oleh :
NIM 199012333
DENPASAR
2020
Laporan Pendahuluan Dengue Haemorhagic Fever
A. Definisi
fever//DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disetai leucopenia, ruam,
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok
Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang menyerang anak dan orang
dewasa yang disebabkan oleh virus dengan manifestasi berupa demam akut,
perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod
Born Virus) yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty atau oleh Aedes
oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005). Dengue Hemoragic Fever (DHF)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh gigitan
nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Virus ini akan mengganggu kinerja
perdarahan. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis, seperti Asia Tenggara,
India, Brazil, Amerika, termasuk diseluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-
tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 m diatas permukaan air laut. Demam
berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus
dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk
(Prasetyono 2012).
B. Etiologi
Haemoragic Fever adalah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Virus Dengue
mempunyai 4 tipe, yaitu : DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4, yang ditularkan
melalui nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk ini biasanya hidup dikawasan tropis dan
Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotip akan
menimbulkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang
lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh
3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan
inaktivitas oleh distiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 700C. Keempat tipe
tersebut telah ditemukan pula di Indonesia dengan tipe DEN 3 yang paling banyak
Virus dengue yang telah masuk ke tubuh akan menimbulkan demam karena
hipovolemi, selain itu juga terjadi kebocoran plasma karena terjadi peningkatan
permeabilitas membran yang juga mengakibatkan hipovolemi, syok dan jika tak
akan mengakibatkan perdarahan, dan jika virus masuk ke usus akan mengakibatkan
perdarahan lain.
3. Derajat 3 : ditemukan tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan darah menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin,
4. Derajat 4 : syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
F. Manifestasi Klinis
1. Demam dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua lebih
- Nyeri kepala
- Nyeri retro-orbital
- Mialgia / artralgia
- Ruam kulit
- Leucopenia
- Pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan DD/DBD yang sudah
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
a. Demam atau riwayat demam akut 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik.
suntik.
c. Trombositopenia <100.00/ul
- Peningkatan nilai hematokrit ≥20% dari nilai baku sesuai umur dan jenis
kelamin.
- Hipoproteinemia
- Asites
- Efusi pleura
Seluruh kriteria DBD diatas ditandai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu:
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Hipotensi
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah
darah atau disebut lab serial yang terdiri dari hemoglobin, PCV, dan
atau kurang) dan hemotoksit sebanyak 20% atau lebih dibandingkan dengan
Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DHF
dkk 2012).
e. Protein rendah
f. Natrium rendah (hiponatremi)
h. Asidosis metabolic
2. Urine
Kadar albumin urine positif (albuminuria) (Vasanwala, 2012) Sumsum tulang pada
awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke 5 dengan
gangguan maturasi dan pada hari ke 10 sudah kembali normal untuk semua system
3. Foto Thorax
Pada pemeriksaan foto torax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi
lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan
4. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai dan dijadikan pertimbangan karena tidak
menggunakan sistem pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai organ
pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat
digunakan sebagai alat menentukan diagnosa penyakit yang mungkin muncul lebih
berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pankreas
5. Diagnosis Serologis
Tes ini adalah gold standart pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitif
namun tidak spesifik. Artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi epidemiologi. Untuk
diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau
tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai
pesumtif (+) atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi
c. Uji Neutralisasi Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Dan
Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi virus dengue
karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM negatif maka
uji harus diulang. Apabila sakit ke-6 IgM masih negatif maka dilaporkan
sebagai negatif. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah
(RTPCR) sifatnya sangat sensitif dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil
cepat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA
dari specimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk
H. Penatalaksanaan
1. Medis
dan haus. Pasien diberi banyak minum yaitu 1,5 – 2 liter dalam 24 jam.
bulan 50 mg IM, anak umur > 1tahun 75 mg. Jika kejang lebih dari 15 menit
diberikan pada pasien DHF tanpa renjatan apabila pasien terus menerus
b. Pasien mengalami syok segera segera dipasang infus sebagai pengganti cairan
hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan biasanya RL, jika
pemberian cairan tersebut tidak ada respon diberikan plasma atau plasma
pemberian infus harus diguyur. Apabila syok telah teratasi, nadi sudah jelas
teraba, amplitude nadi sudah cukup besar, maka tetesan infus dikurangi
1). Kristaloid
Laktat (D5/RL).
