Anda di halaman 1dari 56

PETUNJUK TEKNIS INTRODUKSI IMUNISASI

INACTIVATED POLIOVIRUS VACCINE


DOSIS KEDUA (IPV2)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2022
PETUNJUK TEKNIS INTRODUKSI IMUNISASI

INACTIVATED POLIOVIRUS VACCINE

DOSIS KEDUA (IPV2)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

TAHUN 2022

i
ii
KATA PENGANTAR

DIREKTUR JENDERAL

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
karuniaNya, Buku Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi Inactivated
Poliovirus Vaccine Dosis Kedua (IPV2) telah selesai disusun. Buku ini
ditujukan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan serta pengelola
program dan logistik imunisasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota serta
puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam melaksanakan
introduksi imunisasi IPV dosis kedua atau IPV2.
Indonesia dan seluruh negara-negara lainnya di regional South-East
Asia Region (SEARO) telah dinyatakan Bebas Polio oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 2014. Saat ini, tantangan kita bersama
adalah mempertahankan status bebas polio tersebut dengan
melaksanakan seluruh strategi yang telah menjadi komitmen bersama
dalam rangka mewujudkan Polio Endgame, salah satunya adalah dengan
melaksanakan introduksi atau pengenalan imunisasi IPV dosis kedua.
Kegiatan introduksi IPV2 dilaksanakan dengan tahapan-tahapan
yaitu persiapan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Dengan perencanaan yang matang, kerjasama yang baik, pelaksanaan
yang dilakukan sesuai prosedur serta upaya monitoring dan evaluasi yang
terukur, kita yakin kegiatan ini akan berjalan sesuai dengan harapan.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
semua pihak atas dedikasi dan pengabdiannya dalam mempertahankan
Indonesia Bebas Polio serta untuk mewujudkan Dunia Bebas Polio.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa menaungi langkah kita
semua untuk dapat bersama-sama berkontribusi optimal dalam
menyehatkan anak Indonesia.

Jakarta, 5 Oktober 2022

Direktur Jenderal P2P

DR. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS

iii
TIM PENYUSUN

Pelindung:
Direktur Jenderal P2P
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS
Penasihat:
Plt. Direktur Pengelolaan Imunisasi
Dr. Prima Yosephine, MKM
Penanggung Jawab:
Ketua Tim Kelompok Kerja Substansi Imunisasi Tambahan dan Khusus
dr. Gertrudis Tandy, MKM
Kontributor:
Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), M.M.
Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, SpA(K), M.TropPaed.
Dr. dr. Julitasari Sundoro, M.ScPH
dr. Sherli Karolina, MKM
dr. Devi Anisiska, MKM
Lulu Ariyantheny Dewi, SKM, MIPH
dr. Novayanti Rumambo Tangirerung
Ananta Rahayu, SKM, MKM
Sekar Astrika Fardani, SKM
Hashta Mesya, SST, S.Si, Apt
Yusneri, SKM, MM
Victoria Indrawati, SKM, M.Sc
Andini Wisdhanorita, SKM, M.Epid
Mariana Eka Rosida, SKM
dr. Sri Hartoyo, M. Epid
Ratih Oktri Nanda, SKM
dr. Iqbal Djakaria
dr. Dyan Sawitri
dr. Indri Oktaria Sukmaputri, MPH
Eka Desi Purwanti, SKM
Diany Litasari, SKM, M.Epid
drg. Yulfirda
Indah Hartati, SKM, MKM

iv
Debsy V. Pattilima, SKM, MPH
Hakimi SKM, Msc
Reza Isfan, SKM, MKM
Agustina Saranga, SKM
Junghans Sitorus, SKM, MKM
Anggun Pratiwi, SKM, M.Epid
Dini Surgayanti, SKM
dr. Tri Setyanti, M.Epid
Devy Nurdiansyah, AMKL
Masna
dr. Febry Imanuella
dr. Cornelia Kelyombar
Ari Wijayanti
Herawati
Bayu
Atika Rizkia Noviani
WHO Indonesia
UNICEF Indonesia
CDC
CHAI
UNDP

v
DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii

Tim Penyusun iv

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

BAB I. Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan 2

C. Sasaran 3

D. Ruang Lingkup 3

BAB II. Persiapan 5

A. Sasaran Imunisasi IPV2 5

B. Penyusunan Perencanaan dan Mikroplaning 5

C. Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan 10

D. Advokasi dan Penggerakan Masyarakat 11

E. Pemantauan Persiapan 12

BAB III. Pelaksanaan 13

A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 13

B. Distribusi Vaksin dan Logistik 13

C. Manajemen Vaksin dan Logistik 14

D. Jadwal dan Cara Pemberian 16

E. Pemberian Imunisasi Ganda 17

F. Manajemen Limbah 18

BAB IV. Pencatatan dan Pelaporan 21

A. Pencatatan dan Pelaporan Cakupan 21

vi
B. Pencatatan dan Pelaporan Vaksin dan Logistik 22

Imunisasi

C. Pencatatan dan Pelaporan Monitoring Suhu 24

BAB V. Pemantauan dan Penanggulangan KIPI 25

A. Pengertian 25

B. KIPI yang Mungkin Terjadi dan Antisipasinya 26

C. Mekanisme Pemantauan dan Penanggulangan KIPI 28

D. Pelacakan KIPI 30

E. Pengenalan dan Penanganan Anafilaksis 31

BAB VI. Monitoring dan Evaluasi 37

A. Pemantauan Cakupan IPV1 dan IPV2 37

B. Pemantauan dan Pembinaan 38

C. Evaluasi 39

BAB VII. Penutup 41

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kontraindikasi dan Perhatian Khusus pada Pemberian 16

Imunisasi IPV

Tabel 2. Format Pelaporan Stok Vaksin dan Logistik 23

Tabel 3. Langkah-Langkah dalam Pelacakan KIPI 30

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Cara Penyimpanan Vaksin Dalam Vaccine Carrier 14

Gambar 2. Status VVM Vaksin 15

Gambar 3. Suntikan Intramuskuler (IM) 17

Gambar 4. Pencatatan Imunisasi IPV2 pada Buku KIA 21

Gambar 5. Vaccine Arrival Report (VAR) 22

Gambar 6. Contoh Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) 23

Gambar 7. Grafik Monitoring Suhu Vaccine Refrigerator 24

Suhu 2-80C

Gambar 8. Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Serius 28

Gambar 9. Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Non Serius 30

Gambar 10. Tanda dan Gejala Anafilaksis 33

Gambar 11. Penanganan Syok Anafilaksis 34

ix
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
NOMOR HK.02.02/C/4834/2022
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM INTRODUKSI
IMUNISASI INACTIVATED POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA (IPV2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT,

Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Keputusan Menteri


Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1453/2022
tentang Program Introduksi Imunisasi Inactivated
Poliovirus Vaccine Dosis Kedua (IPV2), diperlukan
ketentuan mengenai Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Program Introduksi Imunisasi Inactivated Poliovirus
Vaccine Dosis Kedua (IPV2)
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Keputusan
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Introduksi
Imunisasi Inactivated Poliovirus Vaccine Dosis Kedua
(IPV2);

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

x
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014
tentang Upaya Kesehatan Anak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 559);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022
Nomor 156);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/1453/2022 tentang Introduksi
Imunisasi Inactivated Poliovirus Vaccine Dosis Kedua
(IPV2);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI INACTIVATED
POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA (IPV2).

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Introduksi


Imunisasi Inactivated Poliovirus Vaccine Dosis Kedua (IPV2)
yang selanjutnya disebut Petunjuk Teknis Introduksi
Imunisasi IPV2, sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
Direktur Jenderal ini.
KEDUA : Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi IPV2 sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan

xi
bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,
pemerintah daerah kabupaten/kota, fasilitas pelayanan
kesehatan, petugas kesehatan, dan pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan introduksi imunisasi IPV2.
KETIGA : Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan Petunjuk Teknis
Introduksi Imunisasi IPV2 sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
KEEMPAT : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2022

DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN


DAN PENGENDALIAN PENYAKIT,

MAXI REIN RONDONUWU

xii
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT
NOMOR HK.01.07/I/4834/2022
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
INTRODUKSI IMUNISASI INACTIVATED
POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA
(IPV2)

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN INTRODUKSI


IMUNISASI INACTIVATED POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA (IPV2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang


terbukti paling cost-effective serta berdampak positif untuk mewujudkan
derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Imunisasi tidak hanya
melindungi seseorang tetapi juga masyarakat dengan memberikan
perlindungan komunitas atau yang disebut dengan herd immunity.

Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia berkomitmen


untuk mempertahankan Indonesia Bebas Polio dan berkontribusi dalam
mewujudkan Eradikasi Polio di dunia pada tahun 2026. Sebagai langkah
konkrit dalam mewujudkan tujuan ini, Indonesia telah melaksanakan
beberapa strategi dalam rangka melindungi anak-anak dan seluruh
masyarakat Indonesia serta berkomitmen tinggi melakukan upaya-upaya
yang dibutuhkan untuk mencapai Dunia Bebas Polio.

Indonesia telah melaksanakan tahapan-tahapan yaitu kampanye


imunisasi tambahan polio (tOPV) nasional, penarikan vaksin OPV secara
bertahap yang dimulai dengan penggantian dari trivalent oral polio vaccine
(tOPV) menjadi bivalent oral polio vaccine (bOPV), dan introduksi satu
dosis Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) pada tahun 2016. Penarikan OPV

1
secara bertahap yang dimulai dengan penggantian tOPV ke bOPV dan
introduksi IPV bertujuan untuk mencegah munculnya kasus circulating
Vaccine-Derived Polio Viruses (cVDPV) dan Vaccine-Associated Paralytic
Polio (VAPP) yang disebabkan oleh virus polio yang berasal dari virus polio
Sabin.

Pertemuan WHO SAGE tanggal 5-7 Oktober 2020 mencatat bahwa


produksi IPV telah meningkat secara signifikan sehingga memungkinkan
untuk melaksanakan introduksi atau pengenalan IPV dosis kedua atau
IPV2 ke dalam jadwal imunisasi rutin di 94 negara yang saat ini
menggunakan IPV satu dosis dan bOPV. Penambahan dosis kedua IPV
akan meningkatkan perlindungan terhadap semua virus polio, termasuk
perlindungan terhadap kelumpuhan yang disebabkan oleh VDPV2.

Berdasarkan rekomendasi SAGE WHO, maka ITAGI menyetujui


untuk dilaksanakan introduksi imunisasi IPV2 pada imunisasi rutin.
Jadwal IPV yang dianjurkan pada imunisasi rutin adalah usia 4 bulan
untuk IPV dosis pertama diberikan bersamaan dengan vaksin DPT-HB-
Hib3 dan OPV4, sedangkan pemberian IPV2 diberikan pada usia 9 bulan
bersamaan dengan imunisasi Campak-Rubela.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Menyediakan petunjuk teknis sebagai acuan pelaksanaan introduksi
imunisasi IPV2
2. Tujuan khusus:
Petugas fasilitas kesehatan mampu:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi IPV2
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
f. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
g. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

2
C. Sasaran
Sasaran petunjuk teknis ini adalah:
1. Pengelola Program Imunisasi dan Logistik di Dinas Kesehatan provinsi,
Dinas Kesehatan kabupaten/kota, Puskesmas, dan fasilitas kesehatan
lainnya
2. Pengelola Program terkait lainnya di Dinas Kesehatan provinsi, Dinas
Kesehatan kabupaten/kota, Puskesmas, dan fasilitas kesehatan lainnya

D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup petunjuk teknis ini meliputi:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pencatatan dan Pelaporan
4. Pemantauan dan Penanggulangan KIPI
5. Monitoring dan Evaluasi

3
4
BAB II

PERSIAPAN

A. Sasaran Imunisasi IPV2

Imunisasi IPV2 diberikan kepada bayi usia 9 bulan yang telah


mendapatkan imunisasi IPV dosis pertama (IPV1).

B. Penyusunan Perencanaan dan Mikroplaning

Perencanaan merupakan bagian yang sangat penting dalam


pengelolaan program imunisasi. Dengan perencanaan yang baik, kegiatan
pelayanan imunisasi diharapkan dapat berjalan dengan baik pula.

Dalam melaksanakan kegiatan introduksi imunisasi IPV2,


perencanaan disusun di semua tingkatan administrasi baik di Pusat
maupun Daerah sesuai dengan tugas masing-masing dan
memperhitungkan data dasar. Penyusunan perencanaan di tingkat
puskesmas dilakukan dengan lebih rinci (mikroplaning). Mikroplaning
pelaksanaan imunisasi IPV2 merupakan bagian dari mikroplaning
imunisasi rutin. Penyusunan mikroplaning dilakukan dengan
menggunakan format yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateriIPV2.

1. Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota

Hal-hal yang diperlukan dalam penyusunan perencanaan:


a. Jumlah sasaran
Jumlah sasaran imunisasi IPV2 adalah surviving infant (SI).
Penentuan sasaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
menggunakan data estimasi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan.
SI = Jumlah Lahir Hidup – (AKB x Jumlah Lahir Hidup)

5
Catatan penting khusus awal pelaksanaan:
Perhitungan estimasi sasaran imunisasi IPV2
memperhatikan waktu dimulainya pelaksanaan kegiatan
introduksi, sehingga tidak menghitung sasaran 1 tahun.
Contoh:
Kabupaten X memiliki jumlah SI yaitu 750 bayi.
Introduksi dilaksanakan pada bulan November 2022
sehingga jumlah sasaran hanya dihitung mulai November
sampai Desember 2022 (2 bulan). Maka jumlah sasaran
pemberian imunisasi IPV2 Kab. X tahun 2022 adalah:
750/12 x 2 = 125 bayi.

b. Kebutuhan Vaksin dan Logistik


1) Kebutuhan Vaksin
Vaksin yang digunakan adalah vaksin IPV dengan kemasan
5 dosis per vial. Dengan ditambahnya jadwal imunisasi IPV
menjadi 2 dosis maka perhitungan kebutuhan vaksinnya
sebagai berikut:

Jml sasaran (surviving infant) x jml pemberian (2) x target


Vaksin IPV =
Indeks Pemakaian (4)

Catatan penting khusus awal pelaksanaan:


Perhitungan jumlah kebutuhan vaksin untuk
pelaksanaan introduksi IPV2 mengacu pada jumlah
sasaran yang akan mendapat imunisasi IPV2 terhitung
dari waktu mulai introduksi.

2) Kebutuhan Auto Disable Syringe (ADS)


Jumlah ADS 0,5 ml yang dibutuhkan sama dengan jumlah
sasaran x jumlah pemberian ditambah buffer stock maksimal
5%.
3) Kebutuhan Safety Box
Kebutuhan Safety Box dihitung dengan mekanisme sebagai
berikut:
• Safety box ukuran 2,5 ml :
• Safety box ukuran 5 ml :

6
4) Kebutuhan Perlengkapan Anafilaktik
Perlengkapan anafilaktik merupakan komponen penting
dalam pelayanan imunisasi sebagai antisipasi terjadinya KIPI
serius (syok anafilaktik). Setiap tempat pelayanan imunisasi
harus menyediakan minimal 1 set perlengkapan anafilaktik
sehingga jumlah kebutuhan perlengkapan anafilaktik
disesuaikan dengan jumlah tempat pelayanan imunisasi
5) Kebutuhan logistik PPI (Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi)
Kebutuhan logistik PPI termasuk di dalamnya adalah Alat
Pelindung Diri (APD). Ketentuan alat pelindung diri mengacu
pada Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi Pada Masa
Pandemi COVID-19 meliputi masker bedah medis, sabun
untuk mencuci tangan atau sarung tangan bila tersedia dan
Alat Pelindung Diri (APD) lain bila tersedia.
c. Ketersediaan peralatan rantai vaksin (cold chain)
Petugas imunisasi provinsi maupun kabupaten/kota harus
melakukan inventarisasi jumlah dan kondisi cold chain (vaccine
refrigerator, cool pack, cold box, vaccine carrier, dsb) yang ada saat
ini serta melakukan upaya untuk mengatasinya jika terjadi
kekurangan. Jika sarana penyimpanan vaksin dinilai kurang dan
penambahan vaccine refrigerator belum memungkinkan, maka
frekuensi pendistribusian vaksin dapat disesuaikan.
d. Rencana Distribusi dan Pembiayaan
Dalam dokumen perencanaan harus tercantum dengan jelas
rencana distribusi logistik dan perhitungan serta sumber
pembiayaan yang dibutuhkan. Semua logistik termasuk KIE harus
didistribusikan sampai ke puskesmas paling lambat satu minggu
sebelum pelaksanaan pelayanan imunisasi IPV2.
e. Jadwal Pelaksanaan Supervisi
Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus membuat jadwal
pelaksanaan supervisi dan petugas Provinsi dan kabupaten/kota
yang bertanggung jawab sebagai supervisor

