Anda di halaman 1dari 182

AKU BERSEMBUNYI DI DALAM TERANG

(Sebuah bahan perenungan untuk menemukan dan mengenal


hakekat Aku)

Tidak dimaksud untuk keperluan masyarakat umum

Kata Pengantar

1. Untuk Siapa Buku ini ditulis

2. Sebuah bahan perenungan

3. Pengetahuan Luhur

4. Bagaiman membaca buku ini

5. Cara menyampaikan bahan perenungan

6. Harapan dan Rasa Syukur Penulis

Bab: I. KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA

1. Mencintai dan meraih dunia benda

2. Belajar dan mempelajari

- Mempelajari ilmu pengetahuan

- Mempelajari Filsafat

- Mempelajari ilmu Ketuhanan

- Mempelajari Ilmu Kebathinan


1
- Mempelajari Ilmu Tenaga Gaib

3. Membenci dan menolak dunia benda

Bab: II. PENELITIAN DAN PERENUNGAN MELALUI


PEMUNCAKAN AKAL

1. Ketidak-tahuan (Kebodohan)

2. Kenyataan dan bukan Kenyataan

3. Hakekat :AKU” dan Kenyataan Esa

4. Benar dan Keliru

5. Hubungan saling bergantung dan tata susunan pikiran

6. Penderitaan dan Kebahagiaan

7. Hidup dan Mati

8. Jalan Kebangkitan dan usaha Penyelamatan sendiri

9. Siswa, guru, dan ajaran

Bab: III. MENYELAMI SENDIRI PENGETAHUAN LUHUR

1. Kodrat peyelamatan diri

2. Disiplin dan pencapaian peyelamatan diri

3. Buah hasil penyelamatan diri

2
KATA PENGANTAR

1. Untuk siapa buku ini ditulis

Tiada seorangpun akan memerlukan buku ini, jikalau tidak karena


mereka yang merasa hidup tercekam oleh penderitaan didalam
kehidupan duniawi ini.

Dan lagi, tiada seorangpun akan memerlukan buku ini, jikalau


tidak karena mereka yang hampir-hampir berputus-asa oleh
sebab kegagalan usahanya yang bersungguh-sungguh didalam
menemukan Kebenaran dan Kenyataan yang sungguh
memberikan pembebasan kepada mereka dari beban
penderitaan mereka.

Untuk mereka itulah buku ini saya tulis, yaitu untuk mereka yang
bertanya dan mencari dengan kesungguhan hati untuk dapat
”menemukan” jalan pembebadan dari penderitaan.

Buku ini akan membantu mereka didalam memberikan jawaban


atas apa yang sesungguhnya mereka tanyakan, dan memberikan
petunjuk dan penerangan atas apa yang sesungguhnya mereka
cari dan mereka perlukan.

Buku ini bukan saya tulis untuk keperluan masyarakat umum


yang tidak bertanya akan mencari Kebenaran dan Kenyataan;
dan buku ini juga bukan saya tulis untuk mereka yang merasa
dirinya telah mengetahui dan mengenali akan kebenaran dan
kenyataan. Bagi mereka dari kedua golongan yang saya sebut
terakhir ini, kiranya terbitnya buku ini tidak perlu menimbulkan
kehebohan dan perdebatan yang tidak membawakan manfaat.

Dan, barangkali adalah terlebih baik bagi mereka, jikalau buku ini
3
dikesampingkan saja, atau bahkan, dibuang saja, jikalau
dipandang perlu, daripada hanya akan menghabiskan waktu,
tenaga dan pikiran dengan sia-sia untuk berdebat dan bersilat
lidah.

2. Sebuah bahan perenungan

Inilah sebuah buku bahan perenungan!

Buku ini saya tulis hanyalah sebagai bahan perenungan semata-


mata, dan bukan merupakan buku pelajaran (text book) yang
akan memberikan pelajaran tentang sesuatu ilmu, falsafat, credo,
ataupun kepercayaan agama, Tidak!

Buku ini hanyalah merupakan perwujudan dari pengutaraan


pikiran semata-mata, yang tidak membawakan maksud, tujuan,
cita-cita, ataupun keinginan untuk mengikat dan memaksakan
seseorang untuk mau menerima dan mempercayainya.

Buku ini hanyalah merupakan suatu daya upaya untuk


melukiskan dan menggambarkan tentang hakekat Kebenaran dan
kenyataan kepada para penanya dan pencari, yang tentunya
buku ini bukanlah kebenaran dan kenyataan itu sendiri.

Kebenaran dan kenyataan itu sendiri tidak dapat ditemukan di


dalam buku ini!

Sebagai sebuah buku bahan perenungan, maka buku ini adalah


bagaikan jari tangan yang menunjuk, kearah mana para penanya
dan pencari itu harus melihat dan menemukan sendiri kebenaran
dan kenyataan itu. Dan jangan sampai keliru dengan
4
menganggap, bahwa jari tangan yang menunjuk itu adalah
Kebenaran dan Kenyataan yang ditunjukkan itu sendiri.

3. Pengetahuan-luhur

Buku ini akan menerangkan kepada para penanya dan pencari,


mengenai Pengetahuan Luhur, yaitu Kebijaksanaan Luhur atau
Keinsyafan Luhur; suatu Keinsyafan ilahiah yang tidak dapat
dicapai melalui pikiran-berpikir (thinking mind) dan kecerdasan
akal pikiran (intellectual mind).

Pengetahuan Luhur didalam wujudnya sebagai suatu keinsyafan


ilahiah tidak dapat ditemukan didalam dunia luar (external world),
melainkan hanya dapat diselami sendiri atau direalisasi sendiri
(self realized) didalam lubuk kesadaran yang paling dalam dan
terahasiah.

Pengetahuan Luhur adalah ”Keadaan” Esa yang menjadi ”awal”


dan ”akhir” segala hal, dan sebagai ”tempat” yang membawakan
kodrat (kuasa) untuk menghapuskan semua bentuk kebodohan,
kesalahan, dan penderitaan manusia.

Pengetahuan Luhur, itu hanya da[at dicapai oleh seseorang anak


manusia sekarang dan disini, didalam keadaan hidup bertubuh
ini, jikalau saja ia tahu dan menurut akan ”hukum” Pengetahuan
Luhur, yaitu ”Hukum” ke-esaan.

Oleh karena itu, maka mengerti dengan cara yang benar akan
”hukum” itu akan merupakan langkah pertama yang sangat
penting untuk mempersiapakan diri didalam menyelami kodrat
Pengetahuan Luhur
5
4. Bagaimana Membaca Buku Ini.

Sudah dijelaskan, bahwa Pengetahuan Luhur itu adalah


Keinsyafan Ilahiah yang tidak dapat ditemukan didalam dunia
luar, melainkan hanya dapat diselami sendiri oleh seseorang
anak manusia didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam
dan terrahasia.

Ini berarti, bahwa didunia luar tidak terdapat “contoh” yang dapat
menyamai Pengetahuan Luhur.

Buku bahan perenungan mengenai Pengetahuan Luhur ini


disampaikan kepada para penanya dan pencari melalui
pernyataan kata-kata yang sudah diberikan arti-arti tertentu,
dimana kata-kata itu sendiri didalam kodratnya adalah merupakan
bagian daripada dunia luar sama seperti halnya bendabenda dan
obyek-obyek lahiriah lainnya.

Karena demikian, maka dengan kata-kata yang berkodrat dunia


luar itu seseorang tidak akan dapat mencapai Pengetahuan Luhur
yang bukan berkodrat dunia luar.

Oleh karena itu, maka didalam membaca buku bahan


perenungan ini hendaknya para penanya dan pencari tidak
melibatkan diri dalam menganalisa Pengetahuan Luhur melalui
pengertian harfiah daripada katakata yang digunakan.

Sambil membaca apa yang tersurat didalam buku bahan


perenungan ini, hendaknya para penanya dan pencari berusaha
untuk berpikir sendiri dan merenungkan sendiri akan maksud dan
artinya yang terkandung didalamnya, sehingga maknanya yang
sejati dapat ditembusi dan terlihat dengan terang.
6
Membaca dengan teliti dan berulang-ulang, sambil menggunakan
dan memuncakkan akal sehat yang bebas, akan sangat
membantu para penanya dan pencari untuk dapat menyelami
makna yang sejati, yang tersembunyi di balik kata-kata yang
dipergunakan didalam buku ini.

Ada satu hal yang sangat penting, yang perlu diketahui oleh para
penanya dan pencari, jikalau ia ingin berhasil menyelami
maknanya yang sejati daripada apa yang disuratkan didalam
buku bahan perenungan ini! Yaitu, hendaknya para penanya dan
pencari tidak berbekal dengan konsepsikonsepsi, pendapat-
pendapat, faham-faham, dan kepercayaan-kepercayaan yang
bukan berasal dari pemikiran sendiri (yang mungkin telah menjadi
kebiasaan yang berurat dan berakar turun temurun dari sejak
zaman nenek moyang), untuk dipertentangkan dengan bahan
perenungan ini.

Untuk sementara lepaskanlah itu semua dari ingatan, dan


mulailah untuk berpikir sendiri yang sehat dan bebas tanpa
prasangka, dan hanya akan berusaha untuk mengerti akan apa
yang dimaksudkan oleh penulis bahan perenungan ini dengan
tidak disertai “pro” atau “kontra” lebih dahulu. Sebab, pro dan
kontra (setuju atau tidak setuju), tanpa mengerti dengan
sungguhsungguh lebih dahulu, itu adalah menyesatkan.

5. Cara menyampaikan bahan perenungan

Cara (methode) yang dipergunakan didalam menyampaikan


bahan perenungan ini kepada para penanya dan pencari adalah

7
cara Tanya jawab (dialogue) dengan mempergunakan kata-kata
sehari-hari yang mudah dimengerti dan yang mudah dikenal.

Methode Tanya jawab ini mengarahkan kepada manfaat ganda


bagi para penanya dan pencari Kebenaran fan Kenyataan, yaitu:

Ke-1.

Kepada para penanya dan pencari diberikan kebebasan untuk


menyatakan pikiran dan pengalamannya sendiri secara terus
terang dan terbuka, dan diberikan kesempatan untuk
menanyakan apa saja yang ditanyakan oleh para penanya dan
pencari, tidak diberikan jawabanya secara langsung, melainkan
kepadanya justru diajukan pertanyaan-pertanyaan kembali,
sedemikian rupa, sehingga dari jawabannya sendiri itu, maka
para penanya dan pencari akan memperoleh jawaban yang pasti
dan meyakinkan atas apa yang ditanyakannya.

Dengan cara demikian, maka apa yang di tanyakannya, akan di


jawabnya sendiri secara tidak langsung.

Cara ini adalah suatu cara untuk melatih para penanya dan
pencari untuk berpikir sendiri dengan akal yang sehat dan bebas,
dan tidak biasa menyerah dan percaya begitu saja atas segala
bentuk ajaran dan pendirian yang disampaikan oleh orang lain.

Ke-2.

Dengan pertanyaan-pertanyaan kembali yang diajukan kepada


para penanya dan pencari itu, maka mereka akan dapat
mencapai pengertian-pengertian yang diusahakan dan digalinya
8
sendiri, dan perlahan-lahan akan “ditarik” keatas sampai dapat
mencapai pengertian-pengertian yang lebih luhur, dan yang
akhirnya akan dapat menemukannya sendiri apa yang sebetulnya
mereka cari dan mereka perlukan.

Cara ini adalah cara untuk memupuk kepercayaan pada diri


sendiri, disamping memupuk kebiasaan untuk menghindar dari
kepercayaan yang membuta tulikan dan bersifat takhayul.

6. Harapan dan rasa syukur penulis

Buah hasil yang akan dicapai oleh para penanya dan pencari dari
buku bahan perenungan ini adalah pengertian benar, yaitu
pengertian yang diperoleh karena berpikir sendiri secara bebas
melalui akal sehat yang dipuncakkan.

Dengan pengertian benar itu, saya berharap para penanya dan


pencari Kebenaran dan Kenyataan akan mempunyai keyakinan
yang mantap dan tekad yang kuat untuk merealisasi sendiri
denga suka rela kodrat Pengetahuan Luhur yang bersemayam
didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam dan teramat
rahasia.

Sebagai akhir kata pengantar ini, saya menyatakan rasa syukur


dan terimakasih saya yang sedalam-dalamnya kepada semua
kawan-kawan baik saya yang rasanya tak mungkin dapat saya
sebutkan namanya satu demi satu, yaitu kawan-kawan baik yang
telah bersedia mengorbankan apa saja yang ada pada mereka
untuk dapat mewujudkan terbitnya buku bahan perenungan ini,,
sehingga pada akhirnya bisa sampai di tangan para penanya dan
9
pencari kebenaran dan kenyataan yang bersungguh-sungguh
hati.

Berbahagialah mereka yang mempunyai cukup kekuatan


kemauan untuk merealisasikan sendiri kodrat kenyataan
pengetahuan luhur, karena disitulah “tempat” kebahagiaan
melimpah-limpah tanpa kekurangan apapun, dimana segala
kesalahan, kekuarangan, cacat cela, dan penderitaan manusia
terhapus.

SEMOGA!!!

10
BAB I

KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA


Demikian inilah yang kudenger sendiri!

Suatu percakapan asyik dan bersungguh-sungguh, didalam nada


dan gaya persaudaraan yang sangat akrab, bebas, dan
bersahabat telah terjadi diantara dua orang.

Tampaknya, mereka sedang mempercakapkan tentang


Pengetahuan Luhur, yaitu Kebenaran dan Kenyataan yang tidak
dapat dijangkau oleh kecerdasan pikir berpikir dan para pujangga.

Seorang diantaranya, menilik akan corak dan caranya ia


berbicara, tampaknya ia sangat jauh lebih muda didalam
pengetahuan dan pengalamannya dibidang kerohanian,
dibandingkan dengan seorang yang lain.

Terdenger ia memanggil kepada yang lebih tua daripadanya itu


dengan sebutan ”Bapa” sedangkan yang lebih tua itu memanggil
”Ananda” kepada yang muda.

Rupanya, banyak hal yang telah mereka percakapkan


sebelumnya, namun yang sangat jelas terdengar dari apa yang
mereka percakapkan itu adalah demikian:

11
I. MENCINTAI DAN MERAIH DUNIA BENDA

1. Bapa:

Ananda, dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu, bahwa


engkau dan aku ini sebetulnya adalah satu waris, dan satu
keturunan, yaitu waris dan

keturunan darah suci dan darah luhur yang sama. Oleh karena
itu, Ananda, diantara engkau dan aku ini, tidak terdapat jurang
perpisahan dan perbedaan.

Pergaulan kita ini, Ananda, seharusnya berlandaskan kebebasan


dan kesamaan; saling hormat menghormati, saling harga
menghargai, dan saling bantu membantu didalam mengenapkan
dan menyempurnakan tugas kewajiban kita masing-masing, yaitu
tugas kewajiban yang telah diserahkan kepada kita masing-
masing oleh pewaris kita yang sama itu. Maka karena itu,
Ananda, cobalah engkau sekarang berusaha dengan sungguh-
sungguh untuk berbicara spontan, wajar, dan terus terang
kepadaku, supaya aku dapat lebih mudah membantumu!

Bukalah hatimu, Ananda, jangan ada lagi yang harus kau


rahasiakan, walau hanya setitik!

Ketahuilah, Ananda, bahwa keagungan dan kebenaran para suci


dan para sempurna dari segala zaman, baik dahulu, sekarang,
maupun yang akan dating, adalah justru terletak didalam wujud
kesederhanaan, kewajaran, keterbukaan, dan keterus terangan
mereka.

Marilah, Ananda, teruskan cerita lelakon hidupmu itu dengan


spontan, wajar, terus terang kepadaku!
12
2. Ananda:

Aduh, Bapa……! (terdengerlah isak tangis Ananda, yang rupanya


hatinya terharu dan kagum, karena mendengar perkataan
nasehat Bapa yang begitu lemah lembut dan sabar…. Dan
kemudian berkatalah ia pelahan-lahan kepada Bapa demikian)
Bapa, aku merasa bersalah! Hatiku terharu, dan kagum
mendenger perkataan nasehat Bapa yang begitu lemah lembut
mengena itu.

Rasanya Bapa telah dapat membaca dan mengetahui seluruh isi


hatiku, bahwasanya aku ini adalah pembohong dan penipu diri
sendiri dan suka menyimpan rahasia kebodohan dan kedunguan,
sambil berlagak pinter dan bijak untuk menyombongkan
kehormatan dan harga diri sendiri. Bapa, maafkanlah daku!

3, Bapa:

Hah, sudahlah, Ananda, lupakan itu semua! Tenangkan hatimu,


duduklah yang baik, dan teruskanlah cerita tentang lelakon
hidupmu!

4. Ananda:

Bapa, dengan terus terang aku katakan kepada Bapa, bahwa


saat ini hatiku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia
keadaan dan dunia benda ini.

Kebimbangan, keraguan, dan ketakutanku itulah Bapa yang


menyebabkan aku sekarang jadi menderita!

5. Bapa:

13
Mengapa engkau harus takut kepada dunia benda ini, Ananda?
Engkau telah takut kepada sesuatu yang tidak seharusnya
engkau takuti! Apanya yang kau takuti, Ananda?

6. Ananda:

Didalam kehidupan dunia ini aku menghendaki kepuasan dan


kebahagiaan, Bapa, Artinya, aku menghendaki cukup sandang,
cukup pangan, cukup tempat tinggal, cukup sehat, cukup
terpandang didalam pergaulan, dan cukup akan alat-alat
kesenangan dan hiburan.

Tetapi, apa yang aku kehendaki itu, Bapa, selalu tidak dapat
memberikan kepuasan dengan tetap kepadaku.

Sebagai contoh misalnya, kali ini aku menginginkan sebuah baju,


dan atas usahaku, baju itu telah dapat ku peroleh.

Untuk sementara waktu, memang baju itu dapat memberikan


kepuasan kepadaku. Namun sesudah itu, baju itu tidak dapat lagi
memberikan kepuasan kepadaku, karena ia ternyata telah
berubah menjadi lusuh, tua, sehingga membosankan daku. Lalu
inginlah aku akan baju yang lain.

Maka demikian itu pulalah sifatnya baju yang lain itu! Ia segera
berubah, dan menyebabkan aku menjadi bosan lagi.

Seperti itu pulalah halnya dengan kebutuhan-kebutuhanku yang


lain.

Pangan, tempat tinggal, kesehatan, pergaulan, dan alat-alat


hiburan, kesemunya itu selalu serba berubah, sehingga tidak lagi

14
mampu memberikan kepuasan dan kesenangan kepadaku
dengan tetap.

Pendek kata, Bapa, dunia benda ini ternyata tidak bersedia


memberikan kepuasan dan kesenangan kepadaku dengan tetap,
karena sifatnya yang selalu bergerak dan berubah.

Celakalah aku ini, Bapa!

Disatu pihak, aku membutuhkan dan menginginkan benda-benda


didunia ini untuk dapat memenuhi kesenangan dan kepuasanku
untuk hidup, dan rasanya ingin aku mempertahankannya supaya
ia tetap memberikan kesenangan dan kepuasan itu tidak dapat
aku pertahankan dengan tetap, karena benda-benda itu segera
berubah dengan serta merta.

Aku takut kehilangan kesenangan dan kepuasan akan benda-


benda di dunia ini, namun benda-benda itu telah memaksa aku
dengan cara diam-diam untuk melenyapkan kesenangan dan
kepuasanku.

Aku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia benda ini, Bapa,
sehingga aku menjadi menderita karenanya.

Banyak hal telah kucoba untuk menghentikan penderitaanku ini,


namun rasanya segala usahaku itu telah gagal dan sia-sia
belaka.

Itulah sebabnya, mengapa sekarang ini aku datang kepada Bapa


untuk bertanya dan mencari akan jalan keluarnya.

15
Tolonglah, Bapa, limpahkanlah belas kasihan dan kasih
sayangmu kepadaku, dan tunjukkanlah kepadaku akan jalan
keluar yang dapat menghentikan penderitaanku ini!

7. Bapa:

Baik, baik, Ananda, Baik! Cobalah sekarang pusatkan


perhatianmu, bahwa pada saat ini hatimu bimbang, ragu, dan
takut menghadapi dunia keadaan atau dunia benda ini. Dan lagi,

engkau telah menyatakan, bahwa banyak hal telah kau coba


untuk menghentikan penderitaanmu, namun segala usahamu
telah gagal dan sia-sia.

Nah, sekarang coba terangkan kepadaku, Ananda, apakah yang


pertamatama telah kau coba untuk menghentikan penderitaanmu
itu?

8. Ananda:

Bapa, sebagai seorang manusia biasa yang hidup di dalama


dunia keadaan ini, maka rasanya sudah selayaknya, jikalau aku
harus berpikir, berbuat, dan berusaha untuk memperoleh benda-
benda guna mempertahankan hidup di dunia ini. Barangkali hal
seperti ini adalah merupakan hal yang sudah jamak dan lumrah,
karena faktanya, benda-benda memang sangat diperlukan
didalam kehidupan ini.

Begitulah didalam perjalanan hidupku ini, ada saatnya dimana


aku telah meyakinkan diriku sendiri, bahwa dunia benda ini
adalah tempatku hidup, dan adalah satu-satunya yang dapat
memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadaku.

16
Mulailah aku mencintai dunia benda ini dengan penuh gairah dan
semangat, dan benda-benda sebanyak-banyaknya, dengan suatu
harapan, supaya didalam hidup ini aku tidak menderita sengsara.

Siang dan malam, tiada henti-hentinya aku berpikir dan bekerja


dengan tiada menghitung-hitung lagi akan waktu, tempat, dan
keadaan tenagaku untuk dapat meraih benda-benda yang sangat
menggairahkan hatiku itu.

Bagaikan seorang pejaka yang gandrung dan jatuh cinta kepada


seorang gadis cantik jelita, maka begitu itu pulalah halnya aku
menjadi gandrung dan jatuh cinta kepada dunia benda ini.

Dengan nafsuku yang bergejolak, mulailah aku meraih-raih,


meraba-raba, mencumbu, dan merayu-rayu dunia benda ini,
dengan penuh harapan, kiranya dunia benda, sang kekasih ini,
dapat aku miliki secara pasti dan tetap, sehingga ia sudi memberi
kepuasan dan kebahagiaan kepadaku.

Tiba-tiba terperanjatlah aku, Bapa! Bagaikan bertepuk sebelah


tangan! Cintaku kepada dunia benda ini tiada terbalas, karena ia
memudar, dan meninggalkan aku dengan diam-diam!

Ternyata, Bapa, dunia benda yang sangat aku gandrungi dan aku
cintai itu tidak lain hanyalah penipu dan pemerdaya manusia
belaka.

Wataknya selalu bergerak berubah, susah dipegang dengan


tetap, dan tidak sanggup diam, walau hanya sekejab.

Tetapi, Bapa, meskipun aku sudah mengetahui, bahwa dunia


benda ini adalah penipu dan pemerdaya manusia, mengapa aku

17
ini masih bersikeras untuk tetap mencintainya dan tak sanggup
melupakannya?

9. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa dunia benda ini


adalah penipu dan pemerdaya manusia, karena waktaknya yang
selalu bergerak berubah, susah di pengang dengan tetap, dan
tidak sanggup diam, walau hanya sekejab.

Meskipun demikian, demikian katamu, engkau masih tetap


bersikeras untuk tetap mencintainya dan tak sanggup
melupakannya. Dalam keadaan yang demikian itu, lalu apa yang
telah kau lakukan Ananda?

10. Ananda:

Pada waktu aku berada dalam keadaan seperti itu, Bapa, maka
pada waktu itu pernah terlintas didalam pikiranku suatu pemikiran
demikian:

”seandainya aku dapat mengetahui dari manakah ”ASALNYA”


dunia benda ini, dan seandainya aku dapat mengetahui akan
”RAHASIA” kelemahan dan kekuatannya, maka akan mungkin
sekali aku dapat menudukkan dan menjinakkan dunia benda ini,
sehingga mau tak mau ia akan bersedia untuk memberikan
kepuasan dan kebahagiaan kepadaku secara tetap dan pasti!”

Dan pada waktu itu terpikir pula suatu pertanyaan didalam


pikiranku demikian:

“Tetapi, bagaimanakah caranya untuk dapat mengetahui akan


asal mula dan rahasia dunia benda ini?
18
Ooo..., inilah jawabanya, pikirku:

Aku harus bertanya, dan belajar lebih dahulu kepada seorang


guru!”

Maka setelah jawab itu membuat pikiranku mantap, bertekadlah


aku mencari seorang guru untuk maksud belajar kepadanya.

19
2. BELAJAR DAN MEMPELAJARI

11. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa untuk dapat


mengetahui akan asal mula dan rahasianya dunia benda ini,
maka engkau harus belajar kepada seoarang guru.

Coba terangkanlah kepadaku, apakah yang pertama-tama kau


pelajari Ananda?

12. Ananda:

Aku telah belajar dan memperlajari ilmu pengetahuan Bapa.


Bertahuntahun aku telah belajar dan mempelajari ilmu
pengetahuan eksakta, maupun apa yang dinamakan ilmu
pengatahuan sosial.

13. Bapa:

Ananda, dapatkah engkau menerangkan kepadaku, apakah yang


dikatakan oleh ilmu pengetahuan tentang asal mula dan rahasia
dari pada dunia benda ini?

14. Anda:

Setelah bertahun-tahun belajar dan memepelajari ilmu


pengetahuan, Bapa, maka ternyata, bahwa ilmu pengetahuan
tidak memberikan jawab dan petunjuk apapun mengenai apa
yang ku tanya dan ku cari, yaitu mengenai asal mula dan rahasia
daripada dunia benda ini.

Ilmu pengetahuna hanyalah mempelajari gejala-gejala yang


terdapat didalam dunia keadaan ini, yaitu gejala-gejala yang
20
dapat dilihat, di tanggapi, dan dirasakan, sebagai suatu data yang
”memang harus begitu, dan tidak bisa lain”.

Bidang ilmu pengetahuan ternyata hanyalah berputar-putar saja


dengan tidak dapat melampaui batas-batas sifat dan perwatakan
daripada dunia benda itu sendiri. Dan bahkan, ilmu pengetahuan
telah mengajak dan mendorongdorong aku untuk mengherani
dan mentakjubi alam benda dengan segala kodrat gerak
perubahannya itu sebagai sesuatu yang ajaib, dan wajib diterima
dengan tidak perlu mengusut dan meneliti akan rahasia asal
mulanya.

Dengan menyadari, bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah


mampu mengungkapkan rahasia asal mula dunia benda yang
telah membuat aku menderita ini, Bapa, maka dengan penuh
rasa kecewa ilmu pengetahuan terpaksa aku tunggalkan tanpa
memperoleh penghargaan apapun daripadanya, baik ijazah,
ataupun gelar kesarjanaan, kecuali ”stempel” sebagai seorang
yang bodoh dan tidak terpelajar, seperti adanya aku yang
sekarang ini.

15. Bapa:

Baiklah, Ananda, ilmu pengetahuan telah kau tinggalkan, karena


ia tidak akan pernah mampu mengungkapkan rahasia asal mula
dunia benda ini.

Ilmu pengetahuan hanyalah mempelajari tentang gejala-gejala


yang dapat dilihat, dirasakan, dan ditangani didalam dunia
keadaan ini, sedang ia tidak akan pernah dapat mencapai apa
yang ”berada” dibalik benda-benda dan keadaan ini.

21
Dan sesudah ilmu pengetahuan engkau tinggalkan, lalu apa yang
kaulakukan, Ananda?

16. Ananda:

Pendirianku masih tetap, Bapa! Dunia benda ini adalah dunia


yang telah membuat aku menderita. Tetapi, sekiranya aku dapat
mengetahui akan asal mula dan rahasia kekuatan dan
kelemahannya, maka kemungkinan yntyk memperoleh kepuasan
dan kebahagiaan dari dunia benda ini masih ada. Oleh karena itu,
maka aku masih tetap ingin belajar asal mula dan rahasia dunia
benda ini.

Mulailah aku belajar lagi!

Bukan belajar ilmu pengetahuan, Bapa, melainkan belajar filsafat,


yaitu apa yang dibilang oleh sementara orang sebagai “ilmunya”
ilmu-ilmu, atau pandangan yang menjadi pokok dasar ladangan
ilmu-ilmu.

17. Bapa:

Lalu apa yang diajarkan oleh filsafat kepadamu, Ananda? Dan


apa pula yang kau peroleh dari ajaran filsafat itu? Coba,
terangkanlah kepadaku!

18. Ananda:

Ada berbagai-bagai aliran didalam ajaran filsafat yang diajarkan


oleh para pujangga, Bapa!

22
Tetapi, bagaimanapun banyaknya aliran-aliran yang timbul dari
ajaran filsafat itu, namun pangkal tolak semua ajaran filsafat itu
adalah sama, yakni:

Ke. 1. bahwa adanya sesuatu itu adalah karena adanya kegiatan


(action) yang menimbulkan sebab akibat; dan oleh karenanya,
maka tiap-tiap ajaran filsafat cenderung untuk mencari,
menemukan, dan menerangkan tentang adanya “sebab pertama”;

Ke.2. bahwa dengan adanya kegiatan yang menimbulkan sebab


dan akibat, maka semua ajaran filsafat berlandaskan pengertian
serba dua (dualistic) yang tunduk kepada hukum sebab akibat
(Belanda: De Wet van Corsaak en Gevolg)

19. Bapa:

Ananda, engkau telah mengatakan, bahwa dengan belajar dan


mempelajari filsafat, bengkau berharap akan bisa
mengungkapkan akan asal mula dan rahasia daripada dunia
benda ini.

Lalu, mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah


yang diajarkan oleh filsafat kepadamu?

20. Ananda:

Sudah aku katakan kepada Bapa, bahwa cara berpikir para


pujangga dengan filsafatnya itu adalah berlandasan kepada:

- adanya “sebab pertama” berupa kegaiatan (action) yang


menimbulkan sebab dan akibat; - pengertian tentang hal-hal yang
serba dua (dualistic), yang tunduk kepda hukum sebab akibat;

23
Cara berpikir yang tersalur melalui pengertian dan uraian sebab
akibat ini, Bapa, yang dikatakan oleh para pujangga sebagai
”berpikir logis” (logic thinking).

Bapa, didalam hubungannya dengan menjelaskan mengenai asal


mula terjadinya dunia benda itu, ada seorang pujangga yang
menjelaskan demikia;

- bahwa dunia keadaan ini terjadi karena adanya ”sebab pertama”


(prima causa);

- bahwa adanya “sebab pertama” itu adalah tanpa sebab, dan


dinamakan zat-mula-mula-tanpa-sebab (causeless basic
substance);

- bahwa zat-mula-mula-tanpa-sebab itu sudah mengandung


didalam dirinya “sebab gerak”;

- bahwa “sebab gerak” itu sendiri tidak bergerak, namun


mempunyai kuasa untuk menggerakkan zat-mula-mula-tanpa-
sebab itu;

Dikatakan selanjutnya oleh sang pujangga demikian: “Zat-mula-


mulatanpa-sebab itu selalu bergerak, karena di gerakkan oleh
‘sebab gerak’ yang tidak begerak, maka lalu terjadi unsur-unsur
(elements) penyusun kepribadian dan dunia keadaan sekitarnya”.

21. Bapa:

Lalu, bagaimanakan pendapatmu sendiri, Ananda, mengenai apa


yang diajarkan oleh sang pujangga itu?

24
Dapatkah ajaran itu masuk di akalmu? Coba terangkan
jawabanmu!

22. Ananda:

Setelah lama sekali aku renung-renungkan dengan bepikir bebas


dan menggunakan akal sehat, maka ternyata olehku, bahwa
ajaran filsafat sang pujangga mengenai asal mula terjadinya
dunia keadaan itu tampak tidak masuk akal, tidak logis, dan
bersifat takhayul!

23. Bapa:

Mengapa begitu, Ananda? Dan dimanakah letak keterangan yang


kau anggap tidak masuk akal, dan tidak logis itu?

24. Ananda:

Perihal terjadinya dunia keadaan, Bapa, sang pujangga


mengyatakan, bahwasanya :sebab-pertama” itu ada.

Dari penyataannya itu berarti bahawa “sebab” itu memang ada


Tetapi dilain fihak, perihal adanya “sebab pertama” itu, menurut
sang pujangga adalah tanpa sebab.

Dari pernyataan itu berarti, bahwa “sebab” itu tidak ada.

Dari kedua perangkat pernyataan perihal “sebab pertama” itu lalu


dapat disimpulkan, bahwa menurut sang pujangga, ada itu sama
dengan tidak ada.

Ini adalah pernyataan yang tidak dapat masuk diakal, Bapa, Tidak
Logis!

25
25. Bapa:

Memang, Ananda, pernyataan yang menyatakan bahwa “ada” itu


sama dengan “tidak-ada”, itu adalah pernyataan yang tidak logis!

26. Ananda:

Dan lagi, Bapa, jikalau sang pujangga menyatakan bahwa


adanya “sebab pertama” itu tanpa sebab, maka pernyataan itu
akan berarti, bahwa dari tidak apa-apa lalu bisa timbul apa-apa.
Pernyataan ini juga tidak masuk akal dan tidak logis!

Sebab, sesuatu yang ada, itu pasti timbul dari sesuatu yang lain,
yang memang sudah ada sebelumnya, tidak peduli bagaimanapin
bentuk dan sifatnya.

27. Bapa:

Tetapi, Ananda, bagaimanakah misalnya, jikalau ada orang


menyatakan kepadamu, bahwa apa yang ”ada” itu timbul dari
yang ”tidak”, dan yang ”tidak” itu adalah ”gaib”?

28. Ananda:

Jikalau dinyatakan, bahwa yang ”ada” itu timbul dari yang ”gaib”,
itu sama saja dengan menyatakan, bahwa yang ”ada” itu timbul
dari apa yang ”ada”, dan bukannya yang ”ada: itu timbul dari apa
yang ”tidak ada”.

29. Bapa:

Lalu, Ananda, bagaimanakah pendapatmu tentang teori ”sebab


gerak” yang di kemukakan oleh sang pujangga itu?

26
30. Ananda:

Teori sang pujangga mengenai ”sebab gerak” itupun tidak masuk


akal, dan tidak logis, Bapa!

Disatu pihak, sang pujangga mengatakan, bahwa ”sebab gerak”


itu ada di dalam zat mula-mula, dan ”sebab gerak” itu tiada
bergerak.

Dari pernyataan itu akan berarbti, bahwa disitu tidak ada gerak.

Tetapi dilain pihak, sang pujangga mengatakan, bahwa ”sebab


gerak” itu mempunyai kuasa untuk menggerakan zat mula-mula.

Dari pernyataan itu akan berarti, bahwa disitu ada gerak yang
menggerakkan.

Mari kedua perangkat pernyataan sang pujangga perihal ”sebab


garak” itu, maka dapat disimpulkan, bahwa sang pujangga
menyatakan: gerak itu sama dengan tidak gerak.

Pernyataan itu tidak dapat masuk diakal, dan tidak logis, Bapa!

31. Bapa:

Setelah ternyata, bahwa ajaran filsafat itu tidak dapat masuk di


akalmu, Ananda, lalu bagaimana sikapmu selanjutnya?

32. Ananda:

Teori tentang ”sebab pertama”, Zat mula-mula tanpa sebab”,


:sebab gerak”, ”ada” dan ”tidak ada” yang semuanya itu
merupakan azas ajaran (doctrine) filsafat yang tidak dapat masuk
diakalku, dan aku anggap berbau takhayul belaka, karena hanya
27
merupakan kepercayaan membuta tuli yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan menurut akal sehat dan pemikiran
bebas, maka dengan penuh kekecewaan terpaksa sang pujangga
dengan ajaran filsafatnya itu harus aku tinggalkan.

Dari ajaran filsafat aku tidak dapat memperoleh penghargaan


apapun, dan aku tidak dapat dianggap sebagai murid yang setia
bagi sang pujangga dan filsafat..

33. Bapa:

Engkau hendak mengetahui akan rahasia asal mula dunia benda


ini dengan belajar dan mempelajari ajaran daripada para guru,
Ananda, sedangkan ilmu pengetahuan dan ajaran filsafat telah
endkau tinggalkan.

Lalu apa yang kau lakukan selanjutnya sesudah itu, Ananda?

34. Ananda:

Belajar dan mempelajari ajaran seorang guru untuk mengetahui


akan asal mula daripada dunia benda ini masih tetap menjadi
keyakinanku pada waktu itu,

Bapa! Oleh karena itu, maka aku masih bertekad akan belajar lagi
kepada seorang guru.

Ada sementara orang yang pada waktu itu aku anggap


mempunyai cukup pengetahuan, telah menyatakan kepadaku,
bahwa dunia benda ini berasal mula dari Sang Pencipta, yaitu
yang sudah sangat terkenal dengan sebutan: ALLAH, Tuhan
yang Maha Esa.

28
Maka setelah saya menemukan seorang guru, yang menamakan
dirinya sebagai ”guru agama”, mulailah aku belajar kepadanya
mengenai ilmu Ke-Tuhanan.

35. Bapa:

Perihal asal mula dari pada benda-benda ini, Anada, apakah


yang dinyatakan oleh guru agama itu kapadamu?

Coba terangkan kepadaku!

36. Ananda:

Sang guru agama menyatakan kepadaku, Bapa, bahwa langit,


bumi, dan segala isinya yang ada ini adalah ciptaan Allah, Tuhan
yang Maha Esa.

Jikalau Allah hendak menciptakan sesuatu, demikian kata sang


guru, maka cukuplah ia berkata: “Jadilah! Maka segala sesuatu
menjadi ada, dan terjadi dengan seketika”.

Maka bertanyalah aku kepada sang guru tentang apa atau


siapakah Allahm Tuhan yang Maha Esa itu.

Pertanyaan ini aku ajukan kepada sang guru, sebab, jukalau


memang benar, bahwa segala sesuatu yang ada ini berasal mula
dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa, maka mengenal dengan
sejela-jelasnya akan apa atau siapakah Allah itu sebetulnya,
adalah merupakan langkah pertama yang paling penting.

37. Bapa:

Lalu apa yang diterangkan oleh sang guru agama itu mengenai
Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, Ananda?
29
38. Ananda:

Dikatakan oleh sang guru itu akan salah satu sifat daripada Allah
itu demikian:

“Tiada Tuhan yang lain, kecuali Allah; Allah itu Esa, artinya: satu
dan sendiri, tiada kawan, sekutu, ataupun tandingan bagi Allah
itu”.

Atas jawaban itu, maka bertanyalah aku kepada sang guru:


“Jikalau Allah itu satu dan sendiri, tiada kawan, sekutu, ataupun
tandingan bagi Nya, lalu bagaimankah kedudukan Allah itu
terhadap manusia dan segala ciptaan Nya yang lain-lain itu?”

Kemudian sang guru agama menjawab: “Allah berkedudukan


sebgai ‘yang menciptakan’, sedangkan manusia dan segala
ciptaan Nya yang lain-lain itu berkedudukan sebgai ‘yang
diciptakan’”.

Atas jawaban itu, maka bertanyalah aku selanjutnya kepada sang


guru: “Kalau demikian halnya, maka Allah bukanlah sendiri lagi,
dan bukannya tiada tandingan lagi, sebab disamping ‘yang
menciptakan’, disitu masih ada yang lain, yaitu ‘yang diciptakan’!
bukankah ‘ang diciptakan’ itu lalu menjadi tandingan bagi

Allah ‘yang menciptakan’ itu? Lalu bagaimankah


mempertanggung jawabkan Ke-Esaan Allah itu, guru?”

39. Bapa:

Kemudian, bagaiman cara sang guru mempertanggung jawabkan


keterangan tentang Ke-Esaan Allah itu, Ananda?

30
40. Ananda:

Sang guru agama itu tidak memberikan pertanggungan jawab


apa-apa terhadap keterangan itu, Bapa, kecuali menghardik aku
dengan mengatakan: “Pokoknya, didalam ajaran agama engkau
harus percaya kepada apa yang sudah tersurat didalam Kitab
Suci, dan jangan terlalu banyak bertanya yang bernadakan
membantah dan tidak percaya!”

Maka, terdiamlah aku sementara, karena hardikan itu.


Tampaknya sang guru menjadi marah, karena kebingungannya
tak dapat menjawab pertanyaanku itu.

41. Bapa:

Apakah dengan hardikan itu engkau sudah tidak mengajukan


pendapat ataupun mengajukan pertanyaan lagi, Ananda?

42. Ananda:

Tidak, Bapa, dengan hardikan itu aku tidak merasa berkecil hati,
dan aku masih mengajukan pertanyaan lagi, yang aku anggap
sebagai suatu pertanyaan yang sangat penting dan mendasar.

Bertanyalah aku kepada sang guru agama itu demikian: “guru,


apakah Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh-sungguh ada?
Jikalau Allah itu sungguh-sungguh ada maka dimanakah
‘singgasana-Nya’?”

Pertanyaanku itu dijawab oleh sang guru:

“Allah itu sungguh-sungguh ada! Allah itu Yang Awal, Yang Akhir,
Yang Lahir, dan Yang Bathin, dan telah bersama engkau, dimana

31
saja engkau berada. Allah oti lebih dekat kepdamu daripada urat
batang lehermu! Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata, dan
hanya dapat didekati melalui sembahyang, doa, dan permohonan
!”

43. Bapa:

Bagaimana, Ananda, puaskah engkau dengan jawaban sang


guru itu? Coba terangkan jawabmu kepadaku!

44. Ananda:

Belum, Bapa, aku belum puas dengan jawaban sang guru itu,
karena aku belum dapat memahami apa yang ia maksudkan.

Maka aku bertanya lagi kepada sang guru, sembil memberikan


pendapatku demikian:

“Jikalau Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai


‘ada’, guru, maka Allah itu adalah sesuatu keadaan. Dan sebagai
suatu keadaan, maka tentunya Allah itu akan mempunyai sifat
yang sama dengan ‘yang disiptakannya’. Padahal Allah itu,
menurut guru, adalah berkedudukan sebgai ‘yang menciptakan’.

Bagaimana jelasnya, guru?”

“Pokoknya, kamu harus percaya kepada apa yang tersurat


didalam Kitab Suci, bahwa Allah itu ‘ada’. Dan tentang bagaimana
‘ada-Nya’ Allah itu tidaklah perlu kamu persoalkan, Yang penting,
kamu dekati Allah dengan sembahyang, doa, dan permohonan!”

Tetapi, guru, demikian aku bertanya lagi, bagaimana mungkin aku

32
menyembah Allah (bersembahyang) dengan doa dan
permohonan, selama aku belum dapat mengenali dengan jelas
akan apa atau siapakah Allah itu, dan aku juga belum dapat
mengenali dengan jelas akan dimana ‘singgasana Allah’ atau ;
tempat beredaNya Allah’ itu?

Bukankah bersembahyang, berdoa, dan memohon dengan cara


yang serba tidak jelas itu akan menimbulkan kesalahan-
kesalahan dan kesesatan?

Menanggapi pertanyaan dan pendapatku ini, Bapa, rupanya sang


guru agama itu menjadi sangat marah dan tersinggung, dan
dianggapnya aku ini sebagai seorang pembantah.

Ternyata, Bapa, bahwa sang guru agama itu tidak mampu


memberikan petunjuk dan penerangan kepadaku akan hal yang
sangat penting dan mendasar yang aku perlukan. Sang guru tidak
mampu menerangkan kepadaku akan apa atau siapakah Allah,
Tuhan Yang Maha Esa itu sesungguhnya; dan ia pun tidak
mempu menunjukkan kepadaku dengan cara yang dapat diterima
oleh akal sehat dan meyakinkan tentang dimanakan ‘singgasana’
Allah itu, serta bagaimana cara mendekati dan menghadap
kehadirat Allah itu.

Karena alas an-alasan itulah, Bapa, maka sang guru agama


dengan IlmuKe-Tuhanan-Nya itu terpaksa harus aku tinggalkan
dengan penuh rasa kecewa dan tak puas.

Dari ilmu Ke-Tuhanan itu aku tidak memperoleh penghargaan


apapun, kecuali umpatan sebagai ‘anak stan’ yang terlaknat, dan
sebagai seorang “atheis” yang tidak mau beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa.
33
45. Bapa:

Ya, ya, ya! Baiklah, Ananda, engkau telah berani berbicara


spontan, wajar, dan terus terang menurut apa adanya kepadaku
mengenai pengalaman hidupmu.

Nah, lalu apa yang kau lakukan sesudah itu, Ananda? Masihkah
engkau berusaha belajar lagi kepada seorang guru untuk dapat
mengetahui akan asal mulanya sunia benda ini?

46. Ananda:

Benar, Bapa, sesudah sang guru agama dengan ilmu Ke-


Tuhanan-nya itu aku tinggalkan tanpa memperoleh hasil apapun,
maka mulailah aku belajar lagi kepada seorang guru yang lain.

Waktu itu, aku mulai belajar Ilmu Kebathinan, Bapa!

47. Bapa:

Mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah yang


diajarkan oleh ilmu Kebathinan kepadamu?

48. Ananda

Sehubungan dengan asal mulanya dunia benda ini, Bapa, sang


guru ilmu Kebathinan itu menyatakan, bahwa segala apa yang
ada ini berasal dari Hidup.

Maka bertanyalah aku kepada sang guru itu tentang apa atau
siapakah Hidup itu, yang kemudian di jawabnya demikian:

34
“Hidup, itu adalah Roh Tuhan Yang Maha Esa, dan Hidup itu
sendiri adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai kuasa
untuk menciptakan dan menghidupkan segala apa yang ada ini.

Hidup itu satu atau tunggal; ada dimana-mana, dan meliputi


seluruh alam yang tek terbatas ini. Hidup itu kekal selama-
lamanya, tidak pernah mati, tidak ada awalnya, dan tidak ada
akhirnya.

Hidup itu suci dan bersih dari nafsu”.

Selanjutnya aku bertanya lagi kepada sang guru tentang


dimanakah ”singgasana” Sang Hidup, yang dikatakannya sebagai
mempunyai kuasa untuk menciptakan dan menghidupkan segala
apa yang ada ini, dan aku tanyakan pula tentang cara untuk
mendekati dan menghadapi kepada Sang Hidup itu.

49. Bapa

Lalu, bagaimanakah penjelasannya mengenai ”singgasana” dan


cara pendekatan kepada apa yang dinamakan sebagai Sang
Hidup itu Ananda?

50. Ananda

Mengenai ”singgasana” dan cara mendekati dan menghadap


kepada Sang Hidup itu, maka sang guru ilmu Kebathinan itu
menjelaskan kepdaku demikian:

”Hidup itu ”bersemayam” didalam hati (bathin) manusia. Dan oleh


karena Hidup itu suci dan bersih dari nafsu , maka manusia yang
hatinya suci dan bersih dari nafsu sajalah yang dapat
‘menenmukan’ dan menghadap Sang Hidup didalam
35
hatinya sendiri”.

Dan kemudian daripada itu, Bapa, aku bertanya lagi kepada Sang
Guru tentang apa yang harus aku lakukan, supaya hatiku
(bathiniku) menjadi suci dan bersih dari nafsu, sehingga
semungkinkan aku ‘menemukan’ dan menghadap Sang Hidup
didalam hatiku sendiri.

Maka jawablah oleh Sang Guru, bahwa aku harus mengusahakan


dua hal yang sangat penting, Yaitu:

- Pertama, bahwa didalam kehidupan sehari-hari, aku harus


berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan hawa
nafsu, dan

- Kedua, bahwa pada malam hari, aku harus berusaha dengan


sungguh-sungguh untuk melakukan “meditasi” dengan duduk
diam untuk mengosongkan pikiran.

51. Bapa:

Lalu bagaimana, Ananda, apakah semua petunjuk sang gutu itu


sudah kau jalankan?

Apa yang kaulakukan untuk mengendalikan hawa nafsu,


Ananda?

52. Ananda:

Tentu saja semua petunjuk sang guru aku jalankan, Bapa, karena
aku mempunyai niat dan tekad yang sungguh-sungguh untuk
dapat “menemukan” dan menghadap Sang Hidup, yang dikatakan

36
oleh sang guru sebagai asal mula daripada segala hal yang ada
ini.

Didalam ajaran mengenalikan nafsu, maka kepadaku diwajibkan


untuk berpikir, berbuat dan berbicara yang baik-baik saja, dan
supaya dihindarkan yang buruk-buruk. Hal ini aku usahakan
dengan sungguh-sungguh, penuh kesabaran, ketekunan, dan
ketaatan, sesuai dengan petinjuk sang guru.

Tetapi, Bapa, telah ternyata didalam praktek pelaksanaannya,


ajaran pengendalian nafsu seperti yang di ajarkan oleh sang guru
kebathinan itu amat sulit dijalankan, jikalau tidak hendak aku
katakan sebagai tidak mungkin bisa dijalankan.

53. Bapa:

Mengapa harus begitu, Ananda, coba jelaskan apa yang engkau


maksud!

54. Ananda:

Didalam praktek, Bapa, aku sudah berusaha berpikir tentang


yang baikbaik menurut ukuran dan penilaianku sendiri, namun
sementara dengan serta merta dan tidak aku sengaja, pikiran-
pikiran tentang yang buruk-buruk segera muncul didalam
pikiranku.

Hal semacam ini selalu tidak dapat ku hindari, Bapa, sebab aku
tidak akan pernah berpikir tentang yang baik, jikalau aku tidak
pernah berpikir tentang apa yang buruk. Pikiran-pikiran tentang
yang baik dan yang buruk itu melulu muncul berganti-ganti
didalam pikiranku dengan tidak dapat aku kendalikan.

37
Jadi, berpikir tentang yang baik-baik saja, itu rasanya tidak
mungkin bisa dilakukan didalam praktek.

Tentang kesulitan ini sudah aku kemukakan kepada sang guru,


namun sang guru itu sendiri tidak mampu memberikan suatu
cara, bagaimana supaya aku ini bisa berpikir tentang yang baik-
baik saja.

Sang guru hanya menyatakan kepadaku, supaya pikiran yang


baik saja yang diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan.
Sedangkan pikiran yang buruk jangan diwujudkan didalam
perbuatan dan ucapan.

Bapa, mewujudkan perbuatan dan ucapan yang baik, itupun


rasanya sulit dijalankan didalam praktek, jikalau tidak hendak aku
katakan sebagai tidak mungkin dijalankan, selama tidak diketahui
lebih dahulu akan apakah makna yang sebetulnya daripada ”baik”
dan ”buruk” itu.

55. Bapa:

Apakah yang dinyatakan oleh Ilmu Kebathinan tentang


”perbuatan baik” dan ”perbuatan buruk” itu, Ananda?

56. Ananda:

Banyak keterangan yang diberikan oleh sang guru Kebathinan itu


kepadaku mengenai penggolongan perbuatan, yaitu mana yang
digolongkan sebagai ”perbuatan baik” dan mana yang
digolongkan sebagai ”perbuatan buruk”.

Namun dasar ukurannya yang dipakai didalam penggolongan itu


tidak dapat diterima dengan meyakinkan oleh akal sehatku.
38
Sebab, fakta kehidupan ini menunjukka kepadaku, bahwa
”perbuatan baik” itu bisa berubah menjadi :perbuatan buruk”, dan
sebaliknya, ”perbuatan buruk” itu bisa berubah menjadi
”perbuatan baik”. Tergantung kepada waktu, tempat dan
keadaan.

Pendek kata, ajaran pengendalian nafsu dengan mengendalikan


nafsu dengan mengendalikan pikiran, perbuatan, dan ucapan,
seperti yang diajarkan pleh sang guru ilmu Kebathinan itu tidak
mungkin dijalankan didalam praktek, dan akan merupakan usaha
yang sia-sia belaka.

57. Bapa:

Bagaiman halnya dengan ”meditasi”, Ananda? Apakah yang di


ajarkan oleh Ilmu Kebathinan kepadamu?

58. Ananda:

Menurut sang guru, Bapa, ”meditasi” itu adalah duduk diam (still
sitting), dan ”mengosongkan” pikiran. Dengan tata cara ”meditasi”
yang telah ditunjukkan oleh sang guru kepadaku, tiap-tiap malam
aku melakukan ”meditasi” dengan cara duduk diam.

Dengan mengosongkan pikiran, demikian kata sang guru, maka


seseorang akan mencapai hati (bathin) yang suci dan bersih dari
nafsu, dan dengan cara demikian itu seseorang akan dapat
”menemukan” dan ”menghadap” kepada Hidup didalam hatinya.

Tetapi, Bapa, usaha untuk mengosongkan pikiran dengan tata


cara yang diajarkan oleh sang guru itu, kiranya sangat sulit
dilakukan didalam praktek.

39
59. Bapa:

Apa dan bagaimana kesulitannya, Ananda? Coba, terangkan


pengalammu itu!

60. Ananda:

Makin aku berusaha untuk mengosongkan pikiran, Bapa, maka


aku memperoleh dua buah pengalaman yang tidak
menguntungkan, yaitu:

Pertama, pernah aku berusaha untuk tidak berpikir apa-apa,


kecuali berpikir tentang ”kosongnya” pikiran saja, sambil
menunggu-nunggu munculnya Sang Hidup.

Dengan cara ini, pikiranku bukannya menjadi ”kosong”, malah


justru sebaliknya, yaitu aku malah lebih banyak berpikir tentang
Sang Hidup yang membayangkan begini dan begitu. Usaha ini
ternyata hanya merupakan usaha yang sia-sia dan melelahkan.

Pengalaman yang kedua ialah, bahwa pernah aku berusaha


untuk melupakan pemikiran-pemikiran tentang apa-apa yang
telah pernah terjadi didunia ini.

Usaha ini ternyata telah membawa aku kedalam keadaan terlupa,


dan akhirnya tertidur dan bermimpi tentang hal-hal yang aneh-
aneh, tanpa berhasil untuk ”menemukan” sang hidup.

Perihal kedua macam pengalaman ini pernah aku kemukakan


kepada sang guru, Bapa, namun ia tidak memberikan petunjuk
apa-apa, kecuali mengharapkan supaya aku terus berusaha,
sambil :menemukan cara” sendiri

40
untuk ”mengosongkan” pikiran.

61. Bapa:

Lalu, Ananda, apakah engkau sudah berhasil ”menemukan cara”


sendiri untuk ”mengosongkan pikiran” itu?

62. Ananda:

Tidak, Bapa, aku tidak pernah berhasil didalam menemukan cara


untuk ”mengosongkan” pikiran itu!

Karena telah ternyata, bahwa sang guru ilmu Kebathinan itu tidak
mampu untuk memberikan petunjuk yang jelas yang dapat
diterima oleh akal sehat, dan iapun tidak mampu memberikan
bimbingan praktek ”pengendalian nafsu” dan ”meditasi” dengan
cara yang meyakinkan, maka dengan penuh rasa kecewa dan tak
puas sang guru terpaksa aku tinggalkan tanpa hasil apapun. Aku
ternyata bukan murid yang baik untuk Ilmu Kebathinan.

63. Bapa:

Dan sesudah ilmu Kebathinan engkau tinggalkan, Ananda,


apakah yang kau usahakan? Masih belajar lagi kepada seorang
guru-kah?

64. Ananda:

Benar, Bapa, untuk dapat mengetahui akan asal mula saripada


dunia benda ini, aku masih belajar kepada seorang guru yang lain
lagi. Waktu itu aku belajar ilmu Tenaga Gaib.

65. Bapa:

41
Apakah yang di maksudkan dengan ilmu tenaga Gain itu,
Ananda?

Dan apa pula yang diajarkan oleh ilmu itu kepadamu?

66. Ananda:

Ada seseorang yang mengatakan kepadaku, Bapa, bahwa dunia


benda itu terjadi dan berasal dari tenaga Gaib, yaitu ”Gerak
Sendirinya” yang berada diluar kemauan dan pengertian akal
manusia.

Namun demikian, begitulah kata orang itu, Tenaga Gaib itu dapat
”didatangkan” dengan penyerahan diri dan permohonan,
sehingga dengan cara demikian, maka manusia akan memiliki
”mujijat” yang mengherankan dunia ini.

Berdasarkan atas keterangan itulah, Bapa, maka mulailah aku


belajar kepada seorang guru ilmu tenaga Gaib itu.

Oleh sang guru diajarkan kepadaku tentang tata cara penyerahan


diri dan memohon kepada Tenaga Gaib itu.

Selanjutnya sang guru mengatakan, bahwa dengan mengambil


sikap badan yang tertentu, dan mengucapkan didalam hati akan
doa-doa tertentu, maka aku akan mengalami ”gerak sendirinya”
yang membawakan ”mujijat”.

Ini merupakan disiplin, dan harus dilatih terus menerus secara


teratur, demikian kata sang guru.

67. Bapa:

Lalu, apa hasilnya, Ananda?


42
68. Ananda:

Menurut pengalaman didalam melakukan ”latihan gerak” itu,


Bapa, maka ternyata, bahwa apa yang dinamakan ”gerak
sendirinya” itu tidak lebih daripada gerak-gerak reflex yang timbul
dari luapan-luapan rangsangan perasaan (emotional
excitements), oleh sebab penggambaran-penggambaran khayal
rekaanku sendiri.

Dan ternyata, Bapa, bqhwa apa yang diajarkan oleh sang guru
ilmu Tenaga Gaib itu tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang
sedang kutanyakan dan kucari, yaitu tentang asal mula daripada
dunia benda ini.

Ilmu Tenagan Gaib yang di ajarkan oleh sang guru ternyata tidak
dapat melampaui sifat dan perwatakan dunia benda itu sendiri,
dan bahkan, sehariharinya sang guru hanya mengherani ”hasil-
hasil” duniawi yang di capai melalui apa yang dinamakan sebagai
”Latihan Gerak” itu, dan tidak putus-putusnya sang guru
mengherani ”ilmunya” itu.

Bagi sang guru ilmu tenaga Gaib, Bapa, asal mula dunia benda
ini tidak dijadikan permasalahan, dan tetap merupakan rahasia
yang tek terungkapkan; dan oleh karena itu ilmu Tenaga Gaib
tidak berjalan selaras dengan apa yang hendak ku cari.

Dan lagi, sang guru ilmu Tenaga Gaib yang sendirinya heran atas
”ilmunya” itu, hanyalah menunjukkan, bahwa sang gurutidak
mempunyai pengetahuan yang benar, kecuali takhayul belaka.

43
Itulah sebabnya, mengapa sang guru ilmu Tenaga Gaib dengan
segala ajarannya itu terpaksa aku tinggalkan dengan penuh rasa
kecewa dan tak puas.

69. Bapa:

Lalu, belajar dan berguru apa lagi, Ananda, setelah ilmu Tenaga
Gaib engkau tinggalkan?

44
3. MEMBENCI DAN MENOLAK DUNIA BENDA

70. Ananda:

Tidak, Bapa, sejak itu aku sudah tidak belajar dan berguru lagi.

Aku sudah merasa puas dengan ketidak puasanku terhadap


guru-guru dan ilmuilmu, karena tidak ada satupun diantara guru-
guru dan ilmu-ilmu itu yang sanggup menunjkkan kepadaku
dengan cara yang dapat diterima oleh akal sehat dan
menyakinkan akan asal mula dan rahasia daripada dunia benda
yang sudah membuat akau menderita ini.

Dengan rasa yang setengah putus asa, Bapa, pada waktu itu
terpikirlah olehku, bahwa dunia benda ini sungguh-sungguh tidak
layak untuk diraih dan disintai, bahkan, barang kali yang paling
tepat menghadapi dunia benda ini adalah menolak dan
membencinya!

Pada waktu itu, Bapa, sudah tetaplah rasanya pendirianku, yaitu


aku hendak mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia benda
ini.

71. Bapa:

Coba, Ananda, terangkan kepadaku, bagaimana caramu


mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia benda ini!

72. Ananda:

Pada waktu itu, Bapa, mulailah aku menyendiri, dan


mengasingkan diri dari keramaian pergaulan masyarakat. Aku
tidak melakukan pekerjaan apa-apa.

45
Aku mulai mengabaika makan, minum, pakaian, kebersihan, dan
kesehatan tubuhku, bahkan, aku membenci tubuku sendiri, yang
aku anggap sebagai ”sarang” tempatnya perasaan menderita
karena dunia benda ini.

Waktu itu aku berpikir, bahwa justru aku hidup bertubuh inilah
yang menjadikan sebab, mengapa aku ini lalu bisa merasakan tak
puas dan menderita.

Maka sepintas telah terpikir olehku untuk melakukan bunuh diri


sja dengan mengantungkan diri diatas pohon dengan tali pengikat
pada leher.

Namun, sebelum hal itu aku lakukan, masih sempat pula aku
berpikir lagi demikian:

Jikalau aku ini mati dengan bunuh diri, lalu siapakah yang bakal
merasakan perasaan puas dan bahagia yang di cari-cari itu?

Mungkinkah aku ini akan merasa puas dan bahagia disorga


sesudah mati?

Tetapi, sorga itu apa? Dan dimana? Akh, membingungkan!

Sementara itu, Bapa, sebagai akibat daripada tidak makan, tidak


minum, dan tidak tidur, badanku menjadi lemas lunglai, tak
berdaya apa-apa, jatuh sakit keras, dan akhirknya tidak sadar diri.

Setelah ditolong oleh orang lain, dan sadar diri kembali, maka
mulailah aku insyaf, bahwa mengacukan, menolak, dan
membenci tubuh serta dunia benda ini bukannya
memndatangkan kepuasan dan kebahagiaan, bahkan sebaliknya,

46
justru mendatangkan kesakitan dan penderitaan.

Bapa, hatiku makin bimbang, ragu, dan takut tak terperikan


menghadapi dunia benda ini.

Tak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan sekarang, sebab
segala usaha telah aku lakukan untuk berusaha menghentikan
ketidak puasan dan penderitaanku ini. Tolonglah, Bapa, tnjukan
jalan keluar kepadaku!

47
BAB II

PENENLITIAN DAN PERENUNGAN MELALUI


PEMUNCAKAN AKAL

1. KETIDAK TAHUAN (KEBODOHAN)

73. Bapa:

Baik, baik, Ananda, baik!

Sekarang, coba pusatkan perhatianmu, sambil dengarkan baik-


baik akan apa yang aku katakan ini, karena aku hendak
mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.

Dan cobalah engkau menjawab pertanyaanku ini dengan secara


spontan, sederhana, dan wajar saja, dan jangan takut-takut salah!

Ananda, coba katakanlah kepadaku, apakah yang menarik


perhatianmu, tatkala engkau untuk pertama kalinya melihat,
bertemu, dan berbicara dengan aku?

74. Ananda:

Pada saat pertama kali aku berjumpa dan berbicara dengan


Bapa, maka aku melihat sinar cahaya kemuliaan berwarna-warni
yang memancar keluar dari seluruh kepribadian Bapa.

Dari pandangan mata, ucapan kata-kata, gerakan tangan, dan


mimik wajah Bapa telah memancar sinar sahaya yang
menerangkan dan menenteramkan hati.

48
Melihat sinar cahaya itu, Bapa, hatiku menjadi tenteram, sehingga
aku merasa senang dan berbahagia.

75. Bapa:

Nah, Ananda, coba sekarang katakan kepadaku, apakah yang


melihat, apakah yang menanggapi perasaan tenteram, dan
siapakah yang mengalami perasaan senang itu?

76. Ananda:

Bapa, begitu mataku melihat kepribadian Bapa, maka pikiranku


menanggapi perasaan tenteram, dan kemudian aku mengalami
perasaan senang.

77. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa begitu matamu


melihat kepribadianku, maka pikirankmu menanggapi perasaan
tenteram, dan kemudian engkau mengalami perasaan senang.

Dari pernyataan itu, Ananda, maka mungkin bisa terjadi halyang


sebaliknya, yaitu karena matamu melihat, pikiranmu menanggapi,
maka engkau mengalami perasaan susah,

Apakah begitu, Ananda?

78. Ananda:

Benar, Bapa, memang demikian itulah, dan tidak bisa lain! Sebab,
jikalau tidak karena mata melihat, dan pikiran menanggapi, maka
tentunya aku tidak akan mengalami perasaan senang ataupun
susah.

49
79.Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa pada saat ini engkau


sedang dalam keadaan menderita susah.

Dan lagi, engkau telah menyatakan, bahwa engkau dapat


mengalami susah itu adalah oleh matamu melihat, dan pikiranmu
menanggapi.

Seandainya, Ananda, engkau dapat mengetahui dan menguasai


sumber yang memberikan penglihatan dan sumber yang
menyebabkan pikiranmu menanggapi, maka dapat dipastikan,
bahwa engkau akan dapat dengan mudah menghentikan
kesusahanmu.

Sebab, dengan tidak mengetahui sumber yang memberikan


penglihatan, dan tidak mengetahui akan sumber yang
menyebabkan pikiran menanggapi, maka engkau tidak mungkin
dapat menghentikan kesusahan dan penderitaanmu.

Hal ini, Ananda, dapat diperumpamakan dengan seorang tuan


rumah yang disusahkan oleh tikus-tikus yang menggerogoti
makanan dan merusak pakaiannya setiap malam dirumahnya.

Kesusahan tuan rumah yang disebabkan oleh tikus-tilus itu akan


dapat dihentikan, seandainya tuan rumah itu mengetahui akan
tempat persembunyiannya tikus-tikus yang merugikan itu!

Dan sekarang, Ananda, aku hendak bertanya kepadamu!

Tahukah engkau, dimanakah sumber yang memberikan


penglihatan itu?

50
80. Ananda:

Aku tahu, Bapa, seperti halnya setiap orang pun juga tahu, bahwa
sumber yang memberikan penglihatan itu adalah Mata.

81. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa sumber yang


memberikan pengkihatan itu adalah mata.

Dan sekarang, Ananda, tahukah engkau dimanakah beradanya


mata itu?

82. Ananda:

Sumber yang memberikan penglihatan adalah mata, dan mata itu


berada pada pemukaan wjah, Bapa!

83. Bapa:

Bagus, Ananda, mata berada pada permukaan wajah.

Tetapi, Ananda, benarkah bahwa mata itu adalah sumber


memberikan penglihatan?

Jikalau benar demikian, maka aku hendak bertanya kepadamu,


Anaada.

Dengan mata yang terpejam, Ananda, terlihatkah kursi yang


berada disudut kamar itu?

84. Ananda:

Dengan mata terpejam, Bapa, tentu saja kursi yang berada


disudut kamar itu tidak dapat terlihat. Sebab, yang memberikan
51
penglihatan itu bukanlah mata yang terpejam, melainkan mata
yang terbuka.

85. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa mata yang terpejam


tidak dapat memberikan penglihatan.

Hanya mata yang terbukalah yang dapat memberikan


penglihatan.

Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!

Seandainya, Ananda, ruangan dimana kita ini berada, aku tutup


semua jendelajendela dan pintunya, dan aku padamkan semua
lampu-lampu yang menyala itu, sehingga ruangan ini menjadi
gelap gulita, maka dapatkah kursi itu terlihat oleh mata terbuka?

86. Bapa:

Tentu saja tidak terlihat, Bapa!

Salam keadaan gelap gulita yang tiada cahaya, kursi itu tiada
terlihat oleh mata yang terbuka.

Kalau demikian halnya, Bapa, maka yang dapat memberikan


penglihatan itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya.

87. Bapa:

Engkau telah meyatakan, Ananda, bahwa yang memberikan


penglihatan itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya.

52
Jikalau benar demikian, Ananda, maka aku sekarang bertanya
kepadamu!

Bagaimanakah kiranya, jikalau engkau tertidur dengan matamu


terbuka, sedangkan disitu semua lampu-lampu bersinar dengan
cahayanya yang terang?

Dapatkah mata itu memberikan penglihatan?

88. Ananda:

Didalam keadaan tertidur, Bapa, maka mata yang terbuka tidak


dapat memberikan penglihatan, meskipun disitu terdapat sinar
lampu yang terang.

89. Bapa:

Apa sebabnya demikian, Ananda?

Coba terangkan jawabmu!

90. Ananda:

Didalam keadaan tertidur, mata terbuka yang telah diberi syarat


cahaya, tidak dapat memberikan penglihatan, karena didalam
keadaan tertidur, pikiraku tidak menanggapi apa-apa.

91. Bapa.

Kalau begitu, Ananda, lalu apakah yang memberikan penglihatan


itu?

Mata terbuka yang telah diberi syarat cahayakah?

92. Ananda:
53
Bukan, Bapa, mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya tidak
dapat memberikan penglihatan apa-apa.

Yang dapat memberikan penglihatan adalah: mata terbuka yang


telah diberi syarat cahaya, dan pikiran yang menanggapi!

93. Bapa:

Baik, Ananda, engkau telah meyatakan, bahwa yang memberikan


penglihatan itu adalah mata terbuka yang telah diberi syarat
sahaya, dan pikiran menanggapi.

Jadi, karena mata terbuka, dalam keadaan ada cahaya, dan


pikiranmu menanggapi benda-benda, obyek-obyek, dan orang-
orang itu lalu terlihat.

Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang memberikan


penglihatan itu adalah mata terbuka, yang diberi syarat adanya
cahaya,dan pikiran menanggapi, maka sekarang coba pejamkan
matamu! Apakah yang kau lihat, Ananda?

94. Ananda:

Aku tidak dapat melihat apa-apa, kecuali gelap gulita yang hitam
kelam itu, Bapa!

95. Bapa:

Jadi, Ananda, didalam mata terpejam, dan disitu ada cahaya,


meskipun benda-benda, obyek-obyek, dan orang-orang tidak
dapat terlihat, namun gelap gulita ang hitam kelam itu masih
dapat terlihat juga, bukan?

96. Ananda:
54
Benar, Bapa, gelap gulita yang hitam kelam itu dapat terlihat juga,
meskipun mata dipejamkan, dan disitu ada cahaya.

97. Bapa:

Kalau demikian halnya, Ananda, maka apakah sebetulnya yang


memberikan itu?

Mata kah? Cahaya kah? Atau pikiran menanggapi kah?

98. Ananda:

Dari hasil penelitian itu tadi, Bapa, maka telah ternyata, bahwa
yang memberikan penglihatan itu bukanlah mata, dan juga bukan
cahaya, melainkan yang memberikan penglihatan itu adalah
pikiranku yang menanggapi itu!

99. Bapa:

Bail! Engkau telah menyatakan, bahwa yang memberikan


penglihatan itu adalah pikiranmu yang menanggapi itu.

Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang memberikan


penglihatan itu adalah pikiramu yang menanggapi itu, maka
sekarang aku hendak bertanya kepadamu!

Tahukah engkau, Ananda, dimanakah gerangan tempat


beradanya pikiranmu yang menanggapi, yang dapat memberikan
penglihatan itu?

100. Ananda:

Bapa, kepribadianku unu terdiri dari tubuh dan pikiran, tubuhku


dan pikiranku selalu bekerja sama dalam keselarasan, dan tak
55
dapat dipisahkan yang satu dari yang lain, karena faktanya, apa
yang dirasakan oleh tubuhku, itulah yang di tanggapi oleh
pikiranku.

Atau sebaliknya, apa yang di tanggapi oleh pikiranku, itulah yang


dirasakan oleh tubuhku.

Oleh karena demikian, Bapa, maka pertanyaan tentang


dimanakah tempat beradanya pikiranku yang menanggapi itu,
dengan jelas dapat dijawab, bahwa pikiranku yang menanggapi
itu berasda bersama-sama dengan tubuhku, dan tidak bisa lain!

101. Bapa:

Baik, Ananda engkau telah menyatakan, bahwa pikiran-mu yang


menanggapi itu berada bersama-sama dengan tubuhmu, karena
tubuhmu dan pikiranmu itu selalu bekerja sama dalam
keselarasan, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain.

Ananda, apakah yang kaumaksudkan dengan ”bersama-sama”


dengan tubuh itu? Berada dalam salah satu anggota tubuhkkah?
Atau mungkin mungkin meliputi seluruh tubuhkah?

102. Ananda:

Pikiranku yang menanggapi, dan yang memberikan penglihatan


itu berada diotak didalam tubuhku, Bapa!

103. Bapa:

Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi, dan


yang memberikan penglihatan itu berada di otak didalam

56
tubuhmu, maka dengan demikian tentunya pikiramu itu dapat
melihat apa yang berada didalam tubuhmu.

Isi perutmu, misalnya! Atau mungkin jantungmu! Bagaimana,


Ananda, dapatkan pikiranmu itu melihat isi perutmu atau
jantungmu?

104. Ananda:

Faktanya tidak demikian, Bapa!

Pikiranku tidak dapat melihat isi perutku ataupun jantungku yang


berada didalam tubuhku.

105. Bapa:

Kalau begitu Ananda, maka jelaslah, bahwa pikiramu itu tidak


berada di otak, didalam tubuhmu!

106. Ananda:

O, mungkin pikiranku yang menanggapi itu berada meliputi


seluruh tubuhku, Bapa!

107. Bapa:

Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu


berada meliputi seluruh tubuhmu, maka seandainya aku memukul
kepalamu, niscaya kaki mu pun akan merasakan perasaan sakit!

Dan lagi, seandainya benar, bahwa pikiranmu yang menanggapi


itu berada meliputi seluruh tubuhmu, maka jikalau aku memukul
salah satu anggota tubuhmu, seluruh tubuhmu akan merasakan
perasaan sakit, dan engkau tidak
57
akan tahu bagian manakah dari tubuhmu yang aku pukul itu.

Bagaimana, Ananda, apakah memang demikian itu faktanya?

108. Ananda:

Tidak, Bapa, faktanya adalah tidak demikian!

Kalau begitu, jelaslah, bahwa pikiranku yang menanggapi itu tidak


berada meliputi tubuhku.

Atau mungkin pikiraku yang menanggapi itu berada ”diantara”


luar dan dalam daripada tubuhku, Bapa!

109. Bapa:

Baiklah! Jikalau seandainya benar, Ananda, bahwa pikiramu yang


menanggapi dan dapat memberikan penglihatan itu berada
”diantara” luar dan dalam daripada tubuhmu, maka aku hendak
bertanya kepadamu!

Kemanakah menghadapnya pikiranmu itu? Kearah luar tubuhkah,


atau kearah dalam tubuh kah?

Jikalau pikiramu itu menghadap kearah luar tubuhmu, maka


pikiranmu itu tidak akan bisa melihat kaki ataupun tanganmu
sendiri. Dan jikalau pikiranmu itu menghadap kearah dalam
tubuhmu, maka pikiranmu itu akan dapat melihat apaapa yang
berada didalam tubuhmu sendiri itu.

Apakah memang demikian itu faktanya, Ananda?

110. Ananda:

58
Tidak, Bapa.

Tetapi, Bapa, yang aku maksudkan dengan ”diantara” luar dan


dalam daripada tubuhku, itu bukanlah didalam arti seperti itu.

Yang aku maksudkan adalah, bahwa pikiranku yang menanggapi


itu berada pada mata, dimana mata itu berada ”diantara: luar dan
dalam daripada tubuhku.

111. Bapa:

Baiklah! Jikalai benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang


menanggapi itu berada pada matamu, dan yang hal itu akan
berarti berada ”diantara: luar dan dalam daripada tubuhmu, maka
sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!

Jikalau seandainya aku mencubit pahamu, Ananda, maka


tentunya pahamu tidak akan merasakan sakit apa-apa, sebab
pikiramu yang menanggapi itu berada pada mata!

Apakah memang begitu faktanya, Ananda?

112. Ananda:

Tidak, Bapa, faktanya tidaklah demikian!

Kalau begitu, Bapa, maka ternyata, bahwa pikiranku yang


menaggapi itu tidaklah berada pada mata, dan tidak berasa
”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku.

113. Bapa:

Ananda, mungkikah pikiramu yang menanggapi, dan yang dapat


memberikan penglihatan itu berada di luar tubuhmu?
59
114. Ananda:

Tidak mungkin, Bapa, pikiranku yang menanggapi itu tidak


mungkin berada diluar tubuhku, sebab diantara tubuhku dan
pikiranku terdapat kerja sama yang selaras, dan tak terpisahkan
satu dengan yang lain.

Dan lagi, jikalau pikiranku itu berada diluar tubuhku, niscaya


tubuhku tidak akan dapat merasakan perasaan apa-apa lagi.

115. Bapa:

Bagus! Lalu, mungkinkah pikiranmu itu berasa meliputi seluruh


alam semesta yang tak terbatas ini?

116. Ananda:

Itupun tidak mungkin, Bapa, pikiranku tidak mungkin berasa


meliputi seluruh alam semesta ini.

Sebab, jikalau seandainya pikiranku yang menanggapi itu berada


meliputi seluruh alam semesta ini, maka tentunya tubuhku akan
menjadi sebesar alam semesta yang tak terbatas ini juga.

Padahal faktanya, tubuhku ini besarnya terbatas!

117. Bapa:

Ananda, sidalam usahamu untuk mengetahui akan asal mulanya


yang memberikan penglihatan, maka engkau telah menemukan,
bahwa yang memberikan penglihatan itu bukanlah mata,
melainkan yang memberikan penglihatan itu adalah pikiranmu
yang menanggapi.

60
Jadi, dari apa yang sudah dapat kau temukan itu ternyata, bahwa
yang memberikan penglihatan dan tanggapan itu adalah
pikiranmu.

Apakah bukan begitu, Ananda?

47

118. Ananda:

Benar, Bapa, yang memberikan penglihatan dan tanggapan itu


adalah pikiranku!

Jadi, dalam hubungannya dengan timbulnya kesusahan, maka


lalu dapat di nyatakan, bahwa oleh sebab pikiranku melihat, dan
pikiranku menanggapi, maka aku lalu mengalami perasaan
susah.

119. Bapa:

Ananda, engkau talah menyatakan, bahwa oleh sebab pikiran mu


melihat, dan pikiranmu menanggapi, maka engkau lalu
mengalami perasaan susah.

Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Ananda!

Tahukah engkau akan apa atau siapakah ”engkau sendiri” yang


dapat mengalami perasaan susah itu?

Coba terangkan jawabmu!

120. Ananda

61
Bapa, jikalau misalnya Bapa mengajukan sesuatu pertanyaan
kepadaku, maka pertanyaan Bapa itu baru aku jawab, setelah
menanggapi pertanyaan Bapa itu.

Aku menanggapi pertanyaan Bapa itu dengan mengunakan


pikiranku, dan kemudian pikiranku menanggapi.

Pikiranku lalu bekerja memikirkan pertanyaan Bapa itu dengan


mengunakan alatalat pertimbangan, untuk kemudian pertanyaan
Bapa itu aku jawab.

Proses ini menunjukkan, bahwa ”aku sendiri” dan ”pikiranku” itu


adalah satu dan sama, tidak ada bedanya.

Aku sendiri (myself) adalah pikiranku, Bapa, tidak bisa lain!

121. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa ”engkau sendiri” itu


adalah ”pikiranmu”.

Baiklah! Maka sekarang dengarkan, aku hendak bertanya


kepadamu!

Ananda, jikalau engkau berbicara perihal ”pikiranmu”, maka


bukankah hal itu menunjukkan sangat jelas, bahwa ”pikiranmu” itu
bukan ”engkau sendiri”, dan hanya menrupakan obyek yang
berada disamping atau diluar ”engkau sendiri”?

Seperti halnya jikalau engkau berbicara perihal ”ayahmu” atau


”ibumu”, maka jelas sekali, bahwa ”ayahmu” atau ”ibumu” itu
bukanlah ”engkau sendiri”.

62
Jadi, Ananda, pernyataan ”aku sendiri” adalah ”pikiranku”, itu
adalah suatu pernyataan yang tidak dapat diterima oleh akal
sehat!

122. Ananda:

Lalu, Bapa, apa lagi yang harus dianggap sebagai ”aku sendiri”
itu, kalau bukan ”pikiranku” itu?

”Pikiran ku” adalah satu-satunya milik ku yang dapat memberikan


penglihatan dan tanggapan.

Dan jikalau ” aku sendiri” ini bukan ”pikiranku” itu, maka apa lagi
yang harus tertinggal, karena ” aku sendiri” lalu tidak bisa melihat
dan menanggapi apa-apa!

123. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa ”pikiranmu” itu adalah


satusatunya milikmu yang dapat memberikan penglihatan dan
tanggapan!

Mengapa engkau harus mengakui ”pikiranmu” itu sebagai satu-


satunya milikmu yang dapat memberikan penglihatan dan
tanggapan, Ananda, padahal engkau sendiri tidak mengetahui
dimanakah beradanya pikiranmu itu?

Apakah manfaatnya mengaku mempunyai milik, tetapi tidak


mengetahui akan apa, bagaimana, dan dimana beradanya milik
itu?

124. Ananda:

Bapa, sekarang aku mengaku bodoh, dan mengaku dosa (salah)!


63
Aku mengaku bodoh, karena aku tidak mengetahui akan apa atau
siapakah sebetulnya ”aku sendiri” ini! Aku mengaku bodoh,
karena aku mengaku memiliki ”pikiran” yang dapat memberikan
penglihatan dan tanggapan, namun aku tidak mengetahui akan
apa, bagaimana, dan dimanakah beradanya ”pikiranku” itu!

Bapa, aku mengaku menderita sudah, tanpa mengetahui akan


siapakah ”aku sendiri” yang menderita sudah itu, dan tanpa
mengetahui akan apa, bagaimana, dan di manakah sumber asal
mulanya kesusahan itu.

Betapa bodohnya aku ini, karena ketidak tahuanku sendiri, Bapa!

Aku mengaku dosa (salah), karena kebodohan dan ketidak


tahuan ku sendiri. Sebab, kebodohan dan ketidak tahuan itu,
Bapa, tidak laun hanya akan menimbulkan kesalahan-kesalahan,
dan kekeliruan-kekeliruan belaka!

Celakalah aku ini, karena kebodohan dan kesalahanku sendiri!

Tolonglah, Bapa, tunjukkan kepadaku akan jalan keluarnya!.

64
2. KENYATAAN DAN BUKAN KENYATAAN

125. Bapa:

Baik, baik, Ananda, Baik!

Memang benar katamu itu, Ananda, karena kebodohan dan


ketidak tahuan, maka disitu hanya akan timbul kesalahan-
kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan belaka.

Ananda, hal semacam itu bukan hanya terjadi pada dirimu saja,
melainkan juga terjadi pada kebanyakan manusia yang hidup di
dunia benda ini.

Banyak manusia didunia ini yang mengaku dirinya bijak,


berpengetahuan, pandai, dan terpelajar, namun mereka tidak
menyadari, bahwa mereka itu sebetulnya adalah orang-orang
bodoh, tidak berpengetahuan, dan tidak sadar.

Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak kenal akan hakekat


dirinya; dan dikatakan bodoh dan tidak berpengetahuan, karena
mereka tidak mengerti dan tidak mengetahui akan apa yang
mereka lihat dan apa yang mereka tanggapi.

Tetapi, Ananda, engkau tidak perlu berkecil hati, dan tidak perlu
menyusahi atas keridak tahuan akan kesalahan-kesalahanmu
yang terjadi pada masa yang lalu.

Lupakanlah itu semua! Dan sekarang, pusatkanlah perhatianmu,


dengarkan baikbaik akan apa yang akan kukatakan ini, karena
aku hendak bertanya lagi kepadamu.

Ananda, dikala matamu kau pejamkan, apakah yang kau lihat?

65
126. Ananda:

Dikala matamu kupejamkan, Bapa, maka aku bisa melihat juga,


yaitu melihat gelap yang hitam kelam.

127. Bapa:

Ananda, didalam keadaan mata terpeja, engkau melihat ”gelap”


yang warnanya ”hitam”.

”Gelap”, itu bukan benda; demikian pula halnya dengan warna


”hitam”, itupun bukan benda.

Apa yang kaunamakan sebagai ”gelap”, dan apa yang


kaunamakan sebagai ”hitam”, itu semua sebetulnya bukan
kenyataan apa-apa, kecuali sebagai gagasan (mind conception)
yang tergambar atau terbayang didalam pikiran, dan yang
kodratnya adalah maya atau semu, bagaikan perwujudan yang
terlihat dalam mimpi.

Gagasan, itu timbul dari pikiran itu sendiri, dan gagasan itu tidak
dapat dipegang ataupun diraba, namu terlihat oleh pikiran itu
sendiri.

Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!

Melihat sesuatu gagasan, Ananda, apakah itu dapat dikatakan


sebagai melihat kenyataan, atau melihat gambaran khayal?

128. Ananda:

Melihat sesuatu gagasan, Bapa, itu tidak dapat dikatakan sebagai


melihat kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal.

66
129. Bapa:

Bagus sekali, Ananda! Melihat suatu gagasan, itu adalah bukan


melihat kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal.

Gagasan, Ananda, sebagai gambaran khayal, kodratnya adalah


maya, semu, bukan kenyataan, dan palsu (unreal).

Oleh karena itu lalu dapat dikatakan, bahwa gagasan itu


berkodrat khayalan palsu.

Melihat gagasan, atau melihat khayalan palsu, itu bukanlah


melihat kenyataan, melainkan berkhayal..

Ananda, kebayakan manusia yang hidup didunia benda ini


menyatakan, bahwa ”gelap” dan ”hitam” itu adalah kenyataan
yang sungguh-sungguh, dan berada diluar pikiran.

Mereka tidak mengenali, dan tidak menyadari dengan terang,


bahwa ”gelap” dan ”hitam” itu sebetulnya tidak lain kecuali
sebagai perwujudan gambar pikiran, dan timbul dari pikiran, dan
dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Jadi, jelaskah disini, Ananda, bahwa ”penglihatan” dan


”tanggapan” itu adalah berasal mula dan bersumber dari pikiran
itu sendiri.

Tetapi, Ananda, dimanakah gerangan beradanya pikiran itu?

130. Ananda:

Bapa, justru pertanyaan tentang dimanakah beradanya pikiran,


itulah suatu pertanyaan yang sampai saat ini belum aku temukan
jawabannya!
67
Sebab, semua tempat sudah aku selidiki, namun kesemuanya itu
bukanlah tempat dimana pikiran itu berada.

Dari hasil penelitian yang cermat dimuka tadi, maka telah


ternyata, bahwa pikiran iru bukan berada didalam tubuh, bukan
berada di luat tubuh, bukan berada pada sebagian daripada
tubuh (diotak ataupun di mata), bukan berada meliputi seluruh
tubuh, dan juga bukan berada meliputi seluruh alam semesta.

Pendek kata, semua tempat bukanlah tempat beradanya pikiran !

131. Bapa:

Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa semua tempat tidak dapat


dinyatakan sebagai tempat beradanya pikiran, lalu apa yang
hendak kau nyatakan tentang tempat beradanya pikiran itu?

Pikiran itu mengambil tempatkah, atau pikiran itu tidak mengambil


tempatkah?

132. Ananda:

Oleh karena semua tempat tidak satu pun yang dapat dinyatakan
sebagai tempat beradanya pikiran, Bapa, maka dengan akal
sehat sudah dapat dipastikan, bahwa pikiran itu tidak mengambil
tempat.

133. Bapa:

Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda!

Pikiran itu tidak mengambil tempat, dan tidak membutuhkan


tempat.

68
Nah, sekarang bagaimanakah kiranya pendapatmu, Ananda,
apakah pikiran yang tidak mengambil tempat itu sesuatu
kenyataan ataukah bukan kenyataan?

134. Ananda:

Tentu saja pikiran itu bukan suatu kenyataan, Bapa! Pikiran itu
tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak mengambil
tempat; bagaimana bisa dianggap sebagai kenyataan?

Bukankah begitu, Bapa?

135. Bapa:

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa pikiran itu bukan suatu


kenyataan, karena tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan
tidak mengambil tempat.

Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiran itu bukan kenyataan, lalu


bagaimanakah mungkin pikiran itu dapat memberikan
penglihatan? Bukankah penglihatan itu dapat kau sadari sendiri
kebenarannya? Masakah bukan kenyataan bisa memberikan
kenyataan penglihatan !?

136. Ananda:

O, ya, benar juga, Bapa!

Pikiran adalah kenyataan, karena pikiran itu dapat memberikan


kenyataan penglihatan yang dapat aku sadari sendiri
kebenarannya.

69
137. Bapa:

Nah, Ananda, sekarang sudah cukup jelas, bahwa pikiran itu


adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, namun bisa
memberikan kenyataan penglihatan.

Dan, kalau demikian halnya, Ananda, maka aku sekarang hendak


bertanya kepadamu!

Kenyataan penglihatan itu mengambil tempat ataukah tidak


mengambil tempat, Ananda?

138. Ananda:

Kenyataan penglihatan itu berasal mula dan bersumber dari


kenyataan pikiran yang tidak mengambil tempat. Dan oleh karena
kenyataan pikiran itu tidak mengambil tempat, Bapa, maka
kenyataan penglihatan itupu juga tidak mengambil tempat.

139. Bapa:

Bagus, Ananda, bagus!

Pikiran, itu adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, dan


demikian juga penglihatanm itupun adalah kenyataan yang tidak
mengambil tempat.

Ananda, bukankah kenyataan ini menunjukan, bahwa ”pikiran” itu


tidak lain adalah ”penglihatan” itu sendiri?

140. Ananda:

70
Benar, Bapa, pikiran, itu adalah penglihatan itu sendiri! Pikiran
dan penglihatan itu adalah kenyataan yang satu, dan tidak
mengambil tempat.

141. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Pikiran dan penglihatan itu adalah kenyataan yang satu, dan yang
tidak mengambil tempat.

Dan oleh karena Pikiran dan Penglihatan itu adalah Kenyataan


yang satu, dan sama, maka barangkali tidak ada salahnya, jikalau
Pikiran dan Penglihatan itu aku sebut dengan satu sebutan saja,
yaitu PIKIRAN MELIHAT.

Nah, sekarang aku hendak bertanya lagi kepadamu, Ananda!


Jikalau pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran Melihat itu adalah
Kenyataan, sedangkan Kenyataan itu tidak mengambil tempat,
lalu apakah yang dapat kau katakan tentang benda-benda dan
orang-orang yang mengambil tempat itu, Ananda?

Apakah benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat


itu harus kaunyatakan sebagai Kenyataan ataukah sebagai
Bukan Kenyataan?

142. Ananda:

Jikalau ternyata sudah jelas, bahwa kenyataan itu tidak


mengambil tempat, Bapa, maka sebagai konsekwensinya, segala
hal yang mengambil tempat itu, seperti halnya dengan benda-
benda dan orang-orang, seharusnya dinyatakan sebagai Bukan
Kenyataan.
71
Tetapi, Bapa, bagaimanakah bisa jadi, bahwa segala hal yang
mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan
kenyataan?

Padahal, benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat


itu memang sungguh-sungguh ada, berwujud, dapat dilihat, dan
dapat diraba!

Rasanya hal ini susah dapat dimengerti!

Bagaimanakah jelasnya, Bapa?

143. Bapa

Benar. Ananda, segala hal yang mengambil tempat itu memang


benar ada, berwujud, dapat dilihat, dan dapat diraba.

Itu benar, benar sekali, dan tidak salah!

Tetapi, itu semua harus digolongkan sebagai bukan Kenyataan,


Ananda!

Nah, sekarang dengarkan, karena aku akan membuat suatu


perumpamaan, dan kemudian bertanya kepadamu!

Seandainya, Ananda, engkau semalam tidur, dan bermimpidigigit


macan, dan merasa kesakitan.

Didalam keadaan tidur dan bermimpi itu, Ananda, apakah engkau


betul-betul melihat ”adanya” macan, dan betul-betul merasakan
perasaan sakit?

144. Ananda:

72
Tentu saja, Bapa, didalam keadaan tidur, dan bermimpi, aku
betul-betul melihat ”adanya” macan itu, dan aku betul-betul
mengalami sakit itu.

145. Bapa:

Tetapi, Ananda, sewaktu engkau terbangun, dan sudah bangkit


dari tidurmu, apakah macan tadi itu seekor macan yang sungguh-
sungguh ataukah bukan sungguh-sungguh?