Asetat (D5/RA).
- Larutan Nacl 0,9% (Garal Faali + GF) atau Dextrose 5% dalam larutan
Faali (d5/GF).
2). Koloid
- a). Dextran 40
- b). Plasma
2. Keperawatan
a) Derajat I
Pasien istirahat, observasi tanda-tanda vital setiap 3 jam, periksa Ht, Hb dan
trombosit tiap 4 jam sekali. Berikan minum 1,5 – 2 liter dalam 24 jam dan
kompres hangat.
b) Derajat II
Segera dipasang infus, bila keadaan pasien sangat lemah sering dipasang pada
2 tempat karena dalam keadaan renjatan walaupun klem dibuka tetesan infus
tetap tidak lancar maka jika 2 tempat akan membantu memperlancar. Kadang-
kadang 1 infus untuk memberikan plasma darah dan yang lain cairan biasa.
c) Derajat III dan IV
darah dari lambung. NGT bisa dicabut apabila perdarahan telah berhenti.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat.
keperawatan yang muncul pada pasien. Konsep keperawatan anak pada klien DHF
a. Pengkajian
dirawat sebelumnya.
Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam, apakah
6. Riwayat psikososial
a. Data subyektif
pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan antara lain :
2. Sakit kepala
3. Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
4. Lemah
6. Konstipasi
b. Data obyektif
keadaan pasien. Data obyektif yang sering ditemukan pada penderita DHF antara
lain:
2. Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis,
6. Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin,
2015).
intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
intravaskuler ke ekstravaskuler.
h. Resiko perdarahan
j. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan pada fleura.
3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan pada pasien anak dengan penyakit DHF (Nanda, 2015)
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional :
2) Anjurkan pasien untuk banyak minum ( lebih kurang 2,5 liter/24 jam ).
Kolaborasi :
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
6) Berikan antipiretik.
pada hipotalamus.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
dalam.
koping.
Kolaborasi :
anoreksia.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional :
mengatasinya.
asupan makanan .
4) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Kolaborasi :
perdarahan
Kriteria evaluasi :
membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil, dan secara
Intervensi rasional :
tubuh.
6) Monitor adanya nyeri dada tiba - tiba, dispnea, sianosis, kecemasan yang
Kolaborasi :
kebutuhan elektrolit.
keseimbangan cairan.
gangguan menelan.
Kriteria evaluasi :
vital stabil, kulit hangat, nadi perifer teraba, AGD dalam batas normal,
Intervensi rasional :
1) Pantau tanda-tanda vital; palpasi denyut nadi perifer; catat suhu/ warna
kepala.
serebral.
Kolaborasi :
terapi.
6) Berikan cairan Intra vena sesuai indikasi/ produk darah sesuai kebutuhan.
Kriteria evaluasi :
pernafasan, dan
Tekanan darah dalam rentang normal..
Intervensi rasional :
2) Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
memenuhi kebutuhannya.
sesuai toleransi.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional :
pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan
Kolaborasi :
Hespan.
Kriteria evaluasi :
Intervensi rasional
darah.
resiko perdarahan.
3) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih
lanjut.
pembekuan.
Kolaborasi :
perdarahan.
i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
Kriteria evaluasi :
komplikasi.
Intervensi rasional
trombosit
asam.
iritasi
tingkatkan penyembuhan
fleura
Kriteria evaluasi :
Intervensi rasional
baik.
5. Evaluasi
a. Tujuan tercapai
ditetapkan
ditetapkan
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
Handayani, Wiwik dan Haribowo, A.S. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien
Hendarwanto. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi Kelima. Jakarta:
Sudoyo AW, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
Vasanwala.F.F. et.al, 2011, Could peak proteinuria determine whether patient with
PENDAHULUAN
kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas
penduduk.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Aedes aegypti lebih berperan dalam
penularan penyakit ini, karena hidupnya di dalam dan di sekitar rumah, sedangkan
Aedes albopictus di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia (Depkes
RI , 1992 a).
