Anda di halaman 1dari 10

1

PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan yang di kenal sekarang ini bermula dari


pengembangan metode empiris oleh para ilmuwan muslim ketika bangsa eropa sedang
dilanda krisis kegelapan peradaban yang terjadi sekitar abad pertengahan. Tentu saja para
ilmuwan tersebut mendasarkan dan menyandarkan setiap bentuk kegiatannya pada ayat-
ayat Al-Qur’an, akan tetapi pada zaman modern seperti saat ini Al-Quran tidak jarang
dianggap sebagai penghambat perkembangan ilmu pengetahuan karena diasumsikan
memiliki perbedaan antara perkembangan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam AlQur‟an.

Walaupun Al-Qur’an bukanlah karya ensiklopedi sains kontemporer namun Al-


Qur’an sangat kaya dengan informasiinformasi sains yang justru selaras dengan sains
modern maupun tekhnologi kontemporer serta dinamis dengan perkembangan zaman .
Berdasarkan penelitian secara empiris, terbukti jika ternyata ayat-ayat Al-Qur’an
merupakan mu‟jizat sains dialam semesta ini. Selain itu Al-Qur’an menjadi lebih mudah
dipahami seirirng berjalannya waktu dan karena lebih terperinci, serta dimensi maknanya
jelas. Namun, ini tidak berarti kita perlu meragukan kebenaran– kebenarannya yang
eksplisit dan harfiah yang diuraikan oleh para pendahulu kita yang saleh karena iman
pada kebenaran– kebenaran tertentu dan tak terbantahkan yang membentuk prinsip dasar
Al-Qur’an dan islam adalah kewajiban

Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al-Qur’an dan alam raya


dipadukan melalui mukjizat Al-Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah)
dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kuasa Tuhan.Masing- masing
mengakui dan membenarkan mukjizat yang lain agar keduanya menjadi pelajaran bagi
setiap orang yang mempunyai akal sehat dan hati bersih atau orang yang mau mendengar.
Suatu hal yang sangat menarik ialah bahwa Al-Qur’an sangat mengelakkan manusia
memperhatikan bahwa meneliti alam dan menemukan ayat-ayat Allah yang mengatur
fenomena alam ini.
2

PEMBAHASAN

Segala Sesuatu Itu Berpasangan

)36( ‫ض َوِم ْن َأْن ُف ِس ِه ْم َومِم َّا اَل َي ْعلَ ُمو َن‬


ُ ‫اَأْلر‬
ْ ‫ت‬
‫مِم‬
ُ ِ‫اج ُكلَّ َها َّا ُتْنب‬
ِ
ْ ‫ُسْب َحا َن الَّذي َخلَ َق‬
َ ‫اَأْلز َو‬

“Mahasuci Dia Yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari


apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui.”

Di dalam ayat ini kita dapat mempelajari gaya pendidikan yang mengajar dan
membimbingkan rasa Tawhid kedalam diri orang-orang yang beriman dimana setelah
Allah SWT menyebutkan tanda-tanda kebesarannya di bumi, yang membuktikan
keesaannya dan keupayaannya untuk membangkitkan semula manusia untuk di
bicarakan, Allah mengemukakan pula di hujung ayat-ayat tersebut kata-kata pujian tasbih
kepada Zatnya. Tasbih (pujian kepada pencipta) diletakkan di tempatnya (dipanjatkan
kepada zatNya) menyerapkan rasa agungnya pencipta keindahan yang berseri ini, ke
dalam jiwa orang yang menghayatinya

Sebagian ulama membatasi makna kata (i i) azwâj/pasangan pada ayat ini


hanya pada makhluk hidup saja. Tim penulis Tafsir al-Muntakhab, misalnya, menulis
bahwa: “Kata ‘min’ dalam ayat ini berfungsi sebagai penjelas. Yakni, bahwa Allah telah
menciptakan pejantan dan betina pada semua makhluk ciptaan-Nya, baik berupa tumbuh-
tumbuhan, hewan, manusia maupun makhluk hidup lainnya yang tak kasat mata dan
belum diketahui manusia.”

Pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, maksud sekian banyak ayat
al-Qur’an serta kenyataan ilmiah yang ditemukan dewasa ini. Dari segi bahasa, kata (i
i) azwâj adalah bentuk jamak dari kata (i i) zauj, yakni pasangan. Kata ini
menurut pakar bahasa al-Qur’an, ar-Râghib al-Ashfahâni digunakan untuk masing-
masing dari dua hal yang berdampingan (bersamaan), baik jantan maupun betina,
binatang (termasuk binatang berakal, yakni manusia), dan juga digunakan menunjuk
3

kedua yang berpasangan itu. Dia juga digunakan menunjuk hal yang sama bagi selain
binatang seperti alas kaki. Selanjutnya, ar-Râghib menegaskan bahwa keberpasangan
tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga karena bertolak belakang. Itu dari segi
bahasa. Ayat-ayat al-Qur’an pun menggunakan kata tersebut dalam pengertian umum,
bukan hanya untuk makhluk hidup. Allah berfirman:

)49( ‫َوِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َجنْي ِ لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن‬

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat


(kebesaran Allah)” (QS. adz-Dzâriyât [51]: 49).

Dari sini, ada malam ada siang, ada senang ada susah, ada atas ada bawah,
demikian seterusnya. Semua—selama dia makhluk—memiliki pasangan. Hanya sang
Khâlik, Allah swt. yang tidak ada pasangan-Nya, tidak ada pula sama-Nya. Dari segi
ilmiah terbukti bahwa listrik pun berpasangan, ada arus positif dan ada juga arus negatif,
demikian juga atom, yang tadinya diduga merupakan wujud yang terkecil dan tidak dapat
terbagi, ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari elektron dan proton.1

Pada ayat tersebut telah jelas dinyatakan bahwa Allah benar benar menciptakan
makhluknya dengan berpasang-pasangan. Allah menciptakan berpasang-pasangan yang
diketahui dan yang tidak diketahui berikut penjelasan-penjelasan penciptaan berpasang-
pasangan :

Penjelasan pertama: Pada umumnya kata "berpasang-pasangan" memiliki arti yaitu


laki-laki dengan perempuan, betina dengan jantan. Pada ayat tersebut setelah kata
"berpasang-pasangan" ada kata semuanya. Dengan adanya kata tersebut dapat di tafsirkan
bahwa Allah menciptakan semua makhluk dengan berpasang-pasangan. Jadi teorinya
adalah semua makhluk berpasang-pasangan.

Penjelasan kedua: Dalam ayat tersebut juga dikatakan "apa yang tidak diketahui". Pada
kata tersebut bahwa Allah menciptakan berpasang-pasangan yang manusia tidak
diketahui. Yang kita ketahui pada masa ayat itu diturunkan, manusia hanya mengetahui

1
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera hati, 2008), hal.
148, volume 11
4

yang berpasang-pasangan hanyalah laki-laki dengan perempuan. Sehingga pada ayat


tersebut dapat diartikan ada yang berpasang-pasangan selain laki-laki dengan perempuan

Dari penafsiran tersebut bahwa yang berpasang-pasangan selain laki-laki dan


perempuan “apa yang tidak mereka ketahui”, dalam penjelasan ini adalah atom. Bahwa
atom diciptaka berpasang-pasangan, karena atom merupakan bagian dari semua yang ada
di bumi ini maka benar bahwa semuanya telah diciptakan berpasang.2

Pergantian Siang Dan Malam

Malam dan siang merupakan salah satu dari sekian banyak tanda-tanda yang
membuktikan bahwa alam ini pasti diatur oleh suatu zat yang amat luar bisa (Allah). Di
dalam al-Qur’an malam dan siang sering disebut dan diulang-ulang di beberapa ayat-
ayat-Nya. Dan salah satu diantaranya yaitu, surat yasin ayat 37.

