Anda di halaman 1dari 3

Mengapa Pajak Berkeadilan?

Mengapa?

Pertama, kita berhadapan dengan ketimpangan ekonomi


yang ekstrim. Berdasarkan World Inequality Report 2022,
dalam dua dekade terakhir (2001-2021), kesenjangan ekonomi
di Indonesia tak banyak berubah. Sebanyak 10 persen
penduduk terkaya memiliki sekitar 60 persen kekayaan rumah
tangga nasional, sementara 50 persen penduduk Indonesia
hanya memiliki kurang dari 5 persen kekayaan rumah tangga
nasional.

Merujuk pada resmi (TNP2K, 2019), 1 persen terkayai Indonesia


menguasai 50 persen kekayaan nasional. Kalau angkanya
sedikit diperbesar, maka 10 persen terkaya menguasai 70
persen kekayaan. Pada 2019, Indonesia termasuk negara
tertimpang ke-6 di dunia (Credit Suisse).

Kedua, rasio pajak kita sangat rendah dan termasuk terendah


di dunia (127 dari 140 negara). Dalam beberapa tahun terakhir,
angkanya di bawah 10 persen, jauh di bawah rata-rata ASEAN
yang masih 15 persen.

Ketiga, ketidakadilan pajak. Realisasi PPh karyawan mencapai


13 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan PPh
pribadi/orang kaya hanya 1,3 persen. Tingkat kepatuhan wajib
pajak karyawan mencapai 73,6 persen, sedangkan korporasi
hanya 57,2 persen dan orang kaya 42,7 persen.

Prinsip Pajak Berkeadilan


Pertama, mereka yang punya penghasilan atau aset lebih
besar membayar pajak lebih banyak dibanding mereka yang
penghasilannya kecil.

Kedua, pajak berfungsi sebagai mekanisme redistribusi


kekayaan agar berkeadilan.

Ketiga, pajak bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran


rakyat.

Apa solusi yang ditawarkan?

Pertama, memperbaiki skema pajak PPh21: penghasilan tidak


kena pajak (PTKP) dinaikkan jadi Rp 60 juta atau 5 juta ke
bawah perbulan; ada penambahan braket baru di atas
penghasilan Rp 5 milyar.

Kedua, penerapan pajak warisan untuk setiap warisan di atas


Rp 1 milyar dengan tarif 10-45 persen. Mengingat warisan
merupakan satu mekanisme akumulasi kekayaan antar
generasi.

Ketiga, pajak Capital Gain untuk keuntungan penjualan aset


(saham, obligasi, dan properti) sebesar 20-25 persen.

Keempat, pajak tambahan untuk aset yang


menganggur/tidak dimanfaatkan, terutama tanah dan
bangunan.

Kelima, penerapan pajak karbon sebagai instrumen


pengendali emisi sekaligus mengurangi ketergantungan
terhadap energi fosil.
Keenam, ekstensifikasi barang kena cukai. Selain cukai hasil
tembakau, cairan etanol, dan minuman beralkohol, perlu
mempertimbangkan cukai untuk plastik, minuman berbahan
soda, penggunaan freon, dan lain-lain.

Tujuh, pemastian pengelolaan pajak yang transparan,


akuntabel, dan berdampak pada pembangunan dan
kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai