Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DHF

(DENGUE HAEMORHAGIC FEVER)

oleh :

MADE SURYA MAHARDIKA

NIM 199012333

PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2020
Laporan Pendahuluan Dengue Haemorhagic Fever

A. Definisi

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorhagic

fever//DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disetai leucopenia, ruam,

limfadenopati, trombositopenia dan ditesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan

plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit) atau

penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock

syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok

(Aru W,Sudoyo, 2009)

Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang menyerang anak dan orang

dewasa yang disebabkan oleh virus dengan manifestasi berupa demam akut,

perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod

Born Virus) yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty atau oleh Aedes

Albopictus (Titik Lestari, 2016)

DHF adalah infeksi arbovirus( arthropoda-borne virus) akut, ditularkan

oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005). Dengue Hemoragic Fever (DHF)

adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh gigitan

nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Virus ini akan mengganggu kinerja

darah kapiler dan sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-

perdarahan. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis, seperti Asia Tenggara,
India, Brazil, Amerika, termasuk diseluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-

tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 m diatas permukaan air laut. Demam

berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus

dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk

(Prasetyono 2012).

B. Etiologi

Pada umumnya masyarakat kita mengetahui penyebab dari Dengue

Haemoragic Fever adalah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Virus Dengue

mempunyai 4 tipe, yaitu : DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4, yang ditularkan

melalui nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk ini biasanya hidup dikawasan tropis dan

berkembang biak pada sumber air yang tergenang. Keempatnya ditemukan di

Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotip akan

menimbulkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang,

sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang

lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh

3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan

diberbagai daerah di Indonesia (Sudoyo dkk. 2010)

Virus Dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap

inaktivitas oleh distiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 700C. Keempat tipe

tersebut telah ditemukan pula di Indonesia dengan tipe DEN 3 yang paling banyak

ditemukan (Hendarwanto 2009).


C. Patofisiologi

Virus dengue yang telah masuk ke tubuh akan menimbulkan demam karena

proses infeksi. Hal tersebut akan merangsang hipotalamus sehingga terjadi

termoregulasi yang akan meningkatkan reabsorsi Na dan air sehingga terjadi

hipovolemi, selain itu juga terjadi kebocoran plasma karena terjadi peningkatan

permeabilitas membran yang juga mengakibatkan hipovolemi, syok dan jika tak

teratasi akan terjadi hipoksia jaringan yang dapat mengakibatkan kematian.

Selain itu kerusakan endotel juga dapat mengakibatkan trombositopenia yang

akan mengakibatkan perdarahan, dan jika virus masuk ke usus akan mengakibatkan

gastroenteritis sehingga terjadi mual dan muntah.


D. Pathway

Gigitan nyamuk aedes aegpty

Masuknya virus dengue dalam tubuh


Kurang Kurang pengetahuan
Kontak dengan antibodi
informasi
Virus bereaksi dengan antibody

Terbentuk kompleks virus antibody MRS stress hospitalisasi

Breath Blood Brain Bladder Bowel Bone


virus masuk ke
Mengaktifkan sistem dalam pembuluh Pelepasan
Aktivasi C3 dan C5 Perpindahan
Agregasi Aktivasi C3 dan C5
komplemen trombosit darah neurotransmitter cairan ke
(histamine, bradikinin, hepato-splenomegali ekstravaskuler
 Permeabilitas Menstimulasi sel prostaglandin)
Aktivasi C3 dan C5 Melepas  Permeabilitas
dinding pembuluh host inflamasi mendesak lambung Peurunan
adenosin di (seperti mikrofag, dinding pembuluh
phosphat (ADP) darah Berikatan dengan kebutuhan O2,
neutrofil) darah
Pelepasan reseptor nyeri (IP-3)  HCL nutrisi
anafilatoksim Menghilangnya
Thrombosis  SGOT,SGPT
(C3a,C5a) plasma melalui Menghilangnya
mengalami Memproduksi Metabolism
endotel dinding Impuls nyeri
kerusakan endogenus pirogen plasma melalui Mual muntah, menurun
Permiabilitas pembuluh darah masuk ke
metamorfosis (IL-1, IL-6) endotel dinding nafsu makan
dinding Thalamus
pembuluh darah menurun
pembuluh
Endothelium Lemah, pusing,
darah Trombositopenia Kebocoran Nyeri Masukan
hipotalamus Kebocoran plasma frekuensi nadi
plasma (ke extra meningkatkan produksi (keextravaskuler) nutrisi kurang dan pernapasan
vaskuler) prostaglandin dan meningkat
Menghilangnya neurotransmiter
Resiko Resiko Syok
plasma melalui Ketidakseimbangan
Perdarahan
endotel dinding Syok nutrisi : kurang dari
Prostaglandin berikatan Intoleransi
pembuluh darah kebutuhan
dengan neuron prepiotik aktivitas
Kekurangan di hipotalamus
Hipotensi, nadi
Kebocoran plasma volume cairan
cepat dan lemah
(ke ekstravaskuler) Meningkatkan thermostat Fungsi hati
“set point” pada pusat terganggu
Penurunan O2
termoregulator
Penumpukan cairan dalam jaringan
pada pleura
Demam
Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
Gangguan pola nafas Hipertermi
E. Derajat DHF

Derajat Dengue Haemorhagic Fever menurut WHO

1. Derajat 1 : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji tourniquet positif

2. Derajat 2 : sama seperti derjat 1, disertai perdarahan spontan dikulit atau

perdarahan lain.

3. Derajat 3 : ditemukan tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,

tekanan darah menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin,

lembab, dan pasien menjadi gelisah.

4. Derajat 4 : syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

F. Manifestasi Klinis

1. Demam dengue

Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua lebih

manifestasi klinis sebagai berikut :

- Nyeri kepala

- Nyeri retro-orbital

- Mialgia / artralgia

- Ruam kulit

- Manifestasi perdarahan(petekie atau uji bending positif)

- Leucopenia
- Pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan DD/DBD yang sudah

dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama

2. Demam berdarah dengue

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal

dibawah ini dipenuhi

a. Demam atau riwayat demam akut 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik.

b. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa :

- Uji tourniquet positif

- Petekie, ekimosis, atau purpura

- Perdarahan mukosa (epitaksis, perdarahan gusi), saluran cerna,tempat bekas

suntik.

- Hematemesis atau melena

c. Trombositopenia <100.00/ul

d. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:

- Peningkatan nilai hematokrit ≥20% dari nilai baku sesuai umur dan jenis

kelamin.

- Penurunan nilai hematokrit ≥20% setelah pemberian cairan yang adekuat

e. Tanda kebocoran plasma seperti :

- Hipoproteinemia

- Asites

- Efusi pleura

3. Sindrom syok dengue

Seluruh kriteria DBD diatas ditandai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu:
- Penurunan kesadaran, gelisah

- Nadi cepat, lemah

- Hipotensi

- Tekanan darah turun <20mmHg

- Perfusi perifer menurun

- Kulit dingin, lembab. (Handayani, Wiwik dan Hariwibowo, 2008)

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Darah

a. Pada kasus DHF yang dijadikann pemeriksaan penunjang yaitu menggunakan

darah atau disebut lab serial yang terdiri dari hemoglobin, PCV, dan

trombosit. Pemeriksaan menunjukkan adanya tropositopenia (100.000 / ml

atau kurang) dan hemotoksit sebanyak 20% atau lebih dibandingkan dengan

nilai hematoksit pada masa konvaselen.

b. Hematokrit meningkat > 20 %, merupakan indikator akan timbulnya renjatan.

Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti pada DHF

dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya trombositopenia,

hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier

dkk 2012).

c. Leukosit menurun pada hari kedua atau ketiga

d. Hemoglobin meningkat lebih dari 20 %

e. Protein rendah
f. Natrium rendah (hiponatremi)

g. SGOT/SGPT bisa meningkat

h. Asidosis metabolic

i. Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan

2. Urine

Kadar albumin urine positif (albuminuria) (Vasanwala, 2012) Sumsum tulang pada

awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari ke 5 dengan

gangguan maturasi dan pada hari ke 10 sudah kembali normal untuk semua system

3. Foto Thorax

Pada pemeriksaan foto torax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya posisi

lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi kanan) lebih baik dalam mendeteksi cairan

dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.

4. USG

Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai dan dijadikan pertimbangan karena tidak

menggunakan sistem pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus berbagai organ

pada abdomen. Adanya acites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat

digunakan sebagai alat menentukan diagnosa penyakit yang mungkin muncul lebih

berat misalnya dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan

pankreas
5. Diagnosis Serologis

a. Uji Hemaglutinasi (Uji HI)

Tes ini adalah gold standart pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitif

namun tidak spesifik. Artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang

menginfeksi. Antibodi HI bertahan dalam tubuh lama sekali (<48 tahun)

sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi epidemiologi. Untuk

diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau

tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai

pesumtif (+) atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi

(Vasanwala at.al., 2011).

b. Uji komplemen Fiksasi (uji CF)

Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan

butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan beberapa

tahun saja (sekitar 2-3 tahun).

c. Uji Neutralisasi Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Dan

biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT)

(Vasanwala et.al., 2012)

d. IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)

Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi virus dengue

karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM negatif maka

uji harus diulang. Apabila sakit ke-6 IgM masih negatif maka dilaporkan

sebagai negatif. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah

adanya infeksi (Vasanwala et.al, 2011)


e. Identifikasi Virus

Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction

(RTPCR) sifatnya sangat sensitif dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil

cepat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA

dari specimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk

(Vasanwala et.al.. 2011).

H.  Penatalaksanaan

1.   Medis

a. Demam tinggi, anoreksia dan sering muntah menyebabkan pasien dehidrasi

dan haus. Pasien diberi banyak minum yaitu 1,5 – 2 liter dalam 24 jam.

Keadaan hiperpireksia diatasi dengan obat antipiretik. Jika terjadi kejang

diberikan antikonvulsan. Luminal diberikan dengan dosis : anak umur < 12

bulan 50 mg IM, anak umur > 1tahun 75 mg. Jika kejang lebih dari 15 menit

belum berhenti luminal diberikan lagi dengan dosis 3 mg/kgBB. Infus

diberikan pada pasien DHF tanpa renjatan apabila pasien terus menerus

muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya

dehidrasi dan hematokrit yang cenderung meningkat .

b. Pasien mengalami syok segera segera dipasang infus sebagai pengganti cairan

hilang akibat kebocoran plasma. Cairan yang diberikan biasanya RL, jika

pemberian cairan tersebut tidak ada respon diberikan plasma atau plasma

ekspander banyaknya 20 – 30 mL/kg BB. Pada pasien dengan renjatan berat

pemberian infus harus diguyur. Apabila syok telah teratasi, nadi sudah jelas
teraba, amplitude nadi sudah cukup besar, maka tetesan infus dikurangi

menjadi 10 mL/kg BB/jam (Ngastiyah 2005)

c.  Cairan (Rekomendasi WHO, 2007)

1). Kristaloid

- Larutan Ringer Laktat (RL) atau Dextrose 5% dalam larutan Ringer

Laktat (D5/RL).

- Larutan Ringer Asetat (RA) atau Dextrose 5% dalam larutan Ringer

Asetat (D5/RA).

- Larutan Nacl 0,9% (Garal Faali + GF) atau Dextrose 5% dalam larutan

Faali (d5/GF).

2). Koloid

- a). Dextran 40

- b). Plasma

2.   Keperawatan

a) Derajat I

Pasien istirahat, observasi tanda-tanda vital setiap 3 jam, periksa Ht, Hb dan

trombosit tiap 4 jam sekali. Berikan minum 1,5 – 2 liter dalam 24 jam dan

kompres hangat.

b) Derajat II

Segera dipasang infus, bila keadaan pasien sangat lemah sering dipasang pada

2 tempat karena dalam keadaan renjatan walaupun klem dibuka tetesan infus

tetap tidak lancar maka jika 2 tempat akan membantu memperlancar. Kadang-

kadang 1 infus untuk memberikan plasma darah dan yang lain cairan biasa.
c) Derajat III dan IV

- Penggantian plasma yang keluar dan memberikan cairan elektrolit (RL)

dengan cara diguyur kecepatan 20 ml/kgBB/jam.

- Dibaringkan dengan posisi semi fowler dan diberikan O2.

- Pengawasan tanda – tanda vital dilakukan setiap 15 menit.

- Pemeriksaan Ht, Hb dan Trombosit dilakukan secara periodik.

- Bila pasien muntah bercampur darah perlu diukur untuk tindakan

secepatnya baik obat – obatan maupun darah yang diperlukan.

- Makanan dan minuman dihentikan, bila mengalami perdarahan

gastrointestinal biasanya dipasang NGT untuk membantu pengeluaran

darah dari lambung. NGT bisa dicabut apabila perdarahan telah berhenti.

Jika kesadaran telah membaik sudah boleh diberikan makanan cair.


Konsep asuhan keperawatan DHF

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat.

Hasil pengkajian yang dilakukan perawat berguna untuk menentukan masalah

keperawatan yang muncul pada pasien. Konsep keperawatan anak pada klien DHF

menurut Ngastiyah (2005) yaitu :

a. Pengkajian

1. Identitas pasien Keluhan utama

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dahulu

4. Riwayat tumbuh kembang, penyakit yang pernah diderita, apakah pernah

dirawat sebelumnya.

5. Riwayat penyakit keluarga

Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam, apakah

ada riwayat penyakit keturunan, kardiovaskuler, metabolik, dan sebagainya.

6. Riwayat psikososial

Bagaimana riwayat imunisasi, bagaimana pengetahuan keluarga mengenai

demam serta penanganannya.

a. Data subyektif

Merupakan data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga

pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan antara lain :

1. Panas atau demam

2. Sakit kepala
3. Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.

4. Lemah

5. Nyeri ulu hati, otot dan sendi

6. Konstipasi

b. Data obyektif

Merupakan data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat pada

keadaan pasien. Data obyektif yang sering ditemukan pada penderita DHF antara

lain:

1. Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor

2. Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis,

ekimosis,hematoma, hematemesis, melena

3. Hiperemia pada tenggorokan

4. Nyeri tekan pada epigastrik

5. Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa

6. Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin,

gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.

7. Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan


2. Diagnosa Keperawatan

Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF (Nanda,

2015).

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

b. Nyeri akut berhubungan dengan cidera biologis (penekanan intra abdomen)

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan

intravaskuler ke ekstravaskuler.

e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kebocoran

plasma darah, penurunan oksigen dalam jaringan.

f. Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, tirah baring.

g. Resiko syok (hipovolemik)

h. Resiko perdarahan

i. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah

interpretasi informasi, kurang pajanan

j. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan pada fleura.
3. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan pada pasien anak dengan penyakit DHF (Nanda, 2015)

a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (viremia).

Kriteria evaluasi :

 Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.

 Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.

Intervensi Rasional :

1) Monitor suhu pasien.

Rasionnal : pola demam dapat membantu dalam diagnosis; kurva demam

lanjut lebih dari 4 hari menunjukan infeksi yang lain.

2) Anjurkan pasien untuk banyak minum ( lebih kurang 2,5 liter/24 jam ).

Rasional : peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh

meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

3) Berikan kompres hangat.

Rasional : dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang

mempercepat penurunan suhu tubuh.

4) Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.

Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.

Kolaborasi :

5) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.

Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
6) Berikan antipiretik.

Rasional : digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya

pada hipotalamus.

b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.

Kriteria evaluasi :

 Mengatakan nyeri hilang atau terkontrol.

 Menunjukan relaksasi, dapat tidur atau istirahat.

 Menunjukan perilaku mengurangi nyeri.

Intervensi Rasional

1) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien

Rasional :untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.

2) Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.

Rasional : posisi nyaman dan lingkungan tenang mengurangi rasa nyeri.

3) Berikan tindakan kenyamanan seperti perubahan posisi dan dorong

penggunaan tehnik relaksasi, seperti imajinasi, visualisasi, latihan nafas

dalam.

Rasional : menurunkan tegangan otot, meningkatkan istirahat dan relaksasi,

memusatkan perhatian, dapat meningkatkan kontrol dan kemampuan

koping.

Kolaborasi :

4) Berikan obat-obat analgetik

Rasional : analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.


c. Ketidak seimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan : mual, muntah,

anoreksia.

Kriteria evaluasi :

 Mempertahankan berat badan dan keseimbangan nitrogen positif.

 Menunjukkan perilaku untuk meningkatkan/ mempertahankan berat

badan yang sesuai

Intervensi Rasional :

1) Kaji keluhan mual, sakit menelan,

Rasional : untuk menetapkan cara dan muntah yang dialami pasien

mengatasinya.

2) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.

Rasional : membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan

asupan makanan .

3) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.

Rasional : untuk menghindari mual.

4) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.

Rasional : untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.

Kolaborasi :

5) Berikan obat-obatan antiemetic sesuai program dokter.

Rasional : antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah

dan meningkatkan toleransi pada makanan.


6) Antasida, contoh Mylanta.

Rasional : kerja pada asam gaster, dapat menurunkan iritasi/ resiko

perdarahan

7) Vitamin, contoh B komplek, C, tambahan diet lain sesuai indikasi

Rasional:Memperbaiki kekurangan dan membantu proses penyembuhan.

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, perdarahan.

Kriteria evaluasi :

 Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembapan

membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil, dan secara

individual haluaran urine adekuat, capilary refill cepat.

Intervensi rasional :

1) Kaji keadaan umum pasien (lemah,pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.

Rasional:menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan

dari keadaan normal.

2) Observasi tanda-tanda syok.

Rasional : agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.

3) Anjurkan pasien untuk banyak minum.

Rasional : asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan

tubuh.

4) Catat intake dan output cairan.

Rasional : untuk mengetahui keseimbangan cairan.


5) Palpasi nadi perifer, capilary refill,

Rasional : kondisi yang berkontribusi dalam temperatur kulit, kaji

kesadaran, tanda perdarahan. kekurangan cairan ekstraselular yang dapat

menyebabkan kolaps pada sirkulasi/ syok.

6) Monitor adanya nyeri dada tiba - tiba, dispnea, sianosis, kecemasan yang

meningkat, kurang istirahat.

Rasional : hemokonsentrasi dan peningkatan platelet agregrasi dapat

mengakibatkan pembentukan emboli sistemik.

7) Kaji kemampuan menelan klien.

Rasional : kegagalan refleks menelan, anoreksia, tidak nyaman dimulut,

perubahan tingkat kesadaran merupakan faktor yang mempengaruhi

kemampuan klien untuk mengganti cairan oral.

Kolaborasi :

8) Berikan cairan intravena sesuai program dokter : NaCl 0,45%, RL solution.

Rasional : hipotonik solution ( NaCl 0,45% ) digunakan untuk memenuhi

kebutuhan elektrolit.

9) Koloid : dextran, plasma/albumin, hespan.

Rasional : koreksi defisit konsentrasi protein plasma, meningkatkan

tekanan osmotik intravaskular, dan memfasilitasi kembalinya cairan

kedalam kompartemen pembuluh darah.

10) Tranfusi Whole blood / tranfusi PRC

Rasional : mengindikasikan hypovolemia yang berhubungan dengan

kehilangan darah aktif.


11) Plasma beku segar ( FFP ).

Rasional : mungkin diperlukan untuk menggantikan faktor pembekuan

pada adanya defek koagulasi.

12) Berikan sodium bicarbonat jika diindikasikan.

Rasional : diberikan untuk koreksi asidosis berat saat koreksi

keseimbangan cairan.

13) Berikan makanan melalui NGT termasuk cairan sesuai kebutuhan.

Rasaional : penambahan penggantian cairan dan nutrisi ketika terjadi

gangguan menelan.

14) Monitor nilai laboratorium : Hb, Ht, trombosit, elektrolit,koagulasi.

Rasional : bergantung pada kehilangan cairan vena, ketidakseimbangan

elektrolit memerlukan koreksi, peningkatan Ht, penurunan trombosit

meningkatkan resiko perdarahan.

e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hipovolemia.

Kriteria evaluasi :

 Mempertahankan/ memperbaiki perfusi jaringan dengan bukti tanda

vital stabil, kulit hangat, nadi perifer teraba, AGD dalam batas normal,

kesadaran normal, keluaran urine adekuat.

Intervensi rasional :

1) Pantau tanda-tanda vital; palpasi denyut nadi perifer; catat suhu/ warna

kulit dan pengisian kapiler; evaluasi waktu dan pengeluaran urine.


Rasional : merupakan indikator dari volume sirkulasi dan fungsi organ/

perfusi jaringan yang adekuat.

2) Kaji adanya perubahan tingkat kesadaran , keluhan pusing atau sakit

kepala.

Rasional : perubahan dapat menunjukkan ketidakadekuatan perfusi

serebral.

3) Auskultasi nadi apikal.Awasi irama jantung dengan EKG.

Rasional : perubahan disritmia dan iskemia dapat terjadi sebagai akibat

hipotensi, hipoksia, asidosis,ketidakseimbangan elektrolit.