56

146. Ananda:

Sewaktu aku terbangun, dan sudah bangkit dari tidurku, Bapa,


maka ternyata, bahwa macan tadi bukanlah seekor macan yang
sungguh-sungguh, melainkan macan khayal atau macan palsu!

147. Bapa:

Baik! Nah, sekarang, Ananda, didalam keadaan bangun dan


bangkit dari tidur, apakah macan khayal itu tadi masih dapat
dilihat kembali didalam ingatan pikiranmu? Dan apakah kesan
perasaan sakit itu masih dapat dimunculkan kembali didalam
ingatan pikiranmu?

148. Ananda:

Masih dapat, Bapa, didalam keadaan bangun dan bangkit dari


tidur bermimpi, maka macan khayal itu masih dapat dilihat
kembali didalam ingatan pikiranku; demikian pula kesan perasaan
sakit itu masih dapat dimunculkan kembali didalam ingatan
pikiranku.

73
149. Bapa:

Ananda, didalam keadaan tidak bermimpi, apakah engkau pada


saat itu merasa sadar?

150. Ananda:

Pada saat didalam keadaan tidur bermimpi, Bapa, maka didalam


mimpi itu aku merasa betul-betul sadar!

151. Bapa:

Lalu, apakah yang dapat kaukatakan setelah engkau bangun dan


bangkit dari tidurmu, Ananda? Apakah didalam meadaan tidur
bermimpi itu engkau betul-betul sadar atau tidak sadar?

Coba terangkan jawabanmu!

57

152. Ananda:

Memang, Bapa pada saat sedang dalam keadaan tidur bermimpi


aku merasa betul-betul sadar.

Tetapi, begitu aku bangun, dan bangkit dari tidurku, maka tahulah
aku, bahwa didalam keadaan tidur itu aku sama sekali tidak
sadar.

Dikatakan tidak sadar, karena apa yang terlihat seolah-olah


sebagai kenyataan didalam mimpi, ternyata bukan kenyataan
apa-apa, kecuali gambaran khayal belaka!

153. Bapa:

74
Ananda, kebanyakan manusia yang hidup didalam dunia benda
ini menyatakan dirinya sebagai sadar; padahal, sebetulnya
mereka itu tidak sadar.

Mereka dalam keadaan bagaikan mimpi!

Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak mengenali akan


hakekat dirinya. Dan lagi, mereka tidak mengenali akan hakekat
benda-benda dan orangorang yang mereka lihat itu.

Mereka menyatakan, bahwa benda-benda dan orang-orang yang


mengambil bentuk, rupa, dan tempat itu sebagai banyaknya dan
macamnya kenyataankenyataan yang sungguh-sungguh, dan
berada di luar pikiran.

Padahal,sebetulnya benda-benda dan orang-orang yang mereka


lihat sebagai mengambil tempat itu adalah bukan Kenyataan apa-
apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran,
dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan; dan kenyataan itu tidak


mengambil tempat.

Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah sekarang, mengapa segala


hal yang mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan
Kenyataan?

154. Ananda:

Kiranya cukup jelas, Bapa!

Jadi, pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran-Melihat, itulah


Kenyataan; dan Kenyataan itu tidak mengambil tempat. Adapun

75
segala hal yang mengambil tempat itu, sebetulnya tidak lain
hanyalah gagasan yang berkodrat khayalanpalsu, dan adalah
perwujudan dan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan
dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

155. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!

Apakah yang dapat kau katakan tentang segala hal yang tampak
sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu, Ananda?

Apakah mereka itu terlihat sebagai kenyataan ataukah mereka itu


dikhayalkan sebagai kenyataan?

156. Ananda:

Oleh karena segala hal yang tampak sebagai ada, berwujud, dan
mengambil tempat itu tidak lain hanyalah berupa gagasan yang
berkodrat khayalan-palsu, dan hanya merupakan perwujudan
gambar-pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka
segala hal itu sebetulnya bukannya terlihat sebagai kenyataan,
melainkan terlihat dalam khayalan atau dikhayalkan.

157. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Nah, sekarang, Ananda, bagaimanakah pendapatmu mengenai


Kenyataan itu?

Apakah Kenyatakan itu terlihat, ataukah tidak terlihat?


76
158. Ananda:

Bapa, sekarang sudah cukup jelas, bahwa segala yang tampak


sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu sebetulnya
bukan-kenyataan, kecuali perwujudan gambar-pikiran, yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu
sendiri. Sedangkan Kenyataan yang sesungguhnya, itu adalah
pikiran-melihat, atau Pikiran, atau penglihatan itu sendiri.

Tetapi, Bapa, sampai saat ini aku masih belum dapat mengenali
akan apa atau siapakah sebetulnya aku sendiri ini, atau dengan
lain perkataan, aku belum dapat mengenal akan hakekat diriku!

Lalu apakah hubungannya diantara aku sendiri ini dengan


Penglihatan itu, Bapa?

77
3. HAKEKAT ”AKU” DAN KENYATAAN ESA

161. Bapa:

Baiklah, Ananda, tetapi hendaklah engkau bersabar dulu!


Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, maka aku masih
hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.

Ananda, jikalau sudah jelas bagimu, bahwa Kenyataan itu tidak


mengambil tempat, maka lalu bagaimanakah pendapatmu
tentang Kenyataan itu, Ananda? Apakah kenyataan tidak
mengambil tempat itu mempunyai zat ataukah tidak mempunyai
zat (substance)?

162. Ananda:

Sesuatu yang mempunyai zat, Bapa, itu pasti akan mengambil


tempat.

Dan oleh karena Pikiran Melihat itu adalah kenyataan yang tidak
mengambil tempat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran Melihat
itu tidak mempunyai zat.

163. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Pikiran Melihat, sebagai kenyataan yang tidak mengambil tempat.


Itu tidak mempunyai zat. Artinya, Pikiran Melihat itu hampa zat.

Nah, jikalau Pikiran Melihat itu hampa zat, Ananda, apakah


Pikiran Melihat itu mempunyai bentuk dan rupa?

164. Ananda:
78
Segala sesuatu yang mempunyai bentuk dan rupa, Bapa, maka
pastilah ia mempunyai zat. Dan oleh karena Pikiran Melihat itu
hampa zat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran Melihat itu
hampa bentuk dan hampa rupa.

165. Bapa:

Nah, sekarang,, Ananda, Pikiran Melihat yang hampa bentuk, dan


hampa rupa itu, apakah ia itu terlahir ataukah tidak terlahirkan,
Ananda?

166. Ananda:

Segala sesuatu yang terlahir, Bapa, maka dapat dipastikan,


bahwa ia itu mempunyai bentuk dan rupa. Tetapi, karena Pikiran
Melihat itu hampa bentuk dan hampa rupa, maka tentunya Pikiran
Melihat itu adalah hampa kelahiran.

167. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Pikiran Melihat itu hampa kelahiran, artinya: tidak melahirkan, dan


juga tidak dilahirkan.

Lalu, Ananda, apakah Pikiran Melihat ang hampa kelahiran itu


bisa mengalami kematian?

168. Ananda:

Tentu saja tidak, Bapa!

Pikiran Melihat yang hampa kelahiran itu tak akan pernah


mengalami kematian.
79
Bagaimana bisa mati, Bapa, terlahir saja tidak!

169. Bapa:

Bagus, ananda!

Lalu, bagaimana kiranya pendapatmu, ananda, apakah pikiran


melihat itu berbeda-beda dan dapat dibedakan menurut ciri-ciri
perorangan.

170. Ananda:

Sudah cukup jelas, Bapa, bahwa pikiran melihat itu adalah hampa
zat, hampa bentuk, dan hampa rupa. Karena demikian, maka
jelas pula, bahwa pikiran melihat itu bukan perorangan (non
personal) yang berbeda-beda, dan tidak dapat dibeda-bedakan
menurut ciri-ciri perorangan.

171. Bapa:

Tepat sekali, ananda!

Pikiran melihat, itu bukan perorangan yang berbeda-beda, dan


tidak dapat dibeda-bedakan menurut ciri-ciri perorangan.
Singkatnya, pikiran melihat itu hampa perorangan, hampa
pembedaan, hampa pencirian.

Nah, didalam hubungannya dengan pikiran melihat atau


pengelihatan yang hampa perorangan dan hampa pembedaan
itu, ananda, apakah pikiran melihat itu dapat dinyatakan sebagai
milik, memiliki, atau dimiliki?

172. Ananda:

80
Tidak Bapa, pikiran melihat atau pengelihatan itu tidak dapat
dinyatakan sebagai milik, tidak dapat dinyatakan sebagai
memiliki, dan tidak juga dapat dikatakan sebagai dimiliki, sebab
pikiran melihat itu adalah hampa perorangan dan hampa
pembedaan.

173. Bapa:

Nah, ananda, dari apa yang engkau teliti dengan cermat melalui
akal sehat yang telah dipuncakkan itu maka ternyata, bahwa
pikiran melihat, atau pikiran, atau pengelihatan itu adalah hampa
pembedaan. Ini artinya ialah, bahwa pikiran melihat itu adalah
Kenyataan Tunggal, atau Kenyataan Esa, yaitu kenyataan satu-
satunya, yang tiada kenyataan yang lain, kecuali yang
satusatunya itu.

Ananda, engkau sudah mengetahui, bahwa pikiran melihat, atau


pengelihatan itu bukannya dilihat, melainkan dihayati dan
disadari. Bagaimana ananda, engkau sadari dan engkau
hayatikah pengelihatan itu?

174. Ananda:

Benar Bapa, aku menyadari dan menghayati pengelihatan itu,


dan oleh karena itu aku melihat.

175. Bapa:

Bagus!

Engkau telah mengenali ananda, bahwa pikiran melihat itu adalah


satu-satunya kenyataan yang memberikan pengelihatan. Ini
berarti, bahwa pikiran melihat itu melihat.
81
Dan ananda, engkau telah membuktikan sendiri, bahwa pikiran
melihat, atau pengelihatan itu adalah kenyataanyang kau hayati
sendiri dan kau sadari sendiri. Ini berarti, bahwa engkau sendiri
itu melihat.

Nah, perhatikan hal ini ananda!

Pikiran melihat itu melihat, dan engkau sendiri itu melihat!


Tahukah engkau sekarang ananda, apa atau siapakah
sebetulnya engkau sendiri (your self) itu?

176. Ananda:

Aku tahu, Bapa, bahwa pikiran melihat itu melihat, sedangkan aku
sendiri ini menyadari, bahwa aku sendiri ini melihat. Kalau
demikian halnya Bapa, maka kiranya tidak dapat disangsikan lagi,
bahwasanya aku sendiri (my self) ini tidak lain adalah pikiran
melihat, atau pikiran, atau pengelihatan itu sendiri.

Bukankah begitu Bapa?

177. Bapa:

Bagus, bagus, bagus sekali ananda!

Melalui akal yang dipuncakkan, maka engkau sekarang telah


mengenali, bahwa engkau sendiri (your self) itu adalah pikiran
melihat itu sendiri, ya pikiran itu sendiri, ya pengelihatan itu
sendiri.

Dan oleh karena pikiran melihat itu adalah Kenyataan Esa, maka
tidak dapat disangsikan lagi, ananda, bahwa engkau sendiri itu
adalah Kenyataan Esa itu sendiri, yaitu engkau sendiri yang

82
hampa ciri-ciri perorangan, dan hampa pembedaan, dan yang
disebut dengan nama: ”AKU”!

Jadi, ananda, ”AKU” itu adalah nama dari Kenyataan Esa, dan
bukannya penamaan bagi perorangan seperti misalnya Amat,
Badu, Polan dan sebagainya itu. Singkatnya, ”AKU” adalah
Kenyataan Esa!

178. Ananda:

Bapa, sekarang aku sudah dapat mengenali bahwa segala hal


yang terlihat sebagai ”ada” dan ”berwujud” itu sebetulnya bukan
kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu
sendiri.

Kalau demikian Bapa, apakah hal itu dapat diartikan, bahwa


pikiran itu adalah sumber asal mula dan pencipta daripada dunia
benda ini?

83
4. BENAR DAN KELIRU

179. Bapa:

Ananda, bahwa segala hal itu sebetulnya bukan kenyataan apa-


apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran,
dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, itu adalah
pernyataan yang benar!

Tetapi ananda, hendaknya engkau jangan terburu-buru


mengambil kesimpulan, bahwa pikiran itu adalah menjadi sumber
asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini, sebelum
diadakan penelitian yang cermat!

Nah, sebelum menjawab pertanyaanmu itu, ananda, maka aku


hendak mengajukan pertanyaan lebih dahulu kepadamu!

Jikalau benar, ananda, bahwa pikiran itu adalah sumber asal


mula dan pencipta daripada dunia benda yang ”ada” dan
”berwujud” ini, maka pikiran itu tentunya dapat dinyatakan
sebagai ”ada”, karena, apa yang ”ada” itu berasal daripada apa
yang ”ada”. Apakah pikiran itu dapat dinyatakan sebagai ”ada”
ananda?

180. Ananda:

Pikiran, itu adalah Kenyataan yang hampa zat, Bapa! Dan oleh
karena hampa zat, maka pikiran itu bukanlah keadaan. Dan apa
yang bukan keadaan itu tidak dapat dinyatakan sebagai ”ada”
atau ”tidak ada”.

84
Kalau demikian halnya Bapa, maka ternyata bahwa pikiran itu
tidak dapat dinyatakan sebagai sumber asal mula dan pencipta
daripada dunia benda ini.

181. Bapa:

Bagus sekali ananda!

Pikiran, sebagai Kenyataan Esa yang hampa zat, itu tidak dapat
dinyatakan sebagai ”ada” atau ”tiada”, dan demikian pula, pikiran
itu tidak dapat dinyatakan sebagai sumber asal mula dan
pencipta daripada dunia benda ini.

182. Ananda:

Lalu hubungan apakah yang dapat dinyatakan diantara pikiran


sebagai kenyataan disatu pihak dan dunia benda sebagai bukan
kenyataan dilain pihak itu, bapa? Agaknya hal ini belum dapat
aku mengerti dengan jelas!

183. Bapa:

Baiklah ananda, coba sekarang renungkan dalam-dalam


perumpamaan yang aku buat ini dan jawablah pertanyaanku!

Jikalau seandainya, ananda, engkau berdiri di depan sebuah


cermin, maka apakah yang kau lihat, ananda?

184. Ananda:

Jikalau aku berdiri di depan sebuah cermin, Bapa, maka aku


melihat bayanganku sendiri!

185. Bapa:
85
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu ananda! Apakah yang
dapat kau katakan tentang bayangan yang ada dan berwujud di
dalam cermin itu ananda? Apakah bayangan itu diciptakan atau
dijadikan olehmu ataukah bayangan itu terlihat olehmu?

186. Ananda:

Bayangan di dalam cermin itu ada dan berwujud, bukanlah oleh


sebab aku ciptakan atau aku jadikan Bapa, sebab aku tidak
pernah berusaha dan berbuat apa-apa untuk menciptakan atau
menjadikannya. Bayangan yang ada dan berwujud didalam
cermin itu hanyalah terlihat semata-mata olehku seperti demikian
itu.

187. Bapa:

Bagus!

Apa yang ada dan berwujud itu hanyalah terlihat atau terbayang
seperti demikian itu oleh sebab kodrat daripada cermin itu.

Nah, seperti demikian itu pulalah halnya, ananda, hubungan yang


terdapat diantara pikiran sebagai kenyataan disatu pihak, dan
dunia benda sebagai bukan kenyataan dilain pihak.

Ananda, pikiran itu kenyataan! Sedangkan segala hal yang ada


dan berwujud itu sebetulnya bukanlah kenyataan apa-apa,
kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan
terlihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Singkatnya, apa dan bagaimanapun sesuatu yang dinyatakan


sebgai ada dan berwujud itu, sebetulnya tidak lain hanyalah

86
pikiran itu sendiri, dan tidak ada kenyataan apapun diluar pikiran
itu sendiri.

Jadi, ananda, pikiran itu bukanlah menciptakan atau menjadikan


apa yang ada dan berwujud ini, melainkan apa yang ada dan
berwujud ini tidak lain hanyalah apa yang terlihat atau terbayang
oleh pikiran itu sendiri.

Bagaimana, ananda, sudah cukup jelaskah?

188. Ananda;

Sudah cukup jelas Bapa!

Jadi, tegasnya adalah, bahwa tidak pernah ada apa atau


siapapun yang diciptakan atau dijadikan, demikian pula tidak
pernah ada apa ataupun siapa yang menciptakan atau
menjadikan. Bukankah begitu Bapa?

189. Bapa:

Benar, ananda, benar!

Benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu bukanlah


”ciptaan’ yang diciptakan atau dijadikan oleh apa atau siapapun!
Sebab, kenyataan yang sebetulnya adalah bahwa benda-benda,
orang-orang, dan objek-objek itu tidak lain adalah gambar
perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran dan terlihat oleh
pikiran itu sendiri.

Tetapi, ananda, oleh sebab ketidak tahuan atau kebodohan


manusia, maka benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu
dikiranya sebagai ”ciptaan” yang diciptakan oleh ”Sang

87
Pencipta”!, dan berbeda-beda serta dibeda-bedakan menurut
banyaknya dan macamnya seolah-olah bendabenda, orang-
orang, dan objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang
sungguh-sungguh, dan berada diluar pikiran itu sendiri.

190. Ananda:

Aku menyela pertanyaan sebentar, Bapa, karena ada suatu istilah


yang belum aku mengerti maknanya dengan jelas!

Bapa telah mengatakan tentang ”ketidak tahuan manusia”. Apa


atau siapakah sebetulnya yang dimaksud dengan istilah
”manusia’ itu?

191. Bapa:

Manusia ananda, itu adalah pikiran berpikir, yaitu si pemikir.


Pikiran berpikir (thinking mind), itu adalah pikiran yang melihat,
membeda-bedakan, membanding-bandingkan,
mempertimbangkan nilai-nilai, dan memilih-milih gambar-gambar
pikiran (image) yang timbul dari pikiran itu sendiri, seolaholah
sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang
berada diluar dari pikiran itu sendiri. Dan oleh karena asas dasar
pikiran berpikir itu adalah pembedaan-pembedaan, maka pikiran
berpikir itu dapat disebut juga sebagai pikiran membedakan
(discriminating mind).

Singkatnya, ananda, manusia = si pemikir = pikiran berpikir =


pikiran membedakan. Bagaimana, cukup jelas, ananda, apa yang
dimaksud dengan sebutan ”manusia” itu?

192. Ananda:

88
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!

193. Bapa:

Baik! Sekarang aku teruskan dengan apa yang hendak aku


katakan tadi itu.

Ananda, karena ketidak tahuan manusia, maka benda-benda,


orang-orang dan objek-objek itu dikiranya sebagai ”ciptaan” yang
diciptakan oleh ”sang pencipta”. Dan kemudian benda-benda,
orang-orang, dan objek-objek itu dilihatnya sebagai berbeda-beda
dan dapat dibeda-bedakan menurut banyaknya dan macamnya,
seolah-olah benda-benda, orang-orang dan objek-objek itu
adalah kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya, dan berada
diluar pikiran itu sendiri. Ini adalah suatu kekeliruan!

Dan kekeliruan ini timbul oleh sebab ketidak tahuan, yaitu tidak
tahu akan asas kenyataan, bahwasanya segala apa yang ada
dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa kecuali
perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat
serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Nah, jikalau demikian halnya ananda, maka aku hendak bertanya


kepadamu! Tahukah engkau mana yang harus dinyatakan
sebagai k e l i r u, dan mana pula yang harus dinyatakan sebagai
b e n a r?

194. Ananda:

Tidak tahu akan asas Kenyataan, Bapa, itu akan menyatakan


kesalahankesalahan dan kekeliruan-kekeliruan. Tetapi
sebaliknya, tahu akan asas kenyataan, itu akan menyatakan
kebenaran.
89
Menyatakan kenyataan sebagai bukan kenyataan, dan
menyatakan bukan kenyataan sebagai kenyataan, itu harus
dinyatakan sebagai keliru. Tetapi, menyatakan kenyataan
sebagai kenyataan, dan menyatakan bukan kenyataan sebagai
bukan kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai benar.

195. Bapa.

Bagus sekali, ananda!

Jadi, ”Ukuran” daripada benar atau keliru, itu adalah terletak


kepada tahu atau tidak tahunya mengenai kenyataan yang
hampa pembedaan itu.

Ketidak tahuan manusia akan kenyataan yang hampa


pembedaan itu, maka manusia akan melakukan kekeliruan,
seolah-olah apa yang dibedabedakannya itu adalah banyaknya
dan macamnya kenyataan-kenyataan.

Padahal kenyataan itu bukannya banyak dan bermacam-macam,


melainkan satu, tunggal atau Esa.

Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, ananda! Apakah


membedakan mana yang kenyataan dan mana yang bukan
kenyataan itu harus dinyatakan sebagai keliru juga? Terangkan
jawabmu!

196. Ananda

Melakukan pembedaan diantara mana yang kenyataan, dan


mana yang bukan kenyataan, Bapa, itu tidak dapat dinyatakan
sebagai keliru! Sebab, jikalau seseorang melakukan pembedaan
diantara mana yang kenyataan dan
90
mana yang bukan kenyataan, maka hal itu akan berarti, bahwa ia
tahu mana sesungguhnya kenyataan itu, dan mana
sesungguhnya bukan kenyataan itu.

Tetapi sebaliknya, jikalau seseorang tidak tahu bedanya, mana


sesungguhnya kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan
kenyataan itu, maka hal itu akan berarti, bahwa ia tidak tahu
kedua-duanya.

197. Bapa

Bagus sekali jawabanmu, ananda! Melakukan pembedaan,


dengan mengetahui bedanya mana yang sesungguhnya
kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan tidak
dapat dinyatakan sebagai keliru, melainkan harus dinyatakan
sebagai benar. Pembedaan seperti ini, ananda, disebut sebagai
pembedaan benar!

Sebaliknya, melakukan pembedaan-pembedaan terhadap apa


yang ada dan berwujud, seolah-olah apa yang ada dan berwujud
itu adalah kenyataan70 kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai
keliru. Dan pembedaan seperti ini disebut sebagai pembedaan
keliru.

198. Ananda

Dimuka telah dinyatakan, Bapa, bahwa azas dasar pikiran


berpikir adalah pembedaan, dan tidak semua pembedaan itu
adalah keliru karena ada pembedaan benar dan ada pula
pembedaan keliru.

Kalau demikian itu halnya, bapa, maka akan dapat ditarik


kesimpulan, bahwa berpikir diatas dasar pembedaan benar
91
haruslah dinyatakan sebagai berpikir benar, sedangkan berpikir
diatas dasar pembedaan keliru haruslah dinyatakan sebagai
berpikir keliru. Apakah bukan begitu, Bapa?

199. Bapa

Benar, ananda, memang benar demikian!

Ananda, mengerti, bahwasanya segala apa yang ada dan


berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali
perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat
serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, maka pengertian
semacam itu disebut sebagai: ”pengertian – benar”.

Diatas landasan pengertian-benar, ananda, maka engkau akan


dapat berpikir-benar; dan sebaliknya, diatas landasan pengertian-
keliru engkau akan berpikir-keliru.

Berpikir keliru adalah berpikir dengan melakukan pembedaan-


pembedaan keliru atau pembedaan-pembedaan khayal.

Dikatakan pembedaan khayal, karena pembedaan dilakukan


datas hal-hal yang kodratnya khayalan-palsu.

200. Ananda

Bapa, aku sudah mengerti melalui pengertian-benar, bahwa


ketidaktahuan itu telah menmbulkan kekeliruan-kekeliruan
dengan melakukan pembedaanpembedaan khayal. Dan aku telah
mengerti, Bapa, rasanya terlalu sulit bagiku, kalau tidak hendak
aku katakan sebagai tidak mungkin, untuk tidak melakukan
pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud

92
didalam kehidupan dunia-keadaan ini. Sudikah Bapa
menerangkan, apakah kiranya yang menjadi sebab-
musababnya?

201. Bapa

Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa melakukan


pembedaanpembedaan khayal itu adalah keliru, dan harus
segera dibetulkan. Tetapi, engkau telah menyatakan pula, bahwa
rasanya terlalu sulit bagian untuk tidak melakukan pembedaan-
pembedaan didalam dunia-keadaan ini.

Untuk menjawab pertanyaan ini, ananda, maka aku hendak


bertanya lebih dulu kepadamu!

Ananda, apakah yang menjadi makanan-baku bagimu sehari-


hari?

202. Ananda

Sehari-hari aku makan ubi pohon (singkong) sebagai makanan


baku, Bapa.

203. Bapa

Sejak kapan engkau telah mulai makan singkong sebagai


makanan-baku, Ananda?

204. Ananda

Aku makan singkong sebagai makanan baku sudah dari sejak


kecil,Bapa, dari sejak masa kanak-kanak!

205. Bapa
93
Ananda, mengertikah engkau, bahwa nasi itu sebetulnya lebih
menyehatkan daripada singkong?

72

206. Ananda

Mengerti, Bapa! Aku mengerti, bahwa nasi adalah lebih


menyehatkan jikalau dibandingkan dengan singkong.

207. Bapa

Jikalau engkau sudah mengerti, Ananda, bahwa nasi itu lebih


menyehatkan daripada singkong, mengapakah engkau tidak
beralih saja dari makan singkong kepada makan nasi?

208. Ananda

Rasanya berat bagiku untuk beralih dari makan singkong kepada


makan nasi, Bapa, sebab aku sudah terlalu biasa dengan makan
singkong itu. Dan lagi, bagiku makan singkong itu terasa lebih
memberikan kenikmatan daripada makan nasi.

209. Bapa

Ananda, engkau telah menyatakan mengerti, bahwa nasi adalah


lebih menyehatkan daripada singkong. Tetapi engkau merasa
berat untuk beralih dari makan singkong kepada makan nasi,
justru karena engkau merasa telah terlalu biasa dengan makan
singkong, sehingga singkong engkau rasakan sebagai lebih
memberikan kenikmatan daripada nasi.

94
Dari pengalaman dan penghayatanmu itu sendiri, Ananda,
engkau telah dapat mengenali, bahwa kebiasaan itu ternyata
mempunyai kekuatan untuk mengalahkan PENGERTIAN.

Nah, seprti demikian pulalah halnya dengan pembedaan-


pembedaan itu, Ananda! Kebiasaan untuk menanggapi
pembedaan-pembedaan itu ternyata mempunyai kekuatan untuk
mengalahkan pengertianmu, bahwa pembedaan khayal itu
seharusnya tidak dilakukan, ananda. Kebiasaan itu ternyata
mempunyai kekuatan yang cukup besar justru karena kebiasaan
itu engkau pupuk dan engkau pelihara terus menerus dalam
jangka waktu yang cukup lama.

Ananda, karena kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan


terhadap apa yang ada dan berwujud ini sebagai banyaknya dan
macamnya kenyataan-kenyataan, maka kebiasaan itu menjadi
berurat dan berakar didalam pikiran, sehingga akhirnya pikiran
menjadi melekat (attached) kepada kebiasaan tanggapannya
sendiri.

210. Ananda

Bapa, tahulah aku sekarang, bahwa kekeliruan-kekeliruan dan


kesalahankesalahan itu berakar dari ketidak tahuan, pembedaan,
kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada khayalan
palsu. Bukankah benar demikian, Bapa?

211. Bapa

Tepat sekali, Ananda! Memang kekeliruan dan kesalahan itu


timbul dari ketidaktahuan (kebodohan), pembedaan-pembedaan

95
khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada
khayalan palsu.

Ananda, karena dosanya (kekeliruannya) sendiri, maka manusia


terpaksa harus menanggung sengsara dan menderita seperti:
kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kecelakaan, ketuaan,
kelapukan dan kematian (maut).

Karena kekeliruannya sendiri, Ananda, maka manusia terpaksa


harus mengikuti putaran roda kelahiran dan kematian terus
menerus dengan tak berdaya apa-apa, dan tetap menanggung
sengsara dan menderita selamalamanya.

Jadi, Ananda, kesengsaraan dan penderitaan itu tidak akan dapat


berakhir, jikalau dosa (kekeliruan) itu tidak diakhiri. Dan
kekeliruan itu tidak akan berakhir, selama ketidak tahuan,
pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan
kemelekatan itu tidak diakhiri. Dan, Ananda, ketidaktahuan,
pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan
kemelakatan itu tidak akan bisa berakhir, selama belum ditembusi
dan diselami sendiri pengetahuan dan pengertian benar.

Oleh karena itu, Ananda, untuk menghentikan kesengsaraan dan


penderitaan, maka langkah pertama yang harus di tempuh adalah
mengaku dosa (keliru), dan segera setelah itu lalu berusaha
untuk menghentikan kekeliruan itu melalui pengetahuan dan
pengertian benar. Melalui pengertian benar, Ananda, engkau
akan dapat mengenali, manakah yang benar, dan manakah yang
keliru itu.

212. Ananda:

96
Tampaknya dunia benda yang serba gerak dan berubah ini telah
banyak menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, karena
tidak dikenali dengan cara yang benar akan apa sebetulnya dunia
keadaan ini, dan bagaimanakah sebab musabab timbulnya.

Sehubungan dengan itu, Bapa, sudikah Bapa menerangkan


dengan cara yang lebih jelas akan sebab musabab timbulnya
dunia benda ini?

97
5. HUBUNGAN SALING BERGANTUNG DAN TATA SUSUNAN
PIKIRAN

213. Bapa:

Sudah cukup jelas bagimu, ananda, bahwa dunia benda ini


bukanlah ”cipataan” yang di ciptakan oleh ”sang pencipta”.
Demikian pula sudah cukup jelas kiranya, bahwa dunia benda
sebagai perwujudan gambar pikiran itu bukanlah ”ciptaan” yang
diciptakan oleh Pikiran, dan juga bukan ”kejadian” yang dijadikan
oleh Pikiran itu. Dunia benda ini tidak lain kecuali perwujudan
gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Nah, kalau demikian itu halnya, ananda, maka sekarang aku


hendak bertanya kepadamu! Apakah diantara Pikiran dan
perwujudannya itu ada hubungan ”sebab” dan ”akibat”, ananda?

214. Ananda:

Oleh karena segala hal itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali


perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan terlihat
oleh pikiran itu sendiri, Bapa, maka Pikiran dan perwujudannya itu
bukanlah dua hal yang berpisah dan berbeda, melainkan pikiran
dan perwujudannya itu adalah satu dan sama, yaitu Pikiran itu
sendiri.

Dan oleh karena Pikiran dan perwujudannya itu adalah Pikiran itu
sendiri, Bapa, maka diantara Pikiran dan perwujudannya itu tidak
ada hubungan ”sebab” dan ”akibat”.

