Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN FILOSOFIS TERHADAP FEMINISME

DALAM DUNIA GAME ONLINE

Ratu Suud Hanum (2206017885)


ratu.suud21@ui.ac.id
Fakultas Ilmu Komunikasi UI

Abstrak
Penelitian ini akan mengkaji feminisme secara filosofis dalam dunia game online, di
mana mayoritas pemainnya adalah pria. Akan diungkap sikap-sikap dibalik feminisme dalam
interaksi yang terjadi pada game online, dibahas dengan pendekatan dari berbagai sisi.
Muncul beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam studi ini, yaitu (1) Respon apa yang
diperoleh atas kehadiran feminisme dalam game online? (2) Apa yang diharapkan dari
kehadiran feminisme dalam game online? (3) Apa yang memicu feminisme dalam game
online? Penelitian merupakan penelitian kepustakaan dengan metode pendekatan kualitatif
deskriptif.
Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa pemain wanita lebih banyak
menerima respon negatif saat mengungkapkan jenis kelamin mereka, sehingga para pemain
wanita mendapatkan tekanan untuk menunjukkan keterampilan mereka dalam bermain game
online (Taylor, 2003). Di sisi lain, mereka bermain game untuk memperoleh kesenangan
serta memperluas hubungan sosial. Hal ini menuai kontroversi terkait dibutuhkannya
feminisme dalam game online, karena pengertian feminisme justru dimanfaatkan sebagai
material untuk memperoleh keuntungan pribadi bagi sebagian pemain wanita.
Oleh karena itu, diperlukan perombakan dari berbagai sisi, baik secara komunitas mau
pun industri game itu sendiri terkait kesetaraan yang harus didapatkan pemain wanita. Salah
satunya ialah penerimaan identitas wanita sebagai pemain game yang setara, serta dari sisi
industri game yang harus melakukan perubahan dari segi desain yang membentuk persepsi
terhadap pemain game wanita.

Kata kunci: feminisme, game online, identitas, kesetaraan

Abstract
This research will examine feminism in the world of online games with philosophical
approach, where most of the players are male. It will reveal the attitudes behind feminism in
the interactions that occured in online games, which will be discussed with approaches from
various sides. There are several questions that will be answered in this study, which is (1)
What responses are received from the presence of feminism in online games? (2) What
benefit is expected from the presence of feminism in online games? (3) What triggers
feminism in online gaming? This research is a qualitative descriptive bibliographical
research.
Previous studies found that female players received more negative responses when
revealing their gender, so that female players were pressured to have high skills in gaming
(Taylor, 2003). On the other hand, they play games for pleasure and social relationships.
This has sparked controversy regarding the need for feminism in online games, because some
female gamers used feminism as material for personal gain instead.
Therefore, a change is needed from various sides, both from the community and the
game industry itself related to achieving equality for female players. From the community
side, is the acceptance of women's identities as equal game players, and from the game
industry side, they have to make changes in terms of design that create perception of female
gamers.
Key words: feminism, online games, identity, equality

PENDAHULUAN
Berkembangnya pasar game membuatnya menjadi salah satu hiburan yang paling
diminati masyarakat di skala global. Tidak sedikit perusahaan game yang berlomba-lomba
mempublikasikan karya game mereka, termasuk di Indonesia, baik itu dari developer luar
negeri mau pun Indonesia sendiri. Sudah sebanyak 76,8% penduduk Indonesia yang
terhubung ke Internet hingga bulan Juli 2022 (Digital 2022 July Global Statshot Report,
2022). Sebagai negara ke-2 yang paling banyak menggunakan internet untuk bermain game,
rata-rata masyarakat Indonesia berumur 16-64 tahun menghabiskan sekitar 1 jam 11 menit
per hari untuk bermain game.
Berdasarkan laporan Entertainment Software Association report 2021 yang meneliti data
terkait pemain game di Amerika, diperoleh data bahwa terdapat peningkatan 55% intensitas
bermain para pemain game selama pandemi Covid-19, di mana 90% di antaranya
menyatakan akan terus bermain walaupun pandemi berakhir. Terdapat hasil penelitian yang
menyatakan bahwa pemain game online pada remaja laki-laki 93,2, dan pria dewasa 79,6%,
serta remaja perempuan 6,8%, dan wanita dewasa 20,4% (Griffiths, 2004).
Terdapat stereotip bahwa game hanya dimainkan oleh pria, namun kini sudah banyak
wanita yang juga bermain game untuk mengisi waktu, bahkan sebagai aktivitas utama (cth.
Pemain dalam tim profesional). Walaupun kini game sudah menyediakan beragam genre
yang lebih dinikmati oleh kalangan wanita seperti game kasual, simulasi, dan visual novel,
namun nyatanya banyak juga game yang umumnya dimainkan oleh pria, kini banyak juga
dimainkan oleh wanita. Dalam game online, perbedaan jenis kelamin tercetak cukup jelas
secara interaksi sosial, namun wanita memiliki tekanan yang berbeda dalam interaksi ini
(Taylor, 2003).
Dalam penelitian Griffiths (2013), diungkapkan bahwa sebagian pemain wanita
membanggakan identitasnya terhadap komunitas game, terutama game kompetitif, karena
keunikan gender tersebut dalam bermain game online. Bahkan dalam pengungkapan identitas
ini, tercipta istilah ‘girl-gamer’, yang diartikan sebagai seorang wanita yang sering bermain
game. Pencpitaan istilah ini semakin menebalkan keunikan dalam konteks game online.
Fenomena ini membentuk sebuah peristiwa yang dapat disebut ‘Feminisme’. Walau
istilah Feminisme sudah hadir cukup lama dalam masyarakat, namun ideologi ini masing
cukup terkait dengan berbagai konteks di Abad 21. Feminisme dapat didefinisikan sebagai
salah satu bentuk kesamaan gender, keyakinan bahwa ketidaksetaraan dibangun secara sosial,
dan pengakuan dari pengalaman para wanita, yang menginspirasi keinginan untuk berubah
(Cott, 1987).
Banyak aktivitas feminisme yang terus bergema hingga saat ini, seperti Gerakan
#MeToo, pemilihan presiden Hillary Clinton pada tahun 2016, bahkan termasuk selebriti
seperti Beyonce yang menggaungkan kepercayaan feminisme. Di sisi lain, anti-feminisme
juga masih berada di permukaan aktivitas sosial, bersamaan dengan semakin kerasnya suara
feminisme, maka suara anti-feminisme juga semakin kencang. Anti-feminisme dapat
diartikan sebagai gagasan bahwa feminisme tidak lagi diperlukan, bahwa wanita benar-benar
diuntungkan dari status mereka sebagai wanita, dan bahwa sekarang pria lah yang mengalami
masa sulit (Anderson, 2015; Blais dan Dupuis-Deri, 2012). Dibalik tuntutan kesetaraan oleh
kepercayaan feminisme, diduga adanya tujuan-tujuan tersembunyi yang sebenarnya ingin
dicapai. Kesetaraan yang diteorikan dalam definisi feminisme jika disuarakan dengan metode
tertentu justru sebenarnya menuntut perbedaan terhadap wanita.
Tulisan ini akan mengkaji feminisme secara filosofis dalam dunia game online, di mana
mayoritas pemainnya adalah pria. Akan diungkap sikap-sikap dibalik feminisme dalam
interaksi yang terjadi dalam game online yang dibahas dengan pendekatan dari berbagai sisi.
Muncul beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam studi ini, yaitu (1) Respon apa yang
diperoleh atas kehadiran feminisme dalam game online? (2) Apa yang diharapkan dari
kehadiran feminisme dalam game online? (3) Apa yang memicu feminisme dalam game
online? Akan dilakukan pengkajian filosofis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dan mengupas konteks terkait hal ini berdasarkan referensi-referensi yang tersedia, baik dari
jurnal, buku, maupun artikel.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan sumber-sumber berupa jurnal, buku,
laporan sah, serta artikel terkait konsep dan konteks yang dibahas, dalam hal ini, mengenai
Feminisme serta Game Online. Sumber-sumber yang terkait langsung dengan konsep dan
konteks penelitian akan terhitung sebagai Sumber kepustakaan primer, sedangkan sumber
yang mendukung data atau berkaitan secara tidak langsung dengan konsep dan konteks
terhitung sebagai Sumber kepustakaan sekunder (Kaelan, 2005).
Digunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif untuk menyusun penelitian ini.
Penelitian deskriptif biasa digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena sosial spesifik, dan
banyak hasil penelitiannya dipakai untuk menciptakan sebuah kebijakan atau keputusan
tertentu (Neuman, 2014). Menurut Sugiyono (2016), metode deskriptif kualitatif adalah
metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti
adalah sebagai instrumen analisis utama.
Ada beberapa jenis penelitian yang termasuk penelitian deskriptif, antara lain yaitu (1)
penelitian survei; (2) penelitian kasus; (3) penelitian perkembangan; (4) penelitian tindak lanjut;
(5) penelitian analisis dokumen/analisis isi; (6) studi waktu dan gerak; (7) studi kecenderungan
(Sugiyono, 2016). Penelitian ini akan melakukan pengumpulan data dari sumber primer mau
pun sekunder, lalu dilakukan analisis konten/isi untuk memperoleh pembahasan yang
mendalam terkait konteks feminisme dalam game online.
Dalam analisis konten, akan dilakukan penguraian terhadap objek yang diteliti serta
membuat pembahasan terkait konsepsional dan menerapkan pemikiran kritis terhadap
pengertian yang digunakan. Hasil analisis akan disusun secara sistematis sehingga diperoleh
pemikiran dan pengertian baru mengenai konteks bahasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perkembangan Teori Feminisme
Feminisme muncul saat tahun 1980-an di mana Partai Republik mulai memperjuangkan
nilai-nilai keluarga di atas posisi feminis (Freeman 1993), namun ada kehadiran kaum liberal
dan Demokrat yang lebih cenderung memegang keyakinan feminis dan mengidentifikasi diri
sebagai feminis daripada konservatif dan Republikan (cth. Rhodebeck 1996). Berdasarkan
beberapa penelitian terhadap opini publik tentang feminisme, feminisme diidentifikasikan
memiliki kaitan terhadap isu-isu mengenai wanita, seperti aborsi, diskriminasi, perbedaan
perlakuan antar gender, atau keyakinan yang menyatakan bahwa lebih banyak wanita
dibutuhkan untuk mengisi posisi dalam politik untuk memperkuat identifikasi feminisme.
Namun feminisme masih sulit diidentifikasi secara akurat oleh para peneliti sehingga
pengertiannya masih mengundang opini dari berbagai pihak.
Pada tahun 2021 dilakukan penelitian oleh Laurel Elder, Steven Greene & Mary-Kate
Lizotte untuk memperoleh identifikasi mengenai feminisme, di mana terdapat empat faktor
yang dianggap berpengaruh, yaitu keberpihakan, jenis kelamin, ras, dan umur. Mereka
percaya bahwa terdapat pergeseran makna serta penganut feminisme antara tahun 1992 dan
2016, dan dianggap keempat faktor tersebut adalah inti yang memiliki pengaruh terhadap
perubahaan pengertian feminisme. Memperdalam pengertian terkait feminisme membutuhkan
perhatian lebih terhadap bagaimana ras, etnis, dan jenis kelamin saling berkaitan untuk
membentuk identifikasinya (Crenshaw 1989; Nash 2008).
Empat faktor tersebut digunakan tidak hanya berdasarkan dugaan dan opini. Namun
mencari pengertian feminisme di abad 21 juga membutuhkan pendalaman terhadap sejarah
perbedaan jenis kelamin dalam pengidentifikasian feminisme. Faktor jenis kelamin
digunakan karena terdapat banyak penemuan yang menyatakan bahwa wanita lebih mudah
diidentifikasikan sebagai feminis atau mengekspresikan sikap feminis yang lebih tinggi
daripada pria (cth. Huddy, Neely, and Lafay, 2000; McCabe, 2005; Schnittker, Freese, and
Powell 2003). Sedangkan faktor ras juga dianggap penting sebagai faktor yang
mempengaruhi pengidentifikasian feminisme karena pada tahun 1996 masih terdapat
diskriminasi terhadap ras, di mana orang-orang berkulit putih dianggap memiliki posisi yang
lebih tinggi dan memiliki hak istimewa atau keunggulan dibandingkan ras lainnya. Hal ini
mengakibatkan jika orang berkulit putih yang menyuarakan gerakan feminisme akan lebih
didengar (Brewer and Dundes, 2018), serta bagaimana rasisme dan seksisme bersinggungan
dalam politik Amerika untuk menciptakan marginalisasi dan hak istimewa (Crenshaw, 1989;
Junn, 2017; Smooth, 2013). Dalam pengaruh umur terkait pengidentifikasian feminisme,
sudah banyak sumber pada abad 21 yang menyatakan bahwa wanita muda lebih mudah
diidentifikasi sebagai feminis dari pada generasi wanita yang lebih tua. Generasi muda pada
abad ini tumbuh selama waktu yang lebih progresif secara sosial, ketika ide-ide inti feminis
seperti kesetaraan gender diterima secara luas dan lebih mudah, serta saat banyak tokoh
terkenal dalam budaya populer seperti Beyonce telah banyak menggunakan istilah feminisme
(Hobson, 2017).
Dalam hasil penelitian oleh Laurel Elder dkk., teridentifikasi jumlah feminis pada tahun
2016 lebih tinggi dari pada tahun 1992, di mana terjadi peningkatan sebanyak 21% terhadap
wanita dan 7% terhadap pria. Pada tahun 2016, di penelitian tersebut sebanyak 50% wanita
diidentifikasi sebagai feminis, sedangkan pria hanya 25%. Walaupun hipotesis bahwa wanita
dinyatakan lebih mudah diidentifikasi sebagai feminis daripada pria seperti yang sudah
tertera di hipotesis sebelumnya, namun pada tahun 2016 jumlahnya bertambah hingga dua
kali lipat dibanding tahun 1992. Hal ini mengindikasikan terdapat pengaruh berdasarkan jenis
kelamin terhadap pengidentifikasian feminisme. Namun perbedaan jenis kelamin yang
disebutkan pada penelitian tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang individu, seperti
tingkat pendidikan, apakah wanita tersebut menjalani pendidikan hingga kuliah sehingga
memiliki ilmu lebih mendalam terkait feminisme. (Laurel Elder, Steven Greene & Mary-Kate
Lizotte, 2021).
Sebaliknya, pada faktor ras mengindikasikan bahwa jumlah feminis menurun seiring
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan orang-orang pada abad 21 sudah memiliki
pemikiran lebih terbuka sehingga tidak ada diskriminasi terhadap ras, sehingga jumlah
feminis tidak begitu berpengaruh terhadap ras. Selain ras, faktor umur juga terbukti tidak
mempengaruhi identifikasi feminisme, dan semua kembali lagi ke latar belakang seseorang
tentang bagaimana pendidikan yang diterimanya sehingga memiliki pemikiran lebih terbuka
tentang ideologi-ideologi yang berada di kehidupan masyarakat sosial. Namun, faktor
keberpihakan terbukti memiliki pengaruh yang sangat tinggi terhadap pengidentifikasian
feminisme terhadap seseorang.

Feminisme dan Anti-Feminisme


Seiring dengan terciptanya istilah feminisme dan pengidentifikasiannya terhadap
masyarakat sosial, maka muncul juga istilah ‘Anti-Feminisme’. Anti-feminisme dapat
diartikan sebagai gagasan bahwa feminisme tidak lagi diperlukan, bahwa wanita benar-benar
diuntungkan dari status mereka sebagai wanita, dan bahwa sekarang pria lah yang mengalami
masa sulit (Anderson 2015; Blais dan Dupuis-Deri. 2012). Berkebalikan dengan jumlah
pengidentifikasian feminisme yang banyak ditemukan pada wanita, terdapat celah yang
cukup signifikan pada jenis kelamin di mana pria memiliki peluang yang jauh lebih besar
untuk diidentifikasi sebagai anti-feminisme. Saat kampanye presiden di Amerika tahun 2016,
Donald Trump menyuarakan sentimen anti-feminis yang mengutarakan gagasan bahwa
wanita sekarang bisa mendapatkan dan diberikan perlakuan agar dapat mencapai sesuatu
dengan lebih mudah, sehingga ia menuduh Clinton memanfaatkan gendernya untuk
mencalonkan diri sebagai presidan dan menjual nama feminisme untuk mendapatkan
dukungan. Donald Trump membuat pernyataan seksis dan misoginis secara eksplisit (Gearan
& Zezima, 2016).
Dalam temuan penelitian oleh Laurel Elder dkk, anti-feminisme dapat dipengaruhi
berdasarkan ras dan jenis kelamin, namun feminisme dipengaruhi oleh edukasi,
keberpihakan, dan agama. Dalam penelitian ini juga dibuktikan dengan kuat bahwa
feminisme dan anti-feminisme diidentifikasi sebagai identitas, bukan sebuah keyakinan yang
mendukung maupun melawan kebijakan yang menguatkan posisi wanita dan membawa
kesetaraan gender. (Laurel Elder, Steven Greene & Mary-Kate Lizotte, 2021).
Feminisme yang teridentifikasi terhadap anak perempuan tidak mengartikan bahwa
mereka kebal terhadap wacana kritik terkait feminisme (Rosalind Gill, 2008). Umumnya,
para perempuan dengan rentang umur yang cukup muda dapat berpikir cukup kritis untuk
mengkritik selebriti dengan hati-hati, mengangkat isu terkait kurangnya ”kontribusi” untuk
menyeimbangkan penyuaraan feminisme yang sering digaungkan oleh para selebriti. Dengan
memperhatikan masa depan feminisme yang berkembang, kita dapat melihat komitmen nyata
anak perempuan terhadap feminisme yang diilhami secara politis dengan harapan dan janji
(Sue Jackson, 2021).
Ada juga wacana publik tentang ‘toxic masculinity’ yang juga ada kaitannya dengan
feminisme dan anti-feminisme. Istilah ini digunakan sebagai alat penting baik untuk
menginterogasi efek berkelanjutan dari hak istimewa yang tercantum dalam sistem patriarki
atau sebagai target argumen melawan perubahan sosial budaya yang dilakukan oleh
feminisme, sehingga memposisikan anak laki-laki sebagai salah satu masalah dalam dunia
sosial (Catherine Driscoll & Liam Grealy, 2022).

Alasan dibalik wanita bermain game online


Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa lebih banyak pemain game pria
daripada wanita. Bahkan pria diungkapkan lebih sering bermain, memainkan lebih beragam
genre game, dan bermain dengan durasi lebih lama dari wanita (Anderson, Gentile &
Buckley, 2007; Coyne et al., 2011). Walau pun pada awalnya beberapa pemain wanita
menjadi kecanduan terhadap game online karena menerima ajakan dari teman atau keluarga
dan biasanya dimulai dari game yang menjadi tren seperti Mobile Legends Bang Bang,
Players Unknown’s Battleground, dan Point Blank. Namun, mereka yakin bahwa menjadi
pemain game adalah gaya hidup, bukan sebuah tren. (Nurizky A. H. & Budi I., 2022)
Griffiths (2004) juga membuktikan bahwa pemain game online pada remaja laki-laki
adalah sebanyak 93,2, dan pria dewasa 79,6%, serta remaja perempuan 6,8%, dan wanita
dewasa 20,4%. Sedangkan di kalangan pemain Amerika, dilaporkan bahwa terdapat
peningkatan pesar terhadap jumlah pemain wanita, yaitu kini mencapai 48% dan pria 52%
(Entertainment Software Association, 2022). Walaupun dianggap sebagai jumlah yang cukup
besar, namun nyatanya data tersebut juga menghitung game-game dengan genre tertentu yang
memang mayoritas pemainnya adalah wanita, seperti game kasual, game visual novel, atau
game yang berfokus pada aestetik. Kebanyakan pemain wanita terbukti lebih suka
memainkan game role-playing daripada game online lainnya, di mana dalam suatu penelitian
terdapat 5% saja yang memilih genre First Person Shooter (FPS) dan 1.3% saja yang bermain
genre Real Time Strategy (RTS) (Ghuman & Griffiths, 2012).
Salah satu genre game role-play yang umum dimainkan pemain wanita adalah
MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Games). Dalam sebuah penelitian
lintas negara terhadap 145 anak perempuan (rata-rata 11,3 tahun) yang bermain video game
online, ditunjukkan bahwa paparan genre game yang memiliki akses atau fitur lebih pada
komunikasi atau interaksi sosial (misalnya, MMORPG) memiliki pengaruh yang kuat
terhadap munculnya kepedulian dan simpati, serta menunjukkan kurangnya kekerasan (verbal
dan non-verbal) yang yang diterima pemain wanita (Vieira, 2014).
Sesuai dengan namanya, MMORPG memang jenis game yang mengutamakan komunitas
dan kerjasama agar para pemainnya dapat menikmati game dengan lebih maksimal.
Umumnya, disediakan fitur ‘guild’ di mana sekelompok pemain dapat berkumpul untuk
menyelesaikan misi bersama dan memperoleh hadiah yang menarik. Tidak sedikit pula game
MMORPG yang memberikan hadiah lebih banyak jika suatu misi dikerjakan dengan lebih
banyak orang, sehingga memicu para pemainnya untuk berinteraksi secara sosial.
Para pemain game online atau pemain game role-play (MMORPG) diketahui menyukai
interaksi dengan orang lain (Voulgari et al., 2014). Kaye dkk. (2017) mengungkapkan bahwa
terdapat keuntungan dari segi sosial secara online melalui game MMORPG, terutama terkait
identifikasi diri serta terhubung dengan orang lain dengan cara yang unik dan lebih fleksibel.
Walaupun MMORPG mendapatkan peringkat yang cukup tinggi atas game yang
dimainkan oleh pemain wanita, namun nyatanya MMORPG tetaplah game yang pemain
dominannya adalah pria. Pada umumnya memang budaya game dianggap sebagai budaya
yang didominasi oleh pria (Harvey A & Fisher S, 2015). Namun, menurut perpektif
neuroimaging, ditemukan bahwa wanita lebih mudah terikat dan kecanduan game online
daripada pria (Wang et al., 2019). Temuan menunjukkan bahwa hubungan emosional dengan
karakter dan permainan merupakan faktor motivasi yang kuat untuk wanita bermain game
online dan juga menantang mereka untuk bertindak secara kompetitif serta menyesuaikan
permainan yang dimainkan. (McLean, L. & Griffiths, MD, 2013)
Terdapat berbagai alasan mengapa wanita bermain game online. Game dapat dikaitkan
dengan peningkatan perilaku yang bermanfaat untuk lingkungan sosial terhadap anak
perempuan ketika mereka bermain video-game dengan teman-temannya. Dalam hal ini,
ukuran perilaku yang bermanfaat untuk sosial diarahkan pada anggota keluarga remaja
perempuan, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa bermain bersama dengan orang tua
dapat menyebabkan peningkatan perilaku sosial yang positif terhadap orang-orang yang
bermain dengan mereka, bukan pengaruh dari game itu sendiri. (Padilla-Walker & Day,
2011)
Ketertarikan wanita terhadap game online sangat terkait dengan hubungan sosial, baik
interaksi fisik (seperti bermain secara offline bersama teman) mau pun interaksi virtual
(bermain online/diskusi game online) (McLean, L. & Griffiths, M.D., 2013). Hussain and
Griffiths (2009) melaporkan bahwa game online dapat menghilangkan perasaan negatif
seperti perasaan kesepian, bosan, dan/atau frustrasi. Selain itu, game diketahui dapat
menyediakan pelarian bagi orang-orang yang kurang bersosialisasi dan kesempatan di
kehidupan nyata sehari-hari. Hal ini dapat kembali dikaitkan dengan perasaan kesendirian
dan kesepian. (Paaßen B. et al., 2017). Memang tidak terelakkan bahwa bermain game online
dapat menjadi media hiburan bagi banyak orang, dan memiliki peran penting sebagai media
penyedia interaksi sosial dan memberikan rasa kedekatan dengan orang lain (Bowman et al.,
2016). Kobayashi (2010) juga menemukan bahwa komunitas online yang dikembangkan
melalui game menyebabkan peningkatan toleransi sosial pada sekelompok pemain game
online di Jepang.
Pemain game yang sensitif secara emosional (pemalu) telah ditemukan memiliki lebih
banyak teman secara online daripada pemain yang tidak pemalu. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka (pemain yang pemalu) lebih cenderung menggunakan game online sebagai media
untuk mengatasi keterbatasan sosial mereka di dunia nyata (Kowert et al., 2014). Dunia maya
dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk mempraktikkan interaksi sosial, karena interaksi
sosial di game online dapat dianggap lebih mudah daripada membangun interaksi di dunia
nyata, yang telah dibuktikan dalam penelitian sebelumnya tentang pemain game bermasalah
dan pengguna Internet bermasalah (Kuss, D.J. & Pontes, H.M, 2019). Hal ini bisa dikaitkan
dengan tuntutan tanggung jawab dan harapan yang lebih sedikit dari orang-orang yang tidak
pernah ditemui di dunia nyata, dibandingkan dengan teman atau keluarga yang sering
berinteraksi dengan mereka.