Kolaborasi :

4) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Rasional : mengatasi hipoksemia dan asidosis selama perdarahan.

5) Pemeriksaan AGD/ awasi nadi oksimetri.

Rasional : mengidentifikasi hipoksemia, keefektifan/ kebutuhan untuk

terapi.

6) Berikan cairan Intra vena sesuai indikasi/ produk darah sesuai kebutuhan.

Rasional : mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi jaringan.

f. Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, tirah baring.

Kriteria evaluasi :

 Melaporkan peningkatan intoleran aktifitas ( ADL ).

 Menunjukan penurunan tanda fisiologis intoleran, misal nadi,

pernafasan, dan
 Tekanan darah dalam rentang normal..

Intervensi rasional :

1) Kaji keluhan pasien.

Rasional : untuk mengidentifikasi masalah – masalah pasien.

2) Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.

Rasional : untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam

memenuhi kebutuhannya.

3) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai

tingkat keterbatasan pasien.

Rasional : pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat

kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam

pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami

ketergantungan pada perawat.

4) Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.

Rasional : akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya

sendiri tanpa bantuan orang lain.

5) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan, tingkatkan tingkat aktifitas

sesuai toleransi.

Rasional : mengurangi resiko cedera akibat penurunan trombosit, dan

memperbaiki tonus otot tanpa kelemahan.


g. Resiko terjadinya syok berhubungan dengan kebocoran plasma.

Kriteria evaluasi :

 Menunjukkan membran mukosa / kulit lembab, tanda vital stabil,

haluaran urin adekuat, nadi perifer normal

Intervensi Rasional :

1) Monitor keadaan umum pasien.

Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama

pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan

dapat segera ditangani.

2) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.

Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.

3) Monitor tanda perdarahan.

Rasional : perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien

tidak sampai syok hipovolemik.

4) Palpasi nadi perifer; capilary refill, temperatur kulit, kaji kesadaran.

Rasional : kondisi yang berkontribusi dalam kekurangan cairan

ekstraselular yang dapat menyebabkan kolaps pada sirkulasi/ syok.

5) Lapor dokter bila terdapat tanda syok hipovolemik.

Rasional : untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut segera mungkin.

Kolaborasi :

6) Cek laboratorium : haemoglobin, hematokrit, trombosit.

Rasional : untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang

dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.


7) Berikan cairan sesuai program : Koloid : dextran, plasma/albumin,

Hespan.

Rasional : koreksi defisit konsentrasi protein plasma, meningkatkan

tekanan osmotik intravaskular, dan memfasilitasi kembalinya cairan

kedalam kompartemen pembuluh darah.

8) Tranfusi Whole blood/ tranfusi PRC. / FFP

Rasional : mengindikasikan hypovolemia yang berhubungan dengan

kehilangan darah aktif.

h. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.

Kriteria evaluasi :

 Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan.

 Menunjukan perilaku penurunan resiko perdarahan.

Intervensi rasional

1) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.

Rasional : penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh

darah.

2) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat/bedrest.

Rasional : aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

resiko perdarahan.

3) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih

lanjut.

Rasional : membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.


4) Awasi tanda vital

Rasional : peningkatan nadi dengan penurunan Tekanan darah dapat

menunjukan kehilangan volume darah sirkulasi.

5) Anjurkan meminimalisasi penggunaan sikat gigi, dorong penggunaan

antiseptik untuk mulut.

Rasional : pada gangguan faktor pembekuan, trauma minimal dapat

menyebabkan perdarahan mukosa.

6) Gunakan jarum kecil untuk injeksi atau pengambilan sampel darah.

Rasional : menurunkan resiko perdarahan / hematoma.

7) Observasi adanya ptekie, epistaksis, perdarahan gusi, melena.

Rasional : DIC subakut dapat terjadi sekunder terhadap gangguan factor

pembekuan.

Kolaborasi :

8) Awasi Hb, Ht, trombosit dan factor pembekuan.

Rasional : indikator adanya perdarahan aktif, hemokonsentrasi, atau

terjadinya komplikasi ( DIC).

9) Berikan obat sesuai indikasi : vit K, D,dan C.

Rasional : Meningkatkan sintesis protrombin dan koagulasi.

Kekurangan vit C meningkatkan kerentanan terjadinya iritasi /

perdarahan.
i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurangnya informasi.

Kriteria evaluasi :

 Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan resiko

komplikasi.

 Berpartisipasi dalam pengobatan.

Intervensi rasional

1) Jelaskan pentingnya pembatasan aktifitas selama periode penurunan

trombosit

Rasional : memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan

rutinitas / aktifitas tanpa menimbulkan masalah.

2) Jelaskan gejala yang memerlukan intervensi medik seperti akral/ tangan

dingin, epistaksis, perdarahan gusi,melena, sesak.

Rasional : upaya intervensi untuk menurunkan resiko komplikasi serius

seperti perdarahan, tanda syok.

3) Dorong aktifitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodik.

Rasional : mencegah kelemahan, dapat meningkatkan penyembuhan dan

perasaan sehat, dan mempermudah kembali ke aktifitas normal.

4) Diskusikan penghindaran penggunaan sikat gigi, menggunakan sikat

gigi halus/ obat kumur, membersihkan kotoran hidung dengan keras.

Rasional : menurunkan resiko perdarahan sehubungan dengan trauma

dan perubahan koagulasi.


5) Anjurkan klien menghindari makanan / minuman karbonat, pedas dan

asam.

Rasional : menurunkan rangsangan pada asam lambung dan menceegah

iritasi

6) Diskusikan perawatan, pengobatan, proses penyakit dan prognosis.

Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat

membuat pilihan berdasarkan informasi.

7) Dorong pertanyaan, ekspresi masalah.

Rasional : komunikasi efektif dan dukungan turunkan cemas dan

tingkatkan penyembuhan

j. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan cairan pada

fleura

Kriteria evaluasi :

 Tidak ada keluhan sesak nafas

 Tidak ada keluhan batuk.

Intervensi rasional

1) Observasi pola nafas pasien

Rasional : sebagai dasar menentukan rencana tindakan selanjutnya.

2) Atur posisi klien senyaman mungkin.

Rasional : upaya intervensi untuk meningkatkan ekspansi paru dalam

menerima oksigen sehingga mengurangi sesak.


3) Beri oksigen yang dilembabkan.

Rasional : oksigen yang dilembabkan dapat mencegah iritasi yang

berlebihan pada laring.

4) Ciptakan lingkungan yang nyaman.

Rasional : mengurangi kepengapan sehingga pola pernafasan lebih

baik.

5) Anjurkan minum banyak pada pasien

Rasional : dapat melonggarkan pernafasan


4. Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan

dalam rencana – rencana perawatan.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan sebagai

pengukuran dari keberhasilan rencana tindakan keperawatan.

Hasil evaluasi dapat berupa

a. Tujuan tercapai

Jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan

b. Tujuan tercapai sebagian

Jika pasien menunjukkan perubahan sebagian dari standart yang telah

ditetapkan

c. Tujuan tidak tercapai

Pasien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali bahkan

timbul masalah baru


DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:

Interna Publishing.

Handayani, Wiwik dan Haribowo, A.S. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien

dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Hendarwanto. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi Kelima. Jakarta:

Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10

editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 2005. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: EGC.

Prasetyono. 2012. Buku Pintar ASI Eksklusif. Yogya : Diva Press

Sudoyo AW, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta:

Interna Publishing.

Titik Lestari, 2016. Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika

Vasanwala.F.F. et.al, 2011, Could peak proteinuria determine whether patient with

dengue fever develop dengue hemorragic/dengue shock syndrome/-A

prospective cohot study. BMC Infections Disease

HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN, KONTAINER, DAN PERILAKU


MASYARAKAT DENGAN KEBERADAAN JENTIK NYAMUK
AEDES AEGYPTI DI DAERAH ENDEMIS
DEMAM BERDARAH DENGUE SURABAYA
Ririh Yudhastuti1) dan Anny Vidiyani2)
1)
Dosen di Bagian Kesehatan Lingkungan FKM UNAIR
2)
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UNAIR
Abstract:
Wonokusumo village is an endemic area of the DengueHaemorrhagic Fever
(DHF) in Surabaya City. The high rate of the DHF occurrence is closely related to a
lot of Aedes aegypti mosquito habitats. The purpose of this research was to analize
the relation of the environmental condition, container and the society’s behavior to
the existence of the Aedes aegypti mosquitoes. This was an observational research, it
belongs to the cross-sectional research, with a population of the inhabitants’ houses
occupied as homes. The sample size is 100 houses, taken in the simple random
sampling way. Interviews, measurement and profound observation are done to know
the variables researched.The data were analyzed with the Chi-square statistic test and
the Fisher exact test to know the relationship of the environmental condition (air
temperature, air humidity), containers (the type of containers) and the behavior
(knowledge, the attitude and act) with the existence of the Aedes aegypti larvae.
This research finds a result that there is a significant relation between the air
humidity (p=0,000), the type of containers (p=0,004), the knowledge (p=0,001) and
practice (p=0,001) with the existence of the Aedes aegypti mosquito larvae. While,
the air temperature and respondents’ attitudes don’t have a significant relation with
the existence of the Aedes aegypti larvae.The research results conclude that the
environmental condition, containers and the behaviors unsupportive to the PSN (the
eradiacation of the mosquitoes’ habitat) & abatement actions can increase the density
of the Aedes aegypti mosquito larvae with the density rate of the larvae indicating a
high spread, that is HI = 68%, CI = 30.6%, BI = 82%, and DF = 8.
It is suggested that peoples participate in eradication of DHF disease by
eradicate the nest of Aedes aegypti mosquitoes with doing 3M.
Keywords : Aedes aegypti, behavior, environmental.

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah

kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas

daerah penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan

penduduk.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk

Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Aedes aegypti lebih berperan dalam

penularan penyakit ini, karena hidupnya di dalam dan di sekitar rumah, sedangkan

Aedes albopictus di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia (Depkes

RI , 1992 a).

Penyakit DBD muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filipina, di Indonesia

dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah kasus 58 orang, 24

diantaranya meninggal (CFR = 41,32).

Surabaya merupakan daerah yang endemis penyakit DBD karena setiap tahun

pasti terjadi kasus dan kasus yang terjadi juga tinggi. Pada tahun 2000 sampai 2001

mengalami peningkatan kasus yaitu dari 1741 kasus (CFR = 0,5) menjadi 2143 kasus

(CFR = 0,2). Sedangkan pada tahun 2002 terjadi 1913 kasus dengan kematian 13

orang (CFR = 0,6) (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2003).

Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan Semampir merupakan salah satu daerah

endemis DBD di Surabaya, setiap tahun nya terus menerus terjadi kasus dan pada

tahun 2002 mengalami peningkatan jumlah kasus yang sangat tinggi. Dari data tiga

tahun terakhir diketahui jumlah kasus DBD pada tahun 2000 sebanyak 20 kasus, pada

tahun 2001 sebanyak 18 kasus dan tahun 2002 telah terjadi peningkatan yaitu

sebanyak 34 kasus. Dari hasil Pemantauan Jentik berkala (PJB) pada tahun 2002,

rata-rata Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kelurahan Wonokusumo adalah 87%. Ini

menunjukkan bahwa kepadatan jentik Aedes aegypti masih tinggi (Dinas Kesehatan

Kota Surabaya, 2003).


Keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu daerah merupakan indikator

terdapatnya populasi nyamuk Aedes aegypti di daerah tersebut. Penanggulangan

penyakit DBD mengalami masalah yang cukup kompleks, karena penyakit ini belum

ditemukan obatnya. Tetapi cara paling baik untuk mencegah penyakit ini adalah

dengan pemberantasan jentik nyamuk penularnya atau dikenal dengan istilah

Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) (Depkes

RI,1996 a).

Untuk itu dalam upaya menentukan intervensi terhadap kejadian DBD di

Kelurahan Wonokusumo melalui pemberantasan keberadaan jentik nyamuk Aedes

aegypti perlu diketahui hubungan kondisi lingkungan fisik, kontainer, dan perilaku

masyarakat dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.


METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Wonokusumo,Kecamatan

Semampir, Kota Surabaya terhadap 100 rumah yang dihuni sebagai tempat tinggal

dan memiliki kontainer.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional (survei) dan menurut waktu

penelitiannya merupakan penelitian cross sectional. Berdasarkan jenis desain

penelitian merupakan penelitian analitik karena bermaksud menghubungkan keadaan

obyek yang diamati dan sekaligus mencoba menganalisis permasalahan yang ada.

Variabel bebas penelitian adalah kondisi lingkungan meliputi : suhu udara,

kelembaban udara, jenis kontainer serta perilaku masyarakat yaitu pengetahuan, sikap

dan tindakan. Variabel terikat penelitian adalah keberadaan jentik nyamuk Aedes

aegypti di Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya.

Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi. Keberadaan jentik

nyamuk Aedes aegypti diobservasi pada rumah beserta kontainer dengan memakai

panduan observasi menurut Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular

Penyakit Demam Berdarah Dengue (Depkes RI, 1992 b ), yaitu :

1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk

Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada atau

tidaknya jentik.

2. Untuk memeriksa Tempat Penampungan Air (TPA) yang berukuran besar seperti :

bak mandi, tempayan, drum , dan bak penampungan air lainnya, jika pada

pandangan (penglihatan) pertama tidak menemukan jentik tunggu kira-kira ½ - 1

menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.


3. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil seperti vas bunga,

pot tanaman air, botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke

tempat lain.

4. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh, biasanya

digunakan senter.

Wawancara dilakukan terhadap kepala rumah tangga atau yang mewakili, di

rumah yang menjadi sampel penelitian untuk mengetahui karakteristik responden dan

perilaku masyarakat terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Data suhu

udara diperoleh dengan pengukuran menggunakan thermometer. Data kelembaban

udara diperoleh dengan pengukuran menggunakan hygrometer.