215. Bapa:

98
Tepat, dan benar sekali jawabanmu, ananda! Pikiran dan
perwujudannya itu tidak mempunyai hubungan sebagai ”sebab”
dan ”akibat”. Nah, kalau demikian itu halnya, ananda, maka
bagaimanakah pendapatmu tentang ”sebab” dan ”akibat” itu?

Apakah ”sebab” dan ”akibat” itu kenyataan atau bukan kenyataan,


ananda? Coba terangkan jawabmu!

216. Ananda:

”Sebab” dan ”akibat”, bapa, itu bukanlah kenyataan yang


sesungguhnya daripada dua hal yang berpisah dan berbeda,
sebab disitu tidak akan pernah diketahui pada saat yang
manakah berakhirnya sesuatu ”sebab”, dan pada saat yang
manakah dimulainya sesuatu ”akibat”.

Dan jikalau ”sebab” dan ”akibat” itu tampak seolah-olah sebagai


dua buah kenyataan yang berpisah dan berbeda, bapa, maka hal
itu hanyalah disebabkan oleh pembedaan-pembedaan khayal
yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya sendiri.

217. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

”Sebab” dan ”akibat” itu bukanlah Kenyataan, dan mereka itu


timbul hanya oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal yang
dilakukan oleh Pikiran terhadap perwujudannya sendiri.

Tegasnya, ananda, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah kenyataan


apa-apa, kecuali gagasan pikkiran (mind conception) yang timbul
dari pikiran itu sendiri.

99
Ananda, oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan,
menanggapi pembedaan-pembedaan khayal mengenai sebab-
sebab, rupa, dan nama-nama, maka duania keadaan ini lalu
tampak seolah-olah sebagai terdiri dari bendabenda, orang-
orang, dan obyek-obyek yang mempunyai zat sendiri
(selfsubstance) dan kkodrat sendiri (self nature). Dikatakan
sebagai mempunyai tempat, dan dikatakan sebagai mempunyai
kodrat sendiri, karena mereka itu tampak sebagai bergerak-gerak
dan berubah sendiri.

218. Ananda:

Bapa, apakah yang dimaksud dengan pembedaan khayal


mengenai rupa dan nama itu?

219. Bapa:

Yang dimaksud dengan rupa, ananda, itu adalah perwujudan


gambar pikiran yang muncul melalui lima alat-alat perasaan, yang
umumnya disebut sebagai lima alat-alat penginderaan (five sense
organs), yaitu: mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Apa yang
terlihat melalui mata, terdengar melalui telinga, terbau melalui
hidung, tercicip melalui lidah, dan teraba melalui kulit, itulah yang
dimaksudkan dengan rupa itu.

Banyaknya dan macamnya rupa itu, ananda, dibeda-bedakan


secara khayal oleh pikiran membedakan (discriminating mind)
dan diberikan sebutan dengan kata-kata untuk menunjukkan ciri-
ciri perorangan daripada masingmasing rupa itu.

Inilah yang dimaksud dengan memberikan nama!

100
Nama-nama itu, ananda, dikhayalkan sebgai kenyataan-
kenyataan yang seolaholah ”memiliki” rupa dan zat sendiri,
sehingga seseorang lalu berkata: ”Jikalau demikian itu namanya,
maka begitu itulah bendanya, tidak bisa lain!”

Rupa dan nama, ananda, itu sebetulnya tidak lebih daripada


gagasangagasan pikiran (mind conceptins) yang dibayangkan
oleh pikiran sebagai banyaknya dan macamnya perorangan
(individu) yang mempunyai kodrat sendiri.

Nama, itu timbul dari pembedaan kata-kata: sedangkan kata-kata,


itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali suara-suara angin
tenggorokan yang kepadanya diberikan arti-arti khayal semaunya
saja.

Bagaimana, ananda, cukup jelaskan mengenai rupa dan nama


itu?

220. Ananda:

Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!

Nah, sekarang kembali kepada soal gerak perubahan itu tadi,


bapa!

Sudihkan Bapa menerangkan tentang kodrat dan sebab musabab


timbulnya gerak perubahan itu?

221. Bapa:

Ananda, dunia keadaan ini tampak sebagai mengalami gerak


perubahan terus menerus dengan taka ada henti-hentinya.
Karena hal yang demikian itu, ananda, maka para pujangga lalu

101
memastikan, bahwa gerak perubahan itu timbul dari adanya
sebab dan syarat, dan yang tunduk kepada Hukum Sebab Akibat.

Spekulasi para pujangga itu timbul, ananda, oleh sebab mereka


tidak mengenali azas dasar kenyataan, bahwasanya segala apa
yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa,
kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan
dilihat seta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Dan mereka tidak mengenali kodrat dan makna yang sebenarnya


daripada ”ada” dan ”tidak ada”, dan juga tidak mengenali kodrat
dan makna yang sebanrnya daripada ”terjadi” dan ”tidak terjadi”
itu adalah hal-hal nyata yang sebab dua, dan tunduk kepada
hukum sebab akibat.

Karena tidak dapat mengenali, bahwa soal ”ada” dan ”tidak ada”,
”terjadi” dan ”tidak terjadi” itu adalah hal-hal khayal yang timbul
dari pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh pikiran
terhadap perwujudannya sendiri sebagai sebab musababnya.

Ananda, oleh sebab pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh


pikiran membedakan mengenai sebagai rupa dan nama itu
berlangsung terus-menerus, berganti-ganti, dan tak pernah ada
henti-hentinya, maka disitu lalu timbul pengertian-pengertian
perwujudan gambar pikiran, yang sebentar muncul, dan sebentar
lagi lenyap, terus menerus, dengan tak ada henti-hentinya pula.
Muncul dan lenyapnya gambar-gambar pikiran didalam pikiran itu
sendiri, ananda, yang lalu terlihat oleh pikiran sebagai gerak
perubahan daripada benda-benda, orangorang, dan obyek-obyek
itu.

102
Tegasnya, ananda, gerak perubahan itu sebetulnya bukan
kenyataan apaapa, kecuali perwujudan (manufestasi) daripada
pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh pikiran
terhadap perwujudannya sendiri.

222. Ananda:

Kalau demikian halnya, bapa, maka nyatalah, bahwa benda-


benda, orangorang, dan obyek-obyek itu sebetulnya adalah
hampa kodrat sendiri. Dan merasa itu tempat sebagai bergerak
dan berubah bukanlah oleh sebab adanya sebabsebab dan
syarat-syarat yang berada diluar pikiran, melainkan gerak
perubahan itu adalah pencerminan yang menerangkan sendiri
tentang kegiatan pikiran yang melakukan pembedaan-
pembedaan khayal itu.

Bukankah begitu, Bapa?

223. Bapa:

Tepat sekali katamu itu, ananda!

Benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek itu adalah hampa


kodrat sendiri; dan gerak perubahan itu adalah pencerminan yang
menerangkan sendiri tentang kegiatan pikiran yang melalkukan
pembedaan-pembedaan khayal.

Ananda, oleh karena kebiasaan pikiran didalam menanggapi


pembedaanpembedaan, maka didalam pikiran itu sendiri lalu di
kentarakan dan dipetakan gambaran-gambaran yang berkodrat
khayalan palsu, dimana pikiran lalu melekat kepada khayalan
paslsu itu, seolah-olah kesemuannya itu adalah

103
kenyataankenyataan rupa dan nama yang berada diluar pikiran
dan mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri.

Oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi


pembedaan-pembedaan sebab, rupa, dan nama, ananda, maka
pikiran itu sendiri lalu membentuk suatu sistem berpikir
perorangan yang sangat rumit (complex) berlandaskan
pengertian-pengertian dan pandangan serba dua yang
dinamakan:

SISTEM PIKIRAN.

Sistem pikiran ini, ananda, dapat dicirikan secara khas sebagai


sarana untuk membentuk dan mempertahankan kepribasian
perorangan dan dunia keadaan sekitarnya.

Jadi jelas, ananda, bahwa dunia benda ini ada dan berwujud
bukanlah oleh sebab diciptakan atau dijadikan oleh ”Sang
Pencipta” ataupun ”Sang Pikiran”, tidak, tidak demikian! Dunia
benda ini ada dan berwujud hanyalah olehsebab kemelekatan
pikiran kepada kebiasaan menanggapi pembedaanpembedaan
khayal..

224. Ananda:

Telah dikatakan, Bapa, bahwa pikiran itu sendiri telah membentuk


apa yang dinamakan sistim pikiran, dan dengan sistem pikiran itu
pikiran lalu membentuk dan mempertahankan kepribadian
perorangan dan dunia keadaan sekitarnya.

Sudikah bapa menerangkan, apakah yang dimaksud dengan


kepribadian perorangan itu?

104
225. Bapa:

Ananda, oleh sebab kemelakatan pikiran kepada khayalan palsu


maka tampaknya kepribadian perorangan itu sebagai terdiri dari 5
unsur penyusunan kepribadian, yaitu bentuk, perasaan,
penglihatan, pembedaan, dan kesadaran.

Kelima usur sebetulnya hanyalah berkodrat khayal, karena


mereka itu timbul dari pembedaan-pembedaan khayal sebagai
sebab musababnya.

Unsur bentuk, Ananda, itu dalah sesuatu yang dikhayalkan


sebagai terbuat dari zat, dengan tidak peduli akan apa dan
bagaimanakah sifat zat itu, sperti padat, cair,etheris, dan api.
Unsur bentuk ini dapat dilihat, diraba, atau dirasakan adanya.

Adapun empat unsur lainya, Ananda, itu sebenarnya tidak dapat


dinyatakan sebagai unsur, sebab mereka bercampur baur
menjadi satu, dan tidak dapat dilihat dan diraba, meskipun dapat
dinyatakan adanya oleh sebab akibat-akibat yang ditimbulkannya

Kelima unsur ini dinyatakan sebagai unsur penyusun kepribadian,


Ananda, karena suatu alasan, bahwasanya seseorang pribadi itu
mempunyai bentuk, dapat menyatakan perasaan, dapat melihat,
dapat membeda-bedakan, dan dapat menyadari perorangannya
(personalitasnya).

Unsur bentuk, itu adalah unsur yang mewakili apa yang


dinamakan keadaan lahiriah seseorang. Sedangkan unsur-unsur
perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran, itu adalah
unsur yang mewakilkan apa yang dinamakan keadaan bathiniah
seseorang. Singkatnya, Ananda, kepribadian seseorang itu lalu
105
terdiri dari keadaan-keadaan lahiriah dan bathiniah. Dan keadaan
bathiniah yang terdiri dari unsur-unsur perasaan, penglihatan,
pembedaan, dan kesadaran inilah, Ananda, yang dinyatakan oleh
pikiran berpikir sebagai kenyataan yang dapat menyatakan diri
selaku aku-pribadi (ego).

Ananda, bagaimana pendapatmu tentang keadaan lahiriah dan


keadaan bathiniah itu? Apakah mereka itu benar-benar
merupakan kenyataan?

226. Ananda:

Apa yang dinamakan keadaan lahiriah atau bathiniah itu


sebenarnya bukan kenyataan apa-apa, Bapa, sebab mereka itu
timbul dari pembedaan-pembedaan khayal sebagai sebab
musababnya. Apa yang dinamakan sebagai keadaan lahiriah dan
bathiniah itu tidak lain hanyalah konsepsi pikiran (mind
conception) yang timbul dari pikiran itu sendiri.

227. Bapa:

Bagus, Ananda, apa yang dinamakan lahiriah dan banthiniah itu


sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, keculai gagasan pikiran
yang timbul dari pikiran itu sendiri! Lalu bagaimana halnya
dengan aku pribadi (ego) itu, Ananda?

228. Ananda:

Mengenai apa yang dinamakan aku pribadi (ego), Bapa, itupun


bukan kenyataan, sebab ia timbul dari gagasan-gagasan yang
berkodrat khayal mengenai apa yang dinamakan 5 unsur-unsur
penyusun kepribadian perorangan.

106
229. Bapa:

Bagus!

Ananda, kepribadian perorangan, yang seolah-olah terdiri dari 5


unsur penyusun kepribadian, dan yang kemudian di kelompokan
menjadi unsur lahiriah dan unsur bathiniah, itu adalah buah hasil
yang dibentuk dan dipertahankan oleh apa yang dinamakan tata
sususnan pikiran atau sistem pikiran itu. Dan engkau mengenali,
ananda, bahwa tata susunan pikiran atau sistem pikiran itu sendiri
hanyalah timbul oleh sebab proses berpikir perorangan yang
berlandaskan pembedaanpembedaan serba dua yang berkodrat
khayal.

Dengan singkat dapat dinyatakan, Ananda, bahwa kepribadian


perorangan dan dunia keadaan sekitarnya itu ada dan berwujud
bukan karena diciptakan atau dijadikan oleh siap-siapa,
melainkan ia ada dan berwujud oleh sebab proses berpikir
perorangan yang tersalur melalui tata susunan pikiran atau sistem
pikiran, dan yang bersumber dari ketidak tahuan, pembedaan-
pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan.

Bagaiman, ananda, sudah dapat terjawab dengan cukup jelaskah


pertanyaanmu mengenai sebab musabab timbulnya dunia benda
itu?

230. Ananda:

Cukup jelas, Bapa! Dunia benda ini ada dan berwujud bukan
sebagai ciptaan ataupun sebagai kejadian, melainkan dunia
benda ini ada dan berwujud oleh sebab proses berpikir
perorangan yang tersalur melalui tata susunan pikiran, dan yang
107
bersumber dari ketidak tahuan, pembedaan khayal, kebiasaan
tanggapan, dan kemelekatan.

Bapa, dapatkah kiranya dijelaskan dengan cara yang lebih terang


mengenai proses bekerjanya tata susunan pikiran itu?

231. Bapa:

Ananda, tata sususna pikiran itu terdiri dari 5 alat-alat perasaan


(mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit tubuh), dan perasaan-
perasaan pikiran (senses) yang mengikutinya (penglihatan,
pendengaran, pembauan, pencicipan, dan perabaan), yang
kesemuanya itu di persatukan didalam pikiran membedakan
(discriminating mind), dan yang berhubungan dengan dunia
benda atau dunia luar (external world).

Tata susunan pikiran, Ananda, itu timbul dari kegiatan bathin


(mental activity) yang memisahkan pikiran dari perwujudannya
sendiri, dan yang selanjutnya mebeda-bedakan perwujudannya
sendiri itu sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-
kenyataan rupa dan nama yang mempunyai kodrat sendiri,
dimana rupa dan nama itu dibayangkan sebagai keadaan lahiriah.

Didalam proses bekerjanya tata susunan pikiran, Ananda,


keadaan lahiriah dan keadaa bathiniah itu merupakan dua unsur
atau dua faktor yang saling bersyarat, dan saling bergantung.
Artinya, unsur lahiriah ditentukan dan bergantung kepada unsur
bathiniah, dan sebaliknya, unsur bathiniah ditentukan dan
bergantung kepada unsur lahiriah.

Pertama-tama, Ananda, oleh sebab kodrat ketidak tahuan, maka


pikiran lalu melakukan pembedaan-pembedaan terhadap
108
perwujudannya sendiri, sehingga dengan demikian secara
serempak dan bersama-sama lalu timbul dan terlihat ”adanya:
berbagai bentuk dan rupa, seperti halnya matahari yang timbul
serempak dan bersama-sama dengan sinarnya.

Pada saat itu pula, Ananda, maka terjadilah ”kontak” diantara


alat-alat perasaan dengan dunia bentuk dan rupa, yang lalu diikuti
oleh bekerjanya perasaanperasaan pikiran didalam menanggapi
berbagai bentuk dan rupa itu sebagai kenyataan-kenyataan dunia
luat yang seungguh-sungguh ada dan berwujud.

Perasaan-perasaan pikiran (senses) itu lalu mengalir kedalam


pikiran membedakan, dan mengadakan kerjasama dengan cara
yang paling erat didalam menimbulkan gambaran-gambaran
(images) dan daripada berbagai bentuk dan rupa itu.

Putusan atas arti dan nilai ”baik” atau ”buruk:nya berbagai bentuk
dan rupa itu, Ananda, dipegang teguh dan dikukuhi oleh perasaan
pikiran sebagai kenyataan yang memang harus begitu, dan tidak
bisa lain, da akhirnya menjadi kebiasaan tanggapan.

Kebiasaan tanggapan itu, Andan, lalu disimpan dan ditimbun


didalam pikiran itu sendiri dabagai banyaknya dan macamnya
benda-benda, orang-orang, obyekobyek dengan segala arti dan
nilainya yang ”baik” ataupun yang ”buruk”.

Oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal berjalan terus,


Ananda, maka berbafai gambaran dan gagasan-gagasan pikiran
lalu timbul dan lenyap bergantiganti, terus menerus, dengan tak
ada henti-hentinya, sehingga benda-benda, orang-orang, obyek-
obyek, lahiriah itu lalu terlihat sebagai bergerak-gerak dan
berubah, seolah-olah mereka itu bergerak berubah karena
109
adanya seba-sebab dan syarat-syarat yang berada diluar pikiran
itu sendiri. Pikiran membedakan tidak menyadari dengan terang,
bahwa gerak perubahan daripada berbagai bentuk dan rupa itu
sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali pencerminan yang
menerangkan kegiatannya sendiri yang melakukan pembedaan-
pembedaan khayal itu.

Ananda, proses seperti itu berjalan terus tak ada putus-putusnya!


Hal-hal lihiriah menjadi sebab dan syarat adanya gambaran-
gambaran dan gagasan-gagasan yang berkodrat bathiniah,
sedangkan hal-hal bathiniah, oleh sebab kebiasaan tanggapan,
lalu terlihat oleh pikiran debagai bentuk dan rupa yang berkodrat
lahiriah. Dengan cara yang demikian itu, Ananda, maka benda-
benda, orangorang, dan obyek-obyek lahiriah itu lalu tampak
seolah-olah mepunyai adal mula kejadian (genensis), yaitu
dijadikan dan diciptakan oleh sesuatu ”penyebab”, dan yang
dikiranya ”penyebab” itu adalah ”Sang Pencipta”. Ini semua,
Ananda, adalah buah pekerjaan tata susunan pikiran yang
membentuk dan mempertahankan proses berpikir perorangan.
Nah, Ananda,setelah engkau mengenali, bahawa diantara
keadaan lahiriah dan bathiniah itu terdapat suatu hubungan saling
bersyarat dan saling bergantung, maka apakah hubungan
semacam itu dapat kau nyatakan sebagai hubungan ”sebab” dan
”akibat”?

Coba terangkan Jawabamu!

232. Ananda:

110
Bapa, diantara apa yang dinamakan keadaan lahiriah dan
keadaan bathiniah terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan
saling bergantung.

Hubungan semacam itu tentu saja tidak dapat dinyatakan sebagai


hubungan ”sebab” dan ”akibat”, karena apa yang diartikan
sebagai hubungan ”sebab” dan ”akibat”’ itu adalah khayalan
tentang adanya hubungan diantara dua kenyataan yang berpisah
dan berbeda kodratnya.

Sedangkan sebetulnya, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah


kenyataan apa-apa, kecuali kosepsi pikiran yang timbul dari
pikiran itu sendiri.

233. Bapa:

Bagus!

Jadi, Ananda, jikalau dunia benda ini tampak sebagai bergerak-


gerak dan berubah, maka gerak perubahan itu bukanlah
merupakan hasil bekerjanya sebab akibat, tidak, tidak demikian!
Gerak perubahan itu timbul karena bekerjanya tata susunan
pikiran yang melakukan pembedaan-pembedaan khayal, dan
yang tunduk kepada hukum hubungan sebab musabab yang
saling bergantung diantara hal-hal lahiriah dan bathiniah.

Dunia benda sebagai bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah


tergantung kepada gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan
pikiran yang berkodrat bathiniah, dan sebaliknya, gambaran-
gambaran dan gagasan-gagasan pikiran yang berkodrat bathiniah
bergantung kepada bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah.

111
Tetapi itu semua adalah bergantung kepada ketidak tahuan,
pembedaanpembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan
kemelekatan pikiran kepada rupa dan nama.

Nah, setelah dikenali akan kebenaran daripada Hukum Hubungan


Sebab Musabab yang saling bergantung itu, Ananda, maka
apakah yang dapat kaunyatakan tentang ”perbuatan-perbuatan”
itu? Apakah ”perbuatan-perbuatan” itu suatu kenyataan ataukah
bukan kenyataan? Terangkan Jawabmu!

234. Ananda:

Apa yang dinamakan ”perbuatan”, Bapa, itu adalah gerak


perubahan yang terputus-putus; sebab, jikalau tidak terjadi
pemutusan gerak perubahan, maka disitu tidak akan tampak
adanya ”perbuatan”.

Adapun gerak perubahan, itu timbul dari bekerjanya tata susunan


pikiran yang tak pernah putus-putusnya didalam melakukan
pembedaan-pembedaan khayal yang bersyarat hal-hal lahiriah
dan bathiniah yang saling bergantung. Ini berarti, bahwa gerak
perubahan itu sebetulnya adalah suatu kelangsungan kegiatan
yang tak pernah terputus. Dan oleh karena demikian, Bapa, maka
apa yang dinamakan ”perbuatan-perbuatan, itu adalah bukan
kenyataan!

235. Bapa:

Tepat sekali, Ananda!

Gerak perubahan, itu adalah merupakan pencerminan dari pada


kegitaran tata susunan pikiran didalam melakukan pembedaan-
pembedaan khayal. Dan oleh karena kegiatan tata susunan
112
pikiran didalam melakukan pembedaanpembedaan khyal itu
berlangsung terus dengan tidak ada putus-putusnya, maka gerak
perubahan itu sendiri sebagai pencerminannya, tentunya juga
tidak akan terputus-putus.

Gerak perubahan daripada dunia keadaan ini, Ananda, itu


bukanlah banyaknya dan macamnya ”perbuatan-perbuatan”.,
melainkangerak perubahan daripada dunia keadaan ini adalah
suatu kelangsungan kegiatan, bagaikan hubungan mata rantai
yang sambung menyambung menjadi satu rangkaian yang tak
pernah ada putusnya.

236. Ananda:

Bapa, selama ini akau menyenangi dan menyusahkan apa yang


seharusnya tidak perlu aku senangi dan aku susahkan. Aku telah
menyenangi dan menyusahkan sebagai rupa dan nama dengan
arti-arti dan nilai-nilai baik atau buruk, dengan tidak menyadari
secara terang, bahwa kesemuanya itu sebetulanya bukan
kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta di tanggapi oleh pikiran itu
sendiri.

237. Bapa:

Ananda, karena tidak mengenali akan hakekat daripada rupa dan


nama dengan segala arti-arti dan nilai-nilai lahiriah yang
berkodrat khayal mengenai apa yang baik dan apa yang buruk
itu, sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, dan kata-kata.

113
Nah, setelah engkai mengenali akan apakah sebetulnya sikap-
sikap, perbuatanperbuatan, dan kata-kata itu, Ananda, maka
semestinya engkau tidak perlu menderita lagi.

Bukankah begitu, Ananda?

238. Ananda:

Ya, semestinya memang begitu, Bapa! Tetapi, apakah sebetulnya


penderitaan itu, Bapa?

114
6. PENDERITAAN DAN KEBAHAGIAAN

239. Bapa:

Ananda, penderitaan itu adalah khayalan palsu yang ditanggapi


oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan rupa dan nama yang
mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk. Singkatnya,
penderitaan itu adlaah tanggapan khayal, Ananda!

Lalu bagaimana pendapatmu tentang kesenangan dan


kesusahan itu, Ananda?

Manakah yang tergolong sebagai penderitaan?

240. Ananda:

Kedua-duanya, Bapa!

Baik kesenangan, maupun kesusahan, kedua-duanya adalah


tergolong sebagai penderitaan, karena kedua-duanya adalah
tanggapan khayal daripada perasaan pikiran terhadap rupa dan
nama yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk.

241. Bapa:

Benar, Ananda, baik kesenangan, maupun kesusahan, kedua-


duanya tiu adalah tergolong penderitaan. Kesenangan dan
kesusahan adalah penderitaan yang hanya berbeda didalama
kemendalamannya (intensitasnya) saja. Kesenangan adalah
penderitaan dengan intensitas yang lebih ringan jikalua
dibandingkan dengan kesusahan.

Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya,


penghasilan Rp. 1.000,- sehari bagi abang tukang becak,
115
mungkin merupakan kesenangan luar biasa, namun bagi sang
pengusaha besar, penghasilan Rp. 1.000,- sehari tiu mungkin
merupakan kegagalan yang sangat menderitakan.

242. Ananda:

Lalu apakah bedanya atara kesehangan dan kebahagiaan, Bapa?

243. Bapa:

”Kesenangan: dan ”Kebahagiaan” itu apa? Bukankah


”kesenangan” dan ”kebahagiaan” itu hanya istilah atau nama
yang berasal dari pembedaanpembedaan kata-kata untuk
memberikan ciri (tanda) dan arti kepada sesuatu keadaan?

Menurut kebiasaan, Ananda, kebahagiaan itu diberikan arti sama


dengan kesenangan, itu boleh saja, dan tak ada halangan apa-
apa!

Tetapi, istilah ”kebahagiaan”, itu boleh juga dipakai untuk


menyatakan sesuatu arti yang berbeda daripada kesenangan,
yaitu untuk menyatakan berhentinya penderitaan. Dan
berhentinya penderitaan, itu berarti berhentinya kesenangan dan
kesusahan!

244. Ananda:

Telah dikatakan, Bapa, bahwa kebahagiaan itu adalah


berhentinya penderitaan; dan berhentinya penderitaan berarti
berhentinya kesenangan dan kesusahan.

Pengertian ini, Bapa, agaknya membingungkan, dan sukar


difahami, karena jikalau kesenangan dan kesusahan itu terhenti,

116
bukankah itu akan berarti suatu kematian? Dan jikalau seseorang
itu sudah mati, bagaimanakah kebahagiaan itu dapat
dirasakannya?

Bagaimanakah jelasnya, Bapa?

245. Bapa:

Ananda, engkau sudah mengenali, bahwa kesenangan dan


kesusahan itu adalah penderitaaan; dan penderitaan itu adalah
tanggapan khayal. Ini berarti, bahwa kesenangan dan kesusahan
itupun tanggapan khayal pula. Maksudnya, kesenangan dan
kesusahan itu adalah khayalan palsu yang di tanggapi oleh
perasaan pikiran sebagai kenyataan-kenyataan rupa dan nama
yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk.

Kesenangan dan kesusahan, Ananda, sebagai khayalan palsu,


kodratnya adalah bagaikan apa yang terlihat dalam mimpi. Dan
itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang
timbul dari pikiran itu sendiri.

Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!

Jikalau engkau menanggapi kesenangan dan kesusahan itu


sebagai kenyataankenyataan yang sungguh-sungguh, Ananda,
apakah engkau didalam keadaan bangun dan sadar te rang,
ataukah engkau didalam keadaan tidur bermimpi dan tidak sadar
terang?

246. Ananda:

Pada saat aku menanggapi kesenangan dan kesusahan sebagai


kenyataankenyataan yang sungguh-sungguh, Bapa, maka pada
117
saat itu sebetulnya aku berada didalam keadaan tidur bermimpi
dan tidak sadar terang.

247. Bapa:

Bagus!

Nah, didalam keadaan bangun dari tidur dan sadar terang,


Ananda, apakah engkau masih perlu menyibuki kesenangan dan
kesusahan yang berkodrat impian itu?

248. Ananda:

Tentu saja tidak, Bapa! Didalam keadaan bangun dan sadar


terang aku tidak memerlukan lagi kesenangan-kesenagnan dan
kesusahan-kesusahan yang hanya ada didalam mimpi itu, Bapa.

249. Bapa:

Nah, kalau demikain itu halnya, Ananda, maka jelaslah, bahwa


didalam keadaan bangun dan bangkit dari tidur bermimpi, dan
didalam keadaan sadar terang, semua kesenangan dan
kesusahan itu terhenti. Ini berarti, bahwa kesenangan dan
kesusahan itu berhenti pada saat engkau bangkit dan sadar
terang. Ananda, apakah bangkit dan sadar terang itu suatu
kematian?

250. Ananda:

Ya, ya, Bapa, sekarang aku mengerti!

Kesenangan dan kesusahan itu aku sibuki dan aku nikmati


didalam keadaan tidak sadar terang, karena aku berada dalam
keadaan tidur bermimpi. Begitu aku bangkit dan sadar terang,
118
maka disitu kesenangan dan kesusahan menjadi terhenti. Jadi,
kesenangan dan kesusahan itu berhenti pada saat aku bangkut
dan sadar terang. Sedangkan bangkit dan sadar terang itu
bukanlah berarti kematian, karena kematian itu ada dalam
keadaan tidaka sadar terang.

Bukankah begitu, Bapa?

251. Bapa:

Bagus, dan benar, Ananda!

Memang, kesenangan dan kesusahan itu terhenti didalam


kebangkitan dan sadar-terang. Kebangkitan (=kiyamat), dan
sadar terang (enlightened) itulah, Ananda, yang dimaksudkan
dengan kebahagiaan itu.

Kebahagiaan itu, Ananda, tidak ada sangkut pautnya dengan


perasaan-perasaan pikiran yang berkodrat perorangan. Artinya,
kebangkitan itu tidak dapat dicapai dan dihayati oleh perorangan
dengan kesadaran ”aku-pribadi” (kesadaran-ego).

Kebahagiaan adalah ”milik” seseorang yang sadar-terang, yaitu


sadar terang akan hakekat ”dirinya” sebagai Kenyataan Esa yang
hampa-zat, hampapembedaan, hampa-sebutan, dan hampa-
perbuatan.

Singkatnya, Ananda, kebahagiaan itu adalah terhentinya


penderitaan; dan berhentinya penderitaan itu adalah sadar
terang. Menghentikan penderitaan, Ananda, itu adalah mencapai
dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar terang itu.

119
Menghentikan penderitaan itu bukanlah ”berbelok” dan memasuki
jalan mencari kesenangan-kesenangan rupa dan nama dengan
segala arti dan nilai-nilai ”baik” atau ”buruk” yang berkodrat
khayalan-palsu itu.

252. Ananda:

Bapa, didalam rangka usaha untuk mencari dan merealisasi


sendiri (menyelami sendiri) sadar terang itu, yaitu merealisasi
berhentinya penderitaan, maka jalan apakah yang seharusnya
aku tempuh?

Sudikah Bapa memberikan penerangan yang sejelas-jelasnya?

253. Bapa:

Ananda, jikalau engkau mengatakan, bahwa engkau hendak


berusaha untuk menghentikan penderitaan, bukankah itu suatu
tanda yang menunjukkan bahwasanya engkau sadar dalam
keadaan menderita? Bagaimana, bukankah begitu, Ananda?

92

254. Ananda:

Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan, bahwa aku hendak


berusaha menghentikan penderitaan, maka perbyataan itu
menunjukkan bahwasanya aku saat ini sadar dalam keadaan
menderita.