Perlakuan yang diterima wanita dalam game online


Walaupun sebagian besar wanita dalam penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
mereka lebih menyukai genre role-play seperti MMORPG, namun juga ada beberapa wanita
menyukai game yang bersifat kekerasan seperti game FPS (First Person Shooter) atau
tembak-tembakan untuk mematahkan strerotipe (Taylor, 2003). Penelitian ini juga
menyatakan bahwa kehadiran wanita dalam permainan game online memang cenderung
menciptakan kontroversi dalam ranah gender bahkan ada yang menganggap pemain wanita
dapat menimbulkan pengurangan terhadap stereotip negatif terkait jenis kelamin pemain
game online.
Pada tahun 2014, terjadi perang budaya internet yang disebut #Gamergate, di mana
aliansi gamer video anti-feminis mulai mengkritik dan mengancam para pendukung game
feminis yang mendukung representasi yang lebih positif terkait posisi wanita di industri video
game. Wanita memang dianggap sebagai minoritas dalam dunia game online, serta sudah
banyak penelitian yang menemukan bahwa wanita sering menerima pelecehan seksual dari
pemain lain. Wanita dan pemain game online yang berperforma rendah adalah dua kelompok
yang paling sering mendapatkan reaksi negatif dari pemain pria. (Ballard & Welch, 2017).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh L. McLean dan Griffiths (2013) terdapat diskusi
yang terjadi terkait pelecehan dan perilaku negatif yang dialami pemain game online wanita.
Pemain wanita menjelaskan bahwa karena perilaku negatif yang diperoleh dalam game online
membuat mereka engga untuk mengungkapkan jenis kelamin mereka saat bermain dengan
orang asing dan sering pula karena beberapa pengalaman dalam hal ini menyebabkan mereka
berhenti bermain game untuk waktu yang cukup lama. Sejumlah wanita bahkan merasa satu-
satunya cara yang tersedia untuk menghindari respon negatif dari pemain pria adalah dengan
menyembunyikan identitas mereka, dan banyak dari pemain wanita yang memilih untuk tidak
menggunakan fitur komunikasi yang disediakan untuk berbicara dengan orang lain saat
bermain game online. Mayoritas pemain wanita mengungkapkan bahwa perilaku negatif yang
diperoleh umumnya didapat dari pemain remaja laki-laki. Beberapa dari pemain wanita
memilih untuk membalas perlakuan negatif tersebut dengan kembali bertindak agresif atau
melawan secara online. Para pemain wanita mengakui bahwa mereka sering menerima
perlakuan buruk berupa bahasa kasar, ancaman, dan bahkan rasisme saat bermain online
dengan orang asing (McLean, L. & Griffiths, MD, 2013).
Reaksi negatif yang timbul terhadap pemain wanita dapat disebabkan oleh kurang
baiknya pemain wanita secara umum dalam bermain game online. Skill yang kurang
memadai memicu stigma negatif dari pemain pria terhadap pemain wanita, di mana mereka
(pemain pria) cukup sering menemukan pemain wanita yang hanya bisa bermain dengan
kemampuan sangat terbatas dan bahkan seringkali membutuhkan bimbingan untuk mencapai
misi atau memenangkan pertarungan (dalam game kompetitif). Dalam menanggapi pelecehan
dan reaksi negatif dari pemain lain, para pemain wanita merasa harus membalasnya dengan
bermain sebaik mungkin untuk membuktikan kualitas diri dan mendapatkan kesenangan serta
kegembiraan yang seharusnya mereka rasakan saat bermain game online. Secara tidak
langsung, pemain wanita juga sering merasakan tekanan yang diperoleh dari pemain pria dan
seperti dituntut untuk bermain baik sepanjang waktu.
Terdapat pilihan untuk membalas stigma negatif dan perlakuan tersebut dengan membela
diri mereka sendiri serta tidak menyembunyikan identitas mereka sebagai wanita agar dapat
lebih diakui dan diterima di kalangan game online. Beberapa wanita berpendapat bahwa
reaksi negatif yang mereka terima dapat dipengaruhi dari faktor individu itu sendiri, di mana
sikap mereka saat bermain lah yang mungkin memicu stigma buruk terhadap pemain wanita,
baik dalam membangun dukungan sosial secara online atau faktor lainnya, di mana hal ini
juga biasanya tercermin dalam kehidupan nyata mereka secara umum. Selain itu, pemain
wanita juga dilaporkan melakukan gender-swapping (pertukaran gender) yang umumnya
terjadi saat bermain game bergenre MMORPG untuk menghindari para pria yang berusaha
mendekati mereka saat bermain game online (Hussain & Griffiths, 2008).
Walaupun pada penelitian-penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa pemain
wanita lebih banyak mengalami interaksi negatif saat bermain game online, namun banyak
penelitian terkini yang membuktikan bahwa para pemain wanita mendapatkan dukungan
sosial saat bermain game online (Lavinia McLean & Mark D. Griffiths, 2018). Yee (2006)
berargumen bahwa game online memberikan perkembangan dalam bidang sosial,
komunikasi, dan kolaborasi antar pemain. Bahkan, elemen sosial dalam game online
dianggap penting dalam hal meningkatkan motivasi dan keterikatan saat bermain.
Perkembangan komunitas game online dan lingkungan bermain yang kolaboratif telah
diteliti pengaruhnya terkait dukungan sosial dalam dunia game, termasuk perkembangan
hubungan sosial baik secara online maupun offline, identitas sosial, dan keterikatan antar
anggota. Faktor sosial dalam dunia game telah menuai argumen bahwa game dapat menjadi
faktor motivasi bagi para pemainnya (Yee 2006; Przybylski et al. 2010). Penelitian yang
dilakukan oleh Pendry dan Salvatore (2015) dengan peserta wanita juga membuktikan bahwa
interaksi secara online dapat berkembang dengan lebih cepat daripada pertemuan di dunia
nyata karena dapat membantu kesejahteraan individu. Mayoritas pemain wanita menyoroti
pentingnya bermain dengan orang lain, dan mengklaim bahwa mereka sering bermain dengan
pacar/pasangan. Selain itu, banyak diskusi menyebutkan bergabung dengan komunitas serta
bekerja sama dengan orang lain secara online menyoroti pentingnya interaksi sosial untuk
para pemain wanita (Cole & Griffiths, 2007). Penelitian menunjukkan pentingnya elemen
sosial dalam game, dan penggunaan game sebagai media untuk membuat hubungan
berkembang (Cole & Griffiths, 2007; Griffiths, Davies & Chappell, 2004; Hussain &
Griifiths, 2009).
Dalam penelitian yang dilakukan Nurizky A. H. & Budi (2022), beberapa pemain game
online wanita di Yogyakarta diwawancara dan membuat pengakuan di mana mereka senang
dengan identitas sebagai ‘girl-gamer’, di mana saat mengungkapkan jenis kelamin, mereka
menjadi pusat perhatian di antara pemain pria karena tidak banyak wanita yang bermain
game online. Perhatian yang mereka terima berupa ajakan untuk bermain bersama, bantuan
untuk menyelesaikan permainan dengan lebih mudah, bahkan tidak jarang mereka menerima
pujian dan kekaguman karena keunikan hadirnya pemain wanita dalam genre game tertentu.
Saat bermain game online, pemain wanita umumnya menerima pertanyaan pribadi dan
perlakuan spesial saat teridentifikasi sebagai wanita (D.J. Kuss et al., 2022).
Dari segi klinis, wanita yang berinteraksi melalui video game dapat memperoleh
keuntungan (kesehatan) secara fisik (DeNoyelles A. & Seo K.K.J., 2012; Fraser S.A. et al.,
2014) dan mental (Carrasco A., 2016; Fraser S.A. et al., 2014). Banyak penelitian yang
membuktikan peningkatan kesehatan para pemain game, di mana pemain wanita juga
menunjukkan peningkatan kesejahteraan (well-being) karena video game telah didemonstrasi
agar diterima sebagai alat psikoterami guna membantu pemulihan kesehatan mental pada
anak-anak (Carrasco A., 2016). Secara fisik, bermain game berpengaruh positif terhadap
fungsi kelanjutan saluran pencernaan wanita (Fraser S.A. et al., 2014) serta perhatian
terhadap orang yang lebih tua (Weybright E.H. et al., 2010).

Perbedaan pemain wanita dan pemain pria


Adanya perbedaan perlakuan terhadap wanita dan pria dalam game online dapat
dipengaruhi oleh (i) faktor sosialisasi (cth., wanita yang bermain game online biasanya tidak
dihargai dalam lingkungan sosial dengan cara yang sama seperti pria), (ii) video game
umumnya didesain oleh pria untuk pria, dan (iii) pria memiliki kemampuan terkait ruang
yang lebih baik daripada wanita sehingga membantu kemampuan membidik dalam game
(Griffiths, 2007; Olsen et al, 2009).
Penelitian Hartmann dan Klimmit (2006) dengan para pemain game wanita menunjukkan
bahwa wanita tidak menyukai game dengan genre terkait konten kekerasan,dan karakter yang
mewakili stereotip tertentu. Pemain wanita juga diketahui kurang tertarik terhadap elemen
kompetitif dalam video game bertema kekerasan dibandingkan pria. Para peneliti
berpendapat bahwa jika game yang berfokus pada kemenangan dan kekalahan bukanlah
konten yang menarik bagi pemain wanita, sehingga konten lain yang diidentifikasi menarik
bagi pemain pria mungkin juga dianggap tidak menarik bagi wanita.
Dibanding pemain pria, pemain wanita merasakan keterikatan yang lebih kecil, namun
wanita dilaporkan lebih dapat mendalami peran dalam game online bertema kekerasaan saat
bermain menggunakan karakter wanita, dari pada menggunakan karakter pria (Eastin, 2006).
Para peneliti mengungkapkan bahwa interaksi individu dalam game bergenre first person
shooter (FPS) dipandu oleh beberapa stereotip yang sama yang juga membentuk interaksi
sehari-hari individu yang tidak dimediasi. Wanita juga diketahui mendapatkan lebih banyak
permintaan pertemanan dalam game online daripada pria. Para peneliti berpendapat meskipun
wanita lebih sering menerima bantuan daripada pemain pria, mereka masih diharapkan untuk
berperilaku sesuai dengan harapan asal terkait dengan seks mereka di dunia nyata. Penelitian
ini didasarkan pada interaksi awal secara online, bukan interaksi berkelanjutan yang
berkembang dari waktu ke waktu melalui game. (Lavinia McLean & Mark D. Griffiths,
2018)
Jika wanita bermain sesering pria, mereka cenderung mencapai tingkat keberhasilan atau
kemenangan yang sama dalam permainan, mengurangi keyakinan bahwa wanita kurang
terampil dalam bermain game (Shen C., 2016). Namun, sayangnya pemain wanita cenderung
bermain lebih sebentar atau berhenti lebih awal daripada pemain pria, yang disebabkan oleh
ekspektasi gender dan komunitas sebaya. Misalnya, sebagai wanita yang melakukan aktivitas
yang didominasi oleh pria, mereka dianggap tidak memiliki keterampilan yang lebih rendah
oleh komunitas sebaya (Shen C. et al., 2016). Walau memang terdapat sebagian wanita yang
bermain game yang mengandung konten kekerasan, agresi, dan/atau representasi. Sebagai
alternatif, Ferguson dan Donnellan (Ferguson C. J. & Donnellan M. B., 2017) menunjukkan
bahwa pemain wanita cenderung mengalami stres saat bermain game bukan karena
permusuhan atau kekerasan dalam game, melainkan merasa terganggun karena kurang cocok
dengan game yang mereka mainkan atau bukan tipe game yang mereka umumnya sukai.
Pemain wanita memberikan contoh bagaimana status pria sebagai 'ahli' menyebabkan
bias dalam interaksi terkait game. Meskipun pemain wanita mengungkapkan bahwa mereka
menerima game atau majalah game dari laki-laki, banyak juga yang mengaku bahwa mereka
menerima perangkat lunak ilegal atau pengetahuan yang tidak lengkap dari pemain pria
(Schott, Gareth & Horrell, Kirsty, 2000). Dalam proses bermain oleh pemain wanita yang
disertakan keterlibatan pria biasanya berujung pada pengecualian pemain wanita, atau para
pemain wanita yang berhenti atas kesadaran mereka sendiri (Schott, Gareth & Horrell, Kirsty,
2000) karena adanya reaksi negatif yang ditimbulkan dari stigma-stigma buruk yang
diciptakan terkait pemain wanita.
Pemain game mobile wanita di Amerika dilaporkan bermain untuk melawan rasa bosan
dan untuk memperoleh kesenangan, kemandirian, dan membuat hubungan. (M. Goldblum,
2020). Sebaliknya, pria umumnya bermain untuk kesuksesan dan memenuhi rasa kompetitif
mereka (Z. Demetrovics et al., 2011). Walau wanita juga diketahui dapat bermain dengan
motivasi memenuhi rasa kompetitif, namun umumnya mereka bermain untuk mencari
hiburan dan memenuhi kebutuhan sosial.