)37( ‫َّه َار فَِإ َذا ُه ْم ُمظْلِ ُمو َن‬ ِ


َ ‫َوآيَةٌ هَلُ ُم اللَّْي ُل نَ ْسلَ ُخ مْنهُ الن‬

“Dan suatu tanda bagi mereka adalah malam; Kami menanggalkan darinya siang,
maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.”

ْ ‫ِإ َذا هُم ُّم‬Dَ‫نَ ْسلَ ُخ ِم ْنهُ النَّهَا َر ف‬ ) “kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan
( َ‫ون‬DD‫ظلِ ُم‬
serta merta mereka dalam kegelapan.”mengenai kata( ‫لَ ُخ‬DDD‫)ن َْس‬, penulis mengatakan ,
“Memisahkan.” dan Allah menyebut pemisahan ini dengan (‫)سلخن‬, karena ia menyerupai
ْ ‫ )فَِإ َذا هُم ُّم‬maka dengan serta merta
dengan pemisahan kulit dari tubuh binatang. ( َ‫ون‬DD‫ظلِ ُم‬
mereka dalam kegelapan. Karena siang merupakan realitas yang ada dengan keberadaan
matahari. Dan ia mengikuti malam dimana jika matahari terbenam, maka cahaya ini
mengikutinya, seperti kulit yang dipisahkan dari tubuh binatang. Dan ketika anda
menguliti kulit dari binatang, maka anda akan mendapatinya terkelupas sedikit demi
sedikit. Demikian cahaya siang jika dinisbatkan pada malam hari dimana Allah
menanggalkan siang dari malam, seperti kulit yang dilepas dari tubuh binatang. Dia

2
http://faktaquran.blogspot.com/2013/06/f akta10.html hari senin 15 oktober 2018
5

ْ ‫)فَِإ َذا هُم ُّم‬ maka dengan serta mertamereka dalam kegelapan.yakni, masuk
berfirman ( َ‫ظلِ ُمون‬
dalam kegelapan. (‫)فَِإ َذا‬ “maka dengan serta merta.” Merupakan fuja’iyyah (bersifat secara
tiba-tiba) yang menunjukkan bahwa dia hanya sekedar menanggalkan sejenak, dimana
cahaya menjadi gelap, dan sebagaimana kita menyaksikan bahwa penanggalan itu datang
sedikit demi sedikit, tetapi jika penanggalan itu telah sempurna, maka kegelapan pun
terjadi dengan sempurna.3

Ayat ini mengilustrasikan bumi dalam keadaan gelap dan memang bumi adalah planet
tidak bercahaya. Matahari memancarkan sinarnya ke bumi maka bagian tertentu dari
bumi diliputi oleh sinarnya. Sinar matahari itu diilustrasikan dengan kulit dan malam
diilustrasikan dengan jasmani binatang yang tertutup kulit. Lalu, sedikit demi sedikit,
sinar itu diambil dan dikeluarkan bagaikan binatang yang dikuliti. Setiap saat berpisah
kulit itu dari jasmani, setiap itu pula kegelapan muncul, lalu setelah selesai pengulitan,
yakni setelah posisi matahari meninggalkan bumi karena peredaran keduanya, kegelapan
pun menutupi bagian bumi.4

Peredaran Matahari Dan Bulan Pada Orbitnya

Dalam teori peredaran ini banyak kontroversi yang terjadi, ada yang mengatakan
bahwa bumi itu mengelilingi matahari dan ada juga yang berpendapat bahwa mataharilah
yang mengelilingi bumi. Ulama’ mempunyai teori tentang peredaran matahari, teori
tersebut muncul ketika melihat surat yasīn ayat 38:

]٣٦:٣٨[ ‫ك َت ْق ِد ُير الْ َع ِزي ِز الْ َعلِي ِم‬ ِ ِ


َ ‫س جَتْ ِري ل ُم ْسَت َقٍّر هَّلَا ۚ ٰذَل‬
ُ ‫َّم‬
ْ ‫َوالش‬

Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang


Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Kata (i i) tajrî pada mulanya digunakan menunjuk perjalanan cepat sesuatu
yang memiliki kaki (berlari). Lalu, kata ini digunakan juga untuk menggambarkan
perpindahan satu benda dari satu tempat ke tempat yang lain, perpindahan yang dinilai

3
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, Lautan Hikmah Tafsir Surat Yasin, Cet 1,(Bogor: pustaka
Ibnu Katsir,2005) hal  200-202
4
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera hati, 2008), hal.
150, volume 11
6

cepat dibandingkan dengan perpindahan benda lain yang serupa. Ia juga digunakan untuk
menunjuk perjalanan sangat jauh yang ditempuh dalam waktu yang relatif singkat.

Huruf lâm pada kalimat (i i) limustaqarrin ada yang memahaminya dalam arti
(i i) ilâ, yakni menuju atau batas akhir. Ada juga yang memahaminya dalam arti agar.
Sedang, kata (i i) mustaqarr terambil dari kata (i i) qarâr, yakni
kemantapan/perhentian. Patron kata yang digunakan ayat ini dapat berarti tempat atau
waktu. Dengan demikian, kata ini dapat mengandung beberapa makna. Ia dapat berarti
matahari bergerak (beredar) menuju ke tempat perhentiannya atau sampai waktu
perhentiannya atau agar ia mencapai tempat atau waktu perhentiannya. Bergerak menuju
tempat perhentian dimaksud adalah peredarannya setiap hari di garis edarnya dalam
keadaan sedikit pun tidak menyimpang hingga dia terbenam. Atau dalam arti bergerak
terus-menerus sampai waktu yang ditetapkan Allah untuk perhentian geraknya, yakni
pada saat dunia akan kiamat. Atau peredarannya itu bertujuan agar ia sampai pada waktu
atau tempat yang ditentukan untuknya.

Ayat di atas ditutup dengan dua sifat Allah, yakni (i i) al-‘Azîz/ Mahaperkasa
dan (i i) al-‘Alîm/Maha Mengetahui. Itu agaknya bertujuan menjelaskan bahwa
pengaturan Allah terhadap benda langit seperti matahari yang demikian besar, dapat
terlaksana karena Dia Mahaperkasa sehingga semua tunduk kepada-Nya dan Maha
Mengetahui sehingga pengaturan-Nya sangat teliti dan mengagumkan.

Kata (i i) taqdîr digunakan dalam arti menjadikan sesuatu memiliki kadar serta
sistem tertentu dan teliti. Ia juga berarti menetapkan kadar sesuatu, baik yang berkaitan
dengan materi maupun waktu. Kata yang digunakan ayat di atas mencakup kedua makna
tersebut. Allah menetapkan bagi matahari kadar sistem perjalanan/peredarannya yang
sangat teliti dan, dalam saat yang sama, Yang Mahakuasa itu mengatur dan menetapkan
pula kadar waktu bagi peredarannya itu. Penggunaan kata (i i) taqdîr oleh ayat ini
menunjukkan bahwa dalam bahasa al-Qur’an kata taqdîr digunakan dalam konteks uraian
tentang hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya, di samping hukumhukum-Nya
yang berlaku bagi manusia.5

5
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera hati, 2008), hal.
151, volume 11
7

Ayat diatas jika dilihat sekilas memang menunjukkan bahwa mataharilah yang
mengelilingi bumi, bukan bumi mengelilingi matahari. Karena matahari berjalan pada
peredarannya, dan bumi tidak.

Kemudian beberapa abad kemudian muncul teori revolusi yang dikemukakan oleh
orang Kristen, yaitu bumi mengelilingi matahari, dan matahari sebagai porosnya. Antara
pendapat pertama dan kedua terjadi pertentangan, yang satu mengatakan bumilah yang
mengelilingi matahari dan yang satu mengatakan mataharilah yang mengitari bumi.

Dalam tafsir kemenag surat yasīn ayat 38 diatas ditafsirkan bahwa matahari berjalan
sambil berputar pada sumbunya, sedang bumi berada berada di depannya dan juga
berjalan sambil berputar pada sumbunya, dan beredar mengelilingi matahari. Pendapat ini
berasal dari ilmu falak.6

Menurut tafsir kemenag Kata ‫ ِري‬D ْ‫ تَج‬merupakan fi’il muḍāri’, yang artinya pergi,
berjalan, beredar, atau mengalir. Karena disini subjeknya adalah matahari, maka
maknanya yang tepat adalah beredar, dalam arti bahwa matahari itu beredar menuju
tempat pemberhatiannya. Matahari yang merupakan sebuah bintang yang besar yang
bertetangga daengan planet bumi tidaklah berdiam saja di suatu tempat melainkan
bergerak dan beredar pada garis edarnya, dan terus beredar sepanjang masa sampai hari
kiamat. Menurut Ibnu Jauzī, matahari itu beredar selamanya, dan tidak menetap pada
suatu tempat.7

Dalam tafsir Ibnu Kathīr juga berpendapat demikian mengenai ayat diatas, tapi
menambahkan keterangan mengenai tempat peredaran matahari, yaitu dibawah ‘Arsh
dekat kearah bumi dari sisi tersebut. Dimanapun berada matahari dan seluruh mahluk
berada dibawah ‘Arsh.8

Setelah melihat tafsiran para ulama’ mengenai ayat diatas ternyata teori yang dimiliki
ulama’ tidaklah bertentangan dengan teori revolusi. Teori revolusi jika dilihat dari
pengertian secara garis besar adalah menjadikan matahari sebagai poros, sedangkan
keterangan dari ayat diatas versi kemenag dan Ibnu Kathīr adalah matahari juga sebagai
6
Kementerian Agama RI,  Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Kementerian Agama, 2010) 8:226.
7
Kementerian Agama RI,  Al-Qur’an dan Tafsirnya 8/224.
8
Abi al-Fida` al-Ḥafiẓ Ibnu Kathīr al-Damashqiy, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, terj. M. Abdul Ghaffar,
dkk. (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2004) hlm. 646
8

poros. Tapi ada perbedaan kecil mengenai dua teori ini pertama dari teori revolusi
matahari hanya diam dan tidak bergerak, sedangkan teori ayat diatas menjelaskan bahwa
matahari juga bergerak pada peredarannya.

ِ ِ ِ
َ ‫س َيْنبَغي هَلَا َأ ْن تُ ْد ِر َك الْ َق َمَر َواَل اللَّْي ُل َسابِ ُق الن‬
ٌّ‫َّها ِر َو ُكل‬ ْ ‫) اَل الش‬39( ‫َوالْ َق َمَر قَد َّْرنَاهُ َمنَا ِز َل َحىَّت َع َاد َكالْعُْر ُجون الْ َقد ِمي‬
ُ ‫َّم‬
ٍ َ‫يِف َفل‬
)40( ‫ك يَ ْسبَ ُحو َن‬

“Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai
ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua (39).Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya (40).”
Matahari, bulan, planet-planet dan satelit-satelit lain di luar angkasa, semuanya
berputar menurut garis edarnya yang sudah tentu. Para astronom berpendapat bahwa ada
dua macam perputaran matahari. Yaitu putaran matahari pada porosnya sendiri dan
putaran pada garis edarnya bersama planet-planet dan satelit-satelit sekitarnya yang
disebut Gugusan Bima Sakti.9

Matahari itu beredar mengelilingi poros peredarannya yang tetap, ia melakukan


rotasi sesuai dengan aturan astronomisnya, kira-kira 200 mil/detik. Aturan tersebut
merupakan ketentuan dari Allah swt, Dialah yang maha perkasa dan maha kuasa
mengendalikan makhluk-makhluknya, dan maha tahu tentang keadaan-keadaannya.
Tempat persinggahan (manzil) dalam ayat ini merupakan tempat persinggahan bagi
bulan, yaitu 28 manzil. Kadang-kadang ia genap 30. Pada manzil yang terakhir bulan
nampak tipis melengkung dan berwarna kuning. Tidak mungkin bagi matahari
melampaui bulan, dan begitupun sebaliknya, karena perjalan keduanya memiliki
kecepatan masing-masing. Pergerakan matahari dan bulan menyebabkan terjadinya
fenomena siang dan malam, kedua-duanya berjalan dengan perhitungan yang teratur,
tidak berubah dan berganti. Bumi, matahari maupun bulan beredar pada falaqnya
bagaikan berenangnya ikan dalam air. Beberapa poin penting mengenai ayat ini adalah :

1. Pergantian siang dan malam adalah sebagai bukti dari kekuasaan Allah swt.

9
Syamsudin Noor, Misteri Surat Yasin, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2009), hlm.127-128
9

2. Peredaran lahiriyah planet-planet yang ada memungkinkan masyarakat untuk


menentukan jumlah hari pada setiap bulannya.

3. Memungkinkan kita melihat bulan sabit ataupun Hilal untuk menentukan awal bulan
baru.

4. Bumi, matahari dan bulan memiliki garis edarnya masing-masing, sehingga antar
satu dengan yang lainnya tidak saling menghalangi cahaya matahari kecuali pada saat-
saat tertentu (gerhana).

Kata (i i) yanbaghî terambil dari kata (i i) baghâ yang berarti meminta. Ia


pada mulanya berarti meminta sesuatu lalu memeroleh apa yang diminta itu. Dari makna
ini, lahir pengertian dapat/mampu. Jika sesuatu tidak dapat atau tidak boleh Anda
kerjakan, itu dapat dilukiskan dengan lâ yanbaghî. Dari sini, kata yang digunakan ayat di
atas berarti tidak dapat atau tidak diperkenankan Allah.

Ayat di atas hanya menyebut matahari dan malam yang tidak dapat mendahului
bulan serta siang. Tidak menyebut sebaliknya. Ini untuk mempersingkat uraian, apalagi
bila yang besar lagi hebat, yakni matahari, tidak dapat mendahului yang kecil, yakni
bulan, tentu terlebih lagi yang sebaliknya.

Kata (i i) yasbahûn pada mulanya berarti mereka berenang. Ruang angkasa


diibaratkan oleh al-Qur’an dengan samudra yang besar. Benda-benda langit diibaratkan
dengan ikan-ikan yang berenang di lautan lepas itu. Allah melukiskan benda-benda itu
dengan kata yang digunakan bagi yang berakal (mereka berenang). Ini agaknya untuk
mengisyaratkan ketundukan bendabenda langit itu kepada ketentuan dan takdir yang
ditetapkan Allah atasnya (baca QS. Fushshilat [41]: 11).10

Sementara itu sayyid qutb mengatakan dalam tafsirnya bahwa manusia melihat
bulan itu dalam manzilah-manzilahnya, dimulai dari bulan sabit, dan berkembang dari
satu malam ke malam yang lain sampai menjadi purnama yang utuh. Setelah itu mengecil
kembali sedikit demi sedikit hingga jadi bulan sabit. Dalam surat ini disebutkan sabit
yang terakhir dengan kalimat ‘Urjunil Qodim (tandan tua). Karena pada mulanya bulan

10
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera hati, 2008), hal.
154, volume 11
10

itu berbentuk sabit sementara pada malam terakhir berbentuk sabit pula. Bulan sabit yang
pertama tampak cemerlang dan segar. Sedangkan bulan sabit yang akhir ia hadir dengan
keadaan yang pucat seperti rontoknya tandan tua. Kehidupan bersama matahari dan bulan
dari satu malam ke malam yang lain merangsang alam indrawi, perasaan dan lintasan
fikiran yang memanggil, penuh sugesti yang mendalam.11

11
Sayyid Quthb, Tafsir fi Dzil Al-Qur’an, terj. (Jakarta: Robbani Press, 2005, hlm 393-395

Anda mungkin juga menyukai