentuk file xcls.
BAB III
HASIL & PEMBAHASAN
Data citra Sentinel-1 yang telah diperoleh terlebih dahulu melalui proses Apply Orbit
Information atau suatu proses orbital refinement untuk mengoreksi transformasi dari nilai fase
ke nilai ketinggian karena kesalahan horizontal dan vertikal. Setelah itu citra akan melalui
proses lainnya beserta hasilnya sebagai berikut:
Dari kedua gambar di atas dapat dikatakan proses coregristration berhasil atau tidak ada
perubahan tutupan lahan atau mekanisme hamburan yang terjadi antara akuisisi citra
pertama. Hal-hal tersebut diketahui karena tidak ada semacam kenampakan warna RGB.
2. Interferometric Formation & Coherence Estimation
Interferogram ditampilkan dalam skala warna pelangi mulai dari -π hingga + π yang berisi
variasi dari topografi, atmosfer, dan potensi deformasi permukaan (dianggap nol). Pola-pola
warna yang terbentuk disebut fringes yang mewakili siklus 2π penuh dan muncul dalam
interferogram sebagai siklus warna acak, dengan setiap siklus mewakili setengah panjang
gelombang sensor. Untuk mendapatkan DEM dengan kualitas yang memadai, fringes ini
harus terlihat di seluruh citra. Namun, interferogram yang dihasilkan terlihat buruk karena
fringe kurang begitu terlihat. Hal ini disebabkan dekorelasi fase yang mungkin disebabkan
perubahan permukaan antara kedua akuisisi (tutupan vegetasi).
Koherensi menunjukkan seberapa mirip setiap piksel antara citra slave dan master dalam
skala dari 0 hingga 1. Area dengan koherensi tinggi akan tampak cerah. Area dengan
koherensi yang buruk akan menjadi gelap. Koherensi menunjukkan area di mana informasi
fase koheren untuk mengetahui tingkat pengukuran topografi atau deformasi (termasuk
penghilangan fase topografi). Informasi fase pada area dengan koherensi rendah tidak akan
menghasilkan ukuran elevasi dengan baik. Jika area koherensi rendah terlalu dominan pada
citra, proses unwrapping akan didapatkan hasil yang buruk.
Dari citra koherensi tersebut diambil 5 sampel pada area vegetasi dan bangunan, sehingga
diperoleh rerata koherensi pada area bangunan sebesar 0,81, sedangkan pada area vegetasi
sebesar 0,33. Hal itu terjadi karena vegetasi lebih sensitif terhadap perubahan atmosfer
dibandingkan bangunan, sehingga fase gelombang yang diterima akan berbeda dari dua citra
dan koherensi pada area bangunan akan kecil atau pada area bangunan.
3. S-1 TOPS Deburst
Proses ini bertujuan menggabungkan beberapa burst menjadi satu citra utuh, sehingga area
yang terlihat hitam di tengah citra akan hilang.
Terdapat fase gelombang yang terlihat melompat pada interferogram. Beberapa lereng
mungkin terlalu curam untuk panjang gelombang tertentu. Hal ini dapat diperbaiki melalui
pergantian citra yang memiliki arah penerbangan berbeda dengan mengganti arah
ascending dengan descending atau sebaliknya atau menggunakan perpendicular baseline
yang lebih besar.
5. Subset
Subset untuk memotong area tertentu pada citra serta meringankan kinerja komputer.
6. Phase Unwrapping
Proses phase unwrapping mengubah fase relatif menjadi fase absolut yang hasilnya dapat
dilakukan pengubahan dari fase ke nilai ketinggian. Selain itu, proses unwrapping untuk
memecah raster menjadi potongan yang lebih kecil, snaphu membaginya menjadi 10 baris
dan 10 kolom, sehingga total 100 tile akan dibuka. Tile ini digabungkan setelahnya
berdasarkan piksel yang saling overlap (di sini 200 piksel). Hasil Unwrapping juga melalui
proses geocoding yang dibantu dengan DEM dan menghasilkan nilai ketinggian yang sudah
terkoreksi secara geometrik.
Hasil akhir dari praktikum ini adalah DEM Sentinel-1 dengan resolusi spasial 14
meter.
Dari gambar di atas merupakan metadata hasil stacking Perpendicular baseline yang dihasilkan
sebesar 112,6718 meter, sedangkan temporal baseline menunjukkan sekitar 12 hari. Hal itulah
yang menyebabkan DEM Sentinel-1 tampak berbeda dengan DEMNAS (kanan). Elevasi
minimum dan maksimum DEMNAS pada lokasi kajian yang dipilih berturut-turut sebesar -5
dan 113 m, sedangkan DEM Sentinel-1 masing-masing sebesar 0 dan 623,969 m.
Dari kedua gambar di atas dapat diketahui bila semakin putih warna yang ditampikan, maka
semakin tinggi elevasi DEM yang ditampilkan dan sebaliknya. Dari gambar di atas dapat
diketahui bila DEM Sentinel-1 pada area pegunungan tampak tidak setinggi seperti yang
ditampilkan oleh DEMNAS. Hal ini disebabkan gelombang C-Band yang dibawa oleh satelit
Sentinel-1 tidak dapat dipantulkan dengan baik di daerah dengan vegetasi tinggi. Ada beberapa
yang mempengaruhi rendahnya akurasi DEM lain dari citra Sentinel-1 antara lain:
Untuk mengisi kekosongan piksel DEM melalui Elevation Void Fill untuk membuat
piksel pada ada lubang. Kekosongan terjadi ketika tidak ada titik pada DEM raster yang
dihasilkan. Kekosongan bisa terjadi karena lemahnya ketelitian data atau pantulan gelombang
yang kurang baik. Fungsi ini menggunakan metode pengisian kekosongan Plane Fitting/IDW.