Kebutuhan Feminisme sebagai identitas dalam game online


Seperti yang disoroti oleh BBC [Women in Games, 2021], wanita jarang berhasil dalam
kejuaraan esports/game yang terkenal. Meskipun wanita sering kali menyembunyikan jenis
kelaminnya di lingkungan game (McLean dan Griffiths 2013), kemungkinan besar ketika
wanita mengungkapkan identitas mereka, legitimasi dan kompetensi mereka dipertanyakan.
Ada beberapa diskusi antar pemain wanita terkait penggunaan istilah 'girl-gamer' sebagai
lawan kata dari 'gamer' dan perlu atau tidaknya gelar ini. Beberapa pemain merasa tidak
diperlukannya istilah seperti itu, karena mereka menganggap semua ‘gamer’ adalah setara
dan dari awal mereka mengidentifikasikan diri sebagai ‘gamer’, tidak lebih dan tidak tidak
kurang. Keberadaan istilah tersebut dianggap lebih menyoroti perbedaan gender lebih jauh
(McLean, L. & Griffiths, MD, 2013).
Karena game online utamanya didasarkan pada faktor kolaborasi dan komunikasi,
sejumlah penelitian terbaru telah meneliti peran komunikasi verbal dan kaitannya dengan
identifikasi jenis kelamin. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemain wanita dapat
memilih untuk tidak berbicara dengan pemain lain karena dapat menyebabkan respon negatif
(McLean dan Griffiths 2013). Kuznekoff dan Rose (2013) mengkonfirmasi klaim ini dalam
penelitian eksperimen, di mana suara wanita lebih cenderung menerima perhatian negatif
daripada suara pria dalam game. Penelitian tersebut meneliti bagaimana pemain bereaksi
terhadap suara wanita versus suara pria dalam sebuah game online. Dengan menggunakan
kalimat-kalimat yang dirancang untuk netral dan tidak menyinggung, suara-suara wanita
ternyata menerima reaksi yang jauh lebih negatif, menghasilkan komentar-komentar negatif
tiga kali lebih banyak daripada suara-suara pria. Pemain wanita dalam permainan yang
membuat ucapan positif mendapatkan lebih banyak permintaan pertemanan daripada wanita
yang membuat ucapan negatif, sedangkan pria yang membuat ucapan negatif mendapatkan
lebih banyak permintaan pertemanan daripada pria yang membuat ucapan positif.
Wanita menyatakan kekecewaannya karena pemain pria tidak membela mereka ketika
orang lain bertindak negatif terhadap mereka, hal ini menunjukkan kurangnya dukungan
sosial dalam lingkungan game. Bahkan dalam beberapa kasus pemain wanita juga menerima
reaksi negatif dari sesama pemain wanita lain. Banyak wanita merasa bahwa bagi beberapa
wanita mereka berperilaku seperti ini karena mereka ingin menjadi satu-satunya wanita
dalam komunitas game yang didominasi pria. (Lavinia McLean & Mark D. Griffiths, 2018)
Ada beberapa diskusi antar pemain wanita terkait sikap dan perilaku negatif terhadap
pemain wanita dibiarkan berlanjut karena wanita menyembunyikan identitasnya saat bermain,
dan sering mengikuti stereotip untuk menyesuaikan diri dan tidak menonjol dalam sebuah
kelompok. Menyembunyikan identitas merupakan strategi wanita untuk membangun
dukungan sosial dalam komunitas game online, meskipun beberapa orang menyarankan
untuk melawan perilaku negatif jika seseorang merasa sanggup dan cukup kuat untuk
melakukan ini (Lavinia McLean & Mark D. Griffiths, 2018). Menurut stereotip gender pria,
wanita tidak dianggap sebagai gamer "sejati" atau "hard-core" (di mana keterampilan
bermain dipandang sebagai fitur penentu utama dari seorang "gamer", misalnya, bermain
video game yang lebih kompleks dan kompetitif di konsol milik sendiri, cukup terhubung erat
dengan komunitas game, dan terkadang terlibat dalam kompetisi e-sport di mana para pemain
dapat memperoleh uang di turnamen internasional), terutama karena mereka tampak bermain
lebih santai dan kurang terampil dibandingkan dengan pemain pria (Paaßen B. et al., 2017).
Selain menyembunyikan identitas sebagai strategi, wanita yang menggunakan karakter
pria dalam game online juga dipandang sebagai strategi yang valid untuk menangani
pelecehan (Cote A. C., 2017). Selain untuk menghindari stigma negatif, mereka juga
berusaha menghindari adanya perlakuan spesial dan hanya ingin menikmati bermain game
tanpa ada gangguan terkait romantisme. Pada dasarnya, mereka ingin diidentifikasi sebagai
sesama ‘gamer’ tanpa mementingkan jenis kelamin yang diemban (D.J. Kuss et al., 2022).
Sementara itu, pria lebih cenderung mengganti jenis kelamin karakter yang mereka gunakan
dan tidak berusaha menyembunyikan jenis kelamin nyata mereka (Martey R.M. et al., 2014).
Kaye dkk. (2017) juga membuktikan bahwa gender karakter berdampak pada seberapa
kompeten seorang pemain. Dalam studi awal mereka, wanita dengan karakter pria dianggap
lebih terampil daripada wanita yang bermain menggunakan karakter wanita, di mana ini
adalah sebuah efek yang tidak terlihat pada pemain pria. Studi kedua mengaitkan ini dengan
keyakinan peran gender yang memprediksi keyakinan seksis di seluruh game MMO dan
game FPS (Kaye L.K. et al., 2017). Menurut Hussain Z. & Griffiths M.D. (2008) juga
mengindikasi bahwa karakter perempuan dalam game MMORPG memberikan efek positif
secara sosial.
Selain jarang ditampilkan dalam video game, representasi visual karakter wanita sering
kali tampak dilebih-lebihkan dan hiper-seksual dalam hal menekankan atribut wanita mereka
(yaitu, ukuran payudara dan bokong, dan pinggang ramping), yang mungkin berdampak
negatif pada citra tubuh pemain wanita itu sendiri, mengingat representasi tubuh wanita
dalam video game mungkin tidak sesuai dengan realitasnya (Burgess M. C. et al., 2007).
Banyak pemain wanita yang masih tergoda untuk berpura-pura menjadi pria demi
menghindari permusuhan online, terutama setelah maraknya pelecehan terhadap wanita (baik
virtual maupun non-virtual) yang terjadi selama kontroversi GamerGate 2014-2016 (Golding
& Van Deventer, 2016, hal.187).
Wanita yang mendapat respon buruk karena berketerampilan rendah saat bermain game
online oleh pria yang dianggap dominan atau mengontrol permainan (misalnya, prasangka
dalam video game online), biasanya muncul intervensi dari beberapa identitas sosial untuk
melindungi pemain perempuan dari ancaman stereotip (misalnya, melalui komunitas game
yang lebih mendukung) (Lopez-Fernandez O., 2019). Namun, diakui juga bahwa beberapa
permusuhan datang dari wanita lain dalam budaya game, mempromosikan eksklusivitas,
membuat pemain lain tidak valid, dan tidak mendukung wanita lain dalam game (Harvey A.
& Fisher S., 2015). Hal ini kemungkinan terkait dengan keinginan perempuan yang secara
konsisten ingin mempertahankan posisi ‘spesial’ mereka dalam budaya yang unik.
Terdapat sebuah istilah yang tercipta dengan kehadirannya pemain wanita dalam dunia
game online, yaitu ‘girl-gamer’. Kelompok ‘girl-gamer’ yang terdiri dari kalangan berbagai
macam umur, dapat dimaknai sebagai kelompok yang melakukan aktivitas bermain game
sebagai aktivitas sekunder mereka, di mana waktu yang mereka pakai untuk bermain dapat
terbatas karena adanya sanksi yang ditentukan oleh diri mereka sendiri (Schott, Gareth &
Horrell, Kirsty, 2000). Kehadiran istilah ini justru semakin membentuk identitas gender
dalam game dan menjauhkan tujuan asli dari terciptanya feminisme. Dengan apa yang
mereka tampilkan sebagai ‘girl-gamer’ secara berulang membuat makna baru mengenai
wanita yang bermain game hingga mendapatkan julukan atau istilah tersebut (Nurizky A. H.
& Budi I., 2022).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurizky A.H. dan Budi I. (2022), beberapa
pemain wanita memberikan pendapat terkait identitas sebagai ‘girl-gamer’. Mereka merasa
memiliki identitas tersebut memberikan perasaan bangga dan justru mempermudah
pertemanan. Kehadiran identitas tersebut justru dianggap menuai pujian dan dianggap
sebagai sesuatu yang keren serta unik. Namun, bagi mereka untuk mengemban identitas ini
diperlukan pula keterampilan yang memadai sebagai bekalnya. Mereka merasa julukan yang
tidak sesuai dengan keterampilan bermain justru akan menuai kontroversi, apalagi jika hanya
menjual keseksian tubuh melalui bagian-bagian tertentu atau pakaian yang minim, sehingga
akan mengganggu mereka sebagai wanita juga. Sebagai ‘girl-gamer’, tidak semua wanita
bisa memberi toleransi ke sesama pemain wanita (Nurizky A. H. & Budi I., 2022). Menurut
D.J. Kuss (2022), beberapa pemain wanita lebih melihat diri mereka sebagai seorang wanita
yang bermain game, dan tidak termasuk ke dalam kategori ‘girl-gamer’.
Sebagian besar genre game menjadi lahan utama dari beberapa kesalahpahaman tentang
persepsi feminisme dan motivasi para wanita untuk bermain, yang mengancam eksistensi
‘girl-gamer’. Jika wanita sudah bermain game bergenre MMORPG dan melakukannya lebih
mendalam bahkan dapat disebut 'hardcore', masalah di industri ini bukan hanya persepsi yang
salah bahwa wanita tidak tertarik dengan game, tetapi juga usaha di lingkungannya di mana
mereka harus bermain tanpa terlihat. Salah satunya ialah menggunakan karakter pria dan
tidak berbicara di headset untuk menghindari perhatian dan pelecehan seksual yang tidak
diinginkan. Mereka mengorbankan visibilitas mereka sebagai identitas sejati dari pemain
wanita saat mereka bermain, tetapi sangat meningkatkan peluang mereka untuk bermain
tanpa gangguan. (Rebecca C., 2018)
Michelle B. (2010) mengungkapkan bahwa sebagian pemain wanita memutuskan untuk
mengungkapkan identitas jenis kelamin mereka karena alasan-alasan berikut:
- Perhatian: Dikarenakan mereka menikmati perhatian yang diterima dari pemain lain.
- Dihargai: Mereka menjual ‘feminisme’ untuk memperoleh keuntungan pribadi atau
virtual.
- Iseng: Dilakukan secara iseng untuk hiburan diri.
- Kebutuhan penyelesaian misi: Mereka sekali lagi memanfaatkan feminisme untuk
mendapat bantuan dalam menyelesaikan misi dengan mudah.
- Sesama pemain wanita: Untuk bertemu dengan sesama pemain wanita lainnya dan
bergabung dalam sebuah komunitas.