7
2. Tingkat Puskesmas

Puskesmas menyusun mikroplaning yang lebih rinci sesuai


jumlah petugas, tempat dan waktu, serta bagaimana menjangkau
sasaran, termasuk pemetaan daerah sulit, daerah risiko tinggi, dan
lokasi pelayanannya yang terdiri dari:

a. Pemetaan Wilayah
Kegiatan imunisasi IPV2 harus menjangkau semua sasaran
imunisasi di wilayah kerja puskesmas. Peta wilayah kerja
puskesmas harus mencakup:
1) Lokasi dari setiap desa/kelurahan
2) Lokasi-lokasi penting seperti posyandu, puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan lain, tempat ibadah, pasar, sekolah, dan
tempat-tempat umum lainnya.
3) Perkiraan jarak dan waktu tempuh dari puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan dan posyandu ke setiap komunitas
masyarakat
4) Lokasi-lokasi rentan/berisiko yaitu wilayah padat penduduk,
wilayah kumuh, wilayah yang terdapat pekerja migran,
kelompok marjinal dan pengungsi yang berdomisili, wilayah
pedesaan dan sulit secara geografis, wilayah yang teridentifikasi
adanya penolakan terhadap imunisasi, atau wilayah pemukiman
baru.

b. Jumlah Sasaran
Puskesmas mendapatkan jumlah sasaran berdasarkan pendataan
langsung di lapangan. Pendataan langsung dapat dilaksanakan
dengan mekanisme sebagai berikut:
1) Identifikasi sasaran dengan memanfaatkan buku
kohort/register imunisasi.
2) Identifikasi sasaran dengan melakukan pendataan langsung
(kunjungan rumah ke rumah), dilakukan oleh bidan desa dan
bekerja sama dengan kader, untuk mengidentifikasi anak-anak
yang tidak tercatat dalam buku kohort/register imunisasi.

Catatan penting khusus awal pelaksanaan:


Pendataan dilakukan untuk memperoleh data individu bayi
usia 9 bulan (terhitung pada tanggal mulai pelaksanaan
introduksi) yang telah mendapatkan imunisasi IPV1.

8
c. Kebutuhan Vaksin dan Logistik

Penentuan kebutuhan vaksin, ADS, safety box, perlengkapan


anafilaktik, dan logistik PPI dihitung dengan mekanisme yang
sama dengan penentuan kebutuhan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.

d. Ketersediaan Peralatan Cold chain


Koordinator imunisasi (Korim) puskesmas sebaiknya sudah
melakukan inventarisasi jumlah cold chain yang tersedia untuk
tempat penyimpanan dan distribusi vaksin (vaccine refrigerator,
vaccine carrier, cool pack, cold box, dsb), jumlah yang masih
berfungsi/dapat digunakan, lokasinya, kekurangannya,
kemungkinan mendapatkan dukungan dari sumber lain (contoh:
swasta/masyarakat), dan ketersediaan ruang
penyimpanan/kemampuan menampung vaksin. Jika sarana
penyimpanan vaksin dinilai kurang dan penambahan vaccine
refrigerator belum memungkinkan, maka frekuensi pendistribusian
vaksin dapat disesuaikan.

e. Tenaga pelaksana

Puskesmas melibatkan tenaga yang kompeten dalam


pelaksanaan imunisasi rutin dan mengidentifikasi jika terdapat
kekurangan tenaga pelaksana. Kebutuhan jumlah tenaga
pelaksana (satu tim) mempertimbangkan:

1) Satu orang tenaga kesehatan sebagai vaksinator (Perawat,


Bidan, dan Dokter) yang diharapkan memberikan pelayanan
untuk 40-70 sasaran per harinya.

2) Jadwal dan jumlah pos pelayanan imunisasi disesuaikan dengan


jumlah sasaran dalam sehari.

3) Setiap pos pelayanan terdapat 1 orang vaksinator dan dibantu


oleh minimal 2 kader yang bertugas untuk: (1) menggerakkan
masyarakat untuk datang ke pos pelayanan imunisasi, (2)
membuat jadwal/waktu imunisasi per sasaran agar sasaran
tidak datang bersamaan dalam satu waktu dan mengatur alur
pelayanan imunisasi di pos pelayanan (agar tidak terjadi
kerumunan, yang dapat meningkatkan risiko penularan COVID-
19), dan (3) membantu mencatat hasil pelayanan imunisasi.

9
4) Setiap 3-5 pos pelayanan imunisasi dikoordinir oleh satu orang
supervisor dari Puskesmas untuk memastikan pelaksanaan
kegiatan berjalan dengan baik. Supervisor bertugas memantau
kecukupan logistik dan laporan KIPI.

f. Rencana Distribusi dan Pembiayaan Khusus Wilayah Sulit


Dijangkau
Dalam mikroplaning harus mencantumkan wilayah yang sulit
dijangkau dilengkapi dengan rencana distribusi logistik dan
kebutuhan biaya serta sumber pembiayaan yang dibutuhkannya.
Pertanggungjawaban biaya operasional disampaikan sesuai dengan
sumber dananya, paling lambat satu minggu setelah pelaksanaan
kegiatan.

g. Jadwal Pelaksanaan

Setiap puskesmas harus membuat jadwal pelaksanaan untuk


setiap pos pelayanan yang mencantumkan nama petugas dan
supervisor, tanggal pelaksanaan, dan jumlah sasaran. Jadwal
pelaksanaan imunisasi IPV2 dapat mengikuti jadwal yang tersedia
di posyandu atau menambah jadwal sesuai dengan kebutuhan.

C. Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan

Kegiatan peningkatan kapasitas dalam rangka pemberian imunisasi


IPV2 dilaksanakan sebelum pelaksanaan kegiatan introduksi dimulai,
dilakukan secara berjenjang dari tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai
puskesmas. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan dalam bentuk
orientasi, workshop, ataupun pelatihan terstruktur.
1. Sasaran
Sasaran kegiatan peningkatan kapasitas adalah:
a. Tingkat provinsi, Kabupaten/Kota: yaitu petugas pengelola
program imunisasi, petugas surveilans KIPI, petugas pengelola
logistik, petugas pengelola program gizi dan kesehatan ibu dan
anak, serta petugas promosi kesehatan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
b. Tingkat puskesmas, yaitu para petugas kesehatan seperti dokter,

bidan, dan perawat yang ditunjuk sebagai pemberi layanan


imunisasi, petugas pengelolaan logistik, petugas promosi

10
kesehatan termasuk petugas di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
2. Materi Peningkatan Kapasitas
Materi peningkatan kapasitas meliputi:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi IPV2
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
f. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
g. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

D. Advokasi dan Penggerakan Masyarakat


1. Advokasi dan Diseminasi Informasi
Advokasi kepada Pemerintah Daerah tingkat provinsi (Gubernur)
dan kab/kota (Bupati/Walikota) serta DPRD provinsi dan kab/kota
perlu dilakukan untuk mendapatkan komitmen dukungan
pelaksanaan imunisasi IPV2.
Diseminasi informasi bertujuan untuk memperoleh dukungan
dari lintas program dan lintas sektor terkait demi suksesnya
penyelenggaraan kegiatan. Lintas program yang dapat dilibatkan
antara lain: bidang Kesehatan Keluarga/KIA, Promosi Kesehatan,
Pelayanan Kesehatan, Bina Program, dan Farmasi. Lintas sektor
terkait yang dapat dilibatkan secara aktif dalam kegiatan antara lain:
tokoh agama/tokoh masyarakat, LSM, PKK, BKKBN, organisasi
profesi, organisasi masyarakat, akademisi, dan dunia usaha. Saluran
komunikasi yang digunakan berupa media sosial, media cetak, media
luar ruang dan media massa. Informasi yang penting untuk diberikan
adalah jenis imunisasi dan manfaat, waktu dan lokasi pelaksanaan,
melaksanakan protokol kesehatan ketika mendatangi pos imunisasi
(contoh: penggunaan masker, jaga jarak, dll), dan Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (KIPI) yang mungkin terjadi.
2. Penggerakan masyarakat
Penggerakan masyarakat dilaksanakan melalui:
a. PKK, Kader posyandu dan dasawisma setempat, dan komponen
masyarakat lain dengan memberitahukan kepada ibu/keluarga

11
sasaran tentang hari, tanggal, waktu dan lokasi pos pelayanan
imunisasi.
b. Peran aktif para tokoh agama, para tokoh masyarakat,
pengumuman langsung melalui tempat-tempat ibadah (Mesjid,
Gereja, Pura, Kelenteng, dll).
c. Informasi melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang,
dan media sosial tentang pelaksanaan pemberian imunisasi IPV2.
d. Pemasangan spanduk di tempat-tempat yang strategis.

E. Pemantauan Persiapan
Pemantauan persiapan dilaksanakan sekurang-kurangnya pada H-14
sampai H-1 sebelum introduksi. Evaluasi ini bertujuan untuk:

a. Menganalisa persiapan introduksi imunisasi IPV2 dan dukungan


yang diperlukan di daerah

b. Menyediakan panduan dalam meningkatkan kesiapan daerah untuk


melaksanakan introduksi imunisasi IPV2.

