KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2022
PETUNJUK TEKNIS INTRODUKSI IMUNISASI
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2022
i
ii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR JENDERAL
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
karuniaNya, Buku Petunjuk Teknis Introduksi Imunisasi Inactivated
Poliovirus Vaccine Dosis Kedua (IPV2) telah selesai disusun. Buku ini
ditujukan sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan serta pengelola
program dan logistik imunisasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota serta
puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam melaksanakan
introduksi imunisasi IPV dosis kedua atau IPV2.
Indonesia dan seluruh negara-negara lainnya di regional South-East
Asia Region (SEARO) telah dinyatakan Bebas Polio oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 2014. Saat ini, tantangan kita bersama
adalah mempertahankan status bebas polio tersebut dengan
melaksanakan seluruh strategi yang telah menjadi komitmen bersama
dalam rangka mewujudkan Polio Endgame, salah satunya adalah dengan
melaksanakan introduksi atau pengenalan imunisasi IPV dosis kedua.
Kegiatan introduksi IPV2 dilaksanakan dengan tahapan-tahapan
yaitu persiapan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Dengan perencanaan yang matang, kerjasama yang baik, pelaksanaan
yang dilakukan sesuai prosedur serta upaya monitoring dan evaluasi yang
terukur, kita yakin kegiatan ini akan berjalan sesuai dengan harapan.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
semua pihak atas dedikasi dan pengabdiannya dalam mempertahankan
Indonesia Bebas Polio serta untuk mewujudkan Dunia Bebas Polio.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa menaungi langkah kita
semua untuk dapat bersama-sama berkontribusi optimal dalam
menyehatkan anak Indonesia.
iii
TIM PENYUSUN
Pelindung:
Direktur Jenderal P2P
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS
Penasihat:
Plt. Direktur Pengelolaan Imunisasi
Dr. Prima Yosephine, MKM
Penanggung Jawab:
Ketua Tim Kelompok Kerja Substansi Imunisasi Tambahan dan Khusus
dr. Gertrudis Tandy, MKM
Kontributor:
Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), M.M.
Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, SpA(K), M.TropPaed.
Dr. dr. Julitasari Sundoro, M.ScPH
dr. Sherli Karolina, MKM
dr. Devi Anisiska, MKM
Lulu Ariyantheny Dewi, SKM, MIPH
dr. Novayanti Rumambo Tangirerung
Ananta Rahayu, SKM, MKM
Sekar Astrika Fardani, SKM
Hashta Mesya, SST, S.Si, Apt
Yusneri, SKM, MM
Victoria Indrawati, SKM, M.Sc
Andini Wisdhanorita, SKM, M.Epid
Mariana Eka Rosida, SKM
dr. Sri Hartoyo, M. Epid
Ratih Oktri Nanda, SKM
dr. Iqbal Djakaria
dr. Dyan Sawitri
dr. Indri Oktaria Sukmaputri, MPH
Eka Desi Purwanti, SKM
Diany Litasari, SKM, M.Epid
drg. Yulfirda
Indah Hartati, SKM, MKM
iv
Debsy V. Pattilima, SKM, MPH
Hakimi SKM, Msc
Reza Isfan, SKM, MKM
Agustina Saranga, SKM
Junghans Sitorus, SKM, MKM
Anggun Pratiwi, SKM, M.Epid
Dini Surgayanti, SKM
dr. Tri Setyanti, M.Epid
Devy Nurdiansyah, AMKL
Masna
dr. Febry Imanuella
dr. Cornelia Kelyombar
Ari Wijayanti
Herawati
Bayu
Atika Rizkia Noviani
WHO Indonesia
UNICEF Indonesia
CDC
CHAI
UNDP
v
DAFTAR ISI
Tim Penyusun iv
Daftar Isi vi
Daftar Gambar ix
BAB I. Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
C. Sasaran 3
D. Ruang Lingkup 3
E. Pemantauan Persiapan 12
F. Manajemen Limbah 18
vi
B. Pencatatan dan Pelaporan Vaksin dan Logistik 22
Imunisasi
A. Pengertian 25
D. Pelacakan KIPI 30
C. Evaluasi 39
vii
DAFTAR TABEL
Imunisasi IPV
viii
DAFTAR GAMBAR
Suhu 2-80C
ix
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
NOMOR HK.02.02/C/4834/2022
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM INTRODUKSI
IMUNISASI INACTIVATED POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA (IPV2)
x
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014
tentang Upaya Kesehatan Anak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 559);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022
Nomor 156);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/1453/2022 tentang Introduksi
Imunisasi Inactivated Poliovirus Vaccine Dosis Kedua
(IPV2);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PELAKSANAAN INTRODUKSI IMUNISASI INACTIVATED
POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA (IPV2).
xi
bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,
pemerintah daerah kabupaten/kota, fasilitas pelayanan
kesehatan, petugas kesehatan, dan pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan introduksi imunisasi IPV2.
KETIGA : Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan Petunjuk Teknis
Introduksi Imunisasi IPV2 sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
KEEMPAT : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2022
xii
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT
NOMOR HK.01.07/I/4834/2022
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
INTRODUKSI IMUNISASI INACTIVATED
POLIOVIRUS VACCINE DOSIS KEDUA
(IPV2)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
secara bertahap yang dimulai dengan penggantian tOPV ke bOPV dan
introduksi IPV bertujuan untuk mencegah munculnya kasus circulating
Vaccine-Derived Polio Viruses (cVDPV) dan Vaccine-Associated Paralytic
Polio (VAPP) yang disebabkan oleh virus polio yang berasal dari virus polio
Sabin.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Menyediakan petunjuk teknis sebagai acuan pelaksanaan introduksi
imunisasi IPV2
2. Tujuan khusus:
Petugas fasilitas kesehatan mampu:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi IPV2
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
f. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
g. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
2
C. Sasaran
Sasaran petunjuk teknis ini adalah:
1. Pengelola Program Imunisasi dan Logistik di Dinas Kesehatan provinsi,
Dinas Kesehatan kabupaten/kota, Puskesmas, dan fasilitas kesehatan
lainnya
2. Pengelola Program terkait lainnya di Dinas Kesehatan provinsi, Dinas
Kesehatan kabupaten/kota, Puskesmas, dan fasilitas kesehatan lainnya
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup petunjuk teknis ini meliputi:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pencatatan dan Pelaporan
4. Pemantauan dan Penanggulangan KIPI
5. Monitoring dan Evaluasi
3
4
BAB II
PERSIAPAN
5
Catatan penting khusus awal pelaksanaan:
Perhitungan estimasi sasaran imunisasi IPV2
memperhatikan waktu dimulainya pelaksanaan kegiatan
introduksi, sehingga tidak menghitung sasaran 1 tahun.
Contoh:
Kabupaten X memiliki jumlah SI yaitu 750 bayi.
Introduksi dilaksanakan pada bulan November 2022
sehingga jumlah sasaran hanya dihitung mulai November
sampai Desember 2022 (2 bulan). Maka jumlah sasaran
pemberian imunisasi IPV2 Kab. X tahun 2022 adalah:
750/12 x 2 = 125 bayi.
6
4) Kebutuhan Perlengkapan Anafilaktik
Perlengkapan anafilaktik merupakan komponen penting
dalam pelayanan imunisasi sebagai antisipasi terjadinya KIPI
serius (syok anafilaktik). Setiap tempat pelayanan imunisasi
harus menyediakan minimal 1 set perlengkapan anafilaktik
sehingga jumlah kebutuhan perlengkapan anafilaktik
disesuaikan dengan jumlah tempat pelayanan imunisasi
5) Kebutuhan logistik PPI (Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi)
Kebutuhan logistik PPI termasuk di dalamnya adalah Alat
Pelindung Diri (APD). Ketentuan alat pelindung diri mengacu
pada Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi Pada Masa
Pandemi COVID-19 meliputi masker bedah medis, sabun
untuk mencuci tangan atau sarung tangan bila tersedia dan
Alat Pelindung Diri (APD) lain bila tersedia.
c. Ketersediaan peralatan rantai vaksin (cold chain)
Petugas imunisasi provinsi maupun kabupaten/kota harus
melakukan inventarisasi jumlah dan kondisi cold chain (vaccine
refrigerator, cool pack, cold box, vaccine carrier, dsb) yang ada saat
ini serta melakukan upaya untuk mengatasinya jika terjadi
kekurangan. Jika sarana penyimpanan vaksin dinilai kurang dan
penambahan vaccine refrigerator belum memungkinkan, maka
frekuensi pendistribusian vaksin dapat disesuaikan.
d. Rencana Distribusi dan Pembiayaan
Dalam dokumen perencanaan harus tercantum dengan jelas
rencana distribusi logistik dan perhitungan serta sumber
pembiayaan yang dibutuhkan. Semua logistik termasuk KIE harus
didistribusikan sampai ke puskesmas paling lambat satu minggu
sebelum pelaksanaan pelayanan imunisasi IPV2.
e. Jadwal Pelaksanaan Supervisi
Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus membuat jadwal
pelaksanaan supervisi dan petugas Provinsi dan kabupaten/kota
yang bertanggung jawab sebagai supervisor
7
2. Tingkat Puskesmas
a. Pemetaan Wilayah
Kegiatan imunisasi IPV2 harus menjangkau semua sasaran
imunisasi di wilayah kerja puskesmas. Peta wilayah kerja
puskesmas harus mencakup:
1) Lokasi dari setiap desa/kelurahan
2) Lokasi-lokasi penting seperti posyandu, puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan lain, tempat ibadah, pasar, sekolah, dan
tempat-tempat umum lainnya.
3) Perkiraan jarak dan waktu tempuh dari puskesmas, fasilitas
pelayanan kesehatan dan posyandu ke setiap komunitas
masyarakat
4) Lokasi-lokasi rentan/berisiko yaitu wilayah padat penduduk,
wilayah kumuh, wilayah yang terdapat pekerja migran,
kelompok marjinal dan pengungsi yang berdomisili, wilayah
pedesaan dan sulit secara geografis, wilayah yang teridentifikasi
adanya penolakan terhadap imunisasi, atau wilayah pemukiman
baru.
b. Jumlah Sasaran
Puskesmas mendapatkan jumlah sasaran berdasarkan pendataan
langsung di lapangan. Pendataan langsung dapat dilaksanakan
dengan mekanisme sebagai berikut:
1) Identifikasi sasaran dengan memanfaatkan buku
kohort/register imunisasi.
2) Identifikasi sasaran dengan melakukan pendataan langsung
(kunjungan rumah ke rumah), dilakukan oleh bidan desa dan
bekerja sama dengan kader, untuk mengidentifikasi anak-anak
yang tidak tercatat dalam buku kohort/register imunisasi.
8
c. Kebutuhan Vaksin dan Logistik
e. Tenaga pelaksana
9
4) Setiap 3-5 pos pelayanan imunisasi dikoordinir oleh satu orang
supervisor dari Puskesmas untuk memastikan pelaksanaan
kegiatan berjalan dengan baik. Supervisor bertugas memantau
kecukupan logistik dan laporan KIPI.
g. Jadwal Pelaksanaan
10
kesehatan termasuk petugas di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
2. Materi Peningkatan Kapasitas
Materi peningkatan kapasitas meliputi:
a. Melakukan persiapan dan penyusunan mikroplaning
b. Melaksanakan edukasi kesehatan/penyuluhan kesehatan
c. Menjalin kemitraan/kerjasama
d. Melaksanakan pemberian imunisasi IPV2
e. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan
f. Melaksanakan pemantauan dan penanggulangan KIPI
g. Melaksanakan monitoring dan evaluasi
11
sasaran tentang hari, tanggal, waktu dan lokasi pos pelayanan
imunisasi.
b. Peran aktif para tokoh agama, para tokoh masyarakat,
pengumuman langsung melalui tempat-tempat ibadah (Mesjid,
Gereja, Pura, Kelenteng, dll).
c. Informasi melalui media cetak, media elektronik, media luar ruang,
dan media sosial tentang pelaksanaan pemberian imunisasi IPV2.
d. Pemasangan spanduk di tempat-tempat yang strategis.
E. Pemantauan Persiapan
Pemantauan persiapan dilaksanakan sekurang-kurangnya pada H-14
sampai H-1 sebelum introduksi. Evaluasi ini bertujuan untuk:
12
BAB III
PELAKSANAAN
b. Rumah Sakit;
13
c. Puskesmas ke tempat pelayanan imunisasi menggunakan vaccine
carrier yang diisi cool pack.
INGAT!
JANGAN MENYIMPAN BARANG LAIN SELAIN VAKSIN DI DALAM
VACCINE CARRIER
14
c. Tingkat puskesmas stok maksimal adalah 1 bulan, termasuk stok
minimal untuk 1 minggu.
2. Manajemen Vaksin IPV
a. Vaksin IPV sensitif terhadap beku, harus disimpan dengan baik
pada suhu 2°C - 8°C, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota
maupun puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lain.
Vaksin IPV tidak boleh beku. Uji kocok tidak dapat mendeteksi
kerusakan vaksin IPV akibat pembekuan.
b. Vaksin IPV dapat bertahan (masih tetap poten) selama 24-36 bulan
apabila disimpan dalam lemari es pada suhu 2°C - 8°C dan
terlindung dari paparan sinar matahari langsung.
c. Lakukan pemeliharaan cold chain selama pelaksanaan pelayanan
imunisasi sebagai berikut:
Pastikan vaccine carrier dalam keadaan bersih sebelum
digunakan.
Vaccine carrier jangan terpapar sinar matahari langsung.
Vaksin yang sudah dibuka ditempatkan pada spons atau
busa penutup vaccine carrier, sedangkan vaksin yang belum
dibuka tetap disimpan di bawah busa penutup.
d. Vaksin IPV yang sudah dibuka pada pelayanan dalam gedung
dapat digunakan kembali sampai 4 minggu dengan syarat
memenuhi kriteria Multi-Dose Vial Policy (MDVP) yaitu:
1) Vaksin tersimpan dalam suhu 2 - 80C
2) VVM masih A atau B
15
imunisasi lainnya) harus dimusnahkan mengikuti panduan
manajemen limbah.
f. Vaksin yang belum terbuka saat pelayanan diberi tanda dan dapat
disimpan kembali ke dalam lemari es pada suhu 2 - 8oC. Vaksin
tersebut didahulukan penggunaannya pada pelayanan berikutnya.
g. Vaccine carrier disimpan kembali di ruang penyimpanan dalam
kondisi bersih di Puskesmas atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
sedangkan cool pack dapat dimasukkan ke dalam vaccine
refrigerator untuk digunakan pada hari berikutnya.
16
Kondisi Berikan Tidak Tunda
streptomisin, neomisin
atau polimiksin B
Gangguan perdarahan √
(perlu
rekomendasi
dokter yang
merawat)
Pernah terjadi reaksi √
berat terhadap
imunisasi IPV
sebelumnya
Sedang menjalani √
pengobatan yang (perlu
menekan respon imun rekomendasi
(misalnya pemberian dokter yang
kortikosteroid dalam merawat)
jangka waktu lama)
17
kali kunjungan bermanfaat untuk mempercepat perlindungan kepada
anak, meningkatkan efisiensi pelayanan dan orang tua tidak perlu datang
ke fasilitas kesehatan berulang kali. Pemberian imunisasi ganda sudah
terbukti aman, efektif dan tidak meningkatkan risiko KIPI pada anak.
Pastikan pelayanan imunisasi mematuhi prinsip penyuntikan aman,
penyimpanan vaksin sesuai prosedur dan memperhatikan kontra indikasi
imunisasi. Berikut cara pemberian imunisasi ganda:
a. Jelaskan manfaat dan keamanan pemberian imunisasi ganda kepada
orang tua/pengantar;
b. Atur posisi bayi/anak senyaman mungkin;
c. Pemberian imunisasi ganda dilakukan di tempat penyuntikan yang
berbeda, imunisasi Campak-Rubela1 diberikan di lengan kiri
sedangkan imunisasi IPV2 diberikan di paha kiri.
d. Tidak diperlukan aspirasi sebelum penyuntikan.
F. Manajemen Limbah
18
f. Pengolahan limbah medis dilakukan dengan beberapa alternatif
yaitu:
1) Bekerja sama dengan perusahaan pengolah berizin
2) Menggunakan insinerator, atau autoclave atau microwave yang
dilengkapi pencacah. Abu insinerator, atau residu autoclave atau
microwave dapat dikelola dengan enkapsulasi/inertisasi
(solidifikasi), kemudian disimpan di lokasi yang telah disepakati
dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH)/pihak berwenang
setempat
3) Untuk daerah yang tidak terjangkau perusahaan pengangkut
dan pengolah limbah B3, dapat dilakukan penguburan dengan
konstruksi pada Permenkes LHK P.56/2015 (ukuran minimal 1
meter kubik) dan berkoordinasi dengan DLH/ pihak berwenang
setempat.
19
20
BAB IV
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Apabila pada buku KIA belum terdapat baris untuk mencatat hasil
pelayanan imunisasi IPV2, maka hasil layanan dituliskan secara manual
pada baris kosong di tabel pencatatan imunisasi pada buku KIA tersebut
seperti yang terlihat pada Gambar 4.
21
Hasil pelayanan imunisasi IPV2 di tempat praktik mandiri bidan,
tempat praktik mandiri dokter, klinik, rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dicatat menggunakan format pencatatan
hasil pelayanan imunisasi rutin dan dilakukan rekapitulasi menggunakan
format standar sebagaimana tertuang dalam Petunjuk Teknis Pelayanan
Imunisasi Rutin di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Swasta. Data tersebut
kemudian disampaikan ke puskesmas yang ada di wilayah kerjanya untuk
dimasukan ke dalam register kohort bayi.
22
Gambar 6. Contoh Surat Bukti Barang keluar (SBBK)
23
C. Pencatatan dan Pelaporan Monitoring Suhu
24
BAB V
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI
A. Pengertian
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI
adalah kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian
dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Dapat berupa gejala, tanda,
hasil pemeriksaan laboratorium atau penyakit.
Meningkatnya jumlah pemberian imunisasi akan meningkatkan
jumlah laporan KIPI. KIPI yang tidak tertangani dengan baik dapat
berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi,
sehingga dapat menurunkan cakupan imunisasi. Keadaan ini dapat
menyebabkan tidak terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity)
yang berisiko terjadinya peningkatan kasus penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) dan kejadian luar biasa (KLB). Dalam
menghadapi hal tersebut penting dilakukan surveilans KIPI, untuk
mengetahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang
diberikan ataukah terjadi secara kebetulan (koinsiden). Surveilans KIPI
tersebut sangat membantu program imunisasi, khususnya memperkuat
keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi dan keamanan vaksin.
KIPI dikategorikan menjadi dua, yaitu KIPI serius dan non-serius,
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang
menyebabkan rawat inap, kecacatan, kematian, tuntutan medikolegal
serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Dilaporkan segera
1x24 jam setiap ada kejadian dan secara berjenjang, dilengkapi
investigasi oleh pengelola program imunisasi di Dinkes
Kab/Kota/Provinsi untuk selanjutnya dilakukan kajian oleh
Pokja/Komda PP – KIPI serta rekomendasi oleh Komnas PP - KIPI. Hasil
kajian dan rekomendasi berupa klasifikasi yaitu reaksi yang berkaitan
dengan produk vaksin dan defek kualitas vaksin, kekeliruan prosedur
pemberian imunisasi, reaksi kecemasan yang berlebihan (immunization
stress related response/ISRR), kejadian koinsiden, dugaan hubungan
kausal kuat tetapi tidak cukup bukti (indeterminate), dan hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan penyebabnya (unclassifiable).
25
2. KIPI non-serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi dan
tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan si penerima.
Dilaporkan rutin setiap bulan bersamaan dengan hasil cakupan
imunisasi.
26
KIPI terkait reaksi kecemasan juga mungkin terjadi. Reaksi
kecemasan sering terjadi pada anak, dan kejadian dapat timbul karena
target usia pada kegiatan pemberian imunisasi tambahan IPV adalah
sampai dengan usia 15 tahun.
27
C. Mekanisme Pemantauan dan Penanggulangan KIPI
28
c. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan provinsi
segara melakukan investigasi. Investigasi dapat dilakukan bekerja
sama dengan Balai Besar POM Provinsi dan Pokja PP KIPI
Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI Provinsi (jika diperlukan). Hasil
investigasi dilaporkan melalui laman web Keamanan Vaksin, secara
otomatis Pokja maupun Komda PP KIPI akan menerima laporan
tersebut.
d. Kajian KIPI serius oleh Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau Komda PP
KIPI Provinsi dilakukan setelah mendapatkan hasil investigasi.
Komnas PP KIPI akan melakukan tanggapan ketika sudah dilakukan
kajian oleh Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI
Provinsi.
29
keamanan vaksin bisa dilakukan kapanpun sesuai dengan waktu
pelaksanaan imunisasi. Alur kegiatan penemuan dan pelaporan KIPI Non-
serius dilakukan seperti pada gambar berikut ini.
D. Pelacakan KIPI
30
Langkah Tindakan
2) Lacak dan Tentang pasien
kumpulkan • Kronologis imunisasi saat ini yang diduga dapat
data menimbulkan KIPI
• Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat
imunisasi yang lalu dengan reaksi yang
sama/reaksi alergi yang lain
• Riwayat keluarga yang mengalami kejadian yang
sama
Tentang kejadian
• Deskripsikan kronologis secara rinci yang
mencakup gejala klinis, hasil laboratorium yang
relevan dengan KIPI bila ada, untuk membantu
menegakan diagnosis.
• Tindakan yang didapatkan, apakah dirawat
inap/jalan dan bagaimana hasilnya.
31
segera. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang
disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan
pertolongan cepat dan tepat. Tata laksana mulai dari penegakan diagnosis
sampai pada terapi dilakukan di tempat kejadian, dan setelah tanda-
tanda vital dari kasus stabil baru dipertimbangkan untuk dirujuk ke
rumah sakit terdekat. Setiap petugas pelaksana imunisasi harus sudah
kompeten dalam mengenali dan menangani reaksi anafilaktik.
32
Bayi dan anak-anak tekanan darah sistolik rendah
spesifik usia atau pengurangan tekanan darah sistolik
yang lebih besar dari 30%
Keterangan:
*Sebagai contoh: imunologik namun independen IgE atau non imunologik
(aktivasi sel mast langsung)
**Sebagai contoh: setelah sengatan serangga berkurangnya tekanan darah
dapat menjadi satu-satunya manifestasi anafilaksis atau setelah
imunoterapi alergen bercak merah gatal diseluruh tubuh dapat menjadi
manifestasi awal satu-satunya dari anafilaksis
***Tekanan darah sistolik rendah pada anak diartikan sebagai tekanan
darah yang kurang dari 70 mmHg untuk usia 1 bulan - 1 tahun, kurang
dari 70 mmHG + (2 kali usia) untuk 1 -10 tahun; dan kurang dari 90
mmHg untuk usia 11 -17 tahun
Frekuensi denyut jantung normal bervariasi dari 80 sampai 140 x / menit
untuk usia 1-2 tahun; 80-12x/menit untuk usia 3 tahun, dan 7-115 x/menit
usia 3 tahun. Pada bayi dan anak kelainan pernafasan lebih umum terjadi
daripada hipotensi dan syok dan syok lebih sering bermanifestasi takikardia
dari hipotensi
Gambar 10. Tanda dan Gejala Anafilaksis
33
6. Beri injeksi epinefrin (adrenalin)
secara intramuskuler pada regio
tengah paha bagian depan dengan
dosis 0,01 mg/kg larutan 1:1000 (1
mg/ml), maksimum 0,3 mg. Catat
waktu pemberian dan dosis, ulangi
5–15 menit kemudian bila
diperlukan. Kebanyakan pasien
akan menunjukkan respon setelah
1–2 dosis
34
Untuk itu, dalam setiap pelayanan harus disediakan perlengkapan
anafilaktik, stetoskop, tensimeter (dengan ukuran bayi dan anak) dan
oxymeter (bila tersedia). Isi dari perlengkapan anafilaktik terdiri dari:
a. Epinefrin ampul 1 : 1000
b. Deksametason ampul
c. Spuit 1 ml
d. Infus set
e. Larutan infus (NaCl 0.9% atau Dekstrose 5%)
f. Tabung oksigen
35
36
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
37
B. Pemantauan dan Pembinaan
38
Selain Supervisi Suportif (SS), kegiatan monitoring lainnya yang perlu
dilaksanakan yaitu Data Quality Self-assessment (DQS), Rapid
Convenience Assessment (RCA) dan Effective Vaccine Management (EVM).
Kegiatan monitoring ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan
monitoring imunisasi rutin lainnya.
C. Evaluasi
Selain itu, perlu dilakukan juga Post Introduction Evaluation atau PIE
untuk menilai pelaksanaan introduksi IPV2 ke dalam program imunisasi
rutin.
39
40
BAB VII
PENUTUP
41
42