Anda di halaman 1dari 112

MODEL PEMBERDAYAAN PONDOK PESANTREN AL HIDAYAH

PAMENANG DALAM MENANGGULANGI STUNTING


DI DESA PAMENANG KECAMATAN PAGELARAN
KABUPATEN PRINGSEWU

PROPOSAL DISERTASI

Diajukan Kepada Program Pascasarjana


Univeritas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor
Dalam Ilmu Pengembangan Masyarakat Islam

Oleh:
ROHMAD
NPM. 2170031014

PROGRAM DOKTOR PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1443/2023
ii

PERSETUJUAN PROMOTOR

PERSETUJUAN PROMOTOR
DIPERSIAPKAN UNTUK UJIAN PROPOSAL

Promotor 1 Promtor II Promotor III

Prof. Dr. H. M.Bahri Dr. H. M.Saifudin, M.Pd. Dr. Hj. Rini Setiawati,
Ghozali, MA M.Sos.I

Tanggal: Fabruari 2023

Bandar Lampung, Februari 2023


Ketua Program Studi
Pengembangan Masyarakat Islam
Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung

Dr. Hj. Rini Setiawati, M.Sos.I

Nama: ROHMAD
NPM : 2170031014
Prodi : PMI
iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas proposal disertasi ini sesuai dengan yang diharapkan. Pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah banyak membantu hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-


tingginya penulis sampaikan kepada:

a. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program S3
Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung
b. Direktur Direktur Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung beserta segenap
Jajaran yang telah memberikan bantuan dan bimbingan pada penulis
c. Para Dosen dan Pengajar serta seluruh Staff dan Karyawan di lingkungan
Program Pascasarja UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan
bantuan dan bimbingan serta memfasilitasi selama proses perkuliahan dan
penulisan disertasi
d. Terimakasih penulis sampaikan juga kepada Rekan-rekan seangkatan dan
seperjuangan, khususnya program Studi S3 Pengembangan Masyarakat
Islam UIN Raden Intan Lampung tahun 2021
e. Penulis ucapkan terimakasih kepada orang tua kami tercinta , istri tercinta ,
anak – anak yang kami banggakan , guru-guru dan sahabat-sahabat yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, atas do’a dan dukungannya agar
penulis melanjutkan dan menyelesaikan S3 di UIN Raden Intan Lampung.

Penulis berharap agar disertasi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Semoga allah senantiasa memberikan Taufik dan Hidayah-Nya kepada kita
semua.

Bandar Lampung, Februari 2023

Penulis
iv

ROHMAD
NPM. 2170031014

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Pelaksanaan Penelitian Pengembangan Model 4 Level............ 43


Gambar 2. 2 Rancangan Model Penelitian yang di kembangkan.................. 69
Gambar 2. 3 Kerangka Penelitian................................................................. 71
v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Prevalensi Stunting Provinsi Lampung Tahun 2015-2021....... 2

Tabel 2. 1 Daftar Peserta FGD................................................................... 67

Tabel 3. 1 Daftar Responden...................................................................... 76


vi

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PROMOTOR....................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................iv
DAFTAR TABEL...........................................................................................v
DAFTAR ISI..................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Fokus dan Subfokus Penelitian..........................................................7
1. Fokus Penelitian 7
2. Subfokus Penelitian 8
C. Rumusan Masalah...............................................................................8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................................9
E. Manfaat Penelitian...............................................................................10

BAB II LANDASAN TEORI......................................................................11


A. Pondok Pesantren dan Stunting...........................................................11
1. Pondok Pesantren 11
2. Stunting 25
B. Konsep Model yang Dikembangkan...................................................38
C. Penelitian Yang Relevan.....................................................................43
D. Kerangka Teoritik...............................................................................49
1. Model Pemberdayaan 49
2. Promosi Kesehatan 61
E. Rancangan Model Pengembangan dan Penelitian..........................63
1. Rancangan Model Pengembangan 63
vii

2. Kerangka Pikir Penelitian 70

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................72


A. Pendekatan Penelitian........................................................................72
B. Tempat Penelitian..............................................................................75
C. Sumber Data.......................................................................................75
1).Data Primer 75
2).Data Sekunder 77
D. Teknik Pengumpulan Data..................................................................78
E. Teknik Pengolahan Data...................................................................80
F. Teknik Analisis Data.........................................................................81

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................84
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2012, UNICEF, WHO dan World Bank mengeluarkan data

bahwa ada 165 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting di seluruh

dunia.1 Secara sspesifik UNICEF menjelaskan diantaranya 36%tinggal di

negara-negara Afrika dan 27% di negara-negara Asia.2 Menurut Black dan

Victora stunting inilah yang mendasari 45% dari semua kematian anak di bawah 5

tahun.3 Dengan fenomena tersebut, stunting kini telah diidentifikasi sebagai

prioritas utama kesehatan global.4 Ambitious World Health Assembly yang

merupakan bagian dari WHO, seperti yang dikutip Bosi, menargetkan untuk

mengurangi stunting sebesar 40% antara tahun 2010 dan 2025.5

Di Asia, menurut De Onis, yang merupakan benua dengan anak-anak yang

paling pendek secara global (sekitar 100 juta); memiliki kemajuan yang

mengesankan, dengan penurunan proporsi anak-anak pendek dari 49% menjadi

28% antara tahun 1990 dan 2010. Sementara di Afrika, prevalensi stunting tetap

1
UNICEF, WHO, World Bank. Levels and Trends in Child Malnutrition. Joint
Child Malnutrition Estimates. New York, NY: United Nations International Children’s
Fund; Geneva: WHO; Washington, DC: World Bank, 2012.
2
UNICEF. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under 5 and
is widespread in Asia and Africa. (2014). http://data.unicef.org/nutrition/malnu- trition
3
Black, Robert E., et al. "Maternal and child undernutrition and overweight in
low-income and middle-income countries." The lancet 382.9890 (2013): 427-451.
4
UNICEF. Division of Communication, and UNICEF. Tracking progress on
child and maternal nutrition: a survival and development priority. UNICEF, 2009.
5
Bosi, Ayse Tulay Bagci, et al. "Breastfeeding practices and policies in WHO
European region member states." Public health nutrition 19.4 (2016): 753-764.
2

stagnan sekitar 40% dan, karena pertumbuhan penduduk, jumlah absolut anak

stunting meningkat.6

Di sisi lain, Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2019-2024, salah satu prioritas pembangunan Indonesia adalah

mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing.

Kita ketahui bersama bahwa SDM merupakan modal suatu bangsa untuk

menciptakan pembangunan nasional yang inklusif dan merata di Indonesia.

Adapun salah satu indikator yang terkait dengan penciptaan SDM yang

berkualitas adalah terpenuhinya sasaran dan target dibidang kesehatan, dimana

salah satu indikatornya adalah menurunnya angka prevalensi stunting di

Indonesia.7

Stunting merupakan salah satu kondisi kurang gizi kronis disertai dengan

komplikasi sakit. Istilah stunting di Indonesia di kenal juga dengan sebutan

pendek badan (kerdil). Kondisi ini tidak hanya gagal pada pertumbuhan fisik

sehingga menjadi pendek, tetapi juga gagal pada perkembangan kognitif dan

mentalnya.8

Global Nutrition Report 2016 telah melaporkan bahwa prevalensi

stunting di Indonesia berada peringkat 108 dari 132 negara. Berdasarkan laporan

6
De Onis, Mercedes, Monika Blössner, and Elaine Borghi. "Global prevalence
and trends of overweight and obesity among preschool children." The American journal
of clinical nutrition 92.5 (2010): 1257-1264.
7
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020/
Peraturan Presiden (PERPRES) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2020-2024
8
Nurbaiti, L., Adi, A. C., Devi, S. R., & Harthana, T. (2014). Kebiasaan makan
balita stunting pada masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 hari pertama kehidupan
(HPK). Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 27(2), 104–112.
https://doi.org/10.20473/mkp.V27I22014.104-112
3

sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami

beban ganda dalam permasalahan gizi, yaitu kelebihan gizi ataupun kekurangan

gizi.9 Beal juga mengamini bahwa prevalensi stunting anak di Indonesia tetap

tinggi selama dekade terakhir, dan di tingkat nasional sekitar 37%.10

Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan

negara tertinggi kedua, setelah Kamboja. Indonesia menempati peringkat kelima

di antara negara-negara dengan beban stunting tertinggi pada anak balita.11 Data

UNICEF juga menunjukkan demikian, Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang yang memiliki prevalensi stunting yang tinggi, dari 88 negara di

dunia, dan Indonesia berada di lima besar kasus stunting.12

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 memperlihatkan penurunan

prevalensi stunting pada tingkat nasional sebesar 6,4 % selamarperiode 5 tahun,

yakni dari 37,2 % (2013) menjadi 30,8 % (2018). Hall menyebutkan dari 24,5 juta

anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia, sekitar 9,2 juta (37%) mengalami

stunting.13

Masih menurut Hall, daerah dengan populasi pedesaan yang besar melebihi

9
Global Nutrition Report 2016, From Promise To Impact; Ending Malnutrition
By 2030, International Food Policy Research Institute, Washington, 2016; Human
Development Report 2010, 20th Anniversary Edition, The Real Wealth of Nations:
Pathways to Human Development, United Nations Development Programme, New York,
2010.
10
Beal, Ty, et al. "A review of child stunting determinants in Indonesia." Maternal
& child nutrition 14.4 (2018): e12617.
11
Christiana R. Titaley, et al. "Determinants of the stunting of children under two
years old in Indonesia: A multilevel analysis of the 2013 Indonesia basic health survey."
Nutrients 11.5 (2019): 1106.
12
UNICEF. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under 5 and
is widespread in Asia and Africa. (2014). http://data.unicef.org/nutrition/malnu- trition
13
Cougar Hall, et al. "Maternal knowledge of stunting in rural Indonesia."
International Journal of Child Health and Nutrition 7.4 (2018): 139-145.
4

rata-rata nasional dalam kasus stunting, Kalimantan Barat (39,7%), Kalimantan

Tengah (39,6%) Sumatera Selatan(38,9%), termasuk juga Lampung.14

Demikian pula di Provinsi Lampung terlihat prevalensi stunting mengalami

penurunan dari 42,6 % (2013) menjadi 27,3 % (2018), namun angka ini masih

diatas 20 % dari batas maksimal yang WHO tetapkan, yang menunjukkan bahwa

masih adanya permasalahan gizi dan kesehatan masyarakat di Provinsi

Lampung.15

Berdasarkan temuan literatur review Indah Budiastutik, secara konsisten

menunjukkan kurangnya pemberian ASI inklusif, status ekonomi rumah tangga

rendah, persalinan prematur, lama melahirkan dan pendidikan ibu yang rendah,

serta anak-anak yang tinggal di desa, sanitasi yang buruk, dan budaya adalah

faktor determinan stunting pada anak di Indonesia.16

Adapun prevalensi stunting Balita usia 0- 59 bulan per kabupaten/kota se-

Provinsi Lampung tahun 2015-2021 dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1. 1 Prevalensi Stunting Provinsi Lampung Tahun 2015-2021


No Kabupaten/Kota 2015 2016 2017 2018 2019 2021
(PSG) (PSG) (PSG) (Riskesd (SSGB (SSGB
as) I) I)
1 Lampung Barat 28,48 33,22 37,27 32,96 22,23 22,7
2 Pringsewu 26,73 24,77 37,31 29,87 27,39 25,0

14
Cougar Hall, et al. "Maternal knowledge of stunting in rural Indonesia."
International Journal of Child Health and Nutrition 7.4 (2018): 139-145.
15
Global Nutrition Report 2016, From Promise To Impact; Ending
Malnutrition By 2030, International Food Policy Research Institute, Washington, 2016;
Human Development Report 2010, 20th Anniversary Edition, The Real Wealth of
Nations: Pathways to Human Development, United Nations Development Programme,
New York, 2010.
16
Indah Budiastutik and Sri Achadi Nugraheni. "Determinants of stunting in
Indonesia: A review article." International Journal Of Healtcare Research 1.2 (2018):
43-49.
5

3 Lampung Selatan 23,23 24,85 30,31 29,08 30,39 16,3


4 Lampung Timur 14,47 17,70 23,53 24,71 26,12 15,3
5 Lampung Tengah 25,16 26,18 37,03 25,32 21,41 20,8
6 Lampung Utara 24,61 23,05 34,91 26,64 38,56 20,2
7 Way Kanan 17,26 23,34 30,62 36,07 18,95 20,7
8 Tulang Bawang 22,93 30,74 24,36 32,49 15,39 9,5
9 Pesawaran 24,44 26,69 35,28 27,49 25,84 17,6
10 Pringsewu 21,15 25,70 25,78 20,19 17,76 19,0
11 Mesuji 19,54 26,79 31,65 28,16 27,44 21,8
12 Tul. Bawang 22,19 19,57 27,13 27,20 17,39 22,1
Barat
13 Pesisir Barat 23,93 27,62 29,78 24,43 19,89 22,8
14 Bandar Lampung 21,99 22,26 33,33 25,14 36,08 19,4
15 Metro 23,13 19,81 26,46 14,75 25,03 19,7
Provinsi 22,65 24,78 31,54 27,28 26,26 18,5
Lampung

Berdasarkan dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Provinsi Lampung

tahun 2017-2021, prevalensi stunting Balita usia 0 s.d 59 bulan Kabupaten

Pringsewu meningkat dari 17,76 % (2019) menjadi 19,0 % (2021) Hasil

Riskesdas Provinsi Lampung tahun 2018 diketahui prevalensi stunting Kabupaten

Pringsewu 20,19 % sebagai nomor 2 kabupaten/kota terendah dari 15

Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, menurun dalam 5 tahun dari hasil

Riskesdas 2013 yaitu sebesar 36,99 %.

Pada tahun 2021 dari Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI)

diketahui bahwa prevalensi stunting pada Balita usia 0 s.d 59 bulan Kabupaten

Pringsewu menurun kembali menjadi 19,0 %. Indikator yang digunakan sebagai

ukuran keberhasilan sebuah bangsa dalam membangun SDM yakni Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).

Berdasarkan IPM tersebut maka pembangunan SDM Indonesia belum

menggambarkan hasil yang membanggakan, dari laporan UNDP 2010 diketahui


6

IPM Indonesia pada urutan ke 108 dari 169 negara, dan setelah 10 tahun

kemudian dari laporan UNDP 2020 IPM Indonesia masih menempati peringkat

107 dari 189 negara, rendahnya IPM Indonesia tersebut salah satunya

dipengaruhi rendahnya status gizi dan kesehatan masyarakat. 17

Stunting saat ini masih menjadi isu kesehatan yang besar di Indonesia. Akan

tetapi  selama ini isu ini hanya dianggap sebagai ranah orangtua atau pasangan

yang ingin memiliki anak, beberapa pihak menganggap tanggung jawab akan

anak muncul Ketika seseorang sudah menikah yang notabene akan melanjutkan

keturunan. Anggapan ini harus segera diganti, penyiapan generasi bukan Ketika

pembuahan akan dilakukan saja, tetapi harusnya pencegahan stunting disiapkan

mulai generasi sebelumnya. Sudah saatnya remaja dilibatkan dalam program

pencegahan stunting, karena suatu saat remaja akan memasuki fase pernikahan

dan siap untuk melanjutkan keturunan.

Fokus program pencegahan stunting yang selama ini dilakukan adalah

sebagian besar hanya sebatas penyuluhan bagi pasangan pranikah sehingga

setelah menikah mereka memahami mengenai pola makan sehat bagi anak dan

keluarga. Padahal tunting merupakan siklus yang tidak hanya dimulai sejak

kehamilan, tapi juga masa anak-anak dan remaja. Siklus ini sesuai alur kehidupan,

kita bisa memperbaiki keadaan dengan memperbaiki siklus ini dimulai sejak

remaja putri. Pemikiran ini menempatkan masalah stunting menjadi perhatian

sejak remaja.

Remaja bisa dimulai dengan kesadaran agar mereka menjaga asupan

17
Human Development Report 2020, The Next Frontier Human Development and
the Anthropocene, United Nations Development Programme, New York, 2020
7

gizinya, karena mereka adalah calon orangtua. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar

2018, masih banyak remaja yang ada dalam kondisi kurus dan sangat kurus.

Selain itu, remaja putri di Indonesia juga banyak yang mengalami anemia

defisiensi zat besi. Kondisi itu diperburuk dengan tingginya angka pernikahan di

usia remaja. Memperbaiki remaja bisa melalui banyak jalur baik informal maupun

formal. Penguatan media dalam membawa pesan harus diperhatikan, seperti kita

memperkuat institusi dimana remaja berada seperti sekolah, karang taruna,

maupun pondok pesantren.

Terkait isu kesehatan di Indonesia, saat ini tidak hanya tanggung jawab

instansi pemerintah saja seperti Dinas Kesehatan yang memiliki kewajiban dalam

menciptakan Indonesia yang sehat, khsusnya terhindar dari bahaya stunting.

Lembaga lain baik Negeri ataupun swasta,baik perorangan maupun organisasi

semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mewujudkannya

termasuk dalam hal ini adalah Pondok Pesantren.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia.

Lembaga ini memiliki misi dalam mengemban dakwah menyebarkan agama

Islam. Keberadaan pesantren lahir dari inisiatif masyarakat dan menjadikannya

sebagai institusi budaya yang memiliki ciri khas tertentu. 18 Pesantren di Indonesia

terbagi menjadi 3 tipe yaitu pesantren salaf, pesantren khalaf (modern), dan

pesantren perpaduan/terpadu. Adanya tipe pesantren yang berbeda-beda

dikarenakan orientasi pesantren yang mengalami perubahan seiring

perkembangan zaman, tantangan dan kebutuhan masyarakat. Jika dahulu


18
Halim, A. dkk. 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.Madjid, Noer Cholis. 1997 Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret
perjalanan.Jakarta:Paramadina.
8

orientasinya hanya untuk pendidikan menyebarkan dakwah islam dan merebut

kemerdekaan dari penjajah, saat ini pesantren diharuskan mampu memberikan

solusi atas permasalahan dalam masyarakat yang semakin heterogen. Masalah

tersebut berupa persoalan dalam hal ekonomi, sosial, politik, budaya hingga

keberlangsungan hidup masyarakat secara keseluruhan termasuk kesehatan di

masyarakat.

Pondok Pesantren Al-Hidayah sendiri meruapakan pesantren modern

dengan manhaj ahlussunnah wal jamaah yang memadukan kurikulum umum dan

diniyah, Bahasa Arab serta Tahfizhul Qur’an yang berwawasan global. Pada

tataran praktisnya, pondok pesantren Al-Hidayah juga ikut berperan aktif dalam

mengkampanyekan hidup sehat dan bersih. Perilaku hidup sehat dan bersih,

merupakan cerminan perilaku dari pencegahan bahaya stunting. Tentu sosialisasi

dan pembinaan terhadap santri-santrinya sangat gencar di lakukan, karena ini juga

merupakan bagian perbuatan dari implementasi dakwah.

Sebagai lembaga pendidikan yang selain berbasis agama, pondok pesantren

ini juga mengusung budaya sosial kemasyarakatan atau berbaur dengan

masyarakat di lingkungan sekitarnya. Oleh karena pentingnya sosial, maka

pondok pesantren harus berperan aktif menerapkan komunikasi sosial sebagai

teknik dalam berdakwah di masyarakat. Sebagai modal dasar, pondok pesantren

harus memberikan contoh yang baik di masyarakat dengan memulai kebiasaan

sehat pada santri-santrinya. Karena santri-santri ini lah yang kemudian menjadi

cikal bakal ujung tombak komunikasi dakwah bersosial di masyarakat,

menunjukan jati diri pesantren dengan menghadirkan sumber daya manusia yang
9

bersih dan sehat. Tentunya hal ini membutuhkan sebuah perhatian yang sangat

besar sehingga santri tidak akan berhadapan dengan masalah di kemudian hari.