Penyakit DBD muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filipina, di Indonesia
dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah kasus 58 orang, 24
Surabaya merupakan daerah yang endemis penyakit DBD karena setiap tahun
pasti terjadi kasus dan kasus yang terjadi juga tinggi. Pada tahun 2000 sampai 2001
mengalami peningkatan kasus yaitu dari 1741 kasus (CFR = 0,5) menjadi 2143 kasus
(CFR = 0,2). Sedangkan pada tahun 2002 terjadi 1913 kasus dengan kematian 13
endemis DBD di Surabaya, setiap tahun nya terus menerus terjadi kasus dan pada
tahun 2002 mengalami peningkatan jumlah kasus yang sangat tinggi. Dari data tiga
tahun terakhir diketahui jumlah kasus DBD pada tahun 2000 sebanyak 20 kasus, pada
tahun 2001 sebanyak 18 kasus dan tahun 2002 telah terjadi peningkatan yaitu
sebanyak 34 kasus. Dari hasil Pemantauan Jentik berkala (PJB) pada tahun 2002,
rata-rata Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kelurahan Wonokusumo adalah 87%. Ini
menunjukkan bahwa kepadatan jentik Aedes aegypti masih tinggi (Dinas Kesehatan
penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks, karena penyakit ini belum
ditemukan obatnya. Tetapi cara paling baik untuk mencegah penyakit ini adalah
RI,1996 a).
aegypti perlu diketahui hubungan kondisi lingkungan fisik, kontainer, dan perilaku
Semampir, Kota Surabaya terhadap 100 rumah yang dihuni sebagai tempat tinggal
obyek yang diamati dan sekaligus mencoba menganalisis permasalahan yang ada.
kelembaban udara, jenis kontainer serta perilaku masyarakat yaitu pengetahuan, sikap
dan tindakan. Variabel terikat penelitian adalah keberadaan jentik nyamuk Aedes
nyamuk Aedes aegypti diobservasi pada rumah beserta kontainer dengan memakai
1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada atau
tidaknya jentik.
2. Untuk memeriksa Tempat Penampungan Air (TPA) yang berukuran besar seperti :
bak mandi, tempayan, drum , dan bak penampungan air lainnya, jika pada
pot tanaman air, botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke
tempat lain.
4. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh, biasanya
digunakan senter.
rumah yang menjadi sampel penelitian untuk mengetahui karakteristik responden dan
perilaku masyarakat terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Data suhu
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Dinas
1. Karakteristik Responden
terbanyak antara 46-55 tahun sebanyak 38 responden (38%), umur yang paling
(35%) sedangkan yang tamat hingga Perguruan Tinggi hanya 3 responden (3%).
Responden terbanyak adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja dimana responden
Berdarah Dengue (PSN DBD) dalam upaya pencegahan terhadap penyakit DBD.
dilakukan secara visual pada kontainer baik yang berada di dalam rumah maupun di
luar rumah.
Tabel 1. Distribusi Jumlah Jentik menurut Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti
Jentik
No Diperiksa Jumlah HI CI BI DF
Ada Tidak
1. Rumah 100 58 32
2. Kontainer 268 82 186 58 30,6 82 7
Dari Tabel 1. diketahui bahwa dari 100 rumah yang diperiksa, rumah positip
jentik nyamuk Aedes aegypti sebanyak 58 (58%) dan rumah yang tidak ditemukan
jentik sebanyak 42 (42%), sehingga diperoleh House Index (HI) = 58. Untuk
pemeriksaan kontainer diperoleh bahwa dari 268 kontainer yang diperiksa yang
terdapat jentik Aedes aegypti sebanyak 82 kontainer (30,6 %), sehingga diperoleh
Container Index (CI) = 30,6, Breteau Index (BI) = 82. Dan diperoleh Dengue Fever
3. Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti (Sugito, 1989). Pengukuran suhu udara
Tahun 2004
Suhu
Udara
Hari Ke Minimal Maksimal
1 31 32
2 30 31
3 30 32
4 30 33
5 30 33
6 30 33
7 29 32
8 30 32
9 29 31
10 30 31
Rata- 29,9 32
rata
nyamuk Aedes aegypti. Iskandar, et al., (1985) menyatakan bahwa pada umumnya
nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20 – 30 0C. Toleransi
terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. Menurut WHO (1972) dalam
dalam waktu 72 jam dalam temperatur udara 25 30 0C. Menurut Yotopranoto, et al.