Dan memang benar, Bapa, aku menderita di dunia ini!

255. Bapa:

120
Dan sebaliknya, Ananda, jikalau engkau hendak berusaha
mencari kebahagiaan, bukankah itu suatu tanda yang
menunjukkan bahwasanya engkau belum memperoleh
kebahagiaan?

Bagaimana, bukankah begitu, Ananda?

256. Ananda:

Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan, bahwa aku hendak


berusaha mencari kebahagiaan, maka pernyataan itu
menunjukkan bahwasanya aku saat ini belum memperoleh
kebahagiaan. Dan memang benar, Bapa, aku belum
memperolehkebahagiaan, karena aku sedang menderita didunia
ini!

257. Bapa:

Jadi tegasnya, Ananda, apakah engkau menyatakan hendak


menghentikan penderitaan, ataukah engkau menyatakan hendak
mencari kebahagiaan, keduadua pernyataan itu hanya
menunjukkan satu fakta saja, yaitu: engkau sedang menderita
didunia sekaran ini!

Ananda, penderitaan itu adalah fakta kehidupan duniawi; yaitu


fakta kehidupan yang dialami oleh semua manusia yang hidup
didalam dunia keadaan ini, tanpa kecualinya.

Meskipun hampir semua manusia dengan mudah mengucapkan


pernyataan:

”Aku berusaha menghentikan penderitaan”, atau ”Aku berusaha


mencari kebahagiaan”, namun tidak semua manusia mengerti
121
akan makna yang sebenarnya daripada apa yang sedang mereka
ucapkan itu! Kebayankan manusia mengucapkan apa yang
mereka tidak mengerti!

258. Ananda:

Telah dinyatakan, Bapa, bahwa kebanyakan manusia


mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti. Aku kurang dapat
memahami akan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan itu,
Bapa! Bagaimana jelasnya, Bapa?

259. Bapa:

Ananda, jikalau seseorang mengatakan: ”Aku menderita di dunia


ini”, tetapi tidak mengerti akan apa atau siapakah ”aku” itu, tidak
mengerti akan apakah ”dunia” itu, dan tidak mengerti akan
apakah ”penderitaan” itu, bukankah hal itu akan berarti, bahwa ia
tidak mengerti akan apa yang ia ucapkan?

Dan lagi, Ananda, jikalau seseorang mengatakan: Aku mencari


kebahagian di dunia ini”, tetapi tidak mengerti akan apa atau
diapakah ”aku” itu, tidak mengerti akan apakah ”dunia” itu, dan
tidak mengerti akan apakah ”kebahagiaan: itu, bukankah hal itu
akan berarti, bahwa ia tidak mengerti akan apa yang ia ucapkan?

260. Anada:

O, sekarang aku dapa memahami akan apa yang dimaksud oleh


pernyataan ”manusia mengucapkan apa yang mereka tidak
mengerti” itu, Bapa!

261. Bapa:

122
Jadi, Ananda, jikalau engkau hendak menghentikan penderitaan
didalam kehidupan dunia ini, maka pertama-tama engkau harus
mempunyai pengertian yang benar, tegas, dan jelas tentang hal
ikhwalnya tiga hal, yaitu: pertama,

engkau harus mengerti akan apa atau siapakah hakekatnya


”engkau-sendiri”, yang biasa kau sebutkan sebagai ”aku” itu;
kedua, engkau harus mengerti akan apakah hakekatnya ”dunia-
keadaan”, yang biasa kausebut sebagai keadaan ”lahiriah” dan
keadaan ”bathiniah” itu; dan ketiga, engkau harus mengerti akan
apakah hakekatnya ”penderitaan”, yang biasa kausebutkan
sebagai ”kesenangan” dan ”kesusahan” itu.

Ananda, kiranya dari hasil penelitian dan perenungan sendiri


melalui akal yang dipuncakkan, engkau sekarang telah dapat
mengerti dan mengenali akan hakekat ketiga hal tersebut itu tadi.
Coba nyatakan pengertianmu tentang ketiga hal itu, Ananda!

262. Ananda:

Pertama-tama tentang hakekat ”aku-sendiri”, yang biasanya


disebutkan sebagai ”aku”, Bapa!

”AKU” adalah pikiran melihat, yaitu pikiran itu sendiri, sebagai


satu-satunya

Kenyataan Esa yang hampa zat, hampa pembedaan, hampa


sebutan, hampa

kelahiran, dan hampa kematian.

Yang kedua tentang ”dunia kenyataa”!

123
Apa yang ada dan berwujud itu, baik yang lahiriah, maupun yang
bathiniah, itu semua bukan kenyataan apa-apa, kecuali
perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat
serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Atau dengan lain
perkataan dapat dinyatakan, bahwa segala apa yang ada dan
berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali
perwujudan bayangan ku yang timbul daripada-ku, dan terlihat
olehku sendiri.

Dan yang ketiga tentang „penderitaan“!

Penderitaan, itu adalah tanggapan khayal yang timbul dari tata


susunan pikiran yang melakukan proses berpikir perorangan. Dan
berhentinya pendertiaan, itu adalah Kebahagiaan, yaitu
kebangkitan dan sadar terang.

Demikianlah, Bapa, pengertian tentang hakekat ”Aku”, dunia


keadaan, dan penderitaan itu!

263. Bapa:

Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda!

Dan jikalau engkau bertanya mengenai Jalan yang harus


ditempuh untuk merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar
terang, yatu merealisasi sendiri berhentinya penderitaan, Ananda,
maka terlebih dahulu engkau harus mengerti dan mengenali akan
sebab musabab yang menimbulkan penderitaan itu.

Dan sekarang engkau sudah dapat mengenalinya. Coba,


Ananda, terangkan apa yang menjadi sebab musabab timbulnya
penderitaan itu!

124
264. Ananda:

Sebab musabab timbulnya penderitaan adalah ketidaktahuan


(kebodohan), Bapa!

Karena kodrat ketidak tahuan itu, maka pikiran lalu melakukan


kekeliruan yang besar lagi mendasar, yaitu dengan menyusun
proses berpikir perorangan yang berwujud sebagai apa yang
dinamakan tata susunan pikiran.

Tata susunan pikiran itu, Bapa, yang dapat dicirikan secara khas
sebagai pembentuk proses perorangan, melakukan kegiatannya
berlandaskan pembedaan-pembedaan, kebiasaan tanggapan,
dan kemelekatan kepada rupa dan nama yang diberi arti dan
nilai-nilai yang serba dua.

Dengan singkat dapat dikatakan, Bapa, bahwa sebab musabab


timbulnya penderitaan adalah ketidak tahuan, dimana ketidak
tahuan itu berwujud sebagai tata susunan pikiran yang
membentuk proses perorangan melalui pembedaan, kebiasaan
tanggapan, dan kemelekatan.

265. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Nah, setelah sebab musabab timbulnya penderitaan itu dikenali,


Ananda, maka Jalan yang harus ditempuh untuk merealisasi
berhentinya penderitaan lalu menjadi jelas.

Jalan yang harus ditempuh untuk menghentikan penderitaan


adalah menghentikan ketidak tahuan; menghentikan
ketidaktahuan adalah menghentikan bekerjanya tata susunan
125
pikiran; menghentikan bekerjanya tata susunan pikirana adalah
menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi
pembedaan-pembedaan khayal. Jadi, Ananda, untuk
menghentikan penderitaan, yang berarti merealisasi sadar terang
atau kebahagiaan penderitaan, yang berarti merealisasi sadar
terang atau kebahagiaan itu adalah dengan menempuh jalan
menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi
pembedaan-pembedaan khayal.

266. Ananda:

Telah dikatakan, Bapa, bahwa berhentinya penderitaan, itu


adalah berhentinya kesenangan, maupun kesusahan, itu adalah
penderitaan itu juga. Dan aku pernah berpendapat, Bapa, bahwa
berhentinya kesenangan dan kesusahan itu berarti kematian.
Tetapi ternyata, bahwa berhentinya kesenangan dan kesusahan
itu bukanlah kematian, melainkan berhentinya kesenangan dan
kesusahan itu adalah kebangkitan dan sadar terang.

Dalam hubungan itu, Bapa, lalu apakah makna daripada


”kematian”itu sendiri?

Dan bagaimanakah hubungannya dengan”tubuh” dan ”jiwa” atau


”sukma” itu?

Sudikah Bapa menjelaskan?

126
7. HIDUP DAN MATI

267. Bapa:

Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang apakah sebetulnya


makna daripada apa yang dinamakan ”kematian” itu, Ananda,
maka aku hendak bertanya lebih dahulu kepadamu!

Ananda, menurut pengertian benar, apakah ”tubuh” itu Kenyataan


atau bukan kenyataan?

268. Ananda:

”Tubuh” itu ada dan terwujud, Bapa, dan oleh karena itu, ”tubuh”
tergolong sebagai kebenaran rupa dan nama. Sebagaimana
kebenaran rupa dan nama yang berkodrat khayalan palsu, Bapa,
maka ”tubuh” itu bukan kenyataan apa apa, kecuali perwujudan
gambar-pikiran yang timbul dari pikiran,dan dilihat setaditanggapi
oleh pikiran itu sendiri.

269. Bapa:

Bagus! Lalu bagaimanakah pendapatmu tentang ”tubuh” itu,


Ananda? Dapakah ”tubuh” itu dirusak dan dihancurkan?

270. Ananda:

Karena ”tubuh” itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan


pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka ”tubuh” itu
tidak dapat dirusak dan dihancurkan!

271. Bapa:

127
Tetapi, Ananda, menurt fakta duniawi, bukankah ”tubuh” itu dapat
rusak dan hancur? Bagaimanakah keteranganmu tentang hal itu,
Ananda?

272. Ananda:

Benar, Bapa, menurut fakta duniawi ”tubuh” itu dapat rusak dan
hancur. Tetapi, Bapa, apa yant terlihat sebagai ”rusak” dan
”hancur” itu sebetulnya tidak lain adalah gerak perubahan;
sedangkan gerak perubahan itu sendiri sebetulnya bukanlah
kenyataan apa-apa, kecuali pencerminan yang menerangkan
sendiri tentang timbul dan tenggelamnya pergantian-pergantian
gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab
pembedaan-pembadaan khayal.

273. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Memang, ”tubuh” itu tidak dapat dirusak dan dihancurkan, karena


apa yang terlihat sebagai kerusakan dan kehancuran itu tidak lain
hanyalah perwujudan daripada timbul dan tenggelamnya
pergantian-pergantian gagasan pikiran oleh sebab pembedaan-
pembedaan khayal. Hanya karena kemelekatan pikiran kepada
kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal itulah,
maka lalu terlihat seolah-olah ”tubuh” itu adalah kenyataan yang
dapat rusak dan hancur!

Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu tentang apa yang


dinamakan ”Jiwa”, atau ”sukma” itu, Ananda!

Bagaimana menurut pendapatmu, Ananda, apakah ”Jiwa” atau


”Sukma” itu kenyataan, ataukah bukan kenyataan?
128
274. Ananda:

Menurut sementara pujangga, Bapa, ”Jiwa” atau ”Sukma” itu


adalah kenyataan Esa yang tak pernah terlahir, tak pernah mati,
dan kekal selama-lamanya sebagai sebab pertama yang
menjadikan dan menghidupkan segala apa yang ada dan
berwujud ini.

Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” dispekulasikan sebagai ”sebab


pertama” yang menjadikan dan menghidupkan segala apa yang
ada dan berwujud ini, maka pengertian ”jiwa” atau ”sukma”
semacam itu tidak dapat aku terima sebagai kenyataan!
Sebabnya adalah, bahwa ”sebab pertama” itu tidak lain hanyalah
gagasa pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab
kemelekatannya kepada pembedaan-pembedaa serba dua
mengenai ”sebab” dan ”akibat”

Dan jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu dispekulasikan sebagai


kenyataan esa yang mempunyai kodrat sendiri untuk melakukan
perbuatan menjadikan dan menghidupkan, maka pengertian
”Jiwa” atau ”sukma” semacam itu pun tidak dapat aku terima
sebagai kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”kodrat sendiri” itu
tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu
sendiri oleh sebab kemelekatannya kepada rupa, nama dan
perbuatan-perbuatan.

Tetapi, Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu diartikan sebagai


kenyataan Esa yang hampa zat, hampa pembedaan, hampa
sebutan, dan hampa perbuatan, dan yang oleh karenanya lalu
berarti hampa sebab dan hampa kodrat sendiri, maka pengertian

129
”jiwa” atau ”sukma” seperti itu dapat aku terima sebagai
Kenyataan.

276. Bapa:

Bagus, bagus, Ananda, bagus!

“Jiwa” atau “sukma” yang dispekulasikan oleh sementara


pujangga sebagai “sebab pertama” yang mempunyai “kodrat
sendiri” untuk melakukan perbuatan menjadikan dan
menghidupkan, itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan
pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri. Dan oleh karena itu,
maka “jiwa” atau “sukma” seperti itu adalah berkodrat khayalan
palsu.

Ananda, sekarang kembali kepada pertanyaanmu tentang apa


yang dinamakan ”kematina” itu!

”Kematian, Ananda, jikalau diartikan sebagai ”kerusakan” atau


”kehancuran” daripada ”tubuh”, maka ”kematian” seperti itu tidak
lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri,
dan yang kodratya adalah khayalan palsu.

276. Ananda:

Dan jikalau ”kematian” itu di artikan sebagai perginya ”jiwa” atau


”sukma” yang meninggalkan tubuh, Bapa, lalu bagaimana?

277. Bapa:

Ananda, apakah ”tubuh” itu suatu tempat, atau suatu yang


memerlukan tempat?

278. Ananda:
130
Karena ”tubuh” itu hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari
pikiran itu sendiri, Bapa, tentunya ”tubuh” itu bukan suatu tempat,
dan bukan pula sesuatu yang memerlukan tempat.

279. Bapa:

Nah. Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa ”tubuh” itu bukan


suatu tempat, dan juga bukan sesuatu yang memerlukan tempat,
apakah ada sesuatu yang dapat meninggalkan :tubuh” itu?

100

280. Ananda:

Tentu saja tidak, Bapa!

Kalau begitu jelas, Bapa, bahawa ”jiwa atau ”sukma” itu bukanlah
kenyataan yang :pernha datang kepada ” tubuh” atau pergi
meninggalkan ”tubuh”.

Datang dan perginya ”Jiwa” atau ”sukma” itu tidak lain hanyalah
gagasan pikiran yang timbul dari kemelekatan pikiran kepada
ruap, nama, dan kodrat sendiri.

281. Bapa:

Ananda, manusia dengan kesadaran ”aku pribadi” (kesadaran


ego) itu mempunyai cara berpikir yang tersalur melalui tata
susunan pikiran yang berkodrat perorangan, dan melekat kepada
berbagai rupa dan nama yang dikiranya mempunyai zat sendiri
dan kodrat sendiri.

Oleh karena demikian, Ananda, maka manusia dengan


kesadaran ”aku Pribadi” (kesadaran ego) lalu takut kepada
131
kerusakan tubuh, takut kepada kehancuran tubuh, takut
kehilangan jiwa, takut kehilangan sukma, takut kehilangan nyawa,
taku kehilangan roh, pendek kata: mereka takut sakit dan taku
mati.

Mereka ingin dan berusaha untuk mempertahankan hidup


perorangannya, yang dikiranya sebagai terdidi dari ”tubuh” dan
”jiwa” yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri, dan
berkelana kemana-mana untuk mencari kesenangankesenangan
rupa dan nama.

Mereka lalu melekat kepada sikap-sikap, perbuatan-perbuatan,


kata-kata, kecakapan-kecakapan, pandangan-pandangan filsafat,
dan hal yang serba dua, seolah-olah kesemuannya itu adalah
banyaknya dan macamnya kenyataankenyataan.

Mereka tidak dapat menyadari dengan terang, bahwa


kesemuanya itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali
buah hasil proses berpikir perorangan yang berkodrat khayalan
palsu, yang di bentuk dan dipertahankan oleh tata susunan
pikiran.

Jadi, Ananda, selama tata susunan pikira itu belum terhenti, maka
disitu akan selalu terdapat kesadaran ”aku pribadi”; dan selama
masih terdapat kesadaran ”aku pribadi”, maka disitu manusia
hidup dalam dunia gambaran khayal yang kodratnya bagaikan
tidur bermimpi, dan tidak dapat merealisasi sendiri sadar terang.

Sebaliknya, Ananda, jikalau tata susunan pikiran itu berhenti


bekerja, maka disitu terdapat ”pembalikan”” dari kesadaran ”aku
pribadi” kepada kesadaran ”Aku Kenyataan Esa” (kesadaran

132
esa); dan dalam kesadaran esa, manusia hidup dalam realisasi
kebagkitan dan sadar terang.

Tegasnya, Ananda, didalam kesadaran ego, maka manusia itu


berada didalam kodrat tidur bermimpi, dan tidak sadar terang.
Didalam kodrat tidur bermimpi dan tidak sadar terang inilah,
Ananda, makna dan arti yang sebetulnya mengenai apa yang
disebut sebagai maut dan mati itu.

Dan didalam kesadaran esa, Ananda, maka manusia berada


dalam kodrat kebangkitan dan sadar terang. Didalam kodrat
kebangkitan dan sadar terang (enlightened) inilah, Ananda,
makna dan arti yang sebetulnya mengenai apa yang di sebut
sebagai Hidup Kekal yang tiada kematian.

282. Ananda:

Mengertilah aku sekarang, Bapa, bahwa soal mati dan hidup itu
bukanlah soal pembedaan-pembedaan rupa dan nama,
melainkan soal realisasi sadar terang.

Tidak sadar terang itu artinya tidak tahu mana yang kenyataan,
dan mana yang bukan kenyataan; tidak tahu mana yang
kenyataan dan manya yang bukan kenyataan itu artinya tidak
tahu apa-aoa; dan tidak tahu apa-apa itulah pikiran ”tertidur” dan
”mimpi” atau mati.

Sebaliknya, sadar terang itu artinya tahu nama yang


sesungguhnya kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan
kenyataan,; tahu mana yang sesungguhya kenyataan, dan mana
yang sesungguhnya bukan kenyataan itu artinya
sungguhsungguh bangun dan bangkit dari ”tidak bermimpi”; dan
133
sungguh-sungguh bangundan bangkit dari ”tidur bermimpi” itulah
bangkit dari kematian atau hidup. Bukan begitu, Bapa?

283. Bapa:

Benar, Ananda, memang begitu!

Jadi selama pikiran terpenjara didalam tata susunan pikiran hasil


rekaannya sendiri, Ananda, maka disitu pikiran lalu ”tertidur: dan
tidak sadar terang. Itulah kematian atau maut! Dan begitu pikiran
melepaskan diri dari kemelekatannya kepada tata susunan
pikiran, maka disitu pikiran lalu ”bangkit” dan sadar terang.

Itulah bangkit dari kematian (kiyamat) atau hidup!

284. Ananda

Telah dikatakan, Bapa, bahwa begitu pikiran melepaskan diri dari


kemelekatannya kepada tata susunan pikiran, maka pikiran lalu
”bangkit” dan sadar terang. Ini berarti, bahwa melepaskan
kemelekatan pikiran kepada tata susuana pikiran, itu adalah jalan
menuju kebangkitan dan sadar terang, atau jalan menuju hidup.

Tetapi, Bapa, meskipun jalan sudah diketahui, namun jikalau cara


menempuh jalan itu belum diketahui, maka hal itu mungkin akan
menyebabkan kegagalan untuk dapat sampai kepada tujuan.
Sudikah Bapa emnerangkan mengenai cara menempuh jelan
kebagkitan yang menuju kepada hidup itu?

134
8. JALAN KEBANGKITAN DAN USAHA PENYELAMAN-SENDIRI

285. Bapa:

Ananda, engkau telah mengenali, bahwa kesadaran ego adalah


kematian; dan ”pembalikan” pikiran dari kesadaran ego kepada
kesadaran esa adalah bangkit dari kematian, dan hidup sadar
terang. Dan ”pembalikan” itu terjadi, Ananda, ketika tata susunan
pikiran berhenti melakukan kegiatannya.

Untuk dapat mengeti akan cara bagaimanakah merealisasi


berhentinya tata susunan pikiran, Ananda, bagi yang belum
pernah menyelami sendiri sadar terang, maka masih diperlukan
bantuan berupa petunjuk dan ajaran.

Ananda, jikalau kita berbicara perihal petunjuk dan ajaran, maka


disitu terdapat dua hal yang saling berkaitan, dan yang kodratnya
harus dimengerti dengan sungguh-sungguh, yaitu mengenai kata-
kata dan arti.

Ajaran, Ananda, disampaikan untuk menunjukkan arti dari pada


kenyataan, supaya kodrat kenyataan itu dapat dikenali. Dan
menunjukkan arti, Ananda, dilakukan dengan menggunakan kata-
kata yang dijadikan nama-nama, sebab tanpa menggunakan
kata-kata dan nama-nama, maka arti itu tidak dapat dinyatakan
dan tidak dapat ditunjukkan.

Untuk lebih jelasnya, Ananda, inilah sebuah perumpamaan!

Misalnya saja, Ananda, aku hendak menunjukkan kepadamu


akan arti daripada madu, yang belum pernha kaukenali
sebelumnya. Kemudian aku berbicara kepadamu: ”Ananda, madu
itu manis”.
135
Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Apakah dengan
kata-kata yang bunyinya ”madu itu manis” engkau sudah dapat
mengenali kesungguhan daripada madu yang manis itu, Anada?

286. Ananda:

Tentu saja belum, Bapa! Hanya dengan mendengar bunyi kata-


kata “madu itu manis”, Bapa, belum berarti, bahwasanya aku
sudah dapat mengenali kesugguhan daripada madu manis itu.

287. Bapa:

Betul! Jadi hanya mengenal akan bunyi kata-kata “madu itu


manis”, belum berarti bahwasanya engkau telah mengenali akan
kesungguhan arti daripada madu yang manis itu.

Lalu, untuk dapat mengenali kesungguhan arti daripada madu


yang manis itu, Ananda, apakah yang seharusnya kau lakukan?

288. Ananda:

Untuk dapa mengenali kesungguhan arti daripada madu yang


manis itu, Bapa, maka aku harus mencicipi sendiri madu itu!

289. Bapa:

Benar, Ananda!

Untuk mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis


itu, maka engkau harus mencicipi sendiri madu itu, dan engkau
harus menghayati dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri).
Arti daripada kenyataan, itu tidak dapat dikenali melalui peryataan
kata-kata dan nama-nama. Arti, Ananda, itu berdiri sendiri,

136
dan tidak bergantung kepada apa atau siapapun; arti tidak
bergantung kepada kata-kata dan nama-nama yang digunakan.

Arti adalah hampa syarat dan hampa pembedaan!

Itulah kodratnya arti.

290. Ananda:

Lalu bagaimanakah kondratnya kata-kata dan nama-nama itu,


Bapa?

291. Bapa:

Ananda, nama-nama itu bergantung kepada kata-kata;


sedangkan kata-kata itu timbul dari pembedaan-pembedaan
sebagai sebab musababnya.

Kata-ktaa, Ananda, dibeda-bedakan secara khayal menurut


bentuknya dan bunyinya huruf-huruf. Kata-kata itu timbul dari
pembedaan-pembedaan suara yang dikhayalkan oleh tata
susunan pikiran sebagai kenyataan rupa, yang kemudian
diberikan arti dan nilai-nilai khayal ”begini” atau ”begitu” seolah-
olah kata-kata itu sama dengan benda.

Kata-kata, Ananda, yang sudah diberikan arti-arti dan nilai-nilai


khayal, itulah yang disebut nama. Nama-nama itu dikhayalkan
oleh tata susunan pikiran sebagai benda-benda yang mempunyai
zat sendiri dan kodrat sendiri, sehingga akhirnya seseorang lalu
berkata: ”Jikalau begitu itu namanya, maka begitu itulah
bendanya”.

137
Singkatnya, Ananda, kata-kata dan nama-nama itu adalah
kebenaran rupa yang kodratnya khayalan palsu, dan timbul
dibawah syarat pembedaan-pembedaan khayal.

Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah mengenai kodrat arti dan


kodrat kata-kata dan nama-nama?

292. Ananda:

Cukup jelas, Bapa!

Mengenai arti daripada daripada kenyataan itu tidak sama


dengan mengenal arti daripada kata-kata dan nama-nama,
karena kenyataan itu tidak sama dengan kata-kata dan nama-
nama.

Mengenal arti daripada kenyataan itu hanya dapat dicapai


dengan cara merealisasi sendiri atau menyelami sendiri
kenyataan itu dan mengenal arti daripada kenyataan itu tidak
dapat dicapai dengan cara mengenal arti kata-kata.

293. Bapa:

Bagus sekali, Ananda!

Mengenai arti daripada Kenyataan, itu hanya dapat diusahakan


dengan merealisasi sendiri atau menyelami sendiri Kenyatan itu!
Ingat baik-baik hal ini!

Mengenai arti daripada Kenyataan tidak dapat diusahakan


dengan hanya mengerti arti kata-kata (literal meaning), karena
kata-kata bukanlah Kenyataan itu sendiri.

138
Kata-kata, Ananda, hanyalah bagaikan papan penunjuk jalan
yang menunjukkan kiblat (arah), kearah mana seharusnya
engkau menghadapkan perhatianmu dan kemudia berjalan agar
supaya engkau mengerti dan tidak tersesat jalan. Tetapi, Ananda,
untuk dapat mencapai dan menemukan tujuanmu, maka engkau
harus berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh jalan itu.

Sebagai perumpamaan, Ananda, engkau boleh saja mengerti apa


yang diterangkan oleh papan penunjuk jalan itu, bahwa jarak
Jakarta ke Surabaya itu adalah 800 kilometer, dan di Surabaya itu
terdapat sebuah tugu pahlawan, tetapi jikalau papan penunjuk
jalan itu hanya kau baca dan kau mengerti saja dengan tidak mau
berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh jalan 800
kilometer itu, maka engkau tidak akan pernah sampai di
Surabaya, Ananda, dan engkau tidak akan pernah melihat sendiri
tugu pahlawan itu!

Demikian pula halnya dengan Kenyataan, Ananda!

Engkau boleh mengerti dengan segala kekuatannya arti kata-kata


dan pengertian benar mengenai kenyataan Sadar Terang, tetapi
jikalau engkau tidak mau berusahan sendiri untuk merealisasi
sendiri atau menyelami sendiri arti daripada Kenyataan dan
Sadar Terang itu, maka engkau tidak bakal sampai kepada
Kenyataan dan Sadar Terang.

Ananda, aku sekarang hendak menerangkan kepadamu tentang


cara menmpuh jalan kebangkitan menuju kepada Sadar Terang
dengan menggunakan katakata!

Tetapi, hati-hatilah, hendaknya engkau tidak terlibat didalam


menganalisa dan menguraikan arti kata-kata daripada kata-kata
139
yang aku gunakan! Cobalah engkau berusaha sendiri untuk
mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan!

294. Ananda:

Bagaimanakah tegasnya, Bapa, mengerti dengan menembusi arti


daripada Kenyataan itu?

295. Bapa:

Ananda, mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan,


itu adalah mengerti, bahwa segala rupa dan nama itu ”ada” hanya
sebagai gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, dan
bukan Kenyataan dunia luar. Dan menyelami sendiri arti daripada
Kenyataan itu, Ananda, adalah memperlakukan segala rupa dan
nama itu sebagai perwujudan ”engkau-sendiri”, dan tidka
memperlakukan segala rupa dan nama itu sebagai dunia luar
yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri. Bagaimana,
Ananda, cukup jelas?

296. Ananda:

Cukup Jelas, Bapa!

Sekarang, sudikah Bapa meruskan penerangan mengenai cara


menempuh jalan kebangkitan yang menuju kepada Sadar Terang
itu?

297. Bapa:

Ananda, jikalau engkai sudah hampir dapat memuncakkan


akalmu, sehingga engkau dapat mengerti, bahwasanya segala
rupa dan nama yang ada dan berwujud ini adalah bukan

140
kenyataan apa-apa, kecuali wujudan pikiran yang timbul dari
pikiran, dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka disitu dikatakan,
bahwa engkau sudah dapat mencapai Pengertian - Benar.
Mencapai pengertian benar itu, Ananda, dapat diperumpamakan
sebagai seseorang yang ”terbangun” dari tidur dan impiannya.

Ananda, sebagai biasanya orang yang ”terbangun” dari tidurnya,


ia tidak segera ”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat
tidurnya, melainkan masih saja menggolek-golek bagannya disitu.
Dalam keadaan setengah sadar ia mengenangkan kembali apa-
apa yang telah terjadi didamal impiannya dengan segala
kesenangan dan kesusahannya. Nah, disini terjadi dua
kemungkinan, Ananda, yaitu jatuh ”tertidur” lagi, atau ”bangkit”
lalau berjalan meninggalkan tempat tidurnya.

Didalam hal dia yang bermimpi tentang peristiwa-peristiwa


menakutkan dan menyusahkan, Ananda, maka pada saat ia
:terbangun” dari mimpinya bertanyalah ia pada dirinya sendiri:
”Apakah yang terjadi tadi itu sungguhsungguh ataukah bukan
sungguh-sungguh? Setelah disadari, bahwa apa yang terjadi
dalam mimpi tadi itu bukan sungguh-sungguh, dan hanya sia-sia
belaka, maka ”bangkit”-lah ia dan berjalan meninggalkan tempat
tidurnya.

Tetapi, sebaliknya, bagi dia yang bermimpi tentang hal-hal yang


serba menyenangkan, Ananda, maka pada saat ia ”terbangun” ia
tidak bertanya apaapa lagi, bahkan justru ingin meneruskan
impiannya.

Nah, seperti demikian itu pulalah halnya, Ananda, bagi mereka


yang sudah dapat mencapai pengertian benar. Ia mengerti,

141
bahwa kepribadian aku dan dunia lahiriah sekitarnya itu bukan
kenyataan apa-apa, namun karena begitu kuatnya
kemelekatannya kepada kebiasaannya menanggapi rupa dan
nama sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan
yang diperlukan dan dibutuhkan didalam kehidupan ini, maka ia
tidak mempunyai cukup kekuatan kemauan untuk segera
”bangkit” dan berjalan merealisasi sendiri Kenyataan untuk
segera ”bangkit” dan berjalan merealisasi sendiri Kenyataan
Sadar Terang.

Ia tetap tinggal bergolek-golek di ”tempat tidur” pembedaan-


pembedaan rupa dan nama, sambil terus menerus berkata-kata
tentang berbagai segi (aspek) daripada pengertian benar.

Ananda, engkau telah mengenali, bahwa jalan menuju


kebangkitan sadar terang, itu adalah menghentikan kegiatan
bekerjanya tata susunan pikiran. Tetapi engkau tidak akan dapat
menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran, jikalau
engkau tidak menghentikan sesuatu yang menyangga hidupnya
tata susunan pikiran itu, Ananda!