Pertama, akan dihitung rata-rata dari delapan nilai tetangga untuk mengisi rongga kecil;
kemudian metode Plane Fitting diterapkan. Jika kesalahan metode Plane Fitting terlalu besar,
algoritma Inverse Distance Weighted (IDW) diterapkan.
DEM Sentinel-1 kemudian dicek ketelitiannya dengan DEM pembanding lain yang
diketahui nilai absolutnya dan dianggap benar, yaitu DEMNAS. Dari DSM Sentinel-1 dan
DEMNAS, dapat diketahui RMSE (Root Mean Square Error) dengan rumus:
∑𝑛𝑖=1(ℎ𝑖 − ℎ𝑗 )2
𝑅𝑀𝑆𝐸𝑧 = √
𝑛
di mana
Ada 484.890 titik sampel elevasi yang diambil secara acak dan terletak pada masing-masing
dari kedua DEM tersebut. Titik sampel dipilih pada daerah daratan karena bila area perairan
diikutkan bisa saja perbedaan elevasi antara DEM Sentinel-1 dan DEMNAS yang ditunjukkan
akan terlalu besar dan akan menjadi bias
Dari sampling tersebut diperoleh nilai RMSE sebesar 39,8871 meter yang mana dapat
dikatakan kesalahan elevasi DEM Sentinel-1 terhadap DEMNAS cukup besar. Rerata elevasi
sampel DEM Sentinel-1 dan DEMNAS masing-masing sebesar 47,0758 m dan 14,5808 m.
Nilai kesalahan maksimum dan minimum masing-masing sebesar 335,1431 meter dan -
83,0899 m. Sedangkan korelasi nilai elevasi dari DEMNAS dengan DEM Sentinel-1 sebesar
0,5016 yang mana menurut Yuliandany dkk. (2015) kualitas korelasinya adalah kuat. Nilai
LE90 dengan persamaan:
Nilai LE90 yang dihasilkan adalah 65,0989 m. Berdasarkan Perka BIG No. 15 tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peta Dasar, DEM Sentinel-1 ini kemungkinan dapat menjadi peta RBI
dengan skala:
1. 1:500.000 kelas 1 dengan ketelitian vertikal sebesar 100 meter. Artinya, sedikitnya 90%
kesalahan atau pergeseran posisi objek pada Peta RBI Skala 1:500.000 tersebut tidak
lebih dari 100 meter untuk posisi vertikal.
2. 1:250.000 kelas 2 dengan ketelitian vertikal sebesar 75 meter. Artinya, sedikitnya 90%
kesalahan atau pergeseran posisi objek pada Peta RBI Skala 1:250.000 tersebut tidak
lebih dari 75 meter untuk posisi vertikal.
3. 1:250.000 kelas 3 dengan ketelitian vertikal sebesar 125 meter. Artinya, sedikitnya 90%
kesalahan atau pergeseran posisi objek pada Peta RBI Skala 1:250.000 tersebut tidak
lebih dari 125 meter untuk posisi vertikal.
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
I. KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa ketelitian pengolahan Citra Sentinel-
1 sangat dipengaruhi oleh nilai perpendicular baseline, temporal baseline, dan efek
atmosfer. Semakin panjang perpendicular baseline yang optimal, semakin pendek
temporal baseline, dan semakin rendah efek atmosfer, maka semakin baik DEM
yang dihasilkan. Nilai LE90 yang dihasilkan adalah 65,0989 m. Berdasarkan Perka
BIG No. 15 tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peta Dasar, DEM Sentinel-1 ini
kemungkinan dapat menjadi peta RBI dengan skala:
II. SARAN
1. Mahasiswa seharusnya mempelajari fungsi dari tools software pada masing-
masing modul yang digunakan agar lebih memahami tujuan masing-masing
langkah praktikum yang sedang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, Y. V. (2018). Penggunaan Citra Radar Sentinel-1 Untuk Identifikasi Tutupan Lahan
di Kabupaten Pakpak Bharat. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera
Utara, Sumatera Utara.
Filipponi, F. (2019). Sentinel-1 GRD preprocessing workflow. In Multidisciplinary Digital
Publishing Institute Proceedings. 18(1), 11.
Li, S., Zhang, S., Li, T., Gao, Y., Chen, Q., & Zhang, X. (2020). Modeling The Optimal
Baseline For A Spaceborne Bistatic Sar System To Generate DEMs. ISPRS
International Journal of Geo-Information, 9(2), 108.
Suni, H. A., Yuwono, B. D., & Suprayogi, A. (2019). Analisis Ketelitian DSM Kota Semarang
Dengan Metode InSAR Menggunakan Citra Sentinel-1. Jurnal Geodesi Undip, 8(3),
17-26.
Yuliandany, E., Sabri, L. M., & Awwaluddin, M. (2019). Analisis Peramalan Data Kosong
Bulanan Pasut Menggunakan Metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System
(ANFIS) (Studi Kasus: Stasiun Pasut Surabaya). Jurnal Geodesi Undip, 9(1), 57-66.