(1998) dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah
25 – 270C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari
Tabel 3. Hubungan Suhu Udara dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di
Suhu Udara
Dari Tabel 3. tampak bahwa sebanyak 58 rumah yang terdapat jentik, yang
memiliki suhu udara baik bagi perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti 25 rumah
(43,1%) dan yang memiliki suhu udara kurang baik bagi perkembangan jentik
sebanyak 33 rumah (56,9%). Menurut hasil pengukuran suhu udara, diketahui bahwa
suhu udara rumah responden yang menunjukkan kategori baik untuk perkembangan
jentik nyamuk Aedes aegypti (suhu udara 20 – 300C) sebesar 40%, lebih kecil bila
dibandingkan dengan rumah responden yang mempunyai suhu udara kurang baik
terhadap perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti yaitu sebesar 60%. Hal ini
disebabkan karena pengukuran yang dilakukan hanya satu kali saja pada saat survey,
Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p = 0,591 (p > α), berarti tidak
ada hubungan yang bermakna antara suhu udara dengan keberadaan jentik nyamuk
4. Kelembaban Udara
Selain suhu udara, kelembaban udara juga merupakan sala h satu kondisi
81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan
mempunyai kelembaban udara yang baik untuk perkembangan jentik Aedes aegypti
lebih besar daripada rumah responden yang kelembabannya kurang baik yai tu
sebanyak 24 rumah (41,4%). Rumah responden dengan kelembaban yang baik untuk
perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti sebesar 43%, lebih kecil daripada rumah
responden dengan kelembaban udara kurang baik untuk perkembangan jentik nyamuk
Aedes aegypti sebesar 57%. Ini dikarenakan waktu pengukuran yang dilakukan hanya
satu kali pengukuran pada saat survei dilakukan.yaitu siang hari (sekitar pukul 09.00
– 11.30 WIB).
Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan p = 0,000 (p< α), berarti ada
5. Jenis Kontainer
menjadi 3 (tiga) yaitu : Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
TPA bukan untuk keperluan sehari-hari dan TPA alamiah (Depkes RI, 1992 a). Dari
hasil penelitian tentang jenis kontainer diketemukan TPA untuk keperluan sehari -
hari sebanyak 252 (94,0%), TPA bukan untuk keperluan sehari-hari sebanyak 16
Hasil survei pada kontainer yang terdapat di rumah responden untuk mengetahui
hubungan antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di
Kelurahan Wonokusumo ditampilkan pada tabel 6.
Jenis Kontainer
No
KeberadaanJentik TPA Non TPA AlamiahTPA Jumlah
1. Ada Jentik 82 ( 100% ) 0 (0%) 0( 0% ) 82 ( 100% )
tampak bahwa dari jumlah TPA untuk keperluan sehari-hari yaitu sebanyak 252
kontainer, dan ditemukan 82 kontainer yang positip jentik. Hal ini disebabkan karena
Kelurahan Wonokusumo merupakan daerah pemukiman yang padat dan kumuh serta
nyamuk Aedes aegypti seperti bak mandi, bak WC, tandon, dan tempayan yang jarang
dibersihkan.
kontainer yang berupa vas bunga yang positif jentik dan untuk tempat minum hewan
piaraan, tidak satupun dari TPA ini yang ditemukan jentik. Ini dikarenakan kontainer
dari jenis ini setiap harinya selalu diganti dengan air yang baru. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam Yotopranoto (1998) yang menyatakan
Hasil uji statistik Frisher`s Exact Test menunjukkan p = 0,004 (p<α), berarti
ada hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik
dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek diluarnya sehingga
(1993) pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan , karena menurut Green (1980) yang
dikutip dari Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor
responden (21%) dan tingkat pengetahuan yang kurang baik sebanyak 79 (79%).