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Dinas

Kesehatan Kota Surabaya, Puskesmas Wonokusumo, Kantor Kecamatan Semampir

dan Kantor Kelurahan Wonokusumo. Data sekunder meliputi data geografi,

demografi, pemerintahan, kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).


HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan. Umur responden

terbanyak antara 46-55 tahun sebanyak 38 responden (38%), umur yang paling

sedikit berusia 15-25 tahun sebanyak 11 responden (4%). Tingkat pendidikan

responden sangat bervariasi , terbanyak tamat SLTP yaitu sebanyak 35 responden

(35%) sedangkan yang tamat hingga Perguruan Tinggi hanya 3 responden (3%).

Responden terbanyak adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja dimana responden

memiliki peran penting dalam program Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue (PSN DBD) dalam upaya pencegahan terhadap penyakit DBD.

2. Kepadatan Jentik Nyamuk Aedes aegypti

Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo

dilakukan secara visual pada kontainer baik yang berada di dalam rumah maupun di

luar rumah.

Tabel 1. Distribusi Jumlah Jentik menurut Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti

di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

Jentik
No Diperiksa Jumlah HI CI BI DF
Ada Tidak
1. Rumah 100 58 32
2. Kontainer 268 82 186 58 30,6 82 7

Dari Tabel 1. diketahui bahwa dari 100 rumah yang diperiksa, rumah positip

jentik nyamuk Aedes aegypti sebanyak 58 (58%) dan rumah yang tidak ditemukan

jentik sebanyak 42 (42%), sehingga diperoleh House Index (HI) = 58. Untuk

pemeriksaan kontainer diperoleh bahwa dari 268 kontainer yang diperiksa yang
terdapat jentik Aedes aegypti sebanyak 82 kontainer (30,6 %), sehingga diperoleh

Container Index (CI) = 30,6, Breteau Index (BI) = 82. Dan diperoleh Dengue Fever

(DF) sebesar 7. Nilai ini menunjukan bahwa kepadatan nyamuk di Kelurahan

Wonokusumo termasuk kategori tinggi sehingga mempunyai risiko transmisi nyamuk

yang cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit DBD.

3. Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi

perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti (Sugito, 1989). Pengukuran suhu udara

di Kelurahan Wonokusumo dilakukan selama 10 hari mulai jam 08.00-11.00 WIB.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Suhu Udara Rata-Rata Harian di Kelurahan Wonokusumo

Tahun 2004

Suhu
Udara
Hari Ke Minimal Maksimal
1 31 32
2 30 31
3 30 32
4 30 33
5 30 33
6 30 33
7 29 32
8 30 32
9 29 31
10 30 31
Rata- 29,9 32
rata

Dari Tabel 2. dapat diketahui bahwa suhu udara rata-rata di Kelurahan

Wonokusumo sebesar 29,9 - 320C sehingga berpotensi untuk berkembangannya

nyamuk Aedes aegypti. Iskandar, et al., (1985) menyatakan bahwa pada umumnya
nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20 – 30 0C. Toleransi

terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. Menurut WHO (1972) dalam

Mardihusodo (1988) telur nyamuk tampak telah mengalami embriosasi lengkap

dalam waktu 72 jam dalam temperatur udara 25 30 0C. Menurut Yotopranoto, et al.

(1998) dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah

25 – 270C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari

100C atau lebih dari 400C.

Tabel 3. Hubungan Suhu Udara dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di

Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

Suhu Udara

No Keberadaan Kurang baik Baik Jumlah


Jentik (<200C atau >300C) (200C-300C)
1. Ada jentik 33 (56,9%) 25 (43,1%) 58
2. Tidak ada 27 (64,3%) 15 (35,7%) (10
jentik 0%)
42
(10
0%)
Jumlah 60 (60%) 40 (40%) 100
(100%)

Dari Tabel 3. tampak bahwa sebanyak 58 rumah yang terdapat jentik, yang

memiliki suhu udara baik bagi perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti 25 rumah

(43,1%) dan yang memiliki suhu udara kurang baik bagi perkembangan jentik

sebanyak 33 rumah (56,9%). Menurut hasil pengukuran suhu udara, diketahui bahwa

suhu udara rumah responden yang menunjukkan kategori baik untuk perkembangan

jentik nyamuk Aedes aegypti (suhu udara 20 – 300C) sebesar 40%, lebih kecil bila
dibandingkan dengan rumah responden yang mempunyai suhu udara kurang baik

terhadap perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti yaitu sebesar 60%. Hal ini

disebabkan karena pengukuran yang dilakukan hanya satu kali saja pada saat survey,

yaitu waktu siang hari (sekitar pukul 08.00 – 11.00 WIB).

Hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p = 0,591 (p > α), berarti tidak

ada hubungan yang bermakna antara suhu udara dengan keberadaan jentik nyamuk

Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.

4. Kelembaban Udara

Selain suhu udara, kelembaban udara juga merupakan sala h satu kondisi

lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti.

Menurut Mardihusodo (1988) disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar

81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan

ketahanan hidup embrio nyamuk.

Tabel 4. Hubungan Kelembaban Udara dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes

aegypti di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

No KeberadaanJentik Kelembaban Udara Jumlah

Kurang baik Baik


(<81,5% atau (81,5%-
>89,5% 89,5%)
1. Ada jentik 24 34 58 ( 100% )
( 41,4% ) ( 58,6%
)
2. Tidak adajentik 33 9 42 ( 100% )
( 78,6% ) (21,4%)
43 100 ( 100% )
Jumlah 57 ( 57% )
( 43% )
Berdasarkan Tabel 4. tampak bahwa kelembaban udara di Kelurahan

Wonokusumo sangat menunjang terhadap perkembangan jentik nyamuk Aedes


aegypti. Hal ini dibuktikan diantara 58 rumah yang terdapat jentik 34 rumah (58,6%)

mempunyai kelembaban udara yang baik untuk perkembangan jentik Aedes aegypti

lebih besar daripada rumah responden yang kelembabannya kurang baik yai tu

sebanyak 24 rumah (41,4%). Rumah responden dengan kelembaban yang baik untuk

perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti sebesar 43%, lebih kecil daripada rumah

responden dengan kelembaban udara kurang baik untuk perkembangan jentik nyamuk

Aedes aegypti sebesar 57%. Ini dikarenakan waktu pengukuran yang dilakukan hanya

satu kali pengukuran pada saat survei dilakukan.yaitu siang hari (sekitar pukul 09.00

– 11.30 WIB).

Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan p = 0,000 (p< α), berarti ada

hubungan yang bermakna antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik

nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.

5. Jenis Kontainer

Dilihat dari jenisnya, kontainer yang terdapat di rumah responden dibedakan

menjadi 3 (tiga) yaitu : Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,

TPA bukan untuk keperluan sehari-hari dan TPA alamiah (Depkes RI, 1992 a). Dari

hasil penelitian tentang jenis kontainer diketemukan TPA untuk keperluan sehari -

hari sebanyak 252 (94,0%), TPA bukan untuk keperluan sehari-hari sebanyak 16

(6%) sedangkan untuk TPA alamiah tidak ditemukan.

Tabel 5. Distribusi Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti menurut Jenis

Kontainer di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004.