298. Ananda:

Lalu, apakah ”sesuatu” yang menyangga hidupnya tata susunan


pikiran itu, Bapa?

299. Bapa:

Ada dua cara, Ananda, bagaiman tata susunan pikiran itu


berhenti melakukan kegiatannya, yaitu: pertama, dengan
memutuskan ”kontak” diantara alat-alat perasaan dengan dunia
luar; dan kedua, dengan menghentikan pembedaanpembedaan
142
rupa dan nama.

Ananda, tatkala ”kontak” diantara ala-ala perasaan dan dunia luar


diputuskan, maka disitu tidak timbul perasaan-perasaan pikiran;
dan dengan tidak timbulnya perasaan-perasaan pikiran, maka
disitu kebiasaan tanggapan menjadi terhenti.

Dengan berhentinya kebiasaan tanggapan, Ananda, maka


pembedaanpembedaan rupa dan nama terhenti pula. Dan oleh
karena pembedaanpembedaan ruap dan nama terhenti, maka
disitu tugas (fungsi) berpikir perorangan terhenti pula, yang ini
berati kegiatan tata susunan pikiran menjadi terhenti. Dengan
berhentinya kegiatan tata susunan pikiran, maka terjadilah
”pembalikan” dari kesadaran ego kepada kesadaran kenyataan
esa, yaitu kebangkitan pikiran dari kematiannya. Maka dengan
demikian terealisasihlah sadar terang atau hidup kekal yang tak
berkematian itu!

Yang kedua, Ananda, tata susunan pikiran itu terhenti, tatkala


pembedaanpembedaan rupa dan nama itu dihentikan. Ananda,
setelah dimengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa rupa dan
nama itu adalah pengertian-pengertian timbul dan tenggelamnya
gagasan-gagasan pikiran terus-menerus dengan tak pernah
terputus-putus, maka gerak perubahan daripada dunia lahiriah ini
tidak dilihat lagi sebagai banyaknya dan macamnya rupa dan
nama yang mempunyai kodrat sendiri, melainkan gerak
perubahan dunia lahiriah ini terlihat sebagai kelangsungan
kegiatan yang tak pernah terputus. Dan setelah dunia lahiriah ini
terlihat sebagai kelangsungan kegiatan semata-mata, Ananda,
maka disitu berhentilah pembedaan-pembedaan perorangan
dengan segala sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, baik
143
yang dinilai sebagai baik, maupun yang dinilai sebagai buruk.
Dan dengan berhentinya pembedaan-pembedaan rupa dan nama
yang berkodrat perorangan dan serba dua itu, Ananda, maka
berhenti pulalah kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran.
Dengan berhentinya kegiatan tata susunan pikiran itu, maka
terealisasilah kebangkitan dan sadar terang atau hidup kekal
yang tek berkematian itu!

Ananda, kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai


melalui khotbahkhotbah, pidato-pidato, ajaran-ajaran arti kata-
kata, dan pengertian-pengertian serba dua, tidak, tidak dapat
dicapai dengan cara begitu itu! Kebangkitan dan sadar terang
haya dapat dicapai dengan diusahakan sendiri, dan direalisasi
sendiri melalui penyelaman diri, yaitu ”membalikkan” kesadaran
ego kepada kesadaran esa dengan cara menghentikan kegiatan
bekerjanya tata susunan pikiran yang berkodrat perorangan.

300. Ananda:

Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa mencapai pengertian benar itu


dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang ”terbangun” dari
tidur mimpinya. Dan bagi seseorang yang sudah ”terbangun”,
barulah terbuka kemungkinan untuk ”bangkit” dan berjalan
meninggalkan tempat tidurnya.

Dan seperti itu pulalah halnya dengan realisasi kebangkitan dan


sadar terang.

Bagi seseorang yang sudah dapat mencapai pengertian benar,


maka barulah terbuka kemungkinan baginya untuk menrealisasi
kebangkitan dan sadar terang.

144
Menurut faktanya, Bapa, pengertian benar itu dicapai oelh
seseorang dengan melalui batuan orang lain berupa petunjuk dan
ajaran. Tetapi, mengapakah lalu dikatakan, bahwa kebangkitan
dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui ajaran?

145
9. SISWA, GURU, DAN AJARAN

301. Bapa:

Ananda, ajaran dari seorang guru itu perlu bagi seseorang yang
membutuhkan pengertian, dan karena membutuhkan pengertian,
maka seseorang lalu bertanya. Jadi, bertanya, itu adalah ”tanda”
bagi seseorang yang membutuhkan pengertian. Tetapi, didalam
hubungannya dengan kebangkitan dan sadar terang, Ananda,
yang diperlukan oleh seseorang bukanlah pengertian arti kata-
kata atau pengertian harfiah (literal meaning), melainkan
pengertian benar, yaitu mengerti, bahwa segala apa yang ada
dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apaapa, kecuali
perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat
serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.

Sebagai contoh misalnya, jikalau seseorang hendak pergi ke


Surabaya, dandisana ia hendak melihat tugu pahlawan, maka
terlebih dahulu ia memerlukan pegertian tentang hal ikhwalnya
bepergian ke Surabaya itu. Dan oleh karena ia memerlukan
pengertian tentang hal ikhwalnya bepergian ke Surabaya itu,
maka ia lalu bertanya kepada seseorang lain yang sudah pernah
pergi kesana untuk mendapatkan petunjuk dan ajaran.

Dan setelah pengertian itu dicapai dan diperolehnya, Ananda,


maka soal perginya atau tidak perginya ke Surabaya itu sendiri,
bukanlah persoalannya seseorang yang memberikan petunjuk
dan ajaran itu, dan juga bukanlah persoalan petunjuk dan ajaran
itu sendiri, melainkan persoalan usaha sendiri, dan realisasi –
sendiri daripada orang yang sudah mencapai pengertian itu.

146
Begitu pulalah halnya dengan kebangkitan dan sadar terangnitu,
Ananda!

Setelah seseorang mencapai pengertian benar, Ananda, maka


soal mau bangkit dan dan merealisasikan sadar terang atau tidak
mau bangkit merealisasikan sadar terang, itu bukanlah persoalan
orang yang memberikan petunjuk dan ajaran, dan juga bukanlah
persoalan ajaran dan pengertian benar itu sendiri, melainkan
persoalan usaha-sendiri dan merealisasi-sendiri (penyelaman-
sendiri) daripada orang yang sudah mencapai pengertian benar
itu. Dan itulah sebabnya, mengapa lalu dikatakan, bahwa
kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui
ajaran, apa lagi melalui ajaran arti kata-kata (words teaching).

Bagaimana, Ananda, cukup terangkah?

302. Ananda:

Sudah, sudah cukup terang, Bapa!

Jadi, pengertian benar itu dicapai oleh seseorang siswa melalui


bantuan seorang guru berupa petunjuk dan ajaran. Tetapi, soal
mencapai kebangkitan dan sadar terang, itu bukanlah persoalan
guru, dan juga bukan persoalan ajaran, melainkan persoalan
usaha sendiri dan penyelamatan sendiri dari siswa yang
bersangkutan.

303. Bapa:

Bagus!

Ananda, jikalau kita berbicara soal pengertian benar, maka disitu


terdapat 3 hal yang saling berkaitan, yaitu soal sisea, guru, dan
147
ajaran. Guru memberikan ajaran tentang pengertian benar
kepada siswa, sedangkan siswa menerima ajaran tentang
pengertian benar dari guru. Nah, dalam hubungan itu, Ananda,
maka aku hendak bertanya kepadamu!

Karena guru itu memberikan ajaran kepada siswa, maka


bagaimanakah pendapatmu tentang guru itu, Ananda? Dapatkah
guru itu membuat siswa itu mengerti? Coba terangkan jawabmu!

304. Ananda:

Guru dapat memberikan ajaran kepada siswa, Bapa, namun guru


tidak dapat membuat siswa itu mengerti! Siswa dapat mengerti
karena usahanya sendiri, karena yang berfikir, yang
merenungkan, yang mempertimbangkan, dan yang memutuskan
adalah siswa itu sendiri.

305. Bapa:

Bagus!

”Mengerti” itu tidak dapat dibuat oleh seorang guru, dan


”mengerti” itu tidak dapat diberikan oleh seoarang guru kepada
seorang siswa. ”Mengerti” itu dicapai oleh seseorang siswa atas
usahanya sendiri.

Jadi, Ananda, Jelaslah, bahwa tugas (fungsi) seorang guru itu


adalah sematamata menyampaikan dan mengutarakan petunjuk
dan ajaran dengan cara yang seterang-terangnya, namun tiada
hak dan kewajiban seorang guru untuk memaksakan apapun
kepada siswa, karena seorang guru tidak mungkin dapat
membuat dan meberikan ”mengerti” kepada siswa.

148
306. Ananda:

Untuk menghindarkan diri dari kekeliruan, dan supaya dapat


mengenali dengan cara yang benar, sudilah Bapa menjelaskan
tentang kodrat daipada siswa, guru, dan ajaran itu?

307. Bapa:

Biasanya, Ananda, karena kesusahan, kesakitan, dan lain-lain hal


yang sangat mencekam perasaan perorangannya, maka
seseirang biasanya lalu bertanya kepada dirinya sendiri, dan
berusaha untuk maencari dan menemukan hakekat dirinya dan
dunia lahiriah sekitarnya, dengan harapan akan dapat
melepaskan diri dari cekaman perasaan susah dan sakut itu. Dan
jikalau ia ternyata tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri
itu, dan tidak dapat menemukan apa yang ia cari, maka mulaikah
ia bertanya kepada orang lain, yang dianggapnya sebgai ”guru”
yang akan dapat memberikan ”ajaran” kepadanya sebagai
seorang ”siswa.

Jelaslah, Ananda, bahwa karena bertanya, maka disitu lalu timbul


apa yang dinamakan guru, siswa, dan ajaran. Dan jikalau
pertanyaan itu di tujukan kepada orang lain, maka gurunya
adalah ”seorang” pribadi; ia sendiri sebagai siswa adalah
”seorang” pribadi; dan ajarannya adalah berupa kata-kata dan
namanama.

Ananda, jikalau seseorang sudah mulai bertanya akan hakekat


penderitaannya, atau hakekat dirinya, atau hakekat dunia lahiriah
sekitarnya, maka ”pertanyaan” itu dapat dikatakan sebagai
”tanda” bahwa seseorang itu sudah mulai akan ”bangun” dari tidur
dari mimpinya.
149
Nah, dengan penjelasan itu, Ananda, maka sekarang aku hendak
bertanya kepadamu! Ananda, tatkala seseorang telah
menunjukkan ”tanda-tanda” akan ”bangun”, maka bagaimanakah
kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran itu?

308. Ananda:

Tatkala seseorang sudah mulai bertanya dan mencari akan hal-


hal yang hakiki mengenai pederitaannya, atau mengenai dirinya
sendiri, atau mengenai dunia lahiriah sekitarnya, maka hal itu
adalah merupakan ”tanda”, bahwa orang itu sudah akan
”bangun”. Dalam hal demikian, Bapa, maka kodrat siswa dan
guru adalah perorangan, sedangkan kodrat ajarannya adalah
himpunan kata-kata dan nama. Bukankah demikian, Bapa?

309. Bapa:

Bagus sekali, Ananda, memang demikianitulah! Nah, setelah


seseorang benarbenar ”bangun”, Ananda, artinya: setelah
seseorang benar-benar mencapai pengertian benar, yaitu benar-
benar mengerti, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud
itu tidak lain hanyalan perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran
dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka disitu timbullah
perubahan (transformation) kodrat daripada pengertian siswa,
guru, dan ajaran.

310. Ananda:

Timbul perubahan kodrat yang bagaimanakah, Bapa, setelah


seseorang itu mencapai pengertian benar?

311. Bapa:

150
Ananda, setelah seseorang mencapai pengertian benar, maka
mulailah ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa ”diri”-nya
sendiri itu sebetulnya bukanlah kenyataan perorangan yang
mempunyai rupa dan nama, tetapi ia itu adalah pikiran berpikir
dalam kodratnya yang benar, yaitu pikiran berpikir benar.

Dan ia mengerti pula, Ananda, bahwa gurunya itu sebetulnya


bukanlah kenyataan perorangan yang mempunyai rupa dan
nama, tetapi gurunya itu adalah ”tujuan” yang hendak dicapai
sendiri, yaitu pikiran itu sendiri dalam kodratnya yang sadar
terang tanpa bayang; gurunya adalah Pikiran Sadar Terang.
Demikian pula ia mengerti, Ananda, bahwa ajarannya itu
sebetulnya bukanlah himpunan kata-kata dan nama-nama, tetapi
ajarannya adalah realisasi sendiri (penyelaman sendiri) naluri
Sadar-Terang.

Demikianlah, Ananda, perubahan kodrat daripada siswa, guru,


dan ajaran, yang tumbuk tatkala seseorang telah mencapai
pengertian benar, atau telah ”bangun” itu.

Tetapi, Ananda, seperti halnya seseorang yang baru saja


”bangun” dari tidur dan mimpinya tidak mau segera ”bangkit” dan
berjalan meninggalkan temapt tidurnya, tetapi masih saja tetap
tinggal bergolek-golek disitu sembil mengenangkan impian-
impiannya yang telah berlalu, maka seperti demikian itu pulalah
halnya dengan seseorang yang baru saja mencapai pengertian-
benar.

Seseorang yang baru saja mencapai pengertian benar, Ananda,


biasanya tidak mau dengan segera ”bangkit: dan merealisasi-
sendiri naluri Sadar-Terang, melaikan bergolek-golek saja dengan

151
banyak berkata-kata dan berbicara tentang ajaran mengenai
pengertian benar. Dan celakannya, Ananda, meskipun ia sangat
fasih berkata-kata dan berbicara tentang pengertian benar, namu
pikirannya tetap melekat kepada kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingankepentingan dunia rupa dan nama yang berkodrat
perorangan.

Hal ini menunjukkan, bahwa setelah ia ”bangun”, maka ia lalu


jatuh ”tertidur” lagi! Ingat baik-baik hal ini, Annada, supaya
engkau tidak jatuh ”tertidur” kembali setelah engkau ”bangun”!

312. Ananda:

Bapa, jikalau seorang siswa sudah ”bangun” lalu ”bangkit”, dan


sudah merealisasi sendiri (menyelami-sendiri) naluri Sadar-
Terang, lalu bagaimankah kodrat daripada siswa, guru, dan
ajaran itu?

313. Bapa:

Ananda, sebelum dicapai pengertian-benar, maka pengertian-


pengertian mengenai siswa, gurum dan ajaran adalah
pengertian=pengertian dalam kodrat perorangan; artinya: disitu
terdapat siswa perorangan, guru peroarangan, dan ajaran kata-
kata dan nama-nama.

Dan sesudah dicapai pengertian benar, maka pengertian-


pengertian mengenai siswa, guru, dan ajaran lalu berubah dari
kodrat perorangan kepada kodratnya yang sejati; artinya: disitu
tidak terdapat lagi siswa perorangan, guru perorangan, dana
ajaran kata-kata dan nama-nama, melainkan disitu terdapat
Siswa-Sejati (= pikiran berpikir benar), Guru-Sejati (= pikiran
152
sadar terang), Ajaran-Sejati (= realisasi sendiri naluri Sadar
Terang).

Sesudah dicapai pengertian-benar, Ananda, maka Siswa-Sejati


berubah menyelaraskan-diri dengan Guru-Sejati dengan cara
merealisasi-sendiri naluri Sadar-Terang yang ada pada Guru-
Sejati itu. Inilah yang dimaksud dengan menempuh Jalan
Kebangkitan, atau menempuh Jalan Sadar-Terang itu.

Menempuh Jalan Kebangkitan atau menempuh Jalan Sadar


Terang inilah, Ananda, yang dikatakan sebagai ”berguru” kepada
Guru-Sejati, atau ”berguru” kepada Guru-Jagad itu.

Ananda, tatkala Siswa-Sejati sudah sampai pada Akhir-Jalan (=


Akhirat), artinya Siswa-Sejati telah merealisasi-sendiri
(menyelami-sendiri) naluri Sadar-Terang, maka genap dan
sempurnalah tugas-tugas kesiswaan, keguruan, dan pengajaran
itu, dan tidak ada pekerjaan lagi yang harus diselesaikan.

314. Ananda:

Bapa, apakah yang dimaksudkan dengan ”tidak ada pekerjaan


lagi yang harus diselesaikan”, itu? Apakah hal itu berarti, bahwa
Siswa-Sejati setelah merealisasikan-sendiri Naluri Sadar-Terang
itu ia tinggal diam dan menganggur?

153
BAB III

MENYELAMI-SENDIRI PENGETAHUAN LUHUR


1. KODRAT PENYELAMAN DIRI

315. Bapa:

Ananda, tatkala naluri sadar terang itu sudah diselami sendiri


didalam kodratnya yang sejati, maka sampailah Siswa-sejati pada
akhir tujuannya selaku siswa. Ini berarti, bahwa bagi siswa sejati,
tugas pekerjaannya selaku siswa terhadap gurunya telah
digenapkan dan disempurnakan. Ia sekarang bukan lagi
berkodrat sebagai Siswa Sejati, karena ia telah sama dengan
Guru Sejati; ia sekarang sudah menjadi Guru Sejati itu sendiri.
Setelah dialami perubahan kodrat dari Siswa Sejati kepada
Kodrat Guru Sejati, Ananda, maka kodrat kesiswaan, keguruan,
dan ajaran telah menjadi satu didalam Pikiran Sadar Terang itu
sendiri. Dan pada saat itu, Ananda, maka terjadilah ”pembalikan”
didalam lubuk kesadarannya, dimana ia menginsyafi suatu
kehidupan yang satu dengan semuannya.

Dan ketika terjadi ”pembalikan” didalam lubuk kesadarannya itu,


Ananda, maka ia menghayati suatu kehidupan bebas dan
berbahagia yang tidak bersyaratkan kepentingan-kepentingan
dan kebutuhan-kebutuhan perorangan akan dunia rupa dan
nama. Kasih sayang yang tak terbatas telah meliputi seluruh
kehidupannya, sehingga ia tidak lagi membeda-bedakan rupa dan
nama sebagai hal-hal yang baik atau buruk, dan memperlakukan
semua manusia sebagai meperlakukan dirinya sendiri.

154
Ananda, ketika naluri sadar terang sudah diselami sendiri didalam
kodrat yang sejati, maka Siswa Sejati bukanlah lalu berdiam diri
dan menganggur, melainkan didalam kodratnya yang baru
sebagai Guru Sejati ia bahkan lebih giat mengambil peranan
didalam membagi-bagikan jasanya kepada seluruh umat manusia
supaya mereka dapat ikut serta menikmati pembebasan dan
kebahagiaan yang akan melepaskan mereka dari belenggu
penderitaan.

316. Ananda:

Telah dikanali, Bapa, bahwa kodrat Guru Sejati sebagai Pikiran


Sadar Terang bukan perorangan, tetapi bagaimana bisa jadi ia
lalu mengambil kegiatan didalam membagi-bagikan jasanya
kepada umat manusia untuk pembebasan mereka? Agaknya hal
ini sulit dimengerti! Sudikah Bapa menerangkan tentang kodrat
daripada Guru Sejati dengan cara yang lebih jelas lagi?

317. Bapa:

Guru Sejati, Ananda, didalam kodratnya sebagai Pikiran Sadar


Terang, itu adalah pikiran yang menyadari, bahwa Terang tanpa
bayangan (hampa gambaran) itu adalah Kodratnya Sendiri.
Dengan menyadari, bahwa Terang itu adalah Kodratnya sendiri,
Ananda, maka didalam Pikiran Sadar Terang itu sendiri ternyata
masih terdapat pembedaan diantara Pikiran dan bidang
Kesadarannya.

Meskipun Pikiran Sadara Terang itu sendiri bukan perorangan,


dan tidak dapat diperorangan, Ananda, namun karena
pengetahuannya tentang pembedaan dan pencirian itu, maka hal
ini menunjukkan, bahwa Pikiran Sadar Terang itu sendiri
155
belumlah merupakan tahapan Kenyataan Esa yang hampa Zat,
hampa pembendaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan. Ini
berarti, bahwa diatas Pikiran Sadar Terang, Ananda, disitu masih
terdapat sesuatu yang terlebih luhur, yaitu Kenyataan Esa yang
aku sebutkan sebagai Pikiran Semesta (Universal Mind) atau
Pikiran Menunggal (Unitive Mind)

Ananda, karena pengetahuannya mengenai pembendaan dan


pencirian akan mana yang Kenyataan dan mana yang bukan
Kenyataan, maka Pikiran Sadar Terang dapat dinyatakan sebagai
pintu yang menghubungkan dianatara tata susunan pikiran yang
kodratnya rendah, yaitu pikiran perasaan (sense mind) atau
pikiran fana (mortal mind), dengan Pikiran Semesta yang
kodratnya suci murni dan hampa gambaran (imagelessness). Dan
didalam tugasnya (fungsinya) sebagai pintu penghubung yang
menghubungkan diantara pikiran fana dan Pikiran Semesta,
Ananda, maka Pikiran Sadar Terang disatu fihak mengambil
peranan duniawi didalam membagi-bagikan jasanya berupa
petunjuk dan ajaran kepada umat manusia supaya mereka dapat
mencapai pembebasan, dan dilain fihak Pikiran Sadar Terang
melekat dan bergantung kepada Pikiran Semesta didalam kodrat
inti sarinya yang suci murni dan hampa gambaran itu.

Melalui Pikiran Sadar Terang, Ananda, mka Pikiran Semesta


yang hampa pencurahan (devoid of out flowing) itu lalu bisa
terwujud dan terlaksana. Ini berarti, bahwa jikalau tidak karena
Pikiran Sadar Terang, maka dunia rupa dan nama itu tidak akan
ada dan tidak akan terwujud.

Ananda, Pikiran Sadar Terang itu dapat diperumpamakan


sebagai seorang Dalang bijaksana yang mementaskan suatu
156
lakon wayang pada layar putih pedalangan lengkap dengan
wayang-wayang sebagai pemain-pemainnya. Sang Dalang ikut
serta didalam kehidupan fana daripada wayang-wayang itu
dengan segala kesenangan dan kesusahannya, namun
sementara itu Sang Dalang selalu dapat merenungkan betapa
hampa dan sia-sianya kehidupan wayang-wayang itu, karena ia
menyadari dengan terang, bahwa apa yang tampaknya seolah-
olah sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-
pembicaraan wayang-wayang itu tidak lain kecuali hasil
kegiatannya sendiri.

318. Ananda:

Bapa, didalam perumpamaan itu Guru Sejati atau Pikiran Sadar


Terang telah diperumpamakan sebagai Sang Dalang bijaksana
yang mementaskan suatu lakon wayang. Dalam hubungan itu,
Bapa, diperumpamakan sebagai apakah Pikiran Semesta dan
pikiran berpikir itu?

319. Bapa:

Ananda, Pikiran Semesta dapat diperumpamakan sebagai


seorang Maha Raja yang akan menyelenggarakan suatu
keramaian, dimana penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya
kepada Sang Dalang.

Tidak banyak yang dapat aku jelaskan kepadamu tentang Sang


Maha Raja itu, Ananda, sebab Sang Maha Raja adalah Pikiran
Semesta yang kodratnya tiak terucapkan (ineffable). Sang Maha
Raja Yang Maha Tahu itu hanya duduk didinggasana kebesaran
dan keangungannya sambil menetapkan apa yang boleh terjadi

157
dan apa yang bisa terjadi; dan apa yang ditetapkannya itu tak
dapat diperkirakan terlebih dahulu (upredictable).

Adapun Pikiran berpikir, Ananda, yang diperumpamakan sebagai


penonton, itu adalah siswa-siswa bagi Sang Guru atau Sang
Dalang. Dan sebagai layaknya para penonton, disitu terdapat
penonton-penonton yang bodoh dan tidak berpengetahuan, dan
ada pula penonton yang bijaksana dan berpengetahuan.

Bagi penonton bodoh, Ananda, ia sama sekali tidak mengerti,


bahwa wayangwayang yang dimainkan oleh Sang Dalang itu
bukannya kenyataan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya
sebagai permainan dan sandiwara belaka.

Penonton yang bodoh tidak mengerti sama sekali tugasnya yang


benar sebagai penonton, yang seharusnya menonton semata-
mata akan apa yang dimainkan oleh Sang Dalang.

Ananda, karena ketidak-tahuannya, maka penonton bodoh


sebentar-sebentar tertawa dan menari-nari kegirangan, dan
sebentar-sebentar lagi menangis dalam kesedihan melihat apa
yang dikirannya sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-
pembicaraan wayang-wayang yang mempunyai kodrat sendiri. Ia
takut, menyesal, dan susah akan kehilangan wayang-wayang
yang disenanginya, dan takut, menyesal, dan susah pula akan
kehadiran wayang-wayang yang tidak disenanginya. Selama-
lamanya ia mengerang didalam kesengsaraan dan penderitaan,
karena tidak mengerti, bahwa lelakon wayang-wayang itu
bukannya

sungguh-sungguh, melainkan sandiwara dan permainan belaka.


Penonton yang bodoh inilah, Ananda, merupakan perumpamaan
158
bagi siswa yang bodoh, yaitu pikiran berpikir keliru yang tidak
mempunyai pengertian benar.

Sebaliknya, bagi penonton yang berpengetahuan, Ananda, ia


mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa apa yang tampaknya
sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaraan
wayang-wayang itu sebetulnya bukanlah kegiatan daripada
pencerminan kegiatan Sang Dalang yang berkodrat sandiwara
dan manina semata-mata. Oleh karena itu ia tidak pernah takut,
menyesali, dan menyusahkan apa yang terjadi pada lelakon
wayang-wayang itu, dan ia tetap tinggal tenang selaku penonton
yang benar, yaitu menonton semata-mata.

Penonton yang bijaksana inilah, Ananda, merupakan


perumapamaan bagi siswa sejati, yatu pikiran berpikir benar yang
telah mencapai pengertian benar.

Jikalau saja, Ananda, engkau dapat merealisasi dirimu sebagai


penonton yang benar, dan menjalankan tugas pekerjaanmu
sebagai penonton semata-mata tanpa merasa tersinggung dan
memberikan reaksi menurut dorongan perasaan perorangan
(impulive reaction) terhadap dunia rupa dan nama ini, maka
engkau akan menjadi penonton yang sempurna. Dan tatkala
engkau sudah mencapai pengertian yang mendalam, dan dapat
melihat, bahwasanya dunia ini sebetulnya tidak lain daripada
suatu kelangsungan semata-mata, maka disitu engkau akan
dapat menjadi penonton yang sempurna.

Dan siapakah penonton yang sempurna itu, Ananda?

159
Pikiran yang sempurna tidak lain adalah Pikiran Melihat, yaitu
Pikiran Sadar Terang yang dicirikan dengan berbagai sebutan
seperti Guru Sejati atau Dalang Jagad itu!

Tegasnya, Ananda, penonton yang sempurna hanya dapat


dicapai oleh siswasiswa yang mau berusaha sendiri dengan
sungguh-sungguh untuk menghentikan kesadaran ego nya, dan
memasuki kodrat penyelaman diri didalam Pikiran Melihat atau
Pikiran Sadar Terang.

320. Ananda:

Bapa, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh seorang


siswa Pengetahuan Luhur supaya ia dapat dengan degera
memasuki kodrat penyelaman diri?

160
2. DISIPLIN DAN PENCAPAIAN PENYELAMAN DIRI

321. Bapa:

Tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang siswa


Pengetahuan Luhur, jikalau ia hendak memasuki kodrat
penyelaman diri. Syarat pertama adalah pengertian benar. Ia
harus mencapai pengertian yang jelas dan tegas, dan yakin tanpa
ragu-ragu lagi akan kebenaran:

Ke-1. Bahwa segala hal yang ada dan berwujud itu sebetulnya
bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan pikiran yang
timbul dari pikiran dan dilihat oleh pikiran itu sendiri;

Ke-2. Bahwa segala hal yang ada dan berwujud itu pada
hakekatnya hampa zat, hampa kelahiran, hampa ego, dan hampa
kodrat sendiri;

Ke-3. Bahwa Kenyataan itu terealisasi didalam kodrat


penyelaman diri, dimana didalam kodrat penyelaman diri itu tidak
ada apa-apa yang hadir, tidak ada apaapa yang pergi, dan juga
tidak ada gagasan-gagasan, gambaran-gambaran, dan cita-cita
apa-apa yang dapat dipersamakan dengan pengalaman
pancaindera atau perasaan-perasaan-pikiran.

Syarat kedua adalah berkehidupan benar (laku utama). Yang


dimaksud dengan berkehidupan benar (laku utama) ialah, bahwa
ia harus berikhtiar dan berusaha sungguh-sungguh dengan
penuh kesabaran, ketekunan, dan kewaspadaan supaya selalu
dapat berpikir benar, berbicara benar, dan berbuat benar, yaitu
berpikit, berbicara, dan berbuat yang selaras dengan pengertian
benar yang telah dicapainya.
161
Ini artinya ialah:

Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiadan berpikir dengan cara-


cara benar sebagaimana seorang Dalan bijaksana yang berpikir
tentang wayangwayangnya, dan yang memikirkan kepentingan
para penontonnya supaya mereka memperoleh bagaian
kebahagiaan didalam terang;

Ke-2. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan berbicara dengan


cara-cara yang benar sebagaimana seorang Dalang bijaksana
yang berbicara dan mendengarkan suaranya sendiri yang
tercurah melalui wayang-wayangnya didalam berbagai nada dan
irama, yang berusaha untuk memberikan penerangan dan
petunjuk kepada para penontonnya supaya mereka memperoleh
pengertian benar yang akan membawanya kearah menempuh
jalan terang dan kebahagiaan;

Ke-3. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan melakukan perbuatan


dengan caracara yang benar sebagaiman seorang Dalang
bijaksana yang melakukan perbuatan melalui wayang-
wayangnya, dan melihat gerak-gerak berbagai wayang-wayng itu
sebagai suatu kelangsungan yang mencerminkan kegiatan Sang
Dalang itu sendiri.

Adapun syarat ketiga, Ananda, adalah perenungan memusat


(concntrative meditation). Yang dimaksud dengan perenungan
memusat itu ialah:

Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk memusatkan


pikirannya ”kedalam” untuk dapat ”menemukan” hakekat
Kenyataan dirinya sendiri yang bersemayan didalam lubuk
kesadaran yang paling dalam dan terahasia, sebagai
162
ganti daripada kebiasaan melihat ”keluar” kepada dunia rupa dan
nama dengan pikiran menyebar kemana-mana dengan tak
menentu;

Ke-2. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk menghampakan


kepribadiannya sendiri, dan secara naluriah memusatkan
kepercayaannya yang penuh dan tak bersyarat hanya kepada
kodrat Sadar-Terang yang hampa pembendaan, hampa sebutan,
dan hampa gambaran (imagelessness);

Ke-3. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk secara berkala


pada waktuwaktu tertentu menyisih ketempat yang sunyi dan
tenang, dan membiarkan pikirannya menyendiri untuk melihat dan
bercermin kepada kodrat inti sarinya sendiri yang terluhur.