Tabel 7. Hubungan Tingkat Pengetahuan Responden dengan Keberadaan Jentik
Nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004
Tingkat Pengetahuan
No Keberadaan Jentik Kurang baik Baik Jumlah
1. Ada jentik 53 (91,4%) 5 (8,6%) 58 (100%)
2. Tidak ada jentik 26 (61,9%) 16 (38%) 42 (100%)
Jumlah 79 (79%) 21 (21%) 100
(100%) Dari
Tabel 7 tampak bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang baik
dan terdapat jentik di rumahnya sebanyak 53 responden (91,4%) lebih besar daripada
responden yang mempunyai tingkat pengetahuan baik dan terdapat jentik sebanyak 5
responden (8,6%). Hal ini didikung pula oleh hasil uji statistik Chi-Square dimana
diperoleh p = 0,001 (p<α), berarti terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
Wonokusumo.
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan
dikatakan pula bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Bila responden tidak
mengetahui dengan jelas bagaimana cara pemberantasan sarang nyamuk dan faktor
yang mempengaruhi keberadaan jentik maka tidak dapat diambil suatu tindakan yang
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek bukan
Sikap responden
No Keberadaan Jentik Kurang baik Baik Jumlah
1. Ada jentik 9(15,5%) 49(84,5%) 58(100%)
2. Tidak ada jentik 2 (4,8 %) 40(95,2%) 42(100%)
Jumlah 11(11%) 89 (89%) 100(100%)
Dari Tabel 8 diketahui bahwa dari 58 rumah responden yang terdapat jentik,
dimana pada sikap yang kurang baik atau kurang mendukung kegiatan PSN dan
abatisasi terdapat jentik sebanyak 9 (15,5%) dan pada sikap yang baik dan
(PSN) dan abatisasi lebih besar daripada sikap responden yang kurang baik terhadap
upaya PSN dan abatisasi yaitu sebesar 89%. Hal ini disebabkan karena responden
dalam menjawab pertanyaan selalu menjawab hal-hal yang baik saja. Sikap
responden untuk menguras tempat penampungan air tidak disertai kesadaran sebagai
tindakan menghilangkan jentik nyamuk Aedes aegypti tapi lebih mengarah kepada
kondisi fisik air yang kurang baik. Sikap responden merupakan respon yang masih
tertutup dan tidak tampak dalam keadaan nyata, sehingga meskipun mereka setuju
terhadap upaya PSN dan abatisasi belum tentu mereka berperilaku sesuai dengan
sikapnya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Fisher`s Exact Test dimana
diperoleh p = 0,113 (p>α), berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap
Wonokusumo.
Tindakan responden dalam penelitian ini yang dilakukan untuk mengurangi atau
menekan kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti dengan kategori baik sebesar 49 %
lebih kecil dibandingkan tindakan responden yang dilakukan untuk mengurangi atau
Tindakan Responden
No KeberadaanJentik Kurang baik Baik Jumlah
1. Ada jentik 38 ( 65,5% ) 20 ( 34,5% ) 58 ( 100% )
2. Tidak ada jentik 13 ( 31,0% ) 29 ( 69,0% ) 42 ( 100% )
Jumlah 51 ( 51% ) 49 ( 49% ) 100 ( 100% )
Dari Tabel 9 tampak bahwa tindakan responden dengan kategori kurang baik
dan terdapat jentik dirumahnya adalah sebesar 65,5 % sedangkan tindakan responden
dengan kategori baik dan terdapat jentik dirumahnya yaitu sebesar 34,5 %. Hal ini
jentik di rumahnya.
Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan p = 0,001 (p< α), berati ada
nyamuk Aedes aegypti dan mencegah timbulnya penyakit Demam Berdarah Dengue.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
dan DF = 7, hal ini menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti tinggi sehingga
penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit DBD.
Sedangkan suhu udara tidak ada hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk
Aedes aegypti.
keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Sedangkan sikap responden tidak ada
Wonokusumo.
Saran
Wonokusumo tentang DBD dan cara pencegah annya melalui media massa,