Dengan mengubah perilaku dan menambahkan kemampuan santri diharapkan

santri akan mempunyai kekuatan dalam meningkatkan Kesehatan masyarakat.

Menyiapkan santri yang sehat dan mengetahui bagaimana stunting dapat

dicegah tentunya bisa menjadi solusi yang baik dalam pencegahan stunting. Santri

yang saat ini merupakan pembelajar, suatu saat mereka akan memasuki fase

untuk menikah dan melanjutkan keturunan yang kemudian berbaur di masyarakat.

Dengan membekali santri pengetahuan yang berguna dalam pencegahan stunting

tentunya kita seperti sudah membekali generasi yang akan datang senjata untuk

melawan serangan stunting.

Setelah berkeluarga dan bersosial masyarakat, identitas santri tidak hanya

sebatas menjadi masyarakat saja, sebagian dari mereka akan meneruskan

kewajiban berdakwah di masyarakat. Dengan mempunyai pengetahuan yang

bagus tentang kesehatan tentunya mereka akan menyisipkan pesan Kesehatan ini

pada saat mereka menyebarkan ilmunya. Pemikiran yang bagus ini tentunya

masih membutuhkan dukungan banyak pihak agar benar terwujud. Memperkuat

santri melalui pondok pesantren dengan mengintegrasikan pencegahan stunting

dan kesehatan tentunya akan menempatkan negara ini menjadi kuat dam melek

tentang pesan Kesehatan. Dengan kondisi seperti ini maka generasi selanjutnya

akan kita selamatkan dari ancaman stunting.


10

B. Fokus dan Subfokus Penelitian

1. Fokus Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,

maka disertasi ini peneliti fokuskan terhadap Model Pemberdayaan Pondok

Pesantren Al-Hidayah Pamenang dalam Menanggulangi Stunting di Desa

Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

2. Subfokus Penelitian

Adapun subfokus pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Strategi Advokasi (Advocacy) penanggulangan stunting oleh Pondok

Pesantren Al-Hidayah Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten

Pringsewu. kepada para penentu kebijakan di berbagai tingkatan dalam

mendukung terlaksananya kegiatan pendampingan keluarga beresiko

stunting.

b. Strategi Dukungan Sosial (Social Support) kepada pemerintah, tokoh

masyarakat, tokoh agama dan pihak swasta dalam upaya perwujudan

suasana yang mendukung untuk pelaksanaan percepatan penurunan

stunting.

c. Strategi Pemberdayaan Pondok Pesantren melalui komunikasi sosial

dalam upaya perubahan perilaku, melalui dakwah yang diterapkan untuk

percepatan penurunan stunting.


11

C. Rumusan Masalah

Berdasar uraian pada batasan masalah penelitian di atas, maka rumusan

masalah atau pertanyaan disertasi ini adalah sebagai berikut:

1). Bagaimana pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang

dalam menciptakan suasana yang kondusif (enabling) dalam

melaksanakan Strategi Advokasi (Advocacy) untuk menanggulangi

stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu?

2). Bagaimana pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang dalam

memperkuat potensi masyarakat (empowering) untuk melaksanakan

Dukungan Sosial (Social Support) dalam menanggulangi stunting di Desa

Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu?

3). Bagaimana pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang

melindungi dan membela kepentingan masyarakat (protecting) untuk

menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Demi menjawab atas permasalahan yang diambil dalam penelitian, maka

tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis bagaimana pemberdayaan Pondok Pesantren Al

Hidayah Pamenang dalam menciptakan suasana yang kondusif

(enabling) untuk melaksanakan Strategi Advokasi (Advocacy) dalam

menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu
12

b. Untuk menganalisis bagaimana pemberdayaan Pondok Pesantren Al

Hidayah Pamenang memperkuat potensi masyarakat (empowering) untuk

melaksanakan Dukungan Sosial (Social Support) dalam menanggulangi

stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu

c. Untuk menganalisis pemberdayaan bagaimana Pondok Pesantren Al

Hidayah Pamenang melindungi dan membela kepentingan masyarakat

(protecting) dalam menanggulangi stunting di Desa Pamenang

Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu

E. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, diharapkan untuk menambahkan khasanah ilmiah yang

akan menjadi bahan bahan/pemikiran lebih lanjut dikalangan akademisi

(peneliti/pembaca) dalam kajian dakwah pengembangan masyarakat dan

kesehatan.

b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti

sebagai bahan penilaian, proses dan evaluasi bagi para masyarakat dan

akademisi dalam kajian tentang dakwah, pemberdayaan masyarakat dan

kesehatan.
13

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pondok Pesantren dan Stunting

Sebagai acuan dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep yang di

gunakan dengan definisi operasionalnya sebagai berikut :

1. Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan gabungan dari kata pondok dan pesantren,

pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang artinya ruang tidur, asrama atau

wisma sederhana, Pondok memang digunakan sebagai tempat penampungan

sederhana dari para santri yang jauh dari tempat asalnya. Asrama para santri

tersebut berada di lingkungan komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal

kyai, masjid, ruang untuk belajar, mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya. 1

Sedangkan kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang berawalan “pe”

dan berakhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri.2

1
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari Moderasi, Keumatan dan
Kebangsaan (Jakarta: Kompas. 2010), 223
2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Kyai (Cet. VII;
Jakarta: LP3ES, 1997), 18.
14

Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata

santri, yaitu istilah yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama

di lembaga pendidikan Islam tradisional di Jawa. Kata santri sendiri mempunyai

arti luas dan sempit. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid satu sekolah

agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itulah kata pesantren

diambil dari kata santri yang berarti tempat tinggal untuk para santri. Dalam arti

luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara

benar, melakukan sholat, pergi ke masjid dan melakukan aktifitas ibadah lainnya.3

Mujamil Qomar menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga

pembinaan moral, lembaga dakwah dan yang paling populer sebagai institusi

pendidikan Islam yang mengalami proses romantika kehidupan dalam

menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.4 Sedang Arifin

menjelaskan bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan

agama Islam yang tumbuh dan diakui masyarakat sekitar dengan sistem asrama.

Para santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah

yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan kepemimipinan seorang kyai.5

Zarkasih memaparkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan

Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentral,

masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di

3
Abdul Munir.Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan
dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1994), 1
4
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisas
Institusi (Jakarta: Erlanggga, 2005), 2
5
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan( Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), 240
15

bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. 6 Sedang

Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam

yang mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran

Islam dengan menekankan pentingnya akhlak/moral keagamaan sebagai pedoman

perilaku sehari-sehari.7

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren

merupakan satu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh berkembang di tengah

masyarakat yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan terutama ilmu

agama dan mementingkan akhlakul karimah serta didukung asrama sebagai

tempat tinggal santri di bawah asuhan atau bimbingan kyai.

Pengertian

Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai sesuatu yang

dikehendaki, tanpa adanya suatu tujuan yang jelas maka roda perjalanan sebuah

lembaga tidak akan berjalan dengan baik, termasuk dalam lembaga pondok

pesantren. Ironisnya, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak

memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler

maupun instruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada

dalam angan-angan.8 Selama ini memang belum pernah ada rumusan tertulis

6
Amir Hamzah Wiryosukarto, Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis
pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 51
7
Mastuhu, Dinamika sistem pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 55.
8
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hlm, 3.
16

mengenai tujuan pendidikan pesantren. 9Akibatnya, beberapa penulis merumuskan

tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan (asumsi) dan atau wawancara.

Adapun tujuan pondok pesantren menurut Ziemiek sebagaimana dikutip

oleh Qomar adalah “membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan

melengkapinya dengan pengetahuan”.10 Sementara itu Arifin mengemukakan

bahwa tujuan pondok pesantren ada 2 yaitu :

a. Tujuan umum Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang

berkepribadian Islam dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh

Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.

b. Tujuan khusus Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam

ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta

mengamalkannya dalam masyarakat11

Sedangkan tujuan institusional pondok pesantren yang lebih luas dengan

tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan pondok

pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam Musyawarah/Lokakarya

Intensifikasi Perkembangan Pondok Pesantren di Jakarta yang berlangsung pada 2

s/d 6 Mei 1978, yang dikutip oleh Qomar: Tujuan umum pesantren adalah

membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran

agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi

9
Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan
Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm.25.
10
Ibid, hlm.4
11
H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta:Bumi Aksara,
1991), hlm.248
17

kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama,

masyarakat, dan negara. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:

a. Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim

yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan,

keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga Negara yang

berpancasila;

b. Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku

kaderkader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh,

wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis;

c. Memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar

dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat

membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa

dan Negara;

d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan

regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya);

e. Agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor

pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual;

f. Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat

lingkungan dalam rangka usaha usaha pembangunan bangsa.12

Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci diantara rumusan yang pernah

diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi harapan untukmemberlakukan tujuan

Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi


12
Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hlm.7.
18

tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kiai-kiai pesantren tidak

mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan bagi pesantrennya

kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut.13

Sekalipun sampai saat ini tujuan pendidikan di pondok pesantren belum

dirumuskan secara rinci dan dijabarkan dalam suatu sistem pendidikan yang

lengkap dan konsisten, tetapi secara umum tujuan itu telah tertuang dalam kitab

Ta‟limul Muta‟alim, dimana tujuan seseorang menuntut ilmu dan

mengembangkan ilmu adalah semata-mata karena kewajiban Islam yang harus

dilakukan secara ikhlas.155 Selain itu secara sistematis tujuan pendidikan di

pondok pesantren jelas menghendaki produk lulusan yang mandiri dan berakhlak

baik serta bertaqwa, dengan memilahnya secara tegas antara aspek pendidikan dan

pengajaran yang saling mengisi satu sama lain. Singkatnya, dimensi pendidikan

dalam arti membina budi pekerti santri memperoleh porsi yang seimbang di

samping dimensi pengajaran yang membina dan mengembangkan intelektual

santri.

Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan

pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim,

yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia serta dapat menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya

sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.

Elemen-Elemen Pondok Pesantren

13
Ibid.
19

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia

yang tumbuh dan berkembangnya diakui oleh masyarakat. Sebuah pondok

pesantren memiliki lima elemen dasar yang terdiri dari: pondok, masjid, santri,

pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai.14

a. Pondok

Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri (pondok)

atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab

fundug, yang berarti hotel atau asrama.15 Keadaan pondok pada masa kolonial

digambarkan Hurgronje sebagaimana dikutip Arifin:

Pondok terdiri dari dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya


dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiang-tiangnya
terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok
dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian., sehingga santri yang
kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke
pondoknya. Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang
didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna dimana
didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di
sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang
sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang terpaksa harus
membungkuk, cendelanya keci-kecil dan memakai terali. Perabot di
dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar
pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di
atasnya terletak beberapa kitab.16

Berbeda dengan apa yang dideskripsikan oleh Hurgronje di atas, dewasa ini

keberadaan pondok sebagai tempat tinggal santri sudahmengalami perkembangan

14
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm.44.
15
Ibid., hlm.18.
16
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus:pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang:Kalimasahada Press, 1993), hlm.6.
20

sedemikian rupa hingga komponen-komponen yang dimaksudkan semakin lama

semakin bertambah dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang lebih memadahi.

b. Masjid

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren

dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri,

terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang

Jum‟ah, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.159 Kedudukan masjid sebagai

pusat pendidikan dalam pondok pesantren merupakan manifestasi universalisme

dari sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sejak zaman lahirnya Islam (Nabi

Muhammad), masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam.

Para kiai selalu mengajar murid-muridnya (santri) di masjid dan

menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin

kepada santri dalam mengerjakan sholat lima waktu, memperoleh pengetahuan

agama dan kewajiban agama yang lain. Oleh karena itu, masjid merupakan

elemen penting dari sebuah pondok pesantren.

c. Santri

Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan. 17 Santri merupakan

sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren, para santri

tinggal dalam pondok yang menyerupai asrama biara, dan disana mereka

memasak dan mencuci pakaiannya sendiri, mereka belajar tanpa terikat waktu

17
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hlm.20.
21

sebab mereka mengutamakan beribadah, termasuk belajarpun dianggap sebagai

ibadah.18

Dhofier membagi santri menjadi dua kelompok sesuai dengan tradisi

pesantren yang diamatinya, yaitu:

1. Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan

menetap dalam kelompok pesantren.

2. Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di

sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren.

Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo)

dari rumahnya sendiri.19

Perbedaan antara pondok pesantren besar dan pondok pesantren kecil

dapat dilihat dari komposisi santrinya. Sebuah pondok pesantren besar, memiliki

santri mukim yang lebih banyak, sedangkan pondok pesantren kecil akan

memiliki lebih banyak santri kalong daripada santri mukim.

d. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pondok pesantren lebih

populer dengan sebutan “kitab-kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum

diketahui secara pasti. Menurut Nasuha sebagaimana dikutip oleh Arifin,

penyebutan batasan term kitab kuning, mungkin membatasi dengan tahun

karangan, ada yang membatasi dengan madzab teologi, ada yang membatasi

18
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus:pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang:Kalimasahada Press, 1993), hlm.11.
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm..51-52.
22

dengan istilah mu‟tabarah dan sebagainya. Sebagian yang lain beranggapan

disebabkan oleh warna kertas dari kitab-kitab tersebut berwarna kuning, tetapi

argumen ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah

banyak dicetak dengan memakai kertas putih yang umum dipakai di dunia

percetakan.20

Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren dapat digolongkan

kedalam 8 kelompok, yaitu: 1. nahwu dan shorof; 2. fiqh; 3. ushul fiqh; 4. hadits;

5. tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika; 8. Cabang-cabang ilmu lain seperti tarikh

dan balaghah.21

Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek)yang tidak bisa

dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Ibarat mata uang, antar satu sisi

dengan sisi lainnya yang saling terkait erat. 22 Kitab kuning sebagai salah satu

unsur mutlak dari pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam

proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada diri

santri. Oleh karena itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah pondok pesantren

menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang sebagai salah satu unsur yang

membentuk wujud pondok pesantren itu sendiri, di samping kiai, santri, masjid

dan pondok.

e. Kiai

20
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus:pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang:Kalimasahada Press, 1993), hlm.8-9.
21
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm..50.
22
Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan
Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm,.38.
23

Kata kiai bukan berasal dari bahasa Arab melainkan dari bahasa Jawa.

Dalam terminologi Jawa, kata kiai memiliki makna sesuatu yang diyakini

memiliki tuah atau keramat. 23Artinya segala sesuatu yang memilik keistimewaan

dan keluarbiasaan dibandingkan yang lain, dalam terminologi Jawa dapat

dikategorikan kiai. 24
Namun pengertian yang lebih luas di Indonesia, sebutan kiai

dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pondok pesantren, yang sebagai

muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya untuk Allah serta

menyebarluaskan dan memperdalam ajaran ajaran dan pandangan Islam melalui

kegiatan keagamaan. 25
Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan, di Jawa Tengah

dan Jawa Timur disebut Kiai, dan di Madura disebut Mak Kyiae, Bendara atau

Nun.26 Sedangkan Ali Maschan Moesa sebagaimana dikutip Qomar mencatat, di

Aceh disebut Tengku, di Sumatera Utara/Tapanuli disebut Syaikh, di

Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan

Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.

Di lingkungan pondok pesantren, keberadaan kiai sangat signifikan.

Segala bentuk pemikiran, tindak tanduk, dan perilaku kiai dipandang selalu benar

serta menjadi figur teladan bagi santri. Kiai kemudian memiliki otoritas dan

kharisma yang memuncak, dimana ketaatan santri menjadi sesuatu yang sangat

niscaya. Kiai di mata santri lebih dari sekedar guru dalam pengertian modern yang

dikenal saat ini. Kiai adalah sosok yang dicontoh segala perilakunya dan digali

23
Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah Pusaran Politik Antara Petaka dan Kuasa,
(Yogyakarta: IRCisoD, 2009), hlm.20.
24
Ibid, hlm.20.
25
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus:pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang:Kalimasahada Press, 1993), hlm.13-14.
26
Ibid., hlm.14.
24

ilmunya. Bahkan dalam konteks pondok pesantren, kiai berwujudsebagai raja-raja

kecil yang memiliki otoritas penuh terhadap pondok pesantren dan santri. Suara

kiai adalah titah yang wajib ditaati, karena dalam tradisi pondok pesantren kiai

bukan hanya figur spiritual yang memiliki titisan “pewaris para nabi”, tetapi juga

sebagai simbol penguasa kecil yang sangat otokratif terhadap masyarakat

pesantren. Kepatuhan dan ketundukan terhadap kiai dalam segala hal, baik qaulan,

fi‟lan, dan taqrirannya merupakan fakta ketundukan dalam kehidupan masyarakat

pesantren.27

Tipologi Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri

dan masyarakat, sehingga memiliki berbagai bentuk. Selama ini belum pernah

terjadi, dan barangkali cukup sulit terjadi penyeragaman pesantren dalam skala

nasional. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kiai dan

keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya.28

Sejak awal pertumbuhannya, pondok pesantren memiliki bentuk yang

beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pondok

pesantren. Menurut M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, dilihat dari segi kurikulum

dan materi yang diajarkan, pondok pesantren dapat digolongkan ke dalam empat

tipe, yaitu:

1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan


kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI,
27
Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah Pusaran Politik Antara Petaka dan Kuasa,
(Yogyakarta: IRCisoD, 2009), hlm.19
28
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hlm.16.
25

MTs, MA, dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah
umum (SD, SMP, SMU, dan PT Umum), seperti Pesantren Tebuireng
Jombang dan Pesantren Syafi‟iyyah Jakarta
2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan
kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo dan Darul Rahman
Jakarta;
3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk
Madrasah Diniyah (MD), seperti Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren
Tegalrejo Magelang;
4. Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.29

Sementara Sulaiman memandang dari perspektif tingkat kemajuan dan

kemodernan, kemudian membagi pondok pesantren ke dalam dua tipe, yaitu:

Pertama, pesantren modern yang ciri utamanya adalah: (1) gaya kepemimpinan

pesantren cenderung korporatif; (2) program pendidikannya berorientasi pada

pendidikan keagamaan dan pendidikan umum; (3) materi pendidikan agama

bersumber dari kitab-kitab klasik dan nonklasik; (4) pelaksanaan pendidikan lebih

banyak menggunakan metode-metode pembelajaran modern dan inovatif; (5)

hubungan antara kiai dan santri cenderung bersifat personal dan koligial; (6)

kehidupan santri bersifat individualistik dan kompetitif. Kedua, pesantren

tradisional yaitu pesantren yang masih terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama.

Beberapa karakteristik tipe pesantren ini adalah: (1) sistem pengelolaan

pendidikan cenderung berada di tangan kiai sebagai pemimpin sentral, sekaligus

pemilik pesantren; (2) hanya mengajarkan pengetahuan agama (Islam); (3) materi

pendidikan bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab klasik atau biasa disebut

kitab kuning; (4) menggunakan sistem pendidikan tradisional, seperti sistem

29
M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif
Global, (Yogyakarta:LaksBang PRESSindo, 2006), hlm.8.
26

weton, atau bandongan dan sorogan; (5) hubungan antara kiai, ustadz, dan santri

bersifat hirarkis; (6) kehidupan santri cenderung bersifat komunal dan egaliter.30

Sedangkan Dhofier yang melihat pondok pesantren berdasarkan

keterbukaanya terhadap perubahan-perubahan sosial, mengelompokkannya dalam

dua kategori, yaitu:

1. Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab


Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah
diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam
lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran
pengetahuan umum.
2. Pesantren Khalafi yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum
dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe
sekolah sekolah umum dalam lingkungan pesantren.31

Demikian berbagai macam tipologi pondok pesantren di Indonesia yang

bentuknya sangat heterogen.

5. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Sistem pendidikan di pondok pesantren sangat erat hubungannya dengan

tipologi maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren itu sendiri. Dalam

melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pondok pesantren di Indonesia

pada umumnya menggunakan sistem pendidikan yang bersifat tradisional, namun

ada juga pondok pesantren yang melakukan inovasi dalam mengembangkan

sistem pendidikannya menjadi sebuah sistem pendidikan yang lebih modern.


30
M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam
Perspektif Global, (Yogyakarta:LaksBang PRESSindo, 2006), hlm.8.
31
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm..41.
27

a. Sistem pendidikan tradisional

Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran

yang sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis para

ulama zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut dengan istilah

“Kitab kuning”.176 Sementara metode-metode yang digunakan dalam

sistem pendidikan tradisional terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan

atau bandongan, metode muhawaroh, metode mudzakaroh, dan metode

majlis ta‟lim.32

b. Sistem pendidikan modern

Dalam perkembangan pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh

pola lama yang bersifat tradisional, melainkan dilakukan suatu inovasi

dalam pengembangan suatu sistem, yaitu sistem yang modern. Namun

bukan berarti dengan adanya sistem pendidikan pesantren yang modern

lantas meniadakan sistem pendidikan yang tradisional yang selama ini sudah

mengakar kuat dalam diri pondok pesantren. Sistem pendidikan modern

merupakan penyempurna dari sistem pendidikan tradisional yang sudah ada.

Atau dengan kata lain, memadukan antara tradisi dan modernitas untuk

mewujudkan sistem pendidikan sinergik. Dalam gerakan pembaruan

tersebut, pondok pesantren kemudian mulai mengembangkan metode

pengajaran dengan sistem madrasi (sistem klasikal), sistem kursus

(takhasus), dan sistem pelatihan.33

32
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hlm.142
33
Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan
Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm.31-32.
28

2. Stunting

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan

gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak

sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan

baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini

meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah

sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (MCA Indonesia,

2014).

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi

badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini menunjukkan

status gizi yang kurang (malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis)

(Candra, 2020). Stunting pada anak menjadi permasalahan karena berhubungan

dengan meningkatnya risiko kesakitan dan kematian, gangguan pada

perkembangan otak, gangguan terhadap perkembangan motorik dan terhambatnya

pertumbuhan mental anak (Rahayu et al., 2018).

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut

beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan

sepanjang siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang

peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Banyak faktor

yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak.

Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun

tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan

adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh,
29

pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih

banyak lagi faktor lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).

Menurut WHO (2017) dampak yang ditimbulkan apabila seorang anak

mengalami stunting terbagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.

Dampak jangka pendek yang akan dialami dapat meningkatkan kejadian

kesakitan dan kematian serta menghambat proses perkembangan kognitif,

motorik, dan verbal pada anak. Sedangkan dalam jangka panjang, anak akan

memiliki postur tubuh yang tidak optimal (lebih pendek dari anak seusianya),

meningkatnya risiko terkena obesitas, dan menurunnya produktivitas dan

kapasitas kerja.

Menurut Piwoz, mskipun prevalensi stunting global tinggi, patogenesis yang

mendasari kegagalan pertumbuhan anak belum dapat dipahami secara

komprehensif, artinya cara yang paling mudah dilakukan untuk intervensi yang

efektif untuk meningkatkan pertumbuhan yang sehat masih samar-samar.34

Dari studi epidemiologi yang dilakukan Dewey, terlihat bahwa pemberian

ASI yang suboptimal dan praktik pemberian makanan pendamping ASI, infeksi

berulang, dan defisiensi mikronutrien merupakan faktor penentu proksimal yang

penting dari stunting.35

34
Piwoz, Ellen, Shelly Sundberg, and Jenny Rooke. "Promoting healthy growth:
what are the priorities for research and action?." Advances in Nutrition 3.2 (2012): 234-
241.
35
Dewey, Kathryn G., and Daniel R. Mayers. "Early child growth: how do nutrition
and infection interact?." Maternal & child nutrition 7 (2011): 129-142.
30

Stunting juga terjadi dalam interaksi yang kompleks di masyarakat yang

lebih jauh dari faktor sosial, seperti akses ke layanan kesehatan dan pendidikan,

stabilitas politik, urbanisasi, kepadatan penduduk, dan jaringan dukungan sosial.36

Di WHO, seperti yang dikutip Wamani, meninjau pemahaman saat ini

tentang kegagalan pertumbuhan sepanjang perjalanan hidup dan mencoba

mengidentifikasi jendela peluang potensial untuk intervensi.37

1. Periode antenatal. Pertumbuhan janin diatur oleh interaksi yang kompleks

antara status gizi ibu, sinyal endokrin dan metabolik dan perkembangan

plasenta. Oleh karena itu, ukuran bayi baru lahir merupakan cerminan dari

lingkungan intrauterin; prevalensi berat badan lahir rendah (<2·5 kg) kira-

kira enam kali lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara

maju

2. Lahir sampai 6 bulan. Bayi yang sehat mengalami kecepatan pertumbuhan

maksimal antara lahir dan usia 6 bulan. Selain itu, beberapa bulan pertama

kehidupan tampak sangat penting untuk perkembangan saraf jangka

panjang

3. usia 6-24 bulan. Periode dari usia 6 hingga 24 bulan adalah salah satu

periode paling kritis untuk pertumbuhan linier; juga merupakan waktu

prevalensi stunting puncak di negara-negara berkembang, karena tingginya

36
Stewart, Christine P., et al. "Contextualising complementary feeding in a broader
framework for stunting prevention." Maternal & child nutrition 9 (2013): 27-45.
37
Wamani, Henry, et al. "Boys are more stunted than girls in sub-Saharan Africa: a
meta-analysis of 16 demographic and health surveys." BMC pediatrics 7.1 (2007): 1-10.
31

permintaan nutrisi ditambah dengan terbatasnya kualitas dan kuantitas

makanan pendamping

4. Melebihi usia 24 bulan. Stunting cenderung dipandang sebagai kondisi

yang ditentukan dalam 1000 hari pertama, karena kegagalan pertumbuhan

linear dimulai sebelum kelahiran dan berlanjut selama 24 bulan pertama,

dengan sedikit pemulihan setelahnya. kejar pertumbuhan dapat melampaui

24 bulan, menggunakan data longitudinal.

Lebih lanjut, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


32

Penjelasan gambar di atas dalah: Jalur hijau menunjukkan periode 1000

hari pertama ketika terjadi proses pertumbuhan dan dapat dicegah dengan

intervensi. Jalur kuning menunjukkan periode antara usia 2 tahun dan

pertengahan masa kanak-kanak dan selama percepatan pertumbuhan remaja dan

pertumbuhan linier dapat terjadi, meskipun efek selama periode ini pada

komponen lain dari sindrom masih samar-samar. Jalur kuning pendek sebelum

Conceptus mencerminkan bukti bahwa intervensi diet yang menargetkan wanita

yang berpotensi kekurangan selama periode pra-konsepsi dapat meningkatkan

hasil kelahiran. Jalur merah menunjukkan periode ketika stunitng tampak tidak

responsif terhadap intervensi. 38


Kotak biru mencantumkan faktor penyebab atau

faktor yang memberatkan berdasarkan usia. 39

Stunting Menurut Perspektif Islam

Dalam sebuah ayat Al-Qur’an Allah SWT berfirman yang menjelaskan

untuk takut kepada Allah Swt dan larangan meninggalkan anak dalam keadaan

lemah, “Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka

meninggalkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah,yang mereka khawatirkan

terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, mereka bertakwa dan takutlah

kepada Allah yang maha besar.” (QS. an-Nisaa’: 9). Islam memandang Anak yang

38
Stewart CP, Iannotti L, Dewey KG, Michaelsen KF, Onyango AW.
Contextualising complementary feeding in a broader framework for stunting prevention.
Matern Child Nutr. 2013;9 (suppl 2):27–45.
39
Christian P, Lee SE, Donahue Angel M, Adair LS, Arifeen SE, Ashorn P, et al.
Risk of childhood undernutrition related to small-for-gestational age and preterm birth in
low- and middle-income countries. Int J Epidemiol. 2013;42:1340–55
33

stunting sendiri termasuk anak yang lemah karena tumbuh kembangnya yang

kurang optimal dan maksimal

Menurut Guru Besar Agama Islam IPB Bogor, Prof Dr KH Didin

Hafidhuddin MS, lemah yang dimaksudkan dalam ayat di atas menyangkut 

beberapa hal. “Yang utama adalah jangan sampai kita meninggalkan generasi

penerus yang lemah akidah, ibadah,  ilmu, dan ekonominya, Generasi penerus

atau anak di sini, tidak hanya anak biologis, melainkan juga anak didik (murid)

dan generasi muda Islam pada umumnya,” Beliau menjelaskan secara rinci

sebagai berikut:

Pertama, jangan sampai  meninggalkan anak yang lemah akidahnya atau

imannya. “Akidah merupakan sumber kekuatan, kenyamanan dan kebahagiaan

dalam hdup.  Orang yg lemah akidahnya mudah sekali terkena virus syirik dan

munafik. Hidupnya mudah terombang-ambil, tidak teguh pendirian. Ia pun bisa

gampang menggadaikan iman,” Hal ini pun dicontohkan oleh Luqmanul Hakim

saat mendidik anak-ankanya (lihat QS Luqman). “Yang pertama ditekankan

adalah soal akidah, yakni ‘janganlah engkau mempersekutukan Allah’. Barulah

kemudian Luqman membahas hal-hal yang lain kepada anak-anaknya,” paparnya.

Kedua, jangan sampai meninggalkan anak yang lemah ibadahnya. Orang

yang istiqomah dalam ibadahnya, insya Allah  akan bahagia dan punya pegangan

dalam hidupnya. Ia  tidak mudah terintenvensi oleh orang lain. “Sebaliknya, orang

yang lemah ibadahnya atau menyia-nyiakan ibadah, maka hidupnya tidak akan

bahagia. Ia pun mudah diintervensi orang lain,”


34

Ketiga, jangan sampai meninggalkan anak  yang lemah ilmunya.  “Islam

sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Rasulullah menegaskan dalam

salah satu hadisnya, ‘Tidak  ada kebaikan kecuali pada dua  kelompok,  yaitu

orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajari ilmu’,”

Keempat, jangan meninggalkan generasi yang lemah ekonominya. “Orang

tua perlu menyiapkan generasi yang kuat secara ekonomi, agar hidupnya tidak

menjadi beban bagi orang lain.

Keadaan stunting merupakan salah satu keadaan anak yang lemah

disebabkan oleh perkembangan otak dan pertumbuhan yang terganggu. Bukan

hanya tergantung gigi tetapi hal ini juga menghambat keadaan yang sebagaimana

mestinya. Dengan begitu tidak baik kita menjadikan suatu keadaan yang tidak

semestinya dianggap remeh. Karena setiap insan yang sesuai akan menghasilkan

generasi yang terbaik. Dan juga apabila banyaknya stunting ditakutkan akan

mempengaruhi kesejahteraan bangsa. Terlebih-lebih keadaan setiap bangsa itu

dapat dikatakan sesuai dengan bagaimana generasi dalam negara tersebut.

Dalam agama Islam tidak diperkenankan untuk membiarkan generasi yang

lemah tak berdaya, melainkan jika tidak bisa diobati maka selanjutnya harus dicari

cara pencegahan. Pasti banyak cara yang sesuai dengan apa yang telah dilakukan.

Pencegahan stunting segeralah untuk dilakukan bahkan pencegahan dapat

dilakukan sebelum sel telur dan sperma bertemu, yaitu dengan pola asuh, asupan

gizi dan kebersihan air. Karena keadaan anak yang telah mengalami stunting

tidak dapat diatasi kembali. Keadaan ini juga dapat mempengaruhi kreativitas dan
35

prduktivitasnya, bahka prestasinya mengalami penghambatan karena

terganggunya perkembangan otak.

Islam sebagai agama yang sempurna memberikan solusi untuk pencegahan

dan pengangan stunting. Salah ajaran tentang pencegahan stunting adalah pada

saat kehamilan terjadi. Kehamilan merupakan anugerah terindah bagi setiap orang

tua. Karenanya, perlu menjaga kesehatan ibu dan kandungannya agar dapat lahir

dengan selamat. Masa kehamilan sangat menentukan pertumbuhan dan

perkembangan anak nantinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

pertumbuhan janin adalah memilih makanan yang sehat untuk ibu hamil.

Rasullullah SAW juga menyarankan beberapa makanan yang sehat untuk ibu

hamil. Selain bergizi untuk diri ibu, makanan-makanan tersebut juga

mencerdaskan otak bayi yang dikandungnya.

Selain itu, ASI adalah ungkapan kasih sayang Allah sekaligus anugerah

yang luar biasa terhadap setiap bayi yang terlahir ke muka bumi. Perintah

menyusui bayi juga terdapat dalam al Quran Surah al Baqarah ayat 233“Dan ibu-

ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin

menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian

mereka dengan cara yang patut “. Hikmah ayat yang terkandung dalam kitab Suci

al Quran tersebut, menekankan bahwa Air Susu Ibu (ASI) sangat penting. Dalam

ayat tersebut dengan tegas dianjurkan menyempurnakan masa penyusuan selama

dua tahun penuh. Bahkan juga disinggung tentang peran ayah, untuk mencukupi

keperluan sandang dan pangan ibu, agar ibu dapat menyusui dengan baik.

Beberapa cara untuk mewujudkan anak yang sehat secara fisik, mental dan
36

spiritual di tentukan atau tergantung pada 1000 hari pertama kehidupan

Islam secara lugas mengatur konsep makanan halal dan thayyib dalam QS.

al-Maidah: 88 (yang artinya), “dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari

apa yang Allah telah rezekekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang

kamu beriman kepada-Nya”. Makanan halal hakikatnya adalah makanan yang

‘didapat’ dan ‘diolah’ dengan cara yang benar menurut agama. ‘Makanan yang

baik belum tentu halal’ dan ‘makanan halal belum tentu baik’. Makanan yang

diperbolehkan oleh agama adalah halal dari segi hukumnya, baik halal dzatnya,

misalnya telur, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain, juga halal dalam proses

memperoleh makanannya, yaitu diperoleh dengan usaha yang benar seperti sapi

yang disembelih dengan menyebut nama Allah dan lain-lain.

Sementara makanan yang thayyib atau ‘baik’ yaitu makanan yang diminum

dapat memberikan manfaat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan tubuh.

Makanan yang baik tidak membahayakan bagi kesehatan tubuh manusia.

Konteks thoyyib bersifat kondisional sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan

asupan gizi yang diperlukan untuk setiap individu sesuai dengan kelompok usia,

jenis kelamin, status kesehatan, maupun faktor fisiologis lainnya. Islam tidak

hanya mengajarkan tata cara makan yang sesuai tuntunan sunnah, namun juga

memperhatikan kecukupan di mana terdapat batasan sepertiga diisi oleh makanan,

sepertiga minuman, dan sepertiga oleh udara. Hal ini juga sejalan dengan konsep

asupan gizi seimbang yang diperlukan bagi balita.

Pola asuh anak merupakan hal penting dalam pencegahan dan penanganan

stunting, karena dalam diri yang sehat terdapat jiwa yang kuat. maksudnya apabila
37

keadaan lemah pada suatu tubuh akan mempengaruhi tumbuh kembang si anak.

Semisal psikis nya terganggu pasti pekerjaan otaknya akan mengalami penurunan

tidak sebanding dengan kawan-kawan lainnya.

Hal ini juga sudah banyak dijabarkan oleh Islam. Bahwa dalam pengasuhan

yang baik akan mencetak generasi kuat nan sehat. Bukan hanya sehat fisik tetapi

juga sehat iman. Pola didik yang salah akan berdampak bagi tumbuh kembang

anak. Dalam islam, anak yang sehat juga sangatlah diperlukan karena generasi

yang kuat dapat menjadi pencetak anak-anak yang kuat jadi Islam tidak hanya

mementingkan generasi yang kuat tetapi ia juga mementingkan generasi yang

lemah. Karena dalam generasi menjadi penentu bagaimana mereka dapat hadir,

dapat meneruskan. Dengan generasi yang sesuai maka islam akan semakin

berkembang dan berdaya tanpa mudah dipengaruhi oleh hal lainnya.

Terkait dengan pola asuh anak (parenting) dewasa ini menjadi populer

kembali, seiring dengan munculnya berbagai kompleksitas problem mendidik dan

mengasuh anak di era milenial.   Maka, bisa dipahami jika kemudian kita sebagai

umat beragama perlu back to the Quran. pola asuh anak perspektif Al-Qur’an

dapat disebut sebagai Quranic perenting yaitu sebuah konsep tentang pola asuh

dan pola pendidikan terhadap anak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh

al-Quran. Nilai-nilai tersebut dapat digali dari ayat-ayat yang secara tegas

menjelaskan tentang bagaimana mestinya orangtua mendidik anak, misalnya, Q.S.

al-Baqarah: 233 yang artinya “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya

selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.

Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara
38

yang patut “ dan an -Nisa’: 9 yang artinya “Dan hendaklah takut (kepada Allah)

orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di

belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab

itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara

dengan tutur kata yang benar”.

Stunting Menurut Perspektif Kesehatan

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima

tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk

usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal

setelah bayi lahir. Stunting digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang

menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama sehingga

stunting menunjukkan bagaimana keadaan gizi sebelumnya.15

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat

menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan

peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan

kemampuan motorik dan mental.18 Balita yang mengalami stunting memiliki

risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan

peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang.

Hal ini dikarenakan anak stunting juga cenderung lebih rentan terhadap

penyakit infeksi, sehingga berisiko mengalami penurunan kualitas belajar di

sekolah dan berisiko lebih sering absen. Stunting juga meningkatkan risiko

obesitas, karena orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah.
39

Kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menjadikan Indeks Massa

Tubuh (IMT) orang tersebut naik melebihi batas normal. Keadaan overweight dan

obesitas yang terus berlangsung lama akan meningkatan risiko kejadian penyakit

degeneratif.

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak hidup

anak. Dampak stunting terbagi menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan

jangka Panjang. Dampak jangka pendek dari stunting adalah di bidang kesehatan

yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan mordibitas, di bidang

perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif, motorik dan bahasa

dan di bidang ekonomi adalah peningkatan pengeluaran biaya kesehatan.

Dampak negatif yang dapat dikaitkan dengan kejadian stunting diantaranya

peningkatan risiko kesakitan dan risiko kematian, gangguan perkembangan

kognitif, motorik dan bahasa, kenaikan biaya kesehatan, peningkatan biaya

perawatan sakit, orang dewasa yang pendek, obesitas, kesehatan reproduksi yang

rendah dan rendahnya produktivitas. Dampak lain yang dapat ditimbulkan adalah

lahirnya bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dari seorang wanita yang

mengalami stunting. Bayi prematur dan BBLR rawan terkena infeksi yang dapat

menyebabkan kematian. Bayi yang dapat bertahan hidup memiliki risiko kurang

gizi dan stunting pada 2 tahun pertama kehidupannya.

Menurut WHO (2013) stunting dapat di sebabkan oleh berbagai faktor.

Penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori yaitu :

a. Faktor Keluarga dan Rumah Tangga


40

1). Faktor maternal yang berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,

kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan

pada usia remaja (dini), kesehatan mental, Intrauterine Growth Restriction

(IUGR) dan kelahiran preterm, jarak kelahiran yang pendek, dan hiertensi.

2). Faktor Lingkungan Keluarga Stimulasi dan aktivitas anak yang tidak

adekuat, perawatan yang buruk, sanitasi dan suplai air yang adekuat,

makanan yang tidak terjaga, jumlah makannan yang kurang ,

engetahuan pengasuh yang rendah.

b. Faktor Makanan Tambahan / Komplementer yang tidak adekuat

1) Kualitas makanan yang buruk

Kualitas makanan akan menentukan nutrisi yang dikandungnya dan di

serap tubuh, kualitas makanan yang buruk meliputi :

a Kualitas zat mikronutrein yang rendah / buruk

b Rendahnya minum makanan yang beranekaragam

c Protein hewani kadar anti nutrient

d Kadar energi yang rendah pada makanan tambahan

2) Praktik pemberian makanan yang tidak adekuat Meliputi jumlah frekuensi

makanan selama dan setelah sakit, makanan kossistensi, kualitas

makanan yang menurun dan susah makan.

3) Makanan yang tidak aman

Meliputi makanan dan minuman yang terkontaminasi, PHBS yang buruk,

penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman.

c. Faktor Menyusui
41

Meliputi penundaan IMD, tidak ASI Ekslusif dan penyapihan kurang 2

tahun.

d. Faktor Infeksi

Meliputi infeksi diare , enteropati di lingkungan, berkurangnya nafsu

makan karena infeksi, infeksi pernafasan, malaria dan inflamasi.

Menurut pemantauan status giszi Stunting disebabkan oleh faktor multi

dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu

hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat

mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari

Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor

yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Praktek pengasuhan yang kurang baik

Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada

masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan

informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan

tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak

usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6

bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi,

MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi

dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan

perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun


42

minuman.

b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal


Care

Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia

menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin

menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat

akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu

hamil belum mengminum sumplemen zat besi yang memadai serta masih

terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1

dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan

Anak Usia Dini).

Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal

ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong

mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,

SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding

dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih

mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di

Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang

mengalami anemia.

c. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.

Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah

tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1

dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.


43

Cara mencegah stunting pada anak yang disarankan Direktorat Promosi.

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes RI lewat laman resminya:

1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil

Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak

adalah selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Pemerintah menyarankan

agar ibu yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat nan

bergizi maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, wanita yang sedang

menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya

ke dokter atau bidan. Baca juga: 9 Jenis Vitamin dan Mineral yang

Disarankan untuk Ibu Hamil

2. Beri ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan Air susu ibu (ASI) dapat

mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan

makro. Oleh karena itu, ibu menyusui disarankan untuk tetap memberikan

ASI eksklusif selama 6 bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan

kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan

sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.

3. Dampingi ASI eksklusif dengan MPASI sehat Ketika bayi menginjak usia 6

bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping ASI

(MPASI). Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa

memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI

untuk mencegah stunting. Baca juga: 5 Alasan Bayi di Bawah Usia 6 Bulan

Belum Boleh Diberi MPASI WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau

penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-


44

hati saat akan menentukan produk tambahan tersebut. Akan lebih baik jika

orangtua berkonsultasi dulu dengan dokter untuk menentukan penambah

nutrisi yang akan diberikan kepada anak.

4. Terus memantau tumbuh kembang anak Orang tua perlu terus memantau

tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak.

Bawa si kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak.

Dengan begitu, akan lebih mudah bagi orangtua untuk mengetahui gejala

awal, gangguan, maupun penanganan stunting jika terjadi.

5. Selalu jaga kebersihan lingkungan Seperti yang diketahui, anak-anak sangat

rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar mereka

kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung dapat meningkatkan peluang

stunting pada anak. Diare dilaporkan menjadi faktor ketiga yang dapat

menyebabkan gangguan kesehatan tersebut. Sementara itu, salah satu pemicu

diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.

B. Konsep Model yang Dikembangkan

Konsep model yang dikembangkan dalam penelitian ini tersusun dalam 6

(enam) langkah utama yang merupakan siklus yang dikembangkan

oleh Borg dan Gall (1981), yakni: 1) penelitian dan pengumpulan informasi

(research and information collecting), 2) perencanaan (planning), 3)

pengembangan bentuk awal produk (develop preliminary form of product), 4) uji

lapangan dan revisi produk (field testing and product revision), 5) revisi produk

akhir (final product revision), dan 6) desiminasi dan implementasi (desimination


45

and implementation).40

Dalam versi yang agak berbeda, langkah-langkah tersebut dijelaskan oleh

Sugiono sebagai berikut41:

a. Potensi dan Masalah

Penelitian dapat berangkat dari adanya potensi dan masalah. Potensi

adalah segala sesuatu yang memiliki nilai tambah atau keunggulan jika

didayagunakan. Sedangkan masalah adalah suatu keadaan atau suatu yang

terjadi tidak sesuai dengan yang apa diharapkan. Potensi dan masalah

tersebut diidentifikasi secara cermat oleh peneliti untuk selanjutnya

ditunjukkan secara empirik.

b. Pengumpulan informasi

Pengumpulan informasi dilakukan dengan penelitian di lapangan

(research and information collecting). Pengumpulan data lapangan

bertujuan untuk mengetahui berbagai fakta lapangan untuk dijadikan

sebagai bahan informasi dalam menyusun rancangan produk yang

akan didesain. Untuk mengumpulkan informasi di lapangan diperlukan

metode penelitian lapangan. Metode penelitian lapangan yang lazim

digunakan dalam penelitian kualitatif adalah pengamatan dan wawancara

mendalam terhadap sejumlah pihak yang mengetahui objek penelitian.

c. Desain Produk

Pada langkah ini dilakukan pengembangan bentuk awal produk (develop


40
Meredith P. Gall, Joyce .P Gall & Wolter R. Borg, Educational
Rresearch: An Introduction, dalam Emzir, Penelitian Pendidikan:Kuantitatif dan
Kualitatif (Ed. 1, Cet. 9; Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 271.
41
195Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D,h.84
46

preliminary form of product). Berdasarkan analisis masalah dan

kebutuhan, dibuat sebuah rancangan produk yang akan dikembangkan.

d. Validasi Desain

Setelah ditemukan sebuah desain produk, maka dilakukan uji atau

validitas desain dengan melibatkan pakar di bidangnya untuk

memberikan pertimbangan rasional untuk perbaikan, tanpa melakukan uji

lapangan. Selanjutnya, semua masukan dari pakar melalui diskusi

kelompok secara terfokus atau focused group discussion (FGD), dijadikan

dasar dalam melakukan revisi atau perbaikan desain produk.

e. Revisi Desain

Revisi atau perbaikan desain produk dilakukan setelah mendapat

tanggapan, saran dan masukan dari pada pakar di bidangnya sesuai

kebutuhan. Dari diskusi dengan para pakar akan menghasilkan sejumlah

informasi tentang kelebihan dan kelemahan rancangan produk, yang

menjadi pertimbangan berharga bagi peneliti dalam melakukan revisi.

f. Uji Coba Produk (Simulasi)

Uji coba produk yang telah divalidasi dan direvisi dilakukan dengan

simulasi penggunaan desain produk. Pengujian atau simulasi

bertujuan untukmendapatkan informasi mengenai produk yang

dihasilkan apakah memang lebih efektif dan efisien dalam mencapai

tujuan bila dibandingkan dengan produk lama atau produk yang lain.

g. Revisi Produk

Dari hasil uji coba awal atau simulasi akan diperoleh informasi tentang
47

beberapa kelemahan yang terdapat dalam rancangan produk. Informasi

itulah yang menjadi dasar dalam melakukan perbaikan ulang yang kedua

kalinya. Dari hasil perbaikan itu, akan lahir produk sesungguhnya

yang siap digunakan atau diuji coba pemakaiannya di lapangan.

h. Uji Coba Penggunaan Produk

Pengujian di lapangan dapat dilakukan dalam skop yang lebih luas. Untuk

mendapatkan hasil uji coba yang lebih baik, maka uji coba dilakukan

berkali- kali dengan skop semakin luas.

i. Revisi Akhir Produk

Revisi akhir (final product revision) sebagai langkah akhir pemantapan

produk. Revisi dilakukan apabila masih terdapat kekurangan yang

ditemukan dalam uji pemakaian di lapangan.

j. Desiminasi

Desiminasi terkait dengan implementasi dan penyebaran (implementation

and desemination). Sebagai produk temuan baru yang lebih baik,

maka perlu untuk dipublikasikan agar dapat digunakan oleh lembaga

pendidikan lainnya dalam jumlah luas.

Ditinjau dari aplikasi dan hasil dari penelitian dan pengembangan, maka

penelitian dan pengembangan dapat dikategorikan menjadi empat level atau

tingkatan, sebagai berikut:

1. Level 1: penelitian dan pengembangan yang dilakukan untuk menghasilkan

rancangan produk, tetapi tidak dilanjutkan dengan menghasilkan sebuah

produk dan tidak melakukan pengujian. Rancangan produk yang dihasilkan


48

hanya diuji atau divalidasi secara internal melalui pendapat para ahli.

2. Level 2: penelitian dan pengembangan yang dilakukan tanpa melakukan

kegiatan penelitian lagi, tetapi peneliti langsung melakukan pengujian

sebuah produk yang sudah ada untuk dikembangkan.

3. Level 3: penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan dengan melakukan

penelitian untuk mengembangkan produk yang sudah ada, dengan cara

membuat produk hasil pengembangan serta menguji keefektifan produk yang

dihasilkan itu.

4. Level 4: penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan dengan melakukan

penelitian untuk menciptakan produk baru dan menguji keefektifan produk

baru tersebut.42

Pemilihan level mana yang akan ditempuh dalam penelitian sangat terkait dengan

tujuan penelitian, ketersediaan waktu, biaya, dan kemampuan peneliti.

Secara umum, penelitian dan pengembangan terdiri dari dua aktivitas utama,

yakni pertama, penelitian dalam rangka pengumpulan data atau informasi di

lapangan mengenai potensi dan masalah yang ada. Kedua, melakukan

pengembangan dengan merancang desain produk pengembangan sesuai level

penelitian pengembangan yang dipilih sebagaimana dijelaskan di atas.

Jika digambarkan, maka pelaksanaan penelitian pengembangan model ini

terlihat sebagai berikut:

Potensi dan Pengumpulan Desain Validasi


Masalah Data Produk Desain

42
Sugiono, Metode Penelitian dan Pengembangan, Untuk Bidang
Pendidikan, Manajemen, Sosial, dan Teknik, h. 32-33.

Ujicoba Revisi Ujicoba Revisi


Pemakaian Produk Produk Desain
49

Gambar 2. 1 Pelaksanaan Penelitian Pengembangan Model 4 Level

C. Penelitian Yang Relevan

Pada bagian ini, peneliti melakukan penelaahan terhadap penelitian

terdahulu. Dengan demikian peneliti mendapatkan rujukan pendukung dan

pelengkap serta pembanding dalam menyusun disertasi inI untuk menentukan

posisi dan novelty penelitian. Selain itu, peneliti menelaah penelitian terdahulu

juga memberikan gambaran awal mengenai kajian penelitian terkait dengan

masalah yang terjadi dalam penelitian ini dan akhirnya menentukan kebaruan dari

disertasi ini.

1. Disertasi yang berjudul Strategi Percepatan Pencegahan Stunting Dengan

Pendekatan Keagamaan Guna Mewujudkan Generasi Berkualitas (Studi pada

Wilayah Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pringsewu ) Tahun 2022 atas

nama Noviansyah Program Doktor (S3) Pascasarjana UIN Raden Intan

Lampung Tahun 2022

2. Jurnal Warta Pengabdian Universitas Jember, V.13, No. 3, P. 96-105,

September 2019 yang berjudul Pemberdayaan Pusat Kesehatan Pesantren


50

(Poskestren) Untuk Meningkatkan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa tercapainya keberhasilan pesentren terhadap

lingkungan atas dasar implementasi edukasi dasar-dasar PHBS (Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat). Serta keberhasilan kinerja adanya Pembentukan dan

pelatihan Kader Santri Sehat yang mampu menjadi salah satu upaya

meningkatkan lifeskill hidup sehat bagi santri untuk hidup sehat secara mandiri

sekaligus menjaga kestabilan kualitas lingkungan sehat di pesantren.

3. SEL Jurnal Penelitian Kesehatan, Vol. 5 No. 2 November 2018, yang berjudul

Determinasi Penyebab Stuntingidi ProvinsiiAceh oleh Raisul

Ramadhanrdan Nur Ramadhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor

determinan penyebab stunting yang utama di Provinsi Aceh sesuai pada uji

regresi linear berganda ialah disebabkan karena kurangnya pemberian ASI

eksklusif untuk balita (0-59 bulan), selain itu ASI tidak diberikanisecara

sempurna oleh ibu. Faktor kedua ialah pengangguran yang semakin meningkat

sehingga sulit untuk melengkapi kebutuhan gizi.

4. Jurnal Kesehatan Komunitas, Vol. 2 No. 6 Mei 2015, yang berjudul

Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah

terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan) oleh Mitra. Hasil penelitian

menggambarkan bahwa masalah stunting merupakan permasalahan gizi yang

dihadapi dunia khususnya negara-negara miskin dan berkembang. Stunting

ialah kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang

berlangsung lama mulai dari kehamilan hingga usia 24 bulan. Banyak faktor

yang mengakibatkan tingginya kejadian stunting pada bayi. Masyarakat tak


51

menyadari stunting sebagai sebuah masalah daripada permasalahan kurang gizi

lain. Secara umum kebijakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

stunting dipusatkan pada kelompok 1.000 hari pertama kehidupan atau yang

disebut dengan Scaling Up Nutrition, WHO menawarkan sebuah pencegahan

stunting mencapai 3,9 %.

5. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 7 No. 2 Tahun 2018, yang berjudul Faktor-

Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59

Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota

Padang Tahun 2018 oleh Eko Setiawan, Rizanda Machmud dan Masrul. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang berarti antara tingkat

asupan energi, rerata durasi sakit, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu,

serta tingkat pendapatan keluarga dengan keadaan stunting pada anak usia 24-

59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur

Kota Padang. Faktor tingkat pendidikan ibu mempunyai kaitan paling

dominan. Tingkat asupan protein rerata frekuensi sakit, status pemberian ASI

eksklusif, status kelengkapan imunisasi dasar, tingkat pengetahuan ibu tentang

gizi, dan jumlah anggota rumah tangga tidak mengarah pada hubungan yang

signifikan dengan kejadian stunting.

6. Jurnal of Political Issues, Vol. 1 No. 1 Tahun 2019, yang berjudul Hulu-Hilir

Penanggulangan Stunting di Indonesia oleh Rini Archdas Saputri dan Jeki

Tumangger menyimpulkan bahwa persoalan stunting ialah berita yang sangat

mendesak untuk segera ditangani secara serius sebab menyangkut kualitas

sumber daya manusia Indonesian di masa depan dan sangat memengaruhi


52

eksistensi negara. Di level kebijakan, pemerintah telah banyak mengeluarkan

kebijakan- kebijakan dan program-program terkait upaya percepatan

penanggulangan stunting dan disertai dengan anggaran yang cukup

besar. Tetapi disatu sisi, di level masyarakat agar percepatan penurunan

stunting yang digadang-gadang tersebut kurang dirasakan manfaatnya secara

optimal. Bahkan, masih ditemukan implementer program di tingkat

masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang baik mengenai stunting

itu sendiri. Terlebih lagi di masyarakat, masih banyak sekali masyarakat yang

asing mendengar istilah stunting. Hal tersebut menjadi persoalan tersendiri

sebab anak stunting menjadi sulit terdeteksi karena tidak disadari.

Maka, salah satu strategi utama yang perlu dilakukan ialah dengan

mengkampanyekan berita stunting secara komprehensif dan massif, baik

melalui media massa, ataupun melalui komunikasi dan sosialisasi kepada

keluarga, terutama kaum perempuan (ibu dan calon ibu) sert melakukan

advokasi secara berkelanjutan.

7. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 8 (Supplement 2) Tahun 2019, yang

berjudul Studi Anak Stuntingtdan Normal berdasarkanrPola Asuh Makan serta

Asupan Zat Gizi di Daerah Program Penanggulangan StuntingsKabupaten

Pasaman Barat oleh Masrul, menyimpulkan bahwa studi anak stunting dan

anak normal pada peneltian ini menunjukkan tidak adanya hubungan

antara pola asuh makan dan intake zat gizi anak dengan kejadian stunting di

Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat, Sumatera Barat. Pola asuh di tempat

penelitian terlihat masih belum baik terutama pada anak stunting dan hal
53

tersebut berhubungan dengan intake zat gizi anak. Zat makro dan mikro

makanan lebih sedikit diserap oleh anak stunting dibandingkan anak normal.

8. Jurnal Biometrika dan Kependudukan Universitas Airlangga, Vol. 7 No. 1 Juli

2018, yang berjudul Efektivitas Penyuluhan Kesehatan Reproduksi pada Calon

Pengantin di Puskesmas Pucang Sewu Surabaya oleh Riantini Amalia dan

Pulung Siswantara, menyimpulkan bahwa pengetahuan responden sebelum dan

setelah penyuluhan kesehatan reproduksi calon pengantin di Puskesmas

Pucang Sewu mengalami peningkatan artinya pelaksanaan penyuluhan

kesehatan reproduksi pada calon pengantin telah di lakukan dengan baik dan

efektif. Saran yang dapat diberikan kepada instansi terkait ialah tetap

mempertahankan penyuluhan sebab sudah efektif dan sesuai untuk dapat

meningkatkan pengetahuan calon pengantin. Selain itu, hal lain yang dapat

dilakukan untuk mempertahankan efektivitas penyuluhan ialah kolaborasi

pemegang program dengan petugas gizi dan psikologi terkait dengan materi

penyuluhan agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang gizi dan manajemen

psikologi pada calon pengantin. Setiap bulannya, dapat dibuat jadwal

penyuluhan secara bergantian terkait kesehatan reproduksi, gizi, psikologi.

9. Jurnal Shahih, Vol. 2 No. 2 Tahun 2017, Gizi Buruk dalam Perspektif Islam:

Respon Teologis Terhadap Persoalan Gizi Buruk oleh Egi Sukma Baihaki,

menyimpulkan bahwa gizi buruk dapat ditekan dengan pola hidup sehat yang

harus diperhatikan oleh keluarga Indonesia. Mengetahui kandungan gizi dari

makanan yang diminum akan berakibat langsung pada jumlah asupan gizi

yang di miliki. Islam menekankan makanan yang diminum oleh manusia harus
54

memenuhi dua kriteria utama yakni baik dan halal. Dengan begitu makanan

yang kita minum harus di teliti agar dapat membantu pertumbuhan tubuh dan

kesehatan. Menjaga asupan makanan yang bergizi juga menjadi tanggung

jawab untuk pasangan suami istri. Saat dalam kandungan, seorang ibu wajib

menjagakesehatan danrtumbuh kembang bayi dengan mengonsumsi makanan

yang bergizi. Anak ialah amanat yang perlu dijaga dengan baik dan kita rawat

dengan memenuhi segala kebutuhan hidupnya termasuk mengenai asupan gizi.

Selain itu, persoalan gizi buruk dapat dilihat angkanya dengan memperhatikan

beberapa aspek penting dalam kehidupan bermasyarakat ialah ketersediaan

pangan yang berkualitas, pemerataan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan tiga aspek tersebut diharapkan dapat mengurangi terjadinya gizi

buruk pada bayi dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat

Indonesia.

10. Jurnal Komunikasi Global, Vol. 9 No. 1 Tahun 2020, yang berjudul Rumah

Gizi Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya

oleh Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

menyimpulkan bahwa pendekatan budaya dan agama adalah faktor yang

signifikan dalam mendorong perubahan perilaku dalam masyarakat terkait pada

gizi. Beban ganda perempuan dalam rumah tangga ditemukan berpengaruh

terhadap status gizi anggota keluarga, khususnya bagi anak-anak. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa peran pemuka agama dan pemuka

masyarakat ialah penting dalam membantu mensosialisasikan isu gizi buruk

dan stunting melalui perspektif gama kepada masyarakat. Termasuk


55

mengkomunikasikan isu kesetaraan gender yang berada dalam ajaran agama

Islam. Selain peran eksternal tokoh-tokoh masyarakat tersebut, perempuan

perlu terus diberdayakan melalui rumah gizi untuk meningkatkan status gizi

baik anak-anak dan anggota keluarga lainnya.

Berbeda dengan penelitian terdahulu tersebut di atas, disertasi ini akan

focus terhadap pemberdayaan (enabling, empowering, protecting) Pondok

Pesantren Al Hidayah Pamenang dalam menanggulangi stunting menggunakan

Strategi promosi kesehatan WHO (advokasi, dukungan sosial) Di Desa

Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

D. Kerangka Teoritik

1. Model Pemberdayaan

Model adalah pola atau bentuk yang dijadikan sebagai acuan pelaksanaan. 43

Miils berpendapat bahwa model adalah representasi akurat sebagai proses aktual

yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak

berdasarkan model itu.44 Menurut Kemp dalam Rusman model pembelajaran

adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar

tujuan pembelajaran dapat dicapai efektif dan efisien.45

Suprijono (2009:45) juga berpendapat bahwa model adalah bentuk

representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau

sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Berdasarkan

43
Nurhadi, Menciptakan Pembelajaran IPS Efektif dan Menyenangkan, (Jakarta :
Multi Kreasi Satudelapan, cet. 1, 2010), 75
44
Agus suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2009), 45
45
Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme guru,
(Jakarta, Rajawali Pers, 2011), 132
56

beberapa pengertian itu dapat disimpulkan model adalah suatu pola atau acuan

yang digunakan dalam melakukan sesuatu kegiatan. Model juga diartikan sebagai

proses dimana sebuah objek ditangkap oleh indra seseorang, benda atau ide-ide

dalam bentuk yang sederhana yang dihasilkan dari kondisi atau fenomena alam.

Model berisi informasi- informasi tentang suatu fenomena yang dibuat dengan

tujuan untuk mempelajari fenomena sistem yang sebenarnya. Model dapat berupa

tiruan dari suatu benda, sistem kejadian yang sesungguhnya yang hanya berisi

informasi-informasi yang dianggap penting untuk ditelaah. 46

Sedangkan menurut Mahmud Achmad, Model adalah representasi dari suatu

objek, benda, atau ide-ide dalam bentuk yang disederhanakan dari kondisi atau

fenomena alam. Model berisi informasi- informasi tentang suatu fenomena yang

dibuat dengan tujuan untuk mempelajari fenomena sistem yang sebenarnya.

Model dapat merupakan tiruan dari suatu benda, sistem atau kejadian yang

sesungguhnya yang hanya berisi informasi- informasi yang dianggap penting

untuk ditelaah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan Model

adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide-ide dalam bentuk yang

disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam. Tujuan dari adanya model

adalah menentukan informasi-informasi yang dianggap penting untuk

dikumpulkan, sehingga tidak ada model yang unik. Satu sistem dapat memiliki

berbagai model, bergantung pada sudut pandang dankepentingan pembuat model.

Pemberdayaan
46
Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme guru,
(Jakarta, Rajawali Pers, 2011), 133
57

Secara umum pemberdayaan memiliki berbagai macam pengertian,

beberapa pengertian pemberdayaan dari berbagai tokoh, diantaranya adalah

sebagai berikut:

Menurut Eddy Papilaya yang dikutip oleh Zubaedi, bahwa Pemberdayaan adalah

upaya untuk membangun kemampuan masyarakat, dengan mendorong,

memptivasi, membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki dan berupaya

untuk mengembangkan potensi itu menjadi tindakan nyata.47

Selaras dengan yang diungkapkan oleh Zubaedi, bahwa Ginandjar

Kartasasmitha menyatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya untuk

membangun daya itu, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan

kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk

mengembangkannya.48

Secara konseptual, pemberdayaan berasal dari kata kekuasaan (power).

Pemberdayaan meredistribusikan kekuasaan dari ‘kaum berdaya’ kepada ‘kaum

tidak berdaya’. Pemberdayaan adalah suatu proses menolong kelompok atau

individu yang dirugikan untuk bersaing dan berkarya secara efektif, karena semua

orang mempunyai kesempatan yang sama dalam berkompetisi dalam sebuah

‘permainan’, dimana semua ‘pemain’ memiliki kesempatan untuk ‘menang’.49

Pemberdayaan bukanlah suatu pemberian melainkan suatu pembelajaran

47
Zubaedi, Wacana Pembangun Alternatif: Ragam Prespektif Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: Ar Ruzz Media,2007), hlm 42
48
Ginandjar Kartasasmitha, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: PT Pusaka Cisendo,1996), hlm 145.
49
Jim Ife and Frank Tesoriero, Community Development, Alternatif
Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
140-142
58

pengembangan pola pikir pribadi. Yaitu sebuah transisi dari rasa

ketidakberdayaan dalam kehidupan untuk kemudian hidup aktif dan mandiri

dengan kenyataan untuk mem- bangun kemampuan dalam mengambil tindakan

dan mengambil inisiatif untuk lingkungan dan masa depan. Kemudian mem-

bangun rasa kebersamaan sebagai sesama golongan yang harus selalu

terberdayakan sehingga terbentuk lingkungan yang kondusif untuk saling

bekerjasama dalam membangun kekuatan bersama, lalu kebutuhan-kebutuhan

pokoknya (material dan spiritual) akan selalu dapat terpenuhi sehingga dapat

menuntun diri mereka sendiri kepada tatanan kehidupan yang berdaya dan

sejahtera.50

Dari beberapa pernyataan tentang pengertian pemberdayaan, dapat

disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh

seseorang maupun kelompok melalui berbagai kegiatan pemberian ketrampilan,

pengembangan pengetahuan, penguatan kemampuan atau potensi yang

mendukung agar dapat terciptanya kemandirian, dan keberdayaan pada

masyarakat baik itu dari segi ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan untuk

membantu memecahkan berbagai masalah-masalah yang dihadapi.

Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Islam

Konsep pemberdayaan telah diterapkan oleh Rasulullah saw. Beliau

memberikan contoh terkait prinsip keadilan, persamaan, dan partisipasi di tengah-

tengah masyarakat. Sikap toleran yang hakiki tadi sudah diterapkan sejak

Elisheva Sadan, Empowerment and Community Planing, (Tel Aviv: Hakibbutz


50

Hameuchad Publishers, 2004), 133


59

pemerintahan Rasulullah saw. sehingga mempunyai prinsip untuk selalu

menghargai etos kerja, saling tolong-menolong (ta’awun) bagi semua warga

negara untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama. Dengan adanya persamaan

beserta kesempatan dalam berusaha maka tidak ada lagi kesenjangan ekonomi dan

sosial antara yang satu dengan yang lain.51

Diantara prinsip-prinsip tersebut terdapat kaitan sangat erat yang

selanjutnya akan dijelaskan lebih spesifik sebagai berikut:

1. Prinsip keadilan

Kata keadilan di dalam al-Qur’an disebutkan pada urutan ketiga

terbanyak dalam al-Qur’an setelah kata Allah dan ‘Ilm. Hal ini menunjukkan

betapa nilai dasar ini memiliki bobot yang sangat dimuliakan dalam Islam.

Keadilan berarti kebebasan bersyarat akhlak Islam yang jika diartikan dengan

kebebasan yang tidak terbatas, akan menghancurkan tatanan sosial dalam

pemberdayaan manusia.52

ُ B‫ ا‬Bَّ‫ن‬B‫ل‬B‫ا‬
B‫س‬ Bَ B‫ ا‬Bَ‫ ت‬B‫ ِك‬B‫ ْل‬B‫ ا‬B‫ ُم‬B‫ ُه‬B‫ َع‬B‫ َم‬B‫ ا‬Bَ‫ ن‬B‫ ْل‬B‫ َز‬B‫ َأ ْن‬B‫ َو‬B‫ت‬
B‫ َم‬B‫ و‬Bُ‫ ق‬Bَ‫ ي‬Bِ‫ ل‬B‫ن‬Bَ B‫ ا‬B‫ َز‬B‫ ي‬B‫ ِم‬B‫ ْل‬B‫ ا‬B‫و‬Bَ B‫ب‬ ِ B‫ ا‬Bَ‫ ن‬Bِّ‫ ي‬Bَ‫ ب‬B‫ ْل‬B‫ ا‬Bِ‫ ب‬B‫ ا‬Bَ‫ ن‬Bَ‫ ل‬B‫س‬
ُ B‫ ُر‬B‫ ا‬Bَ‫ ن‬B‫ ْل‬B‫س‬ َ B‫ر‬Bْ ‫ َأ‬B‫ ْد‬Bَ‫ ق‬Bَ‫ل‬
Bُ B‫ ْن‬Bَ‫ ي‬B‫ن‬Bْ B‫َم‬
Bُ‫ ه‬B‫ ُر‬B‫ص‬ Bُ ‫ هَّللا‬B‫ َم‬Bَ‫ ل‬B‫ ْع‬Bَ‫ ي‬Bِ‫ ل‬B‫و‬Bَ B‫س‬
ِ B‫ ا‬Bَّ‫ن‬B‫ ل‬Bِ‫ ل‬B‫ ُع‬Bِ‫ف‬B‫ ا‬Bَ‫ ن‬B‫ َم‬B‫ َو‬B‫ ٌد‬B‫ ي‬B‫ ِد‬B‫ش‬ َ B‫س‬ Bٌ ‫ ْأ‬Bَ‫ ب‬B‫ ِه‬B‫ ي‬Bِ‫ ف‬B‫ َد‬B‫ ي‬B‫ ِد‬B‫ح‬Bَ B‫ ْل‬B‫ ا‬B‫ ا‬Bَ‫ ن‬B‫ ْل‬B‫ز‬Bَ B‫ َأ ْن‬B‫و‬Bَ Bۖ B‫ ِط‬B‫س‬ ْ Bِ‫ ق‬B‫ ْل‬B‫ ا‬Bِ‫ب‬
B‫ ٌز‬B‫ ي‬B‫ ِز‬B‫ َع‬B‫ي‬ َ
ٌّ B‫ ِو‬B‫ ق‬Bَ ‫ن هَّللا‬ BَّB ‫ ِإ‬Bۚ B‫ب‬ ِ B‫ ْي‬B‫ َغ‬B‫ ْل‬B‫ ا‬Bِ‫ ب‬Bُ‫ ه‬Bَ‫ ل‬B‫س‬
ُ B‫ ُر‬B‫َو‬

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa


bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-

Masykur Hakim dan Tanu Widjaya, Model Masyarkat Madani, (Jakarta:


51

Intimedia Cipta Grafika, 2003), 16-18.


52
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Persepektif Islam, (Yogyakarta:
BPFE- Yogyakarta, 2004), 80-82.
60

rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha


kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al-Hadid[57]: 25).53

Masyarakat muslim yang sesungguhnya adalah yang memberikan keadilan

secara mutlak bagi seluruh manusia, menjaga martabat mereka dalam

mendistribusikan kekayaan secara adil, memberikan kesempatan yang sama

bagi mereka untuk bekerja sesuai dengan kemampuan dan bidangnya,

memperoleh hasil kerja dan usahanya tanpa bertabrakan dengan kekuasaan

orang-orang yang bisa mencuri hasil usahanya.54

Keadilan sosial dalam masyarakat muslim berlaku untuk seluruh

penduduk dengan berbagai agama, ras, bahasa dan warna kulit. Itulah puncak

keadilan, yang tidak dicapai oleh undang- undang internasional atau regular

hingga sekarang.55 Ketika keadilan dapat diterapkan oleh setiap masyarakat

53
Menurut Tafsir Jalalyn (Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami) yaitu malaikat-malaikat-Nya kepada nabi-nabi (dengan membawa bukti-bukti
yang nyata) hujah-hujah yang jelas dan akurat (dan telah Kami turunkan bersama
mereka Alkitab) lafal Alkitab ini sekalipun bentuknya mufrad tetapi makna yang
dimaksud adalah jamak, yakni al-kutub (dan neraca) yakni keadilan (supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi) maksudnya Kami keluarkan
besi dari tempat-tempat penambangannya (yang padanya terdapat kekuatan yang
hebat) yakni dapat dipakai sebagai alat untuk berperang (dan berbagai manfaat bagi
manusia, dan supaya Allah mengetahui) supaya Allah menampilkan; lafal
waliya'lamallaahu diathafkan pada lafal liyaquman-naaasu (siapa yang menolong-
Nya) maksudnya siapakah yang menolong agama-Nya dengan memakai alat-alat
perang yang terbuat dari besi dan lain-lainnya itu (dan rasul-rasul-Nya padahal Allah
tidak dilihatnya) lafal bil-ghaibi menjadi hal atau kata keterangan keadaan dari
dhamir ha yang terdapat pada lafal yanshuruhu. Yakni sekalipun Allah tidak terlihat
oleh mereka di dunia ini. Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya, mereka
menolong agama-Nya padahal mereka tidak melihat-Nya. (Sesungguhnya Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa) artinya Dia tidak memerlukan pertolongan siapa pun,
akan tetapi perbuatan itu manfaatnya akan dirasakan sendiri oleh orang yang
mengerjakannya.
54
Ibid, 20-22
55
Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif perspektif
Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), 52
61

muslim yang tinggal di dunia ini, maka masyarakat tidak lagi cemas untuk

tidak berdaya dan tertindas oleh pihak yang lebih beruntung.

2. Prinsip persamaan

Prinsip persamaan adalah prinsip yang berdiri di atas dasar akidah

yang sama sebagai buah dari prinsip keadilan. Islam memandang tiap orang

secara individu, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam

sebuah Negara. Manusia dengan segala perbedaanya semua adalah hamba

Allah, tidak ada perbedaan dalam kedudukan sebagai manusia, juga dalam

hak dan kewajibannya. Bahkan setiap kebutuhan dasar manusia sudah diatur

secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar

kesanggupan.56 Dalam prinsip persamaan, tidak ada kelebihan sebagian atas

yang lain dari segi asal dan penciptaan. Perbedaan hanyalah dari segi

kemampuan, bakat, amal dan usaha, dan apa yang menjadi tuntutan pekerjaan

dan perbedaan profesi.21 Islam juga tidak mengukur hierarki status social

sebagai perbedaan. Sebab yang membedakan adalah ukuran ketinggian

derajat dari ketaqwaannya kepada Allah. Dengan demikian, semua

manusia memiliki kesempatan yang sama untuk dapat berdaya.57

3. Prinsip partisipasi

Partisipasi adalah pokok utama dalam pendekatan pem- berdayaan

masyarakat dan berkesinambungan serta merupakan proses interaktif yang

56
Muhammad Ali Al-Hasyimi, “Keadilan dan Persamaan.., 21
57
Mohammad Irham, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam”, Jurnal Substantia,
Vol. 14, No. 1, April 2012, 11
62

berkelanjutan. Prinsip partisipasi melibatkan peran serta masyarakat secara

langsung dan aktif sebagai penjamin dalam pengambilan keputusan bersama

untuk pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan.58 Partisipasi sebagai

konstribusi sukarela yang menimbulkan rasa harga diri dan meningkatkan

harkat dan martabat menciptakan suatu lingkaran umpan balik yang

memperluas zona dalam penyediaan lingkungan kondusif untuk pertumbuhan

masyarakat.59

Pada zaman Rasulullah masyarakat sudah dididik untuk membangun

dan menjunjung tinggi Negara dan nilai-nilai per- adaban sebagai bentuk

masyarakat yang ideal. Pada saat itu terbentuknya masyarakat yang

memiliki tatanan sosial yang baik, berasas pada prinsip moral yang menjamin

keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak dan kewajiban

sosial.60

Pemberdayaan masyarakat dalam Islam harus selalu

mengembangkan dan memperkuat kemampuan masyarakat untuk selalu

terlibat dalam proses pembangunan yang berlangsung secara dinamis. Dengan

demikian masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat

mengambil keputusan secara bebas dan mandiri.61

Maka partisipasi sudah ditanamkan dengan baik pada masyarakat muslim di

58
Agus Purbathin Hadi, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi Dan
Kelembagaan Dalam Pembangunan”, Jurnal Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan
Masyarakat Agrikarya (PPMA), 2009, 5
59
Aziz Muslim, 93-97
60
Edi Suharto, Islam, “Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, disampaikan
dalam Seminar “Indonesia Social Economic Outlook”, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari
2008, 3
61
Syahrin Harahap, 132
63

zaman Rasulullah dan berdampak sangat baik dalam keseimbangan

pemberdayaan diantara masyarakat pada saat itu.62

4. Prinsip penghargaan terhadap etos kerja

Etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan,

bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Istilah

‘kerja’ mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai

unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat

sekelilingnya serta negara. Etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu

kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan

hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini,

penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal

atau kerja (praxis).63

X‫ ِم‬Xِ‫ل‬X‫ ا‬X‫ َع‬X‫ى‬Xٰ Xَ‫ ِإ ل‬X‫ن‬Xَ X‫ و‬X‫ ُّد‬X‫ َر‬Xُ‫ ت‬X‫ َس‬X‫ َو‬Xۖ X‫ن‬Xَ X‫ و‬Xُ‫ ن‬X‫ ْؤ ِم‬X‫ ُم‬Xْ‫ل‬X‫ ا‬X‫و‬Xَ Xُ‫ ه‬Xُ‫ل‬X‫ و‬X‫ ُس‬X‫ر‬Xَ X‫ْم َو‬X X‫ ُك‬Xَ‫ ل‬X‫ َم‬X‫ َع‬Xُ ‫ هَّللا‬X‫ ى‬X‫ر‬Xَ Xَ‫ ي‬X‫ َس‬Xَ‫ ف‬X‫ا‬X‫ و‬Xُ‫ ل‬X‫ْع َم‬X X‫ ا‬X‫ل‬Xِ Xُ‫ ق‬X‫َو‬
X‫ َن‬X‫ و‬Xُ‫ ل‬X‫ َم‬X‫ ْع‬Xَ‫ ت‬X‫ ْم‬Xُ‫ ت‬Xْ‫ ن‬X‫ ُك‬X‫ ا‬X‫ َم‬Xِ‫ ب‬X‫ ْم‬X‫ ُئ ُك‬XِّX‫ ب‬Xَ‫ ن‬Xُ‫ ي‬Xَ‫ ف‬X‫ ِة‬X‫ َد‬X‫ ا‬Xَ‫َّ ه‬X‫ش‬X‫ل‬X‫ ا‬X‫ َو‬X‫ب‬
ِ Xْ‫ ي‬X‫ َغ‬Xْ‫ل‬X‫ا‬

Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul- Nya serta


orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”
(QS. At-Taubah[5]: 105).64

Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, dan bahwa

62
Edi Suharto,”Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan..,3
63
Mohammad Irham, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam”, Jurnal Substantia, Vol.
14, No. 1, April 2012, 12-15
64
Menurut Tafsir Jalalyn : (Dan katakanlah) kepada mereka atau kepada manusia
secara umum ("Bekerjalah kalian) sesuka hati kalian (maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu dan kalian akan dikembalikan)
melalui dibangkitkan dari kubur (kepada Yang Mengetahui alam gaib dan alam nyata)
yakni Allah (lalu diberikan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.") lalu Dia
akan membalasnya kepada kalian.
64

ajaran Islam memuat spirit dan dorongan pada tumbuhnya budaya dan etos

kerja yang tinggi. Maka dari itu kemampuan manusia itu sendirilah yang perlu

diberdayakan sehingga mereka mampu mengenal diri dan posisi mereka

sendiri. Sehingga akan mampu menolong diri sendiri dengan usaha sendiri.65

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” 30 (HR. Bukhori dan

Muslim) demikian Rasulullah mengingatkan.