No Jenis Kontainer D (+) C


ip Je I
er nti
ik k (
sa %
)
1. TPA untuk 2 82 3
keperluan sehari-hari 5 2
: 2 38 ,
a. Bak mandi 5 7
b. Bak WC 1 5
c. Drum 0 20 3
d. Tempayan / genthong 2 11 7
e. Tandon 2 3 .
f. Ember 0 6
1 2
1 5
8 4
7 5
2 .
0 5
1 2
2 2
.
9
5
5
2
5
2. TPA bukan untuk
keperluan sehari-hari 1 0 0
: 6 0 0
a. Vas bunga 2 0 0
b. Tempat minum hewan 1
piaraan 4
3. TPA alamiah 0 0 0
Jumlah 2 82 3
6 0
8 .
6

Hasil survei pada kontainer yang terdapat di rumah responden untuk mengetahui

hubungan antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di
Kelurahan Wonokusumo ditampilkan pada tabel 6.

Tabel 6. Hubungan Jenis Kontainer dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes


aegypti di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

Jenis Kontainer

No
KeberadaanJentik TPA Non TPA AlamiahTPA Jumlah
1. Ada Jentik 82 ( 100% ) 0 (0%) 0( 0% ) 82 ( 100% )

2. Tidak Ada 170 ( 16 (8,6%) 0( 0% ) 186


Jentik 91,4 ( 10
%) 0% )
Jumlah 252 ( 16(6%) 0( 0% ) 268
94,0 ( 10Dari
%) 0% )
Tabel 6

tampak bahwa dari jumlah TPA untuk keperluan sehari-hari yaitu sebanyak 252

kontainer, dan ditemukan 82 kontainer yang positip jentik. Hal ini disebabkan karena

Kelurahan Wonokusumo merupakan daerah pemukiman yang padat dan kumuh serta

sanitasi lingkungannya kurang bersih sehingga banyak tempat perindukan jentik

nyamuk Aedes aegypti seperti bak mandi, bak WC, tandon, dan tempayan yang jarang

dibersihkan.

TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari ditemukan sebanyak 16

kontainer yang berupa vas bunga yang positif jentik dan untuk tempat minum hewan

piaraan, tidak satupun dari TPA ini yang ditemukan jentik. Ini dikarenakan kontainer

dari jenis ini setiap harinya selalu diganti dengan air yang baru. Hal ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam Yotopranoto (1998) yang menyatakan

bahwa dari beberapa survei yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia

menunjukkan tempat perindukan yang paling potensial adalah di kontainer yang


digunakan untuk keperluan sehari hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC,

ember, dan sejenisnya.

Hasil uji statistik Frisher`s Exact Test menunjukkan p = 0,004 (p<α), berarti

ada hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik

nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.


1. Perilaku Masyarakat

6.1. Tingkat Pengetahuan

Terbentuknya perilaku baru pada seseorang dimulai dari seseorang tahu

dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek diluarnya sehingga

menimbulkan pengetahuan baru pada seseorang tersebut. Menurut Notoatmodjo

(1993) pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap obyek tertentu melalui panca indera manusia. Pengetahuan

responden mengenai Demam Berdarah Dengue, vektor penyebabnya serta faktor

yang mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti sangat diperlukan

untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD serta menekan perkembangan

dan pertumbuhan jentik nyamuk Aedes aegypti. Kurangnya pengetahuan dapat

berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan , karena menurut Green (1980) yang

dikutip dari Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor

predisposisi untuk terjadinya perilaku.

Tingkat pengetahuan responden yang berhubungan dengan keberadaan jentik

nyamuk Aedes aegypti, menunjukkan tingkat pengetahuan baik hanya 21

responden (21%) dan tingkat pengetahuan yang kurang baik sebanyak 79 (79%).
Tabel 7. Hubungan Tingkat Pengetahuan Responden dengan Keberadaan Jentik
Nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

Tingkat Pengetahuan
No Keberadaan Jentik Kurang baik Baik Jumlah
1. Ada jentik 53 (91,4%) 5 (8,6%) 58 (100%)
2. Tidak ada jentik 26 (61,9%) 16 (38%) 42 (100%)
Jumlah 79 (79%) 21 (21%) 100
(100%) Dari

Tabel 7 tampak bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang baik

dan terdapat jentik di rumahnya sebanyak 53 responden (91,4%) lebih besar daripada

responden yang mempunyai tingkat pengetahuan baik dan terdapat jentik sebanyak 5

responden (8,6%). Hal ini didikung pula oleh hasil uji statistik Chi-Square dimana

diperoleh p = 0,001 (p<α), berarti terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan responden dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan

Wonokusumo.

Menurut Notoatmodjo (1993) pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan

dikatakan pula bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Bila responden tidak

mengetahui dengan jelas bagaimana cara pemberantasan sarang nyamuk dan faktor

yang mempengaruhi keberadaan jentik maka tidak dapat diambil suatu tindakan yang

tepat, sehingga di rumah responden ditemukan adanya jentik Aedes aegypti

6.2. Sikap Responden


Menurut Notoatmodjo (2003) sikap responden merupakan reaksi atau respon

yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek bukan

merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka.

Tabel 8. Hubungan Sikap Responden dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes

aegypti di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

Sikap responden
No Keberadaan Jentik Kurang baik Baik Jumlah
1. Ada jentik 9(15,5%) 49(84,5%) 58(100%)
2. Tidak ada jentik 2 (4,8 %) 40(95,2%) 42(100%)
Jumlah 11(11%) 89 (89%) 100(100%)

Dari Tabel 8 diketahui bahwa dari 58 rumah responden yang terdapat jentik,

dimana pada sikap yang kurang baik atau kurang mendukung kegiatan PSN dan

abatisasi terdapat jentik sebanyak 9 (15,5%) dan pada sikap yang baik dan

mendukung kegiatan PSN dan abatisasi terdapat jentik sebanyak 49 (84,5%).

Sikap responden yang baik terhadap upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk

(PSN) dan abatisasi lebih besar daripada sikap responden yang kurang baik terhadap

upaya PSN dan abatisasi yaitu sebesar 89%. Hal ini disebabkan karena responden

dalam menjawab pertanyaan selalu menjawab hal-hal yang baik saja. Sikap

responden untuk menguras tempat penampungan air tidak disertai kesadaran sebagai

tindakan menghilangkan jentik nyamuk Aedes aegypti tapi lebih mengarah kepada

kondisi fisik air yang kurang baik. Sikap responden merupakan respon yang masih

tertutup dan tidak tampak dalam keadaan nyata, sehingga meskipun mereka setuju

terhadap upaya PSN dan abatisasi belum tentu mereka berperilaku sesuai dengan

sikapnya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Fisher`s Exact Test dimana
diperoleh p = 0,113 (p>α), berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap

resp onden dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan

Wonokusumo.

6.3. Tindakan Responden

Tindakan responden dalam penelitian ini yang dilakukan untuk mengurangi atau

menekan kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti dengan kategori baik sebesar 49 %

lebih kecil dibandingkan tindakan responden yang dilakukan untuk mengurangi atau

menekan kepadatan jentik dengan kategori kurang baik yaitu sebesar 51 %.