Demikian itulah tida syarat yang harus dipenuhi oleh seiswa


Pengetahuan Luhur (Siswa Sejati), jikalau ia hendak memasuki
kodrat penyelaman diri.

Bagaiman, Ananda, sudah cukup jelas?

322. Ananda:

Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!

Jad singkatnya, untuk dapat memasuki kodrat penyelaman diri,


maka seseorang siswa pengetahuan luhur harus memenuhi tiga
syarat, yakni: pengertian benar, didiplin kehidupan benar (laku
utama), dan disiplin perenungan memusat (concentrative
meditatation).

163
Dan sesudah tiga syarat tersebut dipenuhi, Bapa, maka
bagaimanakah kiranya keadaan seorang siswa yang telah
mencapai keadaan penyelaman diri itu?

Sudikah Bapa menerangkannya?

323. Bapa:

Ananda, tatkala hal-hal yang menyangkut kesiswaan, keguruan,


dan filsafat (ajaran) telah dimengerti dengan sungguh-sungguh
dan telah diselami sendiri didalam kodratnya yang sejati, maka
disitu terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk kesadaran seseorang
siswa yang tersembunyi sangat dalam dan terahasia.

”Pembalikan” itu terjadi mendadak sontak dan seketika itu juga


seperti halnya seseorang yang dengan mendadak sontak dan
seketika itu juga dapat melihat dengan terang bayangan mukanya
sendiri didalam air yang sangat jernih dan tenang. Bahwa apa
yang selama ini ditinggapinya sebagai kepribadiankepribadian
”aku”, ”engkau”, dan ”dia”, itu semua tidak lain adalah dunia
maya, dunia impian, dan merupakan perwujudan dan
bayangannya sendiri.

Ini adalah tahap pertama didalam keadaan penyelaman diri.


Didalam tahpa ini ia telah mencapai pembuktian sendiri dan
kesaksian langsung akan kesamaan inti sari segala hal. Disitu ia
merasakan suatu suasana kelegaan dan kebahagiaan bathiniah
yang belum pernah ditemuinya didalam dunia pengalaman
penginderaan.

Dalam keadaan seperti itu sedikit banyaknya ia masih menyadari


akan diri perorangannya yang sedang mengalami kebahagian itu,
164
dan pada saat itu perasaan belas kasihan terhadap sesama
manusia telah timbul, karena ia mengetahui, bahwa mereka oleh
sebab ketidak tahuan dan kekeliruannya belum dapat menikmati
pembebasan seperti yang dialaminya sendiri.

Sementara itu, Ananda, kasih sayang yang tak terbalas dan tak
bersyarat sebagai ciri khas didalam keadaan penyelaman diri lalu
muncul didalam bathinnya, yang kemudian diikuti oleh suatu
tekad yang bulat, yang merupakan ikrar dan janji didalam
kodratnya sendiri untuk memashurkan dan menyampaikan
kebenaran pengetahuan luhur kepada umat manusia, supaya
mereka dapat memasuki jalan pembebasan yang akan
membawanya kearah pelepasan penderitaan mereka.

324. Ananda:

Bapa, apakah keadaan “pembalikan” kesadaran itu terjadi pada


saat-saat dimana seseorang berada didalam keadaan
perenungan memusat (concentrative meditation), ataukah terjadi
pada saat-saat didalam seseorang berada dalam keadaan
kegiatan kehidupan sehari-hari?

325. Bapa:

Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada saat pikiran berada didalam


keadaan terpusat pada satu titik sasaran tertentu, dimana pikiran
telah berhenti dari tugas (fungsi) berpikir. Ini artinya ialah, bahwa
pikiran telah berhenti untuk sementara dari kemelekatannya
kepada pembedaan-pembedaan khayal yang menimbulkan
berbagai gagasan dan gambaran-gambaran.

165
Dengan kata lain, Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada saat
seseorang siswa berada dalam keadaan perenungan memusat.
Dan didalam keadaan perenungan memusat itu, Ananda, pikiran
untuk sementara melepaskan pemikiran-pemikiran tentan dunia
lahiriah, sehingga keadaan menjadi tenang, dan tidak bergejolak
ileh sebab keinginan-keinginan akan kepentingan-kepentingan
perorangan.

326. Ananda:

Kalau begitu, Bapa, apakah penyelaman diri yang sempurna itu


dapat dipercepat pencapaiannya dengan menumpas dan
menghentikan sama sekali fungsi berpikir?

327. Bapa:

Ananda, sudah aku katakan, bahwa ”pembalikan” pada tahap


pertama itu terjadi pada saat seorang siswa berada didalam
keadaan perenungan yang terpusat.

Dan tatkala siswa tersebut menghentikan kegiatannya dari


perenungan yang dipusatkan itu, maka tentunya ia akan kembali
dalam keadaan berpikir lagi seperti halnya apa yang dilakukan
oleh tata susunan pikiran.

Didalam hubungannya dengan pencapaian penyelaman diri yang


sempurna, Ananda, boleh jadi seseorang siswa akan
berpendapat, bahwa penyelaman diri yang sempurna itu dapat
dipercepat pencapaiannya dengan menumpas sama sekali tata
susunan pikiran yang selalu mengadakan ”kontak” dengan dunia
luar (external world). Sebab, mungkin siswa itu yakin, bahwa
selama tata susunan
166
pikiran masih mengadakan ”kontak” dengan dunia luar, maka
dengan disadari atau tidak disadari, tata susunan pikiran itu
masih akan selalu menimbulkan fungsi berpikir, dimana disitu
akan timbul berbagai gagasan dan gambarangambaran yang
akan menghalang-halangi tercapainya penyelaman yang
sempurna.

Tetapi, Ananda, pendapat seperti itu adalah keliru!

Sebab, penyelaman diri yang sempurna itu bukanlah harus


dicapai melalui penghentian fungsi berpikir, karena penghentian
fungsi berpikir itu berarti diam dan menganggur.

Ananda, untuk mencapai penyelaman diri yang sempurna, itu


hanya tercapai dengan menghentikan kemelekatan kepada
kebiasaan menanggapi pembedaanpembedaan khayal, dan
bukannya dengan menghentikan sama sekali fungsi berpikir.
Didalam kodrat penyelaman diri, Ananda, fungsi berpikir itu masih
tetap ada dan berlaku, tetapi bukannya fungsi berpikir yang
melandaskan pembedaan – pembedaan, melainkan fungsi bepikir
yang terpusat kepada satu titik sasaran yang tetap, yaitu terpusat
kepada Kenyataan Esa yang hampa pembedaan.

Tatkala seseorang siswa sedang didalam melakukan disiplin


perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan
dunia luar, dan pikirannya telah benar-benar terpusat kepada satu
titik sasaran, maka disitu fungsi berpikir yang menanggapi dunia
luar memang terhenti untuk sementara. Dan pada saat itu,
Ananda, seseorang siswa mengalami suatu penghayatan didalam
kesadarannyatentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-
pembedaan.

167
Tetapi, Ananda, berhentinya fungsi berpikir yang menimbulkan
pengalaman penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan
pembedaan-pembedaan itu bukanlah merupakan tujuan didalam
mencapai penyelamatan diri yang sempurna. Meskipun
seseorang siswa telah pernah mengalami penghayatan tentang
berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan melalui
penghentian fungsi berpikir, namun hal itu belumlah berarti,
bahwa siswa tersebut telah bebas sama sekali dari kemelekatan
dan pembedaan-pembedaan.

Kebiasaan lama didala mengingat dan menanggapi berbagai


macam gagasan, gambaran-gambaran, kata-kata, perbuatan-
perbuatan, dan keinginan-keinginan, itu semua masih merupakan
benih-benih kemelekatan yang belum di bersihkan sama sekali.

Dan pembersihannya dapat dilakukan dengna perlahan-lahan


dan berangsurangsur melalui perlaksanaan disiplin kehidupan
benar (laku utama) dengan sabar, tekun, terus menerus, dan
penuh kewaspadaan. Itulah sebabnya, mengapa lalu dikatakan,
bahwa disiplin perenungan memusat dan disiplin kebidupan
benar merupakan dua macam disiplin yang tak dapat dipisahkan
satu sama lain, dan saling menunjang.

328. Ananda:

Bapa, mengertilah aku sekarang, bahwa untuk dapat memasuki


kodrat penyelaman diri yang sempurna, itu bukanlah harus
menghentikan Fungsi berpikir, melainkan harus direalisasi
dengna menghentikan kemelekan kepada kebiasaan melakukan
pembedaan-pembedaan khayal.

168
Sedangkan untuk menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan
melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu direalisasi dengan
melalui dua macam disiplin yang berlandaskan pengertian benar,
yaitu disiplin kehidupan benar dan disiplin perenungan memusat
(concentrative meditation).

Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa tatkala seseorang siswa


melakukan disiplin perenungan memusat dengan memutuskan
”kontak” dengan dunia luar, maka ia akan memperoleh suatu
pengalaman penghayatan didalam kesadarannya tentan
berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan. Lalu
apakah gunanya pengalaman penghayatan itu, Bapa, jikalau
harus dikaitkan dengan pencapaian penyelaman diri yang
sempurna?

329. Bapa:

Ananda, didalam hubungannya dengan pencapaian penyelaman


diri yang sempurna, seperti talah aku katakan tadi, melakukan
disiplin perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak”
dengna dunia luar saja tidaklah cukup, sebab didalam pikiran
masih terdapat benih-benih kemelekatan yang belum dibersihkan
secara tuntas. Untuk membersihkannya, maka disiplin
perenungan memusat itu harus ditunjang oleh disiplin kehidupan
benar.

Didalam hal seseorang siswa mentaati pelaksanaan disiplin


perenungan memusat, dan ia telah sering mengalami
penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-
pembedaan, maka pengalaman itu akan meniggalkan kesan
didalam ingatan dan kesadarannya, didalam kesan kesadaran-

169
nya itu akan dibawanya didalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, maka pelaksanaan disiplin kehidupan benar akan
menjadi lebih mantap, karena disangga oleh kesan kesadaran
yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali dengan mudah.

Ananda, dengan teraturnya pelaksanaan disiplin perenungan


memusat, maka kesan kesadaran dari seseorang siswa akan
menjadi lebih mantap dan tidak berubah-ubah. Sambil
menjalankan tugas-tugas kehidupan duniawi sehari-hari seperti
biasa, siswa tersebut memunculkan kesan kesadarannya yang
sudah mantap itu sebagai pusat sasaran perenungannya.
Didalam tampaknya, memang siswa tersebut ikut serta didalam
kegiatan kehidupan duniawi seperti biasa, namun sebetulnya
siswa tersebut sudah tidak lagi melekat kepada dunia rupa dan
nama itu. Inilah yang dikatakan oleh para bijaksana zaman
dahulu sebagai ”melakukan kegiatan, tetapi tidak berbuat apa-
apa” itu.

Tetapi, Ananda, dengan dicapainya kesan kesadaran yang sudah


mantap itu, belumlah berarti bahwa siswa tersebut sudah dapat
mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Mengapa?
Sebabnya adalah, bahwa didalam pikirannya masih terdapat
”kotoran” berupa kesan; dan kesan itu harus diusahakannya
supaya lenyap sama sekali, sehingga pikiran dapat kembali
didalam kodrat inti sarinya yang semula, yaitu suci dan bersih dari
segaal jenis kebiasaaan tanggapan.

330. Ananda:

Bapa, apakah yang harus diusahakan oleh seorang siswa yang


sudah mencapai kesan kesadaran yang sudah mantap, agar

170
supaya ia dapat memasuki kodrat penyelaman diri yang
sempurna dan penuh?

331. Bapa:

Ananda, bagi seseorang siswa Pengetahuan Luhur yang sudah


dapat mencapai kesan kesadaran yang mantap dan tidak
berubah-rubah maka ia masih tetap melakukan disiplin kehidupan
benar dan disiplin perenungan memusat. Tetapi kodrat
perenungannya bukan lagi dengan ”duduk diam”, melakukan
dengan mengambil kegiatan ”kerja” sehari-hari, sambil
memusatkan pikirannya kepada kesan kesadarannya yang sudah
dicapai sebagai titik sasaran pemusatannya.

Dengan cara demikian, Ananda, maka pada sesuatu hari kesan


kesadarannya akan ”berbalik” menjadi kesadaran terang penuh,
dimana pada saat seperti itu seseorang siswa berpengetahuan
lhur lalu menerima kodrat Kecerdasan Bathin Luhur
(Transcendental Intellegence) daripada Pikiran Menunggal
(Pikiran Semesta), dan disitulah penyelaman diri yang sempurna
dan penuh telah tercapai!

332. Ananda:

Bapa, jikalau ada sesuatu pencapaian, tentunya disitu harus ada


buah hasil yang dapat dipetik. Nah, didalam hal seorang siswa
telah mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh, lalu
buah hasil apakah yang dapat di petik daripadanya?

171
3. BUAH HASIL PENYELAMAN DIRI

333. Bapa:

Ananda, bagi seorang siswa Pengetahuan Luhur yang telah


mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh, maka
seluruh dunia rupa dan nama ini (termasuk personalitasnya
sendiri) tidak lagi terlihat sebagai banyaknya dan macamnya
kenyataan-kenyataan yang terlahir dengan ke-aku-an (selfhood)
dan kodrat sendiri, melainkan seluruh dunia rupa dan nama ini
hanyalah terlihat sebagai impiannya sendiri yang telah berlalu.

Dan dengan menginsyafi, bahwa dunia rupa dan nama ini adalah
impiannya sendiri yang telah berlalu, maka ia tidak lagi berusaha
secara pereorangan untuk mencari penyesuaian diri dengan
gerak kehidupan duniawi ini; dan ia juga tidak memandang dunia
rupa dan nama ini sebagai banyaknya dan macamnya hal yang
harus diberi nilai dan penilaian baik ataupun buruk, enak ataupun
menyakitkan.

Didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh,


Ananda, maka seorang siswa Pengetahuan Luhur ada didalam
keadaan pembebasan penuh tak bersyarat.

Ia dengan sangat mudah merubah dirinya dari sesuatu


perwujudan kepada perwujudan yang lain seperti mudahnya
mengenal dan sesuatu adegan impian yang satu kepada adegan
impian yang lain. Dan lagi, ia dapat memperbanyak
perwujudannya ditempat-tempat yang berbeda pada saat yang
sama, dan merubah tubuhnya yang kasar menjadi tubuh yang
halus untuk membagibagikan jasanya kepada semua makhluk

172
didalam menggenapkan pekerjaan mereka yang tidak dapat di
mengertinya.

Ananda, didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan


penuh seseorang siswa Pengetahuan Luhur dapat dengan
mudah menembus seluruh alam, baik alam benda, alam pikiran,
maupun alam menunggal. Sementara kesadarannya berada
dialam yang terluhur, sedikitpun ia tidak pernah terlena dan tidak
pernah kehilangan keinsyafan dan keseimbangannya dialam
yang lebih rendah dengan segala kodratnya. Artinya, didalam
perwujudannya sebagai manusia bertubuh kasar ia mengambil
kegiatan duniawi biasa dengan segala macam perasaannya,
namun kesadaran pikirannya dapat pergi jauh tak terbatas dan
menembusi berbagai macam perwujudan tanpa penghalang
apapun, dan dapat pula menembusi kesadaran tata susunan
pikiran siswa-siswa biasa, dan bahkan, dapat menembusi
kesadaran ilahiah daripada Pikiran Semesta.

Pendek kata, Ananda, mujijat dan kebesaran telah timbul pada


seorang anak manusia! Tetapi bukannya ”mujijat” dan
”keheranan-heranan” yang dipertontonkan secara tubuh
dihadapan perasan pikiran manusia, Ananda, merupakan mujijat
daripada pengenalan.

Seorang anak manusia telah dapat mengenal ”sesuatu” yang luar


biasa, yang tidak dapat, bahkan tidak mungkin dapat dikenal oleh
seseorang dengan caracara manusiawi biasa. Hal-hal yang
mustahil dan tak mungkin bisa terjadi bagi pertimbangan pikiran
yang berakal budi (intellectual reasoning mind) menjadi serba
mungkin dan serba bisa terjadi bagi siswa Pengetahuan Luhur

173
yang berada didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna
dan penuh.

Memang benar, Ananda, mungkin saja seorang anak manusia


yang berada didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna
kadang-kadang menampakkan mujijat dan keheran-heranan
secara tubuh, namun hal seperti itu sangat jarang terjadi.
Mengapa?

Karena di dalam kodratnya yang luhur, siswa Berpengetahuan


Luhur di dalam membagi-bagikan bantuan dan jasanya kepada
semua makhluk sangat menyukai kerahasiaan ilahiah, dan tidak
membutuhkan kesaksian-kesaksian inderawi cara manusia, dan
juga tidak membutuhkan ketenaran perorangan yang akan
menjadi penyebab kesesatan dan keaniayaan siswa-siswa biasa.

Ananda, boleh jadi engkau menjumpai seseorang yang suka


memamerkan dan mendemonstrasikan perbuatan-perbuatan
mujijat. Hal seperti itu, Ananda, barulah membuktikan, bahwa
perbuatan mujijat itu memang ada, tetapi hal seperti itu belumlah
merupakan suatu bukti, bahwa orang yang melakukan perbuatan
mujijat itu sudah benar-benar dapat bernapas didalam Kebenaran
dan Kenyataan Esa yang kodratnya Sadar Terang Penuh.

334. Ananda:

Bapa, tadi telah dikatakan, bahwa setelah penyelaman diri yang


sempurna dan penuh tercapai, maka seorang siswa Pengetahuan
Luhur dapat memetik buah hasil yang timbul daripadanya, seperti
misalnya: perubahan tubuh kasar kepada tubuh halus, perubahan
dari perwujudan yang satu kepada perwujudan yang lain,

174
memperbanyak perwujudan ditempat yang berbeda pada saat
yang sama, dan menembusi kesadaran diseluruh alam.

Lalu bagaimana halnya, Bapa, apakah tidak seharusnya buah


hasil yang dapat dipetik dari penyelaman diri yang sempurna itu
dinikmati?

335. Bapa:

Ananda, perbuatan-perbuatan mujijat dan keheranan-heranan


cara tubuh itu adalah perbuatan-perbuatan besar, tetapi ada yang
terlebih besar daripada itu, Ananda!

Menyelami sendiri dan mengenali langsung kodrat Sadar Terang


Penuh didalam Pikiran Menunggal itulah yang terlebih besar
daripada perbuatan-perbuatan mujijat itu. Dan itulah sebenar-
benarnya mujijat yaitu mujijat daripada penyelama diri dan
pengenalan!

Bagi sisawa Pengetahuan Luhur, Ananda, perbuatan-perbuatan


mujijat itu bukanlah tujuan, melainkan sekedar sebagai ”hasil
sampingan” yang timbul dengan serta-merta oleh sebab kodrat
penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Hal ini dapt
diperumpamakan sebagai seseorang yang membuat minyak
goreng dari santan kelapa yang direbus; dari santan kelapa yang
direbus keluarlah minyak goreng yang jernih dan murni, dan
ampasnya santan merupakan ”hasil sampingan” yang dapat
dikonsumsi sebagai makanan.

Oleh karena itu, Ananda, kiranya engkau tidak perlu mencita-


citakan suatu perbuatan mujijat, sebab mujijat yang sebenarnya
itu hanyalah timbul dengan serta merta dari dalam penyelaman
175
diri yang sempurna dan penuh. Cita-cita akan memperoleh dan
melakukan perbuatan mujijat, Ananda, itu hanya akan merupakan
salib penghalang yang akan menghalang-halangi Jalanmu
menuju kepada kodrat Sadar Terang Penuh.

336. Ananda:

Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa didalam penyelaman diri,


seorang siswa Pengetahuan Luhur dapat mengalami perubahan
tubuh, dari tubuhnya yang kasar kepada tubuh halus dengan
bebas tak bersyarat. Sudikah Bapa menerangkan tentang kodrat
daripada tubuh halus itu?

337. Bapa:

Ananda, perubahan tubuh adalah merupakan kodrat yang sejati


daripada penyelaman diri. Artinya, didalam penyelaman diri
terjadilah perubahan dari tubuh yang kasar kepada tubuh yang
halus. Tubuh halus itu, Ananda, dapat juga disebutkan sebagai
kepribadian bathin. Dan kepribadian bathin (tubuh halus) itu dapat
digolong-golongkan kedalam tiga macam tingkatan, yakni:
Kepribadian Bathin tingkat pertama, Kepribadian Bathin tingkat
kedua, dan kepribadian Bathin tingkat ketiga.

Kepribadian Bathin tingkat pertama, Ananda, itu timbul ketika


seseorang siswa Pengetahuan Luhur berada didalam keadaan
terpusat pada satu titik sasaran perenungan, dimana pikirannya
cenderung untuk menjadi tenang dan tidak bergoyang-goyang.
Pada saat seperti itu, Ananda, ia merasakan suatu suasana yang
sangat tenteram, melegakan, dan membahagiakan, bagaikan
seseorang yang baru saja meninggalkan suasana kota yang
panas, ramai, dan hiruk pikuk, kemudian memasuki hutan yang
176
teduh, sunyi, dan tenang, dengan udaranya yang sejuk
menyegarkan. Perasaan tiada bertubuh kasar timbul, tetapi ia
masih menyadari kepribadian perorangannya yang berhubungan
dengan perasaanperasaan duniawi.

Suasana didalam Kepribadian Bathin tingkat yang pertama ini,


Ananda, merupakan suatu suasana bathiniah yang sangat
mempersona dan menggiurkan kenikmatannya, sebab didunia
luar tidak pernah ada kenikmatan yang sama dengan itu.

338. Ananda:

Lalu apakah yang hharus diperbuat selanjutnya oleh seorang


sisea Pengetahuan Luhur yang sudah mencapai kepribadian
bathin tingkat yang pertama itu, Bapa?

339. Bapa:

Ananda, suasana kenikmatan didalam kepribadian bathin tingkat


yang pertama ini, Ananda, mengandung segi yang
membahayakan juga bagi siswa-siswa yang kurang kokoh
pengertian benarnya.

Bagi siswa yang kurang kokoh pengertian benarnya, ia mengira,


bahwa kenikmatan yang diperolehnya didalam kepribadian bathin
tingkat yang pertama ini adalah kenikmatan yang paling puncak,
dan oleh karena itu ia lalu sangat asyik disitu, sambil bercumbu-
cumbuan dengan nikmatnya perenungan memusat. Hal seperti ini
dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang menempuh
suatu perjalanan ke sesuatu kota, dan ditengah perjalanan,
karena terlalu payah berjalan lalu masuk kedalam kedai
minuman, dan beristirahat disitu. Karena nikmatnya suasana
177
didalam kedai minuman itu, dan mengingat akan susah payahnya
perjalanan yang baru saja ditempuhnya itu, maka ia lalu ”mogok”
tidak mau meneruskan perjalanannya, dan asyik beristirahat
didalam kedai minuman itu.

Keasyikan dengan kenikmatan didalam kepriadian bathin tingkat


yang pertama ini, dan ”mogok” tidak mau meneruskan perjalanan
itu, biasanya disenangi oleh siswa-siswa yang membenci tubuh
kasarnya, dan memandang tubuh kasarnya sebagai sesosok
kerangka busuk yang jahat yang menimbulkan kesengsaraan.

Oleh karena pengertiannya yang keliru itu, maka ia lalu


menyenangi hidup tanpa tubuh dan tanpa bentuk, dan dikirannya
kepribadian bathin tingkat pertama ini sebagai ”sorga” tempat
tujuannya yang terakhir.

Ananda, bagi siswa Pengetahuan Luhur yang telah kokoh


pengertian benarnya, ia tidak harus beristirahat terus menerus di
alam kepribadian bathin tingkat yang pertama itu, sebab hal
seperti itu berarti berhenti, diam, dan menganggur, dan tidak
mempunyai jasa apa-apa kepada dunia umat manusia ini.
Dengan berhenti dialam Kepribadian bathin tingkat yang pertama
itu berarti memikirkan kepentingan diri sendiri, mencari enaknya
sendiri, dan masuk kedala ”sorga”-nya sendiri, dengan tidak mau
tahu akan kesengsaraan dan penderitaan umat manusia yang
masih memerlukan bantuan akan jasa-jasanya.

Tidak, Ananda, tidak! Siswa Pengetahuan Luhur tidak harus


berhenti didalam kepribadian bathin tingkat yang pertama! Ia
harus berjalan terus, sampai tercapai tujuan akhir!

340. Ananda:
178
Bapa, dalam hal yang bagaimanakah seseorang siswa
Pengetahuan Luhur memasuki kepribadian bathin tingkat yang
kedua, dan bagaiman pula kodratnya?

341. Bapa:

Ananda, setelah seorang siswa Pengetahuan Luhur merealisasi


kepribadian bathin tingkat yang pertama, dan ia terus berusaha
untuk memusatkan tingkat yang pertama, dan ia terus berusaha
untuk memusatkan pikirannya lebih dalam sedemikian rupa,
sehingga pikirannya menjadi diam dan tidak bergerak sama
sekali, maka disitu muncullah Kepribadian Bathin tingkat kedua.
Pada saat seperti itu, Ananda, pikirannya tidak lagi melekat
kepada keadaan dunia benda, dan ia mulai insyaf dan sadar
terang, karena pembuktian dan kesaksiaannya sendiri, bahwa
segal hal itu mempunyai kodrat inti sari yang satu dan sama, dan
merupakan perwujudannya sendiri. Inilah keadaan Kebangkitan,
bagaikan seorang yang telah bangun dan bangkit dari tidurnya
dengan segala impiannya yang berkodrat khayal.

Didalam Kepribadian Bathin tingkat yang kedua ini, Ananda, ia


mulai mendegar suara sunyi daripada bisikan kalbu, dan mulai
menerima Kecerdasan Bathin Luhur yang menjadi milik daripada
Pikiran Menunggal. Ia menjadi sadar terang, dan menginsyafi
dengan sepenuhnya, bahwa dunia keadaan itu ”ada” dan
berwujud karena kegiatannya sendiri, dan melalui kecerdasan
Bathin Luhur ia tahu, bahwa ia adalah utusan daripada Pikiran
Menunggal untuk mewujudkan pencurahan daripada hal-hal yang
hampa pembedaan dan tak terucap daripada Pikiran Manunggal,
sehingga menjadi terwujud dan terlaksana.

179
Ananda, kepribadian Bathin tingkat yang keduda adalah
merupakan tubuh, dan kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran
Menunggal merupakan darah daripada Sang Suci, Sang Guru
Jagad yang kau nanti-nantikan kedatangannya. Jangan salah
paham, Ananda, Sang Suci atau Sang Guru Jagad itu bukan
datang kepadamu sebagai perorangan, dan bukannya harus di
tunggu kedatangannya sebagai perorangan! Sang Guru Jagad itu
datang, jikalau engkau sendiri mau berusaha untuk merealisasi
sendiri kodratnya dengan penyerahan diri mutlak dan
kepercayaan penuh kepadanya, yaitu makan tubuhnya dan
minum darahnya.

Artinya, Sang Guru Jagad itu akan identik dengan engkau sendiri,
jikalau engkau sendiri telah merealisasi sendiri kepribadian bathin
tingkat yang kedua, dan engkau sendiri telah menerima
Kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran Semesta.

342. Ananda:

Lalu, bagaimankah halnya dengan kepribadian bathin tingkat


yang ketiga itu, Bapa?

343 Bapa:

Kepribadian Bathin tingkat yang ketiga, Ananda, itu adalah


keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh, yaitu sunyi
senyap dan hampa gambaran (imagelessness) yang tak
terucapkan. Ketika segala sesuatu yang menyangkut kesiswaan,
keguruan, dan filsafat (ajaran) telah di mengerti dengan
sempurna, dan telah diselami sendiri didalam kodrat inti sarinya
yang murni, maka muncullah kepribadian bathin tingkat yang
ketiga dengan kecerdasan bathin
180
luhur yang berada didalam pangkuan Pikiran Semesta atau
Pikiran Menunggal.

Inilah yang diterjemahkan oleh para bijaksana zaman dahulu


kedalam berbagai bahasa kata-kata, seperti misalnya: Kenyataan
Terluhur, Inti Sari Pikiran, Kebenaran yang tek Terucap,
Pembebasan Mutlak, intisari pengetahuan luhur, dan sebagainya.

344. Ananda:

Bapa, kiranya sudah tidak ada lagi yangharus aku tanyakan


kepada Bapa, karena hal-hal yang pokok dan hakiki telah Bapa
terangkan secara garis besar kepadaku dengan cukup jelas.
Apakah kiranya masih ada hal-hal lain yang hendak Bapa
pesankan kepadaku, sebelum aku mengundurkan diri dari
hadapan Bapa?

345. Bapa:

Ananda, semua apa yang sudah aku sampaikan kepadamu itu


adalah bagian karangan bunga yang aku pertunjukan kepadamu.
Warna-warni yang aku peroleh dari dalam yang aku tempuh
denga susah payah, dan dengan tebusantebusan darah, air mata,
keringat, dan corengan-corengan kotoran debu.

Oleh karen itu, Ananda, biarkanlah karangan bunga ku tetap


seperti itu, jangan kau lepas-lepas, jangan kau rubah-rubah, dan
jangan pula kau rusak. Pandang saja dia, jikalau engkau hendak
melihat keindahannya, sebab, itu adalah karangan bunga hasil
pekerjaan ku. Biarkanlah hasil pekerjaan orang, sebab orang
yang bekerja akan memperoleh upah sebagai haknya. Dan
biarkalah pula orang yang percaya, karena kepercayaannya itu
181
bukannya diperoleh sebagai hak, melainkan diperolehnya
sebagai karunia dari Dia yang ada diatasnya.

Ananda, fajar sudah akan menyingsing! Cepat-cepat engkau


kembali ke-kemahmu, dan mulailah engkau bekerja didalam
Nama Sang Guru Jagad untuk kepentingan keselamatan dan
kebahagiaan dunia umat manusia!

Demikian itulah yang kudengar sendiri tentang apa yang


dipercakapkan oleh ”Bapa” dan ”Ananda” mengenai Pengetahuan
Luhur, yaitu Kebenaran dan Kenyataan yang tidak dapat
dijelaskan oleh kecerdasan pikiran berpikir dan para pujangga.

Semoga yang mempunyai mata dapat melihat, dan yang


mempunyai telinga dapat mendengar.!

==========

SELESAI

==========

182

Anda mungkin juga menyukai