Amatlah jelas bahwa Islam tidak me- misahkan antara manusia dengan

eksistensinya sebagai manusia, serta eksistensinya sebagai manusia dengan

pribadinya. Karena itu, Islam mendorong umatnya untuk bekerja, mencari

rezeki dan berusaha agar manusia tersebut selalu berdaya. Bahkan Islam telah

menjadikan hukum mencari rezeki tersebut sebagai fardhu. Rasulullah saw.

juga bersabda:”Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang lebih baik, selain

ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhori, No. 2072).66

5. Prinsip tolong-menolong (ta’awun)

Tolong-menolong (ta’awun) menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yang

artinya berbuat baik. Sedangkan menurut istilah adalah suatu pekerjaan atau

perbuatan yang didasari pada hati nurani dan semata-mata mencari ridho Allah

swt.67 Islam berhasil memberikan suatu penyelesaian yang praktis kepada

masalah ekonomi modern dengan mengubah sifat masyarakatnya yang

hanya mementingkan diri sendiri kepada sifat sebaliknya. Semua orang

65
Edi Suharto,”Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan..,1 30

66
Ibid. 12
67
Sri Laksmi, “Ta’awun Dalam Kebaikan”, dalam Artikel Al Arham, Edisi 47,
diakses pada Rabu, 12 September 2012, pukul 08:01, 1
65

didorong untuk bekerja bersama-sama dalam menyusun suatu sistem ekonomi

berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan yang membentuk sebuah prinsip

tolong- menolong. Setiap individu menjadi unit yang berguna kepada semua

pihak sehingga pemberdayaan masyarakat dapat menyebar lebih luas. “Dan

barang siapa memudahkan atas orang yang susah, Allah akan memudahkan

atasnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya,

selagi hamba itu mau me- nolong saudaranya” (H.R. Muslim).68

Berikut orang-orang yang tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan

kepada sekitarnya untuk membantunya. Melakukan injeksi dana bagi

masyarakat yang kurang terberdayakan, sebagai aplikasi dari kepedulian

mereka, sebagai pihak yang memiliki kelebihan terhadap mereka yang

kekurangan. Mulai dari anak- anaknya serta ahli warisnya, ataupun bila yang

wajib menanggung tidak ada, maka orang yang terdekat yang mempunyai

peran wajib dalam pemenuhan kebutuhannya.69

Secara garis besar terdapat dua pendekatan yang digunakan Islam dalam

pemberdayaan masyarakat:70 pertama, Pendekatan Parsial-Kontinu, yaitu

pendekatan dengan cara pemberian bantuan langsung, seperti kebutuhan pokok,

sarana dan prasarana. Hal ini diberikan terutama terhadap orang yang tidak

sanggup bekerja sendiri. Misalnya orang yang cacat abadi, orang tua lanjut usia,

orang buta, orang lumpuh, anak-anak, dan lain sebagainya. Kedua, Pendekatan

Struktural, yaitu pemberian pertolongan secara kontinu terutama pengembangan

68
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, (Yogyakarta: CV. Taberi,
1995), 74-75
69
Taqyuddin An-Nabhani, 95
70
Syahrin Harahap, 91
66

potensi skill. Harapannya agar masyarakat yang kurang berdaya dapat mengatasi

kemiskinan atau kelemahannya sendiri. Bahkan dari orang yang dibantu

diharapkan pada akhirnya menjadi orang yang turut membantu.

Dua pendekatan diatas dapat dilihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat

dalam tiga tahap strategi sebagai berikut: 71

Pertama, rekonstruksi tahap etika psikologis dari nilai pasif ke nilai aktif

terhadap masyarakat akar rumput mengenai kemiskinan. Jadi masyarakat yang

kurang terberdayakan diberi penjelasan (awareness), menarik minat

(interest), mencoba (trial), dan mem- pertimbangkan (evaluation) bahwa

kemiskinan bukanlah suatu takdir bawaan yang mana kita harus diam dan pasrah

akan keadaan, selalu menunggu bantuan dari kaum yang beruntung, sehingga

tidak menghasilkan perubahan.

Kedua, mengadakan perubahan tingkah laku terhadap fakir miskin yang

sudah sadar dan bersemangat tadi, dengan pendidikan ketrampilan, meningkatkan

kemampuan manajerial, pengetahuan-pengetahuan melalui pelatihan,

penyuluhan, pendampingan, pengembangan teknologi, stimulan, informasi, dan

keteladanan.

Ketiga, mengupayakan perubahan status melalui perwujudan komitmen

kemitraan dan suntikan dana seperti modal usaha secara struktural, setelah sudah

terampil dan aktif tadi.

Dari pendekatan dan strategi tersebut diharapkan mampu mengantarkan fakir

miskin menjadi muslim yang berdaya, berkualitas dan penyantun bagi sesama.

71
Ibid, 124
67

Dari penjelasan di atas sehingga terdapat hal-hal yang harus dibentuk dari

manusia itu sendiri untuk dapat dikatakan berdaya dan selanjutnya dapat selalu

berusaha menolong diri sendiri. Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut: (1)

membangun dimensi spiritual (iman), (2) membangun dimensi pendidikan (‘ilm),

(2) membangun dimensi sosial (amal). Jika iman, ilmu dan amal sudah

terpenuhi maka mindset masyarakat muslim akan berubah secara drastis.

Kemudian tercapailah falah seperti yang selalu didamba-dambakan masyarakat

muslim pada umumnya dan masyarakat muslim dapat ter- berdayakan.72

Teori Pemberdayaan

Enabling

Enabling merupakan variabel dalam pemberdayaan yang memungkinkan

atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Menurut Cardella hal ini erat

kaitannya dengan psikologi sosial, di mana seseorang atau kelompok

memberikan lingkungan yang memungkinan masyarakat atau kelompok lain

untuk memliki kekuatan atas diri nya sendiri.73

Istilah enabling ini kemudian peneliti sebut dengan “faktor pemungkin,”

yang meliputi sarana dan prasarana atau fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

72
Falah secara bahasa berarti beruntung, dan dalam konsep ini, falah merupakan
kebahagiaan (kemenangan atau kesuksesan) dunia-akhirat yang menjadi dambaan setiap
manusia. Dikutip dari jurnal Anindya Aryu Inayati’, “Pemikiran Ekonomi M. Umer
Chapra”, Jurnal Ekonomi Islam, Universitas Darussalam Gontor, Vol. 2, No. 1,
Desember 2013, 6
73
Cardella, G. M., Hernández-Sánchez, B. R., Monteiro, A. A., & Sánchez-
García, J. C. (2021). Social entrepreneurship research: Intellectual structures and future
perspectives. Sustainability, 13(14), 7532
68

pemberdayaan untuk berdaya dan sejahtera, masyarakat memerlukan sarana

dan prasarana pendukung, misalnya perilaku lingkungan yang positif,

masyarakat yang ingin mendapatkan informasi dapat mencari informasi melalui

pelayanan yang diberikan oleh pemberdaya. dan juga mencari informasi melalui

media massa seperti media internet, media cetak, media elektronik, dan media

sosial

Faktor ini merupakan faktor pendukung/pemungkin, yang dimana jika kita

melakukan suatu interfensi tentu akan sulit jika sarana dan prasarana tidak ada/

tidak mendukung.

Ketika kita melakukan interfensi pada masyarakat yang bertujuan untuk

mengubah pola pikir, prilaku serta kebiasaan masyarakat itu, Fertman

menyebutkan dapat tentunya menggunakan 3 faktor prilaku, yakni: factor

predisposisi (predisposing factor ), factor pemungkin (enabling factor) dan

Faktor penguat (reinforcing factor).74 Meskipun ini banyak yang menyebutkan

untuk bidang kesehatan, namun faktor-faktor ini peneliti rasa dapat diadopsi

untuk menyelidiki sejauh mana pemberdayaan dilakukan dengan menerapkan

lingkungan yang kondusif sesuai faktor tersebut.

Masih dengan pendapat yang sama, Fertman mengungkapkan bahwa

perilaku seseorang atau masyarakat mengenai keberdayaan ditentukan oleh

pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau

masyarakat yang bersangkutan. Namun jika hanya pengetahuan saja dan tidak

Carl I Fertman, Health Promotion Programs: From Theory to Practice.


74

( Newyork: Society for Public Health Education (SOPHE), 2010. 89.


69

ada pra-sarananya, maka masyarakat tentunya tidak akanbisa mendapatkan

pelayanan dalam mensejahterkan diri mereka sendiri.75

Hal ini lah yang mengakibatkan mengapa masyarakat, dalam konteks

penelitian ini adalah wanita pra sejahtera, memerlukan menginterfensi enabling

agar ketika mereka telah mendapatkan pengetahuan mereka juga dapat

mengaplikasikan pengetahuan mereka sehingga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku yang baik dan benar pada masyarakat.

Enabling ini juga erat kaitannya dengan memberikan dukungan yang

positif terhadap sesama.76 Kecenderungan seseorang untuk menggambarkan

orang lain dalam ucapan positif merupakan indicator penting dari kepribadian

positif orang itu sendiri. Kemudian, kondisi dalam berinteraksi sosial

dipengaruhi tidak hanya oleh proses kejiwaan namun juga kondisi lingkungan.

Faktor lingkungan berlaku seperti norma, nilai, aturan sosial, budaya,

cuaca, dan lainnya.77 Lingkungan tersebut mempengaruhi harga diri, etos kerja,

kebanggan, semangat hidup, ataupun kesadaran orang dalam kehidupan sehari –

hari. Peranan keluarga, teman pergaulan, dan orang orang dalam lingkungan

juga membentuk kepribadian seseorang, mendorong semangat, prestasi

seseorang dalam mencapai keberhasilan.78

75
Carl I Fertman, Health Promotion Programs: From Theory to Practice.
( Newyork: Society for Public Health Education (SOPHE), 2010, 72.
76
Trilaksono Nugroho, Paradigma, Model, Pendekatan Pembangunan, dan
Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Malang, FIA. Universitas
Brawijaya, 2007), 72.
77
Ibid, 80.
78
Trilaksono Nugroho, Paradigma, Model, Pendekatan Pembangunan, dan
Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Malang, FIA. Universitas
Brawijaya, 2007), 72.
70

Enabling dalam psikologi sosial ditinjau dari perspektif Agama Islam

menunjukkan bahwa Islam juga mengajarkan bagaimana berinterkasi dengan

sesama manusia, dalam sebuah hadist yang menyatakan bahwa memberikan

penilaian kepada orang lain itu lebih mudah daripada menilai diri sendiri.

Rasullullah SAW pun bersabda,

“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata

saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya”79

Untuk itu seorang mukmin yang pandai menghisap dirinya Insyaalah

akan terus belajar iklas, sabar dan memberi maaf. Jika orang lain selalu terlihat

salah, barangkali justru hati kita saat ini tengah dijangkiti penyakit hati yang kita

sendiripun tak pernah menyadari hal itu.80

Masyakarat harus mengingat bila hati sudah terjaga kebersihannya,

maka pasti kebaikan yang dilakukan orang lain sekecil apapun itu akan selalu

indah di mata kita., maka berhati hatilah menjaga hati, agar buruk sangka tidak

menjerumuskan kita kepada murka Allah. Seseorang itu tidak dilihat dari

seberapa kaya, bahkan seberapa tinggi pendidikannya, tapi bagaimana cara

memperlakukan orang lain, itulah yang sesungguhnya menunjukkan value

seseorang.

Empowering

79
(Hadis Riwayat Bukhari).
80
Mukmin Abdullah, Psikologi Sosial (Jakarta: Rosdakarya, 2019), 89.
71

Empowering atau memberdayakan merupakan cara untuk memberikan

dukungan agar orang lain mampu melakukan atau mencapai sesuatu. Memberikan

empowerment kepada orang lain diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan

diri mereka. 81 Menjadi mahasiswa atau karyawan terbaik adalah hal yang bagus,

namun jangan ambil kesuksesan untuk diri sendiri. Di sisi lain terdapat teman dan

rekan kerja yang bisa kita berdayakan. Terlepas dari posisi kita adalah atasan

ataupun bukan, dalam konsep empowering, seseorang harus saling menolong dan

tidak apatis dengan kendala yang dihadapi orang lain.

Memberdayakan orang lain bukan serta merta menjadi konsultan atau

sipaling ahli, dukungan sesederhana mendengarkan kendala yang dihadapi mereka

bisa menjadi cara. Empowering juga bisa memberi manfaat mensolidkan tim,

rekan kerja tidak akan merasa kesepian, dan bisa merasa nyaman bekerja.

Implikasinya, performa rekan kerja akan semakin baik. 82

Menurut Gunawan, ada tiga konsep dalam empowerinig, yaitu

memberikan apresiasi, salin support tujuan yang ingin dicapai, dan saling tolong-

menolong. Adapun penejelasannya sebagai berikut:83

a. Memberikan apresiasi. Memberikan apresiasi akan membuat wanita pra

sejahtera merasa upayanya diakui, sehingga mereka bisa bersemangat

dalam menunjukkan kinerja terbaiknya.


81
Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring
Pengamanan Sosial. (Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 2009), 63.
82
Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar
(Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2019), 142.
83
Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring
Pengamanan Sosial. (Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 2009), 63.
72

b. Tanyakan pada rekan tentang tujuan yang ingin dicapai. Menanyakan

tujuan rekan bisa menjadi bentuk dukungan. Wanita Pra Sejahtera akan

merasa bahwa kita tertarik dengan apa yang ingin mereka capai dan

merasa bahwa kita akan berada di sisi mereka memberikan semangat.

Ketika bertanya, mereka akan memikirkan jawabannya, secara tidak

langsung kita mendorong mereka untuk memikirkan tujuan yang

diharapkan.

c. Saling tolong menolong. Membantu wanita pra sejahtera tersebut untuk

menemukan kelebihan atau kemampuan mereka. Berilah kepercayaan

kepada rekan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dengan demikian kita

bisa menilai kelebihan mereka atau kemampuan potensial apa yang

dimiliki.

Pemberdayaan berarti kita tidak memberikan jawaban instan tentang cara

menyelesaikan tanggung jawab rekan, namun mendorong mereka untuk

menemukan cara yang tepat dengan kemampuan mereka sendiri.84

Empowering akan membuat semakin banyak masyarakat termotivasi dan merasa

senang melaksanakan tanggung jawab mereka karena merasa didukung dan

diapresiasi.

Protecting

Secara terminologi, KBBI mengartikan perlindungan sebagai hal atau

perbuatan yang melindungi. Merujuk definisi tersebut, perlindungan diartikan


84
Ibid, 80.
73

dengan upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan

sejumlah peraturan yang ada.85

Perlindungan dalam pemberdayaan disertasi ini mengartikan bahwa orang

atau masyarakat yang memiliki daya melindungi orang lain yang tidak memiliki

daya. Perlindungan ini meliputi perlindungan hukum, perlindungan hak dan

kewajiban, perlindungan sosial, dan berbagai macam perlindungan lainnya.

Utamanya adalah perlindungan huku, karena dengan perlindungan hukum yang

sesuai dengan undang-undang, sudah mencakup keseluruhan aspek perlindungan.

Beranjak dari definisi sederhana tersebut, dalam konteks perlindungan

hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan

tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat. Peraturan ini dibuat oleh

badan-badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan

tersebut akan menyebabkan pengambilan tindakan.86

Di sisi lain, perlindungan bagi setiap warga negara merupakan kewajiban

yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Begitu juga negara Indonesia yang wajib

melindungi setiap warga negaranya dimanapun berada.87 Hal ini sesuai dengan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI Tahun 1945) Alinea ke 4 (empat).

85
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Rosdakarya, 2020), 19.
86
Wibawa Djafar, Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap,
Urgensi, dan Kebutuhan Pembaruan (Jakarta: Pelita, 2019), 40.
87
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) Alinea ke 4 (empat).
74

Lebih lanjut perlindungan negara terhadap warga negaranya berlaku

dimanapun dia berada di seluruh penjuru dunia karena perlindungan yang

diberikan

merupakan salah satu hak warga negara yang diejewantahkan dalam Batang

Tubuh UUD RI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap

orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.88

Hal tersebut sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1365 KUH

Perdata yang menyebutkan bahwa orang yang melanggar hukum dan membawa

kerugian wajib mengganti kerugian yang timbul karenanya. Selanjutnya, banyak

undang-undang yang mengatur tentang perlindungan, ada UUD Perlindungan

Konsumen, UUD Perlindungan Saksi dan Korban, PUUD Perlindungan Hukum

ASN, UUD Perlindungan anak, dan lain sebagainya.

Hal ini mengartikan bahwa perlindungan masyarakat jelas di atur oleh

undang-undang sesuai dengan bidang masing-masing. Jika merujuk pada UUD

Perlindungan konsumen sebagaimana termaktub di Pasal 1 Angka 1 UU

Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UUD Perlindungan

konsumen ini diadopsi karena menurut peneliti wanita pra sejahtera yang menjadi

objek disertasi ini adalah termasuk dari konsumen PT PNM.

88
UUD RI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1)
75

Dalam undang-undang ini diterangkan pula sejumlah hak dari konsumen

dan kepastian hukumnya. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menerangkan

bahwa seorang konsumen berhak atas delapan hak sebagai berikut:89

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif; dan

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Persoalan yang berkaitan dengan perlindungan anak diatur

dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Pasal 1


89
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
76

Angka 2 UU Perlindungan Anak

jo. UU 35/2014 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-

haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan hukum dan

diskriminasi.90

Tujuannya pentingnya perlindungan dan penegakan hukum tidak lain

untuk memastikan subjek hukum, dalam konteks disertasi ini adalah wanita pra

sejahtera, memperoleh setiap haknya. Kemudian, apabila ada pelanggaran akan

hak-hak tersebut, adanya perlindungan hukum dapat memberikan perlindungan

penuh pada subjek hukum yang menjadi korban.

Upaya perlindungan hukum telah dilakukan dengan perumusan sejumlah

undang-undang dan kebijakan. Akan tetapi, sejauh ini perlindungan yang

diberikan belum optimal. Hal ini berkaitan dengan upaya penegakan hukumnya.

Perlindungan hukum adalah upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau

penguasa dengan sejumlah peraturan yang ada.

Perlindungan hukum tidak akan terwujud apabila penegakan hukum tidak

dilaksanakan. Sebab, keduanya berkaitan dan tidak dapat dilepaskan.

Perlindungan hukum yang diwujudkan dalam undang-undang adalah instrumen

dan penegak hukum adalah langkah untuk merealisasikan instrumen tersebut

90
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Uundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
77

2. Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan dalam ilmu kesehatan masyarakat mempunyai 2 (dua)

pengertian, pertama yaitu sebagai bagian dari tingkat pencegahan penyakit, Level

dan Clark mengatakan ada 4 (empat) tingkat pencegahan penyakit dalam

perspektif kesehatan masyarakat, yakni 1) Health promotion (peningkatan

kesehatan, 2) Specific protection (perlindungan khusus, melalui imunisasi), 3)

Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan segera), 4)

Disability limitation (membatasi atau mengurangi terjadinya kecacatan), dan 5)

Rehabilitation (pemulihan). Promosi kesehatan dalam hal ini sebagai peningkatan

kesehatan. Pengertian yang kedua yaitu upaya memasarkan, menyebarluaskan,

mengenalkan dan menjual kesehatan atau memperkenalkan pesan kesehatan

atau upaya kesehatan sehingga masyarakat dapat menerima atau membeli dalam

arti menerimarperilaku kesehatanratau mengenal pesan-pesan kesehatan tersebut

yang akhirnya masyarakat mau berperilaku hidup bersih dan sehat. Dari

pengertian promosi kesehatan yang kedua ini maka sebenarnya sama dengan

pendidikan kesehatan (health education).