Tabel 9. Hubungan Tindakan Responden dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes

aegypti di Kelurahan Wonokusumo Tahun 2004

Tindakan Responden
No KeberadaanJentik Kurang baik Baik Jumlah
1. Ada jentik 38 ( 65,5% ) 20 ( 34,5% ) 58 ( 100% )
2. Tidak ada jentik 13 ( 31,0% ) 29 ( 69,0% ) 42 ( 100% )
Jumlah 51 ( 51% ) 49 ( 49% ) 100 ( 100% )

Dari Tabel 9 tampak bahwa tindakan responden dengan kategori kurang baik

dan terdapat jentik dirumahnya adalah sebesar 65,5 % sedangkan tindakan responden

dengan kategori baik dan terdapat jentik dirumahnya yaitu sebesar 34,5 %. Hal ini

menunjukkan bahwa tindakan responden sangat berkaitan erat dengan keberadaan

jentik di rumahnya.

Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan p = 0,001 (p< α), berati ada

hubungan yang bermakna antara tindakan responden dengan keberadaan jentik

nyamuk Aedes aegypti.


Menurut Notoatmodjo (1993) perilaku masyarakat mempunyai pengaruh

terhadap lingkungan karena lingkungan merupakan lahan untuk perkembangan

perilaku tersebut. Bila masyarakat mau melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk

secara rutin dan berkesinambungan maka dapat mencegah perkembangnya jentik

nyamuk Aedes aegypti dan mencegah timbulnya penyakit Demam Berdarah Dengue.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan

Wonokusumo yang diukur dengan parameter HI = 58 %, CI = 30,6%, BI = 82 %

dan DF = 7, hal ini menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti tinggi sehingga

penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit DBD.

2. Kondisi lingkungan di Kelurahan Wonokusumo yang mempuny ai hubungan

dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti adalah kelembaban udara.

Sedangkan suhu udara tidak ada hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk

Aedes aegypti.

3. Jenis kontainer yang digunakan oleh masyarakat di Kelurahan Wonokusumo

mempunyai hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.

4. Perilaku masyarakat yaitu pengetahuan dan tindakan dalam mengurangi atau

menekan kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti mempunyai hubungan dengan

keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Sedangkan sikap responden tidak ada

hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan

Wonokusumo.

Saran

1. Masyarakat Kelurahan Wonokusumo diharapkan lebih berperan aktif dalam

pemberantasan penyakit DBD melalui upaya pemberantasan sarang nyamuk Aedes

aegypti dengan melakukan 3M khususnya dalam menguras tempat penampungan


air dengan menyikat dasar dan dindingnya secara teratur serta menaburkan bubuk

abate ke dalam kontainer yang tidak dapat dikuras.

2. Perlu dilakukan penyuluhan terhadap masyarakat di wilayah Kelurahan

Wonokusumo tentang DBD dan cara pencegah annya melalui media massa,

sekolah, tempat ibadah, kader PKK atau kelompok masyarakat lainnya.

3. Perlu dilakukan pemeriksaan jentik secara rutin di wilayah Kelurahan

Wonokusumo khususnya oleh pihak puskesmas sehingga bisa menekan dan

mengurangi kepadatan jen tik nyamuk Aedes aegypti.


DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (1992.a). Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit
Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Dirjen PPM dan PLP.
Depkes RI. (1992.b). Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam
BerdarahDengue. Jakarta : Dirjen PPM dan PLP.
Dinas Kesehatan Kota Surabaya. (2003). Laporan Tahunan Tahun 2003. Surabaya.
Depkes RI. (1996.a). Modul Latihan Kader Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Dirjen PPM dan PLP.
Iskandar, Adang, Sudjain, Sanropie, Jasio.,Nuidja, Maksun, Slamet,
A.R, Martina, Sembiring, Firdaus. (1985). Pemberantasan Serangga dan
Binatang Pengganggu. Pusdiknakes, Jakarta.
Mardihusodo, Sugeng Juwono. (1988).Pengaruh Perubahan
Lingkungan Fisik Terhadap Penetasan Telur Nyamuk Aedes aegypti. Berita
Kedokteran Masyarakat IV: 6.
Notoatmodjo, Soekidjo. (1993). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta. Andi Offset.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003) Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Sugito, R. (1989). Aspek Entomologi Demam Berdarah Dengue. Laporan Semiloka.
Proceeding Seminar and Workshop The Aspects of Hemoragic Fever ang Its
Control.
Yotopranoto, S., Sri Subekti, Rosmanida, Sulaiman. (1998). Dinamika Populasi
Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di
Kotamadya Surabaya.
ANALISA JURNAL PICOT
NO JUDUL P I C O T
Hubungan Populasi Penelitian ini Ti Penelitian ini menemukan hasil Penga
kondisi pada merupakan da bahwa ada hubungan yang signifikan mbila
lingkungan, penelitian penelitian k antara kelembaban udara (p = 0,000), n data
kontainer, dan ini adalah observasional ad jenis wadah (p = 0,004), yaitu
perilaku warga yang (survei) dan a. pengetahuan (p = 0,001) dan praktik pengu
masyarakat bertempat menurut waktu (p = 0,001) dengan adanya kuran
dengan tinggal di penelitiannya dari larva nyamuk Aedes aegypti. suhu
keberadaan Kelurahan merupakan Sementara, suhu udara dan suhu udara
jentik nyamuk Wonokusu penelitian sikap responden tidak memiliki rata-
aedes aegypti di mo, cross hubungan yang signifikan dengan rata
daerah endemis Kecamatan sectional. keberadaan larva Aedes aegypti. dilaku
Demam berdarah Semampir, Analisa data Hasil penelitian menyimpulkan kan
dengue surabaya Kota penelitian ini bahwa kondisi lingkungan, wadah selam
Surabaya menggunakan dan perilaku a 10
dan uji Chi-Square tidak mendukung PSN (eradiasi hari
memiliki dan uji habitat nyamuk) mulai
kontainer Fisher’s Exact & Tindakan pengurangan dapat jam
Test meningkatkan kepadatan Aedes 08.00-
aegypti 11.00
jentik nyamuk dengan tingkat WIB,
kepadatan jentik menunjukkan tinggi sedan
spread, yaitu HI = 68%, CI = 30,6%, gkan
BI = 82%, dan DF = 8. untuk
pengu
kuran
kelem
baban
udara
pada
saat
survey
dilaku
kan
sekitar
pukul
09.00-
11.30
WIB.
Implikasi Penelitian Terhadap Keperawatan

Meningkatnya jumlah pasien yang menderita DHF yang disebabkan oleh


virus dengue yang dibawa oleh nyamuk aedes aegypti sangatlah memprihatinkan.
Dengan mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan, jenis kontainer dan
perilaku masyarakat dengan keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti maka dalam
memberikan penyuluhan atau health education (HE) terhadap masyarakat menjadi
lebih efektif untuk memutus mata rantai perkembangan jentik nyamuk aedes aegypti
dengan melakukan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) yaitu 3M (menguras,
mengubur, menutup) .

Anda mungkin juga menyukai