Pemantauan ini dilakukan secara elektronik dengan menggunakan


daftar tilik penilaian kesiapan (Readiness Assessment/RA) melalui tautan
https://bit.ly/Kesiapan-Introduksi-IPV2. Kegiatan dilaksanakan di setiap
jenjang mulai dari Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota serta Puskesmas.

12
BAB III

PELAKSANAAN

A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Pemberian imunisasi IPV2 dilakukan terintegrasi dengan


pelaksanaan imunisasi rutin lainnya sesuai dengan jadwal yang
ditentukan. Pelayanan imunisasi IPV2 dilaksanakan di posyandu dan
fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah atau milik
masyarakat/swasta seperti:

a. Puskesmas, Puskesmas pembantu;

b. Rumah Sakit;

c. Klinik, Praktik Dokter Swasta, Tempat Praktik Mandiri Bidan, dan

d. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memberikan layanan


imunisasi rutin

Pada masa adaptasi kebiasaan baru, pelayanan imunisasi IPV2


dilaksanakan dengan menerapkan prinsip protokol kesehatan, dengan
mengacu pada Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi pada Masa Pandemi
COVID-19.

B. Distribusi Vaksin dan Logistik

Pendistribusian vaksin dan logistik harus dilakukan dan dikelola


sesuai dengan prosedur yang ditetapkan untuk menjamin kualitas yang
baik, agar mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.
Distribusi vaksin harus disertai dengan Vaccine Arrival Report (VAR) dan
Packing Slip. Distribusi logistik lainnya harus disertai dengan dokumen
pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK).

Pendistribusian vaksin dilakukan menggunakan cold box atau


vaccine carrier yang sesuai standar WHO/PQS, sebagai berikut:

a. Provinsi ke Kabupaten/Kota menggunakan cold box yang disertai


penahan suhu dingin berupa kotak dingin cair atau cool pack.

b. Kabupaten/Kota ke puskesmas menggunakan cold box atau vaccine


carrier disertai cool pack.

13
c. Puskesmas ke tempat pelayanan imunisasi menggunakan vaccine
carrier yang diisi cool pack.

Pada masa pandemi COVID-19, dalam melakukan penataan vaksin


di vaccine refrigerator atau tempat penyimpanan vaksin lainnya wajib
menggunakan masker bedah/masker medis dan apabila diperlukan
memakai sarung tangan. Sebelum dan sesudah menangani vaksin dan
logistik lainnya wajib cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir
atau menggunakan hand sanitizer. Penyimpanan logistik lainnya mengacu
pada Standar Prosedur Operasional (SPO) yang berlaku.

Masukkan Cool Pack Masukkan vaksin Tutup rapat vaccine

Gambar 1. Cara Penyimpanan Vaksin Dalam Vaccine Carrier

INGAT!
JANGAN MENYIMPAN BARANG LAIN SELAIN VAKSIN DI DALAM
VACCINE CARRIER

C. Manajemen Vaksin dan Logistik


1. Manajemen Stok Vaksin
Manajemen stok vaksin yang efektif penting untuk memastikan
ketersediaan vaksin dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu serta
pengelolaan vaksin yang baik untuk menjaga kualitasnya. Setiap
transaksi vaksin, baik penerimaan maupun pengeluaran harus
dicatat pada buku manajemen logistik vaksin dan aplikasi sistem
pencatatan dan pelaporan berbasis elektronik. Untuk menjamin
ketersediaan vaksin, setiap tingkat penyimpanan harus menghitung
stok minimal untuk menentukan waktu permintaan vaksin dan stok
maksimal untuk menentukan batas di setiap tingkat penyimpanan,
sebagai berikut:
a. Tingkat provinsi stok maksimal adalah 3 bulan termasuk stok
minimal untuk 1 bulan,
b. Tingkat kabupaten/kota stok maksimal adalah 2 bulan termasuk
stok minimal untuk 1 bulan, dan

14
c. Tingkat puskesmas stok maksimal adalah 1 bulan, termasuk stok
minimal untuk 1 minggu.
2. Manajemen Vaksin IPV
a. Vaksin IPV sensitif terhadap beku, harus disimpan dengan baik
pada suhu 2°C - 8°C, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota
maupun puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lain.
Vaksin IPV tidak boleh beku. Uji kocok tidak dapat mendeteksi
kerusakan vaksin IPV akibat pembekuan.
b. Vaksin IPV dapat bertahan (masih tetap poten) selama 24-36 bulan
apabila disimpan dalam lemari es pada suhu 2°C - 8°C dan
terlindung dari paparan sinar matahari langsung.
c. Lakukan pemeliharaan cold chain selama pelaksanaan pelayanan
imunisasi sebagai berikut:
 Pastikan vaccine carrier dalam keadaan bersih sebelum
digunakan.
 Vaccine carrier jangan terpapar sinar matahari langsung.
 Vaksin yang sudah dibuka ditempatkan pada spons atau
busa penutup vaccine carrier, sedangkan vaksin yang belum
dibuka tetap disimpan di bawah busa penutup.
d. Vaksin IPV yang sudah dibuka pada pelayanan dalam gedung
dapat digunakan kembali sampai 4 minggu dengan syarat
memenuhi kriteria Multi-Dose Vial Policy (MDVP) yaitu:
1) Vaksin tersimpan dalam suhu 2 - 80C
2) VVM masih A atau B

Gambar 2. Status VVM Vaksin


3) Tertulis tanggal vaksin dibuka pada vial vaksin (diberi label)
4) Tidak melewati masa kadaluarsa
5) Vial vaksin tidak terendam air atau beku
6) Semua dosis diambil secara aseptis
e. Setelah pelayanan imunisasi selesai, vaksin IPV yang sudah dibuka
pada pelayanan luar gedung (posyandu atau pos pelayanan

15
imunisasi lainnya) harus dimusnahkan mengikuti panduan
manajemen limbah.
f. Vaksin yang belum terbuka saat pelayanan diberi tanda dan dapat
disimpan kembali ke dalam lemari es pada suhu 2 - 8oC. Vaksin
tersebut didahulukan penggunaannya pada pelayanan berikutnya.
g. Vaccine carrier disimpan kembali di ruang penyimpanan dalam
kondisi bersih di Puskesmas atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
sedangkan cool pack dapat dimasukkan ke dalam vaccine
refrigerator untuk digunakan pada hari berikutnya.

D. Jadwal dan Cara Pemberian

Imunisasi IPV2 diberikan kepada bayi usia 9 bulan yang telah


mendapatkan imunisasi IPV dosis pertama (IPV1), bersamaan dengan
pemberian imunisasi Campak-Rubela1. Apabila anak terlambat
mendapatkan imunisasi IPV2 sesuai jadwal, maka berikan dengan interval
minimal 4 bulan setelah imunisasi IPV1.

Catatan penting khusus awal pelaksanaan introduksi:


Sasaran adalah bayi usia 9 bulan (terhitung pada tanggal mulai
pelaksanaan introduksi) yang telah mendapatkan imunisasi IPV1.
Imunisasi kejar belum dilakukan pada saat awal pelaksanaan.

Lakukan skrining terlebih dahulu, sebelum memberikan imunisasi


IPV kepada sasaran. Tentukan apakah sasaran memiliki kontraindikasi
tertentu.
Tabel 1. Kontraindikasi dan Perhatian Khusus
pada Pemberian Imunisasi IPV
Kondisi Berikan Tidak Tunda
Demam, batuk, pilek √
Malnutrisi √
Kondisi imunodefisiensi √
(penyakit HIV,
gangguan
imunodefisiensi
kongenital atau
penyakit sickle cell)
Alergi terhadap √

16
Kondisi Berikan Tidak Tunda
streptomisin, neomisin
atau polimiksin B
Gangguan perdarahan √
(perlu
rekomendasi
dokter yang
merawat)
Pernah terjadi reaksi √
berat terhadap
imunisasi IPV
sebelumnya
Sedang menjalani √
pengobatan yang (perlu
menekan respon imun rekomendasi
(misalnya pemberian dokter yang
kortikosteroid dalam merawat)
jangka waktu lama)

Vaksin IPV diberikan secara intramuskular (IM), dengan dosis 0.5


ml, pada paha atas bagian lateral (anterolateral).

Gambar 3. Suntikan Intramuskular (IM)

Setelah menyuntikkan vaksin IPV, masukkan jarum suntik ke dalam


safety box tanpa dilakukan penutupan kembali/no recapping.

E. Pemberian Imunisasi Ganda

Imunisasi IPV2 diberikan pada usia 9 bulan, bersamaan dengan


Campak-Rubela. Pemberian lebih dari satu jenis imunisasi dalam satu

17
kali kunjungan bermanfaat untuk mempercepat perlindungan kepada
anak, meningkatkan efisiensi pelayanan dan orang tua tidak perlu datang
ke fasilitas kesehatan berulang kali. Pemberian imunisasi ganda sudah
terbukti aman, efektif dan tidak meningkatkan risiko KIPI pada anak.
Pastikan pelayanan imunisasi mematuhi prinsip penyuntikan aman,
penyimpanan vaksin sesuai prosedur dan memperhatikan kontra indikasi
imunisasi. Berikut cara pemberian imunisasi ganda:
a. Jelaskan manfaat dan keamanan pemberian imunisasi ganda kepada
orang tua/pengantar;
b. Atur posisi bayi/anak senyaman mungkin;
c. Pemberian imunisasi ganda dilakukan di tempat penyuntikan yang
berbeda, imunisasi Campak-Rubela1 diberikan di lengan kiri
sedangkan imunisasi IPV2 diberikan di paha kiri.
d. Tidak diperlukan aspirasi sebelum penyuntikan.

Pemberian Imunisasi Ganda Aman, Efektif dan Efisien

F. Manajemen Limbah

Langkah-langkah pengelolaan limbah medis kegiatan pelayanan


imunisasi adalah sebagai berikut:
a. Menyiapkan kantong plastik kuning atau plastik lain, safety box dan
tempat sampah tertutup.
b. Melapisi tempat sampah dengan plastik kuning atau plastik lain
dengan label/logo limbah medis/infeksius.
c. Masukkan limbah berupa vial vaksin yang sudah dipakai atau dibuka
dan dirusak label kemasannya dengan cara melepas atau mencoret
barcode label/informasi vaksin dengan spidol permanen atau bolpoint
yang tidak mudah dihapus, masker, sarung tangan, APD lainnya ke
dalam plastik kuning atau plastik lain dengan label/logo limbah
medis/infeksius. Bila kantong plastik sudah ¾ penuh segera diikat
dan diganti dengan yang baru.
d. Menempatkan limbah medis/infeksius di Tempat Penyimpanan
Sementara Limbah B3 (TPSLB3) yang dilengkapi dengan lemari
pendingin (suhu < 00C) bila menyimpan lebih dari 48 jam.
e. Pengangkutan limbah medis/infeksius ke TPSLB3 dilakukan secara
hati-hati sehingga tidak terjadi tumpahan atau ceceran.

18
f. Pengolahan limbah medis dilakukan dengan beberapa alternatif
yaitu:
1) Bekerja sama dengan perusahaan pengolah berizin
2) Menggunakan insinerator, atau autoclave atau microwave yang
dilengkapi pencacah. Abu insinerator, atau residu autoclave atau
microwave dapat dikelola dengan enkapsulasi/inertisasi
(solidifikasi), kemudian disimpan di lokasi yang telah disepakati
dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH)/pihak berwenang
setempat
3) Untuk daerah yang tidak terjangkau perusahaan pengangkut
dan pengolah limbah B3, dapat dilakukan penguburan dengan
konstruksi pada Permenkes LHK P.56/2015 (ukuran minimal 1
meter kubik) dan berkoordinasi dengan DLH/ pihak berwenang
setempat.

19
20
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN

A. Pencatatan dan Pelaporan Cakupan

Pencatatan dan pelaporan cakupan imunisasi IPV2 merupakan


bagian yang tidak terpisahkan dari pencatatan dan pelaporan imunisasi
rutin lainnya. Pencatatan harus dilakukan segera pada saat pelayanan,
tidak ditunda dan diisi secara lengkap sesuai kolom pencatatan hasil
pelayanan imunisasi yang tersedia.

Pencatatan dan pelaporan pelayanan imunisasi IPV2 dilakukan


secara elektronik dengan menggunakan aplikasi Sehat Indonesiaku (ASIK)
pada saat pelayanan. Disamping ASIK, instrumen yang digunakan untuk
melakukan pencatatan hasil pelayanan imunisasi IPV2 adalah buku
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) atau buku/kartu catatan imunisasi lainnya
yang dimiliki oleh sasaran dan register kohort bayi.

Apabila pada buku KIA belum terdapat baris untuk mencatat hasil
pelayanan imunisasi IPV2, maka hasil layanan dituliskan secara manual
pada baris kosong di tabel pencatatan imunisasi pada buku KIA tersebut
seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pencatatan Imunisasi IPV2 pada Buku KIA

21
Hasil pelayanan imunisasi IPV2 di tempat praktik mandiri bidan,
tempat praktik mandiri dokter, klinik, rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dicatat menggunakan format pencatatan
hasil pelayanan imunisasi rutin dan dilakukan rekapitulasi menggunakan
format standar sebagaimana tertuang dalam Petunjuk Teknis Pelayanan
Imunisasi Rutin di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Swasta. Data tersebut
kemudian disampaikan ke puskesmas yang ada di wilayah kerjanya untuk
dimasukan ke dalam register kohort bayi.

B. Pencatatan dan Pelaporan Vaksin dan Logistik Imunisasi

Pencatatan vaksin dan logistik imunisasi lainnya harus dilakukan


oleh setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan
imunisasi IPV menggunakan vaksin program. Pencatatan yang dilakukan
meliputi pencatatan vaksin menggunakan buku/kartu yang berbeda
untuk setiap jenisnya dan sebisa mungkin dilakukan terpisah untuk
setiap nomor batch. Sebagai contoh, jika vaksin IPV yang tersedia terdiri
dari 3 nomor batch maka jumlah kartu stok yang digunakan untuk
mencatat stok dan pemakaian vaksin IPV adalah 3 kartu stok.

Selain itu, juga diperlukan dokumen pencatatan berupa Vaccine


Arrival Report (VAR) dan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) sebagai
kelengkapan administrasi pada saat melakukan penerimaan dan
pengeluaran vaksin dan logistik imunisasi. Dokumen VAR dan SBBK
harus diisi lengkap sesuai kolom yang tersedia.

Gambar 5. Vaccine Arrival Report atau VAR

22
Gambar 6. Contoh Surat Bukti Barang keluar (SBBK)

Pencatatan dan pelaporan pemakaian vaksin dan logistik imunisasi


di seluruh jenjang administrasi dilakukan secara elektronik dengan
menggunakan aplikasi Sistem Monitoring Imunisasi dan Logistik secara
Elektronik (SMILE). Apabila belum terdapat sistem pelaporan secara
elektronik, pelaporan dilakukan secara manual menggunakan format
standar di bawah ini.

Tabel 2. Format Pelaporan Stok Vaksin dan Logistik


Provinsi/ Kabupaten/ Puskesmas :
Bulan :
Tahun :
Logistik Stok Awal Stok Akhir Waktu
No Penerimaan Pengeluaran IP
Imunisasi Rutin Bulan Bulan Kadaluarsa
Vaksin Vial Dosis Vial Dosis Vial Dosis Vial Dosis
1 Hepatitis B 1
dosis/ vial
2 BCG 20
dosis/amp/vial
3 Polio (OPV) 10
dosis/vial
4 DPT-HB-Hib 5
dosis/vial
5 IPV 5 dosis/vial
6 Campak Rubela
10 dosis/vial
7 PCV 4 dosis/vial
8 RV 5 dosis/vial
9 DT 10 dosis/vial
10 Td 10 dosis/vial
11 HPV 1 dosis/vial
Logistik Imunisasi
0,05 ml
1 ADS 0,5 ml
5 ml
2 Dropper Polio
3 Dropper RV
Safety 2,5 liter
2
Box 5 liter

23
C. Pencatatan dan Pelaporan Monitoring Suhu

Puskesmas dan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang


melakukan pelayanan imunisasi serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan Dinas Kesehatan Provinsi harus melakukan pencatatan hasil
monitoring suhu. Instrumen yang digunakan untuk monitoring suhu
adalah grafik monitoring suhu yang dihasilkan dari pencatatan suhu yang
dicatat secara berkala dua kali sehari (pagi dan sore), termasuk hari libur
dan sabtu-minggu. Setiap satu vaccine refrigerator harus memiliki satu
grafik pencatatan suhu. Pencatatan suhu dapat dilakukan dengan
menggunakan temperature logger dan juga teknologi Internet of Things
(IoT) yang terintegrasi dengan aplikasi SMILE. Grafik monitoring suhu
dibuat untuk mencatat hasil pemantauan suhu selama satu bulan dan
dilengkapi dengan catatan atau keterangan kejadian penting/alarm. Pada
akhir bulan, petugas yang bertanggung jawab melakukan monitoring
suhu harus melaporkan hasilnya kepada pimpinan masing-masing.
Pimpinan melakukan evaluasi terhadap laporan monitoring suhu yang
disampaikan oleh petugas pengelola cold chain untuk selanjutnya
menandatangani sebagai bentuk persetujuan atas laporan monitoring
suhu tersebut.

Gambar 7. Grafik Monitoring Suhu Vaccine Refrigerator Suhu 2-80C

24
BAB V
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI

A. Pengertian
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI
adalah kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian
dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Dapat berupa gejala, tanda,
hasil pemeriksaan laboratorium atau penyakit.
Meningkatnya jumlah pemberian imunisasi akan meningkatkan
jumlah laporan KIPI. KIPI yang tidak tertangani dengan baik dapat
berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi,
sehingga dapat menurunkan cakupan imunisasi. Keadaan ini dapat
menyebabkan tidak terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity)
yang berisiko terjadinya peningkatan kasus penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) dan kejadian luar biasa (KLB). Dalam
menghadapi hal tersebut penting dilakukan surveilans KIPI, untuk
mengetahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang
diberikan ataukah terjadi secara kebetulan (koinsiden). Surveilans KIPI
tersebut sangat membantu program imunisasi, khususnya memperkuat
keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi dan keamanan vaksin.
KIPI dikategorikan menjadi dua, yaitu KIPI serius dan non-serius,
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang
menyebabkan rawat inap, kecacatan, kematian, tuntutan medikolegal
serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dilaporkan segera
1x24 jam setiap ada kejadian dan secara berjenjang, dilengkapi
investigasi oleh pengelola program imunisasi di Dinkes
Kab/Kota/Provinsi untuk selanjutnya dilakukan kajian oleh
Pokja/Komda PP – KIPI serta rekomendasi oleh Komnas PP - KIPI. Hasil
kajian dan rekomendasi berupa klasifikasi yaitu reaksi yang berkaitan
dengan produk vaksin dan defek kualitas vaksin, kekeliruan prosedur
pemberian imunisasi, reaksi kecemasan yang berlebihan (immunization
stress related response/ISRR), kejadian koinsiden, dugaan hubungan
kausal kuat tetapi tidak cukup bukti (indeterminate), dan hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan penyebabnya (unclassifiable).

25
2. KIPI non-serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi dan
tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan si penerima.
Dilaporkan rutin setiap bulan bersamaan dengan hasil cakupan
imunisasi.

B. KIPI yang Mungkin Terjadi dan Antisipasinya

Vaksin IPV yang digunakan dalam program imunisasi nasional


adalah vaksin yang aman dan efektif. Secara umum, vaksin tidak
menimbulkan reaksi simpang pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya
menimbulkan reaksi ringan. Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan
menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap
antigen yang terkandung dalam vaksin. Reaksi simpang yang mungkin
terjadi paska pemberian imunisasi IPV adalah reaksi lokal seperti nyeri,
bengkak dan kemerahan di lokasi suntikan dan reaksi sistemik berupa
ruam atau rash, demam, malaise dan reaksi simpang tersebut akan
sembuh dengan sendirinya.

Kasus KIPI serius sangat jarang dilaporkan. KIPI yang pernah


dilaporkan antara lain adalah kemerahan pada lokasi suntikan (0.5%-
1.5%), bengkak (3%-11%) dan sakit/nyeri (14%-29%). Kejadian demam
ringan juga pernah dilaporkan, namun demam >40°C hanya dilaporkan
terjadi pada <0.1% bayi.

IPV dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya. Kombinasi


vaksin IPV dengan vaksin lain tidak meningkatkan KIPI. Di Indonesia,
pemberian imunisasi IPV bersamaan dengan imunisasi suntikan lainnya
telah diterapkan sejak tahun 2007 di provinsi DI Yogyakarta, dan sampai
saat ini tidak ditemukan adanya KIPI serius. Keuntungan suntikan IPV
bersamaan dengan vaksin lain pada satu kunjungan adalah sebagai
berikut:
• Untuk melindungi anak lebih dini di masa-masa rentan mereka.
• Bagi orang tua bayi, dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya

IPV dapat diberikan pada anak-anak dengan imunodefisiensi


(misalnya HIV, imunodefisiensi kongenital atau didapat, penyakit sickle
cell setelah mendapat keterangan dari dokter yang merawatnya.

26
KIPI terkait reaksi kecemasan juga mungkin terjadi. Reaksi
kecemasan sering terjadi pada anak, dan kejadian dapat timbul karena
target usia pada kegiatan pemberian imunisasi tambahan IPV adalah
sampai dengan usia 15 tahun.

Reaksi kecemasan karena suntikan berbeda dengan reaksi


anafilaksis. Reaksi ini dapat ringan sampai berat, ditandai oleh ekspresi
wajah yang penuh kecemasan dan pucat disertai hiperventilasi, sakit
kepala ringan, pusing, dan kesemutan. Reaksi ini dapat pada anak lebih
kecil, terlihat muka yang kemerahan dan sianosis. Keadaan ini dapat
berakhir dengan penurunan kesadaran, bersamaan dengan dimulainya
lagi usaha bernafas. Reaksi kecemasan berat dapat sampai pingsan,
pucat, dan terjatuh. Pingsan kadang-kadang diikuti oleh gerakan seperti
kejang klonik singkat (gerak sentakan ritmik/berirama dari anggota
badan), apabila anggota badan yang bergerak ditahan, gerakan akan
berhenti. Keadaan ini tidak membutuhkan penanganan khusus. Pingsan,
relatif sering terjadi setelah imunisasi pada remaja dan dewasa, tetapi
jarang pada anak kecil. Reaksi kecemasan ditangani secara sederhana
dengan membaringkan penderita secara terlentang. Pemulihan kesadaran
terjadi dalam satu atau dua menit, tetapi penderita mungkin
membutuhkan lebih banyak waktu untuk pemulihan penuh. Tanda
utama pada keadaan pingsan karena reaksi kecemasan ditandai dengan
tanda vital dalam keadaan normal (frekuensi jantung, denyut nadi, isi
kapiler dan frekuensi napas). Berbeda dengan pingsan yang disebabkan
reaksi anafilaksis, pingsan yang disebabkan oleh reaksi kecemasan
ditandai dengan tanda-tanda vital dalam batas normal.

KIPI yang terkait kekeliruan prosedur dapat terjadi, untuk itu


persiapan pelaksanaan imunisasi yang baik, seperti petugas yang
kompeten (memiliki pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan
imunisasi dan memiliki sikap profesional sebagai tenaga kesehatan),
peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas, termasuk surat
tugas, STR dan SIP harus disiapkan dengan maksimal kepada semua
jajaran yang masuk dalam sistem ini serta harus memahami petunjuk
teknis yang diberikan.

KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden harus


diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan anak yang akan
diimunisasi harus dilakukan seoptimal mungkin.

27
C. Mekanisme Pemantauan dan Penanggulangan KIPI

Pemantauan KIPI dimulai langsung setelah imunisasi. Setelah


menerima imunisasi maka anak dianjurkan menunggu di lokasi imunisasi
sampai dengan 30 menit untuk dilakukan observasi timbulnya KIPI. Jika
tidak ada keluhan/gejala maka anak diperbolehkan pulang dan orang tua
diberikan edukasi tata laksana jika anak mengalami KIPI di rumah.
Puskesmas/fasyankes lainnya dapat menerima laporan KIPI dari
masyarakat/orangtua/kader. Apabila ditemukan dugaan KIPI serius maka
harus segera direspon, diinvestigasi dan dilaporkan.

Skema alur kegiatan penemuan dan pelaporan KIPI Serius sesuai


dengan skema berikut:

Gambar 8. Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Serius


Keterangan:
a. Orangtua, kader, masyarakat atau pihak lain yang mengetahui adanya
KIPI melaporkan kepada petugas penanggung jawab surveillans KIPI di
fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas/RS/Fasyankes lainnya).
b. Selanjutnya, setiap fasilitas pelayanan kesehatan akan mencatat
laporan KIPI serius melalui formulir pelaporan KIPI serius dan segera
melaporkan KIPI serius melalui laman web Keamanan Vaksin
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id), secara otomatis dinas
kesehatan kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi akan
menerima laporan dari fasilitas pelayanan kesehatan pelapor.

28
c. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan provinsi
segara melakukan investigasi. Investigasi dapat dilakukan bekerja
sama dengan Balai Besar POM Provinsi dan Pokja PP KIPI
Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI Provinsi (jika diperlukan). Hasil
investigasi dilaporkan melalui laman web Keamanan Vaksin, secara
otomatis Pokja maupun Komda PP KIPI akan menerima laporan
tersebut.
d. Kajian KIPI serius oleh Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau Komda PP
KIPI Provinsi dilakukan setelah mendapatkan hasil investigasi.
Komnas PP KIPI akan melakukan tanggapan ketika sudah dilakukan
kajian oleh Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI
Provinsi.

Laporan KIPI Non-serius akan didapatkan oleh Puskesmas /


fasyankes lainnya dari orang tua/pengantar anak pada saat pelayanan
imunisasi di bulan berikutnya setelah pemberian imunisasi IPV. Pada saat
skrining sebelum diberikan imunisasi maka petugas fasilitas pelayanan
kesehatan wajib menanyakan riwayat terjadinya KIPI pada anak setelah
diberikan imunisasi IPV. Apabila orang tua/pengantar anak menyatakan
bahwa terdapat gejala klinis setelah pemberian imunisasi RV namun
dapat diatasi di rumah dan tidak menimbulkan risiko potensial pada
kesehatan anak, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kasus
KIPI Non-serius.

Pencatatan dan pelaporan KIPI serius dan non serius dilakukan


melalui laman web keamanan vaksin oleh petugas surveilans KIPI yang
telah ditunjuk oleh fasilitas kesehatan. Apabila terdapat kendala dalam
pelaporan KIPI Serius melalui laman web keamanan vaksin
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id), maka untuk sementara dapat
dilakukan secara manual menggunakan format standar yang dapat
diunduh pada tautan https://bit.ly/formkipi Laporan segera dikirim
secara berjenjang kepada Kementerian Kesehatan cq. Direktorat
Pengelolaan Imunisasi serta Komnas PP-KIPI melalui email:
komnasppkipi@gmail.com. Namun pencatatan dan pelaporan KIPI serius
melalui laman web keamanan vaksin tetap harus dilakukan.

Khusus untuk pelaporan KIPI non-serius secara manual, laporan


dilakukan pada bulan berikutnya bersamaan dengan laporan cakupan
imunisasi. Namun pelaporan KIPI non-serius melalui laman web

29
keamanan vaksin bisa dilakukan kapanpun sesuai dengan waktu
pelaksanaan imunisasi. Alur kegiatan penemuan dan pelaporan KIPI Non-
serius dilakukan seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 9. Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Non Serius.

D. Pelacakan KIPI

Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah


ditentukan, dengan memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin,
teknik dan prosedur imunisasi, serta melakukan perbaikan berdasarkan
temuan yang didapat. Pelacakan KIPI yang dilakukan selama masa
pandemi COVID-19 harus dilaksanakan sesuai prinsip protokol
kesehatan. Pelacakan KIPI serius secara lengkap dapat dilihat pada
Permenkes yang berlaku tentang Penyelenggaraan Imunisasi dan
disesuaikan dengan Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/6424/2021
Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka
Penanggulangan Pandemi COVID-19.

Adapun langkah-langkah pelacakan KIPI sesuai tabel berikut:


Tabel 3. Langkah-Langkah dalam Pelacakan KIPI
Langkah Tindakan
1) Pastikan • Dapatkan informasi tentang pasien dari catatan
kelengkapan medik dan dokumen klinis lainnya.
informasi • Lengkapi informasi yang kurang dari formulir
pada laporan laporan KIPI.
• Tambahkan informasi dari sumber lain yang
dibutuhkan untuk melengkapi pelacakan.

30
Langkah Tindakan
2) Lacak dan Tentang pasien
kumpulkan • Kronologis imunisasi saat ini yang diduga dapat
data menimbulkan KIPI
• Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat
imunisasi yang lalu dengan reaksi yang
sama/reaksi alergi yang lain
• Riwayat keluarga yang mengalami kejadian yang
sama

Tentang kejadian
• Deskripsikan kronologis secara rinci yang
mencakup gejala klinis, hasil laboratorium yang
relevan dengan KIPI bila ada, untuk membantu
menegakan diagnosis.
• Tindakan yang didapatkan, apakah dirawat
inap/jalan dan bagaimana hasilnya.

Tentang vaksin yang diduga menimbulkan KIPI:


• Jenis vaksin yang digunakan, nomor batch,
keadaan vaccine vial monitor, freeze tag, kondisi
penyimpanan, catatan suhu pada lemari es dan
prosedur pengiriman vaksin.

Tentang kondisi anak lainnya yang mendapat


vaksin yang sama :
• Adakah anak lain yang mendapat imunisasi dari
vaksin dengan nomor batch yang sama dan
menimbulkan gejala yang sama

E. Pengenalan dan Penanganan Anafilaksis

Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas sistemik yang berat,


terjadi dengan cepat (umumnya 5–30 menit sesudah pemberian
imunisasi), serius, dan dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaktik
menjadi risiko pada setiap pemberian vaksinasi, obat, makanan dan
lainnya, dan merupakan KIPI serius yang harus mendapat penanganan

31
segera. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang
disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan
pertolongan cepat dan tepat. Tata laksana mulai dari penegakan diagnosis
sampai pada terapi dilakukan di tempat kejadian, dan setelah tanda-
tanda vital dari kasus stabil baru dipertimbangkan untuk dirujuk ke
rumah sakit terdekat. Setiap petugas pelaksana imunisasi harus sudah
kompeten dalam mengenali dan menangani reaksi anafilaktik.

Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda


sesuai dengan berat atau ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang. Namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi. Gejala anafilaksis dapat terjadi segera setelah pemberian
imunisasi (reaksi cepat) atau lambat seperti diuraikan dalam gambar
berikut ini:
Kriteria A. Satu gejala muncul tiba-tiba dalam menit sampai jam
melibatkan kulit jaringan mukosa ataukeduanya (Mis: bercak merah
diseluruh tubuh terasa gatal dan panas bibir lidah dan uvula bengkak)
Ditambah sedikitnya satu dari keadaan berikut:
Gejala pada pernafasan Tekanan darah menurun
(Mis: sesak nafas, mengi, mendadak atau timbulnya
batuk, stridor, hipoksemia) gejaladisfungsi organ seperti
hipotonia(kolaps), inkontinensia
ATAU kriteria B. Dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul
mendadak setelah pajanan alergen atau pemicu lainnya

Gejala muncul Gejala pada Tekanan darah Gejala pencernaan


tiba-tiba dalam pernapasan menurun yang timbul
hitungan menit (Misal: sesak mendadak atau mendadak(Misal:
sampai jam, napas, batuk timbulnyagejala nyeri perut sampai
hipoksemia) disfungsi organ kram muntah)
melibatkankulit,
seperti hypotonia
jaringan mukosa,
kolep
atau keduanya Inkontinensia
(Misal: bercak
merah di seluruh
tubuh, terasa
gatal dan panas,
serta bibir, lidah,
dan uvula
bengkak)
ATAU kriteria C. Tekanan darah berkurang setelah pajanan alergen yang
diketahui untuk pasien
(dalam hitungan menit sampai jam)

32
Bayi dan anak-anak tekanan darah sistolik rendah
spesifik usia atau pengurangan tekanan darah sistolik
yang lebih besar dari 30%
Keterangan:
*Sebagai contoh: imunologik namun independen IgE atau non imunologik
(aktivasi sel mast langsung)
**Sebagai contoh: setelah sengatan serangga berkurangnya tekanan darah
dapat menjadi satu-satunya manifestasi anafilaksis atau setelah
imunoterapi alergen bercak merah gatal diseluruh tubuh dapat menjadi
manifestasi awal satu-satunya dari anafilaksis
***Tekanan darah sistolik rendah pada anak diartikan sebagai tekanan
darah yang kurang dari 70 mmHg untuk usia 1 bulan - 1 tahun, kurang
dari 70 mmHG + (2 kali usia) untuk 1 -10 tahun; dan kurang dari 90
mmHg untuk usia 11 -17 tahun
Frekuensi denyut jantung normal bervariasi dari 80 sampai 140 x / menit
untuk usia 1-2 tahun; 80-12x/menit untuk usia 3 tahun, dan 7-115 x/menit
usia 3 tahun. Pada bayi dan anak kelainan pernafasan lebih umum terjadi
daripada hipotensi dan syok dan syok lebih sering bermanifestasi takikardia
dari hipotensi
Gambar 10. Tanda dan Gejala Anafilaksis

1. Miliki protokol gawat darurat tertulis


untuk mengenal anafilaksis beserta
tatalaksananya dan latih secara rutin

2. Sedapat mungkin, jauhkan


bayi/anak dari paparan faktor
pemicu, yang kemungkinan
menjadi pemicu gejala

3. Nilai jalan nafas, pernafasan, dan


sirkulasi (airway, breathing,
circulation), status mental,kulit, dan
berat badan

4. Pada saat yang sama, panggil


bantuan tim resusitasi (jika kejadian
di rumah sakit) atu timmedis gawat
darurat (jika kejadian di luar rumah
sakit/komunitas)

5. Letakkan bayi/anak pada posisi


terlentang atausetengah berbaring
dalam posisi yang nyaman pada
lengan pengasuhnya

33
6. Beri injeksi epinefrin (adrenalin)
secara intramuskuler pada regio
tengah paha bagian depan dengan
dosis 0,01 mg/kg larutan 1:1000 (1
mg/ml), maksimum 0,3 mg. Catat
waktu pemberian dan dosis, ulangi
5–15 menit kemudian bila
diperlukan. Kebanyakan pasien
akan menunjukkan respon setelah
1–2 dosis

7. Bila diperlukan, berikan oksigen


dengan kecepatan tinggi (8-10
L/menit) dengan maskerkhusus
bayi/anak

8. Buat akses intravena menggunakan


jarum dan mulai pemberian
resusitasi cairan dengan larutan
NaCl 0,9% NaCl dengan dosis 10-20
ml/kg selama 5–10 menit

9. Pantau tekanan darah, denyut dan


fungsi jantung, status pernafasan,
serta kadar oksigen sesering
mungkin dalam interval yang teratur

10. Bila diperlukan, lakukan resusitasi


jantung paru dengan kompresi dada
100 kali per menit kedalaman 4 cm
secara kontinu dan berikan napas
buatan dengan kecepatan 15–20
kali/menit

Gambar 11. Penanganan Syok Anafilaksis


Sumber (dengan modifikasi): Simon, FER, & Sampson, HA. Anaphylaxis: Unique aspects of
clinical diagnosis and management in infants (birth to age2 years). J Allergy Clin Immunol
2015(135):1125-31.

34
Untuk itu, dalam setiap pelayanan harus disediakan perlengkapan
anafilaktik, stetoskop, tensimeter (dengan ukuran bayi dan anak) dan
oxymeter (bila tersedia). Isi dari perlengkapan anafilaktik terdiri dari:
a. Epinefrin ampul 1 : 1000
b. Deksametason ampul
c. Spuit 1 ml
d. Infus set
e. Larutan infus (NaCl 0.9% atau Dekstrose 5%)
f. Tabung oksigen

35
36
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberian imunisasi IPV2


merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan dapat dilakukan bersamaan
dengan kegiatan monitoring evaluasi imunisasi rutin lainnya. Monitoring dan
evaluasi merupakan komponen penting dalam program imunisasi dan menjadi
salah satu fungsi penting dalam manajemen program. Kegiatan ini dilakukan
melalui suatu proses pengamatan sistematik secara rutin dan periodik dengan
menggunakan instrumen standar. Tujuannya adalah untuk menilai apakah
pelaksanaan imunisasi berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Monitoring dan evaluasi di tingkat Puskesmas dilaksanakan sejalan


dengan tahapan manajemen Puskesmas yaitu Pengawasan, Pengendalian dan
Penilaian Kinerja Puskesmas (P3).
A. Pemantauan Cakupan IPV1 dan IPV2

Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan memantau laporan


capaian IPV1 dan IPV2. Variabel-variabel yang dipantau antara lain
cakupan imunisasi IPV dosis 1, cakupan imunisasi IPV dosis 2, dan angka
drop-out. Angka drop-out antara IPV1 dan IPV2 perlu dihitung pada tahun
pertama pelaksanaan introduksi untuk menilai pemanfaatan. Pada tahun
berikutnya, pemantauan pemanfaatan imunisasi dilakukan mengacu pada
penghitungan Drop Out (DO) rate imunisasi rutin.

Rumus perhitungan angka drop-out antara IPV1 dan IPV2:


(Jumlah Cakupan Imunisasi IPV1 – Jumlah Cakupan imunisasi
IPV2 dalam 1 periode) : Jumlah Cakupan imunisasi IPV1
dalam 1 periode

Data dianalisa berdasarkan wilayah administrasi dan jenis kelamin


menggunakan instrumen PWS. Analisa dilakukan bulanan diikuti dengan
umpan balik kepada pihak-pihak terkait untuk tindakan perbaikan
(corrective actions) segera. Target cakupan imunisasi IPV1 dan IPV2
masing-masing minimal 90% dari sasaran surviving infant pada seluruh
tingkatan administrasi.

37
B. Pemantauan dan Pembinaan

Pemantauan adalah salah satu fungsi penting dalam manajemen


kegiatan imunisasi untuk mengetahui permasalahan saat persiapan
maupun pelaksanaan sehingga dapat segera dilakukan upaya pemecahan
masalah serta evaluasi paska kegiatan.

Ada dua jenis pemantauan yang dilakukan yaitu:

a. Pemantauan yang dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan, untuk


memantau persiapan pelaksanaan. Pemantauan ini dilakukan secara
elektronik dengan menggunakan daftar tilik penilaian kesiapan
(Readiness Assessment/RA) melalui tautan https://bit.ly/Kesiapan-
Introduksi-IPV2.

b. Pemantauan atau supervisi saat pelaksanaan, untuk memantau


kegiatan yang sedang berlangsung serta kendalanya. Supervisi
dilakukan terintegrasi dengan supervisi suportif imunisasi rutin yang
dilakukan secara elektronik melalui tautan
https://linktr.ee/data_analytics_team.

Idealnya, seluruh puskesmas dilakukan supervisi, namun dengan


mempertimbangkan ketersediaan sumber daya, maka dapat
dilakukan pemilihan puskesmas yang akan disupervisi yaitu berdasarkan
kriteria tingkat kesulitan jangkauan (wilayah sulit dan biasa) atau
berdasarkan daerah yang berisiko tinggi (cakupan polio rutin <80%,
pernah terjadi KLB PD3I, daerah kumuh, padat penduduk, daerah sulit
secara sosial dan ekonomi, dan lain-lain).

Dalam supervisi semua aspek pelaksanaan dilihat sesuai dengan


checklist. Bila ditemukan pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai
prosedur, segera dilakukan “on the job training” pada petugas. Hasil
supervisi dianalisa dan didiskusikan bersama pelaksana lain yang terkait.
Kemudian dilakukan pemecahan masalah dan rencana tindak lanjut
bersama dengan kepala puskesmas dan petugas.

Pada tingkat Kabupaten/Kota hasil supervisi dari beberapa


Puskesmas direkapitulasi, dianalisis, dan dibuat rencana tindak lanjut.
Kemudian dilaporkan ke atasan langsung serta diumpanbalikkan ke
puskesmas melalui pertemuan khusus (dapat dilakukan secara
virtual/daring) maupun tertulis.

38
Selain Supervisi Suportif (SS), kegiatan monitoring lainnya yang perlu
dilaksanakan yaitu Data Quality Self-assessment (DQS), Rapid
Convenience Assessment (RCA) dan Effective Vaccine Management (EVM).
Kegiatan monitoring ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan
monitoring imunisasi rutin lainnya.
C. Evaluasi

Pertemuan evaluasi pasca pelaksanaan kegiatan introduksi imunisasi


IPV2 dilakukan untuk mengidentifikasi pencapaian hasil kegiatan, seperti
cakupan masing-masing wilayah (termasuk cakupan imunisasi IPV1),
pemanfaatan logistik, dan masalah-masalah yang dijumpai di lapangan.
Pada pertemuan evaluasi juga diidentifikasi laporan KIPI serta aspek-
aspek yang menyebabkan terjadinya KIPI tersebut. Kegiatan ini dapat
dilakukan secara virtual/daring maupun luring di setiap tingkatan
administrasi, mengundang Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala
Puskesmas dan pengelola program imunisasi, petugas kesehatan lainnya
serta lintas sektor terkait. Pada pertemuan evaluasi dilakukan
pembahasan untuk menentukan tindak lanjut perbaikan.

Selain itu, perlu dilakukan juga Post Introduction Evaluation atau PIE
untuk menilai pelaksanaan introduksi IPV2 ke dalam program imunisasi
rutin.

Evaluasi dampak dilakukan untuk mengetahui dampak pelaksanaan


kegiatan imunisasi IPV1 dan IPV2 melal ui surveilans Acute Flaccid
Paralysis (AFP) maupun surveilans polio-lingkungan.

39
40
BAB VII
PENUTUP

Dengan ditetapkannya Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi IPV2 ini,


diharapkan pelaksanaan Introduksi Imunisasi IPV2 dapat terselenggara
dengan baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan pelaksanaan imunisasi IPV2 ini diharapkan dapat memberikan
perlindungan yang optimal kepada anak Indonesia terhadap penyakit polio
yang dapat mengakibatkan kelumpuhan.

DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN


DAN PENGENDALIAN PENYAKIT,

MAXI REIN RONDONUWU

41
42

Anda mungkin juga menyukai