Strategi dukungan sosial (social support) yaitu suatu kegiatan untuk mencari

dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat, baik tokoh masyarakat formal

maupun informal. Tujuan utamanya supaya seluruh tokoh masyarakat, sebagai

jembatan antara sektor kesehatan (pelaksana program kesehatan) dengan

masyarakat (penerima program kesehatan). Dengan kegiatan mencari dukungan

sosial lewat tokoh masyarakat pada dasarnya ialah mensosialisasikan program-

program kesehatan, supaya masyarakat dapat menerima dan dan berpartisipasi


78

pada program kesehatan tersebut. Oleh karena itu, strategi ini juga dapat

dikatakan sebagai upaya bina suasana, atau membina suasana yang kondusif atau

suasana yang mendukung terhadap kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial

ini antara lain: pelatihan-pelatihan, seminar, lokakarya, bimbingan dan lainnya.

Oleh sebab itu maka sasaran utama dukungan sosial atau bina suasana ialah para

tokoh masyarakat di beragam tingkat yang disebut sebagai sasaran sekunder.

Pemberdayaan masyarakat (empowerment) ialah strategi promosi kesehatan

yang ditujukan untuk masyarakat langsung, dalam raangka menciptakan

potensi masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya sendiri.

Bentuk kegiatan pemberdayaan ini, seperti: penyuluhan kesehatan,

pengorganisasian dan pengembangan masyarakat contohnya pelatihan-pelatihan

keterampilan. Dengan berkembangnya potensi ekonomi keluarga akan berdampak

pada potensi dalam pemeliharaan kesehatan, misalnya: terbentuknya dana sehat,

terbentuknya pos obat desa, berdirinya pondok bersalin desa, pos pelayanan

terpadu, pos pembinaan terpadu dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan semacam ini

di masyarakat sering disebut "gerakan masyarakat" untuk kesehatan. Jadi sasaran

pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat atau disebut sebagai sasaran primer.

E. Rancangan Model Pengembangan dan Penelitian

1. Rancangan Model Pengembangan

Karena mengacu pada model 4D (define, design, develope, dessiminate),

maka langkah dalam develop (pengembangan) yang dijelaskan di atas, dapat


79

ditempuh Pengembangan Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-Hidayah

dalam menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu yang temuannya sampai pada taraf uji coba produk.

Tahapan dan langkah-langkah operasional penerapan model four-D (4D)

dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Define (pendefinisian)

Tahap define dilakukan pada studi pendahuluan dengan metode kualitatif

deskriptif. Langkah ini didahului dengan menentukan subjek dan objek

penelitian. Setelah itu, dilakukan kegiatan sebagai berikut:

a) Persiapan berbagai hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian

berupa: persiapan prosedur formal terkait izin penelitian pada lembaga

terkait, penyusunan instrumen penelitian, pembuatan pedoman

wawancara, daftar atau panduan observasi dan panduan check list

dokumen. Termasuk dalam persiapan ini adalah menyediakan peralatan

yang diperlukan dalam pengumpulan data, berupa: alat tulis menulis,

alat perekam suara dan gambar.

b) Survey pendalaman yang dilakukan dengan turun ke lapangan secara

intensif dan partisipatif untuk mengenal lebih dalam subjek dan objek

penelitian. Hasil survey pendalaman ini berupa data mengenai kondisi

real Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-Hidayah dalam

menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu Dari data yang terkumpul kemudian dilakukan

analisis dan penafsiran mengenai Model pemberdayaan Pondok


80

Pesantren Al-Hidayah dalam menanggulangi stunting di Desa Pamenang

Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

c) Analisis kebutuhan dilakukan untuk menemukan suatu Pengembangan

Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-Hidayah dalam

menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu.

2. Design (merancang model)

Tahapan ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian lapangan pada

tahap sebelumnya. Berdasarkan temuan di lapangan mengenai potensi

yang ada di Pondok Pesantren dan kebutuhan akan Pengembangan

Model , maka dirancanglah sebuah desain model sebagai draft model.

Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah merencanakan

draft awal Pengembangan Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-

Hidayah dalam menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan

Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

3. Develop (pengembangan model)

Tahap pengembangan pada dasarnya dilakukan dengan dua

aktivitas, yakni validasi dan uji coba produk. Validasi dilakukan dengan

meminta penilaian dan masukan dari ahli (expert appraisal) terkait

Pengembangan Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-Hidayah

dalam menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk diskusi

terfokus atau focused group discussion (FGD). Dari hasil FGD dilakukan
81

revisi terhadap model awal yang telah dibuat. Adapun uji coba bisa

dilakukan dengan melakukan eksperimen di lapangan adalah untuk

mendapatkan respon empirik berupa tanggapan atau komentar, saran

masukan, dan kritik dari pengguna produk. Kegiatan uji coba ini juga

disebut uji pengembangan (developmental testing) karena desain yang

telah divalidasi oleh para pakar terus diuji dan dikembangkan sampai

mendapatkan model yang benar-benar teruji kebaikannya secara

lapangan.

4. Desiminasi (penyebaran).

Proses diseminasi merupakan suatu tahap akhir pengembangan.

Tahap diseminasi dilakukan untuk mempromosikan produk pengembangan

agar bisa diterima oleh pengguna, baik individu kelompok, atau sistem.

Produsen dan distributor harus selektif dan bekerja sama untuk mengemas

materi dalam bentuk yang tepat.

Pada penelitian ini pengembangan model sampai pada uji coba

produk model dilapangan, kegiatan penelitian dan pengembangan

sampai pada uji validasi internal dengan meminta pendapat kepada para

ahli. Selanjutnya produk model yang telah mendapat penilaian para pakar

untuk kemudian dilakukan perbaikan dan uji coba produk. Secara

terperinci uraian mengenai langkah di atas dapat dijabarkan sebagai

berikut:

1. Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan informasi berupa konsep

dan teori yang relevan dengan model yang dikembangkan.


82

Kegiatan ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan,

mulai dari tahap perancangan proposal, pengumpulan data

lapangan, analisis, perancangan model pengembangan, validasi dan

finalisasi model.

2. Mengumpukan data dan analisis kebutuhan konsep, yaitu

melakukan studi lapangan untuk mengumpulkan data tentang

pelaksanaan Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-Hidayah

dalam menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan

Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

3. Merancang prototipeawal, yaitu mengembangkan model

Pendidikan Islam dalam bingkai multikultural, pengembangan awal

yang dirancang berdasarkan data informasi yang terkumpul melalui

penelitian lapangan dan analisis kebutuhan serta mengacu kepada

konsep dan teori yang diperoleh. Disamping itu, dilakukan

pengkajian terhadap literature tentang model-model yang diyakini

cocok dengan penelitian ini. prototipe model awal dihasilkan melalui

tahap diskusi dan konsultasi dengan promotor.

4. FGD langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

FGD di lakukan di beberapa tempat dengan konsep teknis

diskusi dan saring pendapat. Adapun peserta FGD antara lain dari

promotor sendiri atau pakar akademisi yang berkaitan dengan

penelitian ini dan Pimpinan ataupun pengurus inti Pondok Pesantren

Al-Hidayah.
83

Tabel 2. 1 Daftar Peserta FGD

No Nama Ahli di bidang


1. Prof. Dr. H. M.Bahri Ghozali, MA Promotor 1
2. Dr. H. M.Saifudin, M.Pd Promtor II
3. Dr. Hj. Rini Setiawati, M.Sos.I Promotor III
4. Ustadz Purwanto S.Pd.I Direktur Pondok
5. Ustadz Fahrudin Majid,BA KabidPesantren
Kependidikan
6. Ustadz Abdul Abas Kabid Kemasyarakatan
7. Ustadz Tekno Sugiarto Kabid Umum

a. Focused group discussion (FGD) yaitu kegiatan kelompok diskusi yang

diikuti oleh unsur terkait dan kompeten, yaitu pada ahli, kepala sekolah,

guru serta pihak yang terkait yang memberikan kontribusi pemikiran dan

masukan yang penting sebagai bahan pertimbangan untuk

menyempurnakan produk awal.

b. Revisi , yaitu perbaikan draf model berdasarkan masukan, pandangan dan

pertimbangan dari peserta FGD untuk menyempurnakan draf model.

c. Validasi (meminta pendapat pakar tentang model yang dihasilkan), yaitu

meyerahkan draf model pengembangan yang sudah direvisi berdasarkan

masukan pada FGD kepada pakar. Validasi bertujuan untuk mendapatkan

masukan dari pakar dan untuk mengetahui apakah pengembangan yang

ditawarkan sudah cocok dan layak untuk diimplementasikan pada Pondok

Pesantren Al-Hidayah.

Memperhatikan masukan dan saran dari peserta FGD serta arahan


84

dari promotor, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum saran dan

masukan tersebut mengarah pada dua hal, yakni: pertama, pada aspek

perbaikan konten disertasi secara umum terutama pada aspek latar belakang,

landasan teori, metodologi Penulisan, penyajian hasil dan pembahasan hasil

Penulisan lapangan. Saran dan masukan pada aspek pertama tidak

dicantumkan di sini, tetapi langsung dilakukan perbaikan pada bagian

dimaksud. Kedua, saran dan masukan narasumber terkait

pengembangan model, yang dibahas dan dilakukan perbaikan pada bagian

ini.

5. Menetapkan formulasi pengembangan akhir, yaitu menetapkan draf akhir

Pengembangan Model pemberdayaan Pondok Pesantren Al-Hidayah dalam

menanggulangi stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten

Pringsewu.

Sehingga seluruh tahapan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian

ini dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Analisis

pemberdayaan Pondok
Pemberdayaan Pondok
Pesantren Al Hidayah
Pesantren Al Hidayah pemberdayaan Pondok
Pamenang dalam
Pamenang dalam Pesantren Al Hidayah
memperkuat potensi
menciptakan suasana Pamenang melindungi
masyarakat Tahap
yang kondusif (enabling) dan membela
(empowering) untuk Define
dalam melaksanakan kepentingan masyarakat
melaksanakan Dukungan
Strategi Advokasi (protecting) untuk
Sosial (Social Support)
(Advocacy) untuk menanggulangi stunting
dalam menanggulangi
menanggulangi stunting
stunting
Merancang Model Pemberdayaan Pondok
Pesantren Al Hidayah Pamenang dalam Tahap
Menanggulangi Stunting di Desa Pamenang Design
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu 85

FGD

Revisi I

Tahap
Development

Validasi

Uji Produk

Implementasi Model Pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah


Pamenang dalam Menanggulangi Stunting di Desa Pamenang
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu

Tahap
Pengembangan Model Pemberdayaan Pondok Pesantren Al Desiminasi
Hidayah Pamenang dalam Menanggulangi Stunting di Desa
Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu

Gambar 2. 2 Rancangan Model Penelitian yang di kembangkan


2. Kerangka Pikir Penelitian

Disertasi ini menggunakan dua teori, pertama teori pemberdayaan dan

kedua teori promosi kesehatan WHO (1984) dengan 3 strategi utamanya yaitu
86

advokasi, dukungan sosial. Teori tahapan pendampingan keluarga (2022) serta

strategi komunikasi perubahan perilaku dan strategi pemberdayaan masyarakat

dianalisis dengan pendekatan sistem (Input-Process-Output), maka disampaikan

rancangan model penelitian ini agar mencapai keberhasilan Pemberdayaan

Masyarakat Islam Melalalui Kegiatan Pendampingan Keluarga Guna Percepatan

Penurunan Stunting.

Rancangan model pemberdayaan masyarakat Islam melalalui kegiatan

pendampingan keluarga guna percepatan penurunan stunting dengan strategi

promosi kesehatan WHO (1984) dalam Untari I (2017), Teori Perilaku L. Green

dalam Notoatmodjo (2010), Teori Tahapan Pendampingan Keluarga (2022),

Komunikasi Perubahan Perilaku dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam

Notoatmodjo (2005) dengan Analisis Sistem dalam Manajemen dari Djoko

Wijono (1997). sebagaimana gambar berikut:

ADVOKASI
(Advocacy)

Kebijakan, PENANGGULANGAN
Perencanaan, STUNTING
Penganggaran dan Peningkatan akses
Pemantauan informasi dan
Penyuluhan ,Fasilitasi pelayanan kesehatan
Pelayanan Rujukan serta bantuan sosial.
PEMBERDAY dan Kesehatan serta
AAN MODEL
Fasilitasi Bantuan PERILAKU SEHAT:
PONDOK Pola Makan Gizi
PEMBERD
Al-Hidayah Enabling Pola Asuh Anak KESALEH
Empowering Perilaku Hidup Bersih AN
Protecting dan Sehat SOSIAL
Pemanfaatan Fasilitas
Kesehatan guna 87
Percepatan Penurunn
Stunting

DUKUNGAN SOSIAL
(Social Support)

Dukungan dari
kelompok, lembaga dan
masyarakat islam dalam
penyuluhan, Fasilitasi
pelayanan rujukan dan
kesehatan serta fasilitasi
bantuan sosial.

PROMOSI KESEHATAN
(Health Promotion )
72

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendeketan kualitatif,1 yang di aplikasikan

dengan menggunakan metode R&D (Research and Development)2. Metode ini

digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk

tersebut guna untuk mencapai tujuan pembahasan tentang bagaimana model

pemberdayaan masyarakat islam melalui Model Pemberdayaan Pondok

Pesantren Al Hidayah Pamenang dalam Menanggulangi Stunting di Desa

Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Rumusan masalah

tersebut tidak bisa di teliti menggunakan metode analisis statistik, karena

1
Pembedaan penelitian menjadi kualitatif dan kuantitatif untuk sebagian ahli
menyebutnya sebagai jenis penelitian. Selengkapnya dalam Basrowi dan Suwandi,
Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), h. 21. Sementara yang
lainnya menamakannya sebagai pendekatan penelitian. Emzir menyebutkan bahwa
ditinjau dari segi pendekatan, penelitian dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: penelitian
kualitatif, kuantitaif dan mix (gabungan penelitian kualitatif dan kuantitaif). Lihat John
W. Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approach,
diterjemahkan oleh Achmad fawaid dengan judul Research Design, Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 3-5.
Nana Syaodih Sukmadinata juga menyebutkan bahwa dari segi pendekatan, penelitian
dapat dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Nana Syaodih Sukmadinata,
Metode Penelitian Pendidikan (Cet. 2; Bandung: PPs UPI bekerjasama dengan PT.
Remaja Rosdakarya, 2006), h. 12.
2
Adapun penelitian dan pengembangan, ada yang mengatakan ia sebagai salah satu
pendekatan dalam penelitian. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian
Pendidikan, h.190. Menurut Sugiono, ia merupakan klasifikasi jenis penelitian
berdasarkan tujuannya. Berdasarkan tujuannya penelitian dapat diklasifikasi menjadi:
penelitian dasar, penelitian terapan dan penelitian dan pengembangan. Penelitian dan
pengembangan merupakan jenis penelitian yang dapat menghubungkan antara penelitian
dasar (basic research) dengan penelitian terapan (applied research). Sugiono, Metode
Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Cet. 25; Bandung: Alfabeta, 2017), h. 9
73

mengandung pertanyaan “bagaimana”. Hasil desain model yang ditemukan

akan diketahui efektif jika dilakukan serangkaian uji lapangan.3

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menjadikan peneliti

sebagai instrument kunci yang didalamnya terdapat pengumpulan atau

didalam suatu latar alamiah terdapat penyatuan data yang dimana bertujuan

untuk menafsirkan fenomena yang telah terjadi. Dalam kehidupan sosial

nantinya mempunyai pemahaman tersendiri mengenai masalah yang timbul

berdasarkan kondisi realitas pada saat penelitian secara rinci dan

menyeluruh merupakan penekanan dalam penelitian ini4. Pendekatan ini

mempunyai maksud subjek penelitian dapat peneliti pahami kejadian apa

yang telah terjadi disana seperti motivasi, persepsi, pengalaman, perilaku,

dan lainnya. Sedangkan dengan lokasi penelitian ini ialah (Pondok Pesantren

Al Hidayah Pamenang di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten

Pringsewu)

Peneliti menggunakan metode studi kasus deskriptif dimana

berkenaan dengan kata “bagaimana” merupakan model yang cocok. Ketika

menggunakan metode ini, serta dimana hanya ada satu kasus dan satu objek

penelitian sajalah yakni yang dimaksud Pondok Pesantren Al Hidayah

Pamenang di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu

dalam hal sebuah manajemen pemberdayaan masyarakat islam melalui

kegiatan Model Pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang

3
Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Ed. 2, Cet.
2; Jakarta: Kencana Prenada Group, 2012), h.218.
4
Albi Anggito, J. S, Metodologi Peneletian Kualitatif, (Jakarta; CV Jejak,
2018), h. 77
74

dalam Menanggulangi Stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu Baik dalam tataran ekonomi, sosial dan kemampuan

mentalitas sepiritual yang diutamakan dan menjadi prioritas.

Bahwasannya studi kasus deskriptif ini merupakan metode yang

menguraikan dan menggambarkan secara lugas, jelas dan transparan dari

sebuah kasus dengan sebuah teori yang ada. Kemudian menggabungan

antara keduanya yakni data yang sudah peneliti kumpulkan pada saat

penelitian dengan sebuah teori yang sudah peneliti rangkum.

Adapun komponen desain penelitian untuk penelitian ini ada lima

yaitu, pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian, proposisi (jika ada), unit-unit

analisis, logika yang telah dikaitkan dengan data serta proposisi, dan

mempersiapkan kriteria untuk menafsirkan temuan tersebut. Penelitian ini

dibuat untuk memberikan data yang valid mengenai permasalahan yang

dibahas. Maksud komponen yang pertama yakni pertanyaan peneliti

berfokus pada pertanyaan “bagaimana”, lalu batasan atau suatu penyempitan

data yang relevan menjadikan suatu proposisi penelitian yakni Model

Pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang dalam

Menanggulangi Stunting di Desa Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten

Pringsewu.

Lalu unit analisis tentunya hal yang fundamental dalam penelitian ini

yaitu pemberdayaan masyarakat islam melalui Model Pemberdayaan Pondok

Pesantren Al Hidayah Pamenang dalam Menanggulangi Stunting di Desa

Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu yang kasusnya dan


75

yang terakhir logika pengaitan data serta proposisi dan kriteria

menginterpretasi temuan merupakan komponen yang kurang berkembang

dalam hal ini, maka dari itu peneliti menggunakan pendekenan eksplanasi

karena dianggap lebih mewakili tujuan penelitian.

B. Tempat Penelitian

Peneltian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang

Jl. Pesantren, Pamenang, Kec. Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, Lampung dan

masyarkaat dilingkungan sekitar kecamatan Pagelaran.

C. Sumber Data

Dalam disertasi ini, yang dimaksud dalam sumber data dalam penelitian ini

adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila penelitian menggunakan

kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data

disebut responden yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-

pertanyaan baik tulisan maupun lisan.

Dalam melakukan penelitian data adalah hal yang sangat penting untuk

menguak suatu permasalahan, data yang diperlukan untuk menjawab masalah

dalam faktor penelitian atau mengisi hipotesis yang sudah dirumuskan. Data

merupakan hasil dari penelitian. Sumber data adalah tempat, orang atau benda

dimana peneliti dapat mengamati, bertanya, dan membaca tentang hal-hal yang

berkenaan dengan variabel yang diteliti.5

5
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet.
Ke-14, 109.
76

1). Data Primer

Sumber data primer pada penelitian ini adalah pengurus inti dari

pondok pesantren al-hidayah, yang ditentukan berdasarkan teknik purposive

sampling. Peneliti merumuskan kriteria spesifik yang ingin diteliti terlebih

dahulu. Setelah kriteria spesifik telah ditetapkan, peneliti selanjutnya

menghimpun semua objek yang memenuhi syarat untuk dijadikan sumber

data primer penelitian sesuai dengan kriteria spesifik tersebut.