Walaupun dibagi ke dalam lima kategori jawaban, namun tiga di antaranya (Perhatian,
Dihargai, Kebutuhan penyelesaian misi) dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi
baik berupa perlakuan spesial atau bantuan dalam game sehingga proses mereka menjadi
lebih mudah dan cepat.
Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa mereka mengatasnamakan feminisme dalam
membuka identitas karena dilatarbelakangi beberapa hal, seperti kurangnya empati yang
diperoleh di dunia nyata serta penghargaan terhadap diri mereka. Namun, sayangnya apa
yang mereka dapatkan justru lebih banyak respon negatif, seperti kata-kata yang
menyinggung jenis kelamin, perundungan siber, perilaku seksisme, dan lainnya (Michelle B.,
2010).
Studi telah dilakukan untuk mengetahui apakah wanita telah dilecehkan saat bermain
game, dan alih-alih memasukkan wanita ke dalam komunitas video game mereka, pria
tampaknya mendorong mereka menjauh dengan menghina, melecehkan, dan mengancam
mereka. Namun, ini bukan hanya satu sisi, karena beberapa wanita telah mengakui
memanfaatkan gender mereka sebagai cara untuk mendapatkan perhatian, bantuan dalam
permainan, atau bahkan meminta tolong.

Menuju kesetaraan dalam game online


Hampir semua penelitian yang dilakukan terkait pemain wanita dilaporkan berfokus pada
konsekuensi negatif yang diperoleh tanpa menilai perilaku game wanita dari perspektif positif
dan negatif di tingkat individu dan komunitas (Lopez-Fernandez O., 2019). Walaupun wanita
termasuk ke dalam kelompok minoritas dalam game online, namun sejumlah kecil pemain
game wanita dan desainer game wanita semakin menjadi sorotan, seperti Brenda Romero
(Dungeons & Dragons: Heroes) dan Jane McGonigal (SuperBetter) (D.J. Kuss dkk., 2022).
Selain itu, untuk memperoleh kesetaraan dan mencapai tujuan ‘feminisme’ yang
sesungguhnya, komunitas game berperan penting sebagai faktor pelindung. Berdasarkan
temuan ini, penting untuk meminimalkan hambatan apa pun bagi pemain wanita agar mau
terlibat secara sosial secara online. Hambatan yang disebutkan ini seperti persepsi umum
tentang game wanita dan risiko mengalami diskriminasi atau pelecehan (D.J. Kuss dkk.,
2022).
Sebuah studi oleh Bergstrom, Jenson, dan de Castell (2012) mengungkapkan bahwa
semakin banyak waktu yang dihabiskan pemain di MMORPG, semakin mereka menyukai
preferensi seksis dalam game. Dari hasil penelitian ini, ternyata desain game turut andil
dalam melatih pemain untuk berperilaku lebih 'feminin' atau 'maskulin'. Dengan kata lain,
sifat dan sikap yang tercipta dari para pemain game adalah produk dari komunitas game itu
sendiri, yang mengkondisikan pemain untuk berperilaku dalam batasan peran gender yang
ditentukan yang didefinisikan oleh sekelompok komunitas.
Selain dari kesadaran individu dan komunitas game itu sendiri, diperlukan andil dari
industri game, termasuk desainer game, untuk membantu menyuarakan kesetaraan yang
sesungguhnya. Contohnya adalah tagar media sosial #MyGameMyName, yang menyebar
melalui komunitas game sebagai upaya dari industri game dan pemain game untuk
mendorong wanita (dan untuk teman pemain pria mereka) untuk menggunakan atau
mempertahankan gamertag (nama pengguna) feminin mereka saat bermain game online.
(Rebecca C., 2018). Contoh lainnya, desainer game dapat mencoba formula baru untuk
desain representasi visual wanita dalam game, daripada terus-terusan menawarkan pemain
sebuah stereotip yang menciptakan stigma bahwa wanita harus bersifat submisif, seksual,
atau menjadi korban (Rebecca C., 2018).

KESIMPULAN
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menemukan bahwa pemain wanita lebih
banyak menerima respon negatif dibanding respon positif saat mengungkapkan identitas
mereka sebagai seorang pemain wanita. Stigma buruk yang terbentuk ini membentuk sebuah
budaya dalam dunia game online, di mana pemain wanita mendapatkan tekanan untuk harus
menunjukkan keterampilan mereka dalam bermain game online untuk memperoleh perilaku
yang setara (Taylor, 2003). Sedangkan, para pemain wanita bermain game untuk
mendapatkan kesenangan serta memperluas hubungan sosial atau pertemanan dengan orang
baru. Sehingga tekanan ini membuat mereka menjadi enggan untuk bermain game dengan
waktu yang lama (L. McLean dan Griffiths, 2013).
Banyak di antara para pemain wanita juga lebih memilih untuk menyembunyikan identitas
mereka sebagai wanita atau menggunakan karakter pria serta menghindari penggunaan fitur
berbasis suara untuk berkomunikasi demi tidak diidentifikasi sebagai wanita (Lavinia
McLean & Mark D. Griffiths, 2018). Hal ini dilakukan agar tujuan mereka untuk bermain,
yaitu menikmati keseruan bermain game serta mendapatkan hubungan baru dalam
lingkungan sosial, tercapai. Walaupun pada akhirnya beberapa pemain wanita memanfaatkan
gender mereka untuk memperoleh perlakuan spesial atau bantuan dalam proses bermain,
namun nyatanya yang banyak mereka dapatkan ialah diskriminasi atau ketidakadilan dalam
permainan.
Hal ini menegaskan bahwa masih kurangnya kesetaraan sesungguhnya yang diimpikan
‘feminisme’. Untuk mengurangi stigma ini, diperlukan usaha dari berbagai sisi, yaitu dari sisi
komunitas itu sendiri untuk mereduksi respon negatif, serta dari sisi industri game yang harus
mengubah strategi baik dari desain (Rebecca C., 2018) mau pun penjualan, di mana saat ini
industri juga cukup berperan penting dalam merepresentasikan wanita, terutama secara
visual.

REFERENSI
Ahyar, H., & Juliana Sukmana, D. (2020). Buku Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif
SERI BUKU HASIL PENELITIAN View project Seri Buku Ajar View project.
https://www.researchgate.net/publication/340021548
Anderson, C. A., Gentile, D. A., & Buckley, K. E. (2007). Violent video game effects on
children and adolescents: Theory, research, and public policy. Oxford University
Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195309836.001.0001
Anderson, K. J. (2015). Modern Misogyny: Anti-feminism in a Post-feminist Era. England:
Oxford University Press.

Assuncao, C. (2016). “No Girls on the Internet”: The Experience of Female Gamers in the
Masculine Space of Violent Gaming Pokémon GO and feminist actor-network theory
View project Psychology with Interactive Entertainment undergraduate dissertation
2016 View project. https://www.researchgate.net/publication/305429541
Ballard, M. E., & Welch, K. M. (2017). Virtual Warfare: Cyberbullying and Cyber-
Victimization in MMOG Play. Games and Culture, 12(5), 466–491.
https://doi.org/10.1177/1555412015592473
Bergstrom, K., Jenson, J., & de Castell, S. (2012). What’s ‘choice’ got to do with of
it?:Avatar selection differences between novice and expert players of World Warcraft
and Rift. https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/2282338.2282360
Blais, Melissa & Dupuis‐Déri, Francis. (2012). Masculinism and the Antifeminist
Countermovement. Social Movement Studies. 11. 21-39.
https://doi.org/10.1080/14742837.2012.640532
Bowman-Perrott, L., Burke, M. D., Zaini, S., Zhang, N., & Vannest, K. (2016). Promoting
Positive Behavior Using the Good Behavior Game: A Meta-Analysis of Single-Case
Research. Journal of Positive Behavior Interventions, 18(3), 180–190.
https://doi.org/10.1177/1098300715592355
Brewer, S., & Dundes, L. (2018). Concerned, meet terrified: Intersectional feminism and the
Women’s March. Women’s Studies International Forum, 69, 49–55.
https://doi.org/10.1016/J.WSIF.2018.04.008
Brown, M. (2010). Women and video games: representation, experiences, identity, and
acceptance. Leicester: De Montfort University.
Burgess, M. C. R., Stermer, S. P., & Burgess, S. R. (2007). Sex, Lies, and Video Games: The
Portrayal of Male and Female Characters on Video Game Covers. Sex Roles, 57(5-6),
419-433. https://doi.org/10.1007/s11199-007-9250-0
Carrasco, A. E. (2016). Acceptability of an adventure video game in the treatment of female
adolescents with symptoms of depression. Research in Psychotherapy:
Psychopathology, Process and Outcome, 19(1).
https://doi.org/10.4081/ripppo.2016.182
Compton, R. (2018). Gamer Girl Visibility: Networks and Their Gendered Ingroup
Behaviours in Massively Multiplayer Online Roleplaying Games Introduction. In
Networks Excursions (Vol. 8, Issue 1). www.excursions-journal.org.uk
Cole, H., & Griffiths, M. D. (2007). Social interactions in massively multiplayer online role-
playing gamers. CyberPsychology & Behavior, 10(4), 575–583.
https://doi.org/10.1089/cpb.2007.9988
Cote, A. C. (2017). “I Can Defend Myself”: Women’s Strategies for Coping With
Harassment While Gaming Online. Games and Culture, 12(2), 136–155.
https://doi.org/10.1177/1555412015587603
Cott N. F. (1987). The grounding of modern feminism. Yale University Press.
Coyne, S. M., Padilla-Walker, L. M., Stockdale, L., & Day, R. D. (2011). Game on... girls:
Associations between co-playing video games and adolescent behavioral and family
outcomes. Journal of Adolescent Health, 49(2), 160–165.
https://doi.org/10.1016/J.JADOHEALTH.2010.11.249
Crenshaw, Kimberle (1989). Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black
Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist
Politics. The University of Chicago Legal Forum 140:139-167.
Demetrovics, Z., Urbán, R., Nagygyörgy, K., Farkas, J., Zilahy, D., Mervó, B., Reindl, A.,
Ágoston, C., Kertész, A., & Harmath, E. (2011). Why do you play? The development of
the motives for online gaming questionnaire (MOGQ). Behavior Research Methods,
43(3), 814–825. https://doi.org/10.3758/S13428-011-0091-Y/TABLES/6

Driscoll, C., & Grealy, L. (2022). Stranger Things: boys and feminism. Continuum, 36(1), 4–
21. https://doi.org/10.1080/10304312.2021.1965093
Eastin, M. S. (2006). Video Game Violence and the Female Game Player: Self- and
Opponent Gender Effects on Presence and Aggressive Thoughts. Human
Communication Research, 32(3), 351–372. https://doi.org/10.1111/J.1468-
2958.2006.00279.X
Elder, L., Greene, S., & Lizotte, M. K. (2021). Feminist and Anti-Feminist Identification in
the 21st Century United States. Journal of Women, Politics and Policy, 42(3), 243–259.
https://doi.org/10.1080/1554477X.2021.1929607
Ferguson, C. J., & Donnellan, M. B. (2017). Are associations between “sexist” video games
and decreased empathy toward women robust? A reanalysis of Gabbiadini et al. 2016.
Journal of Youth and Adolescence, 46(12), 2446–2459. https://doi.org/10.1007/s10964-
017-0700-x
Fraser, S. A., Elliott, V., de Bruin, E. D., Bherer, L., & Dumoulin, C. (2014). The Effects of
Combining Videogame Dancing and Pelvic Floor Training to Improve Dual-Task Gait
and Cognition in Women with Mixed-Urinary Incontinence. Games for Health Journal,
3(3), 172–178. https://doi.org/10.1089/G4H.2013.0095
Gareth Schott, C. R., & Horrell, K. R. (2000). Girl Gamers and their Relationship with the
Gaming.
Gearan, Anne and Katie Zezima. (2016). “Trump’s ‘Woman’s Card’ comment escalates the
campaign’s gender wars.” The Washington Post. April 27, 2016.
Ghuman, D., & Griffiths, M.D. (2012). A Cross-Genre Study of Online Gaming: Player
Demographics, Motivation for Play, and Social Interactions Among Players. Int. J.
Cyber Behav. Psychol. Learn., 2, 13-29.
Gill, R. (2008). Empowerment/Sexism: Figuring Female Sexual Agency in Contemporary
Advertising. Feminism & Psychology, 18(1), 35–60.
https://doi.org/10.1177/0959353507084950
Golding, Dan, and Leena van Deventer. (2016). Game Changers: From Minecraft to
Misogyny, the Fight for the Future of Videogames. Melbourne: Affirm Press
Goldblum, M. (2020). Free-To-Play? An Examination of Intrinsic Motivation and Gaming
Behaviors in U.S. Female Mobile Gamers. Dissertations and Theses.
https://academicworks.cuny.edu/cc_etds_theses/850
Griffiths, M. D., Davies, M. N. O., & Chappell, D. (2004). Online Computer Gaming: A
Comparison of Adolescent and Adult Gamers. Journal of Adolescence, 27, 87-96.
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2003.10.007
Guest, C. J. (2016). Knowing feminism: the significance of higher education to women’s
narratives of ‘becoming feminist.’ Gender and Education, 28(3), 471–476.
https://doi.org/10.1080/09540253.2016.1167842
Harrison, R. L., Drenten, J. M., & Pendarvis, N. (2016). Female Gamers: an Investigation of
Gendered Consumer Vulnerability (Vol. 44).
http://www.acrwebsite.org/volumes/1021974/volumes/v44/NA-44http://
www.copyright.com/.
Hartmann, T., & Klimmt, C. (2006). Gender and Computer Games: Exploring Females’
Dislikes. Journal of Computer-Mediated Communication, 11(4), 910–931.
https://doi.org/10.1111/J.1083-6101.2006.00301.X
Harvey, A., & Fisher, S. (2015). “Everyone Can Make Games!”: The post-feminist context of
women in digital game production. Feminist Media Studies, 15, 576 - 592.
Hobson, J. (2017). Celebrity Feminism: More than a Gateway 42(4), 999–1007.
https://doi.org/10.1086/690922
Huddy, L., Neely, F., & Lafay, M. R. (2000). The polls—trends: Support for the women's
movement. Public Opinion Quarterly, 64(3), 309–350. https://doi.org/10.1086/317991
Hutabarat, V. W. (2018). Perempuan dan Games Online (Studi Etnografi Virtual tentang
Pembentukan Identitas Female Gamers Playe Unknown’s Battleground (PUBG)).
Malang: Universitas Brawijaya.
Hutama, N. A. & Irawanto, B. (2022). “Menjadi Sesuatu Yang Berbeda”: Studi Etnografi
Gamer Perempuan di Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Hussain, Z., & Griffiths, M. D. (2009). Excessive use of massively multi-player online role-
playing games: A pilot study. International Journal of Mental Health and Addiction,
7(4), 563–571. https://doi.org/10.1007/s11469-009-9202-8
Jackson, S. (2021). “A very basic view of feminism”: feminist girls and meanings of
(celebrity) feminism. Feminist Media Studies, 21(7), 1072–1090.
https://doi.org/10.1080/14680777.2020.1762236
Junn J. (2017). The Trump majority: White womanhood and the making of female voters in
the U.S. Politics, Groups, and Identities, 5(2), 343–352.
https://doi.org/10.1080/21565503.2017.1304224
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Kaye, L. K., Kowert, R., & Quinn, S. (2017). The role of social identity and online social
capital on psychosocial outcomes in MMO players. Computers in Human Behavior, 74,
215–223. https://doi.org/10.1016/j.chb.2017.04.030

Kobayashi T (2010) Bridging


social capital in online
communities: heterogeneity and
social
tolerance of online game players
in Japan. Human Communication
Research 36(4): 546–
569
Kobayashi T (2010) Bridging
social capital in online
communities: heterogeneity and
social
tolerance of online game players
in Japan. Human Communication
Research 36(4): 546–
569
Kobayashi, T. (2010). Bridging Social Capital in Online Communities: Heterogeneity and
Social Tolerance of Online Game Players in Japan. Human Communication Research,
36, 546-569.
Kowert, R., Domahidi, E., Festl, R., & Quandt, T. (2014). Social gaming, lonely life? The
impact of digital game play on adolescents’ social circles. Computers in Human
Behavior, 36, 385–390. https://doi.org/10.1016/J.CHB.2014.04.003
Kuss, D. J., Kristensen, A. M., Williams, A. J., & Lopez-Fernandez, O. (2022). To Be or Not
to Be a Female Gamer: A Qualitative Exploration of Female Gamer Identity.
International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(3).
https://doi.org/10.3390/ijerph19031169
Kuznekoff, J. H., & Rose, L. M. (2013). Communication in multiplayer gaming: Examining
player responses to gender cues. New Media & Society, 15(4), 541–556.
https://doi.org/10.1177/1461444812458271
Liu, T., & Lai, Z. (2020). From non-player characters to othered participants: Chinese
women’s gaming experience in the ‘free’ digital market. Information Communication
and Society, 1–19. https://doi.org/10.1080/1369118X.2020.1791217
Lopez-Fernandez, O., Jess Williams, A., Griffiths, M. D., & Kuss, D. J. (2019). Female
gaming, gaming addiction, and the role of women within gaming culture: A narrative
literature review. In Frontiers in Psychiatry (Vol. 10, Issue JULY). Frontiers Media
S.A. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2019.00454
Lu, H. P., & Wang, S. M. (2008). The role of Internet addiction in online game loyalty: An
exploratory study. Internet Research, 18(5), 499–519.
https://doi.org/10.1108/10662240810912756
Martey, R. M., Stromer-Galley, J., Banks, J., Wu, J., & Consalvo, M. (2014). The strategic
female: Gender-switching and player behavior in online games. Information
Communication and Society, 17(3), 286–300.
https://doi.org/10.1080/1369118X.2013.874493
McCabe, J. (2005). What’s in a Label? The Relationship between Feminist Self-Identification
and “Feminist” Attitudes among U.S. Women and Men. Gender & Society, 19(4), 480–
505. https://doi.org/10.1177/0891243204273498
McLean, L. & Griffiths, M.D. (2013). Female gamers: A thematic analysis of their gaming
experience. International Journal of Games-Based Learning, 3(3), 54-71.
McLean, L., & Griffiths, M. D. (2019). Female Gamers’ Experience of Online Harassment
and Social Support in Online Gaming: A Qualitative Study. International Journal of
Mental Health and Addiction, 17(4), 970–994. https://doi.org/10.1007/s11469-018-
9962-0
Nash, J. C. (2008). Re-Thinking Intersectionality. Feminist Review, 89(1), 1–15.
https://doi.org/10.1057/fr.2008.4
Pendry, L. F., & Salvatore, J. (2015). Individual and social benefits of online discussion
forums. Computers in Human Behavior, 50, 211–220.
https://doi.org/10.1016/J.CHB.2015.03.067
Priyantoro, E. (n.d.). Persepsi Dasar terhadap Video Game sebagai Aplikasi Pragmatis dan
Media Reflektif.
Przybylski, A. K., Rigby, C. S., & Ryan, R. M. (2010). A Motivational Model of Video
Game Engagement. Review of General Psychology, 14(2), 154–166.
https://doi.org/10.1037/a0019440
Rhodebeck, L. A. (1996). THE STRUCTURE OF MEN’S AND WOMEN’S FEMINIST
ORIENTATIONS: Feminist Identity and Feminist Opinion. Gender & Society, 10(4),
386–403. https://doi.org/10.1177/089124396010004003
Rodriguez-Barcenilla, E., & Ortega-Mohedano, F. (2022). Moving towards the End of
Gender Differences in the Habits of Use and Consumption of Mobile Video Games.
Information (Switzerland), 13(8). https://doi.org/10.3390/info13080380
Schnittker, J., Freese, J., & Powell, B. (2003). Who Are Feminists and What Do They
Believe? The Role of Generations. American Sociological Review, 68(4), 607–622.
https://doi.org/10.2307/1519741
Shen, C., Ratan, R., Cai, Y. D., & Leavitt, A. (2016). Do Men Advance Faster Than Women?
Debunking the Gender Performance Gap in Two Massively Multiplayer Online Games.
Journal of Computer-Mediated Communication, 21(4), 312–329.
https://doi.org/10.1111/JCC4.12159
Smooth, W. G. (2013). Intersectionality from Theoretical Framework to Policy Intervention.
Situating Intersectionality, 11–41. https://doi.org/10.1057/9781137025135_2
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabet.
Taylor, T. L. (2003). Multiple Pleasures: Women and Online Gaming. Convergence, 9(1),
21–46. https://doi.org/10.1177/135485650300900103
Vieira, E. T. (2014). The Relationships Among Girls’ Prosocial Video Gaming, Perspective-
Taking, Sympathy, and Thoughts About Violence. Communication Research, 41(7),
892–912. https://doi.org/10.1177/0093650212463049
Voulgari, I., Komis, V., & Sampson, D. G. (2014). Player motivations in massively
multiplayer online games. Proceedings - IEEE 14th International Conference on
Advanced Learning Technologies, ICALT 2014, 238–239.
https://doi.org/10.1109/ICALT.2014.75
Weybright, E. H., Dattilo, J., & Rusch, F. R. (2010). Effects of an interactive video game
(Nintendo WiiTM) on older women with mild cognitive impairment. Therapeutic
Recreation Journal, 44(4), 271–287.
Wibowo, T., & Djohansyah, R. (2021). Female Gamıng And Role Of Woman Wıthın Gamıng
Culture: A Study Of Indonesıa (Vol. 1, Issue 1). www.dailysocial.id
Wicks, A. C., Gilbert, D. R., & Freeman, R. E. (1994). A Feminist Reinterpretation of the
Stakeholder Concept. Business Ethics Quarterly, 4(4), 475–497.
https://doi.org/10.2307/3857345

Yao, S. X., Ellithorpe, M. E., Ewoldsen, D. R., & Boster, F. J. (2022). Development and
Validation of the Female Gamer Stereotypes Scale. Psychology of Popular Media.
https://doi.org/10.1037/ppm0000430
Yee, N. (2006) Motivations for Play in Online Games. Cyber Psychology & Behavior, 9,
772-775. http://dx.doi.org/10.1089/cpb.2006.9.772
Zydney, J. M., deNoyelles, A., & Seo, K. K. J. (2012). Creating a community of inquiry in
online environments: An exploratory study on the effect of a protocol on interactions
within asynchronous discussions. Computers & Education, 58(1),77–87.

Anda mungkin juga menyukai