Teknik ini peneliti pilih karena sampel dalam penelitian ini bersifat

heterogen, memiliki karakterisitk yang berbeda dan dengan jumlah yang

banyak. Sehingga agar hasil lebih spesifik, peneliti membatasi para peserta

dengan kriteria sebagai berikut:

a. Sampel adalah pengurus pondok pesantren yang berpendidikan

minimal S1 dan terlibat aktif dalam kegiatan membina / mendidik

santri baik dalam formal kelas maupun kehidupan keseharian santri.

b. Sampel adalah pengurus pondok pesantren sudah mengabdi minimal 3


tahun dengan pertimbangan sudah memahami dan mengerti tentang
aktifitas pemberdayaan pondok pesantren.
c. Sampel adalah pengurus pondok pesantren yang terlibat dalam
komunikasi sosial dilingkungan masyarakat khususnya di Desa
Pamenang Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu.
d. Sampel adalah pengurus pondok pesantren yang memahami isu
tentang stunting.

Dengan kriteria di atas, setelah peneliti pra research maka sampel


dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
77

Tabel 3. 1 Daftar Responden

N Nama
o
1 Ust. Purwanto
2 Ust. Fahrudin Majid
3 Ust.Tekno Sugiarto
4 Ust. Abul Abas
5 Ust. Candra Prayoga
6 Ust. Ridwansyah
7 Ust. Joko Rudianto
8 Ust. Ummu Rasyid
9 Ustadzah Ely Suhayat
10 Ustadzah Mar’atussolihah

Data di atas adalah data saat peneliti melakukan pra research, sehingga

data tersebut bersifat sementara dalam arti dapat bertambah dan berubah sesuai

kondisi lapangan nantinya.

Selanjutnya, sebagai tolak ukur model pemberdayaan yang dilakukan,

peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan key informan, dimana

key informan atau responden ini ada dua kelompok yaitu dari Pemerintah dan

Masyarakat. Masyarakat dalam hal ini adalah internal Pondok Pesantren

maupun diluar Pondok Pesantren yang menjadi objek pemberdayaan tentang

pencegahan stunting. Sedangkan dari pemerintah misalnya petugas resmi dari

instansi terkait yang instens terhadap program stunting seperti

Puskesmas/Rumah Rakit dan melakukan mitra kerjasama dengan pondok

pesantren.

2). Data Sekunder


78

Data Sekunder merupakan kumpulan atau rangkuman literatur dari

para ahli mengenai peran pemberdayaan masyarakat islam melalui

kegiatan pendampingan keluarga guna percepatan penurunan stunting

(studi pada Wilayah Kabupaten Pringsewu) yang tentunya ditinjau dari

segala aspek kehidupan dan Islamnya. Sumber data sekunder berasal dari

membaca, mempelajari, dan memahami literatur penelitian terdahulu

seperti buku, jurnal ilmiah, artikel, skripsi dan lain sebagainya yang

tentunya mengenai topik penelitian ini baik dari media cetak offline

maupun online. Sehingga dapat dijadikan refrensi untuk

menyempurnakan penelitian ini.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Pengamatan
Pengamatan berperan serta menceritakan kepada peneliti apa yang

akan dilakukan oleh orang-orang dalam situasi peneliti memperoleh

kesempatan mengadakan pengamatan. Sering terjadi peneliti lebih

menghendaki suatu informasi lebih dari sekedar mengamatinya. Menurut

Bogdan seperti dikutip oleh Moloeng mendefinisikan secara tepat

pengamatan berperan serta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi

sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subjek

dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan

lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan.6

6
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), 11.
79

Pengamatan berperan serta adalah pengamatan yang dilakukan dengan

cara ikut ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi obyek yang diteliti. 7

Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan situasi

umum tentang pelaksanaan pemberdayaan di pondok pesantren al hidayah..

2. Wawancara
Wawancara ini dilengkapi dengan rekaman untuk mengetahui

informasi secara lebih detail dan mendalam dari informan sehubungan

dengan fokus masalah yang diteliti. Dari wawancara ini diperoleh respon

atau opini. Subjek penelitian yang berkaitan dengan fungsi masjid dalam

mengembangkan masyarakat secara islami. Untuk membantu peneliti dalam

memfokuskan masalah yang diteliti dibuat pedoman wawancara dan

pengamatan.8

Pengamatan dan wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan

menjaga hubungan baik dan suasana santai, sehingga dapat muncul

kesempatan timbulnya respon terbuka dan cukup bagi pengamat untuk

memperhatikan dan mengumpulkan data mengenai dimensi dan topik yang

tak terduga. Dalam hal ini pengamat membagi wawancara ke dalam dua

kategori yaitu wawancara terstruktur dan tak terstruktur. Wawancara

terstruktur diperlukan secara khusus bagi informan terpilih, seseorang yang

memiliki informasi keahlian yang berkaitan dengan pelaksanaan

pemberdayaan di pondok pesantren al hidayah.

7
Mohammad Ali, Penelitian Kependidikan Prosedur & Strategi, (Bandung:
Penerbit Angkasa, 1987), 91.
8
Ibid., 15
80

3. Dokumentasi
Data dalam penelitian naturalistik kebanyakan diperoleh dari sumber

manusia atau human resources melalui observasi dan wawancara.9Akan

tetapi ada sumber selain manusia yakni dokumen. Dokumen untuk

penelitian menurut Guba dan Lincoln sebagaimana dikutip oleh Alwasilah

digunakan karena:

1) Dokumen merupakan sumber data yang kaya, stabil dan mendorong.

2) Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian

E. Teknik Pengolahan Data

Sesudah melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan

pengolahan data terlebih dahulu sebelum menuju ke analisis data.

Pengolahan data seperti editing, organizing, dan analisis menjadi metode

peneliti dalam melakukan penelitian ini.

a) Editing

Editing merupakan sebuah proses dimana memeriksa kembali

kelengkapan informasi yang telah didapatkan oleh sang narasumber

terutama kelengkapan jawaban, kejelasan makna, kesesuaian dan

relevansi data yang telah peneliti terima dengan penelitian-penelitian

lainnya.

b) Organizing

Organizing merupakan pengelompokan data dimana data yang

sudah peneliti dapatkan dalam penelitian disusun kembali secara


9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), 17
81

sistematis dengan tatanan seperti kerangka atau rumusan masalah yang

telah dibuat.

c) Analisis

Selanjutnya yaitu hasil organizing sebelumnya digunakan untuk

menganalisis sebuah data, yang tidak melupakan teori, kaedah serta dalil

yang relevan dengan penelitian, yang nantinya mendapatkan hasil yang

relevan dengan teori dan dalil yang ada. Untuk selanjutnya dapat

menarik kesimpulan dari hasil analisis data tersebut yang menjadikan

sebuah titik temu dari rumusan masalah yang sudah peneliti buat.

F. Teknik Analisis Data

Setelah dilakukannya pengumpulan data dan pengolahan data,

maka data tersebut dianalisis untuk menghasilkan sebuah kesimpulan.

Analisis data merupakan menyusun kembali data hasil wawancara

secara tersusun dan sistematis, catatan dari lapangan atau observasi,

serta foto yang telah dilakukan, dengan cara melakukan sitensa yaitu

menjabarkan ke dalam unit- unit serta mengorganisasikan data kedalam

kategori, memilah dan memilih mana yang dibutuhkan dalam artian

penting dan mana yang tidak, membuat pola yang tersusun rapi, dan

terakhir menarik benang merah atau kesimpulan yang dapat dipahami

oleh diri sendiri serta orang lain.

Serta yang bersifat induktif adalah analisis data kualitatif dimana

analisis ini berdasarkan data yang telah diperoleh sang peneliti, yang
82

nantinya akan menghasilkan sebuah hipotesa. Selanjutnya mencari

sebuah data yang dapat disimpulkan secara berulang-ulang apakah

hipotesis yang telah dirumuskan dari data tersebut dapat diterima dengan

baik atau bahkan di tolak berdasarkan data yang sudah ada10. Untuk

teknik analisis studi kasus Menurut Yin dapat digunakan teknik analisis

data dalam penelitian studi kasus yakni seperti dibawah ini11.

a) Penjodohan Pola (Pattern Matching). Teknik ini membandingkan

pola yang didasarkan data yang telah peneliti peroleh dilapangan

dengan hipotesa atau pola yang telah diperediksikan tentunya hal

demikian ini menggunakan logika penjodohan pola. Jika semua

pola ini ada persamaan, nantinya dapat menguatkan kebenaran

penelitian internal studi kasus yang diteliti.

b) Pembuatan Penjelasan (Explanation Building). Teknik ini

membuat suatu ekspalanasi tentang kasus yang berkaitan dengan

tujuan untuk menganalisa data dari studi kasus yang ada yang

nantinya dapat menjadi sebuah keberlanjutan sebuah penelitian

ini. Oleh karenanya peneliti ingin mengetahui secara mendalam

dan detail mengenai pemberdayaan masyarakat islam melalui

Model Pemberdayaan Pondok Pesantren Al Hidayah Pamenang

dalam Menanggulangi Stunting di Desa Pamenang Kecamatan

Pagelaran Kabupaten Pringsewu yang kemudian terjawablah

10
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Yogyakarta;
Alfabeta, 2017), h. 98
11
L Muh Fitrah, Metodologi Penelitian Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas
& Studi Kasus, (Semarang; CV Jejak, 2017)
83

penelitian ini, maka dari itu digunakanlah teknik analisis seperti

ini yang merupakan teknik analisa studi kasus dengan membuat

kejelasan tentang kasus terkait untuk dirasa lebih tepat.

c) Data Reduction

Data yang penulis dapatkan dari lapangan, tidak serta merta

langsung digunakan sebagai hasil penelitian, tetapi peneliti akan

merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang

penting, dicari sesuai dengan kebutuhan dan tema peneltian.

d) Data Display

Data yang sudah dipilah seperti yang dijelaskan pada poin a,

selanjutnya penelitian akan melakukan pengorganisasikan data,

menyusun pola hubungan masing-masaing data sehingga akan

semakin mudah dipahami. Dalam hal ini Miles and Huberman

menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data

dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

e) Conclusion Drawing/Verification

Langkah terakhir adalah peneliti melakukan penarikan

kesimpulan dari data yang sudah di reduksi dan data yang sudah

melewati proses display data. Penarikan kesimpulan atau verifikasi

hasil penelitian dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab

rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga

tidak, karena rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih


84

bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di

lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Anindya Aryu Inayati’, “Pemikiran Ekonomi M. Umer Chapra”, Jurnal Ekonomi


Islam, Universitas Darussalam Gontor, Vol. 2, No. 1, Desember 2013.

Beal, Ty, et al. "A review of child stunting determinants in Indonesia." Maternal
& child nutrition 14.4 (2018): e12617.

Black, Robert E., et al. "Maternal and child undernutrition and overweight in low-
income and middle-income countries." The lancet 382.9890 (2013): 427-
451.

Bosi, Ayse Tulay Bagci, et al. "Breastfeeding practices and policies in WHO
European region member states." Public health nutrition 19.4 (2016):

Budiastutik, Indah, and Sri Achadi Nugraheni. "Determinants of stunting in


Indonesia: A review article." International Journal Of Healtcare
Research
1.2 (2018): 43-49.

Cardella, G. M., Hernández-Sánchez, B. R., Monteiro, A. A., & Sánchez-García,


J.
(2021). Social entrepreneurship research: Intellectual structures and
future perspectives. Sustainability, 13(14), 7532

Carl I Fertman, Health Promotion Programs: From Theory to Practice.


( Newyork:
Society for Public Health Education (SOPHE), 2010, 72.

Christian P, Lee SE, Donahue Angel M, Adair LS, Arifeen SE, Ashorn P, et al.
85

Risk of childhood undernutrition related to small-for-gestational age and


preterm birth in low- and middle-income countries. Int J Epidemiol.
2013;42:1340–55

Crookston BT, Dearden KA, Alder S, Porucznik C, Stanford J, Merrill R, et al.


Impact of early and concurrent stunting on cognition. Matern Child Nutr
2011; 7: 397-409.

De Onis, Mercedes, Monika Blössner, and Elaine Borghi. "Global prevalence and
trends of overweight and obesity among preschool children." The
American
journal of clinical nutrition 92.5 (2010): 1257-1264.

Dewey, Kathryn G., and Daniel R. Mayers. "Early child growth: how do nutrition
and infection interact?." Maternal & child nutrition 7 (2011): 129-142.

Global Nutrition Report 2016, From Promise To Impact; Ending Malnutrition


By 2030, International Food Policy Research Institute, Washington, 2016;
Human Development Report 2010, 20th Anniversary Edition, The Real
Wealth of Nations: Pathways to Human Development, United Nations
Development Programme, New York, 2010.

Hall, Cougar. et al. "Maternal knowledge of stunting in rural Indonesia."


International Journal of Child Health and Nutrition 7.4 (2018): 139-145.

Mohammad Irham, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam”, Jurnal Substantia, Vol.
14, No. 1, April 2012.

Permana, A. F. “Konseptualisasi Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat \


Desa.” JEBI: Jurnal Ekonomi Bisnis Islam, 1(1), (2021). 12-36.

Piwoz, Ellen, Shelly Sundberg, and Jenny Rooke. "Promoting healthy growth:
what are the priorities for research and action?." Advances in Nutrition 3.2
(2012): 234-241.

Stewart, Christine P., et al. "Contextualising complementary feeding in a broader


framework for stunting prevention." Maternal & child nutrition 9 (2013):
27-45.

Titaley, Christiana R., et al. "Determinants of the stunting of children under two
years old in Indonesia: A multilevel analysis of the 2013 Indonesia basic
health survey." Nutrients 11.5 (2019): 1106.

UNICEF, WHO, World Bank. Levels and Trends in Child Malnutrition. Joint
Child
86

Malnutrition Estimates. New York, NY: United Nations International


Children’s Fund; Geneva: WHO; Washington, DC: World Bank, 2012.

UNICEF. Division of Communication, and UNICEF. Tracking progress on child


and maternal nutrition: a survival and development priority. Unicef, 2009.

UNICEF. Undernutrition contributes to half of all deaths in children under 5 and


is widespread in Asia and Africa. (2014).
http://data.unicef.org/nutrition/malnu- trition

Wamani, Henry, et al. "Boys are more stunted than girls in sub-Saharan Africa: a
meta-analysis of 16 demographic and health surveys." BMC pediatrics 7.1
(2007): 1-10.

Buku

Abd. Rahman Rahim & Enny Radjab, Manajemen Strategi, (Makassar, Lembaga
Perpustakaan dan Penerbitan Universitas Muhammadiyah Makassar,
2016)

Abdul Munir.Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan


dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1994)

Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisas


Institusi (Jakarta: Erlanggga, 2005)

Amir Hamzah Wiryosukarto, Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis
pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996)

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, (Yogyakarta: CV. Taberi, 1995)

Agus Purbathin Hadi, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi Dan Kelembagaan


Dalam Pembangunan”, Jurnal Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan
Masyarakat Agrikarya (PPMA), 2009.

Albi Anggito, J. S, Metodologi Peneletian Kualitatif, (Jakarta; CV Jejak,


2018)

Ayi Ahadiat, Manajemen Strategik: Tinjauan Teoritikal Multiperspektif, (Bandar


Lampung, Pusat Penerbitan Lembaga Penelitian Universitas Lampung,
2010)
87

Buletin Jendela Data dan Informasi kesehatan 2018, ISSN 2088 - 270, Situasi
Balita Pendek (Stunting) di Indonesia ,Pusat Data Dan Infomasi,
Kementrian Kesehatan RI

Departemen Agama RI, Al Hidayat Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode
Angka, (Banten : Kaya Ilmu, Kaya Hati, 2012)

Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar (Yogyakarta,


Gadjah Mada University Press, 2019), 142.

Djoko Wijono, Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan,


(Surabaya, Airlangga University Press, 1997).

Dumilah Ayuningtyas, Manajemen Strategis Organisasi Pelayanan Kesehatan;


Konsep dan Langkah Praktis, (Depok, Rajawali Pers, 2020).

Edi, F. R. S, Teori Wawancara PsikodiagnostiK, (Semarang; Leutika Prio,


2016)

Edi Suharto, Islam, “Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, disampaikan


dalam Seminar “Indonesia Social Economic Outlook”, Dompet Dhuafa,
Jakarta 8 Januari 2008.

Egi Sukma Baihaki, Gizi Buruk dalam Perspektif Islam: Respon Teologis
terhadap Persoalan Gizi Buruk, (Surakarta: Shahih Vol. 2 No. 2, Thn
2017).

Elisheva Sadan, Empowerment and Community Planing, (Tel Aviv: Hakibbutz


Hameuchad Publishers, 2004).

Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengamanan Sosial.


(Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 2009)

Hadari Nawawi, Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang


Pemerintahan, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2017).

Human Development Report 2020, The Next Frontier Human Development and
the Anthropocene, United Nations Development Programme, New York,
2020

Jim Ife and Frank Tesoriero, Community Development, Alternatif Pengembangan


Masyarakat di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
88

Lawrence R. Jauch & William F. Glueck, Manajemen Strategis dan Kebijakan


Perusahaan; Edisi Ketiga, (Jakarta, Erlangga, 1990).

L Muh Fitrah, Metodologi Penelitian Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas &


Studi Kasus, (Semarang; CV Jejak, 2017)

Meredith P. Gall, Joyce .P Gall & Wolter R. Borg, Educational Rresearch:


An Introduction, dalam Emzir, Penelitian Pendidikan:Kuantitatif dan
Kualitatif (Ed. 1, Cet. 9; Jakarta: Rajawali Pers, 2015)

Masykur Hakim dan Tanu Widjaya, Model Masyarkat Madani, (Jakarta: Intimedia
Cipta Grafika, 2003).

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan( Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara,
1991)

Mastuhu, Dinamika sistem pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994),

Mohammad Hasan, Metodologi Pengembangan Ilmu Dakwah, (Surabaya, Pena


Salsabila, 2013).

Mubasysyir Hasanbasri, Pendekatan Sistem dalam Perencanaan Program


Daerah, (Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol 10 No 2 Juni
2007).

Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Persepektif Islam, (Yogyakarta: BPFE-


Yogyakarta, 2004).

Mukmin Abdullah, Psikologi Sosial (Jakarta: Rosdakarya, 2019), 89.

Nurbaiti, L., Adi, A. C., Devi, S. R., & Harthana, T. (2014). Kebiasaan makan
balita stunting pada masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 hari pertama
kehidupan (HPK). Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik

Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian : Pengantar Teori dan


Panduan Praktis Penelitian Sosial bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula,
Jakarta : STAIN, 1999.

Raco, J, Metode Peneletian Kualitatif Jenis Karakteristik dan Keunggulannya,


(Jakarta; Grasindo, 2010)

Srijanti, Purwanto S.K., Wahyudi Pramono. Etika Membangun Masyarakat


Islam Modern; Edisi Kedua. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007).

Sri Laksmi, “Ta’awun Dalam Kebaikan”, dalam Artikel Al Arham, Edisi 47,
diakses pada Rabu, 12 September 2012, pukul 08:01, 1
89

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Yogyakarta;


Alfabeta, 2017).

Sondang P. Siagian, Manajemen Stratejik, (Jakarta, Bumi Aksara, 2008).

Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif perspektif Islam,


(Surabaya: Risalah Gusti, 2009).

Taufikurokhman, Manajemen Strategik, (Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu


Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, 2016).

Tjahya Supriatna, Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan,


(Bandung: Humaniora Utama Press, 2001).

Trilaksono Nugroho, Paradigma, Model, Pendekatan Pembangunan, dan Pemberdayaan


Masyarakat di Era Otonomi Daerah (Malang, FIA. Universitas Brawijaya,
2007).
Wibawa Djafar, Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: Lanskap, Urgensi, dan
Kebutuhan Pembaruan (Jakarta: Pelita, 2019), 40.

Internet :

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020/
Peraturan Presiden (PERPRES) tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024

Anda mungkin